pemeriksaan laboratorium imunologi
DESCRIPTION
laboratorium imunologiTRANSCRIPT
2.6 Aplikasi Klinis Pemeriksaan Laboratorium Imunologi
2.6.1 Hipersensitivitas ( Alergi )
Hipersensitivitas alergik terjadi karena pembentukan imunoglobulin (IgE)
yang tidak sesuai dan kontinu sebagai respons terhadap alergen. Sejak ditemukannya
IgE lebih dari 2 dekade yang lalu, para ilmuan mencoba berbagai strategi terapeutik
untuk secara selektif menghambat produksi dan kerja antibodi IgE. Riset difokuskan
untuk memahami mekanisme yang mengendalikan produksi IgE termasuk proses-
proses molekuler perubahan di sel B hingga sintesis IgE, pembentukan sinyal IL
(interlekin) yang berpengaruh termasuk IL-4 dan IL-13, interaksi reseptor permukaan
sel B dan sel T, dan mekanisme yang mendorong diferensiasi sel limfosit T-helper
(Th2). Reseptor – reseptor sitokin larut dan antibodi monoklonal yang direkayasa
secara genetis sedang dikembangkan untuk menetralkan sitokin pada penyakit
alergik. Banyak dari zat tersebut (reseptor dan antibodi) secara spesifik menargetkan
IL-4, IL-5, IL13 dan CD23 (suatu resptor IgE berafinitas rendah). Strategi
eksperimental lain mencakup terapi dengan agen seperti oligonukelotida DNA yang
terbias kearah respons imun TH1. Imunoterapi konvensional dan termodifikasi dapat
bekerja dengan mengeliminasi (“anergize”) dan bukan menginduksi respons TH2
terhadap alergen lingkungan.
2.6.2 Otitis Media Serosa Dan Sinus
Otitis serosa terjadi karena obstruksi tuba auditorius oleh edema mukosa dan
hipersekresi. Anak dengan gangguan ini dapat datang dengan gangguan pendengaran
konduktif, ketelambatan bicara, dan otitis media berulang yang berkaitan dengan
obstruksi hidung kronik. Pemeriksaan dapat memperlihatkan otitis media kronik,
edema infraorbital, peradangan mukosa hidung, dan duh hidung purulen. Diagnosis
radiografik dengan sinar X atau pemindai CT memperlihatkan kekeruhan sinus,
penebalan membran, atau adanya batas udara cairan. Terapi efektif terhadap penyulit
infeksi pada rinitis kronik mencangkup pemberian antibiotik, antihistamin dan
dekongestan sistemik, dan mungkin kortikosteroid intranasal.
2.6.3 Hiperresponsivitas Saluran Napas
Hiperresponsivitas saluran nafas merupakan tanda utama asma dan
dilaporkan berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit dan kebutuhan obat.
Paengamatan mekanik fisiologi saluran nafas menggambarkan bahwa hidung dapat
mempengaruhi fungsi paru melalui mekanisme yang langsung dan tak langsung.
Mekanisme semacam ini dapat mencakup adanya refleks nasal-bronkus, postnasal
drip sel-sel dan mediator peradangan dari hidung ke saluran nafas bawah, penyerapan
sel dan mediator inflamatorik ke dalam sirkulasi sistemik dan akhirnya ke paru serta
sumbatan hidung dan kemudian pernafasan melalui mulut yang mempermudah
masuknya pemicu asma ke saluran nafas bawah. Terapi efektif untuk responsivitas
saluran nafas fase lambat dengan menghindari zat-zat yang memicu asma dan
pemberian obat anti-inflamasi dengan atau tanpa imunoterapi.
2.6.4 Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid adalah suatu penyakit otoimun sistemik dengan aktivasi
abnormal sel B, Sel T dan efektor imun bawaan. Penyakit ini adalah salah satu
penyakit rematik inflamatorik yang tersering dan ditandai oleh terjadinya proliferasi
inflamatorik kronik lapisan dalam sinovium sendi diartrodial, yang menyebabkan
kerusakan tulang rawan dan erosi tulang progresif. Jika tidak diobati, artritis
reumatoid sering meyebabkan kerusakan progresif sendi, disabilitas dan kematian
prematur. Terapi yang segera dan agresif untuk mengatasi peradangan pada artritis
reumatoid dapat memperlambat atau bahkan menghentikan erosi progresif sendi.
Sejumlah obat imunomodulatorik terbukti bermanfaat dalam mengobati artritis
reumatoid. jalur primer yang digunakan oleh metotreksat–obat yang paling sering
digunakan sebagai terapi tunggal untuk artritis reumatoid untuk meredakan
peradangan masih diperdebatkan. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa
metrotreksat memicu peningkatan pengeluran adenosin, suatu mediator anti-inflamasi
kerja singkat.
Artritis reumatoid adalah salah satu dari penyakit – penyakit pertama ketika
pemberian biologic modifiers ( pemodifikasian biologis ) jalur-jalur patogenik
tertentu seperti terapi anti-TNT-α berhasil mengobati penyakit. Inhibitor TNT-α
(etenercept, infliximab, dan adalimumab) bekerja dengan menimbulkan sekuestrasi
TFN-α, baik ke bentuk larut rekombinan reseptor TNF (etenercept) atau ke antibodi
monoklonal terhadap TNF (infliximab, adalimumab). Meskipun obat-obat ini sangat
mungkin memberi manfaat bagi pasien dengan artritis reumatoid, pemakaiannya
masih terkendala oleh biaya yang tinggi dan kemungkinan tisiko toksisitas imbas obat
(termasuk kerentanan terhadap infeksi yang mengancam nyawa dan induksi sindrom
autoimun lain). Selain itu meskipun obat-obat tersebut sampai saat ini merupakan
obat yang paling poten untuk mengontrol artritis reumatoid, masih terdapat pasien-
pasien yang tidak mengalami remisi jika hanya diberi penghambat TNF. Sebagai
prinsip umum terapi pada artritis reumatoid, pemakaian banyak obat dengan
mekanisme kerja (yang diperkirakan) berbeda dan saling melengkapi tampaknya
dapat memberi manfaat bagi pasien.