penanggulangan pkl

15

Click here to load reader

Upload: andria-drew-susanto

Post on 19-Jun-2015

1.208 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penanggulangan PKL

Pengertian Istilah PKL

Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja

dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki

pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga

"kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini

istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.

Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan

pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya

menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau

sekitar satu setengah meter.

Persoalan PKL yang bermuara pada kemiskinan dan kesempatan kerja tidak terlepas

dari konteks globalisasi, krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan kesenjangan

pembangunan kota-desa di Indonesia. Dalam konteks globalisasi terjadi kesenjangan

pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan antara masyarakat negara maju dengan

negara berkembang.

Segudang permasalahan PKL antara lain :

a. Penggunaan ruang publik bukan untuk fungsi semestinya dapat membahayakan

orang lain maupun PKL itu sendiri.

b. Pencemaran yang dilakukan sering diabaikan oleh PKL.

c. Sebagian besar PKL tidak mendapat perlindungan dari ancaman jiwa, kesehatan

maupun jaminan masa depan. Resiko semacam itu belum mendapat perhatian

karena perhatian masih tertuju pada pemenuhan kebutuhan pokok.

d. Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat antara pengusaha yang membayar

pajak resmi dengan pelaku ekonomi informal yang tidak membayar pajak resmi

(walaupun mereka sering membayar ”pajak tidak resmi”), contohnya ada dugaan

bahwa pemodal besar dengan berbagai pertimbangan memilih melakukan kegiatan

ekonominya secara informal dengan menyebarkan operasinya melalui unit-unit PKL

(Pikiran Rakyat, 3/11/04).

e. Tidak adanya perlindungan hukum menyebabkan pekerja di ekonomi informal

rentan eksploitasi, baik pelaku di PKL itu sendiri, rekanan usaha dari sektor formal

maupun dari oknum tertentu baik dari pemegang kebijakan lokal yang resmi

maupun preman.

Page 2: Penanggulangan PKL

f. Timbulnya ”parallel structure” yaitu kerangka aliran uang yang berupa setoran di

luar aliran uang resmi atau pajak ke pemerintah. Hal tersebut menyebabkan

ketergantungan sebagian oknum pemerintah pada keberadaan PKL.

Beberapa Alternatif Penanganan PKL

Pendekatan yang digunakan untuk penangangan PKL pada makalah ini mengacu pada

aspek fisik dan non fisik. Integrasi pendekatan ini dinamakan pendekatan

pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan

kebutuhan generasi yang akan datang. Pendekatan Pembangunan berkelanjutan antara

lain yaitu :

a. Ketegasan dan Konsisten Pemerintah Daerah

Di ruas jalan yang jelas-jelas disebutkan tidak boleh ditempati PKL atau bebas PKL,

sejak dini harus dilakukan pengawasan secara terus-menerus. Sebelum jumlah PKL

yang mangkal di daerah terlarang bertambah banyak, maka aparat disertai dengan

masyarakat dapat segera mengambil langkah-langkah pengawasan dan penindakan.

Di wilayah di mana jumlah PKL sudah telanjur banyak, biasanya upaya penindakan yang

dilakukan akan jauh lebih sulit dan membutuhkan energi serta dana yang jauh lebih

besar. Sistem deteksi dini ini tentu saja baru dapat berjalan dengan efektif jika pihak

penduduk disekitar lokasi juga diberi dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber

daya manusianya.

Di wilayah kecamatan yang termasuk jalur rawan dijejali PKL dan masih termasuk jalur

utama yang dinyatakan bebas PKL, maka jumlah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

yang diperbantukan bagi kecamatan harus lebih besar daripada kecamatan yang

terletak di pinggiran kota.

Oleh karena itu, yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana mengkolaborasikan

antara fungsi pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif, serta fungsi penindakan itu

sendiri untuk situasi khusus. Yang dimaksud fungsi pembinaan adalah bagaimana upaya

yang dikembangkan pemda terhadap kelompok PKL binaan tidak hanya sekadar

memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu

sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.

Adapun yang dimaksud fungsi pengawasan adalah upaya pemda untuk terus-menerus

mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di

Page 3: Penanggulangan PKL

berbagai wilayah kota. Tujuannya, supaya dapat diperoleh data akurat dan up to date

tentang keberadaan PKL.

Sementara yang dimaksud fungsi preventif adalah upaya pemda untuk mencegah arus

urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota.

Salah satu bentuk ketegasan yang baik yaitu PKL di Bangkok. PKL di Bangkok tidak

dipungut retribusi, namun mereka diwajibkan menjaga kebersihan lingkungan. Mereka

yang melanggar, didenda antara Rp 50.000 dan Rp 200.000, untuk setiap kali

pelanggaran. Seorang pedagang K-5 di kawasan Banglamphu di pusat kota Bangkok

dapat di denda hanya karena menjatuhkan es batu di jalan. Dan petugas Pamong Praja

(PP) dilengkapi dengan peralatan kamera untuk membuktikan kelakuan PKL. petugas

juga tidak mengenal kompromi. Uang denda diperuntukkan bagi petugas PP sebagai

tambahan insentif.

b. Pendekatan vertikal

Guna mengatasi persoalan PKL, upaya penataan yang dapat dilakukan dapat dilakukan

secara vertikal. Secara vertikal antara lain menyangkut perbaikan dari segi perijinan,

pembinaan, dan pemberian bantuan kepada para PKL. Perijinan bagi aktivitas Pedagang

kaki lima dalam melakukan usahanya didasari atas pertimbangan agar memudahkan

dalam pengaturan, pengawasan dan pembatasan jumlah; membantu dalam penarikan

retribusi. Pemberian surat ijin usaha ini telah diterapkan di negara tetangga seperti

Malaysia, Singapura, Philipina.

c. Daya dukung lingkungan

Betapa pun harus disadari bahwa terjadinya urbanisasi berlebih (over urbanization) di

suatu kota adalah imbas dari persoalan yang muncul di desa asal migran. Akibatnya,

sepanjang persoalan di daerah asal itu tidak ditangani dengan baik, maka kebijakan

"pintu tertutup" yang dikembangkan kota besar di mana pun tidak akan pernah mampu

mengurangi arus migrasi.

Bagi PKL yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan untuk

ditoleransi, kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program rombongisasi

atau tendanisasi. Meskipun program ini bukan jalan keluar yang terbaik bagi ketertiban

kota, program ini paling realistis karena dapat mengompromikan kepentingan PKL agar

Page 4: Penanggulangan PKL

tetap diperbolehkan berdagang di kawasan ramai. Sementara pada saat yang sama

keindahan kawasan itu tetap terjaga karena para PKL bersedia diatur sedemikian rupa.

Keberadaan PKL dirasakan perlu dengan syarat tidak mengganggu ruang publik yakni

fungsi bahu jalan untuk pejalan kaki dan fungsi jalan bagi kendaraan bermotor. Karena

itu perlu dihitung berapa daya dukung bahu jalan bagi PKL agar PKL tetap dapat

berdagang dan masyarakat tidak diganggu hak publiknya.

d. Corporate Social Responsibility (CSR)

CSR merupakan metode yang saat ini sangat berkembang untuk meminta

pertanggungjawaban sosial kepada perusahaan terhadap pencemaran lingkungan yang

dilakukannya. Metode tersebut dapat digunakan untuk melihat permasalahan PKL yang

juga bagian dari permasalahan lingkungan. Misalnya :

Developer atau pengembang memberikan kesempatan kepada PKL untuk berjualan

di kawasan pemukiman yang dibangunnya, dengan jam jualan yang dibatasi dan

jumlah pedagang yang juga dibatasi.

Penggunaan kantor-kantor swasta, pemerintah dan lembaga non profit lainnya

untuk PKL ketika kantor tersebut sudah tutup. Dengan catatan setelah berjualan

tempat harus bersih dan rapi seperti sedia kala dan menggunakan desain tenda yang

temporer.

Setiap mal menyediakan lahan khusus untuk pedagang kaki lima.

Setiap pom bensin menyediakan tempat untuk alokasi sektor informal

e. Aspiratif

Dalam perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai dari

tahap penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannya

adalah penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan

partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya serius

untuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi

masing-masing sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi

sia-sia belaka.

Page 5: Penanggulangan PKL

f. Pemberdayaan Ekonomi

Arus uang illegal dari PKL ke preman, oknum PP, polisi atau tentara seharunya

ditiadakan. Arus uang illegal tersebut dapat digantikan oleh tabungan pemberdayaan

ekonomi PKL. Tabungan tersebut bertujuan agar PKL dapat memiliki lahan sendiri

untuk berdagang kedepannya sehingga tidak terus menerus sampai tua dikejar-kejar

aparat karena berdagang di tempat yang ilegal. Formulasinya adalah setiap PKL yang

berdagang di lokasi tertentu di kutip uang Rp 10.000 setiap hari. Misalnya terdapat

5000 PKL di lokasi tsb, maka setahun (asumsi 330 hari berdagang efektif) terdapat

tabung PKL sebesar Rp 16,5 M. Akumulasi dari uang tersebut dapat digunakan untuk

membeli asset daerah atau swasta yang strategis namun pemanfaatannya kurang.

Pungutan tersebut hendaknya dilakukan oleh lembaga yang dipercaya PKL namun

harus dikuatkan oleh peraturan dari Pemda agar lebih transparan, akuntabel dan adil.

g. Diversifikasi Retribusi

PKL di beberapa daerah dapat menjadi sumber PAD, namun dengan model diversifikasi

Retribusi. Jadi tidak bisa semua bayar retribusi yang sama, sehari misalnya Rp. 500,- Di

stasiun KA/Terminal harusnya beda dengan di pinggir pasar atau di tempat yang sepi

harusnya beda dengan tempat PKL yang mengakibatkan kemacetan karena ramai. Itu

kan bisa diberlakukan sebagai disinsentif. Bisa diklasifikasi di tempat ini membayar

Rp.10.000/hari, di tempat lain Rp. 5.000/hari, Rp. 3.000/hari dan di sana, yang jauh

atau sepi Rp. 500/hari.

h. Estetika PKL

Sebagai contoh konkret di jalan Malioboro Yogyakarta, Pemda melakukan kerjasama

dengan salah satu perguruan tinggi swasta untuk membuat disain tenda bagi PKL yang

praktis mudah dilepas dan rapi tenda-tenda tersebut nantinya dibuat seragam agar

dalam berjualan tidak terlihat kumuh.

Di Sleman Yogyakarta, dibangun taman PKL untuk mengangkat kehidupan PKL dengan

desain pariwisata dan konsumen yang dibidik adalah anak muda. Oleh karena itu pihak

pengelola atau Pemda juga mengundang sponsor untuk meramaikan taman tersebut

baik dengan mengadakan hiburan atau sekadar untuk mempromosikan barangnya.

Desain lokasi, tenda, dan bangunan PKL juga mencerminkan jiwa daerah tersebut

sehingga terlihat indah.

Page 6: Penanggulangan PKL

i. Pembinaan Mental

Yang terakhir adalah bagaimana mengelola PKL itu sendiri. Kalau kita bicara tentang

PKL itu bukan hanya mengelola tempat tetapi juga mengelola orang. Salah satu

keengganan orang untuk berbelanja di pasar adalah kesadaran lingkungan yang rendah

dan ketidakjujuran. Kesadaran lingkungan yang rendah terhadap sampah dan aroma

yang menyengat hidung juga menyebabkan kalah populernya PKL dibanding pusat

perbelanjaan modern. Dan ketidakjujuran sangat mengganggu proses jual beli di PKL.

Untuk mencegah dan mengurangi hal tersebut salah satu cara dengan social value

system atau nilai-nilai yang mengikat di masyarakat. Upaya pembinaan mental terhadap

PKL perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih jujur dan sadar lingkungan.

Pembinaan mental dapat dilakukan dengan mengadakan kajian keagamaan yang

berkenaan dengan masalah muamalah atau himbauan yang dikemas dalam nuansa

religius baik melalui media tatap langsung, selebaran, dsbnya.

Page 7: Penanggulangan PKL

ANALISIS KEBIJAKAN “RELOKASI PKL DI PASAR 16 ILIR KE PASAR RETAIL JAKA

BARING PALEMBANG” (Peraturan Wali Kota Palembang No 5.a. Tahun 2005)

1. Citra Buruk Sektor Informal.

Menurut Sethurman dalam Damsar (2002 : 142) kriteria utama sektor informal adalah

mudah masuk kedalam aktivitas tersebut, usaha milik keluarga, beroperasi dalam

sekala kecil, intensif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan teknologi

sederhana, sehingga sektor ini menjadi pilihan pekerjaan yang cukup rasional bagi

masyarakat perkotaan.

Sektor informal dianggap sebagai manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan

kerja di wilayah perkotaan. Mereka yang memasuki kegiatan usaha berskala kecil di

kota, bertujuan mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh

keuntungan (Pramono, 2003 : 25). Nampaknya sektor informal merupakan pilihan yang

paling rasional dan mudah dimasuki bagi kaum marginal, untuk bertahan hidup di kota

(economical survive strategy) yang bukan hanya sekedar kompetitif, tetapi

membutuhkan tingkat pendidikan dan keterampilan tertentu.

Sektor ekonomi informal diperkotaan merupakan klaster masyarakat yang cukup

rentan terkena imbas dari berbagai kebijakan. Pada umumnya sektor ini merupakan

ruang terbuka bagi kelompok marjinal kota untuk mempertahankan dan melanjutkan

kehidupan dalam batas subsistensi. Mereka adalah pedagang kaki lima, pedagang

asongan, buruh dan lain sebagainya.

Keberadaan pedagang kaki lima sebagai pelaku kegiatan ekonomi marginal (marginal

economic activities), biasanya memberikan kesan yang kurang baik terhadap kondisi

fisik kota. Misalnya kesemrawutan, jalanan macet, kumuh dan lain sebagainya. Kondisi

ini menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk melakukan penggusuran ruang publik

kaum marginal. Pada akhirnya akan mematikan sektor perekonomian, sosial, politik dan

budaya mereka. Kaum marginal mereka menjadi kelompok yang dimarjinalkan

teralienasi, dari kahidupan dan inilah gambaran dari kebijakan yang tidak memihak

pada masyarakat sipil. Menurut Justin negara merupakan pelaku kekerasan secara

sitemik, masyarakat marginal adalah korbannya.

2. Membangun dan Menggusur (Realitas Pembangunan)

Kota mengalami perkembangan sangat cepat di tengah arus globalisasi dewasa ini.

Tingginya arus urbanisasi sebagai salah satu masalah bagi kota. Munculnya

pemukiman-pemukiman kumuh (slum area), pedagang kaki lima, meningkatnya tindak

Page 8: Penanggulangan PKL

kejahatan dan lain sebagainya, menjadi permasalahan pelik dan tak terpecahkan.

Kejadian seperti ini dialami oleh mayoritas Negara berkembang.

Pembangunan fisik biasanya menjadi prioritas utama dalam berbagai program

pembangunan yang dilakukan. Sehingga berimplikasi pada tidak humanisnya suatu

program pembangunan. Membangun dan menggusur menjadi dua hal yang tak

terpisahkan dalam perkembangan kota dewasa ini.

Pembangunan melalui penggusuran merupakan sebuah kebijakan yang tidak

memperhatikan kaum marginal sebagai warga Negara yang berhak dilindungi.

Sepertinya pembangunan dalam perspektif konvensional masih mendominasi berbagai

kebijakan yang menyangkut kaum marginal saat ini. Walaupun pembangunan tipe itu

sudah tidak relevan diterapkan dewasa ini.

Ada tiga indikator yang seharusnya menjadi perhatian dalam setiap kebijakan

pembangunan yaitu :

1. Economic growth (Meningkatkan pertumbuhan ekonomi)

2. Social equity (Pembangunan yang berkeadilan)

3. Environmental protection (pembangunan yang ramah lingkungan)

Ketiga indikator dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah

suatu kesatuan tujuan yang harus diperhatikan oleh pengambil kebijakan.

Lalu apakah ”Peraturan Wali Kota Palembang No 5.a. Tahun 2005. Tentang

relokasi atau penggusuran PKL di Pasar 16 Ilir ke Pasar Retail Jakabaring

Palembang”, sudah memenuhi prasyarat pembangunan yang berkelanjutan ?.

Inilah masalah yang akan diangkat dalam analisis ini, untuk menganalisis digunakan

perbandingan pra relokasi dan pasca relokasi, dengan tolak ukur ketiga indikator

pembangunan berkelanjutan diatas.

3. Dampak Relokasi “Tolak Ukur Pembangunan Berkelanjutan (Sustinaible

Development)”

Tentunya kebijakan tersebut memiliki efek atau dampak bagi pedagang kaki lima itu

sendiri dan juga bagi lingkungan. Dua kriteria yang digunakan yaitu internal dan

eksternal. Internal yaitu bagaimana dampak terhadap PKL dalam hal peningkatan

ekonomi, rasa keadilan dan eksternal yaitu bagaimana keterkaitannya dengan

lingkungan.

Dampak yang muncul pasca relokasi yaitu terbagi menjadi tiga sub dampak yaitu ;

pertama dampak sosial ekonomi, kedua sosial budaya dan ketiga dampak terhadap

Page 9: Penanggulangan PKL

lingkungan. Tiga sub dampak tersebut dilihat dari kacamata positif dan negatif sehingga

akan lebih berimbang memberikan penilaian.

Adapun dampak sosial ekonomi dan sosial budaya yang bersifat positif yaitu

meningkatnya kelayakan dan kenyamanan usaha, terbukanya kesempatan kerja,

perubahan status PKL menjadi pedagang legal, menurunnya budaya premanisme

(keamanan pasar stabil). Dampak negatif yaitu menurunnya modal dan pendapatan,

meningkatnya biaya operasional, menurunnya aktivitas pasar (produksi, distribusi dan

konsumsi), melemahnya jaringan sosial (pelanggan), dan menurunnya kesempatan

pedagang untuk ikut dalam kelompok kelompok sosial non formal. Dampak terhadap

lingkungan memberikan implikasi yang positif yaitu tertatanya lingkungan dengan baik,

dengan pengolahan limbah pasar, penghijauan sekitar pasar reloksi, sehingga

lingkungan pasar menjadi asri dan tidak terlihat kesan kumuh (ramah lingkungan).

Kebijakan tersebut tidak dapat digolong sebagai kebijakan pembangunan

berkelanjutan, karena dari tiga syarat hanya satu syarat yang terpenuhi yaitu ramah

lingkungan (environmental protection) atau tidak terjadinya degradasi lingkungan.

Sebaliknya peningkatan ekonomi (economic growth) dan keadilan (social equity) tidak

terpenuhi. Lalu apakah yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mengatasi

permasalahan tersebut, dalam bahasan berikut akan diberikan rekomendasi untuk

mengarah ke pembangunan yang berkelanjutan (Sustinaible Development).

4. Rekomendasi “Membangun Tanpa Menggusur”

Pembangunan tanpa menggusur hanyalah sebuah wacana dan pemanis janji kapanye

para politikus. Nyatanya kebijakan terhadap sektor informal perkotaan, selalu dikaitan

dengan penggusuran. Negara adalah musuh yang paling ditakuti oleh para pedagang

kaki lima. Raziah-raziah dan perampasan barang dagangan menjadi fenomena yang

selalu hadir di daerah perkotaan. Inilah warna dari ketidakadilan, penindasan dan

kesewenang-wenangan terhadap pelaku sektor informal menjadi hal yang wajar karena

mereka juga sudah di labelkan sebagai pembangkang dan perusak keindahan kota.

Kembali kebahasan awal, berdasarkan jenis-jenis dampak yang telah dijelaskan pada

bagian terdahulu. Ada beberapa rekomendasi sebagai masukan untuk mengarahkan

pada terbentuknya pembangunan yang berkelanjutan, yiatu :

1. Pembetukan tim pemantauan perkembangan pasar :

a) Tim sebagai mediator antara pemerintah (Pengambil Kebijakan) dengan kelompok

yang terkena kebijakan (PKL). Menampung aspirasi pedagang serta menyalurkannya.

Page 10: Penanggulangan PKL

b) Tim sebagai wadah yang secara tidak langsung menjembatani antara pengambil

kebijakan dengan objek kebijakan. Sehingga kedepan melahirkan kebijkan yang

responsif, aquitable, yang intinya memihak pada masyarakat

2. Aksi responsif :

Pertama pendampingan dan pemberdayaan terhadap pedagang khususnya pedagang

kecil. Kedua batuan modal dan subsidi tempat berjualan atau lapak bagi pedagang kecil.

Ketiga memberikan kebebasan kepada pedagang untuk membentuk perkumpulan

pedagang, sehingga control dari bawah akan tetap berjalan. Keempat Pelatihan kepada

pedagang mengenai manajemen kewirausahaan, dan lain sebagainya