pemicu 2

Upload: ghina-tsamara

Post on 01-Nov-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pemicu

TRANSCRIPT

LAPORAN DISKUSIPEMICU 2MODUL INFEKSI DAN IMUNOLOGI

Disusun Oleh :

Kelompok Diskusi 1

Benyamin S.I. HutagaolI11107050Natuna Adi PutraI11109095Deasy MirayashiI11110003Bakri Bayquni NasutionI11110010Titi Widya LestariI11110015Yudo PrabowoI11110017Reci MaulitaI11110032Jenri SutrisnoI11110037HerlidaI11110048Galih Miawan Haryo SaputroI11110055Ika PurwantiI11110057Vini CahyaniI11110061

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TANJUNGPURAPONTIANAK2013

Pemicu 2Pak Suripto, 35 tahun, adalah seorang anggota Polri yang tinggal di Bogor. Ia dibawa ke RS karena menggigil, demam tinggi, berkeringat, pucat dan sakit kepala. Sebelumnya, ia bertugas selama 6 bulan di Timika dan baru kembali bertugas di Jawa selama 3 bulan. Selama bertugas di Papua ia sudah 2 kali mengalami sakit seperti ini dan berobat ke dokter di RS Polri. Teman-teman Pak Suripto ada juga yang sakit serupa waktu bertugas di Wamena tapi tidak pernah kambuh lagi sejak kembali bertugas di Jawa.A. Klarifikasi dan DefinisiDemam: Demam merupakan suatu keadaan peningkatan suhu diatas normal yang disebabkan oleh perubahan pada pusat pengaturan suhu tubuh.

B. Kata Kunci Menggigil Demam tinggi Bertugas di Timika selama 6 bulan Riwayat penyakit berulang

C. Rumusan MasalahSeorang laki-laki berusia 35 tahun datang dengan keluhan menggigil, demam tinggi, berkeringat, pucat dan sakit kepala, disertai riwayat pernah bekerja di Timika selama 6 bulan.

D. Analisis MasalahLaki-laki (35 tahun)

Anamnesis

Riwayat: pernah bekerja di Timika 6 bulan, pernah mengalami penyakit yang sama 2 kaliKeluhan penyerta: menggigil, berkeringat, pucat, sakit kepalaKeluhan utama:Demam tinggi

Pemeriksaan Fisik

DD : Infeksi

Virus: dengueBakteri: Demam TifoidParasit: Malaria

Darah rutin Widal Test Rapid test MalariaPemeriksaan Penunjang

Diagnosis Kerja

Terapi dan Prognosis

E. HipotesisSeorang laki-laki berusia 35 tahun mengalami malaria, dengan diagnosis banding DBD dan demam tifoid, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untung menegakkan diagnosis kerja.

F. Pertanyaan Diskusi1. Bagaimana fisiologi pengaturan suhu tubuh? 2. Bagaimana patofisiologi demam?3. Apa saja tipe-tipe demam?4. Bagaimana respon imun terhadap parasit?5. Bagaimana respon imun terhadap virus?6. Bagaimana respon imun terhadap bakteri?7. Apa yang dimaksud dengan malaria?8. Apa saja jenis dan gejala malaria?9. Bagaimana siklus hidup plasmodium?10. Bagaimana epidimiologi dan etiologi malaria?11. Bagaimana patogenesis malaria?12. Bagaimana cara mendiagnosis malaria?13. Bagaimana tatalaksana dan prognosis malaria?14. Bagaimana pencegahan penyakit malaria?15. Apa saja komplikasi dari malaria?16. Bagaimana etiologi, epidemiologi, dan patogenesis DBD?17. Bagaimana diagnosis dan tatalaksana DBD?18. Bagaimana gejala klinis DBD?19. Bagaimana etiologi, epidemiologi, dan patogenesis demam tifoid?20. Bagaimana diagnosis dan tatalaksana demam tifoid?

G. Pembahasan1. Fisiologi Pengaturan Suhu TubuhSuhu tubuh manusia cenderung berfluktuasi setiap saat. Banyak faktor yang dapat menyebabkan fluktuasi suhu tubuh. Untuk dapat mempertahankan suhu tubuh manusia dalam keadaan konstan, diperlukan regulasi suhu tubuh. Suhu tubuh manusia diatur dengan mekanisme umpan balik(feed back)yang diperankan oleh pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Apabila pusat temperatur hipotalamus mendeteksi suhu tubuh yang terlalu panas, tubuh akan melakukan mekanisme umpan balik. Mekanisme umpan balik ini terjadi bila suhu tubuh inti telah melewati batas toleransi tubuh untuk mempertahankan suhu, yang disebut titik tetap(set point).Titik tetap tubuh akan dipertahankan agar suhu tubuh inti konstan pada 37C. Apabila suhu tubuh meningkat lebih dari titik tetap, hipotalamus akan terangsang untuk melakukan serangkaian mekanisme untuk mempertahankan suhu dengan cara menurunkan produksi panas dan meningkatkan pengeluaran panas sehingga suhu kembali pada titik tetap.

2. Patofisiologi DemamDemam ditimbulkan oleh senyawa yang dinamakan pirogen. Dikenal dua jenis pirogen yakni pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen yang berasal dari luar tubuh pejamu, sebagian besar terdiri dari produk mikroba, toksin atau mikroba itu sendiri, dan pirogen endogen yang diproduksi oleh berbagai jenis sel di dalam tubuh pejamu terutama sel monosit dan makrofag. Senyawa yang tergolong pirogen endogen ialah sitokin, seperti interleukin, tumor nekrosis faktor, dan interferon.( IDAI, 2012).Pirogen eksogen berkemampuan merangsang IL-1. Pirogen endogen secara langsung atau dengan perantaraan pembuluh limfe masuk sistme sirkulasi dan di bawah ke hipotalamus. Di dalam pusat pengendalian suhu tubuh pirogen endogen menimbulkan perubahan metabolik, antara lain sintesis prostaglandin E2 yang mempengaruhi pusat pengendalian suhu tubuh sehingga set point untuk suhu tersebut ditingkatkan untuk suhu tubuh yang lebih tinggi. Pusat ini kemudian mengirimkan impuls ke pusat produksi panas untuk meningkatkan aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk mengurangi aktivitasnya sehingga suhu tubuh meningkat atau terjadi demam (IDAI, 2012).Demam dimulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, yang akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2008).Temperatur suhu tubuh diatur oleh hipotalamus, pada neuron di preoptik hipotalamus dan posterior hipotalamus yang menerima dua sinyal melalui nervus perifer yang menstranmisikan informasi dari reseptor dingin atau panas di kulit dan temperatur darah. Suhu oral usia 18-40 tahun berkisar 36,80C+0,40C dan dikatakan demam jika suhu tubuh pagi >37,20C dan sore 37,70C.Demam adalah peningkatan suhu tubuh yang melewati variasi suhu normal harian dan terjadi berhubungan dengan peningkatan set point di hipotalamus. Ketika set point di hipotalamus meningkat, neuron di pusat vasomotor akan meningkat dan menyebabkan vasokontriksi, yang umumnya dimulai dari perifer di tangan dan kaki. Pada kebanyakan demam, suhu meningkat 1-20C. Menggigil merupakan mekanisme untuk meningkatkan produksi panas oleh otot, terjadi jika mekanisme konservasi panas gagal dilakukan oleh penaikan suhu darah. Produksi panas tanpa menggigil oleh hati juga berkontribusi untuk menaikkan suhu.Proses konservasi panas (vasokontriksi) dan produksi panas (menggigil dan peningkatan termogenesis tanpa menggigil) berlanjut sampai suhu darah yang mengaliri neuron hipotalamus sama dengan pengaturan termostat yang baru. Ketika set poin di hipotalamus diatur ulang menurun, sebagai respon terhadap antipiretik dan reduksi konsentrasi pirogen, terjadi proses pelepasan panas melalui vasodilatasi dan berkeringat.

Patogenesis Demam

Syarat terjadi demam harus ada pirogen. Pirogen adalah substansi yang dapat menginduksi demam. Pirogen eksogenous adalah pirogen yang terbentuk diluar tubuh pasien, kebanyakan adalah produk mikrobial, toksin mikrobial dan organisme utuh. Contoh klasik adalah lipopolisakarida (endotoksin) yang diproduksi semua bakteri gram negatif. Pirogen dari gram positif termasuk enterotoksin Staphylococcus aureus disebut juga superantigens.Pirogen endogenous meliputi sitokin pirogen, termasuk IL-1, IL-6, TNF, CNTF, dan IFN. IL-1 dan TNF akan memproduksi demam pada dosis rendah, IL-6 pada dosis yang lebih tinggi.Spektrum luas produk bakteri, jamur dan virus dapat menginduksi pelepasan dan sintesis pirogen endogen. Bagaimanapun juga, demam dapat menjadi manifestasi penyakit tanpa infeksi mikrobial, seperti proses inflamasi, trauma, nekrosis jaringan dan komplek antigen-antibodi.Selama demam, level PGE2 meningkat di hipotalamus dan ventrikel ketiga. Beberapa jenis sel dapat memproduksi sitokin pirogen, seperti IL-1, IL-6 dan TNF yang dilepas sel dan masuk ke sistem sirkulasi.walaupun efek sistemik dari sitokin sirkulasi memicu demam dengan menginduksi sintesis PGE2, dapat juga menginduksi di jaringan perifer. Peningkatan PGE2 di perifer dapat mengakibatkan mialgia nonspesifik dan arthralgia yang bersamaan dengan demam. Peningkatan PGE2 di otak akan memulai proses peningkatan set poin pada suhu inti.Ada 4 reseptor PGE2, dan sinyal setiap sel berbeda jalurnya. Dari keempat reseptor, reseptor ketiga (EP-3) penting untuk demam. Walaupun PGE2 penting untuk demam, itu bukan neurotransmitter. Pelepasan PGE2 dari endothelium hipotalamus memicu reseptor PGE2 pada sel glia dan menstimulasi pelepasan cepat cyclic AMP yang merupakan neurotransmitter, yang akan mengaktifkan akhir neuron dari pusat termoregulasi ke area. Peningkatan cAMP juga penting pada perubahan set poin hipotalamus secara langsung maupun tidak langsung (dengan menginduksi pelepasan neurotransmitter).

3. Tipe-tipe Demama. Demam septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.b. Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari.c. Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik. Contoh: demam pada endokarditis.d. Demam intermiten Pada demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana. Contoh: malaria, kalaazar, sepkikemia.e. Demam kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepanjang hari yang tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia. Contoh: lobar pneumonia, infeksi saluran kemih, brucellosis.f. Demam siklik Pada demam ini, kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula (Nelwan, 2012).

4. Respon Imun Terhadap ParasitGolongan parasit berupa protozoa (malaria, tripanosoma, toksoplasma, lesmania dan amuba) cacing, ektoparasit (kutu, tungau) menunjukkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitasnya yang bermakna terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Sekitar 30% popluasi dunia diduga terinfeksi parasit. Banyak parasit mempunyai siklus hidup kompleks yang sebagian terjadi di dalam tubuh manusia. Kebanyakan infeksi parasit bersifat kronis dan disebabkan oleh imunitas non-spesifik yang lemah dan kemampuan parasit untuk bertahan terhadap imunitas spesifik. Di samping itu, banyak antibody dan obat antiparasit tidak efektif lagi untuk membunuh parasit. Masyarakat yang hidup di daerah endemic berualng-ulang terpajan, sehingga memerlukan kemoterapi berulang kali yang sulit dilakukan.vaksin terhadap parasit juga belum berkembang. Vaksinasi terhadap protozoa sulit memberikan proteksi. Hal tersebut diduga karena diperlukan factor humoral (Ig G diduga berperan penting) dan selular. Pada malaria, antibody diduga protektif yang dapat mencegah merozoit (fase darah) memasuki sel darah merah. Imunitas terhadap jenis attau spesies yang satu tidak protektif terhadap yang lain.Sistem imun non spesifik dapat protektif terhadap malaria tertentu. Mereka yang memiliki antigen golongan darah Fy (a-b-) Duffy, imun terhadap Plasmodium vivax dan Hb sel darah merah pada anemia bulan sabit mencegah P. falciparum berkembang dalam sel.Tripanosooma tus menerus menguji sitem imun dengan memrpoduksi pirogen dan mantel antigen yang berubah-ubah atau mutasi sehingga sulit untuk dikenal dan dieliminasi system imun.Toksoplasma melepaskan diri dari system imun, dapat menutupi diri dengan laminin dan matriks protein ekstraselular yang mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif. Protozoa lainnya seperti lesmania mempunyai predileksi untuk menginfeksi makrofag dan memerlukan respon sellular untuk mengeradikasinya. IFN- yang diproduksi sel Th 1 diduga merupakan sitokin terpenting untuk membunuh parasit.Sel T, terutama sel Tc, dapat menghancurkan parasit intraselular, misalnya T. cruzi. Limfokin yang dilepas sel T yang disensitasi dapat mengaktifkan makrofag untuk meningkatkan ekspresi reseptor untuk Fc dan C3, berbagai enim dan factor lain yang dapat meningkatkan sitotoksisitas. Peran humoral dan selular terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Respons imun terhadap parasit yang menimbulkan penyakit.Parasit Penyakit Mekanisme Imunitas Protektif Utama

Protozoa

Plasmodium MalariaAntibodi dan CD8+/CTL

LesmianaLesmaniasis (mukokutan, diseminasi)Th1 CD4+ mengaktifkan makrofag untuk membunuh parasit yang dimakan

TripanosomaTripanosomiasis afrikaAntibody

Entamoeba histolitikaAmebiasisAntibody, fagositosis

Metazoa

Skistosoma SkistosomiasisADCC atas peran eosinofil, makrofag

Filaria Filariasis CMI; peran antibody

4.1 Imunitas non spesifikMeskipun beberapa protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas non spesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut biasanya dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam pejamu oleh karena dapat beradaptasi dan dapat menjadi resisten terhadap system imun pejamu. Respon imun non spesifik utama terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut yang resisten terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan beberapa di antaranya dapat hidup dalam makrofag.Fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan mikrobiosidal untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk dimakan. Banyak cacing memiliki lapisan permukaan tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Beberapa cacing juga mengaktifkan komplemen melalui jalur alternative. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen.4.2 Imunitas spesifik1. Respon imun yang berbedaBerbagai protozoa dan cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hiudp dan patogenesisnya. Hal itu menimbulkan respon imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit. Infeksi yang kronik itu akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang meningkatkan kadar immunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen.1. Infeksi cacingPertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. Il-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enim yang menghancurkan parasit.Eosinofil lebih efektif dibandingkan leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibandingkan enzim proteolitik dan ROI yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang non spesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna.Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE dan juga mungkin dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubngi cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbs natrium yang tergantung glukosa oleh histamine dan prostaglansin asal sel mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk difagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependent menghasilkan produksi histamine yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, MBP dan neurotic=oksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing.1. FilariasisFilariasis limfatik dan sumbatan saluran limfe oleh parasit menimbulkan CMI kronik, fibrosis dan akhirnya limfedema berat. Investasi persisten parasit kronik sering disertai pembentukan kompleks antigen parasit dan antibody spesifik yang dapat diendapkan di dinding pembuluh darah dan glomerulus ginjal yang menimbulkan vaskulitis dan nefritis. Penyakit kompleks imun dapat terjadi pada skistosoma dan malaria.Filariasis limfatik menunjukkan gambaran klinis dengan spectrum luas pada berbagai pejamu, mulai dari besar jumlah parasit dengan sedikit gejala klinis sampai yang kronis dengan parasit yang sedikit ditemukan. Sifat system imun pada individu itu berbeda.Dengan munculnya mikrofilaria dalam darah, sitokin Th2 menjadi dominan, disertai dengan cepat menghilangnya respons sel T dan peningkatan mencolok dalam sintesis IgG4 spesifik parasit. Induksi toleransi sel T terhadap parasit diduga terjadi dalam subset Th1. Pada individu yang sakit, toleransi dipatahkan dan respons terhadap Th1 dan Th2 meningkat secara dramatis. Baik respon Th1 dan Th2 meningkat terhadap antigen filarial ditemukan pada individu yang imun terhadap infeksi ulang. Oleh karena itu kedua respons Th dianggap penting pada proteksi pejamu dan pathogenesis filariasis.1. GranulomaPada beberapa infeksi, cacing tidak dapat dihancurkan oleh system imun dengan cara yang sudah disebut sebelumnya. Dalam hal ini badan berusaha mengucilkan parasit dengan membentuk kapsul yang terdiri atas sel-sel inflamasi. Reaksi tersebut merupakan respons selular terhadap pelepasan antigen kronik setempat. Makrofag yang dikerahkan melepas factor fibrigenik dan merangsang pembentukan jaringan granuloma dan fibrotic. Hal tersebut terjadi atas pengaruh sel Th1 dan defisiensi sel T akan mengurangi kemampuan tubuh untuk membentuk granuloma dna kapsul. Pembentukan granuloma terlihat jelas di sekitar telur cacing skistosoma di hati. Fibrosis yang berat yang berhubungan dengan CMI dapat merusak arus darah vena di hati dan menimbulkan hipertensi portal dan sirosis.1. Respons Th1 dan Th2 pada infeksi parasitRespons terhadap infeksi seperti pada lepra dan lesmania berhubungan dengan respons Th1 dan Th2. Pada infeksi parasit intraselular, gambaran kedua respons tersebut berhubungan dengan progni=osis baik dan buruk. Sebetulnya dalam menentukan perjalanan penyakit, peran Th1 dan Th2 pada banyak penyakit parasit lebih kompleks.5. Respon Imun Terhadap VirusMelibatkan mekanisme efektor imun spesifik bersama-sama dengan mekanisme pertahanan tidak spesifik berperan dalam eliminasi virus penginfeksi. Hasil akhir infeksi bergantung pada keefektifan mekanisme defensif bertahan terhadap mekanisme offensive virus.Respon imun innate terhadap infeksi virus secara primer melalui induksi interferon tipe I (IFN- dan IFN-) dan aktivasi sel NK. Double stranded RNA (dsRNA) diproduksi sepanjang siklus hidup virus yang dapat menginduksi ekspresi IFN- dan IFN- oleh sel yang terinfeksi. Makrofag, monosit dan fibroblast juga mampu mensintesis sitokin ini, namun mekanisme produksi interferon tipe I pada sel tidak sepenuhnya diketahui. IFN- dan IFN- dapat menginduksi respon antivirus atau resistensi replikasi virus dengan berikatan ke reseptor IFN- dan IFN-. Sekali berikatan, IFN- dan IFN- mengaktifkan jalur JAK-STAT, yang akan menginduksi transkipsi beberapa gen. Satu dari gen ini mengkode enzim yang dikenal sebagai 2`-5`-oligo-adenylate synthetase, yang akan mengaktifkan ribonuklease (RNAse L) yang akan mendegradasi RNA virus. Gen yang lain diaktifkan oleh penempelan IFN- dan IFN- ke reseptornya juga berkontribusi pada inhibisi replikasi virus, seperti ikatan IFN- dan IFN- ke reseptor spesifik protein kinase yang disebut dsRNA depending protein kinase (PKR) yang akan menginaktifkan sintesis protein, dan menghambat replikasi virus pada sel yang terinfeksi.Ikatan IFN- dan IFN- ke reseptor sel NK menginduksi aktivitas lisis, membuat sel NK lebih efektif dalam membunuh sel yang terinfeksi virus. Aktivitas dari sel NK juga ditingkatkan oleh IL-12, sitokin yang diproduksi selama respon awal infeksi virus.Antibodi spesifik untuk antigen permukaan virus juga berperan penting pada proses penyebaran virus selama fase akut dan proteksi melawan reinfeksi. Jika antibodi terhadap virus terbentuk, akan dapat menghambat infeksi melalui pencegahan perlekatan partikel virus ke sel host. Sebagai contoh, IgA sekretori pada sekresi mucus memainkan peran terhadap virus dengan menghambat perlekatan virus ke sel epitel. Antibodi dan komplemen juga dapat mengaglutinasi partikel virus dan opsonisasi untuk memfasilitasi fagositosis yang dimediasi reseptor Fc atau C3b.Imunitas yang dimediasi virus juga penting pada kontrol virus dan pemusnahan. Pada umumnya sel CD8 Tc dan CD4 Th1 adalah komponen utama, walaupun kadang-kadang sel CD4 Tc juga dilibatkan. Sel Th1 yang diaktifkan akan memproduksi sitokin, termasuk IL-2, IFN-. IFN- bekerja langsung dengan menginduksi status antivirus sel. IL-2 bekerja tidak langsung dengan membantu perekrutan prekursor CTL ke populasi efektor. IL-2 dan IFN- mengaktifkan sel NK, yang berperan pada pertahanan sel host pada hari pertama infeksi virus sampai respon CTL berkembang.

Mekanisme respon imun selular dan humoral terhadap virus

Induksi aktivitas antivirus oleh IFN- dan IFN-. Interferon ini berikatan dengan reseptor IFN, yang akan menginduksi sintesis 2-5(A) synthetase and protein kinase (PKR). Aksi 2-5(A) synthetase berakhir pada aktivasi of RNAse L, yang akan mendegradasi mRNA. PKR menginaktifkan inisiasi faktor translasi eIF-2 dengan fosforilasi. Kedua jalur berakhir pada inhibisi sintesi protein dan menghambat replikasi virus.

6. Respon Imun Terhadap BakteriBakteri dari luar yang masuk tubuh (jalur eksogen) akan segera diserang sistem imun nonspesifik berupa fagosit, komplemen, APP atau dinetralkan antibodi spesifik yang sudah ada dalam darah. Antibodi dan komplemen dapat juga berperan sebagai opsonin oleh karena fagosit memiliki Fc-R dan C-R. Baik sel polimorfonuklear maupun makrofag memiliki Fc-R untuk IgA. Sitokin inflamasi seperti IFN- dapat meningkatkan eskpresi reseptor tersebut dengan cepat. Pertahanan pejamu terdiri atas sarana-sarana untuk memerangi patogen lokal.Beberapa bakteri intraseluler (dalam monosit, makrofag) seperti mikrobakteri, L. monositogenes, S. typhi dan spesies brusela dapat mnghindari pengawasan sistem imun seperti antibodi. Dalam hal ini tubuh akan mengaktifkan sistem imun selular seperti respons CMI (CD4+, CD8+, dan sel NK). Bakteri yang dapat menembus pertahanan tubuh akan dihadapkan dengan berbagai komponen sistem imun.

7. Definisi MalariaMalaria adalah suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan pembesaran limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.

8. Jenis dan Gejala Malariaa. Malaria Tertiana/Vivax: disebabkan oleh Plasmodium vivax. Masa inkubasi 12-17 hari, kadang-kadang 12-20 hari. Pada hari-hari pertama panas iregular, kadang-kadang remitten atau intermitten. Pada akhir minggu tipe panas menjadi intermitten dan periodik setiap 48 jam dengan gejala klasik trias malaria. Trias malaria terdiri dari:(1). Periode dingin (15-60 menit): mulai dari menggigil, badan bergetar, gigi bergelumutuk dan diikuti dengan meningkatnya temperatur.(2). Periode panas: muka merah, nadi cepat, panas badan tetap tinggi diikuti dengan keadaan berkeringat.(3). Periode berkeringat: penderita berkeringat banyak, temperatur turun dan penderita merasa sehat.Pada minggu kedua, limpa mulai teraba. Parasitemia mulai turun setelah 14 hari, limpa masih membesar dan panas masih berlangsung, pada akhir minggu kelima panas mulai turun secara krisis, dan anemia. Selain itu jenis malaria ini juga diikuti gejala prodromal (gejala yang timbul sebelum demam) seperti lesu, malaise, sakit kepala, nyeri sendi, dan demam ringan.b. Malaria Malariae/Quartana: disebabkan oleh Plasmodium malariae, penyebarannya tidak seluas P.vivax dan P.falciparum. Masa inkubasi 18-40 hari. Manifestasi klinik seperti pada malaria vivax hanya berlangsung lebih ringan. Serangan paroksismal terjadi tiap 3-4 hari biasanya pada waktu sore dan parasitemia sangat rendah 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Pengecatan dapat dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishmans, atau Fields dan Romanowsky.Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan.2) Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda imunokromatografi, dalam bentuk dipstik. Tes ini sangat bermanfaat pada unit gawat darurat, pada saat terjadi kejadian luar biasa dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas lab serta untuk survey tertentu. Hal yang penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam lemari pendingin.3) Tes Antigen: P-F testYaitu mendeteksi antigen dari P.Falciparum (Histidine Rich Protein II). Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitifitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivax sudah beredar di pasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL.

4) Tes SerologiTes ini berguna mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dan test > 1:20 dinyatakan positif. Metode-metode tes serologi antara lain ELISA test, radio-immunoassay, indirect haemagglutination test, dan immuno-precipitation techniques. 5) PCRPemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi.

13. Tatalaksana dan Prognosis MalariaPrinsip pengobatan malaria yaitu: (1) Penderita tergolong malaria biasa (tanpa komplikasi) atau penderita malaria berat/dengan komplikasi. penderita dengan komplikasi/malaria berat memakai obat parenteral, malaria biasa diobati dengan per oral. (2) Penderita malaria harus mendapatkan pengobatan efektif, tidak terjadi kegagalan pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan pengobatan ACT (Artemisinin base Combination Therapy). (3) Pemberian pengobatan denga ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan malaria positif dan dilakukan monitoring efek/respon pengobatan. (4) Pengobatan malaria klinis/tanpa hasil pemeriksaan malaria memakai obat non ACT.a. Golongan artemisinSecara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisin (ART) telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan. Selain itu artemisin juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit. Artemisin juga efektif terhadap semua spesies, P. falcifarum, P. vivax maupun lainnya. Laporan kegagaln ART belum dilaporkan saat ini.Artemisin berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bahasa China sebagai Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok sekusterpen lakton mempunyai beberapa formula seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin. Obat ini bekerja sangat cepat dengan waktu paruh kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja sebagai obat sizontocidal darah. Karena beberapa penelitian mendapatkan hasil bahwa pemakaian obat tunggal menimbulkan terjadinya rekrudansi, maka direkomendasikan untuk dipakai dengan kombinasi obat lain. Obat ini cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaanya ada yang oral, parenteral/injeksi dan suppositoria.b. Pengobatan ACT (Artemisinin base Combination Therapy)Penggunaan artemisin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya rekrudansi. Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisin dengan mengkombinasikan dengan obat anti malaria lain. Hal ini disebut Artemisin base Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap atau kombinasi tidak tetap. Kombinasi dosis tetap lebih memudahkan pemberian pengobatan. Contoh kombinasi dosis tetap ialah Co-artem, yaitu kombinasi artemeter (20 mg) + lumefantrine (120 mg). dosis Coartem 4 tablet 2x1 sehari selama 3 hari. Kombinasi tetap yang lain ialah artekin yaitu dihidroartemisinin (40 mg) + piperakuin (320 mg). dosis artekin untuk dewasa : dosis awal 2 tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam kemudian masing-masing 2 tablet.Kombinasi ACT yang tidak tetap antara lain; Artesunat + meflokuin, artesunat + amodiakin, artesunat + klorokuin, artesunat + sulfadoksin-pirimetamin, artesunat + pironaridin, artesunat + chlorproguanil-dapson, dll.Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini adalah kombinasi artesunat + amodiakuin dengan nama dagang artesdiaquine atau artesumon. Dosis untuk orang dewasa yaitu artesunat (50 mg/tablet) 200 mg pada hari I-III (4 tablet). Untuk amodiakuin (200 mg/tablet) yaitu 3 tablet hari I dan II dan 1 tablet hari III. Artesumoon adalah kombinasi yang dikemas dalam blister dengan aturan pakai tiap blister / hari diminum selama 3 hari.Untuk pemakaian obat golongan artemisin harus disertai/dibuktikan dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat antigen yang positif. Bila malaria klinis/tidak ada hasil pemeriksaan parasitologik tetap menggunakan obat non ACT.

c. Pengobatan malaria dengan obat-obat non ACTWalaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non ACT telah dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin. Di beberapa daerah pengobatan menggunakan obat standard seperti klorokuin dan sulfadoksin pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan.1) Klorokuin difosfat/sulfat 250 mg garam (150 mg basa)Dosis 25 mg basa/KgBB untuk 3 hari, terbagi 10 mg/KgBB hari I dan II, 5 mg/KgBB pada hari ke III. Dipakai untuk P. falciparum maupun P. vivax.2) Sulfadoksin-pirimetamin (SP) (500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin)Dosis orang dewasa 3 tablet dosis tunggal (1 kali). Dosis anak memakai takaran pirimetamin 1,25 mg/KgBB. Obat ini hanya dipakai untuk Plasmodium falciparum dan tidak efektif untuk P. vivax. Bila terjadi kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan SP.3) Kina sulfat (1 tablet 220 mg)Dosis yang dianjurkan ialah 3 x 10 mg/KgBB selama 7 hari, dapat dipakai untuk P. falciparum maupun P. vivax. Kina dipakai sebagai obat cadangan mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP.4) Primakuin (1 tablet 15 mg)Dipakai sebagai pelengkap/pengobatan radikal terhadap P. falciparum maupun P. vivax. Pada P. falciparum dosisnya 45 mg (3 tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet; sedangkan untuk P. vivax dosisnya 15 mg/hari selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit.

14. Pencegahan Penyakit MalariaTindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang non-imun. Oleh karena itu masih sangat dianjurkan untuk tindakan pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara:1. Tidur dengan kelambu sebaiknya kelambu impregnated2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk3. Menggunakan pakaian yang panjang4. Memproteksi tempat tinggal atau kamar tidur dari nyamuk dengan kawat anti nyamukBila akan digunakan kemoprofilaktis perlu diketahui sensiivitas plasmodium ditempat tujuan. Bila daerah dengan klorokuin sensitif (seperti Minahasa) cukup profilaktis dengan 2 tablet klorokuin (250 mg klorokuin diphospat) 1 minggu sebelum berangkat dan 4 minggu setelah tiba kembali. Pada daerah resisten klorokuin dianjurkan doksisiklin 100 mg/hari atau mefloquin 250 mg/minggu atau klorokuin 2 tablet/minggu ditambah proguanil 200 mg/hari.Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Oleh karena yang berbahaya adalah P. falciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi terhadap P. falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit (Harijanto, 2009; WHO, 2013).

15. Komplikasi Malariaa. Malaria SerebralMerupakan komplikasi paling berbahaya. Ditandai dengan penurunan kesadaran (apatis, disorientasi, somnolen, stupor, sopor, koma) yang dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari atau mendadak dalam waktu hanya 12 jam, sering disertai kejang. Penilaian penurunan kesadaran ini dievaluasi berdasarkan GCS. Diperberat karena gangguan metabolisme, seperti asidosis, hipoglikemi, gangguan ini dapat terjadi karena beberapa proses patologis.Diduga terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia otak. Sumbatan karena eritrosit berparasit sulit melalui kapiler karena proses sitoadherensi dan sekuestrasi parasit. Tetapi pada penelitian Warrell, menyatakan bahwa tidak ada perubahan cerebral blood flow, cerebro vascular resistence, atau cerebral metabolic rate for oxygen pada pasien koma dibanding pasien yang telah pulih kesadarannya.Kadar laktat pada cairan serebrospinal (CSS) meningkat pada malaria serebral yaitu >2.2 mmol/L (1.96 mg/dL) dan dapat dijadikan indikator prognostik: bila kadar laktat >6 mmol/L memiliki prognosa yang fatal.Biasanya disertai ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia, dan edema paru. Bila terdapat >3 komplikasi organ, maka prognosa kematian >75 %.b. Gagal Ginjal Akut (GGA)Kelainan fungsi ginjal dapat terjadi prerenal karena dehidrasi (>50%), dan hanya 510 % disebabkan oleh nekrosis tubulus akut. Gangguan fungsi ginjal ini oleh karena anoksia yang disebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat dehidrasi dan sumbatan mikrovaskular akibat sekuestrasi, sitoadherendan rosseting.Apabila berat jenis (BJ) urin 1.05, rasio urin:darah > 4:1, natrium urin < 20 mmol/L menunjukkan dehidrasi.Secara klinis terjadi oligouria atau poliuria. Beberapa faktor risiko terjadinya GGA ialah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, hemoglobinuria.Dialisis merupakan pengobatan yang dapat menurunkan mortalitas. Seperti pada hiperbilirubinemia, anuria dapat berlangsung terus walaupun pemeriksaan parasit sudah negatif.c. Kelainan Hati (Malaria Biliosa)Ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum, mungkin disebabkan karena sekuestrasi dan sitoadheren yang menyebabkan obstruksi mikrovaskular. Ikterik karena hemolitik sering terjadi. Ikterik yang berat karena P. falsiparum sering penderita dewasa hal ini karena hemolisis, kerusakan hepatosit. Terdapat pula hepatomegali, hiperbilirubinemia, penurunan kadar serum albumin dan peningkatan ringan serum transaminase dan 5 nukleotidase. Ganggguan fungsi hati dapat menyebabkan hipoglikemia, asidosis laktat, gangguan metabolisme obat.d. Edema Paru (sering disebut Insufisiensi Paru)Sering terjadi pada malaria dewasa. Dapat terjadi oleh karena hiperpermiabilitas kapiler dan atau kelebihan cairan dan mungkin juga karena peningkatan TNF. Penyebab lain gangguan pernafasan (respiratory distress): 1) Kompensasi pernafasan dalam keadaan asidosis metabolic; 2) Efek langsung dari parasit atau peningkatan tekanan intrakranial pada pusat pernapasan di otak; 3) Infeksi sekunder pada paruparu; 4) Anemia berat; 5) Kelebihan dosis antikonvulsan (phenobarbital) menekan pusat pernafasan.e. HipoglikemiaHipoglikemi sering terjadi pada anakanak, wanita hamil, dan penderita dewasa dalam pengobatan quinine (setelah 3 jam infus kina). Hipoglikemi terjadi karena: 1) Cadangan glukosa kurang pada penderita starvasi atau malnutrisi; 2) Gangguan absorbsi glukosa karena berkurangnya aliran darah ke splanchnicus; 3) Meningkatnya metabolisme glukosa di jaringan; 4) Pemakaian glukosa oleh parasit; 5) Sitokin akan menggangu glukoneogenesis; 6) Hiperinsulinemia pada pengobatan quinine.Metabolisme anaerob glukosa akan menyebabkan asidemia dan produksi laktat yang akan memperburuk prognosis malaria beratf. Haemoglobinuria (Black Water Fever)Merupakan suatu sindrom dengan gejala serangan akut, menggigil, demam, hemolisis intravascular, hemoglobinuria, dan gagal ginjal. Biasanya terjadi pada infeksi P. falciparum yang berulang-ulang pada orang non-imun atau dengan pengobatan kina yang tidak adekuat dan yang bukan disebabkan oleh karena defisiensi G6PD atau kekurangan G6PD yang biasanya karena pemberian primakuin.g. Malaria AlgidTerjadi gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik 1 C, kulit tidak elastis, pucat. Pernapasan dangkal, nadi cepat, tekanan darah turun, sering tekanan sistolik tak terukur dan nadi yang normal.Syok umumnya terjadi karena dehidrasi dan biasanya bersamaan dengan sepsis. Pada kebanyakan kasus didapatkan tekanan darah normal rendah yang disebabkan karena vasodilatasi.h. AsidosisAsidosis (bikarbonat