pendahuluan dan teori.docx

50
1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak terlepas dari bahan- bahan yang bersifat merusak tubuh seiring dengan kemajuan zaman tanpa disadari. Manusia yang setiap harinya berinteraksi atau mengkonsumsi bahan-bahan tersebut, nantinya akan menimbulkan efek yang merugikan bagi tubuh dalam jangka panjang. Perkembangan zaman tidak hanya pada bagian pemenuhan kebutuhan, namun perkembangan yang semakin pesat pun terjadi dalam dunia kesehatan, membuat pengetahuan pun semakin berkembang dan menjadi lebih kompleks daripada sebelumnya. Banyak hal yang berkaitan dengan perkembangan dalam dunia kesehatan, baik dari segi teknologi, perawatan, dan sumber daya manusia yang terkait di dalamnya. Semua itu tidak luput dari munculnya berbagai macam penyakit dan gangguan yang terjadi didalam kesehatan manusia. Semakin kompleksnya penyakit baru yang banyak bermunculan, semakin mendorong dunia kesehatan untuk memberikan pelayanan dengan lebih baik, sehingga kesejahteraan kesehatan manusia dapat menjadi lebih terjamin.

Upload: suhariyati

Post on 16-Sep-2015

235 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

26

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangManusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak terlepas dari bahan-bahan yang bersifat merusak tubuh seiring dengan kemajuan zaman tanpa disadari. Manusia yang setiap harinya berinteraksi atau mengkonsumsi bahan-bahan tersebut, nantinya akan menimbulkan efek yang merugikan bagi tubuh dalam jangka panjang. Perkembangan zaman tidak hanya pada bagian pemenuhan kebutuhan, namun perkembangan yang semakin pesat pun terjadi dalam dunia kesehatan, membuat pengetahuan pun semakin berkembang dan menjadi lebih kompleks daripada sebelumnya. Banyak hal yang berkaitan dengan perkembangan dalam dunia kesehatan, baik dari segi teknologi, perawatan, dan sumber daya manusia yang terkait di dalamnya. Semua itu tidak luput dari munculnya berbagai macam penyakit dan gangguan yang terjadi didalam kesehatan manusia. Semakin kompleksnya penyakit baru yang banyak bermunculan, semakin mendorong dunia kesehatan untuk memberikan pelayanan dengan lebih baik, sehingga kesejahteraan kesehatan manusia dapat menjadi lebih terjamin.Perkembangan zaman yang semakin maju, terutama dibidang kesehatan menuntut tenaga kesehatan, khususnya perawat harus mampu berpikir kristis dengan menambah pengetahuan dengan munculnya berbagai macam penyakit baru yang muncul. Perawat memiliki pengetahuan yang lebih ditambah dengan pengalaman yang lebih dapat membantu mengatasi masalah penyakit yang ada dengan menggunakan pendekatan asuhan keperawatan secara holistik kepada klien. Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan mengenai asuhan keperawatan dengan klien menderita polisitemia dan thalasemia yang dapat berguna untuk perawat itu sendiri.

1.2 TujuanTujuan dari pembahasan, antara lain:1.2.1. untuk mengetahui pengertian dari polisitemia dan thalasemia;1.2.2 untuk mengetahui epidemiologi dari polisitemia dan thalasemia;1.2.3 untuk mengetahui etiologi dari polisitemia dan thalasemia;1.2.4 untuk mengetahui tanda dan gejala dari polisitemia dan thalasemia;1.2.5 untuk mengetahui patofisiologi dari polisitemia dan thalasemia;1.2.6 untuk mengetahui komplikasi dan prognosis polisitemia dan thalasemia;1.2.7 untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari polisitemia dan thalasemia1.2.8 untuk mengetahui pengobatan polisitemia dan thalasemia;1.2.9 untuk mengetahui pencegahan dari polisitemia dan thalasemia;1.2.10 untuk mengetahui pathways dan asuhan keperawatan pada klien dengan polisitemia dan thalasemia.

1.3 Implikasi KeperawatanImplikasi Keperawatan pada makalah,yaitu:1.3.2 Membaca makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Klien dengan polisitemia dan thalasemia akan dapat menambah pengetahuan perawat mengenai patologi dalam kesehatan khususnya patologi sistem perkemihan yakni polisitemia dan thalasemia;1.3.3 Membaca makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Klien dengan polisitemia dan thalasemia akan memberikan perawat satu lagi referensi untuk pengembangan asuhan keperawatannya;1.3.4 Membaca makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Klien dengan polisitemia dan thalasemia akan mampu mengambil segala segi positif dari makalah ini, dan dapat menerapkannya dalam kegiatan asuhan keperawatan;1.3.5 Membaca makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Klien dengan polisitemia dan thalasemia akan mendorong perawat dan dunia keperawatan maupun kesehatan untuk mengembangkan pelayanan, baik dari segi asuhan secara langsung maupun dari segi teknologi yang mendukung;1.3.6 Membaca makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Klien dengan polisitemia dan thalasemia akan mendorong perawat untuk melakukan asuhan keperawatan secara prefentif untuk mencegah terjadinya polisitemia dan thalasemia ini.

BAB 2. TINJAUAN TEORI

2.1 Polisitemia2.1.1 PengertianPolisitemia adalah peningkatan konsentrasi sel darah merah (jumlah sel darah merah melebihi 6 juta/mm3 atau hemoglobin melebihi 18 g/dl) yang dapat diklasifikasikan menjadi primer ataupun sekunder (Handayani dan Haribowo, 2008: 74).Polisitemia adalah peningkatan jumlah sel darah merah dalam sirkulasi, yang mengakibatkan peningkatan viskositas dan volume darah. Aliran darah yang mengalir melalui pembuluh darah terhalang dan alirah kapilar dapat tertutup (Sloane, 2003).Polisitemia adalah peningkatan jumlah sel darah merah. Polisitemia dapat timbul sebagai akibat hipoksia kronis yang menyebabkan peningkatan pelepasan hormon ginjal eritropoetin, yang merangsang pembentukan sel darah merah (Corwin, 2009).Polisitemia ada bila jumlah eritosit, kadar Hb, dan volume eritrosit total semuanya melebihi batas normal. Pada anak prapubertas, Hb>16 g/dL dan massa eritrosit total >35 mL/Kg menunjukkan polisitemia (Behrman dkk, 1999).Polisitemia dapat primer atau sekunder dan dapat didefinisikan sebagai peningkatan kadar hemoglobin yang melebihi batas normal. Hematokrit (volume sel darah presipitasi) juga meningkat (Brooker, 2008).Berdasarkan penjelasan dari beberapa pengertian polisetemia menurut beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa polisitemia adalah peningkatan konsentrasi sel darah merah (jumlah sel darah merah melebihi 6 juta/ atau hemoglobin melebihi 18 g/dl), yang mengakibatkan peningkatan viskositas dan volume darah, sebagai akibat hipoksia kronis yang menyebabkan peningkatan pelepasan hormon ginjal eritropoetin, yang merangsang pembentukan sel darah merah.

2.1.2 Klasifikasi polisitemia Sesuai dengan implikasi terapeutik diagnosis polisitemia di bagi menjadi dua yaitu polisitemia primer (vera) dan Polisitemia sekunder. 1. Polisitemia primer (vera) Polisitemia primer (vera) adalah suatu keganasan derajat rendah dari sel-sel induk hematopoetik dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut dan volume darah total yang biasanya disertai dengan leukositosis, trombositosis dalam proporsi normal, dan splenomegali (Handayani dan Haribowo, 2008: 74).Polisetemia primer juga dikenal denan nama polisetemia vera, eritemia, polisetemia rubra vera, polisetemia splenomegalik, atau penyakit Vaquez Olzer. Polisetemia vera merupakan gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan miningkatnya masa sel darah merah, leukosit, trombositosis, dan kenaikan konsentrasi Hb, disertai volume plasma normal atau meningkat (William, 2008 : 473).Polisitemia primer, terjadi ketika kelebihan sel darah merah diproduksi sebagai hasil dari kelainan dari sumsum tulang.Sering kali, kelebihan sel darah putih dan platelet juga diproduksi. Polisitemia vera digolongkan sebagai penyakit myeloproliferative.Gejala termasuk sakit kepala dan vertigo. Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik termasuk normal pembesaran limpa dan / atau hati.. Dalam beberapa kasus, individu yang terkena mungkin memiliki kondisi terkait termasuk tekanan darah tinggi atau pembentukan gumpalan darah.2. Polisitemia sekunder Polisitemia sekunder terjadi sebagai mekanisme kompensasi bila terjadi hipoksia kronis. Hipoksia mencetuskan pelepasan eritropoetin yaitu hormon yang diproduksi oleh ginjal dan merangsang eritropoesis. Polisitemia sekunder tidak menghasilkan gejala-gejala kecuali pemeriksaan laboratoriium dan tidak memerlukan pengobatan. Penatalaksanaan polisitemia sekunder hanya mencakup masalah primernya. Apabila penyebab tidak dapat dikoreksi, maka perlu dilakukan flebotomi untuk mengurangi volume dan kekentalan darah (Handayani dan Haribowo, 2008: 80).Polisetemia sekunder juga dikenal sebagai polisetemia reaktif , yakni gangguan yang ditandai dengan kelebihan produksi sel darah merah yang bersirkulasi akibat hipoksia, tumor, atau penyakit (William, 2008 : 471).Polisitemia sekunder disebabkan oleh alam atau buatan baik peningkatan produksi eritropoietin, maka peningkatan produksi eritrosit.Pada polisitemia sekunder, mungkin ada 6 untuk 8 juta dan kadang-kadang 9 juta eritrosit per kubik milimeter (mikroL) darah.Polisitemia sekunder menyelesaikan ketika penyebab diperlakukan.Polisitemia sekunder di mana produksi eritropoietin meningkat fisiologis tepat disebut polisitemia.Fisiologis ini (berarti normal) polisitemia adalah adaptasi yang normal untuk hidup di ketinggian (lihat. Banyak atlet kereta api di ketinggian tinggi untuk mengambil keuntungan dari efek ini - suatu bentuk hukum doping darah. Demikian pula, atlet dengan polisitemia primer mungkin memiliki keunggulan kompetitif yang lebih besar karena stamina.2.1.3 EpidemiologiInsidensi polisitemia vera umumnya menyerang individu dengan usia berkisar 40-60 tahun. Angka kejadian polisitemia vera ini adalah 7 per 1 juta penduduk dalam satu tahun. Penyakit didapatkan dua kali lebih bnyak dialami oleh wanita dan dapat mengenai semua ras/bangsa (Handayani dan Haribowo, 2008: 75).Sejarah Polisitemia Vera dimulai tahun 1892 ketika Louis Hendri Vaquez pertama kali menjelaskan Polisitemia Vera pada pasien dengan tanda eritrositosis dan hepatosplenomegali.Kemudian tahun 1951 William Dameshek mengklasifikasikan Polisitemia Vera, Trombositosis Esensial dan Mielofibrosis Idiopatik sebagai Penyakit Mieloproliferatif.Dan baru tahun 1970 Polycythemia Vera Study Group (PVSG) membuat kriteria diagnosis Polisitemia Vera atas Kriteria Mayor dan Kriteria Minor.Polisetemia sekunder terjadi saat volume plasma yang berdar dalam pembuluh darah berkurang tetapi volume SDM total dalam sirkulasi normal. Hematokrit pada laki-laki dapat meningkat sampai 57% dan perempuan 54%, insidensi paling tinggi terjadi pada laki-laki usia pertengahan, obese, sangat cemas, dan disertai hipertensi (Sylvia, 2006).2.1.4 EtiologiPenyebab polisetemia vera adalah kelainan sel induk, reproduksi dan maturasi selular yang cepat dan tidak terkontrol, sehingga menyebabkan poliferasi atau hyperplasia semua sel sumsum tulang. Polisitemia sekunder didefinisikan sebagai peningkatan mutlak dalam massa sel darah merah yang disebabkan oleh peningkatan stimulasi produksi sel darah merah. Polisitemia sekunder disebabkan oleh alam atau buatan baik peningkatan produksi eritropoietin, ataupun peningkatan produksi eritrosit.Penyebab lain polisitemia sekunder meliputi: 1. Merokok : menyebabkan keabnormalan Hb (karboksihemoglobinemia yang terliah pada perokok berat)2. Konten oksigen yang rendah pada rempat yang tinggi3. Transposisi pembuluh darah besar4. Tumor / neoplasma (ginjal, mioma uterin, hati, hemangioma sereblar)5. Respon patologis terhadap penyakit ginjal (misalnya kerusakan vascular renal, kista renal, atau hidronefrosis)6. Hemangioblastomas dan penyakit dalam sistem saraf pusat (ensefalitis, parkinsonisme)7. Jantung atau penyakit paru-paru yang mengakibatkan hipoksia, seperti penyakit pulmoner obstruksi kronis8. Kelainan endokrin termasuk pheochromocytoma dan adrenal adenoma dengan Sindrom Cushing.Polisitemia sekunder dapat disebabkan secara langsung oleh proses mengeluarkan darah (darah membiarkan) untuk menarik darah, memusatkan eritrosit, dan mengembalikan mereka ke tubuh. 2.1.5 Tanda dan gejalaManifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ menyebabkan iskemia / infark seperti di otak, mata, telingga, jantung, paru, dan ekstremitas. Tanda dan gejala klinis yang biasa timbul pada penyakit polisitemia vera adalah:1. rasa lelah, penurunan efisiensi tubuh, kesulitan konsentrasi (berpikir), sakit kepala, muda lupa, dan rasa pusing (dizziness) merupakan gejala-gejala awal yang dialami penderita;2. gejala dan tanda yang mula-mula timbul ini biasanya disebabkan oleh hipervolemia dan sindrom hiperviskositas sekunder akibat peningkatan massasel darah merah dan selanjutnya akan dapat timbul keluhan akibat splenomegali yang sekunder terhadap hemopoiesis ekstramedular;3. muka kemerah-merahan (pletora), gambaran pembuluh darah di kulit atau selaput lendir, dan konjungtiva hiperemia sebagai akibat dari peningkatan massa eritrosit;4. adanya hiperviskositas dapat menyebabkan penurunan aliran darah sehingga terjadi hipoksia jaringan dan menimbulkan beberapa manifestasi klinis, seperti sakit kepala, dizziness, vertigo, tinitus, gangguan penglihatan, stroke, angina pektoris, infark miokardium, dan klaudikasio;5. adanya manifestasi perdarahan dapat terjadi pada 10-20% penderita yang terdiri dari epistaksis, perdarahan traktus gastrointestinal (ulkus peptikum), serta abnormalitas faktor pembekuan V dan XII; 6. manifestasi trombosis arteri dan vena dapat menyebabkan gangguan serebrovaskular, infark miokardium, infark paru-paru, trombosis vena mesenterika, hepatika, dan deep vein thrombosis;7. splenomegali 75 %;8. hepatomegali 40 %;9. pruritus urtikaria, 50 % penderita akan datang dengan gatal-gatal (pruritus) diseluruh tubuh, terutama setelah mandi air panas, suatu keadaan yang diakibatkan oelh meningkatnya kadar histamin dalam darah.10. gout 5-10 % (Handayani dan Haribowo, 2008: 76-77).Pada polisetemia sekunder, tanda dan gejala yang mungkin dapat muncul adalah:1. kebanyakan bermanifestasi sebagai peningkatan kemerahan pada kulit dan mukosa membran. Temuan ini lebih mudah untuk mendeteksi pada telapak tangan atau telapak kaki, di mana kulit adalah cahaya dalam individu berkulit gelap. Beberapa pasien mungkin disebabkan oleh lamban acrocyanosis aliran darah melalui pembuluh darah kecil;2. kehadiran splenomegaly mendukung diagnosis polisitemia vera daripada polisitemia sekunder;3. murmur jantung dan clubbing jari-jari mungkin menyarankan penyakit jantung bawaan;4. emfisema, hipertensi, hipoksemia, kulit sianotik kemerahan.2.1.6 PatofisiologiTerdapat 3 jenis polisitemia yaitu relatif (apparent), primer, dan sekunder.1. polisitemia relatif berhubungan dengan hipertensi, obesitas, dan stress. Dikatakan relatif karena terjadi penurunan volume plasma namun massa sel darah merah tidak mengalami perubahan;2. polisitemia primer disebabkan oleh proliferasi berlebihan pada sel benih hematopoietik tanpa perlu rangsangan dari eritropoietin atau hanya dengan kadar eritropoietin rendah. Dalam keadaan normal, proses proliferasi terjadi karena rangsangan eritropoietin yang kuat;3. polisitemia sekunder, dimana proliferasi eritrosit disertai peningkatan kadar eritropoietin. Peningkatan massa sel darah merah lama kelamaan akan mencapai keadaan hemostasis dan kadar eritropoietin kembali normal. Contoh polisitemia ini adalah hipoksia.Mekanisme terjadinya polisitemia vera (PV) disebabkan oleh kelainan sifat sel tunas (stem cells) pada sumsum tulang. Selain terdapat sel batang normal pada sumsum tulang terdapat pula sel batang abnormal yang dapat mengganggu atau menurunkan pertumbuhan dan pematangan sel normal. Bagaimana perubahan sel tunas normal jadi abnormal masih belum diketahui.Progenitor sel darah penderita menunjukkan respon yang abnormal terhadap faktor pertumbuhan.Hasil produksi eritrosit tidak dipengaruhi oleh jumlah eritropoetin. Kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan DNA yang dikenal dengan mutasi.Mutasi ini terjadi di gen JAK2 (Janus kinase-2) yang memproduksi protein penting yang berperan dalam produksidarah.Pada keadaan normal, kelangsungan proses eritropoiesis dimulai dengan ikatan antara ligan eritropoietin (Epo) dengan reseptornya (Epo-R). Setelah terjadi ikatan, terjadi fosforilasi pada protein JAK.Protein JAK yang teraktivasi dan terfosforilasi, kemudian memfosforilasi domain reseptor di sitoplasma.Akibatnya, terjadi aktivasi signal transducers and activators of transcription (STAT). Molekul STAT masuk ke inti sel (nucleus), lalu mengikat secara spesifik sekuens regulasi sehingga terjadi aktivasi atau inhibisi proses trasnkripsi dari hematopoietic growth factor.Pada penderita PV, terjadi mutasi pada JAK2 yaitu pada posisi 617 dimana terjadi pergantian valin menjadi fenilalanin (V617F), dikenal dengan nama JAK2V617F. Hal ini menyebabkan aksi autoinhibitor JH2 tertekan sehingga proses aktivasi JAK2 berlangsung tak terkontrol. Oleh karena itu, proses eritropoiesis dapat berlangsung tanpa atau hanya sedikit hematopoetic growth faktor.Terjadinya peningkatan produksi semua macam sel, termasuk sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Volume dan viskositas darah meningkat. Penderita cenderung mengalami thrombosis dan pendarahan dan menyebabkan gangguan mekanisme homeostatis yang disebabkan oleh peningkatan sel darah merah dan tingginya jumlah platelet.Thrombosis dapat terjadi di pembuluh darah yang dapat menyebabkan stroke, pembuluh vena, arteri retinal atau sindrom Budd-Chiari. Fungsi platelet penderita PV menjadi tidak normal sehingga dapat menyebabkan terjadinya pendarahan.Peningkatan pergantian sel dapat menyebabkan terbentuknya hiperurisemia, peningkatan resiko pirai dan batu ginjal.Mekanisme yang dapat meningkatkan proliferasi sel induk hematopoietik adalah sebagai berikut.1. Tidak terkontrolnya proliferasi sel induk hematopoietik yang bersifat neoplastik.2. Adanya faktor mieloproliferatif abnormal yang dapat mempengaruhi proliferasi sel induk hematopoietik normal.3. Peningkatan sensitivitas sel induk hematopoietik terhadap eritropoetin, interlaukin 1,3 GMCSF (granulocyte macrophage colony stimulating factor), dan stem cell factor.Perjalanan klinis polisitemia vera adalah sebagai berikut.1. Fase eritrositikFase eritrositik menetap sehingga diperlukan flebotomi secara teratur untuk mengendalikan viskositas darah dalam batas normal dan berlangsung selama 5-25 tahun.2. Fase burn out atau spent outPada fase ini, klien akan merasa seperti terbakar, kebutuhan flebotomi sangat berkurang dan dapat terjadi anemia, lien bertambah besar, fibrosis ringan di sumsum tulang, trombositosis, serta leukositosis.3. Fase mielofibrosisJika terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, manifestasi klinis dan perjalanan klinik menjadi serupa dengan mielofibrosis dan metaplasia mieloid yang kadang terjadi pada limpa, hati, kelenjar getah bening, dan ginjal dengan kisaran angka 10% pada penderita.4. Fase terminalKematian komplikasi perdarahan/trombosis (35-50%), mielofibrosis 15%, dan transformasi menjadi leukimia akut (Handayani dan haribowo, 2008: 76).2.1.7 Komplikasi dan prognosisKomplikasi dari polisitemia, antara lain:1. Penggumpalan darah2. Membesarnya organ limpa (splenomegali)3. Masalah pada kulit4. Peradangan pada bagian lambung, sendi dan menimbulkan batuasam urat di organ ginjal.5. Kanker darah atau leukemiaPrognosis yang dapat terjadi pada polisitemia, yaitu Dengan Plebotomi kelangsungan hidup 13,9 tahun, dengan terapi P32 kelangsungan hidup 11,8 tahun dan 8,9 tahun pada penderita dengan terapi klorambusil. 2.1.8 Pemeriksaan penunjang Polisetemia secara umum dapat ditemukan dengan beberapa prosedur pemeriksaan, diantaranya:1. Apusan darah tepia. Eritrosit: normositer normokrom (pada awal penyakit), anisositosis, poikilositosis (pada transisi menjadi mielofibrosis).b. Leukosit: leukositosis dengan pergeseran ke kiri, basofilia.c. Trombosit: trombositosis yang terkadang disertai morfologi abnormal.2. Sumsum tulangPada mielogram didapatkan angka normoblas agak meningkat, mieloblast dan mielosit dapat meningkat serta eosinofil dan basofil juga meningkat.3. Peningkatan Hb berkisar 18-24 gr%l.4. Peningkatan hematokrit dapat mencapai >60%l.5. Peningkatan eritrosit: 7-10 juta/mm3 hingga mencapai 12-15 juta/mm3.6. Viskositas darah meningkat 5-8kali normalnya.7. Leukositosis antara 12.000-25.000/mm3 pada 75% kasus dengan basofilia.8. Trombositosis antara 450.000-800.000/mm3.9. Skor NAP (neuthrophil alakaline phosphatase) meningkat.10.Volume darah total meningkat.11. Serum B12 meningkat.12. Hiperurikemia (Handayani dan haribowo, 2008: 77-78).Uji diagnostik untuk polisetemia sekunder, yaitu sebagai berikut:1. Biopsy sumsum tulang memperlihatkan hyperplasia yang terbatas pada rangkaian eritroid2. Temuan laboratorium yaitu: massa RBC meningkat (meningkatnya hematokrit, kadar Hb, rata-rata volume korpuskular, dan rata-rata kadar Hb korpuskular); kadar eritropoetin naik; kadar histamine darah naik; saturasi oksigen arterial meningkat atau normal.2.1.9 Penatalaksanaan1. Penatalaksanaan polisitemia veraPrinsip pengobatan pada politisemia vera adalah sebagai berikuta. menurunkan volume darah sampai ke tingkat normal dan mengontrol eritropoiesis dengan flebotomi;b. menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum terkendali;c. menghindari pengobatan yang berlebihan;d. menghindari obat yang mutagenik, teratogenik, dan berefek sterilisasi pada penderita dengan usia muda;e. mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dengan dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik pada penderita di atas 40 tahun dengan tanda-tanda berikut ini.1) trombositosis persisten di atas 800.000/mm3 terutama jika disertai gejala trombosis.2) Leukositosis progresif.3) Splenomegali yang simptomatik atau menimbulkan sitopenia problematik.4) Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sulit dikendalikan, penurunan berat badan, atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.2. Tindakan penatalaksanaan medis pada penderita polisitemia vera terdiri dari:a. pengobatan umumPengobatan umum yang biasa dilakukan adalah:1) pencegahan hiperurikemia dengan alupurinol 300mg/hari;2) pruritus yang disebabkan peningkatan histamin diobati dengan siproheptadin 3-4 x 4 mg/hari, simetidin 3 x 300 mg/hari;3) pencegahan tromboemboli bila trombosit >750.000/mm3 maka diberikan aspirin 80-325 mg/hari.b. pengobatan khususPengobatan khusus yang diberikan diantaranya:1) flebotomiTujuan dari pelaksanaan flebotomi adalah untuk mempertahankan hematokrit sebesar 42% pada wanita dan 47% pada laki-laki untuk mencegah timbulnya hiperviskositas. Indikasi flebotomi terutama pada semua klien selama permulaan penyakit dan klien yang masih berada pada usia subur. Flebotomi 500ml dengan interval 1-3 hari (biasanya sebanyak 6-8 unit) sampai hematokrit 65 tahun atau dengan kelainan kardiovaskuler flebotomi 100-150 ml tiap hari/setelah sehari atau flebotomi 500 ml disertai dengan penggantian cairan/plasma untuk mempertahankan volume intravaskular. Penyakit yang terkontrol memerlukan flebotomi 1-2 kali 500 ml setiap 3-4 bulan. Bila flebotomi diperlukan lebih dari 1 kali/3 bulan, sebaiknya dipilih terapi yang lain. Flebotomi disertai diet rendah besi, bila kadar besi telah rendah maka dapat kembali ke diet biasa;2) fosfor radioaktif (P32)P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCi/m2 IV, bila per oral akan dinaikkan sebesar 25%. Bila setelah 2-4 minggu pemberian P32 selesai, dapat dievaluasi hasinya sebagai berikut.a) Jika mendapatkan hasil, maka re-evaluasi setelah 10-12 minggu dan dapat diulang jika diperlukan.b) Jika tidak berhasil, maka dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama yang diberikan setelah 10-12 minggu setelah dosis pertama. Klien akan diperiksa sekitar 2-3 bulan setelah keadaan stabil;3) KemoterapiTujuan dari adanya kemoterapi adalah sitoreduksi dengan indikasi:a) hanya untuk polisitemia rubra primer;b) flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali perbulan.Cara pemberian kemoterapi yaitu dengan hidroksi urea 10-30 mg/kg/hari per oral, menurunkan panmielosis pada 85% penderita dalam waktu 12 minggu dan menurunkan kejadian trombosis sebanyak 50% serta bersifat leukemogenik. Obat-obatan alkilating (klorombusil, busulfan, mephalan) tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan insidensi leukemia akut dan keganasan lain.a. Interferon alfa: 3 juta unit SC 3 kali/minggu dapat mengontrol mieloproliferasi mengurangi splenomegali, pruritus, dan memperlambat fibrosis.b. Splenektomi: pada stadium akhir penyakit dengan splenomegali masif yang menyebabkan gangguan mekanik, penurunan berat badan, anemia berat, dan trombositopenia (Handayani dan Haribowo, 2008: 78-80).2. Penatalaksanaan politisemia sekunderPenatalaksanaan politisemia sekunder mencakup penanganan masalah primernya. Apabila penyebab tidak dapat dikoreksi maka perlu dilakukan flebotomi untuk mengurangi volume dan kekentalan darah. Jika polisetemia sekunder telah menyebabkan hiperviskositas darah yang berbahaya atau jika pasien tidak merespon penanganan penyakit primer, pengurangan darah dengan flebotom atau feresis bisa efektif. Flebotomi darurat di indikasikan untuk mencegah oklusi vascular yang akan terjadi atau sebelum pembedahan darurat dilakukan. Pembedaha darurat biasanya disarankan untuk membuang kelebihan RBC dan menginfusi plasma pasien kembali. Pembedahan elektif sebaiknya tidak dilakukan sampai polisetemia dapat terkontrol.2.1.10 Pencegahan Sampai sekarang masih belum ditemukan cara khusus untuk mencegah polisetemia. Polisitemia adalah penyakit kronis dan bila tanpa pengobatan kelangsungan hidup penderita rata-rata 18 bulan. Dengan Plebotomi kelangsungan hidup 13,9 tahun, dengan terapi P32 kelangsungan hidup 11,8 tahun dan 8,9 tahun pada penderita dengan terapi klorambusil.

2.2 Thalasemia2.2.1 PengertianThalasemia adalah penyakit atau keadaan herediter dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu (Atmojo, 2001). Thalasemia adalah ketidakadaan atau kekurangan produksi satu atau lebih rantai globin dari hemoglobin (Elizabeth, 1994). Thalasemia merupakan anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya secara resesif (Abdul, 1985). Thalasemia juga merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling sering terjadi didunia, sangat umum di jumpai di sepanjang sabuk thalassemi yang sebagian besar wilayahnya merupakan endemis malaria (Ganie, 2004). Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa, thalasemia ialah anemia hemolitik kongenital herediter yang terjadi secara autosomal resesif akibat kurangnya sintesis rantai polipeptida yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin.2.2.2 Klasifikasi Thalasemia alfa dan beta ditentukan oleh kekurangan atau tidak adanya polipeptida alfa dan beta. Thalasemia beta diklasifikasikan menjadi bentuk heterozigot (memiliki satu gen cacat) yang disebut thalasemia beta minor dan bentuk homozigot (memiliki dua gen cacat) yang disebut thalasemia beta mayor. Thalasemia minor (trait) merupakan keadaan yang terjadi pada seseorang yang sehat namun orang tersebut dapat mewariskan gen thalasemia pada anak-anaknya. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan tetap akan ada sepanjang hidup penderita. Penderita tidak memerlukan tranfusi darah dalam hidupnya. Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara thalasemia mayor dan minor. Penderita thalasemia intermedia mungkin memerlukan transfusi darah secara berkala, dan penderita thalasemia jenis ini dapat bertahan hidup sampai dewasa. Thalasemia jenis ini sering disebut cooley anemia dan terjadi apabila kedua orang tua mempunyai sifat pembawa thalasemia (carrier). Anak-anak dengan thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan menderita kekurangan darah pada usia 3-18 bulan. Penderita thalasemia mayor akan memerlukan tranfusi darah secara berkala seumur hidupnya dan dapat meningkatkan usia hidup hingga 10-20 tahun. Namun apabila penderita tidak dirawat, penderita thalasemia ini hanya bertahan hidup sampai usia 5-6 tahun.2.2.3 Epidemiologi World Health Organization (WHO) melaporkan sekitar 7% populasi penduduk di dunia bersifat carrier dan sekitar 300 000 sampai 500 000 bayi lahir dengan kelainan ini setiap tahunnya (Wahyuni, 2010). Penyakit thalassemia ini tersebar luas di daerah mediteranian seperti Italia, Yunani Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan, SriLangka sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, daerah ini dikenal sebagai kawasan thalasemia. Frekuensi thalassemia di Asia Tenggara adalah antara 3-9% (Atmojo, 2001). Gen untuk thalassemia beta ternyata tersebar luas di dataran Cina tidak terbatas pada propinsi Guangdong, seperti di duga semula. Seperti halnya di Muang Thai, thalasemia Hb E tidak jarang terdapat di bagian Selatan Cina. Frekuensi thalassemia terbesar berpusatdi daerah perbatasan Muang Thai, Laos dan Kamboja dengan frekuensi sebesar 50-60% dan juga tersebar di daerah lain Asia Tenggara dengan frekuensi yang makin berkurang di daerah yang lebih jauh (Atmojo, 2001).Thalasemia di dapat pula pada orang Negro di Amerika Serikat. Pada daerah-daerah tertentu di Italia dan di negara-negara mediteranian frekuensi carrier. Thalasemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Muang Thai 20% penduduknya mempunyai satu atau jenis lain talasemia alfa. Frekuensi gen untuk Indonesia belum jelas. Di duga sekitar 3-5%, sama seperti Malaysia dan Singapura. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta di dapat kasus baru thalasemia beta per tahun. Di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya lebih sering di jumpai thalasemia beta Hb E. Hb E trait di Rumah Sakit Dr. Sutomo adalah 6,5% (frekuensi pada suku Batak, relatif rendah). Selama 15 tahun Untario mencatat seluruhnya 134 kasus thalasemia beta. Untuk thalasemia alfa di daerah perbatasan Muang Thai dan Laos frekuensinya berkisar 30-40%, kemudian tersebar dalam frekuensi lebih rendah di Asia Tenggara termasuk Indonesia (Atmojo, 2001).2.2.4 Etiologi Thalasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan orangtua kepada anaknya. Anak yang mewarisi gen thalasemia dari salah satu orangtua dan gen normal dari orangtua yang lain adalah seorang pembawa (carriers) (Muncie & Campbell, 2009 dalam Indriati, 2011). Thalasemia alfa disebabkan oleh delesi gen atau terhapus karena kecelakaan genetik, yang mengatur produksi tetramer globin, sedangkan pada thalasemia beta karena adanya mutasi gen tersebut.Individu normal dalam satu hemoglobin mempunyai empat rantai polipeptida (dua rantai alpha dan dua rantai beta). Dalam satu rantai alfa terdiri dari gen alfa thal 2 dan gen alfa thal 1 terletak pada bagian pendek kromosom 16. Hilangnya satu gen (silent carrier) tidak menunjukkan gejala klinis sedangkan hilangnya 2 gen hanya memberikan manifestasi ringan atau tidak memberikan gejala klinis yang jelas. Hilangnya 3 gen (penyakit Hb H) memberikan anemia moderat dan gambaran klinis thalasemia intermedia. Afinitas Hb H terhadap oksigen sangat terganggu dan destruksi eritrosit lebih cepat. Delesi ke 4 gen alfa (homosigot alfa thal 1, Hb barts hydrops fetalis) adalah tidak kompatibel dengan kehidupan akhir intra uterin atau neonatal tanpa transfusi darah. Gen yang mengatur produksi rantaibeta terletak di sisi pendek kromosom 11. Pada thalasemia beta, mutasi gen disertai berkurangnya produksi mRNA dan berkurangnya sintesis globin dengan struktur normal.2.2.5 Tanda dan gejalaPada penderita thalasemia akan ditemukan beberapa kelainan diantaranya: 1. Anemia dengan gejala seperti pucat, lesu dan lemas pada usia 3-6 bulan setelah kelahiran.2. Penurunan toleransi terhadap latihan dan aktivitas, tidak nafsu makan, pembesaran limpa/hati. 3. Perubahan pada tulang, Pada penderita thalasemia beta mayor terjadi perubahan tulang yang disebabkan oleh hiperaktivitas dari sumsum tulang sehingga mengakibatkan pertumbuhan berlebih pada tulang frontal, parietal, zigomatikusserta protrusi maxilla. Perubahan bentuk ini menghasilkan wajah yang khas yaitu facies cooley. Akibat abnormalnya tulang wajah dan pertumbuhan tulang cranial. Pada hidung tampak pesek tanpa nasal bridge. Dahi yang melebar, selain itu, tulang pipi dan kranial mengalami penebalan, gigi yang protrusif (menonjol), dan pertumbuhan maxilla yang maloklusi. Pembentukan sutura pada lobus occipital mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tulang mandibula hingga struktur maxilla anterior, yang bermanisfestasi pada pertumbuhan maxilla yang berlebihan (protrusi maxilla dan atrofi mandibula). Selain itu gangguan ini juga menyebabkan perubahan posisi orbita ke arah lateral sehingga tampak wajah Cooley (Pramita, 2011).2.2.6 PatofisiologiDarah manusia terdiri dari dua komponen utama yaitu plasma darah dan sel darah. Plasma darah sebagian besar terdiri dari air, sedangkan sel darah terdiri dari sel darah merah (SDM), sel darah putih (leukosit) dan trombosit (platelet). Setiap komponen darah mempunyai fungsi spesifik dan secara bersamaan akan mendukung darah menjalankan fungsinya dalam membawa substansi yang dibutuhkan dalam metabolisme sel di jaringan, mengatur keseimbangan asam basa tubuh, dan melindungi tubuh terhadap infeksi dan luka (McCance, 2002 dalam Potts & Mandleco, 2007 dalam Indriati, 2011). Sel darah merah (SDM) mempunyai fungsi utama untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh dan hal ini dimungkinkan karena bentuk, ukuran dan strukturnya. Kemampuan SDM untuk menyuplai oksigen didukung oleh adanya hemoglobin (Hb) yang berlimpah dalam darah, dimana dalam sebuah SDM terdapat 300 molekul hemoglobin. Dalam satu hemoglobin mempunyai empat rantai polipeptida (dua rantai alpha dan dua rantai beta), yang didalamnya terdapat empat kompleks heme dengan ikatan besi (Fe), dan empat sisi pengikat oksigen (Potts & Mandleco, 2007 dalam Indriati, 2011). Pada thalasemia terjadi gangguan jumlah sintesis rantai hemoglobin, yaitu pada rantai alpha atau rantai beta (berdasarkan rantai globin yang terkena) dan mayor atau minor tergantung pada banyaknya jumlah gen yang mengalami gangguan. Thalasemia mayor merupakan jenis yang tersering dialami oleh anak-anak (Kline, 2002 dalam Indriati, 2011). Pada thalasemia beta mayor (sering disebut thalasemia mayor) terdapat defisiensi parsial atau total sintesis rantai beta molekul hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi berupa peningkatan sintesis rantai alpha, sementara produksi rantai gamma tetap aktif sehingga akan menghasilkan pembentukan hemoglobin yang tidak sempurna (cacat). Rantai polipeptida yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil dan ketika terurai akan merusak sel darah merah (hemolisis) sehingga terjadi anemia berat. Untuk mengimbangi proses hemolisis, sumsum tulang akan membentuk eritrosit dengan jumlah yang sangat berlimpah kecuali jika fungsi sumsum tulang disupresi melalui terapi transfusi (Hockenberry & Wilson, 2009 dalam Indriati, 2011). Zat besi yang berlebihan akibat hemolisis sel darah merah tambahan dari transfusi dan akibat penghancuran sel-sel darah merah cacat dengan cepat akan tersimpan dalam berbagai organ tubuh (hemosiderosis). Thalasemia merupakan penyakit keturunan, apabila kedua orang tua penderita thalasemia trait (minor) maka dalam setiap kehamilan ada kemungkinan sebesar 25% mereka akan mempunyai anak dengan darah yang normal, 50% kemungkinan penderita thalasemia trait dan 25% kemungkinan menderita thalasemia mayor (Cooleys Anemia Foundation, 2011 dalam Indriati, 2011), seperti yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1. Kemungkinan pewarisan thalasemiaSumber : The Thalassemia. Oliviery, N. (1999 dalam Indriati, 2011)2.2.7 Komplikasi dan prognosisKomplikasi pada thalassemia mayor lebih sering di dapatkan dari pada thalassemia intermedia. Komplikasi neuromuskular tidak jarang terjadi. Biasanya pasien terlambat berjalan. Sindrom neupati juga mungkin terjadi dengan kelemahan otot-otot proksimal. Terutama ekstremitas bawah akibat iskemia serebral dapat timbul episode kelainan neurologik fokal ringan, gangguan pendengaran munkin pula terjadi seperti pada kebanyakan anemia hemolitik atau diseritropoitik lain ada peningkatan kecenderungan untuk terbentuknya batu pigmen dalam kandung empedu.Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan penyakit jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis karena peningkatan endapan melanin dikatalisasi oleh endapan besi yang meningkat. Dengan chellatin agents hiperpigmentasi ini dapat di koreksi kembali. Tukak menahun pada kaki dapat di jumpai deformitas pada skelet, tulang dan sendi mungkin pula terjadi. Deformitas pada muka kadang-kadang begitu berat sehingga memberikan gambaran yang menakutkan dan memerlukan operasi koreksi. Pembesaran limpa dapat mengakibatkan hipersplenisme dan dapat menyebabkan trombositopenia dan perdarahan.Komplikasi juga dapat berakibat gagal jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah rutur akibat trauma yang ringan. Kadang-kadang thalassemia disertai oleh tanda hipersplenisme seperti leukopenia dan trombopenia. 2.2.8 Pemeriksaan penunjangUntuk memastikan diagnosa thalasemia maka pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya: 1. Laboratorium meliputi hematologi rutin (mengetahui kadar Hb dan ukuran sel-sel darah), gambaran darah tepi (melihat bentuk, warna, dan kematangan sel-sel darah), feritin/ serum iron (melihat status/kadar besi), dan analisis hemoglobin (menegakkan diagnosis dan menentukan jenis thalasemia).2. Pemeriksaan DNA, untuk mendiagnosis kelainan genetik prenatal pada janin.3. Bone Marrow Punction (BMP), akan memperlihatkan perubahan sel-sel darah berdasarkan jumlah, ukuran dan bentuk yang akan membantu membedakan jenis thalasemia yang diderita pasien (Indriati, 2011).Pada thalasemia beta mayor ditemukan data sebagai berikut:1. Anemia mikrosistik hipokromik berat dengan Hb 2-3 gr/dl presentase retikulosit yang tinggi disertai dengan hormoblast, sel target, dan titik basofilik (basophilic stippling).2. Leukosit dan platelet dalam jumlah normal atau sedikit lebih tinggi dari normal.3. Sumsum tulang yang ditandai adanya hiperplasia eritrosit, eritroblast abnormal dengan stippling, sideroblas meningkat dan juga meningkatnya kerusakan zat besi dalam darah.

Gambar 2. Biopsi jarum organ hati, penimbunan zat besi di sel parenkim hatiSumber: Pramita, 2011.

4.Ketidakefektifan eritropoiesis sangat menyolok sehingga kelangsungan hidup eritrosit memendek.5. Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tidak adanya atau hampir tidak adanya Hb A, hampir semua hemoglobin dalam darah adalah Hb F. Pemeriksaan sintesis rantai alfa dan beta pada retikulosit memperlihatkan suatu peningkatan rasio alfa : beta dengan sintesis rantai beta yang berkurang atau tidak ada. 6. Pemeriksaan radiologi: Pada penderita thalassemia beta mayor, maka pemeriksaan radiologi sangat membantu. Pada foto rontgen tengkorak dapat dilihat gambaran hair on end menyerupai rambut berdiri potongan pendek, penipisan tulang korteks, pelebaran diploe. Adanya penampakan ini oleh karena hiperplasia dari sumsum tulang yang menyebabkanpelebaran diploe. Bentukan trabekular pada diploe terkadang tersusun secara peripendikularpada kurvatura tulang tengkorak. Hiperplasia pada sumsum tulang yang bersifat radiolusen, penebalan trabekular dan penampakan warna opaque, tiga hal inilah yang menyebabkan penampakkan hair on end. Selain terlihatnya gambaran hair on end, pada rontgen kepala juga dapat ditemukan gambaran porotic hyperostosis yang merupakan porosis (lubang-lubang kecil) pada permukaan tulang tengkorak. Perubahan patologis tulang tidak hanya terjadi pada tulang tengkorak, juga dapat kita lihat perubahan tulang wajah (deformitasorofacial) pada foto rontgen, seperti facies cooley dan chipmunk appearance / rodent face.

Gambar 3. Tampilan Facies Cooley dan tampilan Facies CooleyPada anak usia 5 tahun ( hasil foto rontgen- lateral).Sumber: Pramita, 2011.

Gambar 4. Tampilan chipmunk appearance dan tampilan chipmunk rodent face ( tampak samping), appearance / rodent face ( hasil foto rontgen- lateral).Sumber: Pramita, 2011.2.2.9 Pengobatan 1. Transfusi darah (TD) Transfusi darah dilakukan secara teratur dan rutin, untuk menjaga kesehatan dan stamina penderita thalasemia, sehingga penderita tetap bisa beraktivitas. Tranfusi akan memberikan energi baru kepada penderita karena darah dari transfusi mempunyai kadar hemoglobin normal yang mampu memenuhi kebutuhan tubuh penderita. Transfusi dilakukan apabila kadar hemoglobin penderita