pencitraan diagnostik kasus asbestosis dan diagnosis ... diagnostik kasus... · tetapi modalitas...

5
CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012 660 TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Dalam suatu lingkungan kerja, dapat ditemu- kan gangguan kesehatan akibat faktor kerja, termasuk gangguan organ paru. Gangguan paru dapat terjadi secara akut dan kronis, ber- hubungan dengan terhirupnya materi orga- nik maupun anorganik dari tempat kerja. Ma- teri tersebut berupa bahan kimia, gas, debu, dan lainnya. Salah satu gangguan paru yang mungkin terjadi adalah pneumokoniosis. 1 Pneumokoniosis adalah penyakit fibrotik jaringan parenkim paru yang disebabkan oleh terhirupnya debu anorganik dalam jangka lama. Penyakit yang termasuk dalam golongan pneumokoniosis adalah silikosis, pneumokoniosis penambang batu bara (coal worker’s pneumoconiosis, CWP), asbestosis, dan lainnya. Bahasan selanjutnya mengenai asbestosis, terutama mengenai pencitraan diagnostik dalam kaitannya untuk deteksi dini. 2 Asbestosis adalah pneumokoniosis yang disebabkan oleh akumulasi Pajanan serat asbestos. Gangguan lain yang dapat disebabkan oleh asbestos adalah kanker paru dan mesotelioma. 1 Istilah asbestosis pertama kali dikemukakan oleh Cooke pada 1927, setelah pada 1906 dilaporkan kasus kematian akibat asbestos. 3,4,5 Asbestos adalah kelompok mineral silikat fibrosa dari logam magnesium dan besi yang sering digunakan sebagai bahan baku industri tegel lantai dan atap. 3 Asbestos telah dikenal sejak zaman batu dan makin banyak digunakan setelah masa revolusi industri pada akhir abad ke-19. Produksi asbestos meningkat tajam hingga tahun 1970-an. Walaupun telah diketahui dapat mengganggu kesehatan, hingga kini asbestos masih banyak digunakan dalam industri dan konstruksi di negara berkembang. 3,6,7 Negara maju, seperti Amerika Serikat, telah melarang penggunaan asbestos sejak tahun 1970-an sampai 1980-an. Walaupun demikian, negara seperti Kanada dan Rusia masih mengekspor asbestos ke negara maju baru dan negara berkembang seperti negara-negara di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, dan Afrika. 1 EPIDEMIOLOGI ASBESTOSIS Pajanan terhadap asbestos dibagi menjadi tiga kategori, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pajanan primer secara langsung terjadi pada penambang asbestos. Pajanan sekunder didapatkan pada pekerja industri yang menggunakan asbestos seperti pada pekerja konstruksi. Sedangkan Pajanan tersier adalah Pajanan non-okupasi yang disebabkan oleh polusi udara. Pajanan tersier tidak memiliki risiko yang signifikan terhadap terjadinya asbestosis. 3 Dalam studi di Amerika Serikat, asbestosis terdeteksi pada 10% pekerja penambang asbestos yang bekerja selama 10-19 tahun dan pada 90% pekerja yang telah bekerja selama lebih dari 40 tahun. Laju kematian asbestosis setelah tahun 1970 cenderung meningkat dan pada negara maju menurun setelah tahun 2000. Kini, CDC memperkirakan Pencitraan Diagnostik Kasus Asbestosis dan Diagnosis Diferensialnya Andreas Erick Haurissa Dokter Umum di Puskesmas Menjalin, Kecamatan Menjalin Kabupaten Landak, Kalimantan Barat ABSTRAK Asbestosis adalah salah satu pneumokoniosis yang sering terjadi dan menyebabkan banyak masalah kesehatan terutama pada mereka yang bekerja dalam Pajanan asbestos. Hal yang diperlukan untuk mencegah progresivitas asbestosis adalah tindakan pencitraan diagnostik untuk deteksi dini. Tetapi modalitas radiologi umum ternyata memiliki beberapa keterbatasan akurasi; oleh sebab itu diperlukan pertimbangan diag- nosis diferensial pneumokoniosis lainnya. Kata kunci: asbestosis, pneumokoniosis, kesehatan kerja, radiologi ABSTRACT Asbestosis is a pneumoconiosis that often causes health problems among workers with asbestos exposure. Early screening and radiological detection are needed to prevent progression of asbestosis. However, common x-ray radiological modalities have several limitation in accura- cies. Therefore, we need differential diagnosis on radiological findings. Andreas Erick Haurissa. Diagnostic Imaging in Asbestosis and Its Differential Diagnosis. Key words: asbestosis, pneumoconiosis, occupational health, radiology CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 660 CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 660 9/12/2012 5:02:14 PM 9/12/2012 5:02:14 PM

Upload: dinhbao

Post on 03-Mar-2018

228 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012660

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUANDalam suatu lingkungan kerja, dapat ditemu-kan gangguan kesehatan akibat faktor kerja, termasuk gangguan organ paru. Gangguan paru dapat terjadi secara akut dan kronis, ber-hubungan dengan terhirupnya materi orga-nik maupun anorganik dari tempat kerja. Ma-teri tersebut berupa bahan kimia, gas, debu, dan lainnya. Salah satu gangguan paru yang mungkin terjadi adalah pneumokoniosis.1

Pneumokoniosis adalah penyakit fi brotik jaringan parenkim paru yang disebabkan oleh terhirupnya debu anorganik dalam jangka lama. Penyakit yang termasuk dalam golongan pneumokoniosis adalah silikosis, pneumokoniosis penambang batu bara (coal worker’s pneumoconiosis, CWP), asbestosis, dan lainnya. Bahasan selanjutnya mengenai asbestosis, terutama mengenai pencitraan diagnostik dalam kaitannya untuk deteksi dini.2

Asbestosis adalah pneumokoniosis yang disebabkan oleh akumulasi Pajanan serat

asbestos. Gangguan lain yang dapat disebabkan oleh asbestos adalah kanker paru dan mesotelioma.1 Istilah asbestosis pertama kali dikemukakan oleh Cooke pada 1927, setelah pada 1906 dilaporkan kasus kematian akibat asbestos.3,4,5

Asbestos adalah kelompok mineral silikat fi brosa dari logam magnesium dan besi yang sering digunakan sebagai bahan baku industri tegel lantai dan atap.3 Asbestos telah dikenal sejak zaman batu dan makin banyak digunakan setelah masa revolusi industri pada akhir abad ke-19. Produksi asbestos meningkat tajam hingga tahun 1970-an. Walaupun telah diketahui dapat mengganggu kesehatan, hingga kini asbestos masih banyak digunakan dalam industri dan konstruksi di negara berkembang.3,6,7 Negara maju, seperti Amerika Serikat, telah melarang penggunaan asbestos sejak tahun 1970-an sampai 1980-an. Walaupun demikian, negara seperti Kanada dan Rusia masih mengekspor asbestos ke negara maju baru dan negara berkembang

seperti negara-negara di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, dan Afrika.1

EPIDEMIOLOGI ASBESTOSISPajanan terhadap asbestos dibagi menjadi tiga kategori, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pajanan primer secara langsung terjadi pada penambang asbestos. Pajanan sekunder didapatkan pada pekerja industri yang menggunakan asbestos seperti pada pekerja konstruksi. Sedangkan Pajanan tersier adalah Pajanan non-okupasi yang disebabkan oleh polusi udara. Pajanan tersier tidak memiliki risiko yang signifi kan terhadap terjadinya asbestosis.3

Dalam studi di Amerika Serikat, asbestosis terdeteksi pada 10% pekerja penambang asbestos yang bekerja selama 10-19 tahun dan pada 90% pekerja yang telah bekerja selama lebih dari 40 tahun. Laju kematian asbestosis setelah tahun 1970 cenderung meningkat dan pada negara maju menurun setelah tahun 2000. Kini, CDC memperkirakan

Pencitraan Diagnostik Kasus Asbestosis dan Diagnosis Diferensialnya

Andreas Erick HaurissaDokter Umum di Puskesmas Menjalin, Kecamatan Menjalin

Kabupaten Landak, Kalimantan Barat

ABSTRAKAsbestosis adalah salah satu pneumokoniosis yang sering terjadi dan menyebabkan banyak masalah kesehatan terutama pada mereka yang bekerja dalam Pajanan asbestos. Hal yang diperlukan untuk mencegah progresivitas asbestosis adalah tindakan pencitraan diagnostik untuk deteksi dini. Tetapi modalitas radiologi umum ternyata memiliki beberapa keterbatasan akurasi; oleh sebab itu diperlukan pertimbangan diag-nosis diferensial pneumokoniosis lainnya.

Kata kunci: asbestosis, pneumokoniosis, kesehatan kerja, radiologi

ABSTRACTAsbestosis is a pneumoconiosis that often causes health problems among workers with asbestos exposure. Early screening and radiological detection are needed to prevent progression of asbestosis. However, common x-ray radiological modalities have several limitation in accura-cies. Therefore, we need diff erential diagnosis on radiological fi ndings. Andreas Erick Haurissa. Diagnostic Imaging in Asbestosis and Its Diff erential Diagnosis.

Key words: asbestosis, pneumoconiosis, occupational health, radiology

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 660CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 660 9/12/2012 5:02:14 PM9/12/2012 5:02:14 PM

661CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012

TINJAUAN PUSTAKA

terdapat 1.290 kematian akibat asbestosis di Amerika Serikat setiap tahunnya dengan rata-rata usia penderita sekitar 79 tahun.8 Kematian akibat asbestosis merupakan 28% dari semua kasus kematian akibat pneumokoniosis.1 Namun, laju kematian akibat asbestosis seringkali menjadi bias oleh adanya kanker paru dan mesotelioma.8 Pada studi The Surveillance of Australian Workplace Based Respiratory Events (SABRE) ditemukan kasus asbestosis sebanyak 10,2% dari 3.151 kasus penyakit paru okupasi.5

PATOFISIOLOGI ASBESTOSISProses patofi siologi asbestosis diawali dengan inhalasi serat asbestos. Serat berukuran besar akan tertahan di hidung dan saluran pernapasan atas dan dapat dikeluarkan oleh sistem mukosiliaris. Serat berdiameter 0,5-5 mikrometer akan tersimpan di bifurcatio saluran, bronkioli, dan alveoli. Serat asbestos akan menyebabkan cedera sel epitel dan sel makrofag alveolar yang berusaha memfagosit serat. Beberapa serat akan masuk ke dalam jaringan intersisium melalui penetrasi yang dibawa oleh makrofag atau epitel. Makrofag yang telah rusak akan mengeluarkan reactive oxygen species (ROS) yang dapat merusak jaringan dan beberapa sitokin, termasuk tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1, dan metabolit asam arakidonat yang akan memulai infl amasi alveoli (alveolitis). Sel epitel yang terganggu juga mengeluarkan sitokin.1-4

Gangguan asbestos berskala kecil tidak akan menimbulkan gangguan setelah infl amasi terjadi. Namun bila serat terinhalasi dalam kadar lebih tinggi, alveolitis akan terjadi lebih intens, menyebabkan reaksi jaringan yang lebih hebat. Reaksi jaringan ini menyebabkan fi brosis yang progresif, yaitu pengeluaran sitokin profi brosis seperti fi bronektin, fi broblast growth factor, platelet-derived growth factor, dan insulin-like growth factor yang akan menyebabkan sintesis kolagen.4

MANIFESTASI KLINIS, DIAGNOSIS, DAN TERAPI ASBESTOSISAwitan gejala asbestosis biasanya akan timbul 20 tahun setelah Pajanan awal. Tanda dan gejala asbestosis kebanyakan tidak khas dan mirip penyakit paru restriktif lainnya. Gejala paling sering dan juga merupakan tanda awal adalah munculnya dispnea saat beraktivitas. Dispnea akan berkembang progresif lambat

dalam beberapa tahun. Dispnea tetap akan memburuk walaupun pasien tidak lagi terpapar asbestos. Gejala lainnya adalah batuk produktif atau batuk kering persisten, rasa sesak dan nyeri pada dada, serta adanya mengi.2,3

Pada pemeriksaan dapat ditemukan rhonki basal paru bilateral (pada 60% pasien) yang terdengar pada akhir fase inspirasi. Sering ditemukan pula jari tabuh (digital clubbing) pada 30-40% pasien dan pada asbestosis lanjut. Gangguan lain yang perlu diperhati-kan adalah adanya cor pulmonale, kegana-san yang terkait asbestosis, seperti kanker paru, kanker laring, bahkan kanker gaster dan pankreas.2,4

Pada pemeriksaan fungsi paru akan didapat-kan pola restriktif dengan penurunan kapa-sitas vital, kapasitas total paru, dan kapasitas difusi, dengan hipoksemia arterial. Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity, FVC) akan menurun <75%.1 Dapat juga didapatkan pola obstruktif disebabkan fi brosis dan penyempi-tan bronkioli.4

Pada gambaran histopatologi dapat diperoleh gambaran parenkim paru yang kasar hingga adanya gambaran sarang lebah (honey-comb). Gambaran ini didapati bilateral, sering di lo-bus inferior. Secara mikroskopis didapati pen-ingkatan kolagen intersisial sehigga membuat fi brosis menjadi tebal. 3,4

Pada pemeriksaan radiologis, diagnosis memerlukan adanya tanda fi brosis paru pada pasien dengan Pajanan asbestosis yang bermakna. Fibrosis paru biasanya pertama kali diketahui melalui pemeriksaan radiografi thorax, dan dapat dikonfi rmasi melalui pemindaian CT beresolusi tinggi.3,4 Namun, ada pasien dengan asbestosis radiografi s yang tidak menunjukkan gejala klinis asbestosis. Sebaliknya 10-20% pasien dengan bukti histopatologis fi brosis memiliki gambaran roentgen yang normal. 3

Diagnosis asbestosis dapat ditegakkan dengan adanya riwayat Pajanan asbestos, adanya selang waktu yang sesuai antara Pajanan dengan timbulnya manifestasi klinis, gambaran dari roentgen thorax, adanya gambaran restriktif dalam pemeriksaan paru, kapasitas paru yang terganggu, dan rhonki bilateral basal paru.9

Hingga kini tidak ada terapi yang efektif untuk asbestosis paru, terapi hanya bersifat suportif dan paliatif. Penggunaan anti infl amasi steroid dan kolkisin tidak bermanfaat.4 Gagal pernapasan dapat dibantu dengan pemberian oksigen tambahan. Yang perlu adalah pencegahan, yaitu menghentikan atau menghindari Pajanan asbestos. Para pekerja yang berisiko tinggi terhadap asbestosis, sangat dianjurkan agar melakukan pemindaian (screening) kesehatan minimal satu kali dalam satu tahun.2

PENCITRAAN DIAGNOSTIK ASBESTOSISPemeriksaan radiologis atau pencitraan diagnostik sangat diperlukan dalam kasus asbestosis karena tanda fi brosis dapat ditemukan dengan modalitas radiologis. Pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis asbestosis paru adalah pemeriksaan roentgen dan pemindaian CT (CT-Scan).10

Pemeriksaan roentgenPada pemeriksaan roentgen dapat ditemukan beberapa gambaran radioopak kecil linier iregular, lebih banyak di basal paru (Gambar 1). Berdasarkan klasifi kasi ILO (International Labour Organization) 1980, “gambaran opak kecil iregular” adalah bayangan linier iregular di parenkim paru dan mengaburkan gambaran bronkovaskular paru. Selain itu sering pula ditemukan garis septal, yaitu penebalan fi brosa pada lobul-lobul. 3,9

Ada tiga tingkatan gambaran roentgen sesuai dengan perjalanan asbestosis. Pada tahap awal, dapat diperoleh gambaran pola retikular pada basal paru, ground-glass appearance, yang dapat menggambarkan proses alveolitis dan fi brosis intersisial. Tahap kedua ditandai dengan peningkatan bayangan opak kecil iregular menjadi pola intersisial yang luas. Pada tahap ini gambaran dapat mengaburkan batas jantung atau shaggy heart border (Gambar 2). Pada tahap akhir, dapat menjadi pola intersisial kasar dan honey-comb pada paru atas, namun gambaran ini jarang ditemukan.3,9 Dähnert menegaskan bahwa dalam pemeriksaan roentgen jarang sekali ditemukan fi brosis masif; bila ada, biasanya terjadi di basal paru tanpa pergerakan ke hilus. Tidak ditemukan adenopati hilum ataupun mediastinal, yang membedakan asbestosis dengan silikosis atau CWP.9 Selain itu sering ditemukan pula penebalan pleura berupa plak pleura (Gambar 3) disertai fi brosis paru,

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 661CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 661 9/12/2012 5:02:15 PM9/12/2012 5:02:15 PM

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012662

TINJAUAN PUSTAKA

biasanya di lapangan paru bawah, terutama paru kiri di sekitar parakardial yang menutupi batas jantung kiri. Selain itu sering ditemukan juga karsinoma bronkogen.9,11,12

Pemeriksaan roentgen pada asbestosis bersifat non-spesifi k, yang dapat memberikan tingkatan positif-palsu yang tinggi. Tingkat keakuratannya berkisar antara 40-90%.3

Gambar 1 Roentgen toraks yang memperlihatkan

bayangan opak linear ireguler pada basal paru,

mengindikasikan asbestosis ringan3

Gambar 2 Roentgen toraks laki-laki 54 tahun dengan

asbestosis: Terdapat gambaran opak linear kasar pada basal

paru, cenderung meningkat pada paru kiri, batas jantung

dan diafragma menjadi kabur (shaggy border sign) 3

Gambar 3 Gambaran plak pleura (tanda panah): Plak

bersifat simetris, terletak lateral dan dapat berada di sebelah

atas diafragma12

Pemeriksaan CT-ScanPada pemeriksaan CT beresolusi tinggi (High Resolution Computed Tomography, HRCT) dapat ditemukan asbestosis tahap awal berupa gambaran opak bulat, kecil, intralobular; septa intralobular menebal (Gambar 4), adanya garis kurvilinear subpleura (Gambar 5), dan pita parenkimal. (Gambar 6) Penebalan septa menunjukkan adanya fi brosis. Gambaran honey-comb (Gambar 7) pada fase lanjut dapat ditemukan, namun jarang. Seperti pada pemeriksaan roentgen, penemuan radiologis lebih sering ditemukan pada basal paru.3,9

Garis subpleura ditemukan 1 cm dari pleura. Biasanya garis berukuran 5-10 cm dan mungkin menunjukkan fi brosis di daerah bronkiolar dan atelektasis. Sedangkan pita parenkimal adalah bayangan opak linear tebal dengan ukuran 2-5 cm, yang melintasi paru dan menyentuh permukaan pleura. Pita parenkimal berhubungan dengan distorsi anatomis paru.3 Selain itu dapat ditemukan pula gambaran pada pleura, yaitu penebalan pleura yang membentuk plak pleura. Penebalan ini bersifat bilateral, dan terdapat kalsifi kasi. (Gambar 8).13,14

CT-scan dinilai lebih sensitif mendeteksi asbestosis dibandingkan dengan radiografi konvensional, terutama untuk menilai asbestosis awal. Tetapi penemuan pada CT-scan tidak spesifi k hanya untuk asbestosis. Gamsu dkk., menunjukkan bahwa diagnosis asbestosis memerlukan penemuan tiga macam gambaran.15

Gambar 4 Gambaran CT-scan pada paru inferior yang

menunjukkan garis septa menebal (panah putih) dan

gambaran opak intralobular subpleura (anak panah hitam).

Ditemukan juga plak pleura difragmatika yang terkalsifi kasi

pada bagian kiri3

Gambar 5 Gambaran CT-scan pada inferior paru yang

menunjukkan gambaran opak kurvilinier subpleura (anak

panah putih) dan garis intersisial yang menebal (anak

panah hitam) 3

Gambar 6 Gambaran CT scan resolusi tinggi pada bagian

medial paru menunjukkan pita parenkimal (ditunjuk

dengan anak panah)3

Gambar 7 Gambaran CT scan menunjukkan asbestosis

lanjut: Terdapat perusakan jaringan berupa honey-comb

(anak panah) 12

Gambar 8 Gambaran CT scan pada mediastinal window

setingkat vena cava inferior suprahepatica, menunjukkan

penebalan pleura (panah) pada lobus bawah di kedua

paru, mengindikasikan adanya plak pleura13

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 662CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 662 9/12/2012 5:02:16 PM9/12/2012 5:02:16 PM

663CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012

TINJAUAN PUSTAKA

Pemeriksaan MRIPemeriksaan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging, MRI) jarang dilakukan. Bekkelund dkk.(1998) menyebutkan MRI lebih sensitif dibandingkan radiografi konvensional dalam menemukan fi brosis subklinis pada 17 pasien.16 Weber dkk. menemukan sensitivitas MRI untuk deteksi klasifi kasi plak sebesar 88%; MRI dapat menilai lebih baik adanya penebalan pleura dan efusi pleura.17

Pemeriksaan radiologi nuklirPemeriksaan asbestosis dengan pencitraan nuklir pernah dilakukan dengan Gallium-67, namun sudah tidak dilakukan lagi dengan adanya CT-Scan. Gallium-67 dapat membantu mendiagnosis asbestosis pada pasien dengan radiografi normal. Gallium-67 dapat menandakan aktivitas infl amasi karena isotop ini dapat diambil oleh makrofag alveolar.18

PENCITRAAN DIAGNOSTIK PADA DIAGNOSIS DIFERENSIAL ASBESTOSIS Asbestosis paru perlu dibedakan dari penyakit paru akibat bahan debu lain yang digolongkan dalam pneumokoniosis. Pneumokoniosis dapat digolongkan fi brotik (asbestosis, silikosis, pneumokoniosis pekerja tambang batu bara, beriliosis, talkosis) dan non-fi brotik (inhalasi oksida besi dan partikel barium sulfat). Yang akan dibahas adalah silikosis, inhalasi debu batu bara, beriliosis, dan talkosis, serta perbedaaannya dengan pneumonia interstisial.

SilikosisSilikosis disebabkan oleh inhalasi kristalin silikon dioksida (silika). Pada gambaran radiografi s dan CT-scan silikosis sederhana (Gambar 9 dan 10) dapat ditemukan pola bayangan opak kecil, dan bulat ireguler di lobus superior dan media, dibedakan dari asbestosis yang cenderung di lobus inferior. Pada gambaran awal dapat ditemukan gambaran fi brosis tipis di sekitar bronkovaskular, hingga menjadi noduler pada fase lanjut. Gambaran lainnya adalah kelenjar hilus dapat membesar disertai kalsifi kasi tipis (gambaran kulit telur, egg shell apperance).11,13

Keadaan silikosis akut (Gambar 11) memberikan gambaran konsolidasi atau pemadatan bilateral dan/atau tampakan ground-glass yang lebih sering di regio perihilus. Pada CT-scan dapat ditemukan noduler sentrilobular bilateral dengan opasitas ground-glass dan

konsolidasi, serta retikulasi intralobular (crazy paving).9,13

Gambar 9 Gambaran silikosis sederhana dengan nodul

kecil di kedua paru terutama di bagian superior dan media

paru13

Gambar 10 Gambaran CT scan pasien yang sama dengan

Gambar 9, didapatkan gambaran nodul13

Gambar 11 Gambaran CT scan pada silikosis akut dengan

tampakan ground-glass dan penebalan septal interlobular

(anak panah hitam)13

Pneumokoniosis penambang batu bara (coal worker’s pneumoconiosis, CWP)Pada CWP, biasanya ditemukan gambaran opak noduler kecil (1-5 mm), sering di lobus atas paru fi brosis masif dan progresif.9 Saat pe-meriksaan radiologis (Gambar 12), ditemukan mirip tampakan pada silikosis.13

Gambar 12 Gambaran CT scan seorang pekerja tambang

batu bara; anak panah menunjukkan gambaran

sentrilobular dan kepala panah menunjukkan nodul13

BeriliosisBeriliosis adalah penyakit paru granulomatus kronis karena Pajanan debu berilium. Tampakan radiologisnya tidak khas. Fase akut dapat memberi gambaran edema dan perdarahan berupa bayangan suram pada paru dan pembesaran limfonodus hilus dan mediastinal bilateral (Gambar 13). Pada CT-scan juga dapat dilihat adanya pembesaran hilus (Gambar 14). Pada stadium kronis, gambaran menjadi granuler atau noduler fi brotik yang dapat mencapai ukuran 1 cm.11,13

Gambar 13 Gambaran roentgen toraks pasien dengan

beriliosis: Tampak pembesaran limfonodus hilus13

Gambar 14 Tampak pembesaran hilus paru (anak panah

melengkung)13

TalkosisTalk adalah magnesium silikat hidrat yang digunakan di pabrik kulit, karet, tekstil, dan tegel keramik. Pada gambaran roentgen thorax didapatkan gambaran umum yang tampak kabur, nodulasi, dan gambaran retikuler seperti asbestosis, tetapi tidak

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 663CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 663 9/12/2012 5:02:17 PM9/12/2012 5:02:17 PM

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012664

TINJAUAN PUSTAKA

terdapat penebalan pleura. Biasanya dapat terbentuk limfadenopati hilus. Pada CT-scan (Gambar 15) didapati nodul-nodul kecil difus, adanya massa perihilus, dan emfi sema.11,13

Gambar 15 Talkosis pada pasien 52 tahun yang bekerja

dalam usaha pemrosesan magnesium silikat selama 8

tahun; pada bronkus utama, tampak konsolidasi padat

dengan bronki dilatasi, emfi sema perisikatrisial (anak

panah), dan penebalan septal interlobular (kepala panah)

pada lobus superior kedua paru13

Pneumonia inserstisialAkira dkk. meneliti perbedaan gambaran CT-scan pada asbestosis dan fi brosis paru idiopatik (misalnya pada pneumonia interstisial). Mereka mendapatkan bahwa pada asbestosis paru terdapat obstruksi bronkial pada regio subpleura. Sedangkan pada fi brosis paru idiopatik lebih jelas ditemukan dilatasi bronkiolus (Gambar 16).19

SIMPULANPeranan pencitraan diagnostik dengan modalitas radiologi pada kasus asbestosis cukup penting, disesuaikan dengan anamnesis, pemeriksaan fi sik, dan pemeriksaan penunjang lain. Perlu dipertimbangkan penyebab gangguan paru akibat kerja lain, yaitu pneumokoniosis yang sering kali menyerupai asbestosis.

Gambar 16 Pasien pria 58 tahun dengan fi brosis paru

idiopatik: Tampak dilatasi brionkiolus (anak panah)19

DAFTAR PUSTAKA

1. Johanning E. Occupational and Environmental Lung Disease: Overview for Family Physicians. Dalam: Lomax JD, Johanning E. Occupational Medicine. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins, 2001; 121.

2. Shellito J. Occupational/Inhalational/Environmental Disease. Dalam: Ali J, Summer W, Levitzky M. Pulmonary Pathophysiology. USA: Lange Medical Books, 1999; 151.

3. Chun S. 2008. Asbestosis. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/352900-overview. Diakses pada 9 Desember 2011.

4. Varkey B. Asbestosis. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/295966-overview. Diakses pada 9 Desember 2011.

5. Park EK, Hannaford-Turner KM, Hyland RA, Johnson AR, Yates DH. Asbestos-related occupational lung diseases in NSW, Australia and potential exposure of the general population. Ind

Health. 2008 Dec;46(6):535-40.

6. Attaran A, Boyd DR, Stanbrook MB. Asbestos mortality: a Canadian export. CMAJ. 2008 Oct 21;179(9):871-4.

7. West JB. Pulmonary Pathophysiology 7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2008; 131.

8. National Center for Health Statistics. Asbestosis: Number of deaths by sex, race, and age, and median age at death, U.S. residents age 15 and over, 1995–2004. Tersedia di http://www2a.

cdc.gov/drds/WorldReportData/pdf/2007T01-01.pdf. Diakses pada 9 Desember 2011.

9. Dähnert, W. Radiology Review Manual 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2011; 454-5.

10. Ross RM. The clinical diagnosis of asbestosis in this century requires more than a chest radiograph.Chest. 2003 Sep;124(3):1120-8.

11. Kusumawidjaja K. Kelainan Paru Akibat Lapangan Kerja. Dalam Ekayuda I. Radiologi Diagnostik Sjahriar Rasjad Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005; 160-1.

12. O’Reilly KM, Mclaughlin AM, Beckett WS, Sime PJ. Asbestos-related lung disease. Am Fam Physician. 2007 Mar 1;75(5):683-8.

13. Chong S, Lee KS, Chung MJ, Han J, Kwon OJ, Kim TS. Pneumoconiosis: comparison of imaging and pathologic fi ndings. Radiographics. 2006 Jan-Feb;26(1):59-77.

14. Webb, WR. Pleura, Chest Wall, and Diaphragm. Dalam: Webb WR, Brant WE, Major NM. Fundamentals of Body CT 3rd ed. Philadelphia: Saunders, 2006: 151.

15. Gamsu G, Salmon CJ, Warnock ML. CT quantifi cation of interstitial fi brosis in patients with asbestosis: a comparison of two methods. AJR Am J Roentgenol. Jan 1995;164(1):63-8.

16. Bekkelund SI, Aasebo U, Pierre-Jerome C. Magnetic resonance imaging of the thorax in the evaluation of asbestosis. Eur Respir J. Jan 1998;11(1):194-7.

17. Weber MA, Bock M, Plathow C, Wasser K, Fink C, Zuna I, et al. Asbestos-related pleural disease: value of dedicated magnetic resonance imaging techniques. Invest Radiol. Sep 2004;39(9):554-

64.

18. Lambert R, et al. Gallium-67 Thoracic Scan and Pleural Disease in Asbestos Workers. J NucI Med. 1986. 26:600-3.

19. Akira M, Yamamoto S, Inoue Y, Sakatani M. High-resolution CT of asbestosis and idiopathic pulmonary fi brosis. AJR Am J Roentgenol. 2003 Jul;181(1):163-9.

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 664CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 664 9/12/2012 5:02:18 PM9/12/2012 5:02:18 PM