pemetaan ekosistem mangrove di kawasan pesisir dalam upaya mitigasi bencana, kasus di pulau jawa

19
Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Dalam Upaya Mitigasi Bencana, Kasus di Pulau Jawa Yanelis Prasenja I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat dinamis terhadap perubahan, baik perubahan cuaca maupun perubahan biofisik. Kegiatan yang terjadi di pesisir sangat beragam seperti pengembangan pelabuhan sebagai prasarana perhubungan laut, pemukiman, industri, pariwisata, perikanan/pertambakan, pertanian dan lain sebagainya. Beberapa bencana yang sering terjadi di kawasan pesisir antara lain : banjir; erosi; sedimentasi; penyumbatan muara; intrusi air asin; rob; sea level rise; kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang lamun; tsunami; inundasi dan sebagainya. Bencana tersebut dapat disebabkan oleh faktor alamiah maupun merupakan dampak dari aktivitas manusia. Wilayah pesisir Indonesia laksana super mall-nya bencana, masih terngiang dalam ingatan kita ketika bencana melanda kawasan pesisir seperti gempa yang disusul tsunami di NAD (2004), dua bulan berselang, tsunami di pangandaran, tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai (2010). Selain itu bencana di pesisir lainnya seperti gelombang pasang yang menghancurkan ribuan rumah di pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, NTB dan NTT pada tahun 2007 dan juga banjir rob di sepanjang pantura Pulau Jawa hingga saat ini masih melanda. Untuk mengurangi dampak negatif bencana di wilayah pesisir perlu dilakukan upaya mitigasi lingkungan pesisir. Menurut UU 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mitigasi bencana merupakan upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik secara struktur atau fisik (pembangunan fisik alami dan/atau buatan) maupun nonstruktur atau non fisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Mitigasi merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Dalam penanganan bencana perlu dilakukan upaya mitigasi yang komprehensif yaitu kombinasi upaya struktural, seperti pembuatan prasarana dan sarana pengendali, dan upaya non-struktural, seperti pembuatan kebijakan mitigasi lingkungan pesisir dan penyadaran masyarakat.

Upload: abdul-haris

Post on 21-Nov-2015

106 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

ndak tahu ape jaknie

TRANSCRIPT

  • Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Dalam Upaya Mitigasi Bencana, Kasus

    di Pulau Jawa

    Yanelis Prasenja

    I. Pendahuluan

    1.1 Latar Belakang

    Kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat dinamis terhadap perubahan, baik

    perubahan cuaca maupun perubahan biofisik. Kegiatan yang terjadi di pesisir sangat beragam

    seperti pengembangan pelabuhan sebagai prasarana perhubungan laut, pemukiman, industri,

    pariwisata, perikanan/pertambakan, pertanian dan lain sebagainya. Beberapa bencana yang

    sering terjadi di kawasan pesisir antara lain : banjir; erosi; sedimentasi; penyumbatan muara;

    intrusi air asin; rob; sea level rise; kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang dan

    padang lamun; tsunami; inundasi dan sebagainya. Bencana tersebut dapat disebabkan oleh

    faktor alamiah maupun merupakan dampak dari aktivitas manusia.

    Wilayah pesisir Indonesia laksana super mall-nya bencana, masih terngiang dalam

    ingatan kita ketika bencana melanda kawasan pesisir seperti gempa yang disusul tsunami di

    NAD (2004), dua bulan berselang, tsunami di pangandaran, tsunami di Kabupaten Kepulauan

    Mentawai (2010). Selain itu bencana di pesisir lainnya seperti gelombang pasang yang

    menghancurkan ribuan rumah di pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, NTB dan

    NTT pada tahun 2007 dan juga banjir rob di sepanjang pantura Pulau Jawa hingga saat ini

    masih melanda.

    Untuk mengurangi dampak negatif bencana di wilayah pesisir perlu dilakukan upaya

    mitigasi lingkungan pesisir. Menurut UU 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau

    Kecil, mitigasi bencana merupakan upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik secara

    struktur atau fisik (pembangunan fisik alami dan/atau buatan) maupun nonstruktur atau non

    fisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan

    pulau-pulau kecil. Mitigasi merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan semua

    lapisan masyarakat. Dalam penanganan bencana perlu dilakukan upaya mitigasi yang

    komprehensif yaitu kombinasi upaya struktural, seperti pembuatan prasarana dan sarana

    pengendali, dan upaya non-struktural, seperti pembuatan kebijakan mitigasi lingkungan

    pesisir dan penyadaran masyarakat.

  • Menurut Subandono, upaya mitigasi harus dilaksanakan sejak pada tahap

    perencanaan. Hal ini sesuai dengan UU 27/2007, yaitu dalam penyusunan rencana

    pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu, pemerintah

    dan/atau pemerintah daerah wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat

    mitigasi bencana sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya. Perencanaan zonasi wilayah

    pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian dan

    keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan perlindungan,

    dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan

    keamanan (Pasal 9 Ayat 3 UU No 27/2007). Fungsi perlindungan yang dimaksud adalah

    termasuk perlindungan terhadap ancaman bencana di wilayah pesisir.

    Gambar 1-1 Sistem Silvofishery

    Penanaman vegetasi mangrove dan pemeliharaan ekosistem mangrove yang sudah

    ada merupakan sebuah upaya mitigasi bencana. Ekosistem mangrove memiliki sistem

    perakaran yang kuat dan istimewa, yang mencengkeram sampai kelapisan tanah terdalam.

    Tajuk yang rata dan rapat, serta lebat sepanjang waktu, menjadikan ekosistem mangrove

    sebagai pelindung alami yang ideal terhadap ancaman bencana di wilayah pesisir. Selain

    berfungsi sebagai tembok penahan pengaruh secara langsung dari bencana di wilayah pesisir,

    mangrove pun sangat menguntungkan karena dapat meningkatkan kualitas perairan dan

    penahan intrusi air laut sehingga perlunya dilakukan pengelolaan yang tepat.

    Untuk mengelola wilayah pesisir dan lautan dengan baik selalu terbuka, sehingga

    wilayah pesisir dapat terjaga keberlanjutan fungsi ekosistemnya, namun juga dapat

    memberikan manfaat ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat pesisir. Kondisi tersebut

  • dapat dicapai melalui pengeloaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, dengan

    penerapan prinsip-prinsip perencanaan pengembangan wilayah yang matang dan terencana.

    Sementara itu, untuk mewujudkan pengelolaan yang terpadu hanya dapat dipenuhi apabila

    tersedia informasi yang akurat dan lengkap tentang kondisi wilayah pesisir dan lautan,

    misalnya tentang potensi, kondisi sumberdaya dan kegiatan sosial ekonomi yang ada di

    wilayah pesisir serta aspek kelembagaan dan stakeholders yang berkepentingan dalam

    pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.

    Informasi yang akurat dan lengkap tersebut dapat diwujudkan melalui pemetaan, baik

    potensi, kondisi maupun pemanfaatannya, sehingga dapat diketahui wilayah-wilayah pesisir

    dan lautan yang potensial untuk dikembangkan atau didayagunakan secara optimal.

    Disamping itu karena degradasi wilayah pesisir dan lautan semakin meningkat, menjadi sangat

    penting adalah ketersediaan peta daerah-daerah prioritas rehabilitasi, sehingga pelaksanaan

    rehabilitasi wilayah pesisir dan lautan menjadi terarah dan efisien. Data dan informasi hasil

    pemetaan daerah-daerah prioritas rehabilitasi dan pendayagunaan wilayah pesisir dan lautan

    dimaksudkan, pada dasarnya tidak cukup hanya menyajikan data berupa status rehabilitasi

    dan pendayagunaan wilayah pesisir dan lautan saja, tetapi perlu dilengkapi dengan sajian

    informasi yang menyangkut karakteristik ekosistem yang ada, potensi luasan dan

    pertumbuhan sekitar wilayah serta risalah kegiatan rehabiliasi dan pendayagunaan pesisir dan

    lautan yang telah dilakukan ,sehingga data-data yang dihasilkan dari kegiatan ini dapat diacu

    atau dijadikan referensi oleh berbagai pihak.

    Data yang dikumpulkan pada prinsipnya dapat berupa data sekunder, yang

    merupakan hasil-hasil kegiatan dari institusi lain yang terkait misalnya KLH, Kemenhut, LIPI,

    Bakosurtanal dan institusi lainnya, atau data-data primer dari hasil survey melalui kegiatan ini.

    Data dan informasi yang disajikan selain data-data berupa angka-angka, gambar atau grafik,

    yang lebih penting adalah hasil analisisnya, yang diwujudkan dalam bentuk peta, sehingga

    dapat diketahui daerah-daerah prioritas untuk direhabilitasi dan pendayagunaan. Kemudian

    untuk tindaklanjutnya dan memberikan panduan bagi stakeholders, perlu tersedia pula suatu

    pedoman untuk mengetahui bagaimana menentukan kriteria rehabilitasi (prioritas, waspada,

    aman), sehingga memudahkan stakeholders melakukan upaya rehabilitasi wilayah pesisir dan

    lautan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilaksanakan kegiatan

    Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Dalam Upaya Mitigasi Bencana, Kasus di

    Pulau Jawa.

  • 1.2 Rumusan Masalah

    Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai yang relatif panjang dengan

    luasan area pesisir yang luas. Kondisi ini memungkin Indonesia meiliki luasan dan keragaman

    jenis ekosistem pesisir yang luas dan beragam. Akan tetapi seiring dengan pesatnya

    pembangunan di Indonesia maka tekanan terhadap eksistensi dari ekosistem pesisir ini

    menjadi besar.

    Paradigma selama ini yang berkembang bahwa pembangunan lebih berorientasi pada

    pengembangan pembangunan di lahan darat secara langsung memberikan dampak negatif

    terhadap keberadaan ekosistem pesisir. Dampak langsung dari aktivitas pembangunan di

    lahan darat ini misalnya konversi fungsi guna lahan yang marak terjadi, terutama untuk

    ekosistem mangrove yang banyak dikonversi menjadi lahan budidaya tambak. Selain secara

    langsung, dampak dari pembangunan yang tidak ramah bencana yang secara tidak langsung

    memberikan tekanan negatif terhadap keberadaan dari ekosistem mangrove misalnya

    rusaknya kualitas dan kuantitas dari ekosistem mangrove yang disebabkan oleh abrasi dan

    erosi yang sangat tinggi sehingga menyulitkan pertumbuhan vegetasi mangrove.

    Mangrove sendiri dengan kualitas dan kerapatan yang bagus, berfungsi untuk

    melindungi pantai dari hempasan badai dan angin. Dalam beberapa pengalaman yang terjadi,

    pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai penahan erosi dinilai lebih murah dan memberikan

    dampak menguntungkan dalam meningkatkan kualitas perairan sekitarnya. Padahal

    pertambakan pun jika di tatakelola ulang dengan menggunakan metode silvofishery yaitu

    perpaduan antara budidaya perikanan dengan pelestarian mangrove lebih menguntungkan

    jika dinilai dari segi ekonomis dan kelestarian lingkungan.

    Gambar 1-2 Sistem Silvofishery

    Dengan semakin tingginya tingkat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya

    ekosistem pesisir, akhir-akhir ini banyak upaya rehabilitasi yang dilakukan oleh pihak

  • pemerintah atau upaya swadaya yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Upaya rehabilitasi ini

    selain untuk mengembalikan kelestarian lingkungan di wilayah pesisir, juga sebagai upaya

    mengoptimalkan pendayagunaan wilayah pesisir dan lautan yang berkaitan dengan ekosistem

    pesisir.

    Oleh karena itu dalam upaya menata kembali ruang di wilayah pesisir yang rawan

    terhadap bencana, disarankan mengikuti tujuh prinsip dasar rencana zonasi/penataan ruang

    guna meminimalisasi resiko bencana (Subandono, 2011). Ke tujuh prinsip itu menurut

    Subandono adalah:

    1. Kenali kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil rawan bencana sebagai ancaman

    bahaya.

    2. Kenali dan bentuk dan tipe wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (landai, terjal,

    berbatu, berpasir, dan lain-lain).

    3. Identifikasi potensi sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perikanan,

    pariwisata, permukiman, transportasi, dan lain-lain).

    4. Identifikasi kebutuhan kawasan konservasi dan perlindungan bencana (mangrove,

    hutan pantai, gumuk pasir, dan lain-lain).

    5. Kenali karakter/fungsi sarana dan prasarana wilayah yang ditempatkan (break

    water, pelabuhan, bangunan tinggi, dan lain-lain).

    6. Kenali karakter sosial-budaya serta sosial-ekonomi wilayah pesisir dan pulau-

    pulau kecil (menentukan kerentanan dan resiko).

    7. Kembangkan konsep rencana zonasi/penataan ruang dengan mempertimbangkan

    keindahan, keberaturan, dan keselamatan.

    Dilatar belakangi hal tersebut diatas, pelaksanaan penelitian ini dimaksudkan untuk

    dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan pengembangan lebih lanjut untuk kemudian

    dijadikan sebagai pedoman yang dapat diaplikasikan oleh seluruh pihak terkait yang

    berkepentingan, khususnya dalam pengelolaan ekosistem mangrove sebagai upaya mitigasi

    bencana. Penelitian ini pun diharapkan dapat dilengkapi dan diperkaya lagi, dalam

    memberikan gambaran mengenai hal-hal penting apa saja yang terkait dengan upaya

    rehabilitasi ekosistem mangrove sehingga permasalahan lingkungan dan bencana yang terjadi

    di wilayah pesisir dapat terselesaikan dengan upaya mitigasi bencana lingkungan.

  • 1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan dari kegiatan Pemetaan ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Dalam Upaya

    Mitigasi Bencana, Kasus di Pulau Jawa adalah :

    Menyediakan data dan informasi berupa pemetaan Daerah Prioritas Rehabilitasi

    ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Dalam Upaya Mitigasi Bencana secara akurat,

    lengkap, dan tepat untuk dijadikan acuan dalam penentuan daerah prioritas rehabilitasi

    ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir khususnya, serta penentuan kebijakan

    pelaksanaan mitigasi bencana di kawasan pesisir umumnya.

    II. Hasil dan Pembahasan

    2.1 Identifikasi Sebaran Ekosistem Mangrove

    Berbagai data mengenai luas dan penyebaran mangrove di Indonesia telah

    dikeluarkan oleh beberapa institusi. Dan apabila kita mencermatinya, terdapat perbedaan

    angka yang cukup mencolok antara data yang keluarkan oleh instansi satu dengan yang lain

    dalam tahun yang sama. Hal ini dikarenakan oleh adanya perbedaan metode pengukuran

    (alat ukur, tenaga ahli) dan adanya perbedaan pemahaman terhadap hutan mangrove, baik

    dari segi kewenangan (kawasan konservasi, produksi, lindung) dan dari segi ekologi

    (tumbuhan mangrove real dan tumbuhan mangrove ikutan). Berikut adalah peta

    persebaran potensi mangrove di Indonesia

    Gambar Error! No text of specified style in document.-1 Hasil identifikasi sebaran jenis mangrove di Indonesia (sumber: Bakosurtanal, 2009)

  • dilihat dari gambar 2-1 bahwa di Indonesia sendiri terdapat 91 jenis mangrove yang

    tersebar di berbagai pesisir. Persebaran jenis yang terbanyak terdapat di Papua yaitu terdapat

    84 jenis vegetasi mangrove. Hal ini dapat dinilai bahwa di Papua, ekosistem mangrove masih

    terjaga dengan baik. Sedangkan yang terendah terdapat di Jogjakarta, hal ini dikarenakan

    karakteristik pantai di Jogjakarta tidak sesuai untuk vegetasi mangrove. Perkembangan

    vegetasi mangrove hanya sebagian kecil dan berada di sekitar delta-delta sungai.

    Gambar Error! No text of specified style in document.-2 sebaran jenis mangrove Rhizophora apiculata di Indonesia (sumber: Bakosurtanal, 2009)

  • Gambar Error! No text of specified style in document.-3 sebaran jenis mangrove Sonneratia alba J.Smith di Indonesia (sumber: Bakosurtanal, 2009)

    Gambar Error! No text of specified style in document.-4 sebaran jenis mangrove Rhizopora muncronata Lam di Indonesia (sumber: Bakosurtanal, 2009)

    Gambar Error! No text of specified style in document.-5 sebaran jenis mangrove Avicennia marina (Forsk) Vierh di Indonesia (sumber: Bakosurtanal, 2009)

    Perkembangan jenis mangrove Rhizophora apiculata di Indonesia sebagian besar

    berada di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan

    Timur, Sulawesi Tenggara, dan pantai bagian barat Papua. Jenis Sonneratia alba J.Smith

  • sebagian besar tersebar di sepanjang pantai timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan,

    Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, serta sepanjang pantai

    Maluku dan Papua. Jenis Rhizopora muncronata Lam sebagian besar tersebar di Nangroe Aceh

    Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan

    Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan sebagian besar pantai barat Papua. Jenis

    Avicennia marina (Forsk) Vierh sebagian besar tersebar di sepanjang pantai timur Sumatera,

    Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan sebagian

    besar pantai barat Papua.

    Hasil pengolahan data sekunder seperti dijelaskan diatas, khususnya untuk identifikasi

    sebaran mangrove dapat terpetakan dengan baik pada skala pemetaan 1:25.000, terutama

    untuk informasi mengenai sebaran serta luasan mangrove di masing-masing wilayah

    administrasi. Dari peta identifikasi sebaran ekosistem mangrove di Pulau Jawa Dapat dilihat

    bahwa sebagian besar mangrove tumbuh di bagian pesisir utara Pulau Jawa, sedangkan untuk

    di pesisir selatan ekosistem mangrove yang teridentifikasi relatif lebih sedikit dibandingkan

    dengan di pesisir utara. Hal ini dikarenakan habitat hidup ekosistem mangrove di utara lebih

    baik dibandingkan di bagian selatan Pulau Jawa, dimana sebagian besar tipe pantai dibagian

    selatan Pulau Jawa pada umumnya berupa pasir, karang dan berbatu.

    Akan tetapi dari hasil identifikasi sebaran ekosistem mangrove ini juga dapat diketahui

    bahwa ekosistem mangrove yang tersisa, khususnya di pesisir utara relatif mengalami

    degradasi terutama untuk luasan ekosistemnya, hal ini dikarenakan laju konversi lahan di

    pesisir Pulau Jawa. Kondisi ini juga berkaitan dengan laju pertumbuhan wilayah dibagian

    selatan pesisir Pulau Jawa yang pada umumnya lebih lamban dibandingkan di bagian utara

    Pulau Jawa. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil identifikasi sebaran mangrove dapat dilihat

    pada gambar dibawah.

    Gambar Error! No text of specified style in document.-6 Hasil identifikasi sebaran ekosistem mangrove di Pulau Jawa (sumber: pengolahan peta RBI skala 1:25.000 dan LPI skala 1:50.000, Bakosurtanal)

  • Dari gambar diatas dapat dilihat sebaran ekosistem mangrove disepanjang pantai

    Pulau Jawa yang diwakili oleh area berwarna merah. Akan tetapi pada gambar diatas tidak

    mewakili luasan dari ekosistem mangrove, tetapi hanya menginformasikan lokasi-lokasi yang

    teridentifikasi terdapat ekosistem mangrove. Untuk lebih jelasnya mengenai lokasi dari

    mangrove hasil identifikasi tersebut akan diuraikan lebih lanjut untuk masing-masing wilayah

    administrasi provinsi pada bagian selanjutnya.

    2.2 PEMETAAN EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU JAWA

    2.2.1 Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Barat

    Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal KP3K, KKP bahwa sebagian besar ekosistem

    mangrove di Provinsi Jawa Barat tersebat di bagian utara. Sebaran ekosistem mangrove di

    bagian utara terdapat di pesisir Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon.

    Berdasarkan kalkulasi geometri perhitungan luas dari luasan ekosistem mangrove yang

    teridentifikasi, magrove terluas di pantai utara ada di wilayah Kabupaten Subang yang juga

    merupakan 43,59% dari luasan mangrove di Provinsi Jawa Barat. Selain di wilayah Kabupaten

    Subang, mangrove terluas lainnya terdapat di wilayah administrasi Kabupaten Indramayu

    dengan luasan total dari ekosistem mangrove di Jawa Barat sekitar 42,14%. Sedangkan

    kawasan ekosistem mangrove terkecil yang teridentifikasi adalah di wilayah pesisir Kabupaten

    Cirebon dengan luasan sekitar 3,05 ha, dengan persentase terhadap luasan total ekosistem

    mangrove di Provinsi Jawa Barat sekitar 0,05%. Selain di pesisir utara, ekosistem mangrove di

    pesisir selatan yang teridentifikasi terdapat di wilayah Kabupaten Ciamis dan Kabupaten

    Garut, dengan luasan masing-masing adalah 408,35 ha dan 31,23 ha.

    Secara umum, sebaran mangrove di Provinsi Jawa Barat sebagian besar berada di

    pesisir utara, yaitu sekitar 93,3% dari luasan total. Seperti telah disinggung sebelumnya hal ini

    dikarenakan karakteristik wilayah pesisir yang berbeda antara utara dan selatan. Sebagai

    bahan perbandingan mengenai perubahan guna lahan dari lahan dengan ekosistem mangrove

    menjadi lahan tambak yang dapat dijadikan sebagai indikator dari habitat awal ekosistem

    mangrove di Provinsi Jawa Barat yang menyajikan luasan lahan tambak diwilayah pesisir

    Provinsi Jawa Barat.

    Dari Grafik (Gambar 2-7) dapat diketahui bahwa kisaran ekosistem mangrove

    berdasarkan asumsi habitat melalui luas tambak yang teridentifikasi sekitar 46,131.31 ha,

    dengan wilayah terluas terdapat di kawasan Kabupaten Karawang, dan apabila dibandingkan

  • dengan table sebelumnya yang menyajikan luasan mangrove teridentifikasi dapat diketahui

    bahwa laju konversi lahan terbesar terjadi di wilayah Kabupaten Karawang. Untuk lebih jelas

    mengenai perbandingan antara luasan mangrove dengan luasan tambak untuk masing-masing

    kabupaten dapat dilihat pada grafik dibawah.

    Gambar Error! No text of specified style in document.-7 Perbandingan luasan mangrove dengan tambak di Provinsi Jawa Barat

    Grafik (Gambar 2-7) memperlihatkan bahwa luasan habitat mangrove terluas terdapat

    di Kabupaten Bekasi, dengan asumsi seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

    Kabupaten Bekasi dapat diartikan bahwa luasan habitat mangrove yang terkonversi menjadi

    lahan tambak sangatlah besar. Sedangkan hal menarik lainnya yang ditunjukkan dari grafik

    diatas adalah untuk Kabupaten Indramayu, dimana luasan mangrovenya relatif lebih baik

    dengan jumlah lahan yang terkonversi menjadi tambak relatif paling sedikit.

    Gambar Error! No text of specified style in document.-8 Identifikasi ekosistem mangrove di Provinsi Jawa Barat

    0

    1000

    2000

    3000

    4000

    5000

    6000

    7000

    8000

    9000

    Bekasi Karawang Subang Indramayu Cirebon Ciamis Garut

    mangrove tambak

  • 2.2.2 Ekosistem Mangrove di Provinsi Banten Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal KP3K, KKP bahwa sebagian besar luasan

    ekosistem mangrove di Provinsi Banten sekitar 927,61 ha yang terdapat di dua kabupaten,

    yaitu Kabupaten Serang dan Pandeglang. Ekosistem mangrove di Kabupaten Pandeglang

    merupakan yang terluas sekitar 75% dari luasan total di Provinsi Banten, yaitu sekitar 697,72

    ha yang tersebar di 4 kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Cibalung, Cikeusik, Cimanggu dan

    Sumur. Lokasi lainnya yaitu di Kabupaten Serang dengan luasan teridentifikasi sekitar 229,89

    ha yang tersebat di 5 kecamatan pesisir, yaitu: Kecamatan Bojonegara, Kasemen, Kramatwatu,

    Pontang dan Tirtayasa.

    Dari grafik (gambar 2-9) dapat dilihat bahwa luasan ekosistem mangrove di Provinsi

    Banten sebagian besar tumbuh di pesisir Desa Ujung Jaya, Kecamatan Subur, Kabupaten

    Pandeglang, dimana lokasi ini juga merupakan area di kawasan lindung Ujung Kulon. Gambar

    2-11 menyajikan gambaran yang lebih jelas mengenai lokasi sebaran luas ekosistem mangrove

    di Provinsi Banten.

    Dari grafik (gambar 2-9) dapat diketahui bahwa lahan tambak sebagai indikator dari

    habitat hidup ekosistem mangrove terluas terdapat di Kabupaten Tanggerang, sedangkan

    luasan mangrove yang teridentifkasi dengan kondisi sebaliknya, hal ini menunjukkan laju

    konversi lahan mangrove di Kabupaten Tanggerang relatif tinggi. Perbandingan angara luasan

    mangrove dan tambak di Provinsi Banten dapat dilihat pada grafik dibawah (Gambar 2-9).

    Gambar Error! No text of specified style in document.-1 Grafik perbandingan luasan mangrove dan tambak di Provinsi Banten

    Untuk luasan mangrove terluas terdapat di Kabupaten Pandeglang dengan

    perbandingan yang relatif lebih luas dibandingkan dengan luasan tambak yang terdapat

    diwilayah ini. Sedangkan luasan tambak terluas terdapat di Kabupaten Tangerang dengan

    0

    1000

    2000

    3000

    4000

    5000

    6000

    Pandeglang Serang Tanggerang

    mangrove tambak

  • asumsi semua luasan mangrove terkonversi menjadi tambak, karena tidak teridentifkasi

    luasan mangrove di wilayah kabupaten Tangerang. Sebaran lokasi ekosistem mangrove di

    Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 2-10.

    Gambar Error! No text of specified style in document.-10 Identifikasi Ekosistem mangrove di Provinsi Banten

    2.2.3 Ekosistem Mangrove DKI Jakarta

    Ekosistem mangrove di wilayah pesisir DKI relatif lebih kecil luasannya dibandingkan

    dengan wilayah lainnya, hal ini salah satunya dikarenakan secara fisik, DKI memiliki garis

    pantai yang relatif pendek. Selain itu posisi strategis DKI sebagai ibu kota negara mempunyai

    konsekuensi tingkat laju pembangunan yang tinggi, sehingga laju konversi lahan pun tinggi, hal

    ini juga memungkinkan berdampak pada tingginya tingkat konversi lahan mangrove menjadi

    lahan budidaya. Seperti halnya dikota besar lainnya dengan laju pembangunan yang tinggi

    menjadi persoalan umum terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan lahan untuk aktivitas

    budidaya, misalnya permukiman.

    Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal KP3K, KKP bahwa luasan mangrove yang

    tersisa di wilayah DKI berada bukan pada daratan utama wilayah DKI, melainkan tersebar di

    pesisir pulau kecil disekitarnya, tepatnya di Kepulauan Seribu. Luas mangrove yang

    teridentifikasi kurang lebih berkisar sekitar 46,88 ha, terdapat di Kecamatan Pulau Seribu,

    yang tersebar di dua pulau, yaitu: Desa Pulau Untung Jawa dan Pulau Tidung. Dari kedua lokasi

    tersebut, tempat yang masih relatif memiliki ekosistem mangrove yang lebih luas adalah di

    Pulau Untung Jawa. Bahwa hampir sebagian besar area mangrove di wilayah ini telah

    dikonversi menjadi lahan budidaya lainnya, misalnya permukiman atau lahan industri.

  • Gambar Error! No text of specified style in document.-11 Grafik perbandingan luasan mangrove dan tambak di DKI Jakarta

    Untuk perbandingan luasan mangrove dan tambak diperlihatkan pada Gambar 2-11

    diatas, dimana pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa luasan mangrove hanya teridentifikasi

    di wilayah Jakarta Utara, begitu pula dengan luasan lahan tambak luasan yang teridentifikasi

    terluas terdapat di wilayah ini. Adapun untuk wilayah Jakarta Barat hanya teridentifikasi

    luasan tambak dengan luasan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan luasan tambak yang

    teridentifikasi di wilayah Jakarta utara seperti dijelaskan tadi. Lokasi penyebaran ekosistem

    mangrove di DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 2-12.

    Gambar Error! No text of specified style in document.-12 Identifikasi ekosistem mangrove di DKI Jakarta

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    Jakarta Utara Jakarta Barat

    mangrove tambak

  • 2.2.3.1 Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Tengah

    Sebagian besar ekosistem mangrove di wilayah Provinsi Jawa Tengah terdapat di

    Kabupaten Cilacap, yaitu sekitar 97,15% dari total ekosistem mangrove diwilayah provinsi

    Jawa Tengah, dengan luasan sekitar 6.292,29 ha. Mangrove ini secara fisik tumbuh tersebar di

    5 kecamatan di kabupaten Cilacap, yang terluas terdapat di kecamatan Cilacap Selatan dan

    Kawungganten. Selain itu mangrove di Provinsi Jawa Tengah terdapat di Kecamatan Brebes

    (0,55%), Demak (1,46%), Jepara (0,33%), Kota Pekalongan (0,04%), Kota Semarang (0,07%),

    Kendal (0,06%) dan Rembang (0,33%). Sebagian besar mangrove ini secara geografis tersebar

    di bagian pesisir utara dengan luasan yang relatif kecil, sedangkan di bagian selatan terdapat

    di Kabupaten Cilacap dengan luasan yang cukup signifikan. Kondisi ini merupakan hal umum

    untuk wilayah pesisir bagian utara, dengan tingkat konversi lahan yang cukup tinggi sehingga

    desakan terhadap ekosistem mangrove menjadi besar yang ditandai dengan semakin

    menipisnya ketebalan mangrove. Tingginya aktivitas konversi lahan mangrove ditandai dengan

    luasnya area tambak yang mengindikasikan habitat dari ekosistem mangrove sebagai hasil dari

    konvesi dari mangrove itu sendiri.

    Pada gambar grafik perbandingan luasan mangrove dan tambak seperti diperlihatkan

    pada Gambar 2-13, tampak bahwa luasan mangrove yang masih tebal terdapat di Kabupaten

    Cilacap, sedangkan sebagian besar dipesisir Jawa Tengah ini didominasi oleh luasan tambak.

    Dari grafik tersebut dapat ditarik asumsi bahwa sebagian besar luasan mangrove di pesisir

    Jawa Tengah sebagian besar dikonversi menjadi lahan tambak. Lokasi penyebaran ekosistem

    mangrove di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar 2-14.

    0

    2000

    4000

    6000

    8000

    10000

    12000

    mangrove tambak

  • Gambar Error! No text of specified style in document.-13 Grafik perbandingan luasan mangrove dengan tambak

    Gambar Error! No text of specified style in document.-14 Identifikasi ekosistem mangrove di

    Provinsi Jawa Tengah

    2.2.4 Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Timur

    Ekosistem mangrove di Provinsi Jawa Timur secara umum relatif lebih baik

    dibandingkan dengan wilayah lainnya di Pulau Jawa dinilai dari sebaran dan luasan yang

    teridentifikasi. Ekosistem mangrove di Provinsi Jawa Timur teridentifikasi kurang lebih di 15

    Kabupaten pesisir. Hal ini dapat disebabkan karena garis pantai yang relatif lebih panjang dari

    wilayah provinsi lainnya di Pulau Jawa, dengan luasan habitat mangrove yang juga lebih luas,

    terutama untuk pesisir utara dan timur.

    Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal KP3K, KKP bahwa luasan mangrove terbesar

    di Provinsi Jawa Timur terdapat di Kabupaten Gresik dengan perbandingan luasan sekitar

    25,52%, Kota Surabaya sekitar 19,64%, dan terluas ketiga terdapat di Kabupaten Bangkalan

    dengan perbandingan terhadap luasan total sekitar 15,95%. Sedangkan perbandingan luasan

    ekosistem mangrove dengan luasan wilayah tertinggi secara fisik terdapat di Kota Surabaya.

    Sebagai informasi tambahan yang diperlukan dalam melakukan analisis kerusakan ekosistem

    mangrove maka harus diketahui tingkat laju degradasi luasan dari area mangrove tersebut.

    Asumsi yang dipergunakan seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya yaitu dengan

    menselisihkan luasan mangrove teridentifikasi dengan luasan tambak sebagai salah satu

    indikator dari luasan habitat hidup mangrove.

    diketahui bahwa Kabupaten Gresik relatif memiliki nilai laju konversi lahan mangrove

    yang cukup tinggi, Ekosistem mangrove di wilayah Kabupaten Gresik relatif memiliki luasan

    yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah lainnya.

    Gambar 2-15 menunjukkan grafik perbandingan luas antara mangrove dan tambak.

    Luasan mangrove yang relatif rendah laju konversi menjadi lahan tambak adalah di Kota

    Surabaya dan Bangkalan, karena berdasarkan hasil identifikasi luasan mangrove yang ditemui

  • di Kota Surabaya relatif hampir sama dengan luasan mangrove yang teridentifikasi di

    Kabupaten Gresik, disisi lain luasan tambak di Kabupaten Gresik relatif paling luas di Provinsi

    Jawa Timur.

    Gambar Error! No text of specified style in document.-15 Grafik perbandingan luas mangrove dan

    tambak di Provinsi Jawa Timur

    Gambar Error! No text of specified style in document.-16 Identifikasi ekosistem mangrove di Provinsi Jawa Timur

    2.2.5 Ekosistem Mangrove di DI Jogyakarta

    0

    5000

    10000

    15000

    20000

    25000 B

    angk

    alan

    Ban

    yuw

    angi

    Blit

    ar

    Gre

    sik

    Jem

    ber

    Ko

    dya

    Pas

    uru

    an

    Ko

    dya

    Su

    rab

    aya

    Lam

    on

    gan

    Lum

    ajan

    g

    Mal

    ang

    Pam

    ekas

    an

    Pas

    uru

    an

    Pro

    bo

    lingg

    o

    Sam

    pan

    g

    Sid

    oar

    jo

    Situ

    bo

    nd

    o

    Sum

    enep

    Tub

    an

    Tulu

    nga

    gun

    g

    Tren

    ggal

    ek

    mangrove tambak

  • Ekosistem pesisir di wilayah Provinsi D.I Jogyakarta, khususnya mangrove dengan peta

    dasar RBI skala 1:25.000 tidak dapat teridentifikasi sebaran dan luasan mangrovenya. Dari

    beberapa literatur lainnya pun tidak diperoleh informasi mengenai eksistensi dari ekosistem

    mangrove di wilayah Provinsi D.I Jogyakarta, hal ini secara umum dapat disebabkan karena

    sebagian besar karakteristik wilayah pesisir di wilayah ini bukan merupakan habitat hidup dari

    ekosistem mangrove. Secara umum karakteristik garis pantai di wilayah ini merupakan pantai

    berpasir. Oleh karena itu, mengenai kajian kondisi sebaran, luasan dan kondisi ekosistem

    mangrove di wilayah ini selanjutnya akan dikonformasi langsung di lapangan melalui

    penggalian informasi di pihak berwenang yang terkait.

    III. Kesimpulan

    1. Vegetasi mangrove dengan kualitas dan kerapatan yang baik berperan sebagai pelindung

    dari tsunami, penahan badai, pencegah erosi pantai, penyerap limbah dan penyerap CO2 di

    udara.

    2. Di Indonesia terdapat 91 jenis mangrove yang tersebar di berbagai pesisir. Persebaran jenis

    yang terbanyak terdapat di Papua yaitu terdapat 84 jenis vegetasi mangrove.

    3. Mangrove terluas di Provinsi Jawa Barat berada di wilayah Kabupaten Subang yang juga

    merupakan 43,59% dari luasan mangrove di Provinsi Jawa Barat.

    4. Mangrove di Kabupaten Pandeglang merupakan yang terluas di Provinsi Banten sekitar 75%

    dari luasan total mangrove di Provinsi Banten.

    5. Di DKI Jakarta tempat yang masih relatif memiliki ekosistem mangrove yang lebih luas

    adalah di Pulau Untung Jawa.

    6. Di Jawa Tengah tempat yang memiliki ekosistem mangrove yang lebih luas adalah di

    Kabupaten Cilacap.

    7. Luasan mangrove terbesar di Provinsi Jawa Timur terdapat di Kabupaten Gresik.

    8. Sebagian besar karakteristik wilayah pesisir di DI Jogjakarta bukan merupakan habitat hidup

    dari ekosistem mangrove sehingga persebarannya tidak dapat terpetakan.

    9. Manfaat lanjutan (outcome) yang diharapkan dari kegiatan ini adalah meningkatnya kualitas

    pengambilan keputusan dalam upaya rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir,

    sehingga dapat mewujudkan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu dan

    optimal sebagai upaya mitigasi bencana melalui pemetaan ekosistem mangrove.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Dahuri, R., Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya

    Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta.

    Diposaptono, Subandono dan Budiman. 2008. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami.

    Buku Ilmiah Populer, Bogor.

    Diposaptono, Subandono dan Budiman. 2005. Hidup Tsunami. Buku Ilmiah Populer, Bogor.

    Diposaptono, Subandono. 2011. Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi

    Perubahan Iklim. Direktorat Pesisir dan Lautan, Dirjen KP3K, KKP, Jakarta.

    Diposaptono, Subandono DKK. 2009. Modul Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

    Pulau-Pulau Kecil Secara Terpadu. Direktorat Pesisir dan Lautan, Dirjen KP3K,

    KKP, Jakarta.

    Direktorat Pesisir dan Lautan. 2009. Pemetaan Daerah Prioritas Rehabilitasi dan

    Pendayagunaan Pesisir dan Lautan. Direktorat Pesisir dan Lautan, Dirjen KP3K,

    KKP, Jakarta.

    Prasenja, Yanelis. 2008. Skripsi. Partisipasi Petani Tambak Pada Sistem Silvofishery di Segara

    Anakan, Cilacap. Fakultas Geografi UGM. Jogjakarta

    UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.