pendidikan

28
Proses Pendidikan di Dunia Islam Menyambut Gejolak Sains & Teknologi Kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat mempunyai dampak yang serius dalam berbagai segi kehidupan. Dampak itu menuntut kita agar menentukan sikap yang tepat dan sesuai dengan nilai 'insaniyatul -insan' dengan menciptakan three balance; ruh, akal (rasio) dan jasad. Ketiga unsur tersebut merupakan integritas utuh (setali seikat) yang menolak tindakan dikotomi. Jika benar dikotomi itu terjadi, maka akan hadir karakteristik keilmuan yang justru semakin dipertanyakan timbangan komitmennya ; komitmen ilmiah, komitmen moral dan komitmen spiritual. Dan akhirnya kita semakin yakin dan optimis bahwa profil yang demikian akan kewalahan mengantarkan ummat ketingkat mature of civilization yang bisa dipersaksikan (syuhada 'ala naas) proyek kerjanya. Tidak ada yang mengingkari bahwa gejolak sains juga ikut meramaikan khazanah peradaban manusia, baik dalam format teori atau karya kemanusiaan. Namun karena ia

Upload: hamim-tafshil

Post on 20-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pendidikan

TRANSCRIPT

Page 1: pendidikan

Proses Pendidikan di Dunia Islam

Menyambut Gejolak Sains & Teknologi

Kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat mempunyai dampak yang serius dalam

berbagai segi kehidupan. Dampak itu menuntut kita agar menentukan sikap yang tepat

dan sesuai dengan nilai 'insaniyatul -insan' dengan menciptakan three balance; ruh, akal

(rasio) dan jasad. Ketiga unsur tersebut merupakan integritas utuh (setali seikat) yang

menolak tindakan dikotomi. Jika benar dikotomi itu terjadi, maka akan hadir karakteristik

keilmuan yang justru semakin dipertanyakan timbangan komitmennya ; komitmen

ilmiah, komitmen moral dan komitmen spiritual. Dan akhirnya kita semakin yakin dan

optimis bahwa profil yang demikian akan kewalahan mengantarkan ummat ketingkat

mature of civilization yang bisa dipersaksikan (syuhada 'ala naas) proyek kerjanya. Tidak

ada yang mengingkari bahwa gejolak sains juga ikut meramaikan khazanah peradaban

manusia, baik dalam format teori atau karya kemanusiaan. Namun karena ia adalah amal

manusia maka tidak lepas dari evaluasi. Dalam sebuah kesempatan Dr. Munawar Ahmad

Anees, seorang pakar biologi yang telah banyak menulis tentang masalah-masalah etika

dan moral dalam bidang sains dan teknologi, mencoba mengevaluasi fenomena ini

mengatakan "... kemudian diterjemahkan dalam tindakan sosial, maka masyarakat apakah

yang akan terbentuk?"

Benar apa yang diungkapkan beliau bahwa potret-potret peradaban pada zaman

interplaniter ini belum bisa mewakili idealisme kemanusiaan yang kita harapkan. Negara

sosialis dan kapitalis yang notabene beraliansi material dan menerapkan praktek

Page 2: pendidikan

sekularisme, mulai berguguran menunggu lahirnya pelaku baru. Kondisi mereka telah

disinyalir oleh QS. Al Nahl:26 "Maka Allah Swt hancurkan sendi-sendi dan fondasi

bangunan mereka dan runtuhlah atap bangunannya serta hancurlah apa yang mereka

bangun, kemudian datanglah adzab kepada mereka tanpa mereka rasakan."

Sebagai reformasi orientasi pendidikan sains, khusus untuk dunia Islam, maka Ismail

Roji al Faruqi beserta kawan-kawannya di IIIT mencoba mencipta kilas balik dalam

bentuk Proyek Islamisasi Pengetahuan yang dimulai dari pembenahaan dan penataan

kembali pola berfikir ummat Islam. Reorientasi pendidikan sains dirasa sangat perlu

mengingat sains merupakan salah satu perangkat terpenting untuk maju dan bangkit.

Tentang Visi Pendidikan Islam

Pendidikan ibarat sebuah rahim yang didalamnya terdapat gen-gen dengan komposisi

yang rapi dan dengan segala benih-benih kapabilitas yang ada. Ia juga merupakan sebuah

iklim yang memenuhi syarat untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan segala

potensi dan kapabilitas yang diperlukan oleh masyarakat yang terpendam pada setiap

individu. Maka dari itu perlu adanya usaha penggalian potensi, pengarahan (orientasi)

dan perencanaan yang baik. Dikarenakan masih terlalu banyak pos-pos yang kosong yang

sangat membutuhkan sebuah profesionalisme (spesialisasi kerja). Dan agaknya memang

disini kelemahan kita, kurang berani mengeksploitasi sumber daya, kemudian

mengarahkannya kebidang dunia spesialisasi. Kemudian perlu diyakini bahwa proses

pendidikan adalah kerja kombinasi, tidak bisa berdiri sendiri. Tidak mungkin ada orang

yang berbicara tentang pendidikan tanpa memiliki kecakapan yang cukup dalam bidang

agama, sirah (sejarah hidup Nabi Saw) dan sejarah Islam. Karena pada hakekatnya ia

Page 3: pendidikan

merupakan sebuah konfigurasi dari berbagai spesialisasi dan dari rahimnya akan terlahir

produk pendidikan. Tanpa adanya faktor-faktor ini tidak mungkin akan terjadi sebuah

kelahiran, karena 'rahim' pendidikan saat itu sudah masuk fase 'monophause'.(1) Kita juga

terhenyak ketika Amerika, sebagai policy tunggal dunia dan mendahului Uni Soviet

berlayar ke angkasa luar, menemukan sebuah tantangan besar yaitu rusaknya UU

pendidikan dan pengajaran serta mengalami defisit sumber daya manusia (para inovator)

yang kapabel. Maka dibentuklah sebuah komite yang spesifik menangani fenomena

bahaya ini yang mereka sebut dengan "Ummat yang dilanda Krisis." Karena rusaknya

UU yang mengatur pendidikan dan pengajaran. Bahkan Presiden George Bush (dahulu)

dalam setiap kampanye selalu mengatakan bahwa ia akan menjadi tokoh pendidikan dan

pengajaran. Bahkan Robert D Hormats, ahli dan penanggung jawab bidang ekonomi AS,

ketika ditanya tentang problem ekonomi AS yang paling urgen mengatakan: "Bahwa UU

pengajaran belum mendapat perhatian yang cukup," (koran Al Bayan 10/11/1990).

Lebih lagi Prof. Alan Slome, dosen pengajar di Chicago, membeberkan secara gamblang

dalam salah satu bahasan dibukunya yang banyak tersebar dengan tema "Intelektualitas

Bangsa Amerika yang Tumpul," yang pada tahun 1988 banyak meributkan kalangan

civitas akademika AS tentang tertutupnya 'kebebasan' bagi kalangan pendidikan tingkat

tinggi dan gagalnya sekolah serta perguruan tinggi dalam menanamkan pengetahuan

dasar kepada peserta didik, beliau mengatakan:"Lembaga-lembaga pendidikan saat ini

sedang ditimpa penyakit kelesuan berfikir, sehingga akibatnya hanya melahirkan generasi

yang jauh dari karakter sense of civilization (rasa peradaban)."(2)

Page 4: pendidikan

Jadi, pendidikan yang sebenarnya adalah yang mampu mengkoordinasikan segala

keinginan, menggali segala potensi, mengenali kapabilitas dan kecenderungan yang ada,

kemudian membekalinya dengan ketrampilan sehingga mampu berinteraksi dengan

realita yang ada dan ikut bangkit mencapai idealisme dan sasaran-sasaran yang

memungkinkan untuk di capai.(3) Ini merupakan tujuan pendidikan secara umum, adapun

pendidikan Islam sendiri kiranya tidak jauh dari kenyataan pahit semacam itu. Semboyan

bahwa risalah Islam itu abadi dan relevan di setiap waktu dan tempat kiranya perlu

diterjemahkan secara intensif dalam kerja pendidikan dan pengajaran.

Tidak seringnya kita mengulang-ulang semboyan itupun juga tidak akan mengurangi

bahwa Risalah Islam abadi dan selalu relevan. Kondisi pendidikan Islam saat ini yang

kurang mampu mencetak profil yang ideal diantaranya karena kita selalu berdalih dengan

keabadian Risalah (Khulud al Risalah) yang mengesankan tidak ada kilas balik dari

ummat ini. Kemudian juga karena pikiran kita yang mengklaim bahwa sarana-sarana

pendidikan itu harus 'Islami' masih sangat terbatas penafisrannya, dan perlu pengkayaan

kembali maknanya dan pengembangannya hingga mampu menjad 'syuhud al had hari'

dan sesuai dengan sifat khulud al risalah.(4) Karena memang benar adanya bahwa: "Al

bayan minal sama wa al dalil mina al ardh," (penjelasan/juklak itu dari langit, adapun

pembuktian dalam kerja dari bumi).

Kemudian visi pendidikan tentang ilmu pengetahuan juga perlu dievaluasi dan

diperkokoh jika memang telah benar. Sebab ilmu sendiri merupakan sarana yang

mengantarkan manusia untuk membangun sebuah peradaban yang lebih matang.

Bangunan ideal yang diharapkan tegak itu tidak akan eksis kecuali jika subyek

Page 5: pendidikan

pembangunan itu sendiri menempatkan dirinya secara profesional sebagai mana yang

diharapkan Islam dalam memandang sarana tersebut. Yang perlu ditekankan lagi dalam

proses pendidikan Islam bahwa hubungan antara ilmu dan iman adalah hubungan yang

dibina secara dinamis dan bukan dua kutub yang paradoksal. Visi yang keliru tentang

hubungan antara ilmu dan iman memang pernah merebak luas di benua Eropa pada abad-

abad pertengahan. Ketika itu lembaga spiritual gerejani mandul dalam memegang

perannya, berbalik mendukung pemahaman khurafat dan memerangi ilmu pengetahuan.

Selain itu juga menciptakan kondisi yang jumud (ortodox) dan taklid, memborgol

kebebasan berpikir dan berkarya. Mereka bahu-membahu dengan para tuan tanah dan

penguasa menciptakan jurang pemisah antara mereka dan masyarakat marginal.

Semboyan yang mereka agung-agungkan adalah: "Iman dahulu baru ilmu

(berpengetahuan)," atau "Berkeyakinan dengan apa adanya (dalam kondisi buta)," dan

semboyan yang disambung lewat lidah pastur:"Pejamkanlah matamu kemudian ikutilah

aku." (5)

Adagium-adagium seperti ini sangat tidak sejalan dengan semangat Islam yang

mempunyai konsep ilmiah dalam segala aksi-aksi menolak keyakinan (aqidah)

berdasarkan taklid buta, seperti yang telah disitir dalam QS Al Maidah:104. "Cukuplah

untuk kami apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami mengerjakannya," dan QS Al

Ahzab:67:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin dan pembesar

kami," atau perkataan: " Sesungguhnya diriku ini tergantung pada manusia." (6) Dan

masih banyak lagi bantahan-bantahan Al Qur'an tentang hal serupa sebagaimana ia

menolak bahwa tidak cukup bagi seorang muslim hanya berakidah belaka tanpa 'Al Ilmu

& al Yakin,'(lihat QS al Nisa:157). Al Qur'an menempatkan 'al Ilmu al Haq' sebagai

Page 6: pendidikan

penyeru dan petunjuk ke kawasan iman (lihat QS. Al Hajj:54). Ilmu yang benar akan

diikuti proses selanjutnya dengan iman, kemudian ia akan diikuti gerak hati (wujdan)

dengan tunduk dan khusyuk kepada Dzat Yang Maha Tinggi. Ilmu merupakan dalil amal,

sebagaimana ia juga dalil iman. Imam Bukhari juga turut meletakkan konsep dasar

keilmuan dalam bukunya "Al Jami al Shohih" beliau mengatakan,"Ilmu ibarat pintu,

sebelum berucap dan beramal." (7) Dalam arti kecepatan kata dan tindakan seyogyanya

tidak melebihi kualitas dan kuantitas keilmuan seseorang, sehingga tidak terbentuk profil

split personality (kepribadian yang terpecah-pecah). Bahkan menurut Ibnu al Munir jika

muatan kata dan tindakan lebih berat ketimbang muatan ilmu maka ia dianggap sebagai

kepribadian yang tak bernilai. Dalam konsep Imam Bukhari dapat ditarik kesan bahwa

kekuatan ilmu apapun tidak akan memberikan keuntungan yang berarti pada jajaran

kemanusiaan jika tidak menyeberangi jembatan amal dan ini merupakan Islam

mainstream, sekaligus sebagai warning bagi mereka yang mengabaikan urgensinya posisi

ilmu dan menganggap remeh dalam proses pencariannya. (8)

Dan kondisi ummat akan lebih terpuruk jika kawasan rasionalitas atau intelektualitasnya

di bawah kendali ideologi-ideologi yang bertolak belakang dengan proyek rekonstruksi

'Insaniyatul-insan. Apalagi daerah-daerah yang menyentuh lapisan aqidah. Sebab daerah

tersebutlah yang menuntun manusia dalam memandang wujud, kehidupan, tindakan

manusia, situasi dan kondisi sekitar, nilai/norma, etika, adat-istiadat dan dan semua

substansi yang ada korelasinya dengan kejiwaan manusia dan pola hidupnya. (9)

Maka dengan demikian pendidikan masyarakat (makro) tidak akan berhasil jika tidak

diperhatikan sarana efektif dan intensif pendidikan mikronya (keluarga dan individu).

Page 7: pendidikan

Dan proses kematangan sosial akan lebih terhambat jika muncul, berkembang dan

dipelihara sikap otoritas pendidikan sosial oleh penguasa yang diktator. Dan benar apa

yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw; "Pemimpin kalian adalah cerminan dari

kepribadian kalian." Jadi, penguasa dan pemimpin tidak lain hanyalah barang warisan

sebuah masyarakat (komunitas): pola pikirnya, iklim pendidikannya dan pengetahuannya.

Dengan demikian, berarti hubungan antara individu dan jama 'ah (masyarakat) dalam

proses pendidikan dan pengajaran dimungkinkan sekali keduanya dalam satu waktu

menjadi premis dan outcome. Sebab kenabian, misalnya, tidak lain hanyalah gerakan

individu-individu yang merubah wajah masyarakat dan lingkungan. Akan tetapi yang

menjadi catatan penting bahwa gerakan pembaha ruan tidak mungkin berhasil tanpa

adanya pembinaan group (educational group). Maka semakin solid perkataan yang

berbunyi "Manusia tergantung kepada ideologi penguasanya." Betapa banyak tindakan

tirani seorang penguasa menular kepada rakyatnya, mematikan ruh rakyat disebabkan

bercokolnya faham Fir'aunisme pada diri penguasa. (11)

Penguasa juga, dilain faktor, yang menentukan jarak imaginasi pada kepribadian rakyat

antara dunia dan akhirat. Sebab siapa yang mengerahkan suatu negara beraliran sekuler,

atheis, kapitalis, sosialis atau gado-gado, siapa lagi kalau bukan penguasa?

Tentang Referensi Pendidikan Islam

Kalau poros pendidikan (central reference) hanya terpaku pada kemampuan manusia,

sementara kekuatan manusia --baik lahir maupun batin-- nisbi kemana lagi akan

disandarkan? Disinilah perlu merujuk kepada konsep penyatuan antara kekuatan 'bayan

Page 8: pendidikan

samawi' dengan 'dalil ardhi', atau kekuatan 'al fikru' dengan sumber 'al dzikru' (Allah

Swt). Hal tersebut sangat urgen dikarenakan beberapa alasan (12):

1. Agar tidak terjerumus kepada substansi-substansi yang lemah dan mengancam

tegaknya nilai-nilai 'insaniyatul-insan', dikarenakan keterbatasan pemahaman kita.

Rasulullah Saw mengingatkan agar kita: "Tidak menghancurkan Ka'bah kemudian

membangunnya." Padahal kaum Quraisy saat itu menginginkan agar ka'bah dihancurkan

kemudian dibangun oleh mereka, agar mereka bisa berkata bahwa hanya mereka yang

membangun ka'bah. Menurut Imam Bukhari hadits-hadits menerjemahkan hadits ini

dengan suatu bab yaitu "Bab orang yang meninggalkan sebagian pilihan karena khawatir

akan terbatasnya pemahaman sebagian manusia tentang hal itu, sehingga mereka akan

terjerumus pada realita yang lebih membahayakan."

2. Agar tidak terjadi fenomena pemubadziran ilmu. Karena setiap disiplin suatu ilmu ada

pintu masuknya (ujungnya) dan ada pintu keluarnya ( ekornya). Ini sejalan dengan

konsep Imam Mawardi yang mengatakan: "Ketahuilah bahwa setiap ilmu ada

permulaannya (preambule) yang mengantrakan ke hulu suatu ilmu dan pengantarnya

yang menunjukkan pada hakekatnya. Maka hendaklah mereka yang mencari ilmu

memulai studinya dari permulaan agar sampai pada akhir. Dan mulai dari pengantar suatu

ilmu agar sampai pada hakikatnya. Janganlah mencari 'akhir' sebelum 'permulaan.' Begitu

juga mencari hakikat sebelum pengantarnya, sehingga 'akhir' tidak tercapai begitu juga

hakikatnya. Karena sesungguhnya bangunan tanpa fondasi tidak akan tegak berdiri. Dan

mengharapkan buah tanpa menanam tidak akan menuainya.

Page 9: pendidikan

3. Agar ilmu tersebut tidak membuat peserta didik semakin menjauh dan menjaga jarak

dengannya, dikarenakan kita tidak menimbang kekuatan rasio mereka.(14) Karena si

pencari ilmu jika menjumpai suatu masalah yang tidak ia kuasai akan mengakibatkan

kerusakan keseimbangan (equibilirium), atau bahkan membuatnya tersesat di tengah

hutan belantara tidak mengetahui dimana ada jalan selamat.

4. Tidak terjebak pada gaya berpikir 'wah'. Karena jika para pemula yang telah menyerap

beberapa informasi ilmu pengetahuan kemudian tidak divisualisasikan dalam amal, akan

membuatnya terjebak menjadi tukang menjual teori. Mungkin seperti filosof yang

menolak konsekuensi iman.

5. Agar kita selamat dari tindak kesalahan. Karena, "Jika setiap orang menceritakan

segala hal yang ia dengar maka akan ditemukan banyak salahnya, sehingga ia kaan

ditinggalkan oleh manusia dan tidak dijadikan sandaran perkataannya." (15)

6. Untuk menghindari adanya tindakan mengada-ada dalam agama (al Ibtida' fi al din).

Seperti berbicara kepada kaum awam yang tidak bisa dipahami dan tidak rasional. Hal itu

sering disebabkan karena seseorang tidak menapaki tangga-tangga ilmiah di masa

pencariannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syatibi dalam bukunya Al

I'tisham, sehingga orang tersebut dijauhkan pribadinya dari kata-kata hikmah, bahkan

kemungkinan besar menjadi fitnah.

7. Menjaga agar para penuntut ilmu tidak mencapai titik jenuh sehingga mereka lari

meninggalkan sumber ilmu, sekaligus hal tersebut akan mengurangi kharisma seseorang.

Luqman al Hakim mengabstraksikan kondisi ini dengan berkata,"Sesungguhnya orang

Page 10: pendidikan

yang alim dan bijak ia akan mengajak manusia kepada ilmunya dengan diam dan

merendah diri, sedang orang yang alim tapi pandir ia akan menjauhkan manusia dari

ilmunya dengan memperbanyak igauan dan pembicaraan yang tidak jelas arahnya."

8. Menghindari ketidak-seimbangan antara aktivitas ilmu dan aktivitas amal (praktek).

Pengalaman para alim yang bijak menunjukkan ketidak-senangan (makruh) mereka jika

terjadi ketidakseimbangan antara logika (manthiq) dan rasio (akal). Sebagaimana yang

dituturkan oleh Sulaiman Ibnu Abdul Malik,"Kelebihan bobot logika atas rasio adalah

penipuan. Dan kelebihan bobot rasio atas logika adalah aib." Bahkan Ahnaf bin Qais

mengatakan, "Kematian seseorang tersembunyi di bawah lidahnya."

Sudah sejauh itu Islam telah mengantisipasi 'fitnah' yang akan terjadi jika muncul

fenomena yang tidak sejalan dengan semangat Islam. Langkah-langkah antisipasi itu

merupakan bingkisan Islam terhadap dunia pendidikan sehingga usaha menciptakan

pendidikan yang 'Rabbani-Oriented' (Rabbaniyat al Taklim). Hal tersebut bertujuan

mengembalikan posisi ilmu pengetahuan secara proporsional dengan menyatukan unsur-

unsur dalam (fitrah) manusia ; ruh, akal dan jiwa. Al Qur'an telah memberikan sinyal-

sinyal positif bagi para cendekiawan yang berjuang dalam pengembaraan ilmu agar tidak

masuk dalam kategori ilmuwan (experts) yang hanya tahu dan peduli terhadap fenomena

keduniaan dengan mendeskreditkan permasalahan metafisik (akhirat/ghaib). (lih. QS al

Rum:7). Diharapkan juga mampu menempatkan diri pada posisi yang ideal yang mampu

menyatukan antara kekuatan fikir dan dzikir. Atau menyatukan proses natural (ilmi)

dengan supernatural (metafisik). Imam Syafi'i sendiri dalam kisah perjalanan ilmiahnya

membagi kehidupannya sehari-hari menjadi tiga bagian ; sepertiga untuk aktivitas

Page 11: pendidikan

keilmuwan, sepertiga untuk ibadah (dengan cakupannya yang universal) dan sepertiga

untuk istirahat. Bahkan Al Rabi' menuturkan bahwa Imam Syafi'i sendiri --rahimullah--

menamatkan bacaan Al Qur'annya pada bulan ramadhan sebanyak 60 kali, semuanya

pada waktu shalat (16), padahal begitu deras dan tajam ujung pena beliau dalam

menghasilkan karya-karya yang monumental dan dijadikan pedoman dalam rujukan oleh

semua ulama di dunia Islam.

Kearah Strategi Pengembangan

Keabadian risalah dan penutup kenabian (Khatm al Nubuwah) merupakan jaminan

samawi yang memerlukan jaminan ardhi (tindak nyata dari bumi). Maka perputaran roda

peradaban tetap berjalan sesuai dengan sunnahnya, meskipun ummat ini mempunyai

jaminan samawi bahwa mereka akan memimpin peradaban. Tapi bukankah hal itu juga

dengan prasyarat 'in kuntum mukminin?' (penterjemahan nilai-nilai iman dalam segala

aspeknya). Aspek kausalitas inilah yang sering dipendam dalam-dalam oleh kita, sambil

berbangga bahwa kita mempunyai 'guarantee' dari langit. Dengan demikian pada

hakikatnya kitalah yang mempunyai tanggung jawab mengemban konsep nubuwwah (al

risalah) dengan segala jaminan yang ada.

Diantara jaminan samawi yang disambung lewat lidah Rasulullah Saw, sebagai stimulus

umat ini untuk selalu mengupayakan aktivitas peradaban dan mencapai sebuah kemajuan

dan kebangkitan adalah perkataan beliau,"Ummatku tidak berkumpul dalam hal

kesesatan." Ia merupakan jaminan tekstual dan praktekal bahwa ummat ini memiliki

kemampuan untuk bangkit dan maju. Ini bukan berarti tanpa hambatan dan tantangan.

Diantara tantangan yang menjadi penyakit dalam tubuh ummat ini adalah lesunya

Page 12: pendidikan

instansi-instansi pendidikan untuk menciptakan kantong-kantong pergerakan ummat saat

ini yang sehat dan lemahnya instansi-instansi konvensional untuk membaca setengah

bagian lagi dari dimensi kehidupan ini, seperti dimensi ilmu-ilmu kemanusiaan dan

kemampuan untuk membaca sunnah-sunnah sosial yang terbentang luas dalam kejiwaan

manusia dan alam ini. Dua kelesuan ini; lesunya memahami wacana alam ( kitab al kaun)

dan sosial (al ijtima' al basyari), mempunyai kilas balik terhadap kemampuan membaca al

kitab dan al sunnah yang rendah. Inilah yang barangkali membuat perputaran roda ummat

ini diluar orbit peradaban dunia saat ini. Dus,ditambah dengan kesalah-pahaman ummat

ini terhadap konsep fiqih tentang fardhu kifayah. Penafsiran fardhu kifayah yang telah

beredar di kalangan kita adalah 'kalau ada sebagian ummat (orang) yang

melaksanakannya maka terlepaslah dosa bagi mereka yang tidak melaksanakan nya,'

padahal yang dimaksud dengan 'qama bihi' (melaksanakannya) adalah melaksanakan

suatu perintah dengan profesional (sempurna) hingga mencukupi prosentase sosial

(kebutuhan sosial) bukan hanya sekedar melaksanakan. (17) Ini diantara hal yang

menjadi evaluasi bagi para perancang kurikulum pendidikan yang berprinsip asal jadi.

Dengan demikian, dunia pendidikan Islam sangat membutuhkan langkah-langkah

strategis untuk menyambut kebangkitan sains dan teknologi di abad ini. Diantara strategi

itu (18):

1. Diperlukan kode etik dalam bidang pemikiran Islam dan penge tahuan Islam yang

disandarkan pada konsep-konsep Al Qur'an. Dan dipahami dengan bahasa Arab

sebagaimana Rasulullah Saw dan generasi Islam pertama. Poin ini sangat urgen untuk

mengantarkan kaum muslimin unutk mencapai produk-produk teknologi yang pernah

dicapainya pada abad pertengahan. Ini bukan berarti kita ingin bernostalgia dengan

Page 13: pendidikan

kejayaan kita saat itu. Akan tetapi yang kita inginkan adalah metode pemikiran Islam

yang orisinil. Tujuannya untuk menghindari pola pikir yang tunggal material-oriented

dalam menyikapi gejolak sains dan teknologi. Konsekuensinya, menuntut

dicantumkannya materi ilmu-ilmu alam, hitung dan teknologi menurut visi Islam dalam

kurikulum pendidikan Islam konvensional, baik disekolah-sekolah pemula atau

perguruan tinggi dengan menanamkan persepsi bahwa semua adalah ilmu Islam.

Sebaliknya, dalam kurikulum pendidikan ketrampilan praktis (bidang ilmu dan teknologi)

juga tidak bisa menganaktirikan pendidikan ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial visi Islam.

Tujuannya tidak lain untuk menghindari adanya split antara dua metode pengajaran ;

yang bersifat kontemporer (ilmi) dan syar'i.

2. Perlu adanya dukungan dari siyasah syar'iyah (al Daulah). Karena pada hakekatnya

ialah motor utama menuju kebangkitan. Institusi Syariah dan hukum-hukumnya

merupakan syarat yang sangat vital dalam menyongsong kebangkitan ilmu dan teknologi

Islam modern. Dipihak lain menunjukkan bahkan instabilitas politik, chauvisme sosial

dan segala tindakan diktator dan otoriter pen guasa mengakibatkan fenomena 'brain-drain'

(pemerasan kekuatan intelektualitas), disamping juga atau menghancurkan asas-asas dan

basis-basis teknologi dan pemikiran suatu bangsa. Diantara syarat-syarat yang sangat

mendukung ke arah pencapaian kemajuan dan kebangkitan ilmu dan teknologi adalah

memberantas rasa iri dan dengki, menegakkan prinsip egaliter atau prinsip insaniyatul

insan, menciptakan keadilan (termasuk adil di depan hukum) dan membuka kran-kran

kebebasan berpikir dan mengungkapkan pendapat (dalam bidang sosial, politik dan

Page 14: pendidikan

pemikiran Islam). Kecemerlangan karya Ibnu Rusyd tidak menutup kemungkinan karena

didukung oleh kondisi sosial dan politik saat itu.

3. Perlu adanya kerjasama regional dan internasional diantara kaum muslimin, baik

instansi pemerintah atau non-pemerintah. Ini berarti memberi kesempatan semua

kalangan, pemerintah dan sipil, untuk turut berkiprah dalam pengembangan sains dan

teknologi. Akan tetapi semua itu masih tetap dalam bingkai etika Iptek Islam.

4. Perhatian terhadap pengembangan dan penguasaan bahasa Arab juga sangat urgen

untuk mencapai sains dan teknologi Islam. Ia bertujuan agar kaum muslim mampu

menguasai dasar-dasar Islam dengan baik dan benar. Selain itu juga sangat diperlukan

penguasaan bahasa dunia lainnya demi menjalin hubungan internasional.

5. Perlu adanya perhatian khusus untuk mendirikan pusat-pusat penelitian dan penemuan

ilmiah di dunia Islam yang didalamnya terdapat para ilmuwan muslim yang profesional.

Adanya para pakar muslim dalam pusat-pusat kegiatan tersebut sangat penting karena

merekalah yang akan mengontrol,mengarahkan dan meletakkan petunjuk pelaksanaan

kerjanya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang universal dan sesuai dengan prioritas

kerja yang dibutuhkan. Begitu juga diperlukan adanya tunjangan khusus bagi mereka

yang berbakat dan berprestasi. Semua ini membutuhkan sebuah kepercayaan diri yang

dalam bahwa dunia Islam saat ini sangat membutuhkan Tatanan Dunia Ilmu dan

Peradaban Islam yang baru.

6. Mengharuskan adanya usaha dari pihak khusus untuk mengembalikan para petualang

intelektual dan profesionalis yang lari ke negara-negara industri, baik mereka itu menjadi

Page 15: pendidikan

penduduk setempat atau sekedar imigran. Baik itu muslim atau bukan. Demi memenuhi

kebutuhan keperluan proyek pembangunan, kemajuan dan kebangkitan. Mungkin dengan

menempatkan mereka pada posisi atau jabatan penting dalam negara, atau memberikan

gaji yang sesuai dengan status ilmiahnya.

7. Adanya tanggung jawab khusus yang dipikul diatas pundak ilmuwan dan profesionalis

muslim di dunia Islam manapun. Apalagi dalam kondisi ummat Islam ini yang minim

para ahli sains dan teknologi. Mereka seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk

mengadakan kontak dan tukar pikiran lintas disiplin ilmu. Sejarah Islam mencatat betapa

pentingnya peran para utusan Rasulullah Saw dan khalifah ke seluruh negeri Islam saat

itu.

Catatan kaki

1. Umar Abid Hasanah, Murajaat fi al fikri wa al da'wah wa al hadharah, IIIT,Cet I 1991,

hal.53-54.

2. Ibid, Cet I, hal 56

3. Ibid

4. Ibid, Cet I, hal 57

5. Dr. Yusuf Qardhawi, Al Rasul wa al Ilm, Cairo, Dar al Shahwah, hal 13.

Page 16: pendidikan

6. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi: "Janganlah seseorang

diantara kamu menjadi orang yang oportunis yang mengatakan, 'Diriku tergantung pada

manusia,jika mereka baik maka baiklah saya dan jika mereka rusak maka rusaklah saya.'"

7. Lih. Shahih Bukhari, fath al Bari, Cet Al Halaby, Juz I, hal 169.

8. Dr. Yusuf Qardhawy, Op. Cit, hal.17

9. Sayyid Qutb, MA'alim fi al Thariq, Cairo, Daar al Syuruq, Cet XV, 1992, hal 143

10. Ibnu Taimiyah, Al Fatawa: Qital ahli al baghy, vol.35, hal.20

11. Umar Abid Hasanah, Op.Cit.,hal.77

12. Dr. Adil al Syuaikh, Rabbaniya al Ta'lim, Dar al Basyir, Tanta, Cet III, 1999, hal 13-

19.

13. Imam Mawardi, Adab al Dunya wa al din, hal 55

14. lih. Al Ghazali, Ihya ulum al din, Al Manshurah, Dar Fayadh, Vol.1.

15. Lih. Shahih Muslim bi syarh al Nawawy, Cairo, Dar al Hadits, Cet.III,1998, hal.110

16. lih. Al Ghazali, Op.Cit, hal 71

17. Umar Abid Hasanah, Op.Cit, hal 80

18. Dr Sayyid Waqqar al Husain, Al Siyasat al Ilmiah wa al Teknologia 'inda al Muslimin

Durus wa Ibar, 'Amman, Maktabah al Durar, Cet. I, 1998, hal.37-41

Page 17: pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

D Al-Syaibany, Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumy Falsafah Pendidikan Islam,

Jakarta, Bulan Bintang, 1979.

Anshari, Endang Saefuddin, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta: Usaha

Interprise, 1976.

Arifin, Prof. H.M. M.Ed. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) Jakarta: Bumi

Aksara, 2000.

Armas, Adnin, MA, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, dalam Majalah ISLAMIA, Thn. I,

No.6, Juli-September 2005.

Sumber :

http://www.stidnatsir.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67:kajian-

perbandingan-karakteristik-pendidikan-islam-dan-barat&catid=29:problematika-

dawah&Itemid=86.

Page 18: pendidikan

Nama kelompok:

Ach.syarif hidayatullah (02)

Andhika teguh rahmandani (03)

Ragil cahya maulana ( )

Sofiya sari (35)

Yuliandasari (38)