beberapa ulasan tentang produktivitas ekosistem mangrove
DESCRIPTION
Fungsi ekosistem mangrove seperti produktivitas dan siklus nutrien merupakan hal yang penting dalam memahami ekosistem perairan laut yang berada disekitar mangrove tersebut. Hubungan atau keterkaitan antara mangrove terhadap wilayah pesisir dianggap memiliki kontribusi penting dalam mendukung perikanan.TRANSCRIPT
BEBERAPA ULASAN TENTANG PRODUKTIVITAS EKOSISTEM MANGROVE
J.M.S. Tetelepta, V.G. Siahaya dan E.L. Madubun
1. Pendahuluan
Hutan mangrove sering juga disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan
pasang surut, merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Terdapat di daerah
tropik atau sub tropik sekitar 35o Lintang Utara dan 38o Lintang Selatan disepanjang pantai yang
terlindung dan di muara sungai, pada daerah yang cukup ektrim kering (Teluk Persia), daerah
temperatur sedang (Australia Selatan), sampai pesisir daerah tropis seperti Asia, Afrika dan
Amerika Latin. Mangrove juga tumbuh pada berbagai jenis tipe substrat, termasuk didalamnya
lumpur yang tebal, lumpur yang tidak kenyal (unconsolidate), pasir campuran kalkarus,
patahan karang, lahan organik (organic peat), dengan salinitas mendekati tawar (0 ‰) sampai
mendekati 35‰. Gambaran ini memberikan gambaran luasnyanya kisaran kondisi lingkunan
dimana mangrove tersebut tumbuh dan hidup (Lugo dan Snedaker, 1974; Lugo, 2002; Clough,
1997; Salem dan Mercer, 2012). Kondisi yang bisa ditolerasi mangrove ini dimungkinkan karena
mangrove masuk dalam kelompok tumbuhan halophyta (Morrisey et al, 2007; Macnae, 1969
dalam Poungparn dan Komiyama, 2013), yang memiliki berbagai tipe akar antara lain untuk
adaptasi tersebut.
Fungsi ekosistem mangrove seperti produktivitas dan siklus nutrien merupakan hal yang
penting dalam memahami ekosistem perairan laut yang berada disekitar mangrove tersebut.
Hubungan atau keterkaitan antara mangrove terhadap wilayah pesisir dianggap memiliki
kontribusi penting dalam mendukung perikanan. Disamping itu, mangrove juga menyediakan
bahan kayu sebagai bahan konstruksi dan energi terutama bagi negara-negara berkembang.
Penurunan mangrove saat ini cukup mengkhawatirkan sebagai akibat tekanan pemanfaatan
yang berkaitan dengan penambahan penduduk (Twilley dan Day, 1999; Aburto et al, 2008;
Kairo et al, 2008). Perkiraan luas hutan mangrove secara global untuk tahun 2000 adalah sekitar
137.760 km2, jumlah mana menurun sekitar 35% (Giri et al, 2011) dibandingkan luas pada tahun
1980an yang mencapai antara 180.000-200.000 km2 (Spalding et al, 1997 dalam Kairo et al,
2008 ). Laju pengurangan ini lebih besar atau hampir sebanding dengan laju pengurangan
1
terumbu karang atau hutan tropis global (Duke et al, 2007 dalam Poungparn dan Komiyama,
2013).
Sudah menjadi pengetahuan umum dan sering dinyatakan sebagai suatu pernyataan
umum bahwa mangrove merupakan satu ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi.
Pernyataan seperti ini kadang bisa berupa pernyataan yang keliru, karena sering kali
pernyataan ini didasarkan pada akumulasi biomassa, produktivitas primer, atau produktivitas
sekunder, tidak dijelaskan dengan baik. Ada bukti-bukti ilmiah tentang tingginya produktivitas
baik primer ataupun sekunder dari ekosistem mangrove, tetapi pada saat yang sama ada juga
bukti yang menyatakan sebaliknya (Clough, 1997). Tulisan singkat ini mencoba memberikan
beberapa penjelasan tentang produktivitas dari ekosistem mangrove.
2. Produktivitas hutan mangrove
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang penting baik dari sisi biologi,
ekologi, dan fisik pada wilayah pesisir; berkontribusi terhadap aliran enersi antara darat dan
laut dan menyediakan jasa-jasa lingkungan penting termasuk didalamnya memproses limbah,
habitat, produksi makanan dan rekresai (Blaber, 2007; Milenium Ecosystem Assessment, 2005;
Aburto-Oropeza, 2008; Salem dan Mercer, 2012). Tumbuhan mangrove ini juga memberikan
pengaruh yang cukup penting bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya terutama nelayan
dengan menaikan biomas ikan-ikan ekonomis penting dan invertebrata yang sebagian hidupnya
berada pada ekosistem ini (Mumby et al, 2004 dalam Aburto-Oropeza et al, 2008; Dorenbosch
et al, 2004).
Untuk memperkirakan produktivitas hutan mangrove dapat dilakukan dengan
menjumlahkan akumulasi biomassa bersih baik diatas tanah maupun dibawah tanah, ditambah
dengan semua bahan kering yang hilang termasuk didalamnya kehilangan sebagai akibat
shedding dari dedaunan, bunga, propagula, dan cabang, pohon yang mati, turnover dari akar
dan juga ekstrusi bahan organik dari akar serta hilangnya daun sebagai akibat dikonsumsi oleh
hewan-hewan herbivora termasuk juga intrusi bagian-bagian tanaman dari luar hutan
mangrove itu sendiri. Untuk melakukan hal ini tidaklah mudah dan Clough (1997) menjelaskan
bahwa sampai saat ini perkiraan semacam ini belum pernah atau belum dilakukan karena
2
ssulitnya melakukan itu. Berikut ini akan dijelaskan secara makro beberapa hal yang
berhubungan dengan produktivitas hutan mangrove. Beberapa paramete yang menjelaskan
kapasitas produksi mangrove adalah LAI (Leaf Area Index), guguran daun (litterfall), dan
dinamika nutrien (Rodriguez, 2008).
2.1. Produktivitas bagian atas tanah
Biomassa mangrove pada bagian atas tanah biasanya dihiting secara tidak langsung
dengan menggunakan pendekatan pengukuran diameter batang (stem) pada ketinggiang 1,3m
(biasanya disingkat dengan DHB, diameter at breast high). Hhittaker dan Mars, 1974, Ong et al,
1984, Clough dan Scot, 1989 semuanya dalam Clough (1997) memperlihatkan hubungan antara
DBH sebagai variabel bebas dengan berat kering beberapa bagian pohon mangrove sebagai
variabel bergantung untuk menghitung biomassa dari pengukuran DBH. Hubungan alometrik
tersebut dapat dinyatakan dalam beberapa bentuk, tetapi secara umum didasarkan pada
hubungan-hubungan berikut:
1) Biomassa (atau vol )=aDBH b atau
2) Biomassa (atau vol )=a (DBH2H )b atau
3) Biomassa (atau vol )=a+b (DBH2H )c
Diamana: B = biomassa
V = volume
H = tinggi dan
a, b, c adalah konstanta
Berdasarkan pengalaman dengan pohon-pohon di darat maka rumus 2 dan 3
memberikan hasil estimase yang lebih baik dibandingkan rumus 1 (Couston, 1985 dalam
Clough, 1997) akatn tetapi rumus 2 dan 3 membutuhkan pengukuran tinggi pohon disamping
DBH sehingga membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengestimasi biomassa. Pada banyak
kasus, rumus 1 juga memberikan hasil yang cukup bisa diterima untuk menduga biomassa pada
bagian atas tanah tanpa harus menghitung tinggi pohon (Ong et al, 1984; Putz dan Chan, 1986;
Clough dan Scott, 1989 semuanya dalam Clough, 1997). Hubungan alometrik antara DBH
dengan biomassa daun dan cabang biasanya kurang baik sebab daun dan cabang mudah patah
3
bila terkenal angin keras. Perbedaan biomassa juga bisa muncul karena perbedaan spesies dan
lokasi. Tanaman mangrove pada lintang tinggi biasanya memiliki biomassa yang lebih rendah
(Clough, 1997; Twilley dan Day, 1997; Morrisey et al, Bernini dan Rezende, 2010). Perbedaan
bisa juga muncul sebagai akibat perbedaan kepadata, apakah tanaman bersifat mono kultur
atau campuran, dan praktek pengelolaannya. Tabel 1 memperlihatkan beberapa koefisien dan
rumus hubungan alometrik antara DBH atau GBH (Girth at Breast High) dan berat kering
beberapa bagian pohon mangrove dari beberapa species.
Tabel 1. Koefisien untuk hubungan alometrik antara DBH (cm) atau GRH (cm) dan berat kering diatas tanah (kg) berbagai bagian pohon mangrove.
Spesies Rumus Variabel A B r2
B. gymnorrhizan=12, 2-21 cm DBH
DWT=A .DBH B LeafBranchStemTotal
0.06790.03150.22480.1858
1.49142.27892.14072.3055
0.8540.9260.9770.989
B. parvifloran=16, 2-21 cm DBH
DWT=A .DBH B LeafBranchStemTotal
0.02680.01150.13610.1679
1.40702.46392.40372.4167
0.6210.8850.9220.993
C. australisn=26, 2-18 cm DBH
DWT=A .DBH B LeafBranchStemTotal
0.00170.01970.14680.1885
2.12942.55162.33932.3379
0.9270.9380.9770.989
R. apiculata, R. stylosan=23, 3-23 cm DBH
DWT=A .DBH B LeafBranchStemRootTotal
0.01390.01270.08860.00680.1050
2.10722.68442.56213.13532.6848
0.8570.9120.9910.9680.995
R. mangale
n=10, 3-11 cm DBHDWT=A .eBDBH Stem
Total
0.9400
1.4100
0.2700
0.3000
0.970
0.930
X. granatum n=12, 3-17 DBH
DWT=A .DBH B LeafBranchStemTotal
0.00580.00470.08170.0823
2.39663.09752.46252.5883
0.9510.9590.9880.994
Sumber: Modifikasi dari Clough (1997),
4
Banyak hasil-hasil penelitian memperkirakan biomassa bagian atas tanah untuk
mangrove yang berumur tua di daerah Asia dan Pasifik berkisar antara 500-550 t ha -1(Paijama
dan Rollet, 1977; Putz dan Chan, 1986, keduanya dalam Clough, 1997). Akan tetapi ada
beberapa jenis mangrove Rhizophora di utara Australia yang keadaannya tidak terganggu
memperlihatkan biomassa bagian atas tanam mencapai 700 t ha-1. Nilai ini kemungkinan
merupakan nilai maksimum bagi mangrove pada kondisi alamiah, tidak terganggu, dengan
kondisi lingkungan panas, lembab pada wilayah tropis. Gambar 1 memperlihatkan biomassa
total pada bagian atas tanah mangrove Rhizophora apiculata dengan DBH berbeda
menggunakan koefisien yang berbeda pada ketiga rumus diatas. Kurva A dan B berasal dari
populasi alamiah dengan campuran beberapa mangrove, sedangkan kurva C berasal dari hutan
mono kultur untuk produksi arang.
Gambar 1. Biomassa total pada bagian atas mangrove Rhizophora apiculata yang dihitung dengan menggunakan beberapa koefisien alometrik pada Tabel 1
Perkiraan biomassa mangrove biasanya hanya terbatas pada bagian atas tanah dan pada
banyak kasus hanya memasukan bagian kayu (timber) yang dapat dipanen (Twilley dan Day,
1999). Distribusi biomassa yang diperoleh dari enam belas tempat penelitian pada daerah
tropis menunjukan bahwa nilai biomassa yang tinggi djumpai pada daerah lintah rendah seperti
ditunjukan pada Gambar 2. Pengurangan biomassa lebih banyak dipengaruhi oleh penurunan
5
suhu dan adanya salju (frost) yang menutup struktur tanaman tersebut (Cintron dan Schaefer-
Novelii, 1984 dalam Twilley dan Day, 1999).
Gambar 2. Biomassa dan produksi guguran daun hutan mangrove dari berbagai tempat dibelahan bumi berdasarkan posisi lintang (Sumber: Twilley dan Day, 1999)
2.2. Produktivitas bagian bawah tanah
Pada hutan di darat, biomassa bagian bawah (lower-ground) biasanya diperkirakan
sekitar 30% dari total biomassa hutan (Urlich et al, 1974 dalam Clough, 1997). Kesulitan dalam
menentukan biommasa mangrove menyebabkan sulit untuk menentukan biomassa bagian
bawah, akan tetapi dari data yang tersedia biomassa bagian bawah tanah diperkirakan
mencapai 40-60 % dari total biomassa (Saenger, 1982 dan Lugo, 1990 dalam Clough, 1997).
Untuk beberapa alasan, estimasi ini harus dilihat secara serius. Beberapa alasan yang
mendasarinya adalah: pertama, hanya sedikit publikasi yang ada yang menjelaskan tentang
metoda perhitungannya; kedua, data sering kali dilaporkan tetapi tidak terlalu jelas perbedaan
antara akar bagian bawah tanah dan diatas tanah; ketiga, sering kali sulit untuk membedakan
akar yang hidup dan yang mati teristimewa pada kasus akar fibrous (serat) dimana bentuk akar
hidup dan yang mati seringkali membentuk bahan yang padat dan saling berhububgan atau
terikat (Komiyama et al, 1987 dalam Clough, 1997).
Gong dan Ong (1990) dalam Clough (1997) melaporkan bahwa akar bagian bawah
(dalam tanah) merepresentasikan rata-rata 8,5% dari total biomassa untuk mangrove jenis
6
Rhizophora apiculata di Malaysia untuk berbagai usia mangrove. Proporsi dari biomassa akar
dari total biomassa berkisar antara 3.3-19.7% untuk individu tanaman, dengan tanaman yang
lebih kecil memiliki memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang lebih besar.
Penelitian yang dilakukan oleh Kairo et al (2008) terhadap Rhizophora micronata terhadap
mangrove yang ditanam ulang di Kenya mendapatkan biomassa bagian bawah sekitar
24.911.4 t ha-1. Biomassa total untuk bagian bawah dan atas untuk mangrove berumur 12
tahun adalah sebesar 131.56 t ha-1 atau 68.78 t C ha-1 atau sekitar 19% dari total biomassa
adalah berasal dari bagian bawah tanah. Hasil ini mapir sama dengan hasil yang dijumpai oleh
Gong dan Ong (1990) di Malaysia.
2.3. Produktivitas Primer (Primary Productivity).
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi produktivitas primer tanaman perairan pesisir
(wetland). Dari berbagai faktor tersebut maka kebanyakan faktor berhubungan dengan
perubahan perubahan faktor fisik atau kimia lingkungan, termasuk didalamnya radiasi sinar
mata hari, suhu, pasut, konsentrasi nutien, tipe tanah, aliran air, konsentrasi oksigen dan pH
yang secara
skematis ditunjukan pada Gambar 3 (Twilley dan Day, 1999).
7
Gambar 3. Model aliran energy proses-proses ekologi pada mangrove yang dipengaruhi oleh fungsi tekanan lingkungan pesisir (Sumber; Twilley dan Day, 1999)
Produktivitas primer dari tumbuhan mangrove sering kali diukur melalui pengukuran
kecepatan guguran daun (Twilley et al, 1986 dalam Twilley dan Day, 1997), hal ini kebanyakan
didasarkan pada faktor kemudahan secara teknis (Putz dan Chan, 1986 dalam Bernini dan
Rezende, 2010) walaupun belum ada cukup banyak bukti yang menunjukan korelasi antara
kecepatan guguran daun dan produktivitas primer mangrove (Clough, 1992 dalam Bernini dan
Rezende, 2010). Guguran atau sampah (litter) bisa merepresentasikan hampir 1/3 total
produktivitas primer mangrove (Robertson et al, 1992 dalam Bernini dan Rezende, 2010).
Secara umum daun adalah komponen utama sisa-sisa atau bangkai (litter) yang
menyusus lebih dari 50% total produksi litter. Walaupun ada perbedaan-perbedaan secara
regional, kecepatan produksi rata-rata tahuan secara global diperkirakan sebesar 92x1012 g C,
dari jumlah tersebut 25% terakumulasi dalam sediment, 25% mengalami resirkulasi didalam
ekosistem dan 50% lainnya diekspor ke wilayah pesisir (Robertson dan Daniel, 1989 dalam
Bernini dan Rezende, 2010). Ekspor bahan organik dan nutrien terlarut merupakan hal penting
bagi produktivitas perairan pesisir karena memiliki pengaruh penting bagi jaringan makanan
(Odum dan Heald, 1975; Dittmar et al, 2006).
Produktivitas dari guguran secara global berkisar antara 2-16 t ha -1 thn-1 (Twilley dan
Day, 1999) sementara Saenger dan Snedaker (1993) dan Mehlig (2001) keduanya dalam Bernini
dan Rezende, 2010) menyebutkan berkisar antara 1-20.3 t ha-1 thn-1. Produksi ini bervariasi
menurut wilayah dan cedrung menurun dengan peningkatan lintang seperti yang ditunjukan
8
pada Gambar 4(Twilley dan Day, 1999; Bouillom et al, 2008). Tingkat produksi maksimum
guguran mencapai 14 t ha-1 thn-1 pada lintang 0-200. Diatas lintang ini menurun menjadi 10 t ha-1
thn-1. Produksi terkecil untuk lintah rendah adalah 8 t ha -1 thn-1 sementara untuk daerah sub
tropis sebesar 2 t ha-1 thn-1 (Twilley dan Day, 1999).
Gambar 4. Biomassa dan produksi guguran daun hutan mangrove dari berbagai tempat dibelahan bumi berdasarkan posisi lintang (Sumber: Twilley dan Day, 1999).
Disamping produktivitas primer yang berasal dari tanaman mangrove itu sendiri, maka
seedling, alga, organisme periphiton juga berkontribusi terhadap produktivitas primer bersih
dari ekosistem mangrove dan terkadang dalam jumlah yang cukuk signifikan (Lugo, 1990 dalam
Clough, 1999). Untuk itu perlu dibuat perbedaan yang jelas antara produksi primer bersih dari
keseluruhan ekosistem mangrove dan tumbahan mangrove itu sendiri, Untuk kasus yang
pertama, produksi primer bersih mencakup sumbangan dari produktivitas primer kotor dari
pohon, anakan (seedling) dan periphiton, termasuk juga kehilangan sebagai akibat respirasi
komponen ekosistem ini. Kebanyakan kehilangan sebagai akibat respirasi ini sulit untuk diukur
terutama disebabkan tercampurnya dengan berbagai organisme non-fotosintesa lainnya yang
ada bersama-sama (Clough, 1999).
Pendugaan produksi primer bersih dari hutan, termasuk mangrove, dapat diperoleh
dengan menjumlahkan akumulasi biomassa baik diatas maupun dibawah tanah, ditambah
semua kehilangan dari bahan kering (dry matter). Untuk yang bagian akhir termasuk kehilangan
9
sebagai akibat tutupan oleh daun, bunga, propagul, cabang, pohon yang mati, turnover dari
akar, ekstrusi bahan organik dari akar, sampai kepada kehilangan akibat hewan herbivor baik
daun dan bagian tanaman lainnya. Berdasarkan kondisi ini maka Clogh (1999) menyimpulkan
bahwa sangat sulit untuk melakukan itu semua secara keseluruhan karena kesulitan untuk yang
terutama disebabkan oleh persoalan waktu. Secara grafis Gambar 5 menjelaskan produktivitas
primer bersih dari mangrove yang berasal dari beberapa sumber (Bouillon et al, 2008).
Gambar 5. Produktivitas primer mangrove (Tg C thn-1) yang berasal dari guguran, produksi kayu, produksi akar
3. Produktivitas mangrove dan perikanan
Relevansi ekologi dari produktivitas mangrove terhadap daerah estuaria dan sekitarnya
tidak hanya bergantung terhadap berapa banyak bahan organik yang diproduksi mangrove
tetapi juga ditentukan oleh bagaimana dan dimana bahan organik ini diuraikan dan kemudian
tersedia bagi organisme lain. Biomassa yang hilang dalam bentuk bahan buangan ( litter) yang
terdekomposisi yang kemudian mengeluarkan nutrien yang selanjutnya bisa terdaur kembali
didalam ekosistem mangrove atau diekspor ke habitat sekitar oleh pengaruh faktor pasang
surut (Morrisey et al, 2007). Produktivitas dari mangrove bisa masuk kedalam jaringan makanan
pada daerah sekitar mangrove tersebut melalui pemanfaatan secara langsung (grazing) atau
10
sebagai detritus. Secara umum jaringan makanan yang terbentuk pada ekosistem mangrove
bisa dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Gambaran umum jaringan makanan pada hutan mangrove dan wilayah sekitar; panah menunjukan arah aliran enersi dan nutrien (Sumber; Morrisey et al, 2007).
Sudah sejak lama mangrove dipandang sebagai habitat penting dalam meningkatkan
produksi perikanan, hal ini didasarkan atas asumsi bahwa mangrove yang secara fisik,
disamping sebagai sumber produktivitas primer, menyediakan perlindungan lingkungan,
perlindungan terhadap predator, memiliki struktur fisik yang kompleks sebagai perangkap larva
planktonik, dan kelimpahan makanan. Studi-studi yang sudah dilakukan sampai dengan
beberapa tahun terakhir ini bahwa pada habitat wilayah estuari banyak dijumpai dengan
melipmpah baik dalam jumlah maupun densitas juwana ikan dan/atau krustasea dan moluska
dibandingkan pada tipe habitat yang lain sehingga estuaria dinamakan sebagai daerah
perlindungan (nursery groun) (Manson et al, 2005; Saenger et al, 2013).
Struktur fisik dari mangrove juga dipandang sebagai salah satu alasan banyaknya
produksi perikanan pada daerah ini. Menentukan pengertian habitas, menurut beberapa
11
peneliti, termasuk hal yang menantang karena adanya berbagai keragaman dan variabilitas
yang dijumpai pada daerah genangan ini seperti kolam(creek), hamparan lumpur (mudflat),
saltflat, atau daera dengan mangrove yang pendek dan jarang (Saenger, et al, 2013). Secara
keseluruhan habitat mangrove berkontribusi positif terhadap produksi perikanan. Sebagai
contoh hasil tangkapan ikan di aliran air pada vegetasi mangrove di Filipina berjumlah 1,3-8,8
kg hr-1 sepanjang tahun dan berkorelasi dengan kandungan karbon dalam sedimen dan jumlah
guguran daun mangrove. Kajian yang lebih dalam tentang konsep nursery ground dan habitat
ini dijelaskan secara detil pada Manson et al, (2005), Faunce dan Serafy (2006) serta Saenger et
al (2013).
Ikan dan hewan-hewan invertebrata menggunakan daerah estuari dan kawasan pantai
lainnya termasuk mangrove dalam berbagai bentuk. Beberapa diatntara hewan-hewan ini
menggunakannya sebatas waktu tertentu, ada yang menggunakanya pada tingkatan siklus
hidup tertentu, dan ada yang menggunakannya sebagai tempat tinggal permanen. Sistem yang
ada pada hutan mangrove termasuk didalamnya aliran air menyediakan habitat bagi spesies-
spesies ikan dan krustasea yang kemudian menjadi basis perikanan. Penelitian selama dua
tahun di tenggara India sebagai contoh memperlihatkan bahwa kondisi mangrove yang baik
memberikan hasil penangkapan kerang-kerangan sebesar 11 kg ha-1 hr-1 dan 4,5 kg ikan ha-1 hr-1
(Saenger et al, 2013).
Dalam penelitiannya di semenanjung California, Manson et al (2005) mendapatkan
adanya peningkatan jumlah ikan yang didaratkan denga luasan hutan mangrove tepian (r2=
0,70, P = 0,0002), tetapi analisis penskalaan menunjukan bahwa hasil yang lebih signifikan
diperoleh apa bila dilakukan akar kuadrat terhadap area mangrove digunakan sebagai penduga
terhadap pendaratan (r2 = 0,76, P = 0,00004). Grafik hubungan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 6. Penelitian ini juga menguji variabel-variabel lain (ukuran estuaria, padang lamun,
posisi lintang, dan upaya penangkana) yang diperkirakan dapat mempengaruhi hasil
pendaratan dan mendapatkan bahwa pendaratan ikan tidak berhubungan secara signifikan
dengan variabelvariabel tersebut. Penelitian yang dilakukan di Thailand untuk melihat habitat
perikanan dan kaitannya dengan pengurangan mangrove (Barbier, 2003) menunjukan bahwa
12
terjadi penurunan hasil produksi perikanan, walaupun ada peningkatan produksi budidaya
udang sebagai akibat konversi lahan bakau untuk usaha budidaya udang.
Gambar 6 Hubungan antara pendaratan (ikan dan kepiting bakau) dan nilai ekonomi (harga yang dibayarkan kepada nelayan oleh koperasi nelayan lokal) terhadap daerah mangrove fringe pada semenanjung California. Data dalam rata-rata 2001-2005 (Manson et al, 2005)
4. Penutup
Produktivitas primer tertinggi kedua setelah coral
Produksi bervariasi secara regional
Kontribusi tinggi terhadap perikanan
Kontribusi terhadap carbon sink
Keterancaman cukup tinggi
13
14
Daftar Pustaka
Aburto-Oropeza, O., E. Ezcurra., G. Danemann, V. Valdez, J. Murray, dan E. Sala. 2008. Mangroces in the gulf of California increase fishery yields. In . PNAS. 105:30. 10456-10459. www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.0804601105
Bernini, E. dan C.E. Rezende. 2010. Litterfall in a mangrove in Southeast Brazilia. In. Pan_American Journal of Aquatic Sciences. 5(4): 508-519 pp.
Blaber, S.J.M. 2007. Mangroves and fishes: Issues of diversity, dependence, and dogma.In. Bull Mar Sci 80:457– 472.
Bouillon, S., A.V. Borger, E. Castaneda-Moya, K. Diele, T. Dittmar, N.C. Duke, E. Kristensen, S.Y. Lee, C. Marchand, J.J. Middelburg, V.H. Rivera-Monroy, T.J. Smith III and R.R. Twilley. 2008. Mangrove production and carbon sinks: A revision of global budget estimates. In. Global Biochemical Cycles. 22, GB2013, doi:10.1029/2007GB003052. 12 pp.
Clough, B.F. 1997. Primary productivity and growth of mangrove forests: Tropical mangrove ecosystem. In. Coastal and estuarine studies. 41: 225-249 pp. http://www.agu.org/ books/ce/v041/ce041p0225/ce041p0225.pdf
Dittmar, T., N. Hertkorn, G. Kattner, dan R.K. Lara. 2006. Mangroves, a major source of dissolved organic carbon to the oceans. In. Global Biogeochemistry Cycles. 20: 1-7 pp.
Dorenbosch M, M.C. van Riel, I. Nagelkerken, dan G. van der Velde. 2004. The relationship of reef fish densities to the proximity of mangrove and seagrass nurseries. In. Estuar Coast Shelf Sci. 60:37– 48
Faunce, C.H. dan J.E. Serafy. 2006. Mangrove and fish habitat: 50 years of field studies. In. Marine Ecology Progress Series. 318:1-18
Giri C, E. Ochieng, L.L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek and N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. In. Global Ecol. Biogeogr., 20: 154–159 pp.
Kairo, J.G., J.K.S. Lang’at, D.B. Gebas, J. Bossire and M. Karachi. 2008. Structural development and productivity of replanted mangrove plantation s in Kenya. In. Forest Ecology and Management. 255: 2670-2677 pp.
Lugo, A. E. 2002. Conserving Latin American and Caribbean mangroves: issues and challenges. In. Maderay Bosques Special Issue 5-25 pp.
Lugo, A.E., S.C. Snedaker. 1974. The ecology of mangroves: Annual Review. In. Ecology Systematics 5: 39-64.pp.
Manson, F.J., N.R. Loneragan, G.A. Skilleter, dan S.R. Phinn. 2005. An evaltuation of the evidence for linkages between mangroces and fisheries: a synthesis of the literature and identification of research directions. In. Oceanography and Marine Biology: An Annual Review. 43:485-515
Millennium Ecosystem Assessment. 2005. Ecosystems and Human Well-being: Wet-lands and Water. World Resources Institute, Washington, DC.
15
Morrisey, D., C. Beard., M. Marrison, R. Craggs, and M. Lowe. 2007. The New Zealand mangrove: review of the current state of knowledge. Auckland Regional Council. Technical Publication. TP325. 156 pp.
Poungparn, S. and A. Komiyama. 2013. Net ecosystem produktivity studies in mangrove forests. In. Reviews in Agriculture Science. doi: 10.7831/ras.1.61 : 1:61-64 pp.
Saenger, P., D. Gartside, dan S. Funge-Smith. 2013. A review of mangrove and seagrass ecosystem and their linkage to fisheries and fishereries management. In. RAP Publication. FAO. 9:74pp.
Salem, M.E. dan D.W. Mercer. 2012. The economic value of mangrove: A meta-analysis. In. Sustainability. 4:359-383; doi:10.3390/su4030359. www.mdpi.com/journal/sustainability
Twilley, R.R. and J.W. Day. 1999. The productivity and nutrient cycling of mangrove ecosystem. http://www1.inecol.edu.mx/ecosistemasdemanglar/Cap_10.pdf. 127-151 pp.
16