beberapa ulasan tentang produktivitas ekosistem mangrove

21
BEBERAPA ULASAN TENTANG PRODUKTIVITAS EKOSISTEM MANGROVE J.M.S. Tetelepta, V.G. Siahaya dan E.L. Madubun 1. Pendahuluan Hutan mangrove sering juga disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan pasang surut, merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Terdapat di daerah tropik atau sub tropik sekitar 35 o Lintang Utara dan 38 o Lintang Selatan disepanjang pantai yang terlindung dan di muara sungai, pada daerah yang cukup ektrim kering (Teluk Persia), daerah temperatur sedang (Australia Selatan), sampai pesisir daerah tropis seperti Asia, Afrika dan Amerika Latin. Mangrove juga tumbuh pada berbagai jenis tipe substrat, termasuk didalamnya lumpur yang tebal, lumpur yang tidak kenyal (unconsolidate), pasir campuran kalkarus, patahan karang, lahan organik (organic peat), dengan salinitas mendekati tawar (0 ‰) sampai mendekati 35‰. Gambaran ini memberikan gambaran luasnyanya kisaran kondisi lingkunan dimana mangrove tersebut tumbuh dan hidup (Lugo dan Snedaker, 1974; Lugo, 2002; Clough, 1997; Salem dan Mercer, 2012). Kondisi yang bisa ditolerasi mangrove ini dimungkinkan karena mangrove masuk dalam kelompok tumbuhan halophyta (Morrisey et al, 2007; Macnae, 1969 dalam Poungparn dan Komiyama, 2013), yang memiliki berbagai tipe akar antara lain untuk adaptasi tersebut. Fungsi ekosistem mangrove seperti produktivitas dan siklus nutrien merupakan hal yang penting dalam memahami ekosistem perairan laut yang berada disekitar mangrove tersebut. Hubungan atau keterkaitan antara mangrove terhadap wilayah pesisir 1

Upload: victor-george-siahaya

Post on 07-Feb-2016

61 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Fungsi ekosistem mangrove seperti produktivitas dan siklus nutrien merupakan hal yang penting dalam memahami ekosistem perairan laut yang berada disekitar mangrove tersebut. Hubungan atau keterkaitan antara mangrove terhadap wilayah pesisir dianggap memiliki kontribusi penting dalam mendukung perikanan.

TRANSCRIPT

Page 1: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

BEBERAPA ULASAN TENTANG PRODUKTIVITAS EKOSISTEM MANGROVE

J.M.S. Tetelepta, V.G. Siahaya dan E.L. Madubun

1. Pendahuluan

Hutan mangrove sering juga disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan

pasang surut, merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Terdapat di daerah

tropik atau sub tropik sekitar 35o Lintang Utara dan 38o Lintang Selatan disepanjang pantai yang

terlindung dan di muara sungai, pada daerah yang cukup ektrim kering (Teluk Persia), daerah

temperatur sedang (Australia Selatan), sampai pesisir daerah tropis seperti Asia, Afrika dan

Amerika Latin. Mangrove juga tumbuh pada berbagai jenis tipe substrat, termasuk didalamnya

lumpur yang tebal, lumpur yang tidak kenyal (unconsolidate), pasir campuran kalkarus,

patahan karang, lahan organik (organic peat), dengan salinitas mendekati tawar (0 ‰) sampai

mendekati 35‰. Gambaran ini memberikan gambaran luasnyanya kisaran kondisi lingkunan

dimana mangrove tersebut tumbuh dan hidup (Lugo dan Snedaker, 1974; Lugo, 2002; Clough,

1997; Salem dan Mercer, 2012). Kondisi yang bisa ditolerasi mangrove ini dimungkinkan karena

mangrove masuk dalam kelompok tumbuhan halophyta (Morrisey et al, 2007; Macnae, 1969

dalam Poungparn dan Komiyama, 2013), yang memiliki berbagai tipe akar antara lain untuk

adaptasi tersebut.

Fungsi ekosistem mangrove seperti produktivitas dan siklus nutrien merupakan hal yang

penting dalam memahami ekosistem perairan laut yang berada disekitar mangrove tersebut.

Hubungan atau keterkaitan antara mangrove terhadap wilayah pesisir dianggap memiliki

kontribusi penting dalam mendukung perikanan. Disamping itu, mangrove juga menyediakan

bahan kayu sebagai bahan konstruksi dan energi terutama bagi negara-negara berkembang.

Penurunan mangrove saat ini cukup mengkhawatirkan sebagai akibat tekanan pemanfaatan

yang berkaitan dengan penambahan penduduk (Twilley dan Day, 1999; Aburto et al, 2008;

Kairo et al, 2008). Perkiraan luas hutan mangrove secara global untuk tahun 2000 adalah sekitar

137.760 km2, jumlah mana menurun sekitar 35% (Giri et al, 2011) dibandingkan luas pada tahun

1980an yang mencapai antara 180.000-200.000 km2 (Spalding et al, 1997 dalam Kairo et al,

2008 ). Laju pengurangan ini lebih besar atau hampir sebanding dengan laju pengurangan

1

Page 2: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

terumbu karang atau hutan tropis global (Duke et al, 2007 dalam Poungparn dan Komiyama,

2013).

Sudah menjadi pengetahuan umum dan sering dinyatakan sebagai suatu pernyataan

umum bahwa mangrove merupakan satu ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi.

Pernyataan seperti ini kadang bisa berupa pernyataan yang keliru, karena sering kali

pernyataan ini didasarkan pada akumulasi biomassa, produktivitas primer, atau produktivitas

sekunder, tidak dijelaskan dengan baik. Ada bukti-bukti ilmiah tentang tingginya produktivitas

baik primer ataupun sekunder dari ekosistem mangrove, tetapi pada saat yang sama ada juga

bukti yang menyatakan sebaliknya (Clough, 1997). Tulisan singkat ini mencoba memberikan

beberapa penjelasan tentang produktivitas dari ekosistem mangrove.

2. Produktivitas hutan mangrove

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang penting baik dari sisi biologi,

ekologi, dan fisik pada wilayah pesisir; berkontribusi terhadap aliran enersi antara darat dan

laut dan menyediakan jasa-jasa lingkungan penting termasuk didalamnya memproses limbah,

habitat, produksi makanan dan rekresai (Blaber, 2007; Milenium Ecosystem Assessment, 2005;

Aburto-Oropeza, 2008; Salem dan Mercer, 2012). Tumbuhan mangrove ini juga memberikan

pengaruh yang cukup penting bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya terutama nelayan

dengan menaikan biomas ikan-ikan ekonomis penting dan invertebrata yang sebagian hidupnya

berada pada ekosistem ini (Mumby et al, 2004 dalam Aburto-Oropeza et al, 2008; Dorenbosch

et al, 2004).

Untuk memperkirakan produktivitas hutan mangrove dapat dilakukan dengan

menjumlahkan akumulasi biomassa bersih baik diatas tanah maupun dibawah tanah, ditambah

dengan semua bahan kering yang hilang termasuk didalamnya kehilangan sebagai akibat

shedding dari dedaunan, bunga, propagula, dan cabang, pohon yang mati, turnover dari akar

dan juga ekstrusi bahan organik dari akar serta hilangnya daun sebagai akibat dikonsumsi oleh

hewan-hewan herbivora termasuk juga intrusi bagian-bagian tanaman dari luar hutan

mangrove itu sendiri. Untuk melakukan hal ini tidaklah mudah dan Clough (1997) menjelaskan

bahwa sampai saat ini perkiraan semacam ini belum pernah atau belum dilakukan karena

2

Page 3: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

ssulitnya melakukan itu. Berikut ini akan dijelaskan secara makro beberapa hal yang

berhubungan dengan produktivitas hutan mangrove. Beberapa paramete yang menjelaskan

kapasitas produksi mangrove adalah LAI (Leaf Area Index), guguran daun (litterfall), dan

dinamika nutrien (Rodriguez, 2008).

2.1. Produktivitas bagian atas tanah

Biomassa mangrove pada bagian atas tanah biasanya dihiting secara tidak langsung

dengan menggunakan pendekatan pengukuran diameter batang (stem) pada ketinggiang 1,3m

(biasanya disingkat dengan DHB, diameter at breast high). Hhittaker dan Mars, 1974, Ong et al,

1984, Clough dan Scot, 1989 semuanya dalam Clough (1997) memperlihatkan hubungan antara

DBH sebagai variabel bebas dengan berat kering beberapa bagian pohon mangrove sebagai

variabel bergantung untuk menghitung biomassa dari pengukuran DBH. Hubungan alometrik

tersebut dapat dinyatakan dalam beberapa bentuk, tetapi secara umum didasarkan pada

hubungan-hubungan berikut:

1) Biomassa (atau vol )=aDBH b atau

2) Biomassa (atau vol )=a (DBH2H )b atau

3) Biomassa (atau vol )=a+b (DBH2H )c

Diamana: B = biomassa

V = volume

H = tinggi dan

a, b, c adalah konstanta

Berdasarkan pengalaman dengan pohon-pohon di darat maka rumus 2 dan 3

memberikan hasil estimase yang lebih baik dibandingkan rumus 1 (Couston, 1985 dalam

Clough, 1997) akatn tetapi rumus 2 dan 3 membutuhkan pengukuran tinggi pohon disamping

DBH sehingga membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengestimasi biomassa. Pada banyak

kasus, rumus 1 juga memberikan hasil yang cukup bisa diterima untuk menduga biomassa pada

bagian atas tanah tanpa harus menghitung tinggi pohon (Ong et al, 1984; Putz dan Chan, 1986;

Clough dan Scott, 1989 semuanya dalam Clough, 1997). Hubungan alometrik antara DBH

dengan biomassa daun dan cabang biasanya kurang baik sebab daun dan cabang mudah patah

3

Page 4: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

bila terkenal angin keras. Perbedaan biomassa juga bisa muncul karena perbedaan spesies dan

lokasi. Tanaman mangrove pada lintang tinggi biasanya memiliki biomassa yang lebih rendah

(Clough, 1997; Twilley dan Day, 1997; Morrisey et al, Bernini dan Rezende, 2010). Perbedaan

bisa juga muncul sebagai akibat perbedaan kepadata, apakah tanaman bersifat mono kultur

atau campuran, dan praktek pengelolaannya. Tabel 1 memperlihatkan beberapa koefisien dan

rumus hubungan alometrik antara DBH atau GBH (Girth at Breast High) dan berat kering

beberapa bagian pohon mangrove dari beberapa species.

Tabel 1. Koefisien untuk hubungan alometrik antara DBH (cm) atau GRH (cm) dan berat kering diatas tanah (kg) berbagai bagian pohon mangrove.

Spesies Rumus Variabel A B r2

B. gymnorrhizan=12, 2-21 cm DBH

DWT=A .DBH B LeafBranchStemTotal

0.06790.03150.22480.1858

1.49142.27892.14072.3055

0.8540.9260.9770.989

B. parvifloran=16, 2-21 cm DBH

DWT=A .DBH B LeafBranchStemTotal

0.02680.01150.13610.1679

1.40702.46392.40372.4167

0.6210.8850.9220.993

C. australisn=26, 2-18 cm DBH

DWT=A .DBH B LeafBranchStemTotal

0.00170.01970.14680.1885

2.12942.55162.33932.3379

0.9270.9380.9770.989

R. apiculata, R. stylosan=23, 3-23 cm DBH

DWT=A .DBH B LeafBranchStemRootTotal

0.01390.01270.08860.00680.1050

2.10722.68442.56213.13532.6848

0.8570.9120.9910.9680.995

R. mangale

n=10, 3-11 cm DBHDWT=A .eBDBH Stem

Total

0.9400

1.4100

0.2700

0.3000

0.970

0.930

X. granatum n=12, 3-17 DBH

DWT=A .DBH B LeafBranchStemTotal

0.00580.00470.08170.0823

2.39663.09752.46252.5883

0.9510.9590.9880.994

Sumber: Modifikasi dari Clough (1997),

4

Page 5: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

Banyak hasil-hasil penelitian memperkirakan biomassa bagian atas tanah untuk

mangrove yang berumur tua di daerah Asia dan Pasifik berkisar antara 500-550 t ha -1(Paijama

dan Rollet, 1977; Putz dan Chan, 1986, keduanya dalam Clough, 1997). Akan tetapi ada

beberapa jenis mangrove Rhizophora di utara Australia yang keadaannya tidak terganggu

memperlihatkan biomassa bagian atas tanam mencapai 700 t ha-1. Nilai ini kemungkinan

merupakan nilai maksimum bagi mangrove pada kondisi alamiah, tidak terganggu, dengan

kondisi lingkungan panas, lembab pada wilayah tropis. Gambar 1 memperlihatkan biomassa

total pada bagian atas tanah mangrove Rhizophora apiculata dengan DBH berbeda

menggunakan koefisien yang berbeda pada ketiga rumus diatas. Kurva A dan B berasal dari

populasi alamiah dengan campuran beberapa mangrove, sedangkan kurva C berasal dari hutan

mono kultur untuk produksi arang.

Gambar 1. Biomassa total pada bagian atas mangrove Rhizophora apiculata yang dihitung dengan menggunakan beberapa koefisien alometrik pada Tabel 1

Perkiraan biomassa mangrove biasanya hanya terbatas pada bagian atas tanah dan pada

banyak kasus hanya memasukan bagian kayu (timber) yang dapat dipanen (Twilley dan Day,

1999). Distribusi biomassa yang diperoleh dari enam belas tempat penelitian pada daerah

tropis menunjukan bahwa nilai biomassa yang tinggi djumpai pada daerah lintah rendah seperti

ditunjukan pada Gambar 2. Pengurangan biomassa lebih banyak dipengaruhi oleh penurunan

5

Page 6: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

suhu dan adanya salju (frost) yang menutup struktur tanaman tersebut (Cintron dan Schaefer-

Novelii, 1984 dalam Twilley dan Day, 1999).

Gambar 2. Biomassa dan produksi guguran daun hutan mangrove dari berbagai tempat dibelahan bumi berdasarkan posisi lintang (Sumber: Twilley dan Day, 1999)

2.2. Produktivitas bagian bawah tanah

Pada hutan di darat, biomassa bagian bawah (lower-ground) biasanya diperkirakan

sekitar 30% dari total biomassa hutan (Urlich et al, 1974 dalam Clough, 1997). Kesulitan dalam

menentukan biommasa mangrove menyebabkan sulit untuk menentukan biomassa bagian

bawah, akan tetapi dari data yang tersedia biomassa bagian bawah tanah diperkirakan

mencapai 40-60 % dari total biomassa (Saenger, 1982 dan Lugo, 1990 dalam Clough, 1997).

Untuk beberapa alasan, estimasi ini harus dilihat secara serius. Beberapa alasan yang

mendasarinya adalah: pertama, hanya sedikit publikasi yang ada yang menjelaskan tentang

metoda perhitungannya; kedua, data sering kali dilaporkan tetapi tidak terlalu jelas perbedaan

antara akar bagian bawah tanah dan diatas tanah; ketiga, sering kali sulit untuk membedakan

akar yang hidup dan yang mati teristimewa pada kasus akar fibrous (serat) dimana bentuk akar

hidup dan yang mati seringkali membentuk bahan yang padat dan saling berhububgan atau

terikat (Komiyama et al, 1987 dalam Clough, 1997).

Gong dan Ong (1990) dalam Clough (1997) melaporkan bahwa akar bagian bawah

(dalam tanah) merepresentasikan rata-rata 8,5% dari total biomassa untuk mangrove jenis

6

Page 7: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

Rhizophora apiculata di Malaysia untuk berbagai usia mangrove. Proporsi dari biomassa akar

dari total biomassa berkisar antara 3.3-19.7% untuk individu tanaman, dengan tanaman yang

lebih kecil memiliki memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang lebih besar.

Penelitian yang dilakukan oleh Kairo et al (2008) terhadap Rhizophora micronata terhadap

mangrove yang ditanam ulang di Kenya mendapatkan biomassa bagian bawah sekitar

24.911.4 t ha-1. Biomassa total untuk bagian bawah dan atas untuk mangrove berumur 12

tahun adalah sebesar 131.56 t ha-1 atau 68.78 t C ha-1 atau sekitar 19% dari total biomassa

adalah berasal dari bagian bawah tanah. Hasil ini mapir sama dengan hasil yang dijumpai oleh

Gong dan Ong (1990) di Malaysia.

2.3. Produktivitas Primer (Primary Productivity).

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi produktivitas primer tanaman perairan pesisir

(wetland). Dari berbagai faktor tersebut maka kebanyakan faktor berhubungan dengan

perubahan perubahan faktor fisik atau kimia lingkungan, termasuk didalamnya radiasi sinar

mata hari, suhu, pasut, konsentrasi nutien, tipe tanah, aliran air, konsentrasi oksigen dan pH

yang secara

skematis ditunjukan pada Gambar 3 (Twilley dan Day, 1999).

7

Page 8: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

Gambar 3. Model aliran energy proses-proses ekologi pada mangrove yang dipengaruhi oleh fungsi tekanan lingkungan pesisir (Sumber; Twilley dan Day, 1999)

Produktivitas primer dari tumbuhan mangrove sering kali diukur melalui pengukuran

kecepatan guguran daun (Twilley et al, 1986 dalam Twilley dan Day, 1997), hal ini kebanyakan

didasarkan pada faktor kemudahan secara teknis (Putz dan Chan, 1986 dalam Bernini dan

Rezende, 2010) walaupun belum ada cukup banyak bukti yang menunjukan korelasi antara

kecepatan guguran daun dan produktivitas primer mangrove (Clough, 1992 dalam Bernini dan

Rezende, 2010). Guguran atau sampah (litter) bisa merepresentasikan hampir 1/3 total

produktivitas primer mangrove (Robertson et al, 1992 dalam Bernini dan Rezende, 2010).

Secara umum daun adalah komponen utama sisa-sisa atau bangkai (litter) yang

menyusus lebih dari 50% total produksi litter. Walaupun ada perbedaan-perbedaan secara

regional, kecepatan produksi rata-rata tahuan secara global diperkirakan sebesar 92x1012 g C,

dari jumlah tersebut 25% terakumulasi dalam sediment, 25% mengalami resirkulasi didalam

ekosistem dan 50% lainnya diekspor ke wilayah pesisir (Robertson dan Daniel, 1989 dalam

Bernini dan Rezende, 2010). Ekspor bahan organik dan nutrien terlarut merupakan hal penting

bagi produktivitas perairan pesisir karena memiliki pengaruh penting bagi jaringan makanan

(Odum dan Heald, 1975; Dittmar et al, 2006).

Produktivitas dari guguran secara global berkisar antara 2-16 t ha -1 thn-1 (Twilley dan

Day, 1999) sementara Saenger dan Snedaker (1993) dan Mehlig (2001) keduanya dalam Bernini

dan Rezende, 2010) menyebutkan berkisar antara 1-20.3 t ha-1 thn-1. Produksi ini bervariasi

menurut wilayah dan cedrung menurun dengan peningkatan lintang seperti yang ditunjukan

8

Page 9: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

pada Gambar 4(Twilley dan Day, 1999; Bouillom et al, 2008). Tingkat produksi maksimum

guguran mencapai 14 t ha-1 thn-1 pada lintang 0-200. Diatas lintang ini menurun menjadi 10 t ha-1

thn-1. Produksi terkecil untuk lintah rendah adalah 8 t ha -1 thn-1 sementara untuk daerah sub

tropis sebesar 2 t ha-1 thn-1 (Twilley dan Day, 1999).

Gambar 4. Biomassa dan produksi guguran daun hutan mangrove dari berbagai tempat dibelahan bumi berdasarkan posisi lintang (Sumber: Twilley dan Day, 1999).

Disamping produktivitas primer yang berasal dari tanaman mangrove itu sendiri, maka

seedling, alga, organisme periphiton juga berkontribusi terhadap produktivitas primer bersih

dari ekosistem mangrove dan terkadang dalam jumlah yang cukuk signifikan (Lugo, 1990 dalam

Clough, 1999). Untuk itu perlu dibuat perbedaan yang jelas antara produksi primer bersih dari

keseluruhan ekosistem mangrove dan tumbahan mangrove itu sendiri, Untuk kasus yang

pertama, produksi primer bersih mencakup sumbangan dari produktivitas primer kotor dari

pohon, anakan (seedling) dan periphiton, termasuk juga kehilangan sebagai akibat respirasi

komponen ekosistem ini. Kebanyakan kehilangan sebagai akibat respirasi ini sulit untuk diukur

terutama disebabkan tercampurnya dengan berbagai organisme non-fotosintesa lainnya yang

ada bersama-sama (Clough, 1999).

Pendugaan produksi primer bersih dari hutan, termasuk mangrove, dapat diperoleh

dengan menjumlahkan akumulasi biomassa baik diatas maupun dibawah tanah, ditambah

semua kehilangan dari bahan kering (dry matter). Untuk yang bagian akhir termasuk kehilangan

9

Page 10: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

sebagai akibat tutupan oleh daun, bunga, propagul, cabang, pohon yang mati, turnover dari

akar, ekstrusi bahan organik dari akar, sampai kepada kehilangan akibat hewan herbivor baik

daun dan bagian tanaman lainnya. Berdasarkan kondisi ini maka Clogh (1999) menyimpulkan

bahwa sangat sulit untuk melakukan itu semua secara keseluruhan karena kesulitan untuk yang

terutama disebabkan oleh persoalan waktu. Secara grafis Gambar 5 menjelaskan produktivitas

primer bersih dari mangrove yang berasal dari beberapa sumber (Bouillon et al, 2008).

Gambar 5. Produktivitas primer mangrove (Tg C thn-1) yang berasal dari guguran, produksi kayu, produksi akar

3. Produktivitas mangrove dan perikanan

Relevansi ekologi dari produktivitas mangrove terhadap daerah estuaria dan sekitarnya

tidak hanya bergantung terhadap berapa banyak bahan organik yang diproduksi mangrove

tetapi juga ditentukan oleh bagaimana dan dimana bahan organik ini diuraikan dan kemudian

tersedia bagi organisme lain. Biomassa yang hilang dalam bentuk bahan buangan ( litter) yang

terdekomposisi yang kemudian mengeluarkan nutrien yang selanjutnya bisa terdaur kembali

didalam ekosistem mangrove atau diekspor ke habitat sekitar oleh pengaruh faktor pasang

surut (Morrisey et al, 2007). Produktivitas dari mangrove bisa masuk kedalam jaringan makanan

pada daerah sekitar mangrove tersebut melalui pemanfaatan secara langsung (grazing) atau

10

Page 11: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

sebagai detritus. Secara umum jaringan makanan yang terbentuk pada ekosistem mangrove

bisa dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Gambaran umum jaringan makanan pada hutan mangrove dan wilayah sekitar; panah menunjukan arah aliran enersi dan nutrien (Sumber; Morrisey et al, 2007).

Sudah sejak lama mangrove dipandang sebagai habitat penting dalam meningkatkan

produksi perikanan, hal ini didasarkan atas asumsi bahwa mangrove yang secara fisik,

disamping sebagai sumber produktivitas primer, menyediakan perlindungan lingkungan,

perlindungan terhadap predator, memiliki struktur fisik yang kompleks sebagai perangkap larva

planktonik, dan kelimpahan makanan. Studi-studi yang sudah dilakukan sampai dengan

beberapa tahun terakhir ini bahwa pada habitat wilayah estuari banyak dijumpai dengan

melipmpah baik dalam jumlah maupun densitas juwana ikan dan/atau krustasea dan moluska

dibandingkan pada tipe habitat yang lain sehingga estuaria dinamakan sebagai daerah

perlindungan (nursery groun) (Manson et al, 2005; Saenger et al, 2013).

Struktur fisik dari mangrove juga dipandang sebagai salah satu alasan banyaknya

produksi perikanan pada daerah ini. Menentukan pengertian habitas, menurut beberapa

11

Page 12: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

peneliti, termasuk hal yang menantang karena adanya berbagai keragaman dan variabilitas

yang dijumpai pada daerah genangan ini seperti kolam(creek), hamparan lumpur (mudflat),

saltflat, atau daera dengan mangrove yang pendek dan jarang (Saenger, et al, 2013). Secara

keseluruhan habitat mangrove berkontribusi positif terhadap produksi perikanan. Sebagai

contoh hasil tangkapan ikan di aliran air pada vegetasi mangrove di Filipina berjumlah 1,3-8,8

kg hr-1 sepanjang tahun dan berkorelasi dengan kandungan karbon dalam sedimen dan jumlah

guguran daun mangrove. Kajian yang lebih dalam tentang konsep nursery ground dan habitat

ini dijelaskan secara detil pada Manson et al, (2005), Faunce dan Serafy (2006) serta Saenger et

al (2013).

Ikan dan hewan-hewan invertebrata menggunakan daerah estuari dan kawasan pantai

lainnya termasuk mangrove dalam berbagai bentuk. Beberapa diatntara hewan-hewan ini

menggunakannya sebatas waktu tertentu, ada yang menggunakanya pada tingkatan siklus

hidup tertentu, dan ada yang menggunakannya sebagai tempat tinggal permanen. Sistem yang

ada pada hutan mangrove termasuk didalamnya aliran air menyediakan habitat bagi spesies-

spesies ikan dan krustasea yang kemudian menjadi basis perikanan. Penelitian selama dua

tahun di tenggara India sebagai contoh memperlihatkan bahwa kondisi mangrove yang baik

memberikan hasil penangkapan kerang-kerangan sebesar 11 kg ha-1 hr-1 dan 4,5 kg ikan ha-1 hr-1

(Saenger et al, 2013).

Dalam penelitiannya di semenanjung California, Manson et al (2005) mendapatkan

adanya peningkatan jumlah ikan yang didaratkan denga luasan hutan mangrove tepian (r2=

0,70, P = 0,0002), tetapi analisis penskalaan menunjukan bahwa hasil yang lebih signifikan

diperoleh apa bila dilakukan akar kuadrat terhadap area mangrove digunakan sebagai penduga

terhadap pendaratan (r2 = 0,76, P = 0,00004). Grafik hubungan tersebut dapat dilihat pada

Gambar 6. Penelitian ini juga menguji variabel-variabel lain (ukuran estuaria, padang lamun,

posisi lintang, dan upaya penangkana) yang diperkirakan dapat mempengaruhi hasil

pendaratan dan mendapatkan bahwa pendaratan ikan tidak berhubungan secara signifikan

dengan variabelvariabel tersebut. Penelitian yang dilakukan di Thailand untuk melihat habitat

perikanan dan kaitannya dengan pengurangan mangrove (Barbier, 2003) menunjukan bahwa

12

Page 13: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

terjadi penurunan hasil produksi perikanan, walaupun ada peningkatan produksi budidaya

udang sebagai akibat konversi lahan bakau untuk usaha budidaya udang.

Gambar 6 Hubungan antara pendaratan (ikan dan kepiting bakau) dan nilai ekonomi (harga yang dibayarkan kepada nelayan oleh koperasi nelayan lokal) terhadap daerah mangrove fringe pada semenanjung California. Data dalam rata-rata 2001-2005 (Manson et al, 2005)

4. Penutup

Produktivitas primer tertinggi kedua setelah coral

Produksi bervariasi secara regional

Kontribusi tinggi terhadap perikanan

Kontribusi terhadap carbon sink

Keterancaman cukup tinggi

13

Page 14: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

14

Page 15: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

Daftar Pustaka

Aburto-Oropeza, O., E. Ezcurra., G. Danemann, V. Valdez, J. Murray, dan E. Sala. 2008. Mangroces in the gulf of California increase fishery yields. In . PNAS. 105:30. 10456-10459. www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.0804601105

Bernini, E. dan C.E. Rezende. 2010. Litterfall in a mangrove in Southeast Brazilia. In. Pan_American Journal of Aquatic Sciences. 5(4): 508-519 pp.

Blaber, S.J.M. 2007. Mangroves and fishes: Issues of diversity, dependence, and dogma.In. Bull Mar Sci 80:457– 472.

Bouillon, S., A.V. Borger, E. Castaneda-Moya, K. Diele, T. Dittmar, N.C. Duke, E. Kristensen, S.Y. Lee, C. Marchand, J.J. Middelburg, V.H. Rivera-Monroy, T.J. Smith III and R.R. Twilley. 2008. Mangrove production and carbon sinks: A revision of global budget estimates. In. Global Biochemical Cycles. 22, GB2013, doi:10.1029/2007GB003052. 12 pp.

Clough, B.F. 1997. Primary productivity and growth of mangrove forests: Tropical mangrove ecosystem. In. Coastal and estuarine studies. 41: 225-249 pp. http://www.agu.org/ books/ce/v041/ce041p0225/ce041p0225.pdf

Dittmar, T., N. Hertkorn, G. Kattner, dan R.K. Lara. 2006. Mangroves, a major source of dissolved organic carbon to the oceans. In. Global Biogeochemistry Cycles. 20: 1-7 pp.

Dorenbosch M, M.C. van Riel, I. Nagelkerken, dan G. van der Velde. 2004. The relationship of reef fish densities to the proximity of mangrove and seagrass nurseries. In. Estuar Coast Shelf Sci. 60:37– 48

Faunce, C.H. dan J.E. Serafy. 2006. Mangrove and fish habitat: 50 years of field studies. In. Marine Ecology Progress Series. 318:1-18

Giri C, E. Ochieng, L.L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek and N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. In. Global Ecol. Biogeogr., 20: 154–159 pp.

Kairo, J.G., J.K.S. Lang’at, D.B. Gebas, J. Bossire and M. Karachi. 2008. Structural development and productivity of replanted mangrove plantation s in Kenya. In. Forest Ecology and Management. 255: 2670-2677 pp.

Lugo, A. E. 2002. Conserving Latin American and Caribbean mangroves: issues and challenges. In. Maderay Bosques Special Issue 5-25 pp.

Lugo, A.E., S.C. Snedaker. 1974. The ecology of mangroves: Annual Review. In. Ecology Systematics 5: 39-64.pp.

Manson, F.J., N.R. Loneragan, G.A. Skilleter, dan S.R. Phinn. 2005. An evaltuation of the evidence for linkages between mangroces and fisheries: a synthesis of the literature and identification of research directions. In. Oceanography and Marine Biology: An Annual Review. 43:485-515

Millennium Ecosystem Assessment. 2005. Ecosystems and Human Well-being: Wet-lands and Water. World Resources Institute, Washington, DC.

15

Page 16: Beberapa Ulasan Tentang Produktivitas Ekosistem Mangrove

Morrisey, D., C. Beard., M. Marrison, R. Craggs, and M. Lowe. 2007. The New Zealand mangrove: review of the current state of knowledge. Auckland Regional Council. Technical Publication. TP325. 156 pp.

Poungparn, S. and A. Komiyama. 2013. Net ecosystem produktivity studies in mangrove forests. In. Reviews in Agriculture Science. doi: 10.7831/ras.1.61 : 1:61-64 pp.

Saenger, P., D. Gartside, dan S. Funge-Smith. 2013. A review of mangrove and seagrass ecosystem and their linkage to fisheries and fishereries management. In. RAP Publication. FAO. 9:74pp.

Salem, M.E. dan D.W. Mercer. 2012. The economic value of mangrove: A meta-analysis. In. Sustainability. 4:359-383; doi:10.3390/su4030359. www.mdpi.com/journal/sustainability

Twilley, R.R. and J.W. Day. 1999. The productivity and nutrient cycling of mangrove ecosystem. http://www1.inecol.edu.mx/ecosistemasdemanglar/Cap_10.pdf. 127-151 pp.

16