pendekatan terhadap pasien dengan penyakit neurologis
DESCRIPTION
hhhhjTRANSCRIPT
PENDEKATAN TERHADAP PASIEN DENGAN PENYAKIT NEUROLOGIS
Neurologi dikenal sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran yang paling
sulit. Pada awalnya mahasiswa dan residen yang baru mendalami ilmu neurologi
mungkin akan mudah merasa gamang dan takut dengan kompleksitas sistem saraf
saat mereka pertama kali berkontak dengan neuroanatomi, neurofisiologi,
neuropatologi, neurogenetik dan biologi sel. Kebiasaan yang selanjutnya mereka lihat
berupa serangkaian prosedur yang disusun untuk membangkitkan tanda klinis tertentu
pada pasien neurologi sering dirasakan sulit untuk diterima, sementara pada
kenyataannya prosedur tersebut sering membingungkan pemeriksa dalam proses
berpikir untuk menegakkan diagnosis. Lebih lanjut, para mahasiswa juga hanya
memiliki sedikit dan bahkan hampir tidak ada pengalaman sama sekali tentang
berbagai teknik khusus dalam pemeriksaan neurologi−seperti pungsi lumbal,
elektromiografi (EMG), elektroensefalografi (EEG), CTScan, MRI dan pemeriksaan
pencitraan lainnya−dimana mereka juga kurang memiliki kemampuan dalam
menginterperetasikan hasil pemeriksaan tersebut. Buku ajar neurologi hanya
menjelaskan secara detail beberapa hal yang meragukan pada kasus-kasus sistem
saraf yang jarang ditemukan.
Penulis pencaya bahwa kesulitan dalam memahami teori neurologi tersebut
bisa diatasi dengan mempelajari prinsip dasar kedokteran klinis. Suatu hal yang
sangat penting disini adalah mempelajari teknik dan mencukupkan alat yang
digunakan dalam metode klinis. Tanpa apresiasi yang tinggi terhadap metode ini,
maka para mahasiswa akan mengalami kesulitan saat menghadapi suatu masalah
klinis baru, sama halnya dengan ahli pertanian dan ahli kimia yang ingin
menyelesaikan masalah penelitian namun tidak terlebih dahulu memahami langkah-
langka dalam metode ilmiah. Bahkan, seorang neurologis berpengalaman yang
dihadapkan dengan masalah neurologis yang rumit juga akan bergantung pada
pendekatan dasar kedokteran klinis ini.
1
Metode klinis dianggap lebih memiliki arti penting dalam mempelajari
penyakit neurologis dibandingkan dengan ilmu kedokteran lainnya. Pada sebagian
besar kasus, metode klinis memiliki beberapa langkah sebagai berikut :
1. Tanda dan gejala didapatkan pelalui anamnesis riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik.
2. Gejala dan tanda fisik yang dianggap berhubungan dengan masalah tertentu
diinterpretasikan secara fisiologis dan anatomis− untuk menggambarkan
ganguan fungsi dan struktur anatomi menggambarkan gangguan struktur yang
dikenai.
3. Dengan analisis ini, para klinisi bisa menentukan lokasi terjadinya proses
penyakit, misalnya menentukan bagian dari sistem saraf yang terkena.
Langkah ini dinamakan diagnosis anatomis atau topografik. Kumpulan tanda
dan gejala yang khas sering dikelompokkan menjadi sindrom anatomis,
fisiologis maupun temporal. Perpaduan tanda dan gejala ini dalam satu
kesatuan akan sangat membantu untuk mengetahui proses perjalanan alamiah
peyakit. Langkah ini disebut diagnosis sindrom dan sering dihubungkan
secara pararel dengan diagnosis anatomi.
4. Dari diagnosis anatomi dan data medis lainnya−terutama mengenai cara dan
lama onset, perkembangan penyakit, keterlibatan sistem organ nonneurologis,
riwayat penyakit dahulu dan riwayat keluarga yang berhubungan serta hasil
pemeriksaan laboratorium−akan didapatkan dignosis patologik, dan ketika
mekanisme serta penyebab penyakit telah dapat ditentukan, maka diagnosis
etiologi juga dapat ditegakkan. Hal ini bisa mencakup etiologi secara genetik
dan molekuler, yang jumlahnya bisa meningkat tajam jika sudah dilakukan
serangkaian pemeriksaan khusus. Klinisi ahli sering berhasil menegakkan
diagnosis sementara yang tepat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
baik yang mempertajam diagnosis ataupun untuk menyingkirkan penyakit
khas lainnya. Dalam prakteknya diperlukan proses berpikir yang fleksibel
untuk menghindari terperangkap dalam keterangan yang salah dan secara
2
selektif mengeluarkankan data yang meragukan. Informasi yang diperoleh
dari pemeriksaan neurologis sesuai dengan proses kerja sistem saraf.
5. Akhirnya, para klinisi harus menentukan tingkat disabilitas dan memutuskan
apakah kelainannya bersifat temporer atau permanen (diagnosis fungsional)
karena hal ini penting dalam manajemen pasien dan menentukan potensi
pemulihan fungsi.
Semua langkah ini dilakukan untuk mendapatkan terapi efektif, yang
merupakan suatu harapan yang sedang berkembang dalam neurologi. Seperti telah
ditekankan berulang-ulang pada bagian berikut ini, selalu ada proses diagnosis
premium dalam menemukan penyakit yang bisa diobati, bahkan jika pengobatan
khusus tidak tersedia, diagnosis yang akurat pun dapat menjadi terapi, karena
ketidakjelasan penyebab dari suatu penyakit saraf akan lebih menjadi masalah bagi
pasien dibandingkan dengan penyakitnya itu sendiri.
Gambar 1-1 tentang diagram prosedur pemecahan masalah klinis berupa
serangkaian langkah berurutan yang sederhana yang kemudian disimpulkan menjadi
diagnosis penyakit saraf. Pendekatan skematik ini, yang memungkinkan penentuan
3
lokasi pasti dan bahkan diagnosis yang tepat, merupakan satu dari daya tarik
intelektual dalam bidang neurologi.
Solusi untuk masalah klinis tentu saja tidak selalu perlu skematisasi dengan
cara ini. Terdapat berbagai variasi yang luas dalam hal urutan dan tata cara metode
klinis untuk mengumpulkan informasi dan menginterpretasikannya. Kenyataannya
pada beberapa kasus, tidak perlu selalu mengikuti pola formal. Dalam hubungannya
dengan diagnosis sindromik yang tersebut di atas, sekali muncul biasanya gambaran
penyakit tersebut akan sangat khas, misalnya pada penyakit Parkinson. Pada kasus
lain, tidak perlu melakukan analisis klinis melebihi tingkat diagnosis anatomis,
dimana hal itu sebenarnya mungkin mengindikasikan penyebab penyakit. Contohnya
ketika vertigo, ataksia serebellar, sindrom Horner unilateral, paralisis pita suara, dan
analgesia wajah pada onset akut, digabung dengan hilangnya rasa nyeri dan sensasi
suhu pada lengan, batang badan dan tungkai sisi yang berlawanan, maka
penyebabnya adalah suatu oklusi arteri vertebralis, karena semua struktur yang
terlibat terletak pada medulla lateralis, yang merupakan daerah dari arteri ini. Jadi
diagnosis anatomis menentukan dan membatasi kemungkinan etiologi. Bila tanda-
tanda klinis mengarahkan pada penyakit saraf perifer, biasanya tidak perlu
memikirkan penyebab penyakit pada medulla spinalis. Terdapat beberapa tanda
spesifik, misalnya opsoklonus untuk degenerasi paraneoplastik serebelar dan pupil
Argill Robertson untuk neurosifilitik atau neuropati okulomotor diabetik. Meskipun
demikian, tetap hati-hati untuk menyebut suatu tanda sebagai patognomonik ditengah
tanda-tanda pengecualian yang didapatkan.
Klinisi berpengalaman terbiasa mengelompokkan setiap kasus dalam
sekumpulan gejala khas, atau disebut sindrom. Perlu diingat bahwa sindrom bukanlah
suatu bentuk penyakit, tetapi lebih merupakan abstraksi yang disusun klinisi untuk
mempermudah mendapatkan diagnosis. Contohnya, kompleks gejala konfusi kanan-
kiri, ketidakmampuan menulis, berhitung dan mengenali jari-jari sendiri, yang sering
disebut sebagai sindrom Gerstmann, penemuan yang demikian menentukan lokus
4
anatomis penyakit (regio girus angularis kiri), dan pada saat yang sama membatasi
faktor-faktor etiologi yang mungkin.
Pada analisis awal dari suatu kelainan neurologis, penentuan lokasi anatomis
lebih diutamakan daripada diagnosis etiologi. Untuk mencari penyebab penyakit
sistem saraf tanpa lebih dahulu memastikan bagian atau struktur mana yang
dipengaruhi akan analog dengan mencari diagnosis etiologi tanpa mengetahui apakah
penyakit tersebut melibatkan paru-paru, perut ataupun ginjal pada bagian ilmu
penyakit dalam. Memastikan penyebab suatu sindrom klinis (diagnosis etiologi)
memerlukan pengetahuan yang menyeluruh. Disini perlu adanya pengetahuan klinis
yang rinci, termasuk onset, perjalanan penyakit, dan riwayat alamiah dari beragam
penyakit. Fakta-fakta ini disusun dan disajikan pada bab-bab berikutnya. Ketika
dihadapkan pada sekumpulan tanda-tanda klinis yang tidak memiliki analisis
sederhana atau berurutan, terpaksa mengingat pembagian klasik yang luas dari
penyakit dalam berbagai cabang ilmu kedokteran, seperti dirangkum pada tabel 1-1.
5
Terlepas dari proses berpikir yang digunakan dalam memecahkan suatu
masalah klinis tertentu, langkah dasar dalam menegakkan diagnosis selalu mencakup
bagaimana mendapatkan gejala dan tanda klinis yang akurat, serta interpretasi yang
benar berkenaan dengan kerusakan fungsi sistem saraf. Sering ditemukan bahwa saat
terdapat ketidakpastian atau ketidaksepakatan terhadap diagnosis, diketahui ternyata
penyebabnya adalah kesalahan dalam menginterpretasikan gejala dan tanda klinis.
Jadi, apabila keluhan pusing lebih diidentifikasi sebagai vertigo daripada nyeri kepala
ringan atau serangan epilepsi parsial kontinua disalahartikan sebagai gangguan
ekstrapiramidal seperti halnya tremor atau koreoatetosis, maka arah pemeriksaan
klinis akan salah dari awal.
PREVALENSI DAN INSIDEN PENYAKIT NEUROLOGIS
Tabel 1-2 menampilkan estimasi prevalensi rata-rata penyakit neurologis di
Amerika Serikat yang diambil dari berbagai sumber, termasuk NIH, guna
memperluas perspektif klinisi mengenai frekuensi penyakit neurologis. Donaghy dkk
telah membuat daftar yang serupa namun dalam cakupan yang lebih luas dari insiden
berbagai penyakit neurologis yang sering ditemukan oleh dokter umum di Inggris.
Mereka mencatat stroke sebagai penyakit yang paling banyak ditemukan, diikuti
dengan berbagai penyakit neurologis lain seperti terlihat pada tabel 1-3. Survei yang
lebih mendalam, seperti yang dilakukan oleh Hirst dkk, memberikan gambaran angka
prevalensi yang sama, dimana migrain, epilepsi dan sklerosis multipel sebagai
penyakit yang paling sering ditemukan pada populasi umum (121.7,1 dan 0,9 per
1000 penduduk pertahun); stroke,cedera kepala dan cedera medulla spinalis terjadi
sebanyak 183,101 dan 4,5 per 100.000 penduduk pertahun; alzhimer, parkinson dan
sklerosis lateral amiotropik (ALS) di antara para lansia sebanyak 67, 9.5 dan 1.6 per
100,000 pertahun. Data-data ini cukup membantu dalam mendorong sumber daya
masyarakat untuk mengobati berbagai kondisi tersebut, namun agak kurang
membantu para klinisi dalam menegakkan diagnosis Diperlukan prioritas hal mana
6
yang lebih mungkin untuk menjadi diagnosis, kecuali jika mereka selalu berpegang
pada diktum tak tertulis “keadaan biasa yang lazim terjadi”.
7
MELAKUKAN ANAMNESIS
Dalam ilmu neurologi, klinisi lebih tergantung kepada kerjasama pasien untuk
mendapatkan riwayat penyakit yang reliable melebihi bidang spesialisasi lain,
terutama mengenai gambaran gejala yang tidak disertai dengan tanda pemeriksaan
fisik yang jelas. Jika gejalanya berupa gangguan sensorik, maka hanya pasienlah yang
dapat mengatakan apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Sebagai langkah awal
dalam pemeriksaan klinis adalah mendapatkan kepercayaan dan kerjasama pasien
serta menekankan pentingnya anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Sangat dianjurkan untuk selalu membuat catatan di bangsal atau ruangan.
Keluhan pasien sebaiknya langsung dicatat karena hal ini menjamin reliabilitas
maksimal, namun seberapa reliabel pun riwayat penyakit tersebut, tetap diperlukan
verifikasi cerita passion dengan pihak lain yang objektif dan banyak mengetahui
kondisi pasien.
8
Beberapa hal di bawah ini yang patut diketahui dalam melakukan anamnesis
neurologi:
1. Kita harus memberikan perhatian khusus supaya tidak mengarahkan secara
subjektif dalam menganamnesis keluhan pasien. Sering terjadi kesalahan dan
inkonsistensi dari pencatatan riwayat penyakit, baik kesalahan dari dokter
maupun keterangan yang salah dari pasien. Kita perlu mencegah pasien agar
tidak merangkai keluhan sesuai dengan penyakit yang pernah didengarnya,
disisi lain pasien harus didorong untuk memberikan deskripsi gejala seakurat
mungkin, misalnya diminta memilih kata yang sederhana dan paling tepat
untuk mendeskripsikan rasa nyeri dan menggambarkan secara tepat apa yang
ia maksud dengan keadaan tertentu seperti dizziness, imbalansi atau vertigo.
Ppasien yang memberikan keterangan yang berbelit-belit dapat diatasi dengan
memberikan pertanyaan langsung mengenai keluhannya.
2. Keadaaan dimana terjadinya penyakit, onset dan perjalanan penyakit
merupakan hal yang sangat penting. Kita harus mempelajari bagaimana setiap
gejala muncul dan berkembang. Jika informasi di atas tidak bisa didapatkan
dari pasien maupun keluarganya, maka perlu untuk melihat perjalan penyakit
dari apa yang bisa dilakukan pasien pada waktu yang berbeda (seperti berapa
jauh dia bisa berjalan, kapan tidak bisa lagi menaiki tangga atau melakukan
pekerjaan seperti biasa) atau perubahan temuan klinis dari pemeriksaan yang
berulang-ulang.
3. Karena penyakit neurologis sering menimbulkan gangguan fungsi mental,
maka penting bagi seorang dokter untuk memutuskan pasien dengan penyakit
neurologis mana yang dapat dipercaya dalam memberikan keterangan tentang
penyakitnya. Jika kemampuan atensi, memori dan berfikir koheren pasien
tidak adekuat maka riwayat penyakit harus didapatkan dari istri atau suami,
kerabat dan teman. Juga pada penyakit yang ditandai dengan kejang atau
konfusi episodik, akan menghilangkan atau mengurangi ingatan pasien
tentang hal yang terjadi selama episode itu. Secara umum dokter sering
9
ceroboh dalam menentukan status mental pasien. Berbagai usaha dilakukan
untuk mendapatkan riwayat penyakit pada pasien yang mengalami gangguan
kognitif atau yang merasa bingung kenapa mereka berobat ke dokter.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan neurologis diawali dengan mengobservasi pasien sementara ia
dianamnesis. Cara pasien menceritakan riwayat penyakitnya mungkin saja
membingungkan, terdapat pola piker yang inkoheren, ingatan atau pendapat yang
salah, maupun kesulitan dalam memahami atau mengungkapkan suatu maksud.
Dokter sebaiknya mempelajari bagaimana cara untuk mendapatkan informasi tersebut
tanpa membuat pasien merasa malu. Kesalahan yang biasa terjadi adalah
terlampaunya batas inkonsistensi dalam cerita serta ketidaktepatan dalam hal waktu
dan gejala, yang akhirnya sering ditemukan bahwa hal yang terlewatkan itulah
sebenarnya yang merupakan bagian terpenting dari penyakit pasien. Menyuruh pasien
untuk menginterpretasikan sendiri suatu gejala terkadang dapat menimbulkan
pemahaman yang keliru pada pasien, membuat kecemasan, kecurigaan, atau bahkan
pemikiran yang delusional. Dokter muda dan mahasiswa juga memiliki
kecenderungan untuk menganggap normal keadaan pasien, sering salah presepsi
dengan mengikuti harapan keluarga bahwa sebenarnya tidak ada masalah yang nyata.
Usaha menunjukkan simpati yang demikian itu tidak akan ada gunanya untuk pasien,
malah dapat memperlambat diagnosis penyakit yang memiliki harapan untuk
disembuhkan.
Selanjutnya satu hal yang menjadi hasil dari pemeriksaan nervus kranial,
leher dan pemeriksaan motorik tungkai, reflek, dan fungsi sensorik tungkai atas dan
bawah. Hal ini dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi spingter dan sistem saraf
otonom serta tes untuk iritasi meningen dengan memeriksa kelemahan pada leher dan
tulang belakang. Cara berjalan dan posisi berdiri sebaiknya diobservasi sebelum dan
sesudah pemeriksaan.
10
Pada saat ditemukan sesuatu yang abnormal, baik kognitif, motorik, ataupun
sensorik penting untuk menganalisis masalah tersebut secara yang lebih terperinci.
Pemeriksaan secara luas yang lebih rinci selanjutnya akan dibahas pada bab lain
(motorik: bab 3, 4, dan 5; sensorik : bab 8 dan 9; fungsi kofnitif dan kelainan
berbahasa: bab 22 dan 23).
Pemeriksaan neurologis sebaiknya dilakukan dan dicatat dengan cara yang
relatif seragam dengan tujuan untuk menghindari adanya hal yang tidak tercantum
dan untuk memudahkan analisis berikutnya dari suatu catatan kasus. Beberapa variasi
urutan pemeriksaan antara dokter yang satu dengan dokter yang lain biasanya masih
dapat dimengerti, namun setiap pemeriksa sebaiknya membentuk suatu pola yang
lazim. Meskipun ada kalanya tidak dapat dilakukan pemeriksaan dalam cara yang
biasa, seperti pada pasien yang tidak kooperatif dikarenakan usianya ataupun karena
adanya defisiensi kognitif, tetap perlu dicatat semua hasil pemeriksaan tersebut sesuai
urutan. Jika ada bagian pemeriksaan tertentu yang tidak dilakukan (misalnya tes
penciuman pada pasien yang sama sekali tidak kooperatif), kekurangan ini sebaiknya
tetap dicantumkan, sehingga siapapun yang pada waktu berikutnya membaca
keterangannya tidak akan ragu apakah suatu kelainan tidak terdeteksi sebelumnya.
Ketelitian pemeriksaan neurologis yang diperlukan harus disesuaikan dengan
gejala klinis yang ditunjukkan pasien. Menghabiskan waktu setengah jam atau lebih
untuk memeriksa fungsi serebral, serebelar, saraf kranial dan sensorimotorik pada
pasien yang sedang membutuhkan pengobatan untuk suatu kelumpuhan nervus
ulnaris akibat kompresi ringan merupakan hal yang tidak perlu dan sia-sia.
Pemeriksaan juga harus disesuaikan dengan keadaan pasien. Pada kenyataannya,
banyak bagian pemeriksaan yang tidak dapat dilakukan pada pasien koma, bayi dan
anak kecil serta pasien dengan penyakit kejiwaan, harus dilakukan pemeriksaan
secara khusus.
Bagian tertentu dari pemeriksaan fisik umum yang mungkin memberikan
informasi penting pada pasien dengan penyakit neurologis, sebaiknya dimasukkan.
Misalnya pemeriksaan denyut nadi, tekanan darah, serta auskultasi karotis dan
kardiak, merupakan hal yang penting pada pasien stroke. Demikian juga halnya kulit,
11
dapat pula memberikan gambaran berbagai kondisi yang berhubungan dengan
penyebab kongenital, metabolik, dan infeksi dari suatu penyakit saraf.
PEMERIKSAAN PASIEN DENGAN GEJALA NEUROLOGIS
Banyak panduan untuk memeriksa sistem saraf yang telah tersedia (lihat
referensi pada akhir bab ini). Untuk laporan lengkap pada berbagai metode ini,
pembaca diarahkan kepada beberapa skema diagnosis seperti Bickerstaff dan
Spillane, Campbell dan Mayo. Terdapat sangat banyak sekali bentuk pemeriksaan
neurologis yang telah dirumuskan, namun tidak akan dibahas semuanya dalam buku
ini. Beberapa diantaranya akan dibahas lebih rinci pada bab tertentu, sesuai dengan
kelainan neurologis yang dijelaskan, fungsi nervus kranialis, sensorik, dan saraf
otonom. Banyak pemeriksaan yang membingungkan dan juga merupakan
pengulangan dari pemeriksaan yang lebih sederhana, pemeriksaan yang demikian itu
tidak perlu diajarkan kepada mahasiswa neurologi. Untuk melakukan semua
pemeriksaan pada seorang pasien memerlukan memerlukan waktu beberapa jam, dan
sebagian besar contoh kasus menunjukkan bahwa hal itu tidak membuat si pemeriksa
menjadi lebih paham. Yang berbahaya dari semua pemeriksaan klinis adalah lebih
meyakininya sebagai indikator penyakit yang tak terbantahkan daripada sebagai cara
untuk menemukan gangguan fungsi dari sistem saraf. Beberapa pendekatan berikut
ini relatif simpel dan memberikan informasi paling berharga.
TES FUNGSI LUHUR
Fungsi ini diuji secara rinci apabila riwayat penyakit pasien atau tingkah
lakunya selama pemeriksaan umum memberikan cukup alasan untuk mencurigai
adanya beberapa kerusakan. Secara luas disebutkan bahwa pemeriksaan status mental
mempunyai dua komponen utama, meskipun pembagiannya agak dibuat-buat, yaitu
aspek kejiwaan yang menggabungkan afektif, keadaan kejiwaan serta kenormalan
12
proses berpikir dengan isi pikiran; aspek neurologis yang mencakup tingkat
kesadaran, tingkat pemahaman (atensi), bahasa, memori, serta kemapuan visiospasial.
Pertanyaan-pertanyaan pertama kali ditujukan untuk menentukan orientasi
tempat, waktu dan wawasan diri pasien terhadap masalah kesehatannya saat ini.
Keseluruhan dari atensi, kecepatan dalam memberikan respon, kemampuan
memberikan jawaban terhadap pertanyaan sederhana, dan kapasitas usaha mental
yang tahan dan koheren, akan memberikan hasil observasi yang sebenar-benarnya.
Terdapat banyak bedside test terhadap atensi, konsentrasi, memori, dan kejelasan
berpikir pasien, termasuk disini adalah pengulangan angka-angka berurutan maju dan
mundur, pengurangan 3 atau 7 yang berurutan dari 100, dan menyebutkan kembali
tiga buah informasi atau suatu cerita singkat setelah interval waktu 3 menit. Cara
pemeriksaan yang lebih rinci terdapat dalam bab 20-23. Cerita pasien tentang riwayat
penyakit sekarang, tanggal masuk rumah sakit, serta ingatannya hari ke hari tentang
timbulnya penyakit merupakan uji memori yang sangat baik; cerita tentang penyakit
dan pemilihan kata-kata oleh pasien (kosakata) memberikan informasi tentang
kemampuan berbahasanya dan pikiran yang koheren.
Apabila muncul kesan terdapat gangguan bahasa atau bicara, perlu
diperhatikan bagaimana cara pasien berbicara spontan. Sebagai tambahan, sebaiknya
dinilai juga ketepatan membaca, menulis, dan mengeja, melakukan perintah yang
diucapkan, mengulang kata-kata dan ungkapan yang diucapkan pemeriksa, menamai
benda-benda dan bagian-bagian benda, serta memecahkan soal hitungan sederhana.
Kemampuan melakukan tugas yang diperintahkan (praksis) memiliki tingkat
kepentingan yang besar dalam mengevaluasi beberapa aspek dari fungsi kortek.
Membagi dua sebuah garis, menggambar sebuah jam, denah rumah atau peta negara
dan meniru gambar berguna untuk menguji presepsi visuospasial dan diindikasikan
jika dicurigai adanya kelainan serebral.
13
TES NERVUS KRANIALIS
Fungsi nervus kranialis umumnya harus diperiksa secara lebih lengkap pada
pasien yang memiliki gejala neurologis dibandingkan dengan yang tidak memiliki
gejala. Jika dicurigai terdapat lesi pada fossa anterior, maka perlu diperiksa indera
penciuman pada kedua lubang hidung, kemudian perlu ditentukan apakah dapat
membedakan bau busuk atau tidak. Lapangan pandang perlu digambarkan dengan
menggunakan tes konfrontasi, yang pada beberapa kasus dilakukan dengan menguji
kedua mata secara terpisah. Jika ada abnormalitas yang dicurigai, perlu diperiksa
dengan perimeter dan ditemukan skotoma pada layar tangensial, atau untuk lebih
akurat lagi dengan menggunakan perimeter terkomputerisasi. Ukuran pupil serta
reaktivitas terhadap terang, reflek langsung, konsensual dan selama konvergensi,
posisi kelopak mata, dan luas lapangan pandang selanjutnya juga perlu diobservasi.
Sensasi di permukaan wajah diperiksa dengan menggunakan peniti dan
segumpal kapas. Juga, dapat pula`ditentukan ada atau tidaknya reflek kornea,
langsung maupun konsensual. Mimik wajah sebaiknya diobservasi pada saat pasien
berbicara dan tersenyum, karena kelemahan ringan bisa tampak lebih jelas pada
kondisi seperti ini dibandingkan kalau disuruh bergerak sesuai perintah.
Membran pendengaran timpani dan meatus perlu diinspeksi memakai
otoskop. Garputala berfrekuensi tinggi (512 Hz) yang diletakkan di samping telinga
dan di atas mastoid akan menyingkap hilangnya pendengaran dan membedakan
antara tuli telinga tengah (konduktif) dengan tuli saraf. Audiogram dan tes khusus
lain untuk menilai fungsi pendengaran dan keseimbangan diperlukan bila dicurigai
adanya penyakit pada nervus VIII, atau pada organ kokhlea dan ujung labirin (lihat
bab 15). Pita suara harus dilihat dengan instrumen khusus pada kondisi dicurigai
adanya penyakit medula atau nervus vagus, terutama ketika terdapat suara parau.
Elevasi faring secara volunter dan reflek yang didapatkan memiliki arti jika ada
perbedaan pada kedua sisinya; tidak adanya reflek muntah bilateral jarang memiliki
arti penting. Perlu juga dilakukan inspeksi lidah, baik saat dijulurkan maupun saat
14
istirahat, dimana mungkin terlihat adanya atrofi, fasikulasi maupun kelemahan.
Deviasi ringan dari lidah yang dijulurkan sebagai temuan tunggal biasanya dapat
diabaikan, namun deviasi luas menggambarkan gangguan dari nervus hipoglosus dan
otot pada sisi tersebut. Pengucapan kata-kata sebaiknya diperhatikan. Reflek jaw jerk,
reflek snout, reflek bukal dan reflek mengisap sebaiknya diperiksa, khususnya jika
ada keraguan berupa disfagi, disartri, dan disfoni.
TES FUNGSI MOTORIK
Pada penilaian fungsi motorik, perlu tetap diingat bahwa observasi dari
kecepatan dan kekuatan gerak otot, irama dan koordinasi merupakan hal yang paling
informatif dan dianggap berhubungan dengan keadaan reflek tendon. Tes kemampuan
lengan pada posisi supinasi dalam melawan gravitasi memiliki arti luas. Pada keadaan
lengan yang lemah, akan terjadi keletihan pada fase awal yang kemudian segera akan
diikuti dengan posisi melengkung; atau pada saat terdapat lesi kortikospinal, maka
posisi tangan akan kembali lagi ke posisi pronasi yang natural (pronator drift).
Kekuatan otot kaki dapat diperiksa dengan cara yang sama pada pasien dengan posisi
telungkup serta kaki fleksi pada sendi panggul dan lutut, dan mengobservasi
penyimpangan ke bawah dari kaki yang mengalami kelemahan. Pada posisi supinasi
saat istirahat, kelemahan akibat suatu lesi upper motor neuron (UMN) menyebabkan
rotasi eksternal dari panggul.
Jangan menutupi tungkai dengan apapun agar dapat diamati apakah ada
atrofi dan fasikulasi. Abnormalitas dari gerakan, sikap badan dan tremor bisa terlihat
dengan mengobservasi saat istirahat maupun saat bergerak (lihat bab 4, 5 dan 6).
Selanjutnya dilihat bagaimana pasien mempertahankan tangan yang direntangkan
dalam posisi pronasi maupun supinasi; melakukan tugas-tugas ringan, misalnya
secara bergantian menyentuh hidung dan jari si pemeriksa; membuat gerak cepat
bergantian yang mengharuskan aselerasi dan deselerasi mendadak serta perubahan
arah, seperti menepukkan tangan yang satu di atas yang lain sambil bergantian
15
pronasi dan supinasidari telapak tangan; secara cepat menyentuhkan ibu jari ke ujung
kuku; menyelesaikan tugas sederhana seperti memasang dan membuka kancing baju,
atau menggenggam suatu alat. Memperkirakan kekuatan kaki pada pasien yang
terbaring di tempat tidur adalah hal yang kadang-kadang sulit dilakukan karena
mungkin saja akan terlihat sedikit atau tidak ada kelemahan meskipun pasien tersebut
tidak dapat bangkit dari kursi atau dari posisi berlutut bila tanpa bantuan. Secara
bergantian menyentuh jari si pemeriksa dengan menggunakan jari kaki dan lutut yang
berlawanan dengan tumit, serta secara ritmik menyentuh tumit dan lutut merupakan
satu-satunya tes koordinasi yang perlu dilakukan di tempat tidur.
TES`REFLEK
Tes reflek bisep, trisep, supinator radiobrakialis, patella, achiles, kutaneus
abdomen dan plantar memberikan sampel yang cukup untuk aktifitas reflek medulla
spinalis. Untuk mendapatkan reflek tendon memerlukan keadaan otot yang rilek;
dimana reflek yang menurun atau menghilang dapat disebabkan oleh kontraksi
volunter otot-otot lainnya (manuver Jendrassik).
Kita sering kesulitan untuk mendapatkan respon plantaris karena adanya
berbagai respon reflek selain babinski yang dapat dicetuskan dengan merangsang
telapak kaki bagian luar, dari arah tumit menuju mata kaki, antara lain (1) dalam
keadaan normal, reaksi menghindar yang cepat menyebabkan pasien menarik kaki
dan tungkai, (2) gangguan patologik ringan, reflek nosiseptif/proteksi fleksor spinal
(fleksi sendi lutut dan panggul serta dorsofleksi jari kaki, yang merupakan ”tripel
fleksi”). Dorsofleksi dari ibu jari kaki dan plantar fleksi jari-jari yang lainnya
lazimnya dikenal sebagai tanda babinski.(3) reflek genggam plantar dan (4) reaksi
suportif pada bayi. Reflek menghindar dan menarik dapat mengganggu interpretasi
tanda babinski dan hal ini dapat diatasi dengan menggunakan beberapa stimuli
alternatif (seperti meremas betis dan tendon achiles, menjentikkan jari manis kaki,
menggores bagian depan tungkai dari atas ke bawah, mengangkat tungkai dan lain
16
lain) atau dengan menggores telapak kaki pasien. Hilangnya reflek superfisial
abdomen, kremaster, dan reflek lainnya berguna sebagai informasi tambahan untuk
mendeteksi lesi kortikospinal apabila ditemukan pada posisi unilateral.
TES FUNGSI SENSORIK
Oleh karena pemeriksaan ini hanya didapatkan melalui respon subjektif
pasien, maka sangat dibutuhkan pasien yang kooperatif. Karena alasan yang sama,
maka bisa saja terjadi overinterpretasi dan penekanan yang tidak tepat. Biasanya, tes
sensorik dilakukan pada akhir pemeriksaan, jika hasil pemeriksaan ini telah dapat
dipercaya maka jangan dilakukan lebih dari beberapa menit. Setiap tes sebaiknya
diberi penjelasan secara singkat; terlalu banyak menjelaskan secara rinci akan
menyebabkan pasien melaporkan variasi intensitas rangsangan yang tidak bermakna.
Pemeriksaan ini tidak harus dilakukan pada semua permukaan kulit.
Pemeriksaan secara cepat pada muka, leher, lengan, badan, dan tungkai dengan
menggunakan jarum hanya memerlukan waktu beberapa detik. Biasanya pemeriksa
mencari perbedaan sensasi antara kedua sisi badan (lebih baik ditanyakan apakah
rangsangan pada sisi yang berlawanan dirasakan sama, dari pada ditanyakan apakah
ada perbedaan pada kedua sisi), pada tingkat mana sensasi menghilang, daerah
analgesi relatif atau absolute (hilang sensasi nyeri) atau anastesi (hilang sensasi raba).
Selanjutnya diperiksa secara lebih teliti daerah yang mengalami defisit sensorik dan
hasilnya kemudian dipetakan. Disarankan untuk mulai memberikan rangsangan dari
daerah yang sensasinya berkurang ke area yang normal karena hal ini dapat
mempertinggi persepsi dari perbedaan sensasi tersebut.
Sensasi getar dapat diperiksa dengan membandingkan antara ambang rasa
getar pada bagian penonjolan tulang pasien dan pemeriksa. Pemeriksa dianjurkan
untuk menghitung berapa detik waktu yang diperlukan sampai sensasi getar pada
17
maleolus hilang. Jika didapatkan hiperestia (sensasi meningkat), maka hal ini
merupakan tanda kerusakan sensasi superfisial.
Gejala sensorik yang bervariasi menggambarkan bahwa pemeriksaan yang
berbeda bisa memberikan respon yang berbeda pula.
TES CARA BERJALAN DAN BERDIRI
Pemeriksaan fisik dilengkapi dengan penilaian cara pasien berdiri dan
berjalan. Abnormalitas cara berdiri atau berjalan bisa saja merupakan kelainan
neurologis yang paling menonjol atau bahkan satu-satunya yang didapatkan, seperti
halnya pada beberapa kasus tertentu yang disebabkan oleh gangguan serebelar dan
kerusakan lobus frontal; demikian juga gangguan postural dan gerakan adaptasi
otonomik cepat dalam berjalan, dapat menjadi point diagnostik untuk beberapa
penyakit, misalnya Parkinson. Pasien yang berjalan dua-dua atau berjalan
menggunakan sisi samping telapak kakinya, dapat menjadi tanda untuk distonic
posture lengan dan batang badan. Gaya berjalan menyeret atau bertumpu pada satu
tungkai menunjukkan suatu gangguan keseimbangan atau kelemahan, sedangkan
gaya berdiri dengan kaki sejajar dan mata tertutup menunjukkan ketidakseimbangan
yang diakibatkan oleh hilangnya sensasi dalam (tes Romberg).
TES UNTUK PASIEN TANPA GEJALA NEUROLOGIS
Dalam hal ini kecekatan sangat diperlukan, namun setiap langkah
pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti. Seperti yang tertera pada
tebel 1.4, orientasi, wawasan, penilaian dan integritas fungsi bahasa harus diperiksa
dalam menegakkan diagnosis. Berkenaan dengan nervus kranial, ukuran pupil dan
reaksi terhadap cahaya, gerakan bola mata, ketajaman penglihatan dan pendengaran,
gerak otot wajah, palatum dan lidah harus diperiksa. Pemeriksaan lengan untuk
atropi, kelemahan, tremor atau gerakan abnormal, kekuatan genggam dan dorsofleksi
18
pergelangan tangan, menanyakan adanya gangguan sensorik, memeriksa reflek bisep
dan trisep merupakan pemeriksaan rutin pada anggota gerak atas.
Pemeriksaan fisik dasar lainnya adalah inspeksi gerak fleksi dan ekstensi dari
sendi pergelangan kaki, jari, lutut dan paha; reflek patella, reflek Achilles, reflek
plantar; tes sensasi getar serta sensasi posisi jari tangan dan jari kaki; pemeriksaan
koordinasi dengan meminta pasien secara bergantian menyentuh hidungnya dan jari
pemeriksa serta mengangkat tumitnya kemudian diturunkan di depan kaki yang
berlawanan, dan pemeriksaan cara berjalan akan melengkapi bagian penting dalam
rangkaian pemeriksaan neurologis.
Keseluruhan prosedur pemeriksaan fisik ini dapat dilakukan hanya dalam
beberapa menit, namun pada pasien yang dengan gangguan kesadaran, hanya
dilakukan beberapa pemeriksaan rutin yang sederhana. Misalnya, pada pasien yang
diduga menderita neuropati diabetik dan neuropati alkoholik, didapatkan reflek
achiles yang negatif dan berkurangnya sensasi getar pada kaki dan tungkai.
Pemeriksaan denyut karotis telah dijadikan sebagai skrining dalam pemeriksaan
neurologis, serta pemeriksaan denyut dan irama jantung, tekanan darah dan auskultasi
19
jantung merupakan hal rutin yang juga harus diperiksa pada pasien stroke. Pencatatan
yang akurat untuk hasil yang negatif berguna dalam mengarahkan diagnosis.
PASIEN KOMA
Walaupun terkendala oleh pemeriksaan yang terbatas, pemeriksaan yang teliti
pada pasien stupor dan koma akan menghasilkan informasi yang bermakna
sehubungan dengan fungsi sistem saraf. Hal yang luar biasa, selain pemeriksaan
fungsi kognitif, hampir semua sistem saraf, termasuk nervus kranial, dapat dievaluasi
pada pasien koma. Munculnya tanda penyakit serebral fokal atau batang otak dan
tanda rangsang meningeal sangat penting dalam menyusun diagnosis banding pada
penyakit yang menyebabkan stupor dan koma. Adaptasi dalam pemeriksaan
neurologis dijelaskan pada bab 17.
PASIEN PSIKIATRIK
Satu hal yang menjadi kendala dalam pemeriksaan pasien psikiatrik adalah
mereka tidak kooperatif dan kurang bisa dipercaya serta kita tidak terbiasa dengan
pendapat dan pernyataan mereka. Misalnya pada pasien depresi, sering mengeluh
hilang daya ingat dan kelemahan walaupun sebenarnya tidak terdapat amnesia atau
tanda penurunan kekuatan otot, demikian juga pada pasien dengan gangguan sosial
atau hysteria, sering juga bepura-pura lumpuh. Sebaliknya, terkadang ada juga yang
benar; pasien psikotik bisa memberikan keterangan yang jelas tentang penyakitnya
tapi hal ini sering terabaikan oleh pemeriksa dikarenakan oleh gangguan mentalnya.
Seandainya pasien tersebut dapat sedikit lebih kooperatif, banyak hal yang
bisa dipelajari tentang integritas fungsi dari berbagai bagian sistem saraf. Dari cara
pasien menyampaikan idenya, cara berbicara atau menulis, kita sudah dapat
menentukan waham dan halusinasi, gangguan memori, atau gejala gangguan otak
lainnya yang dapat dianalisis selama kita melihat dan mendengar keluhan pasien.
Gerakan okuler dan lapang pandang dapat diperiksa dengan mengamati respon pasien
20
terhadap stimulus yang bergerak dan ancaman yang terdapat dalam lapang pandang.
Nervus kranial, fungsi motorik dan reflek dapat diperiksa dengan cara seperti biasa,
namun yang perlu diingat adalah bahwa pemeriksaan neurologis tidak akan pernah
lengkap kecuali bila pasiennya dapat diajak bicara selama pemeriksaaan dan
kooperatif. Di lain sisi, pasien yang bisu atau yang melawan dan dianggap psikotik
ternyata terbukti mengalami gangguan serebral yang luas seperti hipoksia atau
ensefalopati hipoglikemik, tumor otak, lesi vaskuler, atau lesi demielinisasi yang luas.
BAYI DAN ANAK
Sebagi pedoman adalah metode pemeriksaan khusus dari Gessel dan
Amatruda, Thomas, Paine dan Oppe, klinik Mayo, dan lain-lain. Hampir semua dari
pemeriksaan ini membahas tentang aspek perkembangan sistem saraf anak, dan
walaupun beberapa tanda klinis sulit dianalisis terkait masalah umur, namun
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut di atas sampai sekarang masih menjadi gold
standar.
PEMERIKSAAN MEDIS UMUM
Hasil pemeriksaan medis umum sangat sering menemukan penyakit-penyakit
sistemik yang mendasari timbulnya kerusakan sekunder pada sistem saraf.
Kenyataannya, banyak masalah neurologis serius yang berasal dari gangguan seperti
ini. Dua contoh yang umum yaitu adenopati atau neoplasi dengan gambaran infiltrate
pada paru atau sarkoidosis sebagai penyebab kelumpuhan nervus kranial multiple,
serta munculnya gejala demam subfebris, anemia, bising jantung dan splenomegali
pada pasien stroke yang etiologinya tidak jelas, yang mengarahkan pada suatu
diagnosis endokarditis bakterialis dengan oklusi emboli pada arteri serebri. Sudah
pasti semua pemeriksaan pada pasien stroke belum menjadi belum lengkap tanpa
pemeriksaan terhadap hipertensi, bising karotis, bising jantung dan denyut jantung
yang ireguler.
21
PENTINGNYA PENGETAHUAN TENTANG NEUROANATOMI,
NEUROFISIOLOGI, GENETIKA MOLEKULER DAN NEUROPATOLOGI
Pada awalnya mahasiswa dan residen yang baru menguasai teknik untuk
mendapatkan data klinis yang terpercaya mungkin masih akan merasa kurang yakin
dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan tersebut karena pengetahuan ilmu dasar
neurologi yang mereka miliki masih kurang. Karena alasan tersebut maka bab-bab
berikutnya akan meninjau ulang sistem motorik, sensasi, indera khusus, kesadaran,
dan fungsi bahasa, dengan mengulang pembahasan anatomis dan fisiologis yang
dirasa penting dalam memahami kelainan klinis yang dimaksud.
Minimal seorang klinisi harus tahu tentang anatomi traktus kortikospinal,
unit motorik (sel kornu anterior, saraf dan otot), hubungan motorik ganglia basal dan
serebelar, jalur utama sistem sensorik, nervus kranialis, hipothalamus dan hipofisis,
formasio retikularis dan thalamus, sistem limbik, area kortek serebral dan koneksi
utamanya, jaras penglihatan, jaras pendengaran, sistem otonom, dan aliran LCS.
Pengetahuan neurofisiologi ini mencakup pemahaman tentang perjalanan impuls
syaraf, transmisi neuromuskular, proses kontraksi otot, reflek spinal, neurotransmisi
sentral, proses eksitasi dan inhibisi saraf, aktivasi kortikal serta munculnya kejang.
Pentingnya biologi genetika dan biologi molekuler pada penyakit saraf telah
meningkat pada beberapa dekade terakhir. Setidaknya, dokter umum harus terbiasa
dengan terminologi genetika mendel dan mitokondria, serta penyimpangan dalam
kode genetik yang meningkatkan resiko timbulnya penyakit saraf.
Berdasarkan cara membuat diagnosis kerja dan menentukan terapi, kita yakin
bahwa spesialis saraf sangat bergantung pada pengetahuan patologi anatomi,
misalnya perubahan neuropatologis yang disebabkan oleh proses penyakit seperti
infark, hemoragik, demielinisasi, trauma fisik, kompresi, inflamasi, neoplasma dan
infeksi, menjadi suatu bentuk yang lebih umum. Memahami bentuk mikroskopis dan
makroskopis dari proses penyakit akan sangat meningkatkan kemampuan dalam
menjelaskan berbagai efek klinis. Kemampuan membayangkan ketidaknormalan
22
penyakit pada saraf, otot, otak, medula spinalis, meningeal dan pembuluh darah, akan
menimbulkan pemahaman yang kuat tentang tanda klinis mana yang diharapkan ada
pada suatu penyakit tertentu serta tanda klinis mana yang tidak bisa ditemukan atau
tidak berhubungan dengan diagnosis tertentu. Sebagai tambahan, manfaat lain yang
didapatkan dari neuropatologis tentu saja adalah bahwa klinisi akan bisa lebih baik
dalam mengevaluasi perubahan patologis dan melaporkan hasil pemeriksaan bahan
yang didapatkan dari biosi.
DIAGNOSIS LABORATORIUM
Dari penjelasan metode klinis sebelumnya, tampak bahwa penggunaan
laboratorium dalam membuat diagnosis penyakit sistem saraf idealnya didahului
dengan pemeriksaan klinis yang teliti. Seperti pada ilmu kedokteran umumnya,
pemeriksaan laboratorium perlu direncanakan dengan tepat berdasarkan informasi
klinis. Jangan membalik proses ini karena mudah menghasilkan informasi yang tidak
relevan.
Pencegahan penyakit saraf memerlukan dua pendekatan lain yaitu informasi
genetik dan tes skrining laboratorium, tidak cukup dengan metode klinis saja. Tes
penyaringan biokimia dapat dilakukan pada keseluruhan populasi, dan
memungkinkan untuk mendapatkan identifikasi penyakit saraf secara individual,
terutama pada bayi dan anak-anak yang belum menunjukkan gejala untuk pertama
kali; pengobatan untuk beberapa penyakit dapat dilakukan sebelum sistem saraf
mengalami kerusakan. Demikian pula halnya pada dewasa, skrining untuk
aterosklerosis dan penyebab metabolik yang mendasarinya akan bermanfaat pada
beberapa populasi tertentu sebagai cara untuk mencegah stroke. Informasi genetik
akan memungkinkan spesialis saraf membuat diagnosis penyakit tertentu serta
mengidentifikasi resiko berkembangnya penyakit tersebut pada pasien dan
keluarganya.
23
Metode laboratorium yang tersedia untuk diagnosis neurologis dibahas dalam
bab berikutnya dan bab 45, pada pembahasan elektrofisiologi klinis. Prinsip yang
relevan dari metode skrining genetik dan laboratorium untuk memperkirakan
penyakit ditampilkan pada diskusi pemeriksaan mana yang dapat dilakukan untuk
penyakit tertentu.
KEKURANGAN METODE KLINIS
Jika benar-benar bergantung kepada pemeriksaan klinis, maka diagnosis
neurologis benar-benar akan menjadi sederhana. Dalam banyak kasus kita dapat
dengan mudah menegakkan diagnosis anatomi tapi untuk menentukan diagnosis
etiologi jauh lebih sulit dan tidak jarang harus disokong oleh pemeriksaan
laboratorium yang khusus dan rumit, sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab
selanjutnya. Bagaimanapun, walau telah dilakukan serangkaian pemeriksaan klinis
dan laboratorium yang teliti, masih saja terdapat sejumlah pasien yang penyakitnya
tidak bisa didiagnosis. Pada keadaan yang demikian, kita biasanya tertolong oleh
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jika salah dalam menginterpretasi
gejala utama−jika tremor dikira ataksia atau fatigue dikira kelemahan−maka
pemeriksaan klinis akan menjadi salah arah dari awal. Fokuskan analisis klinis
pada gejala dan tanda klinis utama serta jangan sampai terganggu oleh gejala-
gejala dan tanda-tanda minor yang meragukan.
2. Hindari menegakkan diagnosis yang terlalu cepat. Sering hal ini terjadi akibat
fiksasi yang terlalu cepat pada beberapa hal yang didapat dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, sehingga menutup pikiran kita dari berbagai kemungkinan
diagnosis banding. Untuk membuat diagnosis awal, sebaiknya diperhatikan
bahwa hal itu merupakan hipotesis yang harus bisa diuji dan bisa dimodifikasi
jika didapatkan informasi baru yang terpercaya. Gejala dan tanda klinis akan
24
muncul seiring dengan waktu perkembangan penyakit dan diagnosis penyakit
pun akan makin jelas.
3. Ketika gejala-gejala mayor yang merupakan bentuk khas dari sebuah
penyakit tidak mencukupi, maka perlu dibuat diagnosis banding.
Bagaimanapun juga, secara umum orang lebih sering menemukan manifestasi
klinis yang jarang dari suatu penyakit yang lazim, daripada menemukan
manifestasi klinis yang khas dari suatu penyakit yang jarang (ungkapan dari
teori Bayes).
4. Diagnosis lebih baik ditegakkan berdasarkan pengalaman klinis dengan tanda
dan gejala yang dominan, bukan berdasarkan analisis statistik dari frekuensi
fenomena klinis. Pada sebagian besar kasus, penggunaan metode analisis
keputusan berdasarkan pada probabilitas terbukti mengecewakan dalam
menegakkan diagnosis neurologis, karena hal itu tidak bisa menentukan
seberapa pentingnya setiap data klinis yang ada. Yang perlu dipenuhi dalam
semua metode diagnosis adalah penilaian terhadap semua penyebab yang
mungkin dari tanda klinis atau sindrom sehubungan dengan karakteristik
demografis yang luas, berupa umur, jenis kelamin, ras, etnik dan keadaan
geografis. Sebagai contoh, neurologis di Amerika menganggap bahwa
meningitis kronis tidak jarang yang disebabkan oleh penyakit bechet, namun
neurologis di Turki berpendapat sebaliknya. Lebih lanjut, seperti yang
disebutkan sebelumnya, neurologis menempati posisi yang tinggi dalam
menemukan penyakit yang bisa diobati, bahkan pada saat temuan klinis tidak
mendukung ke arah diagnosis.
Sebagaimana dijelaskan oleh Chimowitz, mahasiswa kedokteran cenderung
melakukan kekeliruan sehingga gagal mengenali suatu penyakit yang belum pernah
mereka lihat sebelumnya. Sementara klinisi yang berpengalaman bisa saja tidak
menyadari munculnya varian yang jarang dari suatu penyakit lazim. Tentu saja ada
beberapa klinisi yang lebih mahir dalam memecahkan masalah yang rumit
dibandingkan dengan klinisi lainnya. Kemampuannya itu tidaklah berdasarkan intuisi
belaka sebagaimana yang biasanya dianggap, tetapi hal itu dihasilkan dari perhatian
25
yang besar terhadap pengalaman mereka yang terperinci sehubungan dengan berbagai
penyakit dan telah menyusun suatu daftar sebagai referensi untuk masa yang akan
datang. Kasus yang tidak lazim akan terekam dalam memori dan bisa menjadi bahan
pemikiran apabila suatu saat muncul kasus yang serupa.
TERAPI DALAM NEUROLOGI
Diantara bidang spesialisasi kedokteran, neurologi telah lama menempati
posisi yang agak anomali, dimana kebanyakan orang menganggap posisinya hanya
sedikit saja lebih tinggi dari sekedar bidang yang pemikirannya menekankan pada
pembuatan diagnosis untuk penyakit-penyakit tak terobati. Pandangan seperti ini
terhadap posisi kita tidaklah sepenuhnya benar. Terdapat peningkatan jumlah
penyakit, baik pada bidang bedah maupun nonbedah, yang sekarang telah memiliki
terapi spesifik, seiring dengan meningkatnya kemajuan di bidang neurosains.
Sebagai tambahan, banyak penyakit yang fungsi neurologisnya dapat
dipulihkan pada tingkat yang bermacam-macam melalui tindakan rehabilitasi yang
tepat atau dengan penggunaan secara bijak agen terapeutik yang belum sepenuhnya
terbukti benar. Tuntutan akan keefektifan terapi khusus yang didasarkan pada analisis
statistik dari penelitian klinis skala besar harus dipenuhi dengan hati-hati. Perlu dikaji
terlebih dahulu, apakah penelitian tersebut telah disusun dengan baik dalam hal
hipotesis dan kriteria hasil, apakah konsisten dengan proses random untuk memilih
kasus yang akan dimasukkan dalam penelitian, apakah metode statistik sudah tepat,
dan apakah data kontrol benar-benar bisa digunakan sebagai pembanding.
Pengalaman telah menunjukkan bahwa merupakan hal yang bijaksana untuk
menunggu sampai terdapat penelitian lebih lanjut yang bisa memperjelas manfaat dari
terapi yang demikian. Walaupun di satu sisi kita mendukung agar berpegang pada
evidence based medicine, namun di sisi lain kita juga setuju dengan pernyataan
Caplan bahwa banyak dari bukti-bukti ini yang tidak dapat diterapkan dalam
memberikan terapi individual dengan kasus rumit. Hal ini sebagian benar, karena
pada saat diterapkan sebagai terapi pasien secara individual, mungkin saja didapatkan
efek kecil yang memiliki makna penting secara statistik. Sudah menjadi hal yang
26
lumrah bahwa data yang didapatkan dari percobaan harus digunakan dalam konteks
kondisi pasien secara keseluruhan, baik fisk maupun mental dan juga usia. Lebih
jauh, untuk kebanyakan kasus neurologis, saat ini belum terdapat evidence based
medicine yang cukup. Disini pasien memerlukan klinisi terampil untuk membuat
keputusan berdasarkan pada data yang jumlahnya hanya sebagian atau tidak cukup.
Bahkan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, saat ini klinisi harus bisa
mengobati pasien dengan menggunakan sekumpulan pengalaman pribadinya secara
bijak, serta menggabungkannya dengan data-data terbaik saat ini.
Bahkan ketika tidak ada terapi efektif yang mungkin, diagnosis neurologis
tetap lebih dari pemikiran masa lalu. Langkah pertama dalam penelitian ilmiah
tentang suatu proses penyakit adalah mengidentifikasi pasien yang hidup. Selanjutnya
metode klinis dari neurologi memberikan hasil berupa arahan untuk menegakkan
diagnosis, prognosis dan pengobatan bagi klinisi, dan bahan untuk penelitian tentang
mekanisme dan penyebab penyebab penyakit bagi ilmuan klinis.
Terdapat beban penyakit yang luar biasa pada sistem saraf di seluruh dunia,
termasuk Amerika Serikat. Dalam hal ini tidak hanya kondisi seperti trauma otak dan
medulla spinalis, stroke, epilepsi, retardasi mental, penyakit mental dan demensia
yang terdapat dimana-mana dan menjadi penyakit utama, hanya di beberapa tempat
yang menempati posisi kedua setelah penyakit infeksi, namun hal ini tetap
menimbulkan disabilitas yang tinggi dan bersifat kronis serta dapat merubah
kehidupan individu yang dikenai secara mendasar. Lebih lanjut, melebihi bidang
spesialisasi lain, harapan penyembuhan atau perbaikan dengan adanya teknik baru
seperti biologi molekuler, terapi genetika dan keterlibatan komputerisasi otak telah
mengundang perhatian luas dan menjadi alasan untuk memasukkan aspek pengkajian
ilmiah terkini pada bagian yang tepat.
27
II. PEMERIKSAAN KHUSUS UNTUK DIAGNOSIS NEUROLOGIS
Analisis serta interpretasi data yang didapatkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang hati-hati bisa dianggap cukup untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium khusus tidak lebih dari penguat kesimpulan klinis.
Bagaimanapun, perjalanan penyakit tidak dapat dilihat hanya dari sisi studi kasus
saja, dimana kemungkinan diagnosis mungkin bisa diciutkan menjadi dua atau tiga,
namun diagnosis yang sesungguhnya masih belum dapat dipastikan. Dalam keadaan
ini perlu dilakukan pemeriksaan tambahan. Tujuan seorang neurologis adalah
menegakkan diagnosis akhir dengan seni menganalisis data klinis yang dibantu
dengan sedikit mungkin pemeriksaan laboratorium.
Pada beberapa dekade yang lalu, pemeriksaan laboratorium yang tersedia
untuk bidang neurologis hanya analisis cairan serebrospinal (LCS), radiologi
konvensional kepala dan tulang belakang, mielografi dengan kontras,
pneumoensefalografi dan elektroensefalografi. Sekarang ini, dengan berkembang
pesatnya teknologi ilmiah, maka senjata para klinisi untuk menegakkan diagnosis
juga bertambah dengan adanya neuroimaging yang beragam serta metode biokimia
dan genetika. Beberapa metode baru ini sangat mengesankan dan membuat kita
tergoda untuk menjadikannya sebagai pengganti anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti. Pemeriksaan laboratorium untuk tujuan seperti ini tidak dianjurkan.
Sebagai gambaran, dari pemeriksaan yang teliti terhadap 86 pasien neurologis yang
dirawat, tampak bahwa hasil temuan laboratorium (termasuk MRI) pada 40 orang
pasien berhasil mengklarifikasi diagnosis klinis, namun gagal pada 46 kasus lainnya
(Chimowitz, dkk). Lebih lanjut, sering terjadi pada praktek modern penggunaan
pemeriksaan tambahan untuk mengklarifikasi abnormalitas yang sebenarnya tidak
begitu penting dalam persoalan klinis yang sedang ditangani. Oleh karena itu, para
neurologis diharapkan terbiasa melakukan pemeriksaan penunjang sesuai dengan
penyakit saraf yang dihadapi, tingkat reliabilitas dan resiko tindakan tersebut.
28
Berikut ini disajikan penjelasan tentang pemeriksaan laboratorium yang
digunakan pada berbagai kasus penyakit saraf. Penjelasan yang berhubungan dengan
dengan kompleks gejala khusus atau sekelompok penyakit tertentu−audiogram untuk
menilai tingkat ketulian, elektronistagmografi (ENG) untuk kasus vertigo,
elektromiografi (EMG) dan penilaian konsuksi saraf , serta biopsi saraf dan otot saat
terdapat penyakit neuromuskuler−dibahas pada bab yang sesuai dengan penjelasan
kelainan tersebut.
PUNGSI LUMBAL (LP) DAN PEMERIKSAAN CAIRAN SEREBROSPINAL
(LCS)
Informasi yang didapatkan dari analisis LCS sangat penting dalam
menegakkan diagnosis pada beberapa penyakit saraf tertentu, khususnya pada kasus
infeksi dan peradangan, perdarahan subarakhnoid, dan penyakit yang dapat merubah
tekanan intracranial. Kombinasi tertentu atau gabungan dari hasil pemeriksaan LCS
umumnya menunjukkan suatu kelompok khusus penyakit yang seperti terangkum
dalam tabel 2-1.
29
INDIKASI PUNGSI LUMBAL
1. Untuk mengetahui tekanan LCS dan mendapatkan sampel LCS untuk
pemeriksaan sel, sitologi, kimia dan pmeriksaan bakteriologis.
2. Membantu dalam hal terapi dengan cara pemberian anastesi spinal, akses
pemberian antibiotik, zat antitumor atau dengan menurunkan tekanan LCS.
3. Untuk menyuntikkan bahan radioopak (kontras) seperti pada prosedur
mielografi, atau zat radioaktif seperti pada sisternografi radionukleotida.
LP memiliki resiko tertentu jika tekanan intrakranial (TIK) sangat
tinggi−ditandai oleh sakit kepala dan udem papil−karena hal itu meningkatkan resiko
herniasi tentorial dan herniasi serebelar yang bisa berakibat fatal. Risiko LP menjadi
sangat besar jika papil udem disebabkan oleh massa intrakranial, namun resiko ini
menjadi lebih rendah pada pasien dengan perdarahan subarakhnoid (SAH),
hidrosefalus yang semua ventrikelnya saling berhubungan atau pada pseudotumor
otak, dimana LP ulangan digunakan sebagai follow up terapi. Pada pasien meningitis
purulenta, juga terdapat resiko herniasi ringan, namun hal ini tidak perlu menjadi
penghalang mengingat kebutuhan akan LP dalam menegakkan diagnosis definitif dan
sebagai sarana penanganan yang tepat sedini mungkin. Dengan pengecualian di atas,
secara umum LP sebaiknya didahului dengan pemeriksaan CT atau MRI jika
dicurigai adanya peningkatan TIK. Jika gambaran radiologis tadi memperlihatkan
massa yang menyebabkan pergeseran jaringan otak ke arah tentorial atau foramen
magnum (dimana massa tunggal sering luput dari perhatian) dan jika dianggap sangat
dibutuhkan informasi dari analisis LCS maka LP dapat dilakukan dengan beberapa
perhatian khusus. Sebaiknya menggunakan jarum spinal nomor 22 atau 24 dan jika
tekanan LCS sangat tinggi (lebih dari 400mmH2O) sebaiknya sampel LCS yang
diambil sesedikit mungkin, dan kemudian berdasarkan kondisi pasien dan penyakit
yang diduga mendasarinya, diberikan manitol lalu penurunan tekanan diobservasi
30
dengan menggunakan manometer. Deksametason dan kortikosteroid lain yang setara
juga diberikan secara intravena dengan dosis inisial 10 mg, diikuti dengan dosis 4-6
mg setiap 6 jam dengan tujuan untuk menurunkan TIK. Kortikosteroid terutama
berguna untuk mengatasi peningkatan TIK yang disebabkan udem serebral
vasogenik.
Pungsi sisterna dan pungsi subarachnoid servikal lateral , meskipun cukup
aman jika dilakukan para ahli, namun sangat berbahaya jika dilakukan oleh klinisi
yang belum berpengalaman dan mencegah peningkatan TIK. Sebenarnya LP lebih
dianjurkan saat dibutuhkan sampel LCS dari sisterna atau untuk mielografi di atas
lesi, kecuali pada keadaan terdapat blok spinal yang nyata.
TEKNIK LUMBAL PUNGSI
Pengalaman telah menunjukkan betapa pentingnya ketelitian dalam
melakukan LP. LP haris dilakukan dalam kondisi local yang steril. Xylokain
diinjeksikan di bawah kulit untunk mengurangi nyeri. Dengan sedikit menggesek vial
xylokain ternyata seseddikit mengurangi ransa terbakar sewaktu di injeksikan. Pasien
berada pada posisi miring, sebaiknya miring ke kiri untuk pemeriksa yang
menggunakan tangan kanan dengan panggul dan lutut difleksikan, dan kepala
ditekukkan kearah lutut. Panggul pasien harus datar, punggung harus lurus dan
segaris dengan teppi tempat ttidur dan bantal diletakkan dibawah telinga pasien. LP
lebih mudah dilakukan pada daerah di antara L3-L4 sejajar dengan bidang aksial
Krista iliaka., atau satu tingkat di atas atau di bawahnya. Anastesiologis yang
berpengalaman menganjurkan semakin kecil jarum yang digunakan semakin baik dan
bevelnya diarahkan pada bidang longitudinal dari serat dural (sebaiknya digunakan
jarum atraumatik. Biasanya celah intervetebralis dapat teraba dan dan ketika jarum
dimasukkan akan terasa sedikit tahanan ketika menembus membrane
subarachnoid.Setelah itu jarum trokar harus ditarik secara perlahan lahan untuk
mnecegah mencederai syaraf yang nantinya dapat menyebabkan nyeri radik.Jika
terjadi nyeri sciatic ketika jarum spinal ditusukkan merupakan tanda bahwa arah
jarum terlalu ke lateral. Jika aliran LCS yang keluar Lambat, kita coba untuk sedikit
31
meninggikan kepala pasien. Kadang-kadang LP dengan menggunakan jarum spinal
khusus dapat mengatasi tahanan dari cairan LCS yang kental. Jika gagal setelah 2
sampai 3 kali percobaan maka dianjurkan melakukan LP pada pasien dengan posisi
duduk. Jika cairan LCS tidak keluar pada LP lebih sering disebabkan dari posisi
jarum yang tidak tepat dari pada obliterasi ruang subarachnoid yang disebabkan lesi
kompresif di cauda equina atau arachnoiditis adhesive.
LP memiliki beberapa komplikasi yang serius. Yang paling sering adalah sakit
kepala,terjadi pada satu dari 3 pasien, namun jarang yang bekembang menjadi sakit
kepala hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan tekanan LCS dan dan
penarikan pembuluh darah dural dan serebral jika pasien berdiri. Walaupun tidak
terlalu membantu, posisi berbaring sering disarankan dan obat analgetik oral sering
diberikan untuk mangatasi hal ini. sStrupp dan kawan-kawan mengatakan bahwa
penggunaan jarum spinal atraumatik menurunkan angka kejadian sakit kepala.
Anehnya kejadian sakit kepala terjadi dua kali lipat lebih sering dibandingkan setelah
prosedur LP diagnostik, sama halnya dengan setelah dilakukan anestesi spinal.
Berdasarkan pengalaman, pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat sakit kepala
akan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami sakit kepala setelah LP.
Sakit kepala hebat biasanya diikuti dengan muntah dan kaku leher. Walaupun jarang,
kelumpuhan nervus VI secara unilateral atau bilateral maupun nervus lainnya (nervus
VII dan VIII), dapat terjadi dengan atau tanpa disertai sakit kepala. Sindrom akibat
penurunan tekanan LCS diatasi dengan “blood patch”.
Perdarahan ke dalam meningen medulla spinalis atau rongga epidural dapat
terjadi pada pasien yang sedang mendapat terapi antikoagulan (umumnya dengan
rasio normalisasi internasional/INH > 1.7), jumlah trombosit yang rendah
(<50.000/m3) atau mengalami ganguan fungsi trombosit (alkoholisme,uremia). Hal
ini diatasi dengan pemulihan terhadap koagulopati, dan pada beberapa kasus
dilakukan terapi badah evakuasi bekuan darah. Terjadinya meningitis purulenta dan
infeksi pada diskus merupakan komplikasi yang jarang dari LP yang diakibatkan oleh
teknik sterilisasi yang kurang steril serta masuknya benda asing ke dalam ruang
subarakhnoid medulla spinalis juga dapat menyebabkan meningitis steril.
32
PROSEDUR PEMERIKSAAN
Sekali ruang subarakhnoid dapat ditembus, nilai tekanan, dinamik dan sampel
LCS bisa didapatkan. Gambaran makroskopis LCS harus dicatat dan kemudian dibagi
dalam beberapa tabung sebagai sampel untuk pemeriksaan (1) jumlah dan jenis sel
serta jenis kuman (2) kadar protein dan glukosa (3) sitologi sel tumor (4) kadar
gamaglobulin, fraksi protein lainnya, keberadaan pita oligoklonal dan tes serologis
(5) pigmen laktat, ammonia, pH, CO2, enzim dan substansi yang dihasilkan tumor
(contohnya β2 mikroglobulin) dan (6) bakteri dan jamur (melalui kultur), antigen
kriptokokus dan organism lainnya, DNA virus herpes, citomegalovirus dan kuman
lainnya (menggunakan PCR) dan isolasi virus.
TEKANAN DAN ALIRAN
Pada pasien dengan posisi lateral dekubitus, tekananan LCS diukur
menggunakan manometer dengan jarum spinal yang terhubung ke dalam rongga
subarachnoid. Pada dewasa normal, tekanan LCS biasanya 100-180 mmH2O atau 8-
14 mmHg. Pada anak tekanan berkisar antara 30-60mm H2O. Tekanan yang lebih dari
200 mmH2O pada pasien dengan kondisi rileks dan posisi kaki lurus merupakan tanda
peningkatan TIK. Pada pasien dewasa, tekanan 50 mmH2O atau kurang merupakan
tanda hipotensi intrakranial yang biasanya disebabkan oleh kebocoran LCS atau
dehidrasi sistemik. Jika pengukuran dilakukan dengan jarum ke dalam kantong
lumbal dan pasien dengan posisi duduk, cairan dalam manometer mencapai level
sisterna magna (tekanan rata-rata dua kali lipat daripada posisi berbaring), namun
tidak bisa mencapai sistem ventrikel karena merupakan sistem yang tertutup di bawah
tekanan yang sedikit negatif. Cairan dalam manometer dipengaruhi oleh tekanan
atmosfir. Secara normal, ketika jarum dalam posisi yang benar berada dalam ruang
subarakhnoid, cairan pada manometer akan turun naik secara cepat sekitar beberapa
millimeter sebagai respon terhadap denyut nadi dan nafas, meningkat oleh batuk,
mengedan serta kompresi vena jugular dan abdominal. Tekanan yang rendah juga
33
bisa disebabkan oleh jarum yang tidak masuk ruang suarachnoid secara sempurna, hal
ini dapat dibuktikan kurangnya fluktuasi tekanan dengan maneuver di atas.
Blok aliran LCS pada subarakhnoid spinalis pada masa sebelumnya dapat
dikonfirmasi dengan kompresi vena jugularis (tes quecken-stedt, yang merupakan tes
untuk peningkatan tekanan yang cepat jika vena jugularis dikompresi). Namun tes ini
harus dilakukan secara hati-hati karena dapat memperberat blok spinal, dan
meningkatkan TIK.
GAMBARAN MAKROSKOPIK DAN PIGMEN
Normalnya, cairan LCS bening dan tidak berwarna. Perubahan kecil pada
warna dapat diamati dengan membandingkan tabung tes dengan air pada bidang
berlatar putih dengan pencahayaan (lebih baik dengan pencahayaan matahari daripada
iluminasi floresen), atau dengan mengamati tabung tersebut dari arah atas
(pemeriksaan dengan tabung mikrohematoktrit jarang dilakukan). Adanya eritrosit
dalam LCS memberikan gambaran yang tidak jelas, setidaknya harus ada 200 eritrosit
per millimeter kubik (mm3) untuk bisa mendeteksi perubahan warna. Jumlah eritrosit
1000-6000/mm3 akan memberikan warna sedikit merah muda atau merah, dan
tergantung pada jumlah eritrositnya, dan dengan sentrifugasi akan didapatkan
endapan eritrosit. Leukosit dengan jumlah ratusan dalam LCS (pleositosis) dapat
menyebabkan cairan LCS menjadi berwarna agak keruh.
Pada proses LP yang berdarah, dimana darah dari pleksus vena epidural
bercampur dengan cairan LCS, akan meragukan dalam menegakkan diagnosis, karena
jika tidak hati-hati bisa salah interpretasi dengan SAH subklinis. Untuk
membedakannya, diambil dua sampai tiga sampel secara serial pada waktu yang
sama. Pada keadaan LP yang berdarah, akan terdapat penurunan jumlah eritrosit pada
sampel kedua dan ketiga. Biasanya pada LP yang berdarah, tekanan LCS biasanya
normal dan jika jumlah darah yang bercampur cukup banyak maka akan terbentuk
bekuan dan benang fibrin. Hal ini tidak akan tampak pada campuran darah yang
berasal dari SAH subklinis, dimana darah sudah bercampur dengan LCS secara
34
merata dan mengalami defibrinasi. Pada SAH, eritrosit akan mengalami hemolisis
dalam beberapa jam sehingga memberikan warna merah muda (eritrokromia) pada
cairan supernatan, kemudian dalam beberapa hari akan berubah warna menjadi
kuning kecoklatan (xantokorm). LP yang berdarah akan memberikan warna bening
jika disentifugasi dan hanya jika jumlah eritrosit lebih dari 100.000/mm3 yang akan
memberikan warna xantokorm apabila disentrifugasi, hal ini terjadi karena terdapat
kontaminasi dari bilirubin serum dan lipokrom.
LCS dari LP yang berdarah biasanya mengandung satu atau dua leukosit per
1000 eritrosit yang menunjukkan bahwa kadar hematokrit dalam batas normal, tapi
dalam kenyataannya rasio ini memiliki variasi yang luas. Pada SAH, jumlah leukosit
meningkat seiring dengan proses hemolisis eritrosit, kadang-kadang mencapai jumlah
ratusan per millimeter kubik. Namun hal ini tidak bisa dijadikan pegangan untuk
membedakan LP yang berdarah dengan SAH subklinis. Kedua bentuk perdarahan ini
memiliki kesamaan berupa krenasi eritrosit.
Mekanisme mengapa eritrosit mengalami hemolisis secara cepat masih belum
jelas. Yang pasti hal ini tidak disebabkan oleh perbedaan osmolaritas, dimana
osmolaritas LCS dan plasma pada dasarnya adalah sama. Fishmen mengatakan bahwa
penurunan kadar protein pada cairan LCS akan mengganggu keseimbangan
membrane eritrosit.
Perubahan warna cairan LCS pada SAH disebabkan oleh oksihemoglobin,
bilirubin dan methemoglobin. Dalam bentuk yang murni, pigmen ini berwarna merah,
kuning muda, dan coklat. Oksihemoglobin mulai tampak beberapa jam setelah onset
dan mencapai jumlah maksimal dalam 36 jam, kemudian berkurang setelah 7 sampai
9 hari. Bilirubin mulai tampak setelah 2-3 hari dan meningkat sesuai dengan
penurunan jumlah oksihemoglobin. Methemoglobin terbentuk apabila eritrosit
mengalami lokulasi atau enkistik dan terpisah dari aliran LCS. Teknik
spektrofotometri dapat membedakan berbagai bentuk gangguan produksi hemoglobin
dan kemudian memperkirakan waktu perdarahan rata-rata.
35
Tidak semua LCS yang xantokrom disebabkan oleh hemolisis eritrosit. Pada
ikterus yang berat, bilirubin I dan II menyebar masuk ke dalam LCS. Jumlah bilirubin
dalam cairan LCS berkisar antara 1/10 sampai 1/100 dari kadar dalam serum.
Peningkatan kadar protein dalam LCS menyebabkan warna sedikit opak dan
xantokromia, serta peningkatan atau penurunan proporsi albumin-fraksi bilirubin.
Perubahan warna LCS hanya dapat diamati secara makroskopik jika kadarnya lebih
dari 150 mg/100 mL. Hiperkarotenemia dan hemoglobinemia (melalui gangguan
produksi hemoglobin, khususnya oksihemoglobin) juga menyebabkan warna kuning
pada cairan LCS, seiring pembekuan darah dalam ruang subdural atau epidural otak
maupun medulla spinalis. Mioglobin tidak ditemukan dalam LCS karena ambang
klirens renal yang rendah untuk pigmen ini sehingga memungkinkan terjadinya
ekskresi yang cepat dari dalam darah.
SELULARITAS
Dalam bulan-bulan pertama kehidupan, cairan LCS mengandung sel monosit
dalam jumlah kecil. Setelah itu dalam keadaan normal cairan LCS hampir aselular
( sel limfosit dan mononuklear lainnya < 5/mm3). Peningkatan jumlah leukosit
biasanya merupakan reaksi terhadap bakteria dan agen infeksius lainnya, darah,
substansi kimia dan inflamasi imunologis, neoplasma, atau vaskulitis. Jumlah leukosit
dapat dihitung dengan menggunakan kamar hitung biasa, namun untuk identifikasi
harus menggunakan sentrifugasi cairan dan sedimentasi dengan pewarnaan Wright
atau penggunaan filter Millipore, fiksasi dan pewarnaan. Melalui hal tersebut dapat
diketahui jumlah netrofil dan eusinofil (yang kemudian akan menjadi jelas pada
penyakit Hodgkin, beberapa infeksi parasit dan emboli kolesterol), limfosit, sel
plasma, sel mononuclear, sel arachnoid, makrofag dan sel tumor. Bakteri, jamur dan
fragmen ecinococcus dan sistiserkosis dapat terlihat dengan pewarnaan sel atau
sediaan dengan preparat gram. Preparat Tinta india berguna untuk membedakan
limfosit dengan kriptokokus dan candida. Kuman basil tahan asam juga dapat
36
ditemukan dalam sampel dengan pewarnaan yang tepat. Monograf Dufresne dan
Hartog-jager serta artikel Bigner merupakan metode sitologi lama namun masih
merupakan pemeriksaan pilihan dalam sitologi LCS. Pemeriksaan imunologi khusus
dan teknik imunostaining juga dapat digunakan sebagai marker sel limfoma, protein
asam fibril glial, elemen selular khusus dan antigen.
PROTEIN
Bertolak belakang dengan jumlah protein yang tinggi dalam darah (5.500-
8000 mg/dL), pada orang dewasa jumlahnya dalam LCS berkisar 45-50mg/dL atau
kurang. Kadar protein pada sisterna basal 10-25mg/dL dan pada ventrikel 5-15
mg/dL. Hal ini menggambarkan bahwa protein LCS memang berasal dari cairan
plasma melalui sawar darah otak. LCS berasal dari ultrafiltrasi darah di pleksus
khoroideus pada ventrikel lateral dan ventrikel IV yang analog dengan filtrasi urin di
glomerulus. Jumlah protein dalam LCS sebanding dengan lamanya kontak dengan
sawar darah otak. Setelah memasuki ventrikel jumlah protein biasanya menurun.
Makin ke arah kaudal di daerah sisterna, kadar protein makin tinggi dan kadar
protein tertinggi terdapat pada daerah lumbal. Pada anak, konsenterasi protein LCS
rata-rata lebih rendah pada setiap level (<20mg/dL pada daerah lumbal). Peningkatan
jumlah yang melebihi normal mengindikasikan suatu proses patologis pada daerah
sekitar ependim dan meningen, otak, medulla spinalis ataupun serabut syaraf,
meskipun penyebab peningkatan sedikit kadar protein (dalam kisaran 75mg/dL)
kadang-kadang membingungkan.
Pada perdarahan ruang ventrikel dan subarachnoid, tidak hanya terjadi
perembesan eritrosit tapi juga protein serum. Jika konsentrasi protein serum normal,
peningkatan konsentrasi protein LCS kira-kira 1mg per 1.000 eritrosit dimana tabung
LCS yang sama dapat digunakan untuk menghitung jumlah sel dan kadar protein. (hal
yang sama juga berlaku pada LP berdarah). Pada SAH kadar protein bisa meningkat
37
beberapa kali lipat karena efek iritasi dari eritrosit yang mengalami hemodialisis
pada leptomeningen.
Kadar protein dalam LCS pada meningitis bakterialis dimana perfusi koroid
dan meningeal, sering meningkat mencapai 500mg/dL atau lebih. Infeksi virus
menyebabkan peningkatan padar protein yang lebih sedikit, terutama reaksi dari
limfosit, biasanya 50-100mg/dL tapi kadang-kadang dapat mencapai 200mg/dL
sedangkan pada beberapa kasus meningitis virus kadar proteinnya bisa normal.
Tumor paraventrikel sering menyebabkan peningkatan protein sampai 100mg/dL.
Nilai protein yang meningkat sampai 500mg/dL ditemukan pada keadaan khusus
seperti pada sindroma gillain barre dan polineuropati demielinisasi kronik. Pada blok
aliran LCS didapatkan jumlah LCS yang meningkat sampai 1000mg/dL atau lebih,
perubahan warna kuning gelap dan timbulnya pembekuan darah terjadi karena
adanya fibrinogen yang dikenal dengan froin syndrome. Blok parsial LCS akibat
ruptur medula spinalis atau tumor biasanya dapat menyebabkan peningkatan kadar
protein menjadi 100-200mg/dL. Jumlah protein LCS yang rendah didapatkan pada
meningismus (pada suatu keadaan demam dengan tanda rangsang meningeal tapi
LCS normal), hipertiroid, atau kondisi penurunan tekanan LCS.
Melalui teknik elektroforesis dan imunokimia memperlihatkan adanya
sebagian besar protein serum dengan berat molekul yang kurang dari 150.000-
200.000. Fraksi protein LCS yang telah diidentifikasi dengan teknik elektroforesis
biasanya terdiri dari prealbumin, albumin, alpha1, alpha2, beta1, beta2 dan
gammaglobulin. Imunoglobulin utama yang terdapat dalam LCS adalah IgG. Pada
tabel 2-2 dapat kita lihat kadar kuantitatif dari berbagai fraksi LCS. Dengan metode
imunoelektroforesis juga dapat diidentifikasi adanya glikoprotein, seruloplasmin,
hemopeksin, beta-amiloid dan protein tau. Molekul-molekul besar seperti fibrinogen,
IgM dan lipoprotein.
Ada beberapa perbedaan lainnya yang bisa diamati antara fraksi protein LCS
dan plasma. LCS selalu mengandung fraksi prealbumin sedangkan plasma tidak.
38
Walaupun LCS berasal dari plasma, namun karena suatu penyebab yang belum dapat
dijelaskan, fraksi ini justru terkonsentrasi dalam cairan LCS dan kadarnya lebih tinggi
di ventrikel dibandingkan lumbal. Selain itu, fraksi Tau (beta2-transferin) hanya
terdapat pada cairan LCS dengan konsentrasi yang lebih tinggi juga pada ventrikel.
Konsentrasi protein Tau dibandingkan dengan beta-amiloid telah diketahui dapat
digunakan dalam diagnosis alzheimer. Konsentrasi gamaglobulin dalam LCS adalah
70% dari konsentrasi serum.
Sekarang ini diketahui , hanya sedikit protein yang dihubungkan dengan
penyakit sistem saraf. Yang terpenting adalah IgG, yang jumlahnya dapat mencapai
12% dari jumlah protein total dalam LCS pada penyakit seperti sklerosis multipel,
neurosifilis, panensefalitis sklerosing subakut, meningoensefalitis virus kronik
lainnya. IgG serum tidak ikut meningkat pada kondisi ini yang berarti bahwa
immunoglobulin ini secara alami berasal dari sistem saraf. Bagaimanapun,
peningkatan gamaglobulin serum−seperti pada sirrosis, sarkoidosis, miksedem dan
multiple myeloma−akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi globulin dalam LCS.
Karena itu terjadi penigkatan gamaglobulin LCS, maka perlu juga untuk mengamati
pola elektroforesis protein serum. Perubahan. kualitatif dari pola imunoglobulin LCS
yang dapat diamati secara elektroforesis, yang menampilkan masing-masing
immunoglobulin akan didiskusikan pada bab 36.
Fraksi albumin LCS meningkat secara umum pada penyakit susunan saraf
pusat dan gangguan medulla spinalis yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas
sawar darah otak, namun tidak ada korelasi klinis yang jelas. Enzim-enzim tertentu
yang terdapat dalam otak, terutama kreatinin kinase (CK-BB), enolase dan neopterin,
dapat ditemukan di LCS pada keadaan pasca stroke, hipoksia iskemik global, trauma
dan sudah menjadi penanda kerusakan otak pada studi eksperimental. Marker spesifik
lain seperti protein 14-3-3 yang berguna dalam diagnostik penyakit Prion, mungkin
berguna dalam keadaan khusus lainnya.
39
GLUKOSA
Konsentrasi glukosa LCS normal adalah 45-80 mg/dL, kira-kira duapertiga
dari konsentrasi serum (0,6-0,7). Peningkatan konsentrasi di serum pararel dengan
konsentrasi di LCS, namun pada kasus hiperglikemia hal ini justru berbanding
terbalik dengan konsentrasinya pada LCS (0,5-0,6). Pada kadar glukosa serum yang
sangat rendah, kadar dalam LCS justru meningkat mencapai 85%. Secara umum
kadar glukosa yang menurun di bawah 35 mg/dL. Setelah injeksi
glukosa intravena, konsentrasinya dengan LCS baru seimbang setelah 2 sampai 4
jam, hal serupa juga terjadi dalam penurunan kadar glukosa darah. Dikarenakan oleh
alasan ini, maka sebaiknya dilakukan secara serentak pemeriksaan kadar glukosa LCS
dan darah pada saat puasa, atau diambil sampel serum beberapa jam sebelum
dilakukan LP. Jumlah glukosa yang rendah (hipoglikorasia) dengan munculnya
pleositosis biasanya menandakan meningitis piogenik, tuberkulosis atau jamur,
meskipun juga terdapat pada infiltrasi tumor yan g luas ke meningen dan sarkoidosis
serta SAH (biasanya terjadi pada minggu pertama).
Peningkatan jumlah laktat pada meningitis purulenta menandakan suatu
proses glikolisis anaerob. Sudah sejak lama diketahui bahwa meningitis bakteri
menurunkan kadar glukosa LCS karena proses metabolisme aktifnya, namun kadar
glukosa yang masih subnormal setelah 1-2 minggu terapi dianjurkan untuk
operasi. Secara teori, kondisi penurunan kadar glukosa dalam LCS juga dapat
disebabkan oleh gangguan entry glukosa ke LCS karena rusaknya sistem transfer
membran. Di sisi lain, meningitis virus tidak menurunkan kadar glukosa LCS
meskipun kadar glukosa yang rendah juga dilaporkan pada beberapa kasus
meningoencepalitis mumps dan herpes simplek serta herpes zoster.
TES SEROLOGIS DAN VIROLOGIS
40
Pemeriksaan antigen permukaan criptokokus merupakan suatu hal yang rutin
jika infeksi ini dicurigai. Hasil positif palsu bisa terjadi pada peningkatan titer faktor
rheumatoid atau antibody antitreponema, namun di sisi lain pemeriksaan ini memiliki
nilai diagnostik lebih tinggi dari pada pemeriksaan dengan tinta india. Tes darah
antibodi nontreponema-VDRL dan RPR-juga dapat diperiksa pada LCS. Hasil positif
terdapat pada neurosifilis, tapi nilai positif palsu juga dapat terjadi pada penyakit
kolagen, malaria, frambusia dan kontaminasi LCS dengan darah yang seropositif. Tes
yang dilakukan tergantung dari antigen mana yang digunakan, termasuk tes
imobilisasi treponema palidum dan tes antibodi floresen treponema lebih spesifik
untuk menyingkirkan nilai positif palsu. Pemeriksaan dan diagnosis neurosifilis akan
didiskusikan pada bab 32. Tes serologis spirokaeta dilakukan pada keadaan yang
diduga disebabkan oleh agen ini.
Tes serologis untuk virus akan memakan waktu, namun tes ini berguna dalam
menentukan secara restrofektif sumber meningitis atau encepalitis. Rapid tes yang
menggunakan PCR mulai digunakan secara luas terutama untuk herpes dan
sitomegalovirus. Tes ini sangat berguna dalam minggu-minggu pertama infeksi
dimana virus mulai bereproduksi dan material virus mulai menyebar, namun setelah 1
minggu pemeriksaan secara serologis lebih bermanfaat. Rapid tes dengan
menggunakan PCR juga berguna dalam mendiagnosa tuberkel secara cepat dan
diikuti dengan kultur yang memakan waktu beberapa minggu. Tes ini juga dapat
digunakan dalam mendeteksi protein prion pada LCS pada encepalopati spongiform
namun hasilnya kadang-kadang membingungkan.
PERUBAHAN KONSENTRASI DAN KOMPONEN LAIN
Osmolalitas LCS rata-rata 295 mOsm/L sama dengan osmolalitas plasma.
Osmolalitas plasma meningkat jika diberikan larutan hipertonik seperti manitol atau
urea dalam beberapa jam. Hiperosmoloritas menyebabkan dehidrasi otak dan
penurunan volume LCS.
41
Pada tabel 2-2 ditampilkan profil sodium, potassium, kalsium dan magnesium
LCS dan serum. Penyakit-penyakit neurologis tidak akan meningkatkan konsentrasi
dari elektrolit di atas. Konsentrasi klorida yang rendah bisa terdapat pada meningitis
bakteri namun tidak spesifik dan sedikit meningkat pada peningkatan kadar protein
LCS.
Keseimbangan asam basa pada LCS berhubungan dengan asidosis dan
alkalosis metabolic namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Nilai PH normal LCS
kira-kira 7.31, sedikit lebih rendah dari PH darah arteri yang bernilai 7.41. Nilai Pco2
LCS kira-kira 45-49mmHg, sedikit lebih tinggi dari PH darah arteri(40mmHg).
Kadar bikarbonat arterial dan LCS relatif sama. Nilai PH LCS relatif stabil walaupun
sudah terjadi alkalosis atau asidosis metabolik berat. Perubahan asam basa pada LCS
tidak dapat menggambarkan kondisi otak dan tidak spesifik sebagai indikator
perubahan sistemik.
Kadar ammonia pada LCS sepertiga sampai setengah dari jumlahnya dalam
darah. Amaonia biasanya meningkat pada encepalopati hepatik, hiperamonemia
kongenital dan sindroma rey, dimana konsentrasinya meningkat seiring dengan
beratnya encepalopati. Kandungan asam urat LCS adalah 5% dari serum dan dapat
meningkat pada gout, uremia dan meningitis dan menurun pada penyakit Wilson.
Konsentrasi urea sedikit rendah dibandingkan serum; pada keadaan uremia, terjadi
peningkatan yang lebih lambat dibandingkan plasma. Injeksi urea meningkatkan
kadar urea darah dalam waktu cepat, namun proses ini berlangsung lebih lambat pada
LCS,mengakibatkan suatu dehidrasi osmotik yang berakibat pada jaringan SSP dan
LCS. Sebanyak 24 jenis asam amino sudah diisolasi dari LCS. Konsentrasi asam
amino LCS sepertiga dari jumlahnya dalam plasma. Peningkatan kadar glutamin
didapatkan pada koma hepatik dan sindroma reye, sementara penilalanin, histidin,
valin, leusin, isoleusin, tirosin, dan homosistein meningkat pada aminoasiduria.
Sejumlah enzim dapat meningkat pada beberapa kasus dan biasanya terkait
dengan meningkatnya kadar protein LCS. Tidak ada satupun peningkatan enzim yang
42
dapat menjadi indikator spesifik penyakit neurologis, kecuali laktat dehidrogenase,
khususnya isoenzim 4 dan 5 yang dihasilkan dari sel granulosit. Enzim ini meningkat
pada meningitis bakteri namun tidak pada meningitis virus dan aseptik. Laktat
dehidrogenase juga meningkat pada metastase meningeal dan begitu juga antigen
kranioembrionik, namun antigen kranioembrionik tidak meningkat pada meningitis
bakteri, virus dan fungi. Profil lipid LCS sukar untuk dihitung dan jumlahnya dalam
LCS sedikit.
Katabolit dari katekolamin LCS dapat ditentukan. Homovanilic acid (HVA),
katabolit mayor dari katekolamin, dan 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA),
katabolit mayor dari serotonin terdapat secara normal pada LCS dengan kadar 5-6
kali lebih tinggi dilumbal dibanding ventrikel. Jumlah katabolit ini menurun pada
penderita Parkinson.
Akhirnya, dengan makin berkembangnya teknik mikrokimia untuk
menganalisis LCS diharapkan kita dapat lebih mengerti tentang mekanisme metabolik
otak, terutama penyakit penyakit metabolik herediter. Pemeriksaan gas-liquid
kromatografi dapat menemukan banyak produk katabolik baru yang berguna dalam
penegakan diagnosis. Thompson telah melakukan analisis biokimia dan kegunaannya
untuk tujuan diagnosis.
TEKNIK PENCITRAAN PADA OTAK DAN MEDULA SPINALIS
Pada masa lalu, pemeriksaan foto polos merupakan suatu hal yang rutin pada
pasien neurologis, namun keterangan yang didapatkan dari pemeriksaan ini relatif
kecil. Meskipun foto polos cranium merupakan pemeriksaan penunjang utama pada
cedera kepala, fraktur hanya ditemukan 1 dari 16 kasus dengan biaya ribuan dolar per
fraktur dan resiko dari radiasi. Selain fraktur, dari foto polos juga dapat dinilai
perubahan pada kontur tulang, erosi dan hiperostosis, infeksi pada sinus paranasal dan
mastoid serta perubahan pada foramen basalis. Dari foto polos vertebre dapat dilihat
43
osteofit, lesi vetebre destruktif, neoplasma dan infeksi, fraktur dislokasi dan
spondiloestesis, penyakit pott dan paget.
Serangkaian teknik radiologis canggih telah memberikan nilai diagnostik yang
tinggi dalam beberapa kasus khusus, terlebih sejak ditemukannya CT Scan dan MRI.
Kedua teknik pemeriksaan ini menunjukkan kemajuan terkini dalam
memvisualisasikan suatu kelainan.
TOMOGRAFI KOMPUTER
Pada prosedur ini, sinar X yang digunakan dapat menembus tulang, LCS,
substansia grisea dan substansia nigra serta pembuluh darah. Intensitas radiasi yang
dikeluarkan diatur dan diintegrasikan secara terkomputerisasi. Pencapaian penting ini
merupakan pengembangan dari teknik foto polos oleh Hounsfield dan kawan-kawan.
Lebih dari tigapuluh ribu per 2 sampai 4 mm gelombang radiasi dipancarkan secara
horizontal ke arah kranium dan menembus tulang, LCS, pembuluh darah, substansia
alba dan grisea dengan densitas yang berbeda. Berdasarkan hal itu kita dapat
mengamati perdarahan, udem, abses, posisi dan ukuran ventrikel dan midline. Jumlah
radiasi yang digunakan tidak lebih basar dari foto polos.
CT Scan generasi terakhir dapat menampilkan gambaran otak dan tulang
belakang dengan sangat jernih. Seperti yang ditampilkan pada gambar 2-1A-D, pada
potongan tranversal, dapat diamati nukleus kaudatus dan nukleus lentikular, kapsula
interna dan thalamus. Posisi dan pelebaran sulkus dapat diukur dan nervus kranial
serta otot rektus medial dan lateral juga tampak pada bagian posterior orbita. Batang
otak, serebelum dan medulla spinalis mudah dilihat pada tingkatan yang tepat. Selain
itu CT Scan juga berguna dalam menentukan gangguan saraf perifer, tumor, lesi
inflamasi dan hematom. CT Scan memiliki beberapa kelebihan dibanding MRI,
terutama pada kasus perdarahan dan terdapatnya protese logam, biayanya lebih
rendah, waktu pemeriksaan lebih pendek dan lebih tajam dalam memvisualisasikan
44
proses kalsifikasi, lemak, terutama basis kranii dan vetebre. Jika monitoring dan alat
resursitasi harus terpasang ketika pemeriksaan harus dilakukan, hasil pemeriksaan
dengan CT Scan lebih jelas dibandingkan MRI. Perkembangan teknologi CT scan
pada masa sekarang meningkat dengan cepat terutama di bidang vaskularisasi seperti
CT angiografi.
MIELOGRAFI KONTRAS
Dengan menginjeksikan 5 sampai 25 mL kontras melalui jarum LP, semua
ruang subarachnoid medula spinalis dapat dinilai (Gambar 2-1E dan F). Prosedur ini
memiliki resiko yang relatif sama dengan LP kecuali pada kondisi spinal blok
komplit karena penumpukan kontras pada daerah sekitar blok menyebabkan nyeri dan
mioklonus. Herniasi diskus lumbal dan servikal, spondilosis servikal, pergeseran
radik nervi spinalis dan tumor medulla spinalis dapat didiagnosa secara akurat.
Pantopaque-zat kontras larut lemak- masih boleh digunakan terbatas pada keadaan
tertentu (gambaran obstruksi komplit medula spinalis bagian atas). Jika kontras
tersisa dalam ruangan subarachnoid, menandakan adanya darah atau eksudat yang
mengindikasikan arachnoiditis otak dan medula spinalis.
Pada CT Scan badan dapat diamati kanalis spinalis dan foramen intervetebral
dan dengan penggunaan kontras dapat membantu memvisualisasikan lesi spinal dan
fosa posterior. Mielogafi kontras dapat memvisualisasikan daerah-daerah kecil pada
daerah kanalis spinalis seperti ressses lateral dan pergeseran radik nervi spinalis.
MRI menghasilkan gambaran yang lebih tajam pada kanalis spinalis dan isinya,
begitu juga dengan vetebre dan diskus intervetebre yang secara luas dapat
menggantikan fungsi mielografi kontras.
Magnetic Resonance Imaging
45
Pada dasarnya MRI juga menampilkan gambar bagian-bagian otak dari
berbagai sudut, dan teknik ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan CT dalam
hal penggunaan energi tanpa ionisasi dan penyajian resolusi yang lebih baik dari
struktur-struktur yang berbeda di dalam otak dan organ lainnya. Dengan kata lain,
MRI adalah prosedur yang terbaik untuk menvisualisasikan hampir semua penyakit
syaraf.
Pemeriksaan MRI dilaksanakan dengan cara menempatkan pasien di dalam
sebuah medan magnet yang kuat, yang menyebabkan isotop dalam (atom) jaringan
dan LCS di dalam posisi longitudinal di medan magnet. Penggunaan gelombang radio
dengan frekuensi beberapa milidetik ke dalam medan magnet menyebabkan
berubahnya koordinat posisi atom dari longitudinal ke bidang transversal. Ketika
frekuensi radio dimatikan, maka atom-atom tersebut akan kembali ke posisi semula.
Energi frekuensi radio yang telah diserap tersebut akan menghasilkan pancaran sinyal
magnetik yang dapat dideteksi dengan menggunakan gulungan elektromagnetik.
Untuk mendapatkan penggambaran jaringan yang berbeda, penggunaan getaran
frekuensi radio harus dilakukan beberapa kali (rangkaian getaran), dimana sinyal
magnetik yang dihasilkan diukur di setiap getaran yang diberikan. Scanner kemudian
akan menyimpan sinyal-sinyal tersebut sebagai matriks data yang selanjutnya akan
dilakukan analisis komputer untuk mengetahui penggambaran yang diperoleh.
Resonansi magnetik Nuclear dapat dideteksi berdasarkan sejumlah isotop
dalam, tetapi teknologi dewasa ini umumnya menggunakan sinyal-sinyal yang berasal
dari atom hidrogen (1H) karena hidrogen merupakan elemen yang paling banyak
terdapat dalam jaringan serta menghasilkan sinyal magnetik yang paling kuat.
Gambar yang dihasilkan pada dasarnya adalah “peta’ dari kandungan hidrogen
jaringan dimana sebagian besarnya berupa konsentrasi air, yang kemudian juga
dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan kimia dari atom hidrogen tersebut. Jaringan
yang berbeda mempunyai tingkatan pelepasan proton yang berbeda pula, yang
kemudian menghasilkan intensitas sinyal yang berbeda sehingga jaringannya pun
berbeda. Istilah T1 dan T2 digunakan dalam kaitannya dengan waktu konstan yang
46
digunakan untuk pelepasan proton; waktu tersebut dapat diubah dengan tujuan untuk
memperhatikan ciri-ciri tertentu dari struktur jaringan. Gambar yang dihasilkan
dalam T1, warna LCS tampak gelap dan batas lapisan serta substansi alba jelas
terlihat sebagaimana halnya dengan gambar CT, namun gambar yang dihasilkan
dalam T2 menunjukan LCS berwarna putih. Gambar dalam T2 menunjukan
perubahan dalam substansia alba seperti infark, demielinasi, dan udem (Tabel 2-3).
Rangkaian gradient-echo (GRE) merupakan satu tipe teknik yang sensitif terutama
terhadap darah dan produk nekrosis, yang ditampilkan sebagai daerah gelap pada
gambar.
Teknik FLAIR (fluid-attenuated inversion recovery) merupakan teknik yang
memberikan sinyal kuat terhadap lesi pada jaringan parenkim, dan sinyal yang lemah
pada LCS. Teknik ini sensitif terhadap kalsium dan zat besi di dalam jaringan otak
yang menunjukan tahap awal dari infarks, yang menekankan pada lesi demielinasi.
Gambar yang dihasilkan oleh alat MRI terbaru benar-benar luar biasa (Gambar 2-2A
sampai C). Karena tingkat perbedaan yang tinggi antara substansi alba dan grisea,
seseorang dapat mengidentifikasi semua struktur nuklir yang berlainan dan lesi yang
terdapat di dalamnya. Lesi dalam pada lobus temporal, fossa posterior,
sevikomedular junction dapat dilihat dengan lebih baik dibandingkan dengan CT;
strukturnya dapat ditampilkan dari tiga sudut dan tidak dirusak oleh sinyal-sinyal
yang berasal dari struktur tulang yang berdekatan. Lesi demilienasi tampak dengan
sangat jelas, serta jaringan infark dapat dikenali pada tahap awal dibandingkan
dengan CT. Hasil-hasil dari metabolisme eritrosit –metemoglobin, hemosiderin, dan
ferritin- juga dapat diketahui, sehingga membantu seeorang dalam memperkirakan
lamanya pendarahan yang berlebihan dan kemudian mencari solusinya seperti yang
didiskusikan pada Bab 34 dan 35. Begitu juga halnya dengan LCS, lemak, kalsium,
dan zat besi yang memiliki karakteristik sinyal tersendiri dari rangkaian gambar yang
berbeda.
Penggambarantulang belakang menyajikan gambaran yang jelas mengenai
korpus vetebre, diskus intervetebralis, medulla spinalis, dan cauda equina (gambar 2-
47
2d sampai F), demielinasi, dan abses). Teknik ini telah menggantikan teknik
mielografi dengan kontras kecuali untuk beberapa kondisi ketika dibutuhkan gambar
radik nervus serta medulla spinalis dengan resolusi yang sangat tinggi.
Pelaksanaan dari gadolinium, sebuah alat paramagnetik yang dapat
meningkatkan proses pelepasan proton selama rangkaian T1 pada MRI, bahkan dapat
memberikan gambaran yang lebih jelas serta menunjukan daerah-daerah disekitar lesi
tersebut dimana gangguan aliran darah otak, medulla spinalis atau radik.
Penggunaan MRI terbatas pada anak-anak dan orang dengan gangguan
kognitif karena mereka biasanya tidak kooperatif. Kelompok seperti ini perlu
diberikan obat penenang, sehingga kebanyakan rumah sakit telah menyediakan
pelayanan agar dapat memberikan obat penenang untuk pemeriksaan ini.
Mempelajari pasien yang membutuhkan ventilator agak susah tapi lebih terarah
dengan menggunakan ventilasi tangan atau ventilator nonferromagnetik.
Bahaya utama penggunaan MRI adalah tenaga putaran, pencabutan, atau
pemanasan potongan metal pada pembuluh darah, dan peralatan kedokteran gigi serta
objek ferromagnetik lainnya serta fragmen metal di dalam orbit yang seringkali
diabaikan oleh operator. Untuk alasan ini, maka akan bijaksana jika pada pasien
tertentu dilakukan radiografi pada tulang kepala sehingga dapat dideteksi kandungan
logam di daerah ini. Fragmen logam kornea dapat diangkat melalui operasi mata jika
MRI dirasa sangat diperlukan. Hadirnya terobosan baru yang berhubungan dengan
gangguan jantung, defibrillator, atau stimulator yang dicangkokan pada otak atau
medulla spinalis sama sekali tidak dianjurkan dengan penggunaan MRI sebagai
medan magnet yang dapat memicu arus-arus yang tidak diinginkan pada peralatan
serta kabel-kabel yang keluar dari peralatan tersebut. Walau demikian, kebanyakan
dari katup jantung ferromagnetic buatan, port intravaskular, klips pada aneurisma,
shunt ventrikular, serta katup jantung buatan bukanlah menjadi resiko bagi pengunaan
magnetic imaging. Begitu juga halnya dengan prostese sendi. Daftar peralatan yang
telah diuji kerentanan ferromagneticnya serta keamanannya dalam penggunaan MRI
48
dapat ditemukan dalam monogram Shellock yang terus diupdate secara teratur. MRI
akan beresiko dalam situasi ini jika tidak ada pengetahuan langsung yang
berhubungan dengan material yang digunakan. Begitu banyak contoh kejadian
dimana dokter terburu-buru membawa pasiennya yang sedang kritis ke ruangan MRI
dan lupa mengeluarkan instrumen logam yang terdapat dalam saku mereka sehingga
dapat mengganggu pasien atau medan magnet tersebut.
Karena penggunaan MRI menyebabkan meningkatnya jumlah penderita
katarak pada janin hewan, maka muncul keraguan akan penggunaan MRI bagi pasien
yang hamil terutama pada triwulan pertama. Walau bagaimanapun, data terbaru
menunjukan bahwa teknik yang digunakan memerlukan kajian secara medis. Dalam
sebuah studi dimana 1000 teknisi MRI yang hamil memasuki medan magnet berulang
kali (magnetnya tetap dalam prosedur yang ada) ditemukan hasil tidak adanya
dampak yang merugikan bagi janin (Kanal et al)
Beberapa tipe dari gambaran artefak MRI yang diketahui, kebanyakan
diantaranya berkaitan dengan malfungsi elektronik pada medan magnet, dan para ahli
yang terlibat dalam prosedur ini (untuk penjelasan lebih lanjut, lihat monograf Hulk
et al). Yang paling umum dan problematik adalah aliran LCS di dalam medulla
spinalis torakal, yang memberikan pengaruh pada massa intradural; penyimpangan
struktur bentuk pada bagian dasar otak yang berasal dari peralatan kesehatan gigi
ferromagnetik serta garis yang melewati gambar yang dipicu oleh aliran darah serta
gerakan pasien.
Dalam beberapa tahun terakhir, resiko tambahan dari fibrosis nefrogenik telah
dapat diidentifikasi dalam kaitannya dengan penggunaan gadolinium. Hal ini
umumnya dialami oleh pasien dengan gejala gagal ginjal. Karena alasan itulah maka
sudah lazim dilakukan pengukuran kreatinin dan BUN sebelum pemasangan alat.
Masalah ini kurang disadari sebelumnya karena jarang (frekuensinya belum dapat
ditentukan), dan juga karena lambatnya efek toksik terhadap ginjal, yang berkisar
antara beberapa hari sampai dua bulan.
49
Teknologi MRI ini terus berkembang. Visualisasi pembuluh darah yang
berada di otak ( magnetic resonance angiography), tumor, lesi kompresif, lesi
traumatik syaraf perifer (Filler et al) serta kerusakan perkembangan pada SSP adalah
beberapa alasan mengapa penerapan teknologi MRI sangat menjanjikan. Perhatian
khusus harus ditujukan pada diffusion-weighted imaging (DWI), sebuah prosedur
yang hanya membutuhkan waktu satu menit serta tidak terhingga nilainya dalam
mendeteksi tahapan paling dini dari stroke iskemik ( biasanya dalam 2 jam atau
kurang dari waktu serangan); disamping itu DWI juga berguna untuk membedakan
antara penyebaran kanker pada otak dengan abses. Disini, penyebaran air yang
terbatas pada daerah infark otak ditunjukan dengan sinyal putih terang. Perfusion-
weighted imaging (PWI) bisa digunakan untuk mendeteksi daerah yang mengalami
kekurangan perfusi; sejalan dengan DWI, PWI juga dapat menggambarkan daerah
iskemik yang jaringannya belum mati sehingga dapat disertakan dalam pemulihan
aliran darah dengan berbagai teknik (Bab 34). Kapasitas MRI yang digunakan untuk
mengukur struktur anatomi juga dapat memberikan kemungkinan demonstrasi atrofi
sel syaraf.
Setiap beberapa tahun, sejumlah perkembangan dalam menginterpretasikan
karakteristik sinyal dan perubahan morfologi bermunculan, begitu juga dengan
munculnya cara-cara baru dalam penggunaan teknologi ini dalam kaitannya dengan
kajian metabolisme otak serta aliran darah ( MRI fungsional atau fMRI). Gambar
fungsional ini diperoleh dari pasien normal selama pelaksanaan tugas-tugas kognitif
dan motorik, sedangkan pada pasien dengan gangguan syaraf dan kejiwaan
diterapkan pola baru aktivasi otak dan mengubah beberapa konsep tradisional fungsi
selaput otak serta lokalisasi. Teknik utama yang dewasa ini digunakan adalah
mengukur perbedaan antara oxy dan deooxyhemoglobin yang menggambarkan
pengiriman darah ke sebuah bagian. Sinyal blood oxygen level-dependent ini dapat
diperoleh dari data MRI dan digunakan sebagai pengganti bagi aktivitas metabolisme
otak lokal.
50
Meningkatnya penggunaan diffusion tensor imaging (DTI) umumnya untuk
menggambarkan serat traktus syaraf pada otak, akan tetapi algoritma lainnya sedang
dikembangkan sebagai kajian khusus. Teknik ini tergantung pada observasi, dimana
air serta molekul-molekul lainnya bergerak secara acak karena penyebaran, yang
menyelidiki jaringan diluar resolusi gambar yang biasa digunakan. Pergerakan
molekul-molekul tersebut dalam tiga dimensi dihalangi oleh jaringan otak sehingga
tidak ada yang seragam; DTI mengukur tingkat keberagaman ini, atau anisotrofi yang
memberikan gambaran sangat detail dari struktur jaringan dengan resolusi yang luar
biasa.
Meningkatnya penggunaan MRI serta kepekaan mesin-mesin dan algoritma
komputer dewasa ini secara tidak langsung berefek pada penemuan sejumlah
penemuan yang tidak penting sehingga menimbulkan kecemasan yang tak sewajarnya
dan terkadang mendorong seseorang untuk melakukan konsultasi syaraf. Tapi walau
demikian, jumlah yang mengejutkan berkaitan dengan konsekuensi lesi otak juga
dikemukakan. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian berskala besar pada orang
dewasa yang tidak menunjukan gejala penyakit yang tergabung dalam “Rotterdam
Study” menunjukan kesesuaian dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan
bahwa ditemukannya penderita aneurisma kurang lebih 2 persen, meningioma
sebanyak 1 persen, dan dengan persentase yang lebih kecil dan tidak signifikan
adalah vestibular schwannomas dan tumor kelenjar pituitary, tapi lain halnya dengan
aneurisma yang meningkat sejalan dengan usia. Satu persen menderita sindroma
Arnold-Chiari, dan beberapa menderita kista arachnoid. Selanjutnya, tujuh persen
pasien diatas 45 tahun menderita occult stroke (stroke yang susah untuk dideteksi)
yang pada umumnya berupa lacunar. Karena penelitian ini dilaksanakan tanpa
menggunakan gadolinium, maka diharapkan kerusakan yang bahkan lebih kecil dapat
diatasi. (Vernooij et al)
Teknik magnetic resonance spectroscopy sebenarnya berasal dari nuclear
magnetic resonance (NMR). Penggunaannya mulai meningkat dalam menganalisis
kerusakan tertentu pada otak depan. Penggunaan terbaru adalah dalam analisis bagian
51
otak dan rangkaian frekuensi magnetic resonance yang digunakan sehingga dapat
mendeteksi sinyal dari relaksasi ikatan elektrokimia dari berbagai unsur jaringan otak.
Yang paling utama adalah choline (senyawa ammonia) dan N-acetyl-aspartate
(kerusakan bagian pada otak); kolin biasanya terkandung dalam membrane myelin
dan NAA merupakan penanda bagi sel syaraf. Disamping itu juga dapat dideteksi
gangguan produk pada myelin yang muncul di sebelah kanan NAA pada
spectrogram. Dalam hal ini, kerusakan yang disebabkan oleh infark, tumor, atau
demielinasi dapat dibedakan.
Penggunaan CT scanning dan MRI dalam mendiagnosis penyakit syaraf
tertentu dianggap dalam bab pembahasan yang sesuai.
Angiografi
Teknik ini telah berkembang selama lebih dari 50 tahun dimana ini
merupakan metode yang aman dan berguna dalam mendiagnosis aneurisma,
malformasi vaskular, oklusi arteri dan vena, diseksi arteri dan angitis. Sejak
munculnya teknik CT dan MRI, penggunaan angiografi secara praktikal hanya
terbatas pada diagnosis gangguan vaskular, dan perbaikan dari dua teknik terdahulu (
magnetic resonance angiography (MRA) serta CT scanning spiral, yang nanti akan
dijelaskan lebih lanjut) diharapkan dapat mengurangi penggunaan angiografi x-ray
yang konvensional. Walau demikian, prosedur endovascular yang baru untuk
pengangkatan jaringan aneurisma, malformasi arteri vena dan tumor vaskular masih
membutuhkan angiografi konvensional.
Setelah dilakukan anastesi lokal, suntikan biasanya diberikan pada arteri
bagian femoralis atau brakialis, kanul tersebut kemudian akan diteruskan melalui
jarum suntik ke sepanjang aorta dan cabang arteri yang akan digambarkan. Dalam
hal ini, media kontras dapat disuntikan untuk melihat arkus aorta, pangkal pembuluh
arteri karotis, artessi vetebralis dan perjalanannya menuju rongga kranium.
Arteriogafer yang berpengalaman dapat menvisualisasikan arteri serebri dan spinalis
52
sampai arteri dengan diameter lumen 0.1 mm (dalam kondisi yang optimal) serta
pembuluh vena dengan ukuran yang sebanding.
Angiograpi bukan tanpa resiko. Penggunaan dalam konsentrasi yang tinggi pada
medium yang disuntikan dapat memicu spasme vaskular, oklusi, dan penggumpalan
bisa terjadi pada ujung kateter dan emboli arteri. Gangguan penyakit secara
keseluruhan dari prosedur ini berkisar antara 2.5 persen, umumnya seperti
memburuknya kondisi lesi vaskular atau dari komplikasi pada lokasi pungsi.
Terkadang menghasilkan frank brain serta lesi iskemik pada tungkai yang mungkin
dihasilkan material atheromatous (penumpukan lemak pada arteri), atau seringkali
diseksi yang disebabkan oleh kateter. Pasien bisa menderita hemiplegi, quadraplegi,
kebutaan; oleh karena alasan inilah prosedur ini sebaiknya tidak dijalankan jika
prosedur ini tidak terlalu dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosis yang jelas atau
digunakan sebagai antisipasi dari operasi yang memerlukan informasi lokasi
pembuluh. Mielopati servikal adalah komplikasi yang jarang terjadi tapi cukup
berbahaya sebagai akibat dari komplikasi arteri vetebralis; akibat tersebut akan
ditunjukan dengan perasaan nyeri pada bagian belakang leher segera setelah
penyuntikan. Iskemia progresif yang berasal dari nyeri pada patologi vaskular terjadi
selama beberapa jam berikutnya. Komplikasi yang sama juga terjadi pada level lain di
angiograf bagian visceral.
Dengan adanya perkembangan dalam teknik radiologi yang menggunakan
proses komputer digital pada data radiologi agar dapat menghasilkan gambaran dari
pembuluh arteri pada leher dan tengkorak, maka pembuluh akan dapat
divisualisasikan dengan menggunakan kateter yang lebih kecil dibandingkan dengan
yang digunakan sebelumnya
Magnetic resonance dan Computed Tomographic Angiografi
Keduanya merupakan teknik noninvasif untuk menvisualisasikan pembuluh
arteri intrakranial. Mereka dipercaya dapat mendeteksi lesi vaskular dalam
intrakranial serta stenosis arteri ekstrakranial, serta juga menggantikan angiografi
53
konvensional. Keduanya mendekati, walaupun belum bisa menyamai resolusi
radiografi dari angiografi invasif untuk pembuluh distal dan dalam memperoleh
perincian yang jelas mengenai kerusakan oklusi. Meski demikian, mereka sangat
berguna untuk mengukur kejelasan dari pembuluh vena servikal dan basis( Gambar 2-
3A sampai D). Visualisasi dari pembuluh vena sebri juga memungkinkan dalam hal
ini. Berbeda halnya dengan MRA, teknik CT membutuhkan injeksi cairan
intravenous yang berguna untuk memvisualisasikan pembuluh darah dan kelainan
yang berkaitan dengan tulang dan otak (gambar 2-3E). Penggunaan metode-metode
ini serta metode lainnya dalam rangka mendeteksi gangguan pada arteri karotis ( akan
didiskusikan lebih lanjut pada bab 34 dalam kaitannya dengan gangguan vascular
otak bagian depan)
Positron Emission Tomografi
Teknik ini yang umumnya dikenal sebagai PET digunakan untuk mengukur
konsentrasi otak regional dari isotop radioaktif yang diatur secara sistematis.
Positron-emitting isotopes (biasanya dalam bentuk 11C, 18F, 13N, dan 15O) dihasilkan
dalam partikel akselerator atau akselerator linear dan kemudian digabungkan dengan
senyawa aktif biologi di dalam tubuh. Konsentrasi isotop pada berbagai bagian otak
ditentukan secara noninvasif dengan menggunakan alat pendeteksi yang berada di
luar tubuh, dan gambar tomography (struktur tubuh) dihasilkan dengan menggunakan
teknik yang serupa dengan yang digunakan para CT dan MRI.
Pola lokal pada aliran darah otak, uptake oksigen, penggunaan glukosa dapat
diukur dengan menggunakan PET scanning, prosedur ini telah terbukti berguna dalam
meneliti tumor otak primer, dan membedakan antara jaringan tumor dengan nekrosis
karena radiasi, menempatkan focus epileptic, dan terutama dalam membedakan tipe-
tipe penyakit demielinisasi. Teknik ini baru-baru ini digunakan dalam melabeli
molekul dari spesies kimia patologi seperti beta-amyloid, memungkinkan
pemerolehan gambar dari penyimpanan protein di dalam otak sebagai metode
eksperimen untuk mendeteksi penyakit Alzheimer. Tidak diragukan lagi, pendekatan
54
ini akan menjadi sangat berguna dalam mempelajari berbagai jenis penyakit
degeneratif dan juga responnya terhadap perlakuan yang diberikan. Kemampuan
teknik ini dalam menghitung neorutransmitter, serta reseptornya juga sangat penting
dalam mempelajari penyakit Parkinson serta penyakit degeneratif lainnya. Sayangnya
teknologi ini membutuhkan fasilitas yang mahal sehingga persediaannya sangat
terbatas saat ini.
Single-Photon Emission Computed Tomografi
Teknik yang dikembangkan dari PET ini menggunakan isotop yang tidak
memerlukan partikel akselerator dalam produksinya. Radioligand (biasanya terdiri
dari iodine) digabungkan dengan senyawa aktif biologik yang hanya akan
menghasilkan satu photon. Prosedur ini memungkinkan untuk meneliti aliran darah
pada otak depan regional dalam keadaan isckemik serebral atau selama metabolism
jaringan yang intens. Resolusi anatomi terbatas yang dihasilkan oleh single-photon
emission computed tomography (SPECT) juga telah membatasi manfaat klinisnya,
tetapi ketersediaannya yang lebih banyak menjadi pertimbangan dalam
penggunaannya. Hal tersebut telah dibuktikan dalam membedakan antara penyakit
Alzheimer dengan sejumlah atrofi serebri, serta pada penempatan dari focus epileptic
pada pasien yang berpotensi mengalami reseksi kortikal. Ketika diinjeksikan, isotop
dengan cepat berada pada otak dengan penyerapan regional yang proporsional dengan
aliran darah, dan stabil selama satu jam atau lebih. Oleh karena itu, memungkinkan
untuk menyuntikan isotop pada saat awal serangan, sementara itu pasien
mendapatkan video dan electroencephalographic monitoring, dan untuk melakukan
scaning pasien kemudian.
Ultrasonografi
Pada beberapa tahun belakangan ini, teknik ini telah dikembangkan pada
tahap dimana teknik ini telah menjadi metodologi prinsip dalam penelitian klisnis
yang berkaitan dengan otak janin atau bayi serta tes tambahan yang penting pada
pembuluh darah otak pada orang dewasa. Instrumen yang digunakan dalam aplikasi
55
ini terdiri dari transduser yang mampu mengubah energi listrik menjadi gelombang
ultrasound dengan frekuensi berkisar antara 5 sampai 20 kHz. Gelombang ini
kemudian dikirimkan melalui tulang tengkorak menuju otak. Jaringan yang berbeda
memiliki variable tahanan akustik dan kemudian gemanya dikirimkan kembali ke
transduser, yang menampilkannya sebagai gelombang dari variabel tinggi atau
sebagai poin dari kepadatan yang bervariasi. Dengan cara ini, seseorang dapat
memperoleh gambar dari jaringan membran mata bayi, atrium jantung, serta massa
nuklir pusat. Biasanya beberapa potongan koronal dan sagital diperoleh dengan
meletakkan transduser didepan fontanel atau pada calvarium pada anak. Pendarahan
intraserebral, perdarahan subdural, lesi massa dan gangguan kongenital juga dapat
divisualisasikan.
Instrumen yang sama juga digunakan untuk menginsonasi pembuluh basal
sirkulus Willisi ( transkranial Dopler), pembuluh arteri karotis dan pembuluh
vetebralis dan pembuluh arteri temporal yang berguna untuk mempelajarai gangguan
pada pembuluh darah serebrovaskular. Kegunaan utamanya adalah untuk mendeteksi
dan tingkat penyempitan dari pembuluh arteri karotis interna. Disamping menyajikan
gambar suara dari struktur vaskular, perubahan frekuensi Doppler yang disebabkan
karena mengalirnya eritrosit menunjukan kecepatan dalam setiap bagian di dalam
pembuluh. Dua teknik yang digabungkan disebut “carotid dupleks”; teknik ini
memungkinka lokalisasi yang akurat dari tempat stenosis maksimal sebagaimana
yang ditunjukan oleh nilai aliran dan turbulensi terbesar. Skala perubahan yang
ditampilkan oleh Dopler adalah berupa kode warna sehingga penggambaran isonasi
dan pemetaan aliran dapat dengan mudah terlihat dan diinterpretasikan.
Transkranial Dopler menggunakan getaran sinyal 2-MHz yang dapat
menembus tulang kalvaria pada orang dewasa yang kemudian menerima sinyal
perubahan frekuensi dari aliran darah pada lumen pembuluh basal. Teknik ini dapat
mendeteksi penyempitan vaskular serta peningkatan kecepatan aliran darah yang
disebabkan oleh vasospasme pada perdarahan subarachnoid.
56
USG pada dasarnya memiliki beberapa keuntungan. Terutama karena ini adalah
teknik noninvasif, tidak berbahaya (sehingga dapat digunakan berulangkali), mudah
dilakukan karena instrumennya yang mudah dipindahkan, serta tidak mahal. Aplikasi
yang lebih spesisfik dari tenik ini akan dijabarkan dalam Bab 38 pada bagaian
perkembangan penyakit dalam system syaraf, dan pada bab 34 yang berhubungan
dengan stroke.
Teknik yang berhubungan dengan pemerikasaan jantung menggunakan
peralatan ultrasound echocardiografi juga memiliki peranan utama dalam
mengevaluasi stroke sebagaimana yang dijelaskan pada bab 34.
Elektroencephalografi(EEG)
Pemeriksaan EEG selama beberapa tahun merupakan prosedur laboratorium
standar dalam kaitannya dengan kajian dan lokalisasi dari semua bentuk gangguan
pada serebral dimana untuk kasus yang kajian luas digantikan oleh CT dan MRI
untuk tujuan lokalisasi. Meskipun demikian, teknik ini tetap merupakan bagian
penting dalam mempelajari pasien yang menderita kejang-kejang (seizure) atau yang
diduga menderita kejang, begitu juga halnya dengan kematian otak (brain death)
serta masalah tidur (polysomnography). Teknik ini juga digunakan untuk
mengevaluasi dampak penyakit pada system metabolism pada otak bagian depan, dan
juga untuk memonitor aktivitas otak pada pasein yang sedang dibius. Untuk beberapa
penyakit seperti infeksi pada otak subakut, teknik ini dapat digunakan dalam tes
laboratorium. Teknik tersebut akan dijabarkan disini secara detail, karena
kegunaannya secara umum pada neorologi.
EEG merekam aktivitas elektrik spontan yang terdapat pada kortek serebri.
Aktivitas ini menggambarkan arus elektrik yang mengalir pada ruang ekstrasel otak
yang berupa dampak summasi dari potensi sinapsis inhibitor dan eksitator yang
sangat banyak pada neuron kortikal. Aktivitas spontan pada kortek seringkali
dipengaruhi dan disinkronisasikan oleh struktur subkortek, umumnya pada bagian
thalamus dan formasio retikularis batang otak. Impuls aferen pada struktur dalam
57
bertanggung jawab dalam menimbulkan syaraf cortical untuk menghasilkan
karakteristik ritme pada pola gelombang otak, seperti ritme alfa dan kumparan tidur.
Elektroda yang berupa disk klorida berwarna perak atau keperakan
berdiameter 0.5 cm dilekatkan pada kulit kepala dengan menggunakan pasta
konduktif.electroencephalograph memiliki 8 sampi 32 atau lebih unit kuat yang dapat
merekam daerah pada kulit kepala pada saat yang bersamaan. Ritme pada otak
dikenal dengan gelombang pada aktivitas otak dalam frekuensi yang berkisar antara
0.5 sampai 30 Hz (putaran perdetik) dalam ukuran tampilan standar 3 cm/s.
Sebelumnya, sinyal kuat direkam dengan pinggiran pena, tetapi sekarang ini format
digital ditampilkan pada layar computer dan disimpan dalam format digital. Hasil dari
electroencephalogram (EEG) pada dasarnya berupa voltage-versus-time grafik yang
merupakan jumlah dari garis gelombang simultan parallel atau “channels” (Gambar
2-4A). Setiap channel mewakili perbedaan dalam potensi elektrik antara dua
elektroda (elektroda umum digunakan sebagai tempat perekaman, akan tettapi
channel masih menggambarkan perekaman pada dua kutub). Channel tersebut
disusun untuk menampilkan campuran standar yang umumnya digunakan untuk
membandingkan aktivitas dari suatu bagian pada lapisan luar otak depan dengan
bagian lain pada sisi yang berlawanan. Pasangan elektroda yang digunakan dewasa
ini berdasarkan system “Internasional 10-20” yang menggunakan 10 elektroda di
setiap sisi tengkorak dan lebih ditekankan pada daerah di dekat otak untuk
memudahkan inspeksi visual pada rekaman.
Pasien biasa diperiksa dengan kondisi mata tertutup dan berbaring di kursi
atau tempat tidur. Oleh karena itu, EEG yang umum digunakan akan menggambarkan
aktivitas elektrocerebral yang direkam dibawah kondisi tertentu, biasanya pada
periode tidur atau bangun, dari beberapa bagian lengkungan otak depan selama
sebagian kecil segment pada kehidupan seseorang.
Disamping rekaman utuh, beberapa prosedur aktivasi juga diterapkan.
Pertama, pasien diminta untuk menarik napas dalam-dalam sebanyak 20 kali per
58
menit selama 3 menit. Hiperventilasi melalui mekanisme yang ditentukan mungkin
dapat mengaktivasi pola karakteristik pada kejang-kejang atau kelainan lainnya.
Kedua, sinar dengan intensitas cahaya tinggi ditempatkan sejauh 15 inci dari mata
pasien dan dengan sinar dengan frekuensi 1 sampai 20 per detik dengan kondisi mata
pasien dalam keadaan terbuka dan tertutup. EEG pada bagian belakang kepala
menunjukan gelombang yang berhubungan dengan setiap sinar atau cahaya ( photo
gambar 2-4B) atau stroke yang dapat memicu penghentian abnormalitas (Gambar 2-
4C)
EEG direkam setelah pasien tertidur secara alami atau dengan penggunaan
obat sedative pada anak-anak. Tidur sangat membantu dalam memunculkan gejala
kelainan terutama bagi yang diduga mengalami eplepsi bagian temporal dan sindrom-
sindrom lainnya.
Melalui medium dari rekama EEG (seperti yang digambarkan pada bab 19),
berbagai kelainan yang dapat dikenali melalui tidur dapat ditampilkan serta aktivitas
EEG sesuai dengan rekaman videographical dari aktivitas kejang. Yang juga berguna
secara klinis adalah EEG yang direkam dengan peralatan digital kecil atau telemetri
pasien yang dapat bergerak bebas tapi diduga memiliki kelainan seizure. Bab 16 akan
mendiskusikan topic ini secara menyeluruh.
Beberapa tindakan pencegahan sangat dibutuhkan jika
electroencephalography akan menjadi sangat berguna. Pasien seharusnya tidak
diberikan obat-obatan sedative (kecuali sesuai dengan yang disebutkan di atas) dan
tidak makan untuk beberapa saat lamanya karena obat-obatan sedative dan juga gula
darah yang relative rendah (hypoglycemia) bisa saja mengubah pola EEG normal.
Hal yang sama juga berlaku pada konsentrasi mental, kegelisahan atau rasa kantuk
yang ekstrem, kesemuanya cenderung menekan ritme alfa normal, serta memicu otot
dan bagian lainnya. Dalam kaitannya dengan pasien yang menderita epilepsy atau
yang sudah mendapati penanganan dari penyakit ini, kebanyakan dokter lebih
memilih untuk merekam EEG selama pasien masih menerima obat-obatan anti kejang
59
(anticulsovant). Pada kondisi tertentu, seperti dalam memonitoring pasien yang
dirawat, penggunaan obat-obatan ini ditarik dalam satu atau dua hari dengan tujuan
untuk meningkatkan kemungkinan untuk merekam berhentinya kejang-kejang.
Interpretasi yang sesuai dari EEG melibatkan beberapa karakteristik dari pola
normal dan abnormal serta ritme latar belakang(yang disesuaikan dengan usia
pasien), untuk mendeteksi asimetri dan perubahan periodic pada ritme, dan yang lebih
penting adalah membedakan objek buatan dengan kelainan bawaan.
Tipe-tipe rekaman normal
Rekaman normal pada orang dewasa menunjukan asimetri 8 sampai 12 per
detik 50-mV gelombang alfa pada pembuluh dalam jaringan organ (sinusoid) dalam
daerah belakang kepala serta parietal. Gelombang tersebut memperbesar dan
meringankan secara spontan dan dilemahkan serta ditekan secara keseluruhan oleh
mata yang terbuka atau aktivitas mental (lihat gambar 2-4A). Frekuensi pada ritme
alfa berbeda-beda pada setiap pasien, walaupun rate pasien akan semakin lemah
karena usia. Gelombang yang lebih cepat dari 12 Hz dan dengan amplitude yang
lebih rendah (10 sampai 20 mV) dikenal dengan gelombang beta yang secara normal
direkam dari bagian depan secara simmetris.
Ketika subjek telah tertidur, ritme alfa melambat secara simetris dan
gelombang karakteristikpun muncul (gelombang vertex dan kumparan tidur) (lihat
gambar 19-1). Jika benzodiazepine atau obat-obatan sedative lainnya telah diberikan,
peningkatan pada frekuensi normal biasanya terjadi. Sejumlah aktivitas teta (4-7 Hz)
biasanya ditampilkan dalam bagian temporal, terutama pada orang berusia 60 tahun
ke atas. Aktivitas delta( 1 sampai 3 Hz) biasanya tidak muncul pada orang dewasa
normal yang terjaga.
Selama stimulus stroboscopic, respon kepala bagian belakang terhadap setiap
sinar atau cahaya biasanya dapat terlihat. Adanya respon semacam ini biasanya
mengindikasikan bahwa setidaknya pasien dapat melihat cahaya, dan jika tidak,
60
pasien itu adalah pasien yang pura-pura sakit atau bereaksi terlalu berlebihan. Respon
visual yang ditimbulkan adalah suatu alat pendeteksi kebutaan psikogenik yang
bahkan lebih sensitive dibandingkan oksipital yang menggerakan EEG. Penyebaran
respon oksipital pada rangsangan photic dengan produksi yang abnormal atau
gelombang serangan yang hebat, membuktikan rangsangan yang tidak normal.
(gambar.2-4B dan C). Pola serangan bisa terjadi selama pengujian EEG tipe ini,
diikuti dengan sentakan miokloni yang kuat pada wajah, leher dan anggota-anggota
badan(respon fotomiogenik atau fotomioklonik) atau dengan kejang -kejang (respon
fotoparoksismal atau fotokonvulsif). Efek-efek seperti itu terjadi secara berkala
selama bebas dari pengaruh alcohol atau obat penenang lainya.
Anak-anak dan remaja lebih sensitif daripada orang dewasa pada semua
prosedur. Suatu hal yang biasa rekaman pada anak-anak menghasilkan gelombang
delta (3-4 Hz) selama periode hiperventilasi bagian tengah dan akhir. Aktifitas EEG
ini disebut dengan beakdown of buildup, akan hilang setelah hiperventilasi
dihentikan. Frekuensi gelombang yang dominan pada bayi normalnya sekitar 3 Hz,
dan sangat tidak beraturan. Dengan bertambahnya umur, terjadi peningkatan secara
bertahap frekuensi dan keteraturan gelombang oksipital secara bertahap, gelombang
alpha dicapai pada umur 6 tahun dan frekuensi pada orang dewasa dicapai pada umur
10 sampai 12 tahun; gelombang normal alpha adalah gambaran yang dominan (lihat
bagian 28 untuk diskusi lebih lanjut tentang pertumbuhan otak seperti yang telah
dipaparkan dalam EEG). Interpretasi hasil rekaman pada bayi dan anak membutuhkan
keahlian karena pola normalnya memiliki rentang nilai yang luas pada pada setiap
periode usia (lihat Hahn dan Tharp). Meskipun demikian, rekaman asimetris atau
rekaman dengan gambaran kejang merupakan abnormalitas pada anak dengan semua
tahapan usia. Pada janin, pola normal telah terbentuk dari bulan ke 7 dan seterusnya.
JENIS-JENIS REKAMAN ABNORMAL
61
Gambaran pola gelombang yang berkurang atau menghilang dapat ditemukan
jika terdapat infark luas, nekrosis traumatik atau tumor atau adanya gumpalan darah
yang terdapat di antara kortek serebri dan elektrode. Dengan temuan di atas,
lokalisasi EEG dan abnormalitas menjadi sangat jelas, tapi tentu saja pada lesi yang
tidak tampak. Walau bagaimanapun, pada lesi yang tidak terlalu luas, tergantung pada
pengaturan rekaman, untuk mengakhiri gelombang otak, dan kemudian EEG juga
merekam gelombang lambat abnormal yang muncul dari otak yang masih berfungsi
pada pinggir lesi.
2 jenis gelombang abnormal, telah dijelaskan, yaitu gelombang dengan
frekuensi rendah dan amplitude yang lebih tinggi dari normal. Gelombang dibawah 4
Hz dangan amplitude dari 50-350 mV disebut gelombang delta(fig.2-4G and H);
gelombang dengan frekuensi 4 sampai 7 disebut gelombang theta. Aktivitas cepat
(beta) cenderung menonjol dan biasanya menggambarkan efek dari obat-obat
penenang atau, jika fokal, biasanya disebabkan kerusakan tulang(tulang biasanya
meredam aktivitas yang berlebihan pada kortek.) Gelombang paku atau tajam adalah
pembentuk gelombang tegangan tinggi sementara yang memiliki puncak tertinggi
pada kecepatan merekam dengan durasi 20 sampai 70 ms dan 70 sampai 200
ms(fig.2-4D). Gelombang tinggi yang terjadi pada orang dengan epilepsy atau
seseorang dengan kecondongan genetik untuk mendapat serangan mendadak
dianggap sebagai epileptic-form discharges.
Gelombang cepat dan pelan yang tidak normal ini dapat digabungkan, dan
ketika rangkaian terdapat diantara pola EEG normal dalam suatu serangan
paroksismal dapat dipastikan sebagai suatu epilepsi. Tanda serangan absen adalah
komplek gelombang paku dan ombak 2 gelombang permenit yang muncul dalam
semua lead EEG secara simultan dan menghilang di akhir serangan(Gambar.2-4E).
Temuan ini mengarah pada lokalisasi yang teoritis dari sebuah pencetus kejang umum
primer yang dilepaskan dalam talamus atau substansia abu-abu subkortek lainnya
(kejang centrencephalic), tapi pusatn belum diverifikasi secara anatomi atau fisiologi.
62
Temuan yang paling patologis dari semua adalah perubahan pola EEG
normal oleh Electrocerebral silence, yang berarti hilangnya aktifitas elektris dari
lapisan kortikal yang direkam dari kulit kepala. Gambaran artefak dengan berbagai
macam jenis seharusnya dilihat seiring dengan ditingkatkannya amplifier(volume
penguat gelombang), jika tidak, terdapat risiko lead yang tidak terhubung ke mesin.
Intoksikasi obat dosis tinggi seperti barbiturat dapat sementara menghasilkan
rekaman EEG yang isoelektrik. Pada keadaan tidak terdapatnya pengaruh obat
depresi sistem saraf atau hiportemia yang ektrim, rekaman isoelektrik (<2uV kecuali
artefak) di semua bagian kepala hampir selalu ditemukan hipoksia serebral atau
ischemia atau trauma dan peningkatan tekanan intrakranial. Pasien seperti itu-tanpa
aktifitas EEG, reflek batang otak, respirasi spontan dan gerakan otot manapun-
dianggap sebagai “mati otak” . Pada pasien seperti itu sebagian besar otaknya
nekrosis dan tidak ada kemungkinan terjadi perbaikan secara neurologis. Bab 17
membahas mati otak lebih jauh.
KONDISI NEUROLOGIS YANG MENYEBABKAN
ELECTROENCEPHALOGRMS ABNORMAL
EPILEPSI
Semua jenis serangan epileptik umum (grandmal tipikal dan absens atipikal;
lihat bab 16) biasanya dihubungkan dengan beberapa abnormalitas rekaman EEG
pada saat serangan mendadak. Juga, EEG biasanya tidak normal selama serangan
kejang pada tipe yang lebih terbatas. Pengecualian yang jarang terjadi adalah
serangan mendadak yang berlokasi pada daerah bagian dalam, medial dan fossa
orbitofrontal, yang mana pelepasan gelombangnya tidak mencapai kulit kepala di
amplitudo yang cukup untuk bisa dilihat berlawanan dengan aktifitas keadaan normal
EEG. Sering sebagian besar, EEG yang benar-benar normal, selama masa kejang-
kejang mengindikasikan “pseudoseizure” (kejang psikogenik nonepilepsi).
63
Beberapa tipe serangan yang berbeda bisa dilihat pada gambar 2-4C, D dan E.
Pola absens, mioklonik dan grandmal berhubungan erat dengan tipe serangan klinis
dan dapat muncul pada bentuk yang lebih ringan pada EEG interiktal.
Hal yang penting adalah, antara serangan kejang, 30 persen rekaman EEG
tunggal menunjukkan pola normal dan 30 persen pasien dengan serangan absens dan
50 persen pasien dengan epilepsi grandmal(persentase ini lebih sedikit dengan
rekaman ulangan). Terapi antikonvulsan juga cenderung mengurangi
ketidaknormalan EEG interiktal. Rekaman 30 sampai 40 persen lainnya pada pasien
epilepsi walaupun terdapat ketidaknormalan antara serangan , tidak terlalu spesifik
dan diagnosa epilepsi hanya dapat dibuat melalui intrepretasi data klinis yang tepat
yang dikaitkan dengan abnormalitas rekaman EEG.
LESI OTAK FOKAL(TUMOR OTAK, ABSES, STROKE, SUBDURAL
HEMATOM, DAN ENCEPALITIS)
Pada sebagian besar pasien, lesi massa intrakanial dikaitkan dengan fokal
atau lokalisasi aktivitas gelombang pelan yang fokal dan terlokalisir (biasanya delta,
seperti pada gambar 2-4F) atau, kadang-kadang, aktifitas serangan kejang. Walaupun
EEG membantu dalam diagnosa beberapa kasus tumor otak dan abses, terutama
ketika diintegrasikan dengan temuan klinis laboratorium klinis lainnya, dan sekarang
yang sangat dipercaya yaitu CT dan MRI.
Bagaimanapun, EEG tetap dianggap penting dalam diagnosis encepalitis
herpes simplex dengan terdapat gelombang bertekanan tinggi secara berkala dan
kompleks gelombang-pelan dengan interval 1-3 perdetik dalam daerah temporal.
Pada encephalitis infeksius lain dihubungkan dengan aktifitas paku dan tajam,
terutama jika sudah terjadi serangan. Gambar 2-4G menunjukkan pola gelombang
tajam yang secara menonjol secara periodik pada penyakit CREUTZFELDT-JAKOB.
EEG sekarang jarang digunakan dalam menegakkan diagnosa stroke , kecuali
untuk membedakan TIA dengan kejang. Di masa lalu, nilai lebih ada pada
64
kemampuan untuk membedakan luka ischemik akut dalam distribusi arteri cerebri
media, yang menghasilkan kelemahan yang luas dari infark lakunar dalam pada
serebrum dan batang otak, yang mana EEG permukaan meskipun abnormalitas klinis
yang menonjol. Setelah 3-6 bulan, secara garis besar 50 persen pasien dengan infrak
di area yang didarahi arteri cerebri media, pelemahan EEG fokal menjadi normal.
Mungkin setengah dari pasien ini rekaman EEGnya dapat normal bahkan dalam satu
sampai dua minggu setelah onset stroke. Abnormalitas yang persisten biasanya
dikaitkan dengan poprognosis yang jelek. Lesi yang luas pada diencepalon atau otak
bagian tengah menghasilkan gelombang lambat sinkronus bilateral, tetapi lesi pada
pons dan medulla(lesi dibawah mesencepalon) biasanya dikaitkan dengan pola EEG
normal atau mendekati normal meskipun secara klinis berbahaya.
Kejadian konkusio cerebri yang singkat pada binatang diikuti oleh gangguan
EEG sementara, tapi pada manusia biasanya tak lagi jelas ketika rekaman dilakukan.
Kontusio cerebri yang luas mengakibatkan perlambatan gelombang EEG fokal
seperti gambaran pada infark. Gelombang paku dan tajam kadang-kadang muncul
selama gelombang lambat fokal dan dapat mendahului terjadinya epilepsi pasca
trauma, EEG serial dapat menjadi prediktor untuk hal ini. Selama sinkop, rekaman
EEG melambat dan amplitude berkurang bahkan ke titik saat menjadi datar. Saat
pemulihan, sejumlah pola telah dijabarkan seperti yang didiskusikan lebih jauh di
bab 18.
PENYAKIT-PENYAKIT YANG MENYEBABKAN KOMA dan PENURUNAN
KESADARAN
Hasil rekaman EEG abnormal pada hampir semua kondisi saat terjadi
penurunan tingkat kesadaran. Sebagai contoh, terdapat korelasi yang cukup dekat
antara severitas kerusakan anoksik akut yang disebabkan kardiak arest dan tingkat
perlambatan EEG. Bentuk gambaran paling ringan terlihat aktifitas gelombang theta
secara umum, pada kondisi yang lebih berat ditandai dengan gelombang delta yang
65
tersebar dan ketiadaan aktifitas background normal, dan kondisi yang paling berat
dengan “brust suppression”, yang mana periode isoelektrik singkat diikuti dengan
aktifitas gelombang tajam yang bervoltase tinggi dan gelombang delta yang tidak
beraturan. Pola yang terakhir disebutkan biasanya berubah menjadi electrocerebral
silence dari mati otak, suatu kondisi yang sudah dibahas sebelumnya.
Istilah Alpha coma mengacu pada pola EEG yang unik yang mana aktifitas
alpha pada kisaran 8-12 Hz menyebar secara luas pada hemisfer daripada pada lokasi
normalnya pada daerah posterior. Jika dianalisa dengan hati-hati, aktifitas alpha nyata
ini, tidak seperti alpha monoritmik yang normal, frekuensi berubah sedikt pada
dengan jarak yang sempit. Hal ini biasanya pola transisi setelah anoksia global dan
jarang terdapat pada lesi pontin akut luas. Dengan hipothiroid berat, konfigurasi
gelombang otak normal tapi biasanya dengan penurunan frekuensi.
Dalam proses peningkatan derajat kesadaran, semakin dalam penurunan
kesadaran, secara umum, irama EEG semakin tidak nomal dan lambat. Dalam
keadaan koma atau stupor, tampak gelombang lambat bilateral dengan amplitudo
yang tinggi terutama pada daerah frontal Hal. ini berbeda pada meningitis akut dan
encephalitis dan gangguan berat keseimbangan gas darah, glukosa, elektrolit dan
keseimbangan air, uremia , koma diabetik, gangguan kesadaran yang disebabkan lesi
cerebral luas yang telah dibahas di atas. Pada Hepapatitis kronis, tingkat
abnormalitas EEG berkorespondasi secara dekat dengan tingkat kebingungan, stupor
dan koma. Karakteristik Hepatitis kronis adalah serangan gelombang trifasik yang
tajam, bilateral, sinkronus walaupun bentuk gelombang seperti itu juga bisa dilihat
pada encepalopati akibat gagal ginjal atau kegagalan pulmonar dan hidrosepalus akut
(perlambatan bagian frontal lebih mengarah hidrosepalus).
Rekaman EEG juga bisa membantu dalam diagnosa koma ketika anamnesa
tidak dapat dilakukan dan dalam menegakkan status epileptikus pada kejang absesns
(nonkonvulsif status epileptikus atau spike wave stupor) dan epilepsi parsial komplek
yang menyebabkan suatu keadaan fugae. EEG juga dapat mengarahkan pada
66
penyebab yang tak diduga seperti encepalopati hepatik, di bawah pengaruh barbiturat
atau obat sedative-hipnotik lainnya, cedera otak iskemia anoksia yang lama, katatonia
atau histeria (rekaman EEG biasanya normal)
PENYAKIT DEGENERATIF YANG DIFUS
Penyakit Alzheimer dan penyakit degeneratif lain yang menyebabkan
gangguan fungsi serebrokortikal kronis diikuti oleh gambaran ringan atau
menyeluruh gelombang lambat theta (4-7 Hz), banyak rekaman normal pada stadium
awal dan pertengahan penyakit. Penyakit yang menjadi progresif lebih cepat-seperti
subakut sklerosing panencepalitis (SSPE), penyakit Creutzfelt Jakob, dan pada
berkurang jumlah serebral lipidosis, sering memiliki perubahan EEG yang
patognomonik yang terdiri dari letupan periodik dari gelombang tajam amplitudo
tinggi, biasanya bisinkronus dan simetris(Gambar.2-4g). EEG normal pada pasien
yang sangat apatis adalah suatu tanda untuk diagnosa histeria, katatonia, atau
skizoprenia(lihat dibawah).
PENYAKIT CEREBRUM LAINNYA
Beberapa penyakit pada otak yang hanya menyebabkan sedikit atau tidak
sama sekali menyebabkan perubahan pada EEG. Sebagai contoh penyakit sklerosis
multipel dan demielinisasi lainnya, walaupun sebanyak 50 persen untuk kasus lanjut
akan memiliki rekaman yang abnormal dan nonspesifik (perlambatan fokal atau
difus). Penyakit Delurim termens dan wernicke-korsakoff, meskipun sifat gambaran
klinis dramatis, hanya menyebabkan perubahan minimal pada EEG. Beberapa tingkat
perlambatan biasanya diikuti penurunan kesadaran dan beberapa klinisi menganggap
sebagai delirium hipokinetik (bab 20). Menariknya, psikosa (Gangguan
bipolar/skizofrenia), intoksikasi obat halusinasi seperti lysergic acid
67
diethylanamide(LSD) dan sebagian besar kasus retardasi mental tidak ada perubahan
rekaman normal ataupun abnormalitas minor nonspesifik kecuali bila terjadi kejang.
MAKNA KLINIS ABNORMALITAS MINOR
ELECTROENCEPHALOGRAM
Abnormalitas EEG secara kasar telah dibahas diatas sudah jelas tidak normal
dan data klinis mana saja yang dapat membantu mereka. Makin kecil derajat
perbedaan antara gambaran yang benar-benar abnormal dengan yang sepenuhnya
normal, maka makin sedikit makna klinisnya. Temuan gelombang paku 14 dan 6 per
detik atau gelombang tajam yang rendah selama tidur, pancaran gelombang lambat 5
atau 6 perdetik, minor voltage asymmetris, dan munculan breakdown selama
beberapa menit setelah hiperventiasi diartikan sebagai variasi normal atau batas
normal. Sedangkan deviasi nilai batas pada orang normal tidak memiliki makna
tanpa gejala klinis, penemuan EEG sama yang diikuti dengan gejala dan tanda klinis
tertentu menjadi penting. Makna rekaman EEG normal atau negatif pada pasien
tertentu yang dicurigai memiliki lesi serebral telah dibahas sebelumnya.
Sebagaimana prinsip klinis umum, hasil EEG, EKG dan EMG memiliki
makna berdasarkan pertimbangan dan keadaan klinis pasien pada saat rekaman
dilakukan.
EVOKED POTENTIALS
Stimulasi organ sensorik atau saraf perifer menimbulkan respon elektrik pada
area reseptif kortikal yang berhubungan dan pada sejumlah area asosiasi subkortikal.
Bagaimanapun, kita tidak bisa menempatkan electrode perekam dekat daerah
nukleus asosiasi dan tidak bisa mendeteksi potential hanya beberapa mikrovolts
diantara aktivitas background yang lebih besar pada EEG. Penggunaan metode
komputerisasi standar, diperkenalkan oleh Dawson tahun 1954, membantu dalam
mengatasi masalah ini. Pada awalnya, ditekankan pada penelitian gelombang akhir
68
(lebih 75 ms setelah ransangan) karena memiliki amplitudo tinggi dan mudah
direkam. Bagaimanapun, ada kegunaan klinis yang lebih dalam merekam lebih kecil,
disebut bentuk gelombang laten pendek, yang diterima pada masing-masing nuklus
asosiasi sistim sensorik utama. Bentuk gelombang ini dimaksimalkan oleh komputer
ke suatu poin dimana latensi dan voltase dapat dengan mudah diukur. Salah satu sifat
yang menonjol dari potensial evoked adalah resistensi terhadap anestesia, obat sedatif
dan–dibandingkan pada aktifitas EEG- kerusakan hemisfer serebral. Ini
memungkinkan kegunaannya dalam monitoring keutuhan jaras cerebral dalam situasi
yang mana EEG tidak berguna. Teknik ini dapat direview pada monograph Chiappa.
Interpretasi potensial evoked (visual, auditori dan somatosensorik) didasarkan
pada perpanjangan dari latensi gelombang setelah rangsangan, latensi antar
gelombang, dan asimetries waktu. Norma yang berlaku, disarankan untuk
mengkonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Biasanya standar deviasi 2.5 atau
3 diatas latensi rata-rata untuk setiap pengukuran yang dianggap tidak normal(tabel 2-
4). Sangat sedikit informasi yang bisa didapatkan dari amplitudo gelombang.
VISUAL EVOKED POTENTIALS
Dalam beberapa tahun ini telah diketahui bahwa rangsangan cahaya ringan
yang pada retina sering menginisiasi gelombang pada daerah oksipital. Pada EEG,
respons seperti ini rangsangan cepat seperti ini disebut occipital driving
respons(gambar.2-4B and C). Ini berawal 50 tahun yang lalu dimana suatu visual
evoked potensial dihasilkan oleh perubahan yang tiba-tiba oleh pola pada layar .
Respon ini, dihasilkan dengan pengulangan pola yang cepat, adalah lebih mudah
untuk mendeteksi dan mengukur respon cahaya dan gelombang yang lebih konsisten
antara satu individu dengan individu yang lain. Rangsangan tipe ini, diaplikasikan
pertama ke satu mata dan kemudian ke mata yang lainnya, dapat mendemonstrasikan
penundaan konduksi pada jalur visual pasien yang memiliki gangguan saraf optik-
terutama ketika tidak ada tanda penurunan ketajaman penglihantan, atau perubahan
69
reflek pupil. Lebih jauh, visual evoked yang normal menyingkirkan penyebab
kebutaan dari suatu lesi di jalur visual anterior dan area proyeksi pada kortek
oksipital.
Prosedur ini, disebut “pattern-shift visual evoked responses” (PSVERs, atau
VERs) atau Pola-potensials reversal visual evoked, telah secara luas di adopsi sebgai
salah satu tes yang rumit lesi sistem penglihantan. Gambar 2-5 memperlihatkan
PSVER normal dan 2 tipe respon lambat. Biasanya amplitudo dan durasi PSVER
yang tidak normal mengikuti perpanjangan latensi yang abnormal, namun sulit untuk
diukur. Latensi bermuatan kutub positif, yang biasanya defleksi ke bawah, PSVER
mendekati 100 ms (dengn istilah P100); suatu latensi absolut dari rangsangan diatas
118 ms atau suatu perbedaan pada latensi yang lebih besar dari 9 ms antara 2 mata
menandakan keterlibatan salah satu saraf optik(table2-4). Perpanjangan latensi
bilateral, didemonstrasikan oleh stimulasi terpisah pada salah satu mata, dapat
disebabkan oleh luka pada kedua saraf optik, kiasma optikum, atau jaras visual
retrokiasma.
Seperti terindikasi diatas, PSVER secara khusus penting dalam mendeteksi
penyakit saraf optik aktif atau residuals. Pasien dengan riwayar neuritis optik akan
memiliki latensi yang normal. Lebih jauh, perpanjangan PSVER ditemukan satu
sampai tiga kali lipat pada pasien sklerosis multipel yang tidak memiliki riwayat atau
bukti klinis keterlibatan saraf opti. Ini berarti bahwa penenmuan PSVER yang tidak
normal pada seorang pasien dangan lesi klinis demielinisasi yang nyata ditempat lain
pada SSP biasanya dapat diambil sebagai bukti sklerosis multipel.
Suatu lesi kompressi saraf optik akan memiliki efek yang sama seperti lesi
demielinisasi primer. Berbagai penyakit saraf optiklain -termasuk ambliopia toksik
dan nutrisional, neuropati optik iskemik, neuropati optik herediter tipe Leber-
menunjukan PSVER yangtidak normal. Glaukoma dan penyakit lainnya yang
melibatkan struktur-struktur anterior ke sel-sel ganglion retina, jika cukup berat
mempengaruhi saraf optik, juga biasa menghasilkan peningkatan latensi.
70
Terganggunya ketajaman penglihantan memiliki efek yang kecil pada latensi tapi
tidak terlalu berhubungan dengan amplitudo PSVER (alat pengujian komputer pada
ketajaman penglihantan). Kegunaan dalam mendeteksi kebutaan psikogenik telah
dijelaskan. Dengan memberikan pola-stimulus secara bergantian ke satu bagian area
lapang pandang, hal ini memungkinkan untuk mengisolasi lesi di bidang optik atau
radiasi, atau lobus oksipital, tapi setidaknya lebih akurat daripada tes monokular
biasa.
BRAINSTEM AUDITORY EVOKED POTENTIALS
Efek rangsangan auditori dapat dipelajari dengan cara yang sama seperti pada
penglihantan dengan suatu prosedur yang disebut brainstem auditory evoked
repondises atau potentials (BAERs, atau BAEPs). Antara 1.000 dan 2.000 kenyutan,
dihantarkan pertama pada satu telinga dan kemudian ke telinga yang lain, direkam
melalui elektroda pada kulit kepala dan dimaksimalkan oleh komputer. Rangkaian
tujuh macam gelombang muncul dalam 10 ms setelah tiap rangsangan. Didasari
dengan kedalaman rekaman dan penelitian lesi pada kucing sebagaimana penelitian
patalogik dari batang otak bahwa rekaman lima gelombang pertama menggambarkan
struktur batang otak spesifik, seperti yang terlihat pada gambar.2-6, tapi ini tidak
sepenuhnya pasti pada manusia. Bangkitan gelombang VI dan VII masih belum jelas.
Interpretasi klinis dari BAERs didasarkan terutama pada pengukuran latensi
gelombang I,II,dan V. Yang terpenting adalah latensi antar gelombang antara I dan III
dan V (lihat tabel 2-4). Kehadiran gelombang I dan latensi absolutnya adalah nilai
utama dalam pengujian keutuhan dari sistim saraf pendengaran.
Lesi yang mempengaruhi salah satu dari stasiun relay atau koneksi
intermediet yang dekat menyebabkan gambaran absennya atau berkurangnya
amplitudo gelombang berikutnya. Efeknya lebih tampak di sisi telinga yang
dirangsang daripada secara kontralateral. Ini sulit dimengerti, sebagaimana mayoritas
dari cochlear-superior olivary-lateral lemniscal-medial geniculate fibers menyebrang
71
ke sisi yang berlawanan. Ini juga mengejutkan bahwasanya lesi yang berat dari
stasiun relay akan memberikan impuls, walaupun tertunda, untuk dilanjutkan dan
direkam di kortek serebral.
BAEPs memiliki makna sangat sensitif pada saraf kranial delapan (neuroma
akustik dan tumor lainnya pada sudut serebelopontin) dan jalur pendengaran di
batang otak. Hampir setengah pasien dengan sklerosis multiple menunjukkan
abnormalitas pada BAEPs(biasanya perpanjangan latensi antar gelombang I sampai
III atau III sampai V), bahkan gejala klinis dan tanda-tanda akan adanya gangguan di
batang otak. BAEPs juga berguna dalam menguji pendengaran pada bayi yang telah
terekspos obat-obat toksik, pada anak-anak yang tidak bisa bekerjasama dengan
audiometri, dan anak-anak denga psikogenik atau ketulian yang dibuat-buat.
SOMATOSENSORY EVOKED POTENTIALS
SEPs digunakan pada laboratorium neurofisiosiologi klinis untuk mengkonfirmasi
lesi pada sistem somatosensorik. Teknik ini terdiri dari pemasangan ransangan
elektrik transkutaneus tanpa rasa nyeri 5 per detik ke medial, peroneal, dan nervus
tibia dan merekam potential evoked (untuk anggota tubuh bagian atas) saat mereka
melewati plexus brachial melalui titik Erb diatas klavikula, melalui vetebre C2,
melalui kortek parietal yang berlawanan, dan (bagian tubuh bagian bawah) berurutan
diatas radik lumbal dari cauda equina, nuclei diatas vetebre servikal, dan kortek
parietal yang berlawanan. Impuls yang cetuskan dalam saraf peraba dengan 500 atau
lebih stimulus dan dihitung dengan komputer dapat dilacak melalui saraf periferal ,
radik nervus spinalis dan dan kolum posterior dan berlanjut ke nukleus nuklei
Burdach dan Goll di Medula bagian bawah, melalui lemnicus medial ke thalamus
kontralateral, dan traktus talamoparietal dan lobus parietal. Perlambatan antara
reseptor dan titik Erb (atau MS lumbalis) mengindikasikan penyakit saraf perifer;
Perlambatan dari titik Erb (atau MS lumbalis) ke C2 mengimplikasikan abnormalitas
pada radik saraf yang sesuai atau lebih sering pada kolum posterior; lesi di lemnicus
72
medial dan traktus talamoparietal dapat disimpulkan dari perlambatan gelombang
berikutnya direkam dari kortek parietal(Gambar 2-7). Bentuk gelombang normal
tandai dengan simbol P (positif) dan N (negatif), dengan nomor yang
mengindikasikan waktu interval dalam milidetik dari stimulus yang direkam(N11,
N1, P13, P22,dll). Sebagaimana muatan kutub dan latensi rata rata, gelombang
terakhir yang direkam pada servikomeduler disebut N/P13, dan potensial kortikal
dari ransangan nervus medianus dilihat dalam 2 gelombang berdekatan dari muatan
kutub yang berlawanan disebut N19-P22. Gelombangyang berhubungan dengan
aktifitas kortikal setelah rangsangan nervus tibial dan peroneal disebut N/P 37.
Untuk tujuan interpretasi secara klinis, munculan gelombang SEP
diinterpretasikan dangan rangkaian serial sehingga perpanjangan gelombang dalam
latensi menunjukkan gangguan konduksi antara bangkitan dari 2 puncak yang terlibat
(Chiappa dan Ropper). Nilai normal ditunjukkan pada table 2-4. Perekaman untuk
memverifikasi lesi patologis pada tahap ini ditemukan di monograph Chiappa. Tes ini
sangat berguna dalam menentukan ada tidaknya lesi pada radik nervus spinalis,
kolumna posterior dan batang otak pada penyakit seperti ruptur diskus lumbal dan
servikal, multipel sklerosis pada daerah lumbal dan spondilosis servikal ketika data
klinis meragukan. Bentuk yang mengimbangi, obliterasi gelombang kortikal (asumsi
semua gelombang sebelumnya tidak berubah) menunjukkan lesi yang berat pada jaras
somatosensorik pada hemisfer atau kortek somatosensorik. Sebagai akibat yag wajar,
absennya gelombang somatosensorik kortikal bilateral setelah henti jantung adalah
prediktor yang kuat untuk prognosa yang jelek, absennya potensial kortikal secara
persisten setelah stroke biasanya menunjukkan lesi yang berat dengan kemungkinan
pemulihan klinis yang terbatas. Teknik potensial evoked juga telah digunakan dalam
studi ekperimental sensasi olfaktorik (lihat bab 12)
RANGSANGAN MAGNETIK SISTEM MOTORIK
73
Sekarang mungkin, dengan mengunakan ransangan magnetic single-pulse
amplitude tinggi, untuk secara langsung mengaktifan kortek motorik(rangsangan
magnetik transkranial) dan segmen vetebre servikal dan untuk mendeteksi
penundaaan atau kurangnya konduksi dalam menurunnya jalur motorik. Teknik ini,
diperkenalkan oleh Marsden dan kawan-kawan, rangsangan tanpa rasa nyeri hanya
pada neuron motorik terbesar dan tercepat-mengkonduksikan akson. Stimulasi
servikal dapat mengaktifkan serabut anterior. Perbedaaan waktu antara aktivasi
motorik kortikal dan servikal pada otot tangan dan lengan bawah menunjukkan
kecepatan konduksi dari kortikal- motor neuron servikal. Teknik ini telah digunakan
untk memahami organisasi, fungsi dan rekoveri sistem motorik dan patofisiologi
stroke, dan sklerosis multipel dan amyotrophic lateral sclerosis. Walaupun tingkat
defisit fungsi tidak berkorelasi secara tepat dengan tingkat perubahan elektrofisiologi ,
yang satu berharap bahwa perbaikan dari teknik ini akan berguna dalam
mengevaluasi status sistem motorik kortikospinal sebagaimana fungsi kortikal
lainnya.
ENDOGENUS EVENT-RELATED EVOKED POTENTIALS
Di antara potensial elektrik otak yang terbaru(>100-ms latensi), yang bisa
diekstaksikan dari aktifitas background dengan metode komputer, adalah suatu
kelompok yang tidak bisa diklasifikasikan sebagai impuls sensorik atau motorik lebih
dari respon stimuli psikofisik. Respon ini memiliki voltase sangat rendah, seringnya
singkat dan tidak tetap, dan asal anatominya tidak diketahui . Hampir semua studi
menyatakan adalah 300 milidetik(P300) setelah sebuah subjek mengenali ransangan
baru dan tidak terduga yang telah dimasukkan ke dalam rentetan ransangan yang
beraturan. Hampir semua modalitas stimuli dapat digunakan dan potensial yang
muncul ketika stimuli telah diabaikan dari pola yang teratur. Respon amplitudo
bergantung pada tingkat kesulitan analisa dan memiliki hubungan terbalik dengan
frekuensi dari kejadian yang tidak terduga atau aneh; latensi terganung pada
74
kesulitan analisa dan fitur lain. Karena itu tdak ada P300 tunggal; sebaliknya, ada
banyak tipe, bergantung pada paradigma penelitian. Perpanjangan latensi ditemukan
pada lanjut usia dan demensia dengan penyakit degeneratif seperti Parkison,
progressive supranuclear palsy, dan Huntington chorea. Amplitude berkurang pada
skizofrenia dan depresi. Potensial sudah diinterpretasikan oleh beberapa ahli sebagai
refleksi subjeknya yang menyesuaikan kelakuan dan perhatian. Dan lainya, termasuk
Donchin, yang menemuka fenomana, terkait dengan pembaharuan daerah pemaparan
otak. P300 tetap misterus bagi ahli saraf karena ketidaknormalan terdeteksi hanya
ketika kelompok besar dibandingkan dengan yang normal, dan tekniknya tidak bisa
distandarisasi layaknya evoked potensial konvensional. Review subjek ini dapat
ditemukan pada bagian Altenmuller dan Gerloff dan Polich dalam text Niedermeyer
dan Lopes DaSiva pada elektrocepalografi.
ELECTROMYOGRAPH AND NERVE CONDUCTION STUDIES
Ini sudah dibahas di bab 45
PSIKOMETRI, PERIMETRI, AUDIOMETRI, AND TES FUNGSI LABIRIN
Metode ini digunakan dalam mengukur dan mendefinisi sifat dari dampak
psikologi khusus atau defisit panca indera yang diakibatkan oleh lesi sistem saraf.
Metode ini dilakukan paling sering untuk memperoleh kepastian dari abnormalitas
fungsi bagian tertentu dari sistem saraf atau untuk mengukur, dengan pemeriksaan
lanjutan, progresifitas penyakit utama. Deksripsi metode ini dan pengunaan secara
klinis dapat dilihat di bab yang berhunbungan dengan gangguan fungsi otak.(Bab 22),
perkembangan penyakit di otak besar (Bab 28), dementia(bab 221) dan gangguan
penglihantan(bab 13) dan gangguan pendengaran dan keseimbangan.
75
UJI GENETIK
Banyak marker genetik penyakit heredofamilial telah dikenal oleh klinisi dan terdapat
kemajuan yang besar dalam diagnosis dan klasifikasi penyebab penyakit dengan
kategori yang masih belum jelas sampai sekarang. Pemeriksaan utama adalah analisa
DNA yang diambil dari darah dan sel lain untuk identifikasi mutasi (contoh muscular
distropi, atrofi spinoserebelar dan polineuropati genetik) dan pengukuran
pengulangan panjang yang abnormal dari rangkaian trinukleotida tertentu, sebagian
besar digunakan untuk diagnosa korea huntington. Bidang tertentu dari genetik
mitokondrial memungkinkan deteksi seluruh kategori penyakit yang mengakibatkan
gangguan struktur subselular , seperti yang dijelaskan di bab 37.
BIOPSI OTOT, KULIT SYARAF, PEMBULUH ARTERI TEMPORAL,
OTAK, DAN JARINGAN LAINNYA
Aplikasi cahaya dan mikroskop elektron pada analisis jaringan ini sangat
banyak informasi. Penemuannya dibahas di bab 37, 45 dan 46. Biopsi temporal arteri
dilakukan ketika dicurigai giant cell arteritis raksasa. Biopsi otak, disamping
manfaat utamanya dalam diagnonis neoplasma, juga berguna dalam diagnosis kasus-
kasus granulomatous angiitis, encepalitis, subacute spongiform encepalophati (biopsi
jarang dilakukan karena resiko infeksi), dan sejumalah kasus langka lainnya. Biopsi
pakimening atau leptomening bisa memperlihatkan vaskulitis, sarkoidosis, infiltrasi
granulomatous lain, atau infeksi yang tak dikenal, tapi tingkat sensitifitasnya rendah.
Hal ini biasanya dilakukan bersama-sama dengan biopsi dari jaringan otak yang
terlibat. Biopsi lemak abdomen juga digunakan pada diagnosa amiloidosis.
Kemajuan penting dalam beberapa tahun belakangan ini adalah penggunaan
biopsi jarum terpimpin dengan CT SCAN atau MRI, yang sangat penting dalam
diagnosa tumor dan memberikan resiko yang lebih kecil daripada dengan kraniotomi
dan biopsi terbuka. Dalam pemilihan tindakan biopsy adalah penting dalam
76