penanganan barang jaminan atas pembiayaan...
TRANSCRIPT
PENANGANAN BARANG JAMINAN
ATAS PEMBIAYAAN BERMASALAH
PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH
(STUDI KASUS KBMT AL-JIBAAL DAN KSPPS UBASYADA)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Tomi Abdul Aziz
NIM: 11140460000151
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1440 H
1
PENANGANAN BARANG JAPIINAN
ATAS PEⅣIBIAYAAN BERPIASALAII
PADA LEⅣIBAGA KEUANGAN ⅣIIKRO SYARIAH
(STUDI KASUS KBⅣIT AL―JIBAAL DAN KSPPS UBASYADA)
SKRIPSI
Dittukan unttk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sttana Hulcum(S.H.)
01ch:
Tonli Abdul Aziz
NINII:11140460000151
Di Bawah Bimbingan
Pcmbilnbing
Dr.ⅣIuhammad】旺aksum.,SH.,ⅣIA.,PIDC
NIP:197807152003121007
PROGRAM STUDI ⅡUKUⅣIEKONOMISYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ⅡUKUⅣI
UNIVERSITAS ISLApI NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018P1/144011
1
PENGESAⅡ AN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "Penanganan Barang Jaminan atas Pembiayaan
Bermasalah pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi Kasus KBMT Al-
Jibaal dan KSPPS Ubasyadfl)", telah diajukan dalam sidahg munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah U.niversitas
IslamNegeri SyarifHidayatullah Jakarta pada, 18 Desember 2018. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Srata
Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah.
Jakarta, ′8 Januari 2019
ⅣIcngcsahlcan
Ketua
Sekretaris
Pembimbing
Penguji 1
PANITIA UJIAN ⅣIUNAQASYAH
ANI.Hasan Ali3 M.A.
NIP.197512012005011005
Dr.Abdurraut Lc..M.A.NIP.19731215200501 1002
Dr.PIuhammad Makstlm.S.H..M.A..M.D.C.
NIP.197807152003121007
ANII.Hasan Ali,M.A.
NIP.19751201200501 1005
Ⅳ[ohamad Muiibur Rohman,M.A.NIP.197604082007101001
'akultas Syariah dan Hukum,
hharη ルI.A.
2161996031001
Penguji 2
←…創…ぅ
釧 .…)(… … Y三 .… … …
じ鋼.…⇒
:
LEPIBERBAR PERNYATAANKEASLIAN KARYA ILMIYAⅡ
Dengan ini saya llnenyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang digunakan untuk memnuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
ruf$ Syarif Hidayatullah Jakarta;
Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (Unq Syarif
Hidayatullah Jakarta;
Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Of$ Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3.
」akarta,4 0ktober 2018
Tomi Abdul Aziz
iii
ABSTRAK
Tomi Abdul Aziz. 11140460000151. PENANGANAN BARANG JAMINAN ATAS
PEMBIAYAAN BERMASALAH PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH
(STUDI KASUS KBMT AL-JIBAAL DAN KSPPS UBASYADA). Hukum Ekonomi
Syariah, Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018, 86 halaman
Lembaga Keuangan Mikro Syariah adalah lembaga keuangan yang khusus
didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan yang semata-mata tidak
mencari keuntungan yang dilandaskan kepada hukum-hukum Syariah dalam skala
mikro. Penyaluran dana kepada masyarakat, lembaga keuangan mikro harus
melaksanakan prinsip kehati-hatian, sehingganya setiap pinjaman yang diberikan
kepada nasabah, lembaga keuangan akan meminta jaminan terhadap pinjaman yang
diterima nasabah. Namun, tidak semua pembiayaan berjalan dengan lancar
sehingga mengharuskan lembaga keuangan untuk memanfaatkan barang jaminan
dalam pelunasan kredit nasabah.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan
penelitian yuridis empiris serta menggunakan teknik pengumpulan data lapangan
serta studi pustaka. Studi lapangan dilakukan dengan wawancara di KBMT Al-
Jibaal dan KSPPS Ubasayada terhadap responden yang kompeten dibidangnya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam penanganan barang jaminan
bermasalah, lembaga keuangan mikro syariah menekankan prinsip kekeluargaan
sehingga setiap pembiayaan bermasalah yang dialami dapat diselesaikan dengan
jalan musyawarah. Akibatnya eksekusi di bawah tangan menjadi pilihan lembaga
keuangan dalam penanganan barang jaminan. Penjualan di bawah tangan bisa
terjadi atas permintaan nasabah yang sudah tidak mampu melunasi utangnya.
Praktik penangan barang jaminan yang berlaku di lembaga keuangan mikro syariah
sudah sesuai dengan hukum positif dan Fatwa DSN-MUI.
Kata Kunci: Penanganan Barang Jaminan, Pembiayaan Bermasalah, Lembaga
Keungan Mikro Syariah.
Dosen Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum., SH., MA., MDC
Daftar Pustaka : 1993 s.d. 2018
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-NYA kepada penulis khususnya dan seluruh
umat manusia pada umumnya. Salawat serta salam penulis curahkan kepada nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan manusia dari jalan kegelapan ke jalan
terang benderang.
Penulisan skripsi ini berjudul “Penanganan Barang Jaminan atas
Pembiayaan Bermasalah pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi Kasus
KBMT Al-Jibaal dan KSPPS Ubasyada)”, ditujukan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi strata 1 (S-1) dan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan tak
ternilai bagi penulis, sehingga dapat mempersembahkan skripsi ini untuk orang-
orang yang penulis sayangi dan semua pihak yang terkait yang telah membantu
dalam penulisan skripsi ini.
Tanpa penulis lupakan bahwa keberhasilan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah atas berkat bimbingan, dukungan dan saran-saran dari berbagai
pihak. Tanpa partisipasi mereka, upaya penulis dalam menyelesaikan studi di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam menyelesaikan skripsi ini tentu akan
terasa lebih sulit terwujud. Oleh karena itu tidak berlebihan jinak dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih yang terhormat:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak AM. Hasan Ali, MA, selaku ketua program studi Hukum Ekonomi
Syariah dan Bapak H. Abdurrauf, Lc, MA, selaku sekretaris program studi
Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Muhammad Maksum, SH, MA, selaku dosen pembimbing yang tiada
hentinya membimbing serta meluangkan waktu demi terselesainya skripsi ini.
4. Ayah Ibu tercinta Ali Umar dan Toti yang tidak henti-hentinya memberikan doa,
v
dan dukungan agar terselesaikannya skripsi ini. Terimakasih untuk kesabaran,
nasihat dan curahan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis.
5. Kakak-kakak dan adik tersayang yang selalu memberi motivasi dan masukan
sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian ini.
6. Sahabat-sahabat yang selalu ada, yang siap berdiskusi kapan saja dalam
penyelesaian masalah yang penulis hadapi selama penelitian
7. Teman-teman seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2014
Ciputat, 4 Oktober 2018
Penulis
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ...................................... 4
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 5
E. Literature Review...................................................................................... 5
F. Metode Penelitian ..................................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 10
BAB II KAJIAN TEORI ....................................................................................... 12
A. Barang Jaminan (Marhun) ...................................................................... 12
B. Pembiayaan Bermasalah ......................................................................... 18
BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ............................................... 28
A. Gambaran Umum Lembaga Keuangan Mikro Syariah .......................... 28
B. Gambaran Umum Koperasi BMT Al Jibaal ........................................... 31
C. Gambaran Umum KSPPS Ubasyada ...................................................... 40
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 49
A. Penanganan Barang Jaminan Menurut Undang-Undang yang Berlaku . 49
B. Praktek penanganan atau eksekusi barang jaminan di Lembaga Keuangan
Mikro Syariah ......................................................................................... 56
C. Kesesuaian Penanganan Barang Jaminan atas Pembiayaan Bermasalah di
Lembaga Keuangan Mikro Syariah Menurut Fatwa DSN-MUI dan
Ketentuan yang Berlaku .......................................................................... 66
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 72
A. Kesimpulan ............................................................................................. 72
B. Saran ....................................................................................................... 72
vii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 74
LAMPIRAN .......................................................................................................... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lembaga Keuangan Mikro merujuk kepada jasa-jasa lembaga keuangan
yang berskala kecil (biasanya berupa simpanan dan pembiayaan), yang disediakan
untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah, mencakup pedagang kaki lima,
penjual jasa, petani, nelayan, tukang dan produsen kecil. Karena kesulitan
masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pinjaman ataupun
pembiayaan di perbankan maka hadirlah lembaga keuangan mikro yang bertujuan
memberikan fasilitas pembiayaan pada masyarakat yang kesulitan mendapatkan
pembiayaan di perbankan. Ini juga merupakan tujuan dari berdirinya Lembaga
Keuangan Mikro, baik yang berprinsip Syariah maupun konvensional.
Lembaga Keuangan Mikro Syariah adalah lembaga keuangan yang khusus
didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro,
kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha yang semata-mata tidak mencari keuntungan yang
dilandaskan kepada hukum-hukum Syariah.
Seiring dengan berkembangnya Lembaga Keuangan Mikro Syariah di
Indonesia menarik masyarakat untuk menempatkan sebagian dananya di lembaga
tersebut. Tidak sedikit juga masyarakat menikmati fasilitas pembiayaan yang
diberikan Lembaga Keuangan Mikro karena dianggap lebih menjunjung prinsip
kekeluargaan. Hal ini mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang
khusus mengatur tentang lembaga keuangan mikro melalui Undang-undang Nomor
1 tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Undang-undang tersebut telah memberikan kejelasan terkait status
kelembagaan lembaga keuangan mikro Syariah di Indonesia, namun terkait
pengaturan perlindungan nasabah yang menyimpan dana dan pembiayaan belum
terpenuhi. Undang-undang ini memberikan amanat kepada Otoritas Jasa Keuangan
2
untuk mengawasi lembaga keuangan mikro yang ada di Indonesia, baik
konvensional maupun yang beroperasi dengan prinsip syariah.
Sebagai lembaga intermediary, lembaga keuangan mikro syariah memiliki
kegiatan utama berupa pengimpunan dana dari masyarakat melalui simpanan dalam
bentuk tabungan dengan menggunakan prinsip wadi’ah atau mudaharabah.
Kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat umum dalam
berbagai bentuk, seperti jual beli (murabahah, salam, dan istishna), sewa (ijarah),
dan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah).1
Dalam penyaluran dana kepada masyarakat lembaga keuangan mikro harus
melaksanakan prinsip kehati-hatian karena dana yang disalurkan merupakan dana
masyarakat yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali. Untuk itu, dalam setiap
pinjaman yang diberikan kepada nasabah, lembaga keuangan akan meminta
jaminan terhadap pinjaman yang diterima nasabah.
Dalam ajaran Islam pun bentuk pinjam-meminjam diperkenangkan, akan
tetapi hukum Islam mengajarkan agar kepentingan shahibul maal (pemilik dana)
jangan sampai dirugikan peminjam. Oleh karena hal tersebut harus ada jaminan
barang mudharib (nasabah) atas pinjaman yang diberikan oleh sahibul maal.
Sehingga apabila terjadi kemacetan karena nasabah tidak mampu melunasi
pinjaman, barang jaminan terebut dapat dilelang atau dijual sebagai penebus
pinjaman untuk menutupi kekurangan hutang nasabah. Konsep ini dalam ilmu Fiqh
Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.2
Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/20023 tentang rahn telah
mengatur ketentuan penjualan barang jaminan nasabah dengan proses jual
paksa/lelang. Di fatwa tersebut disebutkan bahwa dalam melakukan penjualan
paksa/lelang ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh murtahin yaitu:
1Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 2003), edisi IV, h.59-61 2 Heri Sudarsono, 2003, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi Dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia, hal. 156 3Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
3
murtahin harus mempertimbangkan keadaan rahin apakah rahin benar-benar tidak
sanggup untuk melunasi utangnya atau rahin sengaja tidak menunaikan prestasinya,
kelebihan uang dari penjualan jaminan yang diberikan rahin harus dikembalikan
kepada rahin setelah semua utang, biaya pemeliharaan dan biaya penyimpanan
ditunaikan, dan kekurangan atas utang setelah dilakukan lelang jaminan harus
menjadi tanggung jawab rahin untuk melunasinya.
Bella Dina Putri Sukmasari dalam penelitiannya tentang kesesuaian fatwa
DSN dengan prosedur dan proses lelang di lembaga perbankan. Hasilnya
menunjukan bahwa konsep lelang yang tertuang dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 belum semuanya diterapkan oleh PT.
Bank BRI Syariah Cabang Kota Malang. Hal yang tidak sesuai dengan ketentuan
fatwa mengenai sanksi atas rahin yang tidak dapat melunasi hutangnya dan
kelebihan hasil penjualan marhun yang tidak dikembalikan kepada nasabah, apabila
tidak mengambil kelebihan tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Berapa hal
yang telah sesuai dengan ketentuan fatwa DSN mengenai pemberitahuan jatuh
tempo yang dilakukan oleh lembaga kepada nasabah dan penggunaan hasil
penjualan marhun.
Indri Kurnia meneliti tentang kesesuaian konsep lelang dengan pandangan
ekonomi islam. hasilnya menunjukkan bahwa barang jaminan yang laku terjual
dengan cara lelang berdasarkan harga pasar mendapat keuntungan maka sisa dari
penjualan marhun tersebut setelah dikurangi biaya administrasi akan dikembalikan
kepada pemilik barang. Namun apabila terdapat kekurangan setelah dilakukan
pelelangan marhun makan nasabah wajib melunasi sisa hutangnya tersebut. Dalam
prosesnya pelelangan yang dilakukan sudah sesuai dengan hukum islam, di mana
penerima gadai memberikan somasi kepada si pemilik barang (rahin) dengan tempo
waktu tujuh hari sebelum barang (marhun) dieksekusi.
Penelitian Lulu Luthfida, M. Roji Iskandar dan N. Eva Fauziah meneliti
tentang ketentuan fatwa DSN tentang Rahn terhadap kelebihan dana hasil penjualan
barang lelang. hasilnya menyatakan bahwa BPRS AL SALAAM jarang melakukan
4
lelang, dan memilih cara jual langsung barang jaminan nasabah karena lebih efisien.
Ketika terdapat kelebihan jual pada marhun atas nilai uang nasabah BPRS tidak
pernah memberikan kelebihan hasil lelang atau jual tersebut kepada nasabah.
Kelebihan atas murhun secara sepihak dijadikan biaya pengganti administrasi,
biaya pemeliharaan dan biaya penyimpanan selama ketelatan nasabah dalam
membayar utangnya.
Berdasarkan uraian di atas penulis merasa perlu mengkaji lebih dalam
bagaimana penanganan yang dilakukan oleh lembaga keuangan mikro Syariah
terhadap pembiayaan bermasalah, Mengingat prinsip kekeluargaan lebih
dikedepankan oleh lembaga keuangan mikro dalam aktivitasnya sebagai lembaga
keuangan. Dan juga untuk mengetahui bagaimana penanganan kelebihan dan
kekurangan dana hasil penjualan barang jaminan atas pembiayaan yang bermasalah
dengan judul “Penanganan Barang Jaminan atas Pembiayaan Bermasalah pada
Lembaga Keuangan Mikro, Studi Kasus KBMT Al-Jibaal dan KSPPS Ubasyada ”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penelitian ini, penulis mengidentifikasi masalah yang di antaranya
a. Bagaimana penanganan barang jaminan di Lembaga Keuangan Mikro
Syariah di Indonesia?
b. Apakah penanganan barang jaminan atas pembiayaan bermasalah yang
dilakukan oleh lembaga keuangan mikro syariah telah sesuai dan merujuk
pada hukum positif dan Fatwa DSN MUI?
2. Pembatasan Masalah
Dalam hal-hal yang telah dipaparkan oleh peneliti di dalam latar belakang
masalah, maka penulisan ini membatasi pembahasan hanya mengenai
penanganan barang jaminan atas pembiayaan bermasalah di lembaga keuangan
mikro Syariah di KBMT Al-Jibaal dan KSPPS Ubasyada dari tahun 2016-2018.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah
adalah sebagai berikut:
5
a. Bagaimana ketentuan penanganan barang jaminan atas pembiayaan
bermasalah yang berlaku di Indonesia?
b. Bagaimana proses penanganan barang jaminan atas pembiayaan bermasalah
dan kesesuaiannya dengan Fatwa DSN MUI serta undang-undang yang
berlaku?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin di capai dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah penangan barang jaminan atas pembiayaan
bermasalah yang dilakukan oleh lembaga keuangan mikro syariah serta
kesesuaianya dengan Fatwa DSN MUI dan Hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui apakah penanganan barang jaminan yang dilakukan oleh
KSPPS Ubasyada dan BMT Al Jibaal sudah secara patut serta sesuai dengan
ketentuan Fatwa DSN MUI dan hukum positif yang berlaku.
3. Untuk mengetahui bagaimana penanganan atas kelebihan dan kekurangan
setelah eksekusi jaminan nasabah dilakukan.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, untuk menambah keilmuan dan wawasan dalam eksekusi barang
jaminan.
2. Bagi akademisi, sebagai tambahan referensi guna mempermudah bagi pihak
yang ingin melakukan penelitian maupun penulisan dengan tema terkait.
3. Bagi pembaca, agar pembaca mengerti dan memahami bagaimana praktek
eksekusi yang dilakukan di lembaga keuangan mikro syariah terhadap kelebihan
hasil lelang barang jaminan.
E. Literature Review
Skripsi yang berjudul “Kesesuaian Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan
Rahn Bermasalah Berdasarkan Farwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 (Studi di P.T Bank BRI Syariah Cabang Kota Malang)”, karya Bella
Dina Putri Sukmasari Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Brawijaya (2013), hasil
6
penelitian ini menunjukkan bahwa konsep lelang yang tertuang dalam Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 belum semuanya
diterapkan oleh PT. Bank BRI Syariah Cabang Kota Malang. Hal yang tidak sesuai
dengan ketentuan fatwa mengenai sanksi atas rahin yang tidak dapat melunasi
hutangnya dan kelebihan hasil penjualan marhun akan menjadi milik Bank apabila
dalam waktu 1 tahun, kelebihan tersebut tidak diambil oleh nasabah. Berapa hal
yang telah sesuai dengan ketentuan fatwa DSN mengenai pemberitahuan jatuh
tempo yang dilakukan oleh lembaga kepada nasabah dan penggunaan hasil
penjualan marhun. Berbeda dengan penelitian penulis dimana penelitian penuliakan
berfokus terhadap pada bagaimana lembaga keuangan dalam menangani barang
jaminan saat terjadi masalah.
Selanjutnya jurnal yang berjudul “Penjualan Lelang Barang Jaminan Hak
Tanggungan Menurut Perspektif Hukum Islam” karya Burhanudin Harahap dan
Satya Haprabu dalam Jurnal Repertorium Volume IV Tahun 2017. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa akad atau perjanjian menjadi penentu apakah
lelang yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah sesuai dengan hukum Islam.
Pengikatan jaminan berdasarkan aturan konvensional Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan harus disesuaikan dengan ketentuan Al-
Quran, Hadis dan Ijma dalam akadnya agar konsep lelang barang jaminan yang
dihasilkan terhindar dari praktek riba, gharar dan lainya. Tidak hanya berfokus pada
kosepa pada penelitian yang penulis lakaukan akan berfokus bagaimana
penanganan itu dilakukan.
Dan tesis yang berjudul “Pelelangan Benda Jaminan Hak Tanggungan
Pada Pembiayaan Syariah Dalam Perspektif Hukum Jual Beli Menurut Hukum
Islam” karya Satya Haprabu Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Tahun
2016. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris yang menitik
beratkan pada penelitian lapangan. Hasil penelitiannya menujukan bahwa proses
lelang yang dilakukan di KPKNL terhadap jaminan hak tanggungan secara legal
formal tidak menyalahi aturan dan dalam perspektif islam dapat dibenarkan selama
sesuai dengan syariat islam yang mengatur mengenai jual beli, sahnya jual beli dan
7
barang yang dijual atau dilelang dan konsep penawaran yang sah dan sesuai. Dan
jaminan yang ada dalam pembiayaan syariah belum sesuai dengan syariah, terdapat
akad-akad di dalam penjaminan yang masih mengacu ke konvensional khususnya
pada konsep hutang piutang yang ada pada perbankan konvensional, karena hal
tersebut dapat menimbulkan rusaknya akad yang berpengaruh pada perbuatan
hukum selanjutnya. Berbeda dengan penelitian penulis yang tidak hanya membahas
apakah penangan jaminan itu sesuai hukum namun juga bagaimana penenganan
terhadap barang jaminan yang bermasalah.
Dan selanjutnya skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pelelangan Barang
Jaminan Sebagai Obyek Rahn Berdasarkan Hukum Islam dan Perundang-
Undangan Pada Pegadaian Syariah Cabang Cinere” karya Miftahul Huda
Mahasiswa Muamalat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pada
tahun 2015, untuk mengetahui pelaksanaan pelelangan jaminan jika terjadi
wanprestasi terhadap nasabah. Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa lembaga
pergadaian dalam melaksanakan pelelangan telah sesuai dengan aturan-aturan yang
berlaku baik dengan hukum islam maupun perundang-undangan yang mengatur.
Dimana dalam pelaksanaannya panitia lelang memberikan penjelasan kepada calon
pembeli untuk memilih sendiri barang yang diminati dengan memberikan
penjelasan yang rinci tentang kondisi barang dengan memperlihatkan barang yang
dilelang serta memberikan kemudahan dalam penyerahan obyek lelang. Penelitiann
ini memliki kesamaan dengan penulis dalam hal penanganan jaminan pembiayaan
bermasalah namun pada penelitian penulis lebih terfokus bagaimana penanganan
barang jaminan serta kecendrungan dalam penangannya.
Jurnal yang berjudul “Analisis Penerapan Fatwa DSN MUI Nomor
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn pada Kelebihan Hasil Jual Lelang Barang
Jaminan di BPRS AL SALAAM (Mohammad Toha Bandung” Penelitian karya Lulu
Luthfida, M. Roji Iskandar dan N. Eva Fauziah yang diterbitkan oleh Prosiding
Keuangan dan Perbankan Syariah Volume 2, Tahun 2016. Menyatakan bahwa
BPRS AL SALAAM jarang melakukan lelang, dan memilih cara jual langsung
barang jaminan nasabah karena lebih efisien. Ketika terdapat kelebihan jual pada
8
marhun atas nilai uang nasabah BPRS tidak pernah memberikan kelebihan hasil
lelang atau jual tersebut kepada nasabah. Kelebihan atas murhun secara sepihak
dijadikan biaya pengganti administrasi, biaya pemeliharaan dan biaya penyimpanan
selama ketelatan nasabah dalam membayar utangnya. Berbeda dengan penulis yang
lebih terfokus pada penangan jaminan berdasarkan akad atau kontrak yang
digunakan saat terjadinya akad.
Serta skripsi yang berjudul “Pandangan Ekonomi Islam Terhadap
Pelaksanaan Lelang Benda Jaminan Pada Pegadaiaan Syariah Cabang
H.R.Soebrantas Pekanbaru” Penelitian karya Indri Kurnia Mahasiswa Ekonomi
Islam Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Tahun 2011. Menunjukkan
bahwa barang jaminan yang laku terjual dengan cara lelang berdasarkan harga pasar
mendapat keuntungan maka sisa dari penjualan marhun tersebut setelah dikurangi
biaya administrasi akan dikembalikan kepada pemilik barang. Namun apabila
terdapat kekurangan setelah dilakukan pelelangan marhun makan nasabah wajib
melunasi sisa hutangnya tersebut. Dalam prosesnya pelelangan yang dilakukan
sudah sesuai dengan hukum islam di mana penerima gadai memberikan somasi
kepada kepada si pemilik barang (rahin) dengan tempo waktu tujuh hari sebelum
barang (marhun) dieksekusi. Tidak hanya pada penanganan pada penilitian ini
penulis akan memperdalam kecendrungan lembaga keuangan dalam penangana
barang jaminan berdasarkan akad saat terjadi perikatan,
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang kesesuaian pelaksanaan
lelang jaminan berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 terhadap kelebihan nominal atas jual marhun terhadap pembiayaan
bemasalah. Penelitian ini melanjutka penelitian sebelumnya ( Lulu Luthfida, M.
Roji Iskandar dan N. Eva Fauziah , 2016) dengan mengambil obyek dan metode
penelitian yang berbeda.
F. Metode Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data-data yang
diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuatu yang
9
dicari dalam penelitian ini adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya pengetahuan
yang benar, di mana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk
menjawab pertanyaan dan ketidaktahuan tertentu.4
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah analisis
deskriptif kualitatif dengan pendekatan penelitian yuridis empiris. Pendektan
yuridis (hukum dilihat sebagai norma atau das sollen), karena dalam membahas
permasalahan penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum primer dan
sekunder.
Jadi pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini maksudnya adalah
bahwa dalam menganalisa permasalahan yang ada dilakukan dengan cara
memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder dengan data
primer yang diperoleh langsung di lapangan yaitu tentang penanganan jaminan
atas pembiayaan bermasalah yang dilakukan oleh KSPPS Ubasyada dan BMT
Al Jibaal.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode observasi
lapangan dan penelitian kepustakaan (library research). Observasi lapangan
dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan responden yang dianggap
respresentatif dan berkompeten terkait tema pembahasan, sedangkan studi
pustaka yang digunakan sebagai pendukung dalam menganalisa suatu
permasalahan,5
berasal dari buku, jurnal, undang-undang serta peraturan-
peraturan, karya-karya tulis dan bahan- bahan hukum lain yang didapat dari
mengakses internet yang digunakan untuk memperjelas, memberikan petunjuk
maupun penjelasan konsep-konsep dan teori hukum secara mendalam.
3. Sumber Data
Untuk menunjang penelitian ini maka diperlukan sumber data yang
4 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada,
1997), h. 27-28.
5 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004), h. 192.
10
berkaitan dengan tema penelitian yang akan dilakukan. Sumber data dalam
penelitian ini ada 2 (dua) yaitu: sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya
melalui wawancara dengan responden yang bersangkutan yang dianggap
representatif atau yang berkompeten dalam memberikan informasi yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sedangkan Sumber data sekunder
adalah data-data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan. Data sekunder
diperoleh dari literatur, kliping koran, internet dan studi dokumentasi berkas-
berkas yang berkaitan.
4. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kontor Pusat KBMT Al-Jibaal, Jl. Gunung
Raya Cireundeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan dan KSPPS Ubasyada, Jl.
Dewi Sartika Gg. Nangka No. 2, Ciputat, Tangrang Selatan. Pemilihan dua
lembaga ini dilakukan karena dua lembaga ini merupakan Lembaga Keuangan
Mikro Syariah yang terletak di kawasan Ciputat dengan aset lembaga yang masih
tergolong kecil namun memiliki potensi yang besar untuk menjadi Lembaga
Keungan Mikro Syariah.
5. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan menggambarkan keadaan dari objek
yang diteliti di lapangan kemudian terhadap permasalahan yang timbul akan
ditinjau dan kemudian dianalisis secara mendalam dengan didasarkan pada teori-
teori kepustakaan dan peraturan perundang-undangan sampai diperoleh suatu
kesimpulan akhir.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan dimaksud untuk memberikan gambaran tentang isi
skripsi secara garis besar. Dalam sistematika pembahasan skripsi ini terbagi dalam
lima bab masing-masing terbagi ke dalam sup-sub bahasan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
11
Pada bab ini, Akan dibahas latar belakang mengapa penelitian ini perlu
dilakukan, mengenai bagaimana penanganan barang jaminan di
lembaga keuangan mikro syariah ditinjau dengan fatwa dewan syariah
nasional. Termasuk juga identifikasi, pembatasan masalah, dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian baik bagi penulis
maupun pembaca. Serta metode dan teknik pengolahan data dalam
penelitian yang akan dilakukan.
BAB II KAJIAN TEORI
Pada bab ini, akan dibahas teori-teori mengenai macam-macam cara
yang dapat dilakukan dalam penanganan barang jaminan, rahn dan
pelaksanaan lelang berdasarkan hukum positif dan berdasarkan fatwa
DSN MUI yang berlaku di Indonesia
BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA
Gambaran Umum Tentang KSPPS Ubasyada dan BMT Al Jibaal Pada
bab ini membahasa mengenai sejarah berdirinya KSPPS Ubasyada dan
BMT AL Jibaal, Perkembangan, produk-produk yang digunakan serta
kendala-kendala yang dialami selama proses perkembangannya.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini menjelaskan mengenai bagaimana penanganan barang
jaminan atas pembiayaan bermasalah pada KBMT Al-Jibaal dan
KSPPS Ubayada serta bagaimana penanganan atas kelebihan dan
kekurangan dana setelah dilakukan eksekusi barang jaminan.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini peneliti menjelaskan tentang kesimpulan dan hasil
penelitian, termasuk juga kendala-kendala yang terjadi selama
penelitian berlangsung, serta saran-saran untuk penelitian selanjutnya
yang akan membahas terkait.
12
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Barang Jaminan (Marhun)
1. Pengertian Barang Jaminan (Marhun)
Jaminan menurut syara’ adalah menjadikan benda yang memiliki nilai harta
dalam pandangan syara’ sebagai jaminan untuk utang, dengan ketentuan
dimungkinkan untuk mengambil semua utang, atau mengambil sebagian dari
benda (jaminan) tersebut.6
Dalam hukum Islam jaminan dibagi menjadi dua; jaminan berupa orang
(personal guaranty) dan jaminan berupa harta benda. Jaminan berupa orang
sering dikenal dengan istilah aman atau kafalah. Sedangkan jaminan berupa
harta benda sering dikenal dengan marhun.
Marhun adalah harta yang ditahan oleh pihak murtahin untuk mendapatkan
pemenuhan atau pembayaran haknya yang menjadi marhun bih. Jika marhun
sama nilainya dengan hak yang menjadi marhun bih, maka diambilkan dari
mrrhun. Jika tidak sama jenisnya maka marhun dijual terlebih dahulu lalu hak
yang menjadi marhun bih dibayar dengan diambilkan dari dana hasil penjualan
itu.
Dalam Fatawa Dewan Syariah Nasional Nomor 68/DSN-MUI/III/2008
tentang Rahn Tasjily dijelaskan bahwa jaminan barang yang diberikan atas
pembiayaan dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima
jaminan (murtahin) hanya bukti sah kepemilikan saja, sedangkan fisik barang
jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan
pemberi jaminan (rahin).
Keberadaan jaminan juga diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10
tahun 1992 tentang Perbankan bahwa dalam memberikan kredit, Bank Umum
6 Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Abdul Hayyie al-Kattani, dik, jilid 6, (Jakarta:
Gema Insani, 2011), h.187
13
wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi utangnya sesuai perjanjian.7
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
digunakan istilah agunan untuk pemakaian istilah jaminan bahwa agunan adalah
jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda yang tidak
bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank, dalam rangka
pemberian fasilitas kredit pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.8
Jaminan dam hukum positif mempunyai kedudukan sebagai pemberi
kepastian hukum kepada kreditur atas pengembalian modal/pinjaman/kredit
pembiayaan yang ia berikan kepada debitur, dalam arti bahwa barang jaminan
setiap waktu tersedia untuk dieksekusi bila perlu dapat diuangkan untuk
melunasi utang debitur. Nilai barang jaminan harus lebih tinggi dari jumlah
modal/pinjaman/kredit, dengan harapan ketika terjadi wanprestasi atau kredit
macet maka jaminan itu dapat menutup (mengcover) pinjaman yang kreditur
berikan.9
Kegunaan jaminan dalam pembiayaan adalah sebagai berikut:
a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan
dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah
melakukan cidera janji yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu
yang telah diperjanjikan sebelumnya;
b. Menjamin agar nasabah berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai
usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya
dengan merugikan diri sendiri atau perusahaan dapat dicegah;
c. Memberi dorongan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian kredit.
Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan persyaratan yang
7 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan DI Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1993) h. 233 8 Dwi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Dalam Praktik Perbankan Syariah,
(Yogyakarta: Nuha Medika, 2012). h. 93 9 Thomas Suyanto, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995).
h. 89
14
telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan
kepada bank.10
2. Landasan Hukum Barang Jaminan
a. Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 283:
م ك ض ع ن ب م ن أ إ ف ة بوض ق ان م ه ر ا ف ب ات دوا ك ج م ت ل ر و ف ى س ل م ع ت ن ن ك إ و
ة اد ه وا الش م ت ك ل ت ه و ب ر ق الل ت ي ل ه و ت ان م ن أ م ت ي اؤ ذ د ال ؤ ي ل ا ف ض ع ب
م ه آث ن إ ا ف ه م ت ك ن ي م يم و ل لون ع م ع ا ت م ب الل ه و ب ل ق
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
b. Hadis
عليه وسلم اشترى من يهودي طعاما إلى أجل ورهنه درعا أن النبي صلى الل
من حديد
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan
makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau
menggadaikan baju besinya.” (Hr. Muslim No. 1603 Al-Bukhari No.
2509 dan An-Nawawi 11/215-217)11.
10 Thomas Suryatno, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1995), h. 89 11 Abdul Qawi Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2012) h.474
15
3. Syarat Barang Jaminan
Barang jaminan menurut ulama Hanafiyah harus disyaratkan berupa harta
yang memiliki nilai, diketahui dengan jelas dan pasti, bisa untuk diserahkan,
dipegang, dikuasai, tidak tercampur dengan sesuatu yang tidak termasuk barang
jaminan (marhun), terpisah dan teridentifikasi, baik itu berupa harta bergerak,
harta mistli atau qiimi. Penjelasan syarat-syarat ini adalah sebagai berikut:12
a. Marhun harus bisa dijual
Yaitu marhun harus ada ketika akad dan bisa diserahkan. Berdasarkan hal ini,
maka tidak sah menggadaikan sesuatu yang tidak ada ketika akad, tidak sah
menggadaikan sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada.
b. Maarhun harus berupa harta
Oleh karena itu, tidak usaha menggadaikan sesuatu yang tidak berupa harta,
seperti bangkai, hasil buruan, tanah haram dan hasil buruan seorang yang
sedang dalam keadaan ihram;
c. Menggadaikan kemanfaatan
Menurut fukaha, tidak sah menggadaikan kemanfaatan, seperti seseorang
menggadaikan kemanfaatan menempati rumah selama sebulan atau lebih.
Menurut Hanafiyah, kemanfaatan bukan termasuk harta. Sedangkan menurut
ulama lain kemanfaatan tidak bisa diserahkan, karena pada waktu akad
kemanfaatan tersebut tidak ada, jika ada maka akan langsung hilang berlalu
dan diganti dengan kemanfaatan yang lainnya;
d. Marhun harus memiliki nilai
Maksudnya boleh digunakan dan dimanfaatkan menurut agama, sekiranya
utang yang ada bisa terbayar dari marhun tersebut;
e. Harus diketahui dengan jelas
Sebagaimana halnya dengan barang yang mau dijual marhun juga disyaratkan
harus diketahui dengan jelas;
12 Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Abdul Hayyie al-Kattani, dik, jilid 6,
(Jakarta: Gema Insani, 2011). h.133
16
f. Marhun merupakan berstatus milik Rahin
Ulama Syafi;iya dan Ulama Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah
menggadaikan harta orang lain tanpa seizin pemiliknya. Karena menjual harta
orang lain tanpa seizin pemiliknya adalah tidak sah. Di samping itu juga harta
tersebut tidak bisa diserahkan dan tidak bisa dijula untuk membayar
tanggungan utang pihak rahin kepada murtahin. Maka oleh karenanya tidak
sah menggadaikannya.13
4. Barang jaminan menurut fatwa DSN MUI
Rahn Tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, tetapi barang
jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan rahin dan bukti
kepemilikannya diserahkan kepada murtahin.14 Penerima jamianan hanya
memegang bukti kepemilikan barang yang di jaminkan, sementara barang
jamian tersebut masih dikuasai oleh pemilik barang atau yang menjaminkan.
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang
dalam bentuk Rahn Tasjily di bolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Rahin menyatakan bukti kepemilikan barang kepada murtahin;
b. Penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan atau
sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang ke murtahin. Dan
apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya, murhun dapat
dijual paksa/dieksekusi langsung baik melalui lelang atau dijual ke pihak lain
sesuai prinsip Syariah;
c. Rahin memberikan wewenang kepada murtahin untuk mengeksekusi barang
tersebut apabila terjadi wanprestasi atau tidak melunasi utangnya;
d. Pemanfaatan barang marhun oleh rahin harus dalam batas kewajaran sesuai
kesepakatan;
e. Murtahin dapat mengenai biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang
marhun (berupa bukti sah penyimpanan barang marhun berupa bukti sah
kepemilikan atau sertifikat) yang ditanggung oleh rahin;
13 Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Abdul Hayyie al-Kattani, dik, jilid 6,
(Jakarta: Gema Insani, 2011). h.133-138 14 Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 68/DSN-MUI/III Tahun 2008 tentang
Rahan Tasjily
17
f. Besaran biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun tidak boleh
dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan;
g. Besaran biaya sebagaimana dimaksud huruf e tersebut didasarkan pada
pengeluaran yang riil dan beban lainnya berdasarkan akad Ijarah;
h. Biaya asuransi pembiayaan Rahn Tasjily ditanggung oleh Rahin.
5. Prosedur Penyitaan Barang Jaminan (Marhun)
Penyitaan barang jaminan terjadi apabila debitur tidak memenuhi
kewajibannya seperti yang dijanjikan, maka dinyatakan lalai atau wanprestasi.15
Fatwa DSN-MUI Nomor 68/DSN_MUI/III 2008 telah mengatur mengenai
marhun yang menyatakan bahwa:
“Penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti yang sah kepemilikan
atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang ke murtahin.
Apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya, marhun
dapat dijual paksa atau dieksekusi langsung baik melalui lelang atau dijual
ke pihak lain sesuai prinsip Syariah”.16
Dalam penyelesaian kredit bermasalah juga perlu dilakukan pendekatan
oleh lembaga keuangan kepada nasabah. Pendekatan dan penetapan strategi
dalam penanganan kredit bermasalah yaitu sebagai berikut:
a. Pendekatan secara tertulis, dengan cara
1) Pemberian surat tagihan;
2) Pemberian surat peringatan I, II dan III.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) juga telah
diatur mengenai surat peringatan atau dengan sebuah akta sejenis, terdapat
dalam pasal 37 yang menyatakan pihak dalam akad melakukan ingkar
janji, apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu
telah dinyatakan ingkar janji atau demi perjanjiannya sendiri menetapkan,
bahwa pihak dalam akad harus dianggap ingkar janji dengan lewatnya
waktu yang ditentukan.
15 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT.Intermata, 1963), h. 43. 16 Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 68/DSN-MUI/III Tahun 2008 tentang
Rahan Tasjily
18
b. Pendekatan secara lisan
1) Pihak lembaga keuangan dalam melaksanakan pendekatan ini dengan cara
berkunjung ke tempat usaha debitur untuk segera melunasi kewajibannya
sebelum diberikan surat perinagatan;
2) Apabila sesudah diberi Surat Peringatan III, tetapi debitur belum melunai
kewajibannya maka pihak lembaga keuangan melakukan kunjungan untuk
menilai usaha debitur;
3) Pihak lembaga keuangan melakukan pembinaan kepada debitur yang
mempunyai kategori prospek baik dan itikad baik, prospek tidak baik,
itikad tidak baik dan prospek tidak baik dan itikad baik supaya menjadi
kooperatif dan mau segera melunasi kewajibannya.
Apabila sudah dilakukan pendekatan baik secara lisan maupun tulisan
nasabah tidak melaksankan prestasinya, maka lembaga keuangan mikro syariah
akan melakukan pengambilalihan barang jaminan yang kemudian dijual atau
dilelang secara umum untuk pelunasan sisa utang debitur. Dalam KHES Pasal
129 dinyatakan Akad murabahah dapat diselesaikan dengan cara menjual obyek
akad kepada Lembaga Keuangan Syariah dengan harga pasar, atau nasabah
melunasi sisa utangnya kepada Lembaga Keuangan Syariah dari hasil penjualan
obyek akad.
Berdasarkan Fatwa DSN MUI dan KHES penyitaan barang jaminan boleh
dilakukan apabila nasabah melakukan wanprestasi atau tidak dapat melunasi
hutangnya. Saat dilakukan penyitaan terhadap barang jaminan harus sesuai
prosedur, dengan melampirkan adanya surat perintah atau akta sejenis karena
dengan surat perintah tersebut nasabah dapat dikatakan ingkar janji/wanprestasi
sehingga bisa dikenakan sanksi atas perbuatannya tersebut.
B. Pembiayaan Bermasalah
1. Pengertian Pembiayaan Bermasalah
Sebagai lembaga intermediary yang menyalurkan dana ke masyarakat
dalam bentuk pembiayaan dengan prinsip Syariah, lembaga keuangan Syariah
19
menanggung resiko pembiayaan. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 37 ayat (1)
Undang-Undang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyaluran dana
berdasarkan prinsip Syariah oleh Bank Syariah dan UUS mengandung resiko
kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga berpengaruh terhadap
kesehatan Bank Syariah dan UUS.17
Pembiyaan bermasalah adalah suatu penyaluran dana yang dilakukan oleh
lembaga pembiayaan seperti bank syariah dan lembaga keuangan mikro syariah
yang dalam pelaksanaan pembayaran pembiayaan oleh nasabah itu terjadi hal-
hal seperti pembiayaan tidak lancar, pembiayaan yang debiturnya tidak
memenuhi persyaratan yang dijanjikan, serta pembiayaan tersebut tidak
menepati jadwal angsuran. Sehingga hal-hal tersebut memberikan dampak
negatif bagi kedua belah pihak.18 Suatu pembiayaan dapat dapat digolongkan
menjadi:19
a. Lancar
Apabila pembayaran angsuran dan margin tepat waktu, tak ada
tunggakan, sesuai dengan persyaratan akad, selalu menyampaikan laporan
keuangan secara teratur dan akurat, secara dokumentasi perjanjian piutang
lengkap dan pengikatan agunan kuat.
b. Dalam Perhatian Khusus
Apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau
margin sampai dengan 90 hari. Akan tetapi selalu menyampaikan laporan
keuangan secara teratur dan akurat, dokumentasi piutang lengkap dan
pengikatan agunan kuat, Sea pelanggaran terhadap persyaratan perjanjian
piutang yang tidak prinsipiil.
c. Kurang Lancar
Apabila terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau
margin yang telah melewati 90 hari sampai 180 hari, penyampaian laporan
17 Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2012), h.
89. 18 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), h. 120. 19 Trisadini, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), h. 105.
20
keuangan tidak secara teratur dan meragukan,dokumentasi perjanjian piutang
kurang lengkap dan pengikatan agunan kuat. Terjadi pelanggaran terhadap
persyaratan pokok perjanjian piutang, dan berupaya melakukan perpanjangan
piutang untuk menyembunyikan kesulitan keuangan.
d. Diragukan
Apabila terjadi tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau margin
yang telah melewati 180 hari sampai dengan 270 hari. Nasabah tidak
menyampaikan informasi keuangan atau tidak dapat dipercaya, dokumentasi
perjanjian piutang tidak lengkap dan pengikatan agunan lemah serta terjadi
pelanggaran yang prinsipiil terhadap persyaratan pokok perjanjian.
e. Macet
Apabila terjadi tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau margin
yang telah melewati 270 hari, dan dokumentasi perjanjian dan pengikatan
agunan tidak ada.
Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia tidak
ditemui defensi atau pengertian “pembiayaan bermasalah” yang diterjemahkan
sebagai Non Perfoming Finacing (NPF) atau Amwal Mustamirah Ghairu
Najihah.20 Istilah “pembiayaan bermasalah” dalam perbankan Syariah adalah
padanan isilah “kredit bermasalah” di perbankan konvensional. Istilah kredit
bermasalah telah lazim digunakan oleh dunia perbankan Indonesia sebagai
terjemahan problem lokan atau Non Perfoming Loan (NPL) yang merupakan
istilah yang juga lazim dalam perbankan internasional.21 Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang
kualitasnya berada dalam golongan kurang lancar (golongan III), diragukan
(golongan IV), dan macet (golongan V). Pembiayaan bermasalah tersebut dari
segi produktivitasnya yaitu dalam kaitannya dengan kemampuan menghasilkan
20 Bank Indonesia Direktorat Perbankan Syariah, Kamus Istilah Keungan dan Perbankan
Syariah, h. 4. 21 Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2012), h.
89
21
pendapatan bagi bank, sudah berkurang atau menurun bahkan sudah tidak ada
lagi.22
Setiap pembiayaan yang diberikan oleh bank dan atau lembaga keuangan
wajib dikembalikan oleh penerima fasilitas setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan, ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil.23 Karena fasilitas pembiayaan
yang diberikan oleh bank syariah merupakan aktiva produktif lembaga untuk
memperoleh penghasilan. Artinya apabila fasilitas pembiayaan yang diberikan
oleh lembaga keuangan kualitasnya lancar, maka lembaga keuangan akan
mendapat kembali dana yang di salurkan bersama keuntungan dari bagi hasil dan
ujrah yang telah disepakati. Sehingga dana yang diterima dapat disalurkan lagi
oleh lembaga keuangan kepada masyarakat lain yang membutuhkan dana dalam
bentuk pembiayaan dan seterusnya bank kembali mendapat imbalan dan
pembiayaan yang diberikan. Karenanya kualitas pembiayaan yang lancar
merupakan sumber dana bagi lembaga keuangan dalam menghasilkan
pendapatan dan untuk ekspansi usaha bagi masyarakat.24
2. Faktor Penyebab Pembiayaan Bermasalah
Dalam penyaluran kredit, tidak selamanya kredit yang diberikan lembaga
keuangan kepada debitur berjalan sesuai dengan yang diharapkan dalam
perjanjian kredit.25 Gagalnya pengembalian sebagian kredit yang diberikan dan
menjadi kredit bermasalah sehingga mempengaruhi pendapatan bank.26 Kondisi
lingkungan eksternal dan internal (dari sisi nasabah dan lembaga keuangan)
22 Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2012), h.
90 23 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 butir 25.
Pembiayaan yang dimaksud dalam butir tersebut adalah: 1) transaksi bagi hasil dalam bentuk
murabahah dan musyarakat; 2) transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik; 3) transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam,
dan istisna’; 4) transaksi pinjam memnjam dalam bentuk piutang qardh; dan 5) transaksi sewa-
menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multikarsa. 24 Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2012), h.
92 25 Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,
2015), h. 92 26 Rachmat Firdaus dan Maya Ariyanti, Manajemen Perkreditan Bank Umum, (Bandung:
ALFABETA, 2011), h. 34-35
22
dapat mempengaruhi kelancaran kewajiban debitur kepada bank, sehingga kredit
yang telah disalurkan kepada debitur berpotensi menyebabkan kegagalan.
Kondisi lingkungan eksternal yang dapat mempengaruhi kegagalan dalam
pemberian kredit antara lain:27
a. Perubahan kondisi ekonomi dan kebijakan atau peraturan yang
mempengaruhi segmen atau bidang usaha debitur.
b. Tingkat persaingan yang tinggi, perubahan teknologi dan perubahan
preferensi pelanggan sehingga mengganggu prospek usaha debitur atau
menyebabkan usah debitur sulit untuk tumbuh sesuai dengan target bisnisnya.
c. Faktor risiko geografis terkait dengan bencana alam yang mempengaruhi
usaha debitur.
Menurut Sultan Remy Sjahdeini, kredit bermasalah disebabkan karena
nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank karena faktor internal
nasabah, faktor internal bank dan atau karena faktor eksternal nasabah dan bank.
Faktor-faktor tersebut adalah:28
a. Faktor Internal Bank
1) Kemampuan dan naluri bisnis analis kredit belum memadai;
2) Analis kredit tidak memiliki integritas yang baik;
3) Para anggota komite kredit tidak mandiri;
4) Pemutus kredit terhadap tekanan yang datang dari pihak eksternal;
5) Pengawasan bank setelah kredit diberikan tidak memadai;
6) Pemberian kredit yang kurang cukup atau berlebihan jumlahnya
dibandingkan dengan kebutuhan yang sesungguhnya;
7) Bank tidak memiliki sistem dan prosedur pemberian dan pengawasan
kredit yang baik;
8) Bank tidak mempunyai perencanaan kredit yang baik;
27 Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,
2015), h. 92-93 28 Rachmat Firdaus dan Maya Ariyanti, Manajemen Perkreditan Bank Umum, (Bandung:
ALFABETA, 2011), h. 35-36
23
9) Pejabat bank, baik yang melakukan analis kredit maupun yang terlibat
dalam pemutusan kredit, mempunyai kepentingan pribadi terhadap usaha
atau proyek yang diminta kredit oleh calon nasabah;
10) Bank tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai watak calon
debitur.
b. Faktor Internal Nasabah
1) Penyalahgunaan kredit oleh nasabah yang tidak sesuai dengan tujuan
perolehannya;
2) Perpecahan di antara para pemilik atau pemegang saham;
3) Key person dari perusahaan sakit atau meninggal dunia yang tidak dapat
digantikan oleh orang lain segera;
4) Tenaga ahli yang menjadi tumpuan proyek atau perusahaan meninggalkan
perusahaan;
5) Perusahaan tidak efisien, yang terlihat dari overhead coast yang tinggi
sebagai akibat pemborosan.
c. Faktor Eksternal Bank dan Nasabah
1) Laporan yang dibuat oleh akuntan publik yang menjadi dasar bank untuk
mempertimbangkan pemberian kredit, tidak benar;
2) Feasibility Study dibuat konsultan, yang menjadi dasar bank untuk
mempertimbangkan pemberian kredit dibuat tidak benar;
3) Kondisi ekonomi atau bisnis yang menjadi asumsi pada waktu kredit
diberikan berubah;
4) Terjadi perubahan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku
menyangkut proyek atau sektor ekonomi nasabah;
5) Terjadi perubahan politik dalam negeri;
6) Terjadi perubahan politik di negara tujuan ekspor dari nasabah;
7) Perubahan teknologi dari proyek yang dibiayai dan nasabah tidak
menyadari terjadinya perubahan tersebut atau nasabah tidak segera
melakukan penyesuaian;
8) Munculnya produk pengganti yang dihasilkan oleh perusahaan lain yang
lebih baik dan murah;
24
9) Terjadinya musibah terhadap proyek nasabah karena keadaan kahar
(Force majeure);
10) Kurang Kooperatifnya perusahaan asuransi, yang tidak cepat memenuhi
tuntutan ganti rugi nasabah yang mengalami musibah.
Apabila bank tidak memperhatikan asas-asas pembiayaan yang sehat
dalam menyalurkan pembiayaan, maka akan timbul berbagai risiko yang harus
ditanggung antara lain berupa:
a. Utang atau kewajiban pokok pembiayaan tidak dibayar;
b. Margin atau bagi hasil tidak dibayar;
c. Membengkaknya biaya yang dikeluarkan;
d. Turunnya kesehatan pembiayaan.
Risiko-risiko tersebut dapat mengakibatkan timbulnya pembiayaan
bermasalah yang datang disebabkan faktor internal bank.29
3. Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
Sebelum melakukan penyelesaian pembiayaan bermasalah terlebih dahulu
dilakukan pembinaan kredit bermasalah,30 penyelamatan pembiayaan
bermasalah barulah penyelesaian pembiayaan bermasalah. Pembinaan kredit
bermasalah merupakan langkah awal yang dilakukan terhadap nasabah Aung
bermasalah sehingga dapat menjaga dan mengamankan kepentingan bank atas
fasilitas kredit yang disalurkan, serta dapat memperoleh hasil yang optimal
sebagaimana yang diharapkan sesuai dengan tujuan awal pemberian kredit.
Langkah yang dapat dilakukan dalam tahapan pembinaan kredit bermasalah
antara lain melalui:
a. Melakukan pendampingan kepada debitur bermasalah. Pendampingan ini
bertujuan untuk mengetahui apakah permasalahan kredit yang terjadi murni
karena aktivitas usaha atau karena kecurangan yang dilakukan nasabah
terhadap fasilitas kredit yang telah diterimanya.
29 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 72. 30 Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,
2015), h. 94
25
b. Aktivitas pembinaan juga termasuk dalam hal melakukan aktivitas penagihan
secara intensi terhadap debitur bermaslah.31
Penyelamatan pembiayaan (restrukturisasi pembiayaan) adalah istilah
teknis yang biasa dipergunakan di kalangan lembaga keuangan terhadap upaya
dan langkah-langkah yang dilakukan bank dalam mengatasi pembiayaan
bermasalah.32 Restrukturisasi pembiayaan merupakan upaya yang dilakukan
dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya,
antara lain melalui penjadwalan kembali (reschedulling), persyaratan kembali
(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring).33 Terdapat beberapa
peraturan Bank Indonesia yang berlaku bagi BUS dan UUS dalam melakukan
restrukturisasi pembiayaan, yaitu:
a. Peraturan Bank Indonesia No. 101/18/PBI/2008 tanggal 25 September 2008
tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah, sebagaimana diubah dengan PBI No. 13/9/PBI/2011 taggal 8
Februari 2011;
b. Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 dan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/35/DPbS tanggal 22 Oktober 2008
perihak Restrukturisasi pembiayaan bak Bank Umum Syariah dan Unit Usah
Syariah, sebagaimana diubah dengan SEBI No. 13/18/DPbS tanggal 30 Mei
2011.34
Jika terjadi pembiayaan bermasalah, kreditur tidak semata-mata langsung
melakukan penyitaan terhadap barang jaminan harus dilakukan upaya-upaya
dalam menangani kredit bermasalah. Penyelamatan kredit bermasalah tersebut
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
31 Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,
2015), h. 94-95 32 Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2012), h. 447 33 Lihat Pasal 1 Angka 7 PBI No. 13/9/PBI/2011 tanggal 8 Februari 2011 34Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2012), h. 447-448
26
a. Penjadwalan kembali (Rechedulling), yaitu perubahan syarat kredit yang
hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (Reconditioning). Yaitu perubahan sebagian dan seluruh
syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran,
jangka waktu dan atau persyaratan lainnya, sepanjang tidak menyangkut
maksimum saldo kredit;
c. Penataan kembali (Resructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang
meliputi rechedulling dan reconditioning.35
Setelah langkah restrukturisasi dilakukan namun tidak mengatasi
pembiayaan yang akan diselamatkan, maka lembaga keuangan harus dapat
mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan debitur melalui
penyelesaian pembiayaan yang bermasalah. Penyelesaian pembiayaan
bermasalah ini dapat dilakukan antara lain:36
a. Upaya pelunasan atau penyelesaian kredit bermasalah, dapat dilakukan
melalui:
1) Setoran dari debitur atau pemegang saham;
2) Penjualan barang agunan;
3) Take over fasilitas kredit debitur oleh kreditur lain (bank lain atau investor)
4) Eksekusi hak tanggungan melalui balai lelang;
5) Litigasi (penyelesaian melalui pengadilan)
b. Langkah-langkah yang dilakukan oleh bank dalam upaya penyelesaian kredit
tersebut antara lain:
1) Bank melakukan penagihan kepada debitur untuk penyelesaian
kewajibannya kepada bank (tunggakan pokok, angsuran, denda dan biaya
lainnnya);
2) Kredit yang telah berada pada kolektibilitas 5 telah dapat diusulkan untuk
dihapus buku;
35 Kasmir, S.E., MM., Manajemen Perbankan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.
103-104. 36Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,
2015), h. 100-101
27
3) Untuk memudahkan penetapan Action plan atau Action step dalam upaya
penagihan kepada debitur, debitur telah dihapus buku di kelompok
berdasarkan potensi penagihan yang dapat direalisasikan.
28
BAB III
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
A. Gambaran Umum Lembaga Keuangan Mikro Syariah
1. Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia
Menurut undang-undang No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk
memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik
melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan
masyarakat, pengelola simpanan maupun pemberi jasa konsultasi
pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.37
Sedangkan yang dimaksud denngan Lembaga Keuangan Mikro Syariah
adalah Lembaga Keuangan Mikro yang menggunakan prinsip-prisip syariah
dengan adanya Dewan Pengawasa Syariah (DPS) guna mengawasi operasional
yang sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).38
Lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) memiliki ruang lingkup yang
luas, seperti simpanan, pinjaman dan jasa pembayaran yang biasanya dikelola
secara sederhana. Sebagai lembaga simpanan LKM berfungsi sebagai lembaga
yang menyediakan berbagai jasa pinjaman, baik untuk kegiatan produktif
maupun kegiatan konsumtif. Selain itu LKMS juga berfungsi sebagai lembaga
intermediasi dalam aktifitas perekonomian.39 Adapun ciri-ciri LKMS dapat
dilihat, misalnya dalam menerima titipan investasi lembaga keuangan syaria
harus sesuai dengan fatwa Dewan Syaariah Nasional. Hubungan antara investor
(penyimpan uang), pengguna uang dan lembaga keuangan syariah sebagai
37Republik Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro, Bab 1 pasal 1. 38 Republik Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro, Bab IV pasal 12. 39 Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam; Pengantar Peran LKM dan
UKM di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009). Hal. 49
29
intermediary institution, berdasarkan kemitraan, bukan hubungan debitur-
kreditur. Bisnis Lembaga Keuangan Mikro Syariah bukan hanya berdasarkan
profit oriented, tetapi juga falah orieted yakni kemakmuran di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Konsep yang digunakan dalam transaksi Lembaga
Keuangan Syariah berdasarkan prinsip kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa-
menyewa guna transaksi komersial dan pinjam-meminjam (qardh/kredit) guna
transaksi sosial. Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang
halal dan tidak menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam.40
2. Jenis-jenis Lembaga Keuangan Mikro
Jika ditinjau dari segi sisi kelembagaan, tujuan pendirian, budaya
masyarakat dan kebijakan pemerintah. Secara umum lembaga keuangan mikro
dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bersifat formal dan informal.
LKM formal terdiri dari bank, yaitu Bank Kredit Desa (BKD), Bank Prekreditan
Rakyat (BPR), dan BRI Unit, sementara LKM forma non bank mencakup
Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), Koperasi (Koperasi Simpan
Pinjam dan Koperasi Unit Desa) dan Pegadaian. Adapun LKM informal terdiri
dari berbagai kelompok dan lembaga swadaya masyarakat (KSM dan LSM)
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Lembaga Ekonomi Produktif Mayarakat
Mandiri (LEPN), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP) serta berbagai
bentuk lainnya.
3. Peran Lembaga Keuangan Mikro
Pada dasarnya lemnaga keuangan mikro memiliki perannya yang sama
dengan lembaga keuangan lainnya yaitu:41
a. Pengalihan aset (asset transmutation) mengalihkan aset dari unit surplus ke
unit defisit.
40 Majan Naii, Ciri-Ciri LKMS, diakses pada 20 Agustus 2018 dari
majannaii.blogspot.com. 41 Y. Sri Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Salemba Empat. 2000),
hal.8
30
Bank dan lembaga keuangan bukan bank akan memberikan pinjaman
kepada pihak yang membutuhkan dana dalam jangka waktu tertentu yang
telah disepakati. Sumber dana pinjaman tersebut diperoleh dari pemilik dana
yaitu unit surpus yang jangka waktunya dapat diatur sesuai keinginan pemilik
dana. Dalam hal ini bank dan lembaga keuanga non bank berperab sebagai
pengalih aset dari uni surplus (lenders) kepada uni defisit (borrowers). Dalam
kasus yang lain, pengalihan aset dapat pula terjadi apabila bank dan lembaga
keungan bukan bank menerbitkan sekuritas sekunder (giro, deposito
berjangka, dan pensiun, dan sebagainya) yang kemudian dibeli oleh unit
surplus dan selanjutnya ditukarkan dengan sekuritas primer (saham, obligasi,
promes, commercial papper dan sebagainya) yang diterbitkan oleh unit
defisit.
b. Transaksi (transaction) memberikan kemudahan transaksi barang dan jasa
Bank dan lembaga keuangan bukan bank memberikan berbagai
kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang dan
jasa. Produk-produk yang dikeluarkan oleh bank dan lembag keuangan bukan
bank (giro, tabungan, deposito, saham dan lainya) merupaka pengganti dari
uang dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
c. Likuiditas (liquidity menawarkan produk dana dengan berbagai alternatif
tingkat likuiditas
Unit surplus dapat menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk
produk-produk berupa giro, tabungan, deposito dan sebagainya. Produk-
produk tersebut memiliki tingkat lukuiditas yang berbeda-beda. Untuk
kepentingan pemilik dana, mereka menempatkan dananya sesuai dengan
kebutuhan.
d. Efisiensi (efficiency)
Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat menurunkan biaya
transaksi dengan jangkauann pelayanannya. Peranan bank dan lembaga
keuangan bukan bank sebagai broker (brokerage) adalah mempertemukan
pihak-pihak yang saling membutuhkanAdanya informasi yang tidak simetris
antara peminjam dan investor menimbulkan masalah insentif.
31
B. Gambaran Umum Koperasi BMT Al Jibaal
1. Sejarah Terbentuknya Koperasi BMT Al Jibaal
Ketika ada berita bahwa Yayasan Amanah Ummat (YAU) akan
menyelenggarakan Program Pelatihan Pengelola BMT, maka dikirimlah utusan
dari Ta’lim Khusus Bangkok (TKB) 2 orang dan dari Majelis Taklim Al-Huda
2 orang. Penyelenggara pelatihan tersebut adalah YAU kerja sama dengan
Yayasan Bina Pembangunan (YBP) dan Majalah Panji Masyarakat, sedangkan
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) menjadi fasilitator dalam
terselenggaranya agenda tersebut.
Pelatihan diadakan di Cisaat Sukabumi selama 15 hari dari tanggal 19 Juni
sampai tanggal 03 Juli 1997 yang diikuti oleh 29 peserta dari berbagai daerah
se-Jabodetabek yang mewakili 17 BMT/Calon BMT. Pada waktu penutupan
Pelatihan masing-masing Calon BMT oleh YAU diberi pinjaman modal sebesar
Rp. 5.000.000,00 yang diangsur setiap bulan selama 24 bulan dengan tenggang
waktu 4 bulan.
Tapi untuk daerah Cireundeu sendiri, karena mengirim 2 majelis Ta’lim
akhirnya sepakat hanya dibuat 1 BMT sehingga pinjaman modal yang diberikan
YAU menjadi Rp. 10.000.000,00. Dari sini para pengurus majelis Ta’lim
sepakat untuk menamakan BMT di Jl. Gunung Raya dengan nama KBMT Al-
Jibaal.
Selanjutnya dengan mengadakan beberapa pertemuan antar peserta
Pelatihan dengan para pengurus TKB dan Al-Huda, kedua majelsi ta’lim ini
melakukan persiapan pendirian BMT dan menyiapkan semua perlengkapan yang
dibutuhkan. Juga melakukan sosialisasi dan memperkenalkan BMT kepada toko
masyarakat dan majelis ta’lim yang berada diwilayah Kampung Gunung, dan
dengan penyebaran brosur. Akhirnya dengan membantu satu BMT yang diberi
nama Al-Jibaal yang artinya gunung karena domisilinya di Kampung Gunung
dan dengan izin serata restu Kepala Desa pada tanggal 1 September 1997 KBMT
Al-Jibaal mulai beroperasi. Waktu awal berdiri wilayah kerjanya meliputi 2
(dua) RW yaitu RW 03 dan 11, dengan berkantor di rumah salah satu pengurus
sampai September 2012.
32
Setelah reorganisasi pada tanggal 01 Desember 2012 KBMT Al-Jibaal
menyewa salah satu ruang kantor yang beralamat di Jl. Gunung Raya No. 14 Rt
004/011 dan membuka diri melayani anggota wilayah Kota Tangerang Selatan.42
2. Visi dan Misi Koperasi
Visi dari KBMT Al-Jibaal adalah mewujudkan BMT sebagai lembaga
keuangan mikro syariah yang profesional dalam menumbuh kembangkan
produktivitas usaha anggota dan dapat meningkatkan kualitas ibadah anggota
dalam segala aspek kehidupan.
Adapun Misi dari KBMT Al-Jibaal adalah:
a. Menyelenggarakan pelayanan yang prima kepada anggota sesuai dengan jati
diri koperasi yang berlandaskan syariah;
b. Menjalankan kegiatan usaha dengan cepat, cermat dan beretika;
c. Menjalin kerja sama dengan berbagai pihak.
3. Produk-Produk KBMT Al-Jibaal
Kegiatan KBMT Al-Jibaal adalah menghimpun dan menyalurkan dana
dari anggota, memberi jasa pelayanan kepada masyarakat dan serta ikut serta
dalam kegiatan sosial yang dananya berasal dari zakat, infaq dan sedekah. Secara
umum sumber dana KBMT Al-Jibaal diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Produk Penghimpunan
Simpanan pokok, merupakan modal awal anggota yang disetorkan, sehingga
besar simpanan pokok tersebut sama dan tidak boleh dibedakan antara
anggota yang satu dengan yang lainnya. Konsep pendirian KBMT
menggunakan konsep syirkah mufawadhah, yakni sebuah usaha yang
didirikan bersama-sama oleh dua orang atau lebih yang masing-masing
dengan bobot yang sama pula. Masing-masing partner menanggung satu sama
lain dalam hak dan kewajiban, serta tidak diperbolehkan salah seorang
42 Profil Koperasi BMT Al-Jibaal antara Koperasi BMT Al-Jibaal dengan Baznas, 2016
33
memasukan modal yang lebih besar dan memperoleh keuntungan yang lebih
besar dibandingkan dengan anggota lain.
Simpanan wajib, termasuk dalam modal KBMT seperti halnya simpanan
pokok. Besaran kewajiban tersebut diputuskan dalam syuro (musyawarah)
anggota, dan penyetoran secara berturut-turut setiap bulannya hingga seorang
dinyatakan keluar dari keanggotaan Koperasi Baitul Maal Watamwil
Simpanan sukarela merupakan bentuk investasi dari anggota atau calon
anggota yang memiliki kelebihan dana dan kemudian menyimpan di KBMT.
Bentuk simpanan sukarela ini terbagi dalam dua bagian:
1) Dana simpanan tersebut bersifat titipan (wadiah) dan dapat diambil
sewaktu-waktu. Titipan (wadiah) terbagi menjadi 2 macam, yaitu wadiah
amanah (titipan yang tidak boleh dipergunakan baik untuk kepentingan
KBMT maupun investasi usaha, tetapi untuk dijaga oleh pihak KBMT
sampai diambil oleh pemiliknya) dan wadiah yad dhamanah (dana titipan
anggota kepada KBMT yang diizinkan untuk dikelola dalam usaha riil
sepanjang dana tersebut belum diambil oleh pemiliknya, biasanya pihak
KBMT memberikan bonus kepada pemilik dana yang tidak dipersyaratkan
diawal.
2) Dana simpanan tersebut bersifat investasi yang ditujukan untuk
kepentingan usaha dengan mekanisme bagi hasil (mudharabah) baik
revenue sharing, profit sharing, maupun profit and loss sharing. Konsep
simpanan yang dipakai adalah simpanan bejangka mudharabah mutlaqah
(kerjasama antara pemilik dana dengan KBMT yang cakupan usahanya
sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan
daerah usaha) serta simpanan berjangka mudahrabah muqayadhah
(kerjasama antara pemilik dana dengan pihak KBMT selaku pengusaha
yang penggunaan dananya dibatasi oleh ketentuan yang dipersyaratkan
oleh pemilik dana).
Investasi pihak lain. Dalam operasionalnya KBMT selalu membutuhkan dana
segar untuk bisa mengembangkan usahanya secara maksimal, sementara
34
simpanan anggotanya masih sedikit dan terbatas. Oleh karena itu KBMT
diharapkan bekerja sama dengan bank syariah maupun program-program
pemerintah. Investasi pihak lain ini menggunakan prinsip mudharabah
(prinsip bagi hasil) maupun prinsip musyarakah (perkongsian atau kerja sama
antara dua pihak atau lebih yang masing-masing pihak memberikan
konstribusinya baik sebagian modal maupun keterampilan usaha, dengan
batasan waktu yang ditentukan dan disepakati oleh para pihak).
Dana yang telah dikumpulkan oleh KBMT tentu saja harus terus berputar
dana tidak berhenti begitu saja. Untuk memutar dana yang sudah ada, maka
dana-dana tersebut harus disalurkan ke bidang-bidang tertentu baik kepada
anggota maupun calon anggota. Penyaluran dananya bersifat komersil dengan
menggunakan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah) maupun dengan jual
beli (piutang murabahah, piutang salam dan piutang istishna).
b. Produk Pembiayaan
Produk pembiayan dalam KBMT Al-Jibaal merupakan kegiatan layanan
kepada anggota maupun masyarakat. Layanan yang diterapkan di KBMT Al-
Jibaal antara lain:
1) Pembiayaan Murabahah
Pembiayan ini digunakan sebagai modal usaha untuk para nasabah dengan
prinsip jual beli, dimana KBMT melakukan pembelian keparluan nasabah
terlebih dahulu kebutuhan nasabah yang akan membangun sebuah usaha
yang akan dijalani.
Akad merubahah merupakan akad yang paling banyak digunakan KBMT
Al-Jibaal dalam melakukan pembiayaan dari produk yang lain.
Menurut bapak Abdul Biya selaku manajer dari KBMT Al-Jibaal selain
mudah dalam administrasinya menggunakan akad ini lebih efisien kepada
masyarakat ketimbang akad lain seperti mudharabah di mana perlu kajian
yang mendalam atas usaha yang akan dijalankan. Banyak nasabah yang
senang menggunakan akad murabah, pernah KBMT Al-Jibaal
35
memberikan pembiayaan sebesar RP. 100.000.000,00 kepada nasabah
yang telah dipercaya.
2) Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan murabahan menjadi slah satu produk yang paling jarang
digunakan di KBMT Al-Jibaal karena belum adanya tenanga yang bisa
mengawasi keberlangsungan usaha yang dibiayaai, untuk itu produk ini
sangat jarang digunakan
c. Produk Jasa
1) Jasa Ijarah Multijasa
Jasa pembiayaan ini diberikan kepada nasabah yang tidak memiliki cash in
hand tetapi punya keperluan mendesak misalnya pengobatan, pendidikan,
dan lain-lain.
2) Jasa Qardul Hasan
Qardul hasan diberikan kepada anggota yang betul-betul tidak mampu
sehingga pengembalian yang diharapkan adalah pokok pembiayaan.
Kegiatan sosila yang dilakukan KBMT Al-Jibaal berasal dari dana zakat,
infak dan sedekah (ZIS). Kegiatan ini tidak mengambil keuntungan secara
finansial tetapi hanay pinjaman kebaikan. Qardul hasan merupakan
pinjaman lunak yang diberikan oleh KBMT dan harus dikembalikan sesuai
jumlah dana yang diterima tanpa adanya tambahan, kecuali jika anggota
mengembalikan lebih tanpa dipersyaratan dimuka. Kelebihan dana
tersebut diperbolehkan diterima oleh KBMT dan dimasukan ke dalam
kelompok dana qardul hasan.
36
Skema kegiatan KBMT Al-Jibaal
KBMT AL-JIBAAL
Penghimpunan
dana
Jasa Sosial
Modal Dasar 1. Simpanan
pokok
2. Simpanan
wajib
3. Investasi
pihak lain
Simpanan sukarela
1. Wadiah 2. Mudharabah
Prinsip
jual beli
1. Murabahah
2. Salam
3. Istishna
1. Ijaraha
2. Wadiah
3. Wakalah
Qardhul hasan
Pembiayaa
n
Prinsip
Kerjasama
1. Mudharabah
2. Musyarakah
37
4. Struktur Organisasi KBMT Al-Jibaal
Tugas-tugas dalam Struktur Organisasi KMBT:
a. Rapat Anggota.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam memutuskan kebijakan-
kebijakan makro KMBT Al-Jibaal
b. Pengurus
Bertugas menjalankan amanat Rapat Anggota dan pembuat kebijakan-
kebijakan mikro dalam hal ini adalah operasional KMBT Al-Jibaal
c. Pengawas Syariah dan Manajemen.
Bertugas untuk mengawasi kinerja pengurus dan mengesahkan produk-
produk KMBT sesuai dengan hukum-hukum Syariah.
d. Manajer
Rapat Anggota
Pengurus
Manager
Pengawas Syariah
dan Managemen
Operasional Maal
Marketing
CS
Akunting SDM dan
Umum
Kasir ADM
dan P
AO dan
Collect
Anggota
38
Bertugas sebagai pelaksana harian tugas pengurus dan memimpin jalannya
operasional KBMT Al-Jibaal sesuai dengan instrrutur pengurus.
e. Maal.
Mewakili manajer untuk melakukan penghimpunan dan penyaluran dana
sosial KBMT Al-Jibaal yakni berupa dana ZIS ( zakat, infak dan shadakah).
f. Operasional
Bertugas mewakili manajer dalam hal operasional kantor KBMT Al-Jibaal
dalam tugas kesehariannya. Operasional dibantu oleh SDM dan Umum, Kasir
dan Custamer Service (CS), Pembukuan/Accounting.
g. Bertugas melakukan kegiatan marketing dan collecting terhadap produk-
produk KBMT Al-Jibaal. Marketing dalam menjalankan tugasnya dibantu
oleh funding Office (AO), Account Aofficer (AO) dan Colector.
h. Anggota.
Merupakan pemilik dan pengguna jasa dari KMBT Al-Jibaal
Saat ini Al-Jibaal baru memiliki 3 orang karyawan yaitu sebagai Manajer,
Operasional dan Marketing. Bagian operasional masih merangkap sebagai kasir,
akunting dan Customs Service.
5. Pengajuan Pembiayaan dan Penilaian Kelayakan Usaha
a. Prosedur Pengajuan Pembiayaan
Gambar di atas menjelaskan bahwa untuk dapat mengajukan pembiayaan
maka harus mendaftarkan diri sebagai anggota Koperasi BMT Al-Jibaal
Cirendeu, kemudian anggota harus mengisi formulir pembiayaan yang sudah
disediakan dan disertai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh pihak KBMT.
Apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya atau termasuk sudah melampirkan
Menjadi
Anggota
Mengisi
Formulir
F
Fi
F
F
Melampirkan
Data
Survei
Tempat
Komite
Pembiayaan
Akad
39
data, maka selanjutnya pihak KBMT akan datang ke lokasi/mensurvei tempat
usaha untuk melihat jenis-jenis usahanya. Jika usahanya terlihat baik dengan
kriteria yang sudah di tetapkan KBMT maka selanjutnya pihak marketing
akan melaporkan berkasnya kepada komite agar nantinya segera di acu. Jika
syarat-syarat sudah memenuhi kriteria maka disetujui dan langkah berikutnya
melakukan akad sesuai waktu yang disepakati, apabila kelengkapan atau
syarat tidak terpenuhi maka tidak bisa diberikan pembiayaan harus segera
dilengkapi atau ditolak.
Persyaratan pengajuan produk pembiayaan pada KBMT Al-Jibaal adalah
sebagai berikut:
1) Foto Copy KTP Suami dan Istri, KK dan Surat Nikah;
2) Pas Photo 3x4 Suami dan Istri;
3) Bagi Karyawan, Foto Copy Slip Gaji Terakhir;
4) Pembiayaan di atas Rp. 5 Juta melampirkan Foto Copy Jaminan
(BPKB/Surat Tanah).
b. Penilaian Kelayakan Usaha
Adapun cara penilaian kelayakan usaha anggota antara lain:
1) Anggota harus melengkapi persyaratan pembiayaan misalnya: KTP, KK
dan Pas Photo;
2) Lama usaha/pekerjaan minimal 1 tahun hal ini bisa ditanyakan langsung
pada saat wawancara pembiayaan dan bertanya kepada tetangga anggota
tersebut;
3) Usaha/kerja yang dilakukan tidak bertentangan dengan Hukum Republik
Indonesia dan Hukum Agama Islam (Halal);
4) Usaha/pekerjaan anggota harus mempunyai cashflow yang jelas hal ini
dapat dilihat dari transaksi pembeli setiap hari atau dari slip gaji untuk
karyawan;
5) Pada saat survei petugas akan bertanya kepada tetangga usaha apakah yang
sedang dijalankan, apakah sama dengan data yang diberikan anggota.
40
C. Gambaran Umum KSPPS Ubasyada
1. Sejarah Terbentuknya KSPPS Ubasyada
Kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat merupakan topik yang
hangat dibicarakan di kalangan intelektual dewasa ini. Pembicaraan mengenai
kesenjangan ini ternyata hanya sampai pada acara acara seminar dan dialog tanpa
ada upaya tindak lanjut untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Salah satu Faktor
yang mendominasi adanya kesenjangan sosial adalah karena adanya
kesenjangan ekonomi dan politik.
Kesenjangan ekonomi yang begitu jauh antara masyarakat ekonomi kuat
dan lemah begitu jelas. Upaya untuk mengatasi kesenjangan tersebut harus
segera dilakukan dengan cara menaikan taraf hidup masyarakat strata ekonomi
lemah ke arah yang lebih baik dengan berbagai upaya pemberdayaan yang
dianggap mampu meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat.
Dilatarbelakangi keinginan yang besar untuk berperan serta dalam
meningkatkan tarap hidup masyarakat strata ekonomi lemah, sekelompok
pemuda yang tergabung dalam jam’ah pengajian malam kamis dengan mayoritas
berprofesi sebagai pedagang kecil (PK-5) memiliki gagasan untuk meningkatkan
dan mengembangkan usaha yang sedang dijalankan, khusus nya dalam segi
permodalan serta cara penyediaan dana untuk perjuangan dakhwah amar ma’ruf
nahi munkar, karena dakhwah tanpa didukung oleh dana atau ekonomi yang kuat
akan sulit tercapai
Dengan pemikiran tersebut diatas maka pada tanggal 04 agustus 1999
terbentuk lah usaha bersama assyuhada yang lebih terkenal dengan sebutan
’UBASYADA” yang pada awalnya didirikan oleh 22 anggota pendiri yang
berhasil mengumpulkan modal awal sebesar Rp. 2.750.000 (dua juta tujuh ratus
lima puluh ribu rupiah). Karena latar belakang ingin memajukan ekonomi umat
khususnya menengah ke bawah sempat terjadi diskusi panjang tentang
kelembagaan yang akan didirikan, antara berbadan hukum yayasan dan koperasi.
Tentu keduanya memiliki sisi yang berbeda dari segi pelaksanaan kegiatan
kelembagaan nantinya. Yayasan merupakan badan hukum yang mempunyai
41
maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sementara
badan hukum koperasi merupakan organisasi ekonomi yang didirikan dan
dioperasikan oleh orang-orang demi kepentingan bersama dan kemakmuran
koperasi. Sehingga semua anggota setuju untuk memakai koperasi sebagai badan
hukum dari usaha yang akan di jalankan.
Pada tanggal 05 Maret 2013 UBASYADA yang merupakan lembaga
usaha berbadan hukum koperasi yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam
kegiatan usahanya telah di syahkan mentri koperasi dengan dikeluarkannya surat
Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil Menengah
Republik Indonesia dengan Nomor 518/7/BH Dis. KUK dengan nama Koperasi
Serba Usaha (KSU) UBASYADA yang beralamat di jalan Dewi Sartika Gg.
Nangka Cimanggis No. 2 RT 001/010 Desa Ciputat, Kecamatan Ciputat,
Kabupaten Tangerang (sekarang Kota Tangerang Selatan), Provinsi Banten,
Nomor telepon: (021) 7424651, FAX : (021) 74714006.
2. Visi, Misi, Maksud dan Tujuan KSPPS Ubasyada
Berikut ini merupakan visi, misi, maksud dan tujuan yang dimilik KSPPS
Ubasyada Ciputat.43
a. Visi dan Misi
Visi KSPPS Ubasyada yakni “Dari pemberdayaan dan pemfokusan sumber
daya insani kami dan kualitas sistem manajemen, kami akan bertumbuh
menjadi koperasi yang islami, sehat dan tangguh”. Adapun yang menjadi misi
dari KSPPS Ubasyada “Meningkatkan kualitas hidup manusia sebagi ibadah
kami kepada Allah SWT, melalui penyediaan pelayanan keuangan dan
perdagangan dengan Pola Syariah, berkualitas dan tepercaya.
b. Maksud
Adapun maksud didirikan KSPPS Ubasyada adalah sebagai alat bantu atau
sarana dalam menegakkan syariat Islam pada sektor perekonomian.
c. Tujuan
43 Wawancara langsung dengan maneger KSPPS Ubasyada Ibu Yeni pada 12 Mei 2018
42
Tujuan utama KSPPS Ubasyada adalah untuk membangun, memberdayakan
dan meningkatkan ekonomi umat Islam.
3. Struktur Organisasi KSPPS Ubasyada44
Keterangan:
a. RAT (Rapat Anggota Tahunan)
Merupakan agenda wajib setiap badan usaha koperasi karena di
dalamnya akan dibahas tentang pertanggung jawaban pengurus koperasi
selama satu tahun kepada anggota koperasi yang bersangkutan. Adapun
beberapa yang menjadi bahasan utama dalam RAT antara lain:
44 http://ksppsubasyada.blogspot.com/# diakses pada 4 Agustus 2018
RAT
PENGURUS
MANAGER
DPS DAN MANAJEMEN
Ka. UNIT SIMAN PINJAM
BAG. PENGADAAN
Ka. UNIT USAHA
SURVEYOR
SURVEYOR/COLLEKTOR BAG. ADMINISTRASI
BAG. PEMBIAYAAN
BAG. ADMINISTRASI
BAG. TABUNGAN
COLLECTOR DEBT COLLECTOR
KASIR PEMBUKUAN
Ka. KEUANGAN
43
1) Laporan keuangan tahun anggaran sebelumnya;
2) Rencana bisnis ke depan;
3) Voting dan pemilihan pengurus baru.
b. Pengurus
Pengurus organisasi koperasi dipilih oleh dan juga memiliki peranan
untuk mewakili seluruh anggotanya dalam mengerjakan suatu aktivitas
organisasi ataupun usaha koperasi. Pengurus juga memiliki kewajiban untuk
melaksanakan keputusan yang sudah ditetapkan oleh RAT untuk memberikan
suatu manfaat kepada seluruh anggota koperasi. Pengurus juga bertindak
sebagai kontrol dari seluruh aktivitas manajemen yang dilaksanakan di
KSPPS Ubasyada sebagai fungsi dan kewenangannya sebagai pengurus, dan
pertanggung jawaban atau seluruh tugas pengurus akan dilaporkan pada
Rapat Anggota.
c. Pengawas
Pengawas adalah satu instrumen organisasi yang dilantik atau diangkat
oleh anggota koperasi di dalam RAT, sebagaimana yang tertera dalam pasal
38 UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Peranan pengawas
melaporkan hasil audit serta konseling pelaksanaan keputusan serta kebijakan
yang telah dirapatkan oleh Rapat Anggota Tahunan yang mana rapat tersebut
telah dilakukan oleh pengurus koperasi baik itu audit berkala ataupun audit
akhir tahun. Hasil audit dari pengawas ini akan dilaporkan kepada pengurus
koperasi disertai dengan bukti pendukungnya.
d. Manajer
Manajer ini ditunjuk dan juga diangkat oleh pengurus koperasi yang
ditugaskan untuk mengatur operasional usaha koperasi. Kewajiban-
kewajiban yang harus diselesaikan oleh manajer, antara lain adalah:
1) Menjalankan keputusan operasional yang sudah diputus dan juga
ditetapkan oleh para pengurus koperasi;
2) Memimpin jalannya pelaksanaan aktivitas-aktivitas di setiap masing-
masing usaha;
44
3) Memberi bimbingan dan juga memberikan sebuah arahan tugas-tugas
kepada karyawan yang kedudukannya berada di bawahnya yang mana
tujuannya ini ingin membuat karyawan yang berkualitas;
4) Memberikan sebuah usul atau saran kepada pengurus koperasi mengenai
pelantikan atau pengangkatan dan juga pemberhentian setiap karyawan di
dalam lingkungan pekerjaanya;
5) Menyusun Program Kerja dan RAPBK tahunan untuk disampaikan kepada
pengurus sebelum dimulainya rencana anggaran yang baru, dan
selanjutnya evaluasi sekaligus perancangan bagi pengurus untuk
disampaikan dalam Rapat Anggota;
6) Membuat laporan pertanggungjawaban kerja secara tertulis setiap akhir
bulan dan tahun;
7) Melaksanakan dokumen-dokumen usaha atau organisasi koperasi.
e. Keanggotaan
Keanggotaan KSPPS Ubasyada dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan, ini membuktikan bahwa KSPPS Ubasyada terus mendapat
kepercayaan dari masyarakat. Keanggotaan dalam KSPPS Ubasyada terbagi
dalam empat kriteria yaitu Anggota Penuh, Calon Anggota, Anggota Muda
(Anggota Luar Biasa) dan Anggota Kehormatan.
1) Anggota Penuh adalah seorang anggota muda yang mengajukan lamaran
untuk menjadi anggota penuh di KSPPS Ubasyada, telah memnuhi
persyaratan keanggotaan koperasi sebagai mana tercantum dalam
Anggaran Dasar Rumah Tangga atau peraturan khusus koperasi, dan
dikabulkan permohonannya untuk menjadi anggota penuh;
2) Calon Anggota merupakan seorang anggota muda yang mengajukan
lamaran untuk menjadi anggota penuh, namun belum dapat melunasi
Simpan Pokok yang di tetapkan Koperasi yang belum tercatat dalam
anggota koperasi sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Koperasi, dan dikabulkan permohonannya
untuk menjadi Calon Anggota, calon anggota tidak dicantumkan dalam
buku daftar anggota dan dalam waktu 3 (tiga) bulan harus sudah
45
diputuskan diterima atau ditolak menjadi Anggota Penuh KSPPS
Ubasyada;
3) Anggota Muda (Anggota Luar Biasa) merupakan keanggotaan dalam
KSPPS Ubasyada terbagi dalam 4 (empat) kriteria yaitu anggota penuh,
calon anggota, anggota muda dan anggota kehormatan.
a) Anggota Penuh merupakan seseorang (anggota muda) yang mengajukan
lamaran untuk menjadi anggota penuh KSPPS Ubasyada, telah memenuhi
seluruh persyaratan keanggotaan koperasi sebagaimana tercantum dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau peraturan khusus
koperasi, dan dikabulkan permohonannya menjadi anggota penuh;
b) Calon Anggota merupakan seorang anggota muda yang mengajukan
lamaran untuk menjadi anggota penuh, namun belum dapat melunasi
Simpan Pokok yang di tetapkan Koperasi yang belum tercatat dalam
anggota koperasi sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Koperasi, dan dikabulkan permohonannya
untuk menjadi Calon Anggota, calon anggota tidak dicantumkan dalam
buku daftar anggota dan dalam waktu 3 (tiga) bulan harus sudah
diputuskan diterima atau ditolak menjadi Anggota Penuh KSPPS
Ubasyada;
c) Anggota Muda (Anggota Luar Biasa) adalah mereka yang ingin pendapa
pelayanan dan menjadi anggota koperasi, namun tidak sepenuhnya dapat
memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga atau peraturan khusus koperasi. Ketentuan
ini menjadi peluang bagi penduduk Indonesia bukan Warga Negara dapat
menjadi Anggota Luar Biasa dari suatu Koperasi sepanjang memenuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d) Anggota Kehormatan merupakan seorang yang karena kedudukannya
diminta oleh pengurus untuk menjadi Anggota Kehormatan Koperasi.
4. Produk-produk KSPPS Ubasyada Ciputat
a. Produk Pendanaan
46
KSPPS Ubasyada menghimpun dana dari anggota dan calon anggota
dalam bentuk:
1) Tabungan Wadiah Yad Dhamanah
Simpanan anggota pada koperasi akad wadah atau titipan dan simpanan
tersebut dapat digunakan oleh koperasi untuk kegiatan usaha koperasi,
dengan ketentuan penyimpanan tidak mendapatkan bagi hasil atas
penyimpanan dananya, tetapi koperasi dapat memberikan kompensasi
dengan imbalan bonus atau hadiah yang nominalnya ditentukan
berdasarkan kebijakan dan kemampuan koperasi. Jenis-jenis tabungan
Wadiah Yad Dhamanah:
a) Tabungan Aggota Ubasyada (TABASYA);
b) Tabungan Aqiqah Qurban (TANQIQU);
c) Tabungan Hari Raya Idul Fitri (THIRAFI);
d) Tabungan Pendidikan.
2) Tabungan Mudharabah
Simpanan anggota pada koperasi dengan akad Mudharabah Al
Munhlaqoh yang diperlakukan sebagai investasi anggota untuk
dimanfaatkan secara produktif dalam bentuk pembiayaan kepada anggota,
calon anggota, dan masyarakat secara profesional dengan ketentuan
penyimpanan dananya sesuai nisbah (proporsi bagi hasil) yang disepakati
pada saat pembukaan rekening.
3) Simpanan Mudharabah Berjangka Investasi (Investasi Syariah)
Simpanan anggota pada koperasi dengan akad Mudharabah Al
Muthlaqah yang penyetoran dilakukan sekali dan penarikannya hanya
dapat dilakukan dalam waktu tertentu menurut perjanjian antara
penyimpan dengan koperasi, dengan ketentuan penyimpan mendapat bagi
hasil atas penyimpanan dananya sesuai nisbah yang disepakati di awal
perjanjian. Jenis-jenis Mudharabah berjangka:
1) Simpanan berjangka 3 bulan;
2) Simpanan berjangka 6 bulan;
3) Simpanan berjangka 12 bulan.
47
b. Produk Pembiayaan
Produk-produk pembiayaan yang ditawarkan KSPPS Ubasyada dalam
rangka memenuhi kebutuhan anggota dan calon anggota, sebagai berikut:
1) Pembiayaan Pedagang Mikro
Adalah program pembiayaan yang diberikan Koperasi Serba Usaha
Ubasyada untuk para pengusaha mikro yang mempunyai modal usaha
(aset) maksimal Rp. 10.000.000,- pembiayaan Pedagang Mikro
menggunakan akad Murabahah, akad Mudharabah dan akad
Musyarakah. Plafond Program Pembiayaan Pedagang Kecil Maksimal
Rp. 5.000.000,-
2) Pembiayaan Pedagang Kecil
Adalah program pembiayaan yang diberikan Koperasi Serba Usaha
Ubasyada untuk para pengusaha kecil yang mudah usaha (aset) maksimal
Rp. 25.000.000,-. Pembiayaan pedagang kecil menggunakan akad
Murabhah, Mudharabah dan akad Musyarakah. Plafond Program
Pembiayaan Pedagang Kecil Maksimal Rp. 10.000.000,-.
3) Pembiayaan Belanja Ringan
Adalah program pembiayaan yang diberikan Koperasi Serba Usaha
Ubasyada untuk kebutuhan yang sifatnya konsumtif seperti perlengkapan
rumah tangga, dan sebagainya. Pembiayaan belanja ringan maksimal Rp.
3.000.000,-.
4) Pembiayaan Multijasa
Adalah program yang diberikan Koperasi Serba Usaha Ubasyada untuk
anggota dan calon anggota koperasi yang sifatnya menyewakan fasilitas,
seperti fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas sewa toko/kios,
dan lain-lain. Pembiayaan multijasa menggunakan akad Ijarah dan Ijarah
Muhtahiya Bitamlik. Palnfond program Pembiayaan Multi Jasa
maksimal Rp. 10.000.000,-.
48
5) Pembiayaan Cepat
Adalah program pembiayaan yang diberikan Koperasi Serba Usaha
Ubasyada untuk anggota dan calon anggota koperasi yang membutuhkan
penambahan modal kerja segera. Program pembiayaan cepat
menggunakan akad Murabahah. Planfond program pembiayaan cepat
maksimal Rp. 2.000.000,-.
6) Pinjaman Tabarru’
Adalah program pinjaman yang diberikan Koperasi Serba Usaha
Ubasyada untuk anggota dan calon anggota koperasi yang tidak
mampu/dhuafa dengan ketentuan yang berlaku. Pembiayaan tabarru’
menggunakan akad Qardh Al Hasan yaitu pinjaman tanpa margin atau
bagi hasil. Pengembalian sesuai dengan jumlah pinjaman. Plafond
program Pinjaman Tabarru’ maksimal Rp. 1.000.000,-.
49
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Penanganan Barang Jaminan Menurut Undang-Undang yang Berlaku
Dalam ketentuan hukum positif di Indonesia penanganan atau eksekusi
barang jaminan atas pembiayaan bermasalah dilakukan sesuai dengan jenis
pengikatan jaminan yang digunakan saat melakukan perikatan. Berdasarkan
terjadinya jaminan dibedakan atas jaminan yang lahir karena Undang-undang dan
jaminan yang lahir karena perjanjian. Jaminan yang lahir karena Undang-undang
merupakan jaminan yang ditunjuk keberadaannya oleh Undang-undang tanpa
adanya perjanjian dari para pihak, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1131
KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan Undang-undang misalnya yang diatur dalam
pasal 1134 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang utang piutang yang
didahulukan (bevoorrechte schulden) yaitu Privilege. Jaminan yang lahir karena
perjanjian adalah jaminan yang terjadi karena adanya perjanjian para pihak atau
perjanjian tambahan dari perjanjian pokok yang telah diperjanjikan seperti fidusia,
hak tanggungan dan gadai.
Saat terjadi pembiayaan bermasalah atau debitur wanprestasi maka lembaga
keuangan akan melakukan penangan atau mengeksekusi barang jaminan yang telah
diperjanjikan dalam perjanjian pokok, untuk menutupi kekurangan kredit yang
dibayarkan debitur. Beberapa cara yang digunakan untuk melakukan eksekusi
barang jaminan, berdasarkan pengikatan jaminan yang digunakan saat perjanjian
dilakukan, yaitu:
1. Fidusia
Fidusia dalam terminologi bahasa Belanda dikenal dengan istilah fiduciare
eigendom overdrancht sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
fiduciary transfer of ownership. Dalam bahasa Indonesia fidusia sering disebut
sebagai “penyerahan hak milik secara kepercayaan”.45 Lembaga Jaminan
45 Sutan Reny Sjadeni, Kebebbasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Ban di Indonesia, (Jakarta: Institusi Bankir Indonesia, 1993),
h. 30
50
Fidusia memberikan kemudahan kepada Pemberi Fidusia untuk tetap dapat
menguasai barang jaminan yang dijaminkan untuk mendapatkan pembiayaan.46
Eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia. Timbulnya eksekusi jaminan fidusia disebabkan
karena debitur cidera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya
kepada penerima fidusia, walaupun pemberi fidusia telah diberikan somasi.
Dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, diatur 3 (tiga) cara
eksekusi jaminan fidusia akibat debitur yang cidera janji, yaitu:
a. Pelaksanaan titel eksekutorial
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2)47 oleh penerima fidusia
Dalam sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan kantor Pendaftaran Fidusia
yang memiliki irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Sertifikat jaminan fidusia ini memimiki kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Eksekutorial yang dimaksud adalah kewenangan yang dimiliki oleh
pemegang jaminan fidusia untuk melakukan eksekusi langsung barang
jaminan yang diikatkan melalui jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan
dengan ketentuan:
1) Dalam pelaksanaan titel eksekusi oleh penerima fidusia mengandung 2
(dua) syarat yaitu: debitur atau pemberi fidusia cidera janji;
2) Adanya sertifikat jaminan fidusia yang mencantumkan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
penerima fidusia melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan
Penerima fidusia mempunyai hak menjual benda obyek jaminan fidusia
atas kekuasaannya sendiri apabila debitur wanprestasi atau cidera janji.
Penjulan dengan cara ini dikenal dengan lembaga Parate Eksekusi dan
46 Nur Adi Kumaladewi, Eksekusi Kendaraan Bermotor sebagai Jaminan Fidusia yang
berada pada Pihak Ketiga, Jurnal Repertorium Volume 11, 2015 47 Lihat Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
51
diharuskan dijual memlalui pelelangan umum, dengan demikian Parate
Eksekusi adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau
putusan pengadilan kepada salah satu pihak untuk melaksanakan sendiri
secara paksa isi perjanjian mana kala terjadi wanprestasi.
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi
dan penerima fidusia jika dengan demikian dapat diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan para pihak
Eksekusi jaminan fidusia melalui penjualan di bawah tangan adalah suatu
perkembangan sistem eksekusi yang sebelumnya juga telah dianut dalam
eksekusi Hak Tanggungan atas Tanah dam Undnag-Undang Nomor 4 Tahun
1996.
Seperti halnya dalam undang-undang hak tanggungan maka dalam undang-
undang fidusia ini, penjualan di bawah tangan terhadap objek fidusia juga
mengandung beberapa persyaratan agar eksekusi fidusia dapat dilakukan
melalui penjualan di bawah tangan, 3 (tiga) persyaratan untuk dapat
melakukan penjualan di bawah tangan:48
1) Kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Syarat ini diperkirakan akan
berpusat pada soal harga dan biaya yang menguntungkan para pihak;
2) Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh
pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak berkepentingan;
3) Diumumkan sedikitnya 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang
menguntungkan.
2. Hak Tanggungan
Hak tanggungan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1999 tentang Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
tanah beserta atau tidak beserta benda-benda yang berada di atasnya. Pasal 1
butir 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1999 tentang Hak Tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah menyatakan:
48 Shinta Andriyani, Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia di Perum Pegadaian Kota
Semarang, Universitas Diponegoro Semarang, 2007, h. 46
52
“Hak tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, tang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah Hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainya.
Penangan atau eksekusi barang jaminan yang menggunakan pengikatan
hak tanggungan terhadap debitur yang wanprestasi atau terjadinya pembiayaan
bermasalah diatur dalam Pasal 20 sampai Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 diatur
tentang tata cara eksekusi hak tanggungan. Eksekusi hak tanggungan dilakukan
melalui 3 cara yaitu:49
a. Melalui penjualan di bawah tangan.
Penjualan di bawah tangan dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan
penerima hak tanggungan jika demikian dapat diperoleh hara tinggi yang
menguntungkan para pihak. Pelaksanaan penjualan di bawah tangan hanya
dapat dilakukan setelah melewati 1 (satu) bulan sejak diumumkan dalam 2
(dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media
masa setempat serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan;
b. Melalui kekuatan titel eksekutorial yang tercantum dalam sertifikat hak
tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Irah-irah
(kepala keputusan) yang dicantumkan dalam sertifikat hak tanggungan
dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada
sertifikat hak tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk
di eksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga
parate executie sesuai dengan hukum Acara Perdata;
49 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan DI Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), h. 190-191
53
c. Melalui kekuasaan penerima hak tanggungan sendiri (parate eksekusi
berdasarkan pasal 6 UUHT)50. Eksekusi berdasarkan kekuatan sendiri
(parate eksekusi) dengan cara mengajukan pemohonan lelang eksekusi
terhadap objek hak tanggungan kepada kantor Lelang Negara.
3. Gadai
Istilah gadai berasal dari terjemahan kata pand (bahasa Belanda) atau
pledge atau pawn (bahasa Inggris). Hukum jaminan gadai di Indonesia belum
memiliki sumber hukum yang mandiri layaknya pada Hak Tanggungan dan
Jaminan Fidusia yang telah memiliki undang-undang khusus. Adapun ketentuan
yang secara khusus mengatur dan berkaitan dengan jaminan gadai dapat
ditemukan dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijt
Wetboek). KUHPerdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk
Pemerintahan Hindia Belanda, yang diundangkan pada tahun 1848.
Diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi51. Pasal 1150
KUHPerdata menyatakan gadai adalah
“Suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan
kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya
dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan
piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan
pengecualian biaya penjualan sebagi pelaksanaan putusan atas tuntutan
mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan itu, yang
dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus
didahulukan”.
50 Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan apabila debitur cidera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan
tersebut. 51 Asas Konkordansi yaitu suatu asas yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau
hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada Golongan Eropa yang ada
di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu). Tri Jata Ayu Pramesti, Arti Asas Konkordansi, diakses
di m.hukumonline.com pada tanggal 29 September tahun 201., selain KUHPerdata Ketentuan Gadai
juga di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1970 tentang perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
54
Berdasarkan rumusan yang diberikan tersebut dapat diketahui bahwa
untuk dapat disebut gadai, maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:52
a. Gadai diberikan hanya atas benda bergerak;
b. Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai;
c. Gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk memperoleh
pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit Ed preference);
d. Gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri
pelunasan secara mendahului tersebut.
Setelah terjadi penjanjian gadai antara pemberi gadai dan penerima gadai
maka timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pemberi gadai
berkewajiban membayar angsuran pinjaman sesuai dengan yang ditentukan oleh
penerima gadai. Karena dalam surat bukti kredit (SBK) telah ditentukan syarat
jika dengan tanggal jatuh tempo pinjaman tidak dilunasi atau diperpanjang,
maka barang jaminan akan dilelang pada tanggal yang sudah ditentukan.
Dalam gadai pelelangan dapat diketahui saat pemberi gadai lalai dalam
menjalankan kewajibannya. Di mana lelang barang jaminan akan dilakukan 20
hari setelah tanggal jatuh tempo53. Dalam 20 hari masa tenggang tersebut
pemberi gadai tidak melaksanakan kewajibannya untuk melunasi utang maka
penerima gadai atau pegadaian akan melakukan lelang barang gadai untuk
menutupi utang yang tidak mampu di bayar. Penjualan dilakukan di hadapan
umum menurut kebiasaan setempat dengan persyaratan yang lazim. Apabila ada
kelebihan dari penjualan barang di muka umum tersebut, maka uang sisanya
akan dikembalikan kepada pemberi gadai.
Prakteknya bahwa penerima gadai tidak memberikan teguran kepada
debitur yang lalai melaksanakan kewajibannya. Ketentuan ini hanya berlaku
52 Kartini Muljadi dan Gunawan, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai dan
Hipotek, (2005), h. 73-74 53 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan DI Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), h. 52
55
terhadap benda gadainya yang nilainya sengat kecil, tetapi jika nilai gadainya
besar, maka pihak penerima gadai memberikan somasi kepada debitur satu kali.
Apabila somasi tersebut tidak di tanggapi oleh pemberi gadai, maka penerima
gadai dapat melakukan pelelangan terhadap objek gadai.
4. Hipotek
Hipotik menurut Pasal 1162 BW adalah suatu hak kebendaan atas benda-
benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya untuk
pelunasan suatu perikatan. Hipotik memeliki sifat accesoir namun dalam
pemenuhannya hipotik labih didahulukan dari piutang yang lain berdasarkan
pasal 1133-1134 KUHPerdata. Obyeknya adalah benda-benda tetap atau benda-
benda yang tidak bergerak. Benda yang menjadi obyek hipotik antara lain
berdasarkan pasal 509 KUHPerdata, pasal 314 ayat 4 KUHD, UU No. 21 Tahun
1992 tentang Pelayaran dan UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Pasal
1167 KUHPerdata menyebutkan bahwa benda bergerak tidak apa dibebani
dengan hipotik. Maksudnya adalah sebagai berikut:54
a. Benda tak bergerak berdasarkan pasal 506 KUHPerdata;
b. Benda tetap karena peruntukan berdasarkan pasal 507 KUHPerdata;
c. Benda tetap karena Undang-Undang berdasarkan pasal 508 KUHPerdata.
Sebelum dilakukannya pemasangan hipotik, maka terdapat adanya suatu
perjanjian kredit terlebih dahulu yang merupakan perjanjian pokok sebagai dasar
dari pada perjanjian hipotik kapal. Bentuk perjanjian pokok tersebut adalah
bebas dapat berbentuk akta di bawah tangan. Akta Notaris atau perjanjian kredit
biasa. Pemasangan hipotik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dibuat di hadapan pegawai pencatat balik nama ( Syahbandar pada kantor
Administrator Pelabuhan kelas I, II dan III ) ( Pasal 15 d jo Pasal 36 d jo Pasal
53 jo Pasal 57 ayat 2 jo Pasal 38 ayat 2 jo Pasal 53 ayat 2 Peraturan Menteri
perhubungan No. KM/81/OT 002 /Phb- 85 );
54Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan DI Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), h. 201
56
b. Dibuat di hadapan pegawai pencatat balik nama;
c. Dibuat di tempat kapal terdaftar;
d. Dibuat oleh para pihak yang bersangkutan ( kreditur dan debitur ).
e. Dibuat dengan akte otentik, dimana didalam gross akte tersebut tertulis:
“Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “ sehingga
mempunyai kekuatan seperti layaknya putusan hakim pengadilan
(mempunyai kekuatan eksekutorial ).
Sesudah pemasangan hipotik dan seklaigus pendaftaran akte hipotik
dihadapan pegawai pencatat balik nama. Selesailah sudah proses pemasangan
hipotik. Surat – surat yang diperlukan pada saat melakukan pemasangan hipotik
adalah sebagai berikut :
a. Akta otentik atau bawah tangan tentang pengakuan utang si debitur kepada
kreditur;
b. Akta pendaftaran kapal;
c. Surat ukur kapal;
d. Surat bukti pembayaran uang leges dari kantor kas Negara.
Karena grosse akta hipotik telah mempunyai kekuatan eksekutorial, maka
dapatlah dilakukan eksekusi tanpa turut campurnya pihak pengadilan ( Pasal 224
HIR). Di dalam praktek pada waktu memasang hipotik, si pemegang hipotik juga
diberikan kuasa untuk menjual bila debitur tidak mampu membayar hutang
(kuasa ini dicantumkan dalam akte hipotik) dan dari penjualan tersebut untuk
melunasi hutang debitur sedang sisanya diserahkan kepada debitur.
Walaupun di dalam ketentuan perundangan telah diatur bahwa eksekusi
atas kapal yang dihipotikkan “tidak memerlukan“ penetapan Pengadilan Negeri,
namun dalam praktek masih melalui Lembaga tersebut karena masih
menimbulkan kesulitan (bagi kreditur) dalam melakukan eksekusi.
B. Praktek penanganan atau eksekusi barang jaminan di Lembaga Keuangan
Mikro Syariah
Dalam praktek, tidak semua pengikatan jaminan digunakan oleh lembaga
keuangan mikro. Efisiensi dan mudah di eksekusi saat terjadi pembiayaan
57
bermasalah menjadi salah satu alasan lembaga keuangan untuk memilih pengikatan
yang lebih menguntungkan di kemudian hari. Pengikatan fidusia dan hak
tanggungan merupakan 2 (dua) pengikatan yang digunakan di lembaga keuangan
mikro, karena objek dan sifat yang melekat kepada pengikatan jaminan terebut.
1. Hak Tanggungan
a. Objek Hak Tanggungan
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun1996 tentang
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah diatur bahwa:
1) Hak atas Tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah:55
a) Hak milik;
b) Hak guna usaha;
c) Hak guna bangunan.
2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud ayat 1 tersebut, hak
pakai atas tanah negara menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftaran
dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan dan juga dapat dibebani
Hak Tanggungan.
Selain obyek hak tanggungan yang tersebut di atas rumah susu juga
menjadi salah salah satu objek Hak Tanggungan. Pasal 12 ayat (1)56 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun menyatakan:
Rumah susun berikut tang tempat bangunan itu berdiri serta benda
lainnya yang merupakan atau kesatuan dengan tanah tersebut dapat
dijadikan jaminan hutang dengan:
a) Dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna usaha;
b) Dibebani fidusia, jika tanahnya hak pakai atas tanah negara.
55 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002), h. 146
56 Penjelasan Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 1985, Sesuai dengan ketentuan Pasal
25 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tanah hak milik dan guna guna bangunan
dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan (hipotik).
58
b. Sifat-Sifat Hak Tangungan
Sifat-sifat yang melekat pada jaminan hak tanggungan adalah sebagai
berikut:57
1) Bersifat Memaksa
Terdapat beberapa ketentuan dalam Undang-undang Hak
Tanggungan yang bersifat memaksa dan tidak dimungkinkan untuk
dilakukan penyimpangan. Pertama, pada Pasal 6 Undang-undang Hak
Tanggungan dinyatakan apabila debitur cidera janji, pemegang hak
tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui petualangan umum dan mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kedua, pada Pasal 12
yang menyatakan apabila terdapat janji yang memberikan kewenangan
kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan
apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. Hal ini diadakan dalam hal
melindungi kepentingan debitur dan pemberi hak tanggungan lainnya
terutama jika nilai objek hak tanggungan melebihi utang yang dijaminkan.
Ketiga, pada Pasal 13 ayat (1) mengisyaratkan bahwa pemberian hak
tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Keempat, pada
Pasal 14 ayat (3) bahwa sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
2) Dapat beralih atau dipindah tangankan
Hak tanggungan bersifat assesoir, yang mengikuti perikatan pokok,
yaitu perjanjian pembiayaan yang menjadi dasar lahirnya hak tanggungan.
Sesuai dengan ketentuan pasal 16 ayat (1), (2) dan (5) undang-undang Hak
Tanggungan. Jika piutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan
beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan atau sebab-sebab lain, hak
tanggung tersebut beralih karena hukum kepada kreditor baru. Yang
dimaksud dengan cessie adalah perbuatan hukum mengalihkan piutang
57 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, (Jakarta: Kencana Persada
Media Group, 2008), h. 147
59
oleh kreditor pemegang hak tanggungan kepada pihak lain, sedangkan
sobrogasi adalah penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi
utang debitur;
3) Hak tanggung bersifat individualiteit
Hak tanggung bersifat individualiteit adalah meskipun atas sebidang
tanah tertentu diletakkan lebih dari hak tanggungan, namun masing-
masing hak tanggung tersebut berdiri sendiri, terlepas antara satu pihak
dengan pihak lain sebagaimana yang tertera dalam Pasal 5 Undang-undang
Hak tanggungan. Apabila suatu objek hak tanggungan dibebani dengan
lebih dari satu hak tanggungan, peringkat masing-masing Hak
Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada kantor
pertanahan. Eksekusi atau hapusnya hak tanggungan yang satu tidak
mempengaruhi terhadap hak tanggungan lainnya yang dibebankan di atas
tanah yang dijaminkan dengan hak tanggungan tersebut.58
4) Hak Tanggungan bersifat menyeluruh
Sifat menyeluruh hak tanggungan dapat ditemukan pada Pasal 4 ayat
(4) dan (5) Undang-undang Hak Tanggungan. Hak Tanggungan dapat
dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya
yang telah ada atau akan ada yang merupakan sesuatu kesatuan dengan
tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan;
5) Hak Tanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan
Bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek hak
tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasi sebagian dari
utang yang dijaminkan tidak berarti terbebasnya sebagian objek hak
tanggungan dari beban hak tanggungan, melainkan hak tanggungan itu
58 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, (Jakarta: Kencana Persada
Media Group, 2008), h. 160
60
tetap membebani seluruh objek hak tanggungan untuk sisa utang yang
belum dilunasi;
6) Hak Tanggungan berjenjang (ada prioritas yang satu atas yang lainnya)
Perjenjangan Hak Tanggungan sebagai hak kebendaan tertera dalam
Pasal 5 Undang-undang Hak Tanggungan. Suatu objek hak tanggungan
dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin
pelunasan lebih dari satu utang. Apabila suatu objek hak tanggungan
dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan, peringkat masing-masing
hak tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftaran pada kantor
pertanahan;
7) Harus diumumkan (asas publistitas)
Pasal 13 ayat (1) menyatakan pemberian hak tanggungan wajib
didaftarkan pada kantor pertanahan, saat pendaftaran pembebanan hak
tanggungan adalah saat di mana lahirnya hak tanggungan tersebut;
8) Hak Tanggungan mengikuti bendanya (droit de suite)
Ini merupakan ciri utama hak kebendaan di mana pemegang hak
kebendaan dilindungi. Kepada tangan siapa pun kebendaan yang dimilik
dengan hak kebendaan tersebut beralih, pemilik dengan hak kebendaan
tersebut berhak untuk menuntutnya kembali. Hal ini dirumuskan dalam
Pasal 7 Undang-undang Hak Tanggungan di mana hak tanggungan tetap
mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada;
9) Bersifat mendahulu (droit preference)
Hak Tanggungan diberikan sebagai jaminan perlunasan utang yang
bersifat mendahulu dengan cara menjual sendiri bidang tanah yang
dijaminkan dengan hak tanggungan dan selanjutnya memperoleh
pelunasan dari hasil penjualan tersebut hingga sejumlah nilai hak
tanggungan atau nilai piutang kreditur;
10) Hak Tanggungan sebagai Jura In Re-Alinea (yang terbatas)
Hak Tanggungan digunakan semata-mata ditujukan bagi pelunasan
utang. Kreditur tidak dapat berbuat bebas dengan hak kebendaan yang
61
dijaminkan atau tidak dapat memiliki objek hak tanggungan tersebut
selamanya.
2. Fidusia
a. Objek jaminan Fidusia
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
jaminan Fidusia, maka yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah benda
bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventor) benda
dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, maka objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang lebih luas.
Dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 Undang-Undang
Jamian Fidusia, benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah:
a. Benda yang dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum;
b. Benda berwujud;
c. Benda berwujud termasuk piutang;
d. Benda bergerak;
e. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan
dan hipotek;
f. Benda yang ada maupun yang diperoleh kemudian;
g. Hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
c. Sifat-Sifat Jaminan Fidusia
Sifat-sifat yang melekat pada jaminan fidusia adalah sebagai
berikut:59
1) Jaminan kebendaan (zakelijkezekerheld/security Rights in rem)
Walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, namun jika dikaitkan
dengan hak yang didahulukan yang dimiliki Penerima Fidusia terhadap
kreditor lainnya serta adanya ketentuan bahwa benda yang dibebani
jaman fidusia wajib didaftarkan kepada kantor pendaftaran fidusia,
59 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001), h. 124
62
maka dengan sendirinya melekat di dalamnya unsur kebendaan karena
melalui pendaftaran berarti ada pemberitahuan kepada umum (asas
publisitas) yang mengisyaratkan bahwa jaminan fidusia adalah jaminan
kebendaan;
2) Accessoir
Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok
yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu
prestasi (Pasal 20 Undang-undang Jaminan Fidusia). Akibatnya
menurut Pasal 25 ayat (1) a Undang-undang Jaminan Fidusia, jaminan
fidusia hapus demi hukum bilamana utang yang dijamiankan dengan
jaminan fidusia hapus;
3) Droit de Suite
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Undang-undang Jaminan
Fidusia, Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia dalam tangan siapa pun benda tersebut berada, kecuali
pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
4) Droit de Preference
Berdasarkan Pasal 1 angaka (2) Undang-undang Jaminan Fidusia,
penerima fidusia mempunyai kedudukan yang lebih diutamakan
terhadap kreditor lainnya. Kemudi menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-
undang Jaminan Fidusia, penerima fidusia memiliki hak didahulukan
terhadap kreditor lainnya. Hak didahulukan tersebut adalah hak
penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil
eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
5) Constitutum Possessorium
Dalam Jaminan Fidusia terjadi suatu pengalihan hak milik atas suatu
benda atas dasar kepercayaan, namun benda yang dialihkan hak
kepemilikannya tersebut tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia. Pengalihan hak kepemilikan benda tersebut dilakukan dengan
cara constitutum possessorium artinya pengalihan hak milik suatu
63
benda dengan melanjutkan pengalihan hak milik atas benda yang
bersangkutan;
6) Jaminan Pelunasan Utang
Pasal 1 angka (2) Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan
secara tegas bahwa Jaminan Fidusia atas suatu benda adalah sebagai
agunan bagi pelunasan utang tertentu. Sedangkan Pasal 1 angka (7)
menyatakan bahwa utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau
mata uang lainnya, baik secara langsung maupun yang akan timbul di
kemudian hari. Selanjutnya Pasal 7 mengatur lebih lanjut utang yang
pelunasannya dapat dijamin dengan jaminan fidusia yaitu berupa utang
yang telah ada, utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah
diperjanjikan dalam jaminan tertentu, atau utang yang pada saat
eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok
yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi;
7) Asas Publisitas
Menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Jaminan
Fidusia benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan. Dalam
penjelasan dinyatkan bahwa pendaftaran benda yang dibebani jaminan
fidusia dilaksanakan ditempat kedudukan pemberi fidusia, dan
pendaftarannya mencakup benda baik yang berada di dalam maupun di
luar wilayah Indonesia;
8) Asas Spesialitas
Pembebanan benda dengan jaminan fidusia menurut Pasal 5 ayat (1)
Undang-undang Jaminan Fidusia dibuat dalam Akta Notaris dalam
Bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jamian Fidusia;
9) Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima
Fidusia
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberian fidusia kepada lebih
dari satu penerima fidusia dalam rangka pembiayaan konsorsium atau
sindikasi;
64
10) Tidak boleh ada fidusia ulang
Pasal 17 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan pemberi
fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi
objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar;
11) Parate Eksekusi
Parate Eksekusi adalah hak yang dimiliki kreditur untuk melakukan
penjualan atas kekuasaannya sendiri atau seolah-olah miliknya sendiri,
benda-benda yang telah dijaminkan oleh debitur bagi pelunasan
utangnya.
Dua jenis pengikatan jaminan ini60 menjadi pilih bagi lembaga keuangan
mikro, mengingat objek pada pengikatan ini paling banyak digunakan
masyarakat saat terjadinya akad,61 atas pembiayaan yang diajukan kepada
lembaga keuangan mikro Syariah. Saat terjadi pembiayaan bermasalah atau
debitur cidera janji, maka eksekusi barang jaminan akan dilakukan berdasarkan
ketentuan yang berlaku dalam pengikatan jaminan melalui fidusia dan hak
tanggungan.
Penanganan jaminan atau eksekusi yang ada pada jaminan fidusia tidak
berbeda dengan penanganan jaminan melalui hak tanggungan sebagaimana
dijelaskan sebelumnya yaitu melalui eksekusi titel eksekutorial, parate eksekusi
melalui pelelangan umum dan eksekusi di bawah tangan. Ketiga jenis eksekusi
ini memiliki kelebihan dan kekurangan pada pelaksanaannya sehingga dalam
praktek tidak semua eksekusi digunakan oleh lembaga keuangan mikro Syariah.
Eksekusi menggunakan titel eksekutorial dapat dilakukan dengan
penjualan objek jaminan dengan memperhatikan ketentuan Hukum Acara
Perdata yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen
Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal
258 Regelemen Acara Hukum untuk daerah luar Jawa dan Madura (Reglement
60 Pengikatan Jaminan secara Fidusia dan Hak Tanggungan 61 Akad merupakan kesepakan kedua belah pihak yang mewajibkan keduanya untuk
melaksankan apa yang telah disepakati. Muhammad Maksum, Model-Modek Kontrak Dalam
Produk Keuangan Syariah, dalam Al-‘Adalah, Vol. XII, No. 1, 2014, h. 50
65
dot Regeling van het Rechtswezen de Gewesten Buiten Java en Madura).
Pelaksanaan penjualan benda jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara
Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR atau 258 RBg, yang
prosedur pelaksanaannya memerlukan waktu yang cukup lama.62
Penjualan barang jaminan bisa dilakukan dengan parate eksekusi (tanpa
keterlibatan pengadilan) melalui pelelangan umum. Akan tetapi dalam
prakteknya saat ini lembaga lelang enggan untuk melakukan pelelangan secara
langsung, kreditur diharuskan mendapatkan putusan ataupun penetapan
pengadilan terlebih dahulu, sehingga memerlukan keterlibatan pihak pengadilan.
Dalam berapa kasus, pihak debitur atau pihak ketiga melakukan perlawanan
terhadap penetapan pengadilan yang menetapkan pelaksanaan eksekusi benda
jaminan tersebut.63
Karena banyaknya lembaga keuangan mikro Syariah yang tidak
mendaftarkan jaminan fidusia dan hak tanggungan ke kantor yang berwenang,
dengan alasan karena biaya, waktu dan tidak praktis dalam bisnis.64 Sehingga
eksekusi titel eksekutorial dan parate eksekusi tidak bisa terapkan akibat
sertifikat yang tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup. Pendapat Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan tidak wajibnya pendaftaran fidusia.65
Membuat lembaga keuangan yang tidak mendaftarkan barang jaminan yang
diikatkan dengan jaminan fidusia dan hak tanggungan. Akibatnya dalam
pengikatan jaminan pada sebuah akad lembaga keuangan hanya melakukan di
bawah tangan antara lembaga keuangan dan debitur. Hal ini membuat dalam
praktek eksekusi lembaga keuangan lebih sering mengiakan eksekusi di bawah
62Anton Suryanto, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Mace, (Depok:
Prenadamedia Group, 2018), h. 127 63Anton Suryanto, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Mace, (Depok:
Prenadamedia Group, 2018), h. 143 64Muhammad Maksum, Penerapan Hukum Jaminan Fidusia Dalam Kontrak Pembiayaan
Syariah, dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. III, No. 1, 2015, h. 3 65 Muhammad Maksum, Penerapan Hukum Jaminan Fidusia Dalam Kontrak Pembiayaan
Syariah, dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. III, No. 1, 2015, h. 3
66
tangan, selain praktis dan biaya murah eksekusi di bawah tangan juga lebih
menguntungkan kedua belah pihak.
C. Kesesuaian Penanganan Barang Jaminan atas Pembiayaan Bermasalah di
Lembaga Keuangan Mikro Syariah Menurut Fatwa DSN-MUI dan
Ketentuan yang Berlaku
Dalam praktek di lembaga keuangan di Indonesia, bahkan dalam
pembiayaan mudharabah pun yang prinsinya kerja sama bank juga meminta
bukti kepemilikan jaminan kepada nasabah. Berdasarkan fatwa DSN-MUI
Nomor 7 tahun 2000 tentang Mudharabah, walaupun dalam prinsipnya
pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak
melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau
pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudahaib terbukti
melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam
akad.66 Terlihat bahwa, semua perikatan atau akad yang dilakukan di lembaga
keuangan harus disertai dengan barang jaminan untuk menjaga kepentingan
kreditur, jika terjadi gagal bayar atau wanprestasi. Dengan adanya barang
jaminan lembaga keuangan mempunyai kesempatan untuk melunasi utang
debitur gagal bayar dengan menjual barang jaminan yang telah di berikan dan
disepakati oleh debitur saat akad pokok dilakukan.
Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan lembaga keuangan untuk
meminta jaminan, baik berupa orang ataupun barang. Orang atau barang tersebut
digunakan sebagai penjamin atas pembiayaan yang diberiakan kepada nasabah.
Akibatnya, saat terjadi pembiaayaan bermasalah lembaga keuangan bisa
mengunakan jaminan tersebut untuk melunasi sisa utang yang dimiliki nasabah
yang bermasalah dalam pembiayaannya.
Pengikatan jaminan dengan prinsip fidusia dan hak tanggungan merupakan
pengikatan jaminan yang paling populer digunakan di lembaga keuangan.
Karena objek yang terdapat pada pengikatan tersebut. Obyek yang dijaminkan
pada pengikatan yang menggunakan prinsip fidusia ataupun hak tanggungan
66 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia, 2018),
h. 297
67
merupakan barang-barang yang mudah di cairkan. Ketika terjadi permasalahan
barang-barang yang menggunakan pengikatan fidusia dan hak tanggungan dapat
dengan mudah dijual atau dilelang secara umum untuk memperoleh dana cepat
dalam pelunasan utang.
Jenis pengikatan jaminan yang digunakan dalam akad sangat berpengaruh
terhadap penangan barang jaminan di kemudian hari. Misalnya pengikatan
jaminan dengan perjanjian di bawah tangan, tidak bisa dilakukan lelang secara
umum, sehingga mengharuskan penetapan pengadilan, jika kesepakatan para
pihak belum tercapai. Pengikatan jaminan yang memiliki kekuatan hukum yang
kuat apabila telah di daftarkan pada lembaga berwenang dan di buat di hadapan
notaris. Misalnya pengikatan barang jaminan yang sudah berupa gros akta yang
memiliki irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”
dapat di eksekusi secara langsung oleh penerima jaminan saat terjadi gagal bayar
oleh nasabah. Irah-irah yang tertera dalam akta tersebut belaku layaknya putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan eksekusi.
Setiap pengikatan jaminan yang menggunakan prinsip fidusia ataupun hak
tanggungan didaftarkan pada lembaga yang berwenang, agar memiliki kekuatan
hukum yang cukup. Namun dalam prakteknya KBMT Al-Jibaal dan KSPPS
Ubasyada lebih cenderung menggunakan pengikatan secara di bawah tangan,
tanpa melibatkan notaris atau pihak ketiga dalam pengikatannya karena
dianggap lebih praktis dan ekonomis. Secara hukum hal ini di bolehkan
berdasarkan asas pacta sunt servanda yang menyatakan bahwa para pihak dalam
perjanjian memiliki kepastian hukum dan oleh karenanya dilindungi secara
hukum, sehingga jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka
hakim dalam keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu
melaksankan kewajibanya sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian. Asas
yang dikemukan oleh Grotius ini mengambil prinsip-prinsip hukum alam,
khusunya kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji
mutlak untuk memenuhi janji tersebut. Karena janji yang mereka buat berlaku
layaknya undang-undang.
68
Kendala pengiktan secara di bawah tangan muncul saat terjadi pembiayaan
bermasalah. Kreditur tidak bisa langsung mengeksekusi barang jaminan untuk
pelunasan utang debitur yang pengikatanya dilakukan di bawah tangan. Karena
penjualan secara langsung dan pelelangan secara umum baru dapat dilakukan
Jika sudah ada bukti kesepakatan para pihak yang melakukan perikatan tersebut
yang tertuang dalam gros akta atau yang sudah memiliki akta yang dikeluarkan
oleh lembaga yang berwenang.
Konsekuensinya muncul saat terjadi pembiayaan bermasalah dan
mengharuskan penanganan barang jaminan untuk pelunasan utang debitur.
Lembaga mempunyai 2 (dua) pilihan dalam penanganannya yakni melalui
gugatan biasa ke pengadilan atau dengan eksekusi di bawah tangan. Dua cara ini
memiliki keunggulan dan kekurangan tersendiri, misalanya dalam gugatan bisa,
penanganan barang jaminan melalui gugatan biasa berlangsung layaknya
berperkara di pengadilan dalam kasus tertentu yang memiliki beberapa rentetan
agenda yang harus dilalui, mulai dari gugatan ke pengadilan, pembuktian,
hingga putusan dari pengadilan. Bahkan bisa lebih lama lagi, mengingat setiap
gugatan biasa yang masuk kepagadilan dan telah diputus, pihak yang keberatan
dengan putusan tersebut dapat mengajukan upaya hukum terhadap putusan
hakim berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali. Sementara dalam
penangan barang jaminan melalui gugatan biasa memiliki kekuata hukum yang
kuat, sehingga saat barang jaminan di jual berdasarkan perintah dari pengadilan
maka para pihak harus meneriamanaya.
Berbeda dengan penangan barang jaminan melalui gugatan biasa ke
pengadilan penangan barang jaminan yang dilakukan secara di bawah tangan
tidak membutuhkan waktu yang lama. Dimana saat kesepakatan terjadi antara
pihak, terhadap barang jamian dapat dilakukan penjulan berdasarkan harga yang
menguntungkan. Tentunya hal ini tidak membutuhkan banyak biaya karena
pihak yang terlibat atau lembaga dapat melakukan penjualan langsung terhadap
barang jaminan dan mengambil dana hasil penjualan barang tersebut untuk
pelunasan hutang nasabah. Sepintas terlihat mudah namun dalam prakteknya
banyak lembaga yang melakukan penjualan barang jamian secara di bawah
69
tangan tanpa melakuakan musyawarah terlebih dahulu dengan nasabah yang
menyerahkan barang jaminan. Akibatnya nasabah yang merasa dirugikan
dengan tindakan kesewenangan lembaga keuangan yang telah menjual barang
jaminan tanpa melakukan pemberitahuan kepada nasabah, bisa melakukan
gugatan ke pengadilan lantaran tidak puas dengan tindakan kesewenangan dari
lembaga keuangan. Jika peristiwa tersebut terjadi lembaga keuangan akan
mengalami banyak kerugian, mulai dari lamanya berperkara di pengadilan yang
membutuhkan banyak biaya, pelunasan utang debitur yang seharusnya bisa di
ambil dari hasil penjualan barang jaminan, baru bisa dilakukan pelelangan
setelah perkara tersebut di putus pengadilan. Akibat yang akan muncul dari
pengikatan jaminan yang dilakukan secara di bawah tangan harus menjadi
perhatian khusus lembaga keuangan dengan jaminan kepada lembaga
berwenang serta melibatkan pihak ketiga dalam pembuatan perjanjian.
Kultur kekeluargaan yang sangat baik yang di bangun oleh lembaga
keuangan mikro Syariah, membuat kreditur tidak kesulitan melakukan eksekusi
barang jaminan secara di bawah tangan, saat terjadi debitur gagal bayar. Di
KSPPS Ubasyada misalnya saat terjadi wanprestasi maka pihak lembaga
memberikan solusi-solusi agar barang debitur tidak dieksekusi. Bahkan pihak
lembaga memberikan toleransi kepada debitur yang beritikad baik dengan
membayar angsuran utang semampunya. Saat itikad baik masih ditunjukkan
debitur, walaupun hanya mampu membayar angsuran Rp. 10.000,- setiap
minggunya, lembaga keuangan sangat menghargai itikad baik yang di tunjukan
nasabah yang beritikad baik tersebut dengan tidak melakukan eksekusi terhadap
barang jaminan yang diberikan.
Kultur kekeluargaan yang baik yang diciptakan lembaga berimbas besar
pada praktek penanganan barang jaminan. Sebelum melakukan penanganan
barang jaminan, setiap pembiayaan bersalah yang tejadi di lembaga keuangan
mikro, kepada nasabah diberikan somasi atau surat peringatan keharusan
membayar sisa utang kepada lembaga sebanyak 3 kali somasi, serta melakukan
pendekatan persuasif agar nasabah memiliki itikad baik dalam pelunasan sisa
utangnya. Dalam hal somasi tidak di respons nasabah sebagaimana mestinya
70
lembaga keuangan melakukan penjualan barang jaminan tanpa ataupun hadirnya
nasabah. Data dua tahun terakhir dari 2016 sampai 2017. Pembiayaan yang
masuk pada lembaga keuangan KSPPS Ubasyada dengan total 7.2 milyar pada
tahun 2016 dan 6.4 milyar pada tahun 2017,67 yang didominasi dengan akad
murabahah dengan total piutang 3.5 milyar, hanya melakukan 8 (delapan) kali
penjualan barang jaminan akibat dari pembiayaan bermasalah.68
Kultur kekeluarga yang baik tersebut pengaruh besar terhadap kesuksesan
lembaga dalam penanganan barang jaminan untuk pelunasan sisa utang. Dari 8
(delapan) pembiayaan yang mengharuskan penanganan barang jaminan dalam
pelunasan sisa utang, dilakukan secara dibawah tangan yang juga muncul atas
permintaan debitur. Barang yang dijaminkan dan yang dijualpun beragam,
terdiri dari 1 unit mobil dengan 1 nasabah yang mengalami gagal bayar, 6 unit
sepeda motor dengan 6 nasabah pula, serta kulkas dan tv yang di jual untuk
pemenuhan sisa utang satu nasabah. Penjualan secara dibawah tangan selain
lebih cepat juga lebih ekonomis dan lebih menguntungkan kedua belah pihak.
Penjualan di bawah tangan bisa memberikan keutungan besar, namun juga
bisa mengalami kerugian, bahkan tidak cukup untuk menutupi sisa utang
nasabah. Jika barang jaminan di jual oleh orang yang mengerti harga pasar dan
mampu menjual dengan harga yang tinggi tentu hal tersebut memberikan
keuntungan kepada kedua belah pihak. Sebaliknya jika penjualan dilakukan
sebisanya tentu hal tersebut akan merugikan debitur karena hasil penjualan
barang jaminan tidak cukup untuk menutupi sisa utangnya. Di KSPPS Ubasyada
penjualan barang jaminan di bawah tangan bisa terlaksana setelah mendapat
kuasa dari debitur dalam bentuk surat kuasa. Surat kuasa tersebut menjadi bukti
kesepakan penjualan barang jaminan secara di bawah tangan antara para pihak.
Hal yang sama juga diterapkan KBMT Al-Jibaal, jika terjadi pembiayaan
bermasalah KBMT melakukan pendekatan dengan mendatangi rumah debitur
untuk memberikan solusi-solusi penanganan dan penagihan utang debitur. Hal
67 Laporan Rapat Anggota Tahunan (RAT) KSPPS Ubasyada tahun 2016 dan 2017. 68 Wawancara Via Telphone dengan Ibu Yeni selaku Manajer KSPPS Ubasyad pada
Tanggal 28 Oktober 2018.
71
ini dilakukan agar muncul itikad baik dari debitur untuk melanjutkan pelunasan
utang yang masih tersisa. Sejak 2016 sampai 2017 KBMT Al-Jibaal hanya
melakukan 2 (dua) kali penjualan barang jaminan untuk pelunasan utang, yang
keduanya muncul atas permintaan debitur.69 Total 1.6 milyar pembiayaan
kepada 215 nasabah di tahun 2016 dan 198 nasabah pada tahun 201770. Dua kali
penjualan berupa 2 unit sepeda motor atas 2 pembiayaan bermasalah dilakukan
secara di bawah tangan.
Kelebihan dana setelah dilakukan penjualan barang jaminan kedua lembaga
keuangan mikro syariah, sama-sama mengembalikan sisanya kepada debitur,
namun saat terjadi kekurangan setelah penjualan dilaksanakan, kreditur tetap
melakukan penagihan sampai utang debitur lunas dibayar. Hal ini sejalan dengan
ketentuan yang tertuang dalam Fatwa DSN MUI Nomor 25 tahun 2002 tentang
Rahn.
Secara hukum positif dan fatwa penanganan barang jaminan yang
diterapkan di lembaga keuangan mikro Syariah khususnya yang di lembaga
keuangan mikro Syariah KBMT Al-Jibaal dan KSPPS Ubasyada sudah sejalan
dengan Syariah dan ketentuan yang berlaku. Pengikatan jaminan yang ada sudah
mengacu pada hukum positif sementara kelebihan dan kekurangan dana hasil
penjualan barang jaminan sudah mengacu pada Fatwa DSN-MUI Nomor
25/DSN-MUI/III/2002.
69 Wawancara Langsung dengan Ibu Riny Agustini selaku Manejer KBMT Al-Jibaal pada
tanggal 2 Oktober 2018 70 Laporan Rapat Anggota Tahunan (RAT) KBMT Al-Jibal tahun 2016 dan 2017
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan penulis
mengenai “Penanganan Barang Jaminan atas Pembiayaan Bermasalah pada
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi Kasus KBMT Al-Jibaal dan KSPPS
Ubasyada)” maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Penanganan barang jaminan atas pembiayaan bermasalah dilakukan oleh
lembaga keuangan untuk membayar sisa utang debitur akibat gagal dalam
pemenuhan prestasinya.
2. Praktek penanganan jaminan dengan parate eksekusi dan titel eksekutorial tidak
digunakan oleh lembaga keuangan mikro syariah karena proses yang lama serta
membutuhkan biaya yang mahal.
3. Eksekusi di bawah tangan menjadi pilihan lembaga keuangan mikro dalam
penanganan barang jaminan. Hal tersebut dipilih karena dianggap lebih efisien
serta tuntutan dari masyarakat yang ingin cepat melunasi utangnya. Jika dalam
penjualan barang jaminan setelah dibayarkan untuk melunasi utang debitur
terdapat kelebihan makan kelebihan dan tersebut akan dikembalikan kepada
debitur namun apabila masih terdapat kekurangan, debitur berkewajiban untuk
membayar sisa utangnya.
B. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan mengenai “Penanganan
Barang Jaminan atas Pembiayaan Bermasalah pada Lembaga Keuangan Mikro
Syariah (Studi Kasus KBMT Al-Jibaal dan KSPPS Ubasyada)”. Maka saran penulis
sekiranya bermanfaat untuk lembaga keuangan mikro Syariah khususnya KBMT
Al-Jibaal dan KSPPS Ubasyada agar dalam melakukan pengikatan jaminan
melibatkan pihak ketiga yaitu notaris serta mendaftarkannya kepada lembaga yang
berwenang.
Skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dari segi penulisan maupun
dari segi pengambilan data, sehingga penulis harapkan dikemudian hari bila ada
73
yang akan melakukan penelitian lebih lanjut kiranya dapat melakukan penelitian
yang cakupanya lebih luas lagi sehingga memiliki informasi dan cakupan data yang
libih luas.
74
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Al-Mundziri, Abdul Qawi, Ringkasan Shahih Muslim, Solo: Insan Kamil, 2012.
Amalia, Euis, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam; Pengantar Peran LKM
dan UKM di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Andriyani, Shinta, Tesis yang berjudul: Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia di
Perum Pegadaian Kota Semarang, Universitas Diponegoro Semarang, 2007.
AZ-Zuhaili, Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:
Gema Insani, 2011.
Bank Indonesia Direktorat Perbankan Syariah, Kamus Istilah Keungan dan
Perbankan Syariah.
Buku Laporan Rapat Anggota Tahunan, KBMT AL-Jibaal Tahun 2016
Buku Laporan Rapat Anggota Tahunan, KBMT AL-Jibaal Tahun 2017
Buku Laporan Rapat Anggota Tahunan, KSPPS Ubasyada Tahun 2016
Buku Laporan Rapat Anggota Tahunan, KSPPS Ubasyada Tahun 2017
Djamil, Faturrahman, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan DI Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1993.
Firdaus, Rachmat dan Maya Ariyanti, Manajemen Perkreditan Bank Umum.
Bandung: ALFABETA, 2011.
75
Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,
2015.
Jaenal Ahmadi Arifin, dan M Fahmi.. Metode Penelitian Hukum Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010.
Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Jakarta: Kencana
Persada Media Group, 2008.
Muljadi, Kartini dan Gunawan, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai
dan Hipotek, 2005.
Musjtari, Dwi Nurul, Penyelesaian Sengketa Dalam Praktik Perbankan Syariah,
Yogyakarta: Nuha Medika, 2012.
Profil Koperasi BMT Al-Jibaal antara Koperasi BMT Al-Jibaal dengan Baznas,
2016
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan DI Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Sjadeni, Sutan Reny, Kebebbasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Ban di Indonesia, Jakarta: Institusi
Bankir Indonesia, 1993.
76
Suadi, Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Jakarta: Prenadamedia,
2018
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT.Intermata, 1963.
Sudarsono, Heri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi Dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia, 2003.
Sudarsono, Heri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi Dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia, 2003.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta :PT. Raja Grafindo
Persada, 1997.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta :PT. Raja Grafindo
Persada, 1997.
Suryanto, Anton, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Mace, Depok:
Prenadamedia Group, 2018.
Susilo, Y. Sri, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000.
Thomas, Suyanto, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1995.
Trisadini, Transaksi Bank Syariah, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013.
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2012.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001.
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 2003.
77
B. Jurnal
Abdulkadir, Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Adi, Nur Kumaladewi, Eksekusi Kendaraan Bermotor sebagai Jaminan Fidusia
yang berada pada Pihak Ketiga, Jurnal Repertorium Volume 11, 2015
Haprabu, Satya dan Burhanudin Harahap. 2017. Penjualan Lelang Barang Jaminan
Hak Tanggungan Menurut Perspektif Hukum Islam, Jurnal Fakultas
Hukum, Universitas Sebelas Maret: Surakarta.
Haprabu, Satya. 2016. Pelelangan Benda Jaminan Hak Tanggungan Pada
Pembiayaan Syariah Dalam Perspektif Hukum Jual Beli Menurut Hukum
Islam, Tesis, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas
Maret: Surakarta.
Luthfida, Lulu, M. Roji Iskandar dan N. Eva Fauziah. 2016. Analisis Penerapan
Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn pada
Kelebihan Hasil Jual Lelang Barang Jaminan di BPRS AL SALAAM
(Mohammad Toha Bandung), Jurnal Prodi Keuangan dan Perbankan
Syariah, Fakultas Syariah, Universitas Islam: Bandung
Maksum, Muhammad, Model-Modek Kontrak Dalam Produk Keuangan Syariah,
Jurnal Al-‘Adalah, Vol. XII, No. 1, 2014.
Maksum, Muhammad, Penerapan Hukum Jaminan Fidusia Dalam Kontrak
Pembiayaan Syariah, dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. III, No. 1, 2015.
Sumaksari, Bela Dina Putri. 2013. Kesesuaian Pelaksanaan Lelang Barang
Jaminan Rahn Bermasalah Berdasarkan Farwa Dewan Syariah Nasional
Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 (Studi di P.T Bank BRI Syariah Cabang Kota
Malang), Jurnal Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas
Brawijaya: Malang
78
C. Peraturan Perndang-Undang
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 68/DSN-MUI/III Tahun 2008 tentang
Rahan Tasjily
Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Peraturan Bank Indonesia No. 13/9/PBI/2011 tanggal 8 Februari 2011tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang
Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1965 tentang Penanaman Modal Asing
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Undang-Undang Republik Indonesia Noomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro
79
LAMPIRAN
80