pembahasan+tipus+daftar pustaka
DESCRIPTION
abcdTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya
progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,
maupun susunan saraf pusat.
Skenario :
Tangan Kaki Lemah dan Sesak Nafas
Seorang laki-laki usia 22 tahun datang ke Instalasi Gawt Darurat RS dengan
keluhan sesak nafas. Keluhan diawali dengan kedua tangan dan kakinya terasa
kesemutan sejak 7 hari yang lalu. Keluhan kesemutan ini dirasakan awalnya hanya
diujung-ujung jari kaki dan menjalar sampai ke pergelangan kaki. Kesemutan yang
dirasakan semakin ke atas sampai lengan atas. Sejak 3 hari yang lalu ia juga
merasakan kekuatan tangan dan kakinya lemh, untuk jalan merasa berat dan juga
untuk mengangkat gelas terasa berat. Dua minggu sebelumnya ,enderita diare, sudah
berobat ke dokter dan sembuh.
Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 92
kali/menit, pernafasan 32 kali/menit, pendek-pendek, suhu 370C, didapatkan paresis
dengan kekuatan ekstremitas dekstra dan sinistra 4/4, refleks fisiologis menurun,
reflek patologis negatif, parastesi pada kedua tangan dan kaki.
Di IGD dokter memberikan oksigenasi dan melakukan pemeriksaan
penunjang unttuk menegakkan diagnosis. Selanjutnya pasien dirawat di ICU karena
kegawatannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme sesak nafas?
2. Mengapa kesemutan bisa menjalar dari ujung kaki ke pergelangan kaki lalu
ke lengan atas?
3. Apakah hubungan diare dengan keluhan utama pasien?
4. Mengapa kekuatan tangan dan kaki melemah?
5. Apa hubungan jenis kelamin, usia dengan keluhan?
6. Bagaimana interprestasi hasil vital sign dan pemeriksaan fisik terkait
skenario?
7. Pemeriksaan penunjang apa saja untuk menegakkan diagnosis?
8. Apa tujuan dan manfaat diberikan terapi oksigenasi
9. Apa diagnosis banding terkait skenario tersebut?
10. Apa penatalaksanaan terkait skenario?
11. Apa indikasi seseorang masuk ICU?
C. Tujuan
1. Mengetahui mekanisme sesak nafas
2. Mengetahui mekanisme kesemutan yang dapat menjalar
3. Mengetahui hubungan diare dengan keluhan utama
4. Mengetahui penyebab kelemahan pada tangan dan kaki
5. Mengetahui hubungan jenis kelamin, umur dengan keluhan utama
6. Mengetahui interprestasi hasil vital sign dan pemeriksaan fisik terkait
skenario
7. Mengetahui peeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
8. Mengetahui manfaat dari pemberian terapi oksigenasi
9. Mengetahui diagnosis banding terkait skenario
10. Mengetahui penatalaksanaan terkait skenario
11. Mengetahui indikasi seseorang masuk ICU
D. Hipotesis
Berdasarkagan skenario di atas, kemungkinan laki-laki tersebut
menderita Guillain Barre Sindrom
BAB II
PEMBAHASAN
Pada skenario kali ini, seorang pasien datang dengan keluhan yang diawali
dengan sesak nafas, kesemutan, melemahnya kekuatan tangan dan kaki, serta diare
yang diderita beberapa waktu sebelumnya. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik,
pasien dirawat di ICU karena kegawatannya.
A. Patofisiologi
Kesemutan
Dr. Naomi Kleitman, direktur program “repair dan plasticity”
pada National Institute of Neurological Disorders di Bethesda –
Maryland, mengatakan bahwa pada saat kesemutan terjadi kemacetan
pada syaraf-syaraf sehingga sinyal-sinyal yang seharusnya disampaikan
balik ke otak tidak terjadi sebagaimana mestinya. Jaringan syaraf
bertindak seperti kabel listrik yang menyebar di seluruh tubuh. Syaraf
berfungsi sebagai jalur untuk menyampaikan perintah dari otak dan begitu
juga sebaliknya. Penyempitan yang terjadi menghambat jalannya gula
darah dan oksigen, dan “sabotase” ini mengakibatkan sinyal yang
seharusnya disampaikan ke otak terkocar-kacir ke seluruh jaringan syaraf
yang terhambat.
Kemacetan aliran syaraf tersebut dapat terjadi karena beberapa hal :
a. Tekanan
Kesemutan terjadi jika syaraf dan pembuluh darah mengalami
tekanan, misalnya, saat duduk bersimpuh atau menekuk kaki
terlalu lama, maka syaraf dan aliran darah terganggu. Umumnya
kesemutan akan mereda jika bagian tubuh yang mendapat
tekanan digerakkan. Kesemutan biasanya bersifat sementara dan
terjadi apabila baik disengaja atau tidak disengaja aktivitas kita
menghambat aliran darah ke salah satu bagian tubuh kita.
Aktivitas seperti berlutut atau jongkok dalam waktu yang lama
akan memancing terjadinya kesemutan. Ini karena pada bagian
bawah kaki kita darah tidak leluasa mengalir karena terhambat
oleh beban tubuh kita di bagian tersebut. Apabila kita
menghentikan aktivitas tersebut maka berangsur-angsur aliran
darah menjadi normal kembali dan kesemutan pun jadi hilang
b. Kerusakan struktur maupun fungsi syaraf
Kerusakan syaraf dapat terjadi karena trauma fisik, kimia,
toksik, kurangnya aliran darah dan reaksi imun. Misal pada
pasien diabetes mellitus terjadi kerusakan kecepatan konduksi
syaraf karena konsentrasi glukosa tinggi dan penyakit
mikrovaskuler (Engram, 1999). Pada pasien sindrom Guillain-
Barré, terjadi kerusakan selubung myelin syaraf (Hartanto,
2012).
c. Adanya sumbatan
Adanya sumbatan di otak seperti pada pasien stroke dan jantung
setelah oprasi pemasangan klep dapat menjadi penyebab
kesemutan
Sesak Nafas
a. Konsep length – tension inappropriateness
Sesak nafas timbul dari gangguan hubungan antara
kekuatan/ketegangan otot – otot pernafasan dan perubahan yang
dihasilkan (panjang otot dan volume paru)
b. Afferent mismatch
Ketidaksepadanan (disosiasi) antara perintah yang keluar dari otak
(aktivitas motorik pernafasan pusat) dan informasi aferen yang datang
dari reseptor (jalan nafas, paru, dinding dada)
c. Kebutuhan jalan nafas meningkat, misal pada :
Penyakit paru
Hipoksemia rangsang kemoreseptor bisa meningkatkan aktivitas
motorik pernafasan
Deconditioning pada pasien penyakit kardiopulmoner
mengakibatkan asam laktat terbentuk lebih awal dan cepat
meningkat, sehingga rangsang pernafasan meningkat lalu
kebutuhan jalan nafas meningkat dan mengakibatkan sesak nafas
d. Kelainan otot pernafasan
Kelemahan mekanik otot pernafasan mengakibatkan ketidakcocokan
antara hasil dari motor pernapasan dan jalan nafas sehingga terjadi
sesak nafas. Hal ini dapat terjadi pada pasien penyakit neuromuskuler
dan kelemahan otot
e. Kelainan tahanan jalan nafas
Penyempitan jalan nafas seperti pada asma dan PPOK
mengakibatkan tahanan jalan nafas meningkat kemudian sesak
nafas
Penyakit paruparenkim seperti pada interstisial pneumonitis dan
fibrosis paru mengakibatkan kelainan elastisitas paru sehingga
terjadi tahanan jalan nafas kemudian sesak nafas
f. Kelainan pola bernafas
Misal pada penyakit parenkim paru, nafas menjadi cepat karena
adanya refleks dari respons rangsangan reseptor vagus di paru – paru
g. Kelainan asam basa
Pada hiperkapnia kronik terjadi kompensasi metabolik yang akan
mengurangi perubahan ion hidrogen sehingga terjadi penurunan
respons ventilasi kemudian sensasi pernafasan berubah
(Kusumosutoyo, 2009)
Diare
Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam
penyebab diare, maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam tiga macam
kelainan pokok yang berupa:
a. Kelainan Gerakan Transmukosal Air dan Elektrolit
Gangguan reabsorbsi pada sebagian kecil usus halus sudah
dapat menyebabkan diare. Di samping itu peranan faktor infeksi pada
patogenesis diare akut adalah penting, karena dapat menyebabkan
gangguan sekresi (diare sekretorik), difusi (diare osmotik),
malabsorpsi, dan keluaran langsung. Faktor lain yang cukup penting
dalam diare adalah empedu, karena dehidroksilasi asam dioksikolik
dalam empedu akan mengganggu fungsi mukosa usus, sehingga
sekresi cairan di jejunum dan kolon serta menghambat reabsorpsi
cairan di kolon. Diduga bakteri mikroflora usus turut memegang
peranan dalam pembentukan asam dioksikolik tersebut.
b. Kelainan laju gerakan bolus makanan dalam lumen usus
Proses absorbsi dapat berlangsung sempurna dan normal bila
bolus makanan tercampur baik dengan enzim – enzim saluran cerna
dan cukup tercerna. Juga waktu sentuhan yang adekuat antara kim dan
permukaan mukosa usus halus diperlukan untuk absorbsi yang normal.
Motilitas usus merupakan faktor yang berperan penting dalam
ketahanan lokal mukosa usus. Hipomotilitas dan stasis dapat
menyebabkan mikroba usus berkembang biak secara berlebihan, yang
kemudian dapat merusak mukosa usus. Kerusakan mukosa usus akan
menimbulkan gangguan digesti dan absorbsi, yang kemudian akan
terjadi diare. Selain itu hipermotilitas dapat memberikan efek langsung
sebagai diare.
c. Kelainan tekanan osmotik lumen usus
Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang
melebihi kapasitas dari pencernaan dan absorbsinya akan
menimbulkan diare. Adanya malabsorbsi karbohidrat, lemak, dan
protein akan menimbulkan kenaikan daya tekanan osmotik intra
lumen, yang akan menimbulkan gangguan absorbsi air.
(Mayer L., 2003)
Hasil Pemeriksaan
Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 140/80 mmHg yang
termasuk dalam kategori prediabetes. Nadi 92 kali/menit termasuk
kategori normal, pernafasan 32 kali/menit termasuk cepat, hal ini
terkait pasien mengalami sesak nafas sehingga pengambilan oksigen
kurang maksimal karenanya tubuh mengimbangi dengan peningkatan
frekuensi nafas. Paresis dengan kekuatan ekstremitas dekstra dan
sinistra 4/4 menunjukkan kekuatan kontraksi otot dapat menggerakkan
sendi dengan aktif dan dapat melawan sedikit tahanan. Refleks
fisiologi menurun menunjukkan refleks yang normal mengalami
gangguan ataupun berlangsung lebih lambat dari pada standar
normalnya. Refleks patologis negatif menunjukkan tidak ditemukkan
nya refleks yang abnormal.
B. Diagnosis Banding
Dari keluhan dan gejala klinis yang dialami pasien, dapat ditetapkan diagnosis
banding yang sesuai, berikut ini diagnosis banding dari keluhan yang dialami
pasien:
1. Sindroma Guillain-Barre (SGB)
Definisi
Guillain-Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah
infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan
dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan
nervus kranialis.
Epidemiologi
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9
kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central
Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate
1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun
dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia
termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95
tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5%
Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia
adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita
laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia
rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana
terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan
pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa
keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya SGB, antara lain:
- Infeksi
- Vaksinasi
- Pembedahan
- Penyakit sistematik:
1. Keganasan
2. systemic lupus erythematosus
3. tiroiditis
4. penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara
56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul
seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Mekanisme
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum
diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa
kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme
imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme
yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
imediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari
peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses
demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai
peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Gejala Klinis & Diagnosis
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai
dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya
refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu
setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan
gangguan sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnosa yang umum
dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
a. Terjadinya kelemahan yang progresif
b. Hiporefleksi
2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
Ciri-ciri klinis:
o Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
o Relatif simetris
o Gejala gangguan sensibilitas ringan
o Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
o Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
o Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dangejala vasomotor.
o Tidak ada demam saat onset gejala neurologis.
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
o Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
o Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
o Varian:
Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu
gejala
Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm
o Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80%
kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
(Iskandar Japardi, 2002)
2. MIESTENIA GRAVIS
Definisi
Miastenia Gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah
satu-satunya penyakit neuromuskuler yang menggabungkan kelelahan
cepat otot voluntar dan waktu penyembuhan yang lama (penyembuhan
dapat butuh waktu 10 hingga 20 kali lebih lama daripada normal). (Price,
2005)
Miastenia Gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran
seseorang (volunter). (Brunner & Suddart, 1996)
Epidemiologi/Insiden kasus
Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering
pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun. Dahulu,
angka kematian mencapai 90 %. Angka kematian menurun drastis sejak
tersedia pengobatan dan unit perawatan pernapasan.
Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia Gravis dihubungkan dengan
gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung
antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat
partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh).
Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian
bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik.
Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian
terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler
pada Miastenia Gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia
Gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi
menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.
Manifestasi klinis Miastenia Gravis
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah
mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan
berkurang setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini akan mengalami
kelelahan hanya karena penggunaan tenaga yang sedikit seperti menyisir
rambut, mengunyah dan berbicara, dan harus menghentikan segalanya
untuk istirahat.
Berbagai gejala yang muncul sesuai dengan otot yang terpengaruh.
Otot-otot simetris terkena, umumnya ini dihubungkan dengan saraf
kranial. Karena otot-otot okular terkena maka gejala awal yang muncul
adalah diplopia (pengelihatan ganda) dan ptosis (jatuhnya kelopak mata).
Kelemahan pada otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan
menelan dan adanya bahaya tersedak dan aspirasi.
Ekspresi wajah pasien yang sedang tidur terlihat seperti patung, hal ini
disebabkan karena otot-otot wajah terkena. Pengaruhnya terhadap laring
menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam membentuk bunyi suara
hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata. Beberapa pasien
sekitar 15% sampai 20% mengeluh lemah pada tangan dan otot-otot
lengan, dan biasanya berkurang, pada otot kaki mengalami kelemahan,
yang membuat pasien jatuh. Kelemahan diafragma dan otot-otot
interkostal progresif mengebabkan gawat napas, yang merupakan keadaan
darurat akut.
Patofisiologi
Pada Miastenia Gravis, konduksi neuromuskularnya terganggu.
Jumlah reseptor asetilkolin normal menjadi menurun yang terjadi akibat
cedera autoimun sehingga terjadi penurunan potensial aksi yang
menyebabkan kelemahan pada otot. Pada 90 % pasien gejala awal
melibatkan otot okular yang menyebabkan ptosis dan diplopia. Otot
wajah, laring dan faring juga sering terlibat dalam Miastenia Gravis yang
dapat mengakibatkan regurgitasi melalui hidung ketika berusaha menelan
dan pasien dapat mengalami aspirasi, gangguan suara (disfonia).
Kelemahan otot pernapasan juga ditandai dengan batuk lemah dan
akhirnya serangan dispnea, dan ketidakmampuan membersihkan mukus
dari cabang trakeobronkial. Selain itu terjadi kelemahan otot ekstremitas
yang menyebabkan pasien kesulitan untuk berdiri, berjalan, atau bahkan
menahan lengan di atas kepala (Misalnya ketika sedang menyisir rambut).
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan
fisik. Pemeriksa harus memiliki pengetahuan mengenai Miastenia Gravis.
Banyak pasien telah berterus terang kepada psikiater karena gejala mereka
hanya memiliki dasar fisiologis. Meminta pasien untuk memperlihatkan
aktivitas berulang hingga kelelahan adalah bukti-bukti yang dapat
membantu menegakkan diagnosis. Elektromiografi (EMG)
memperlihatkan satu ciri khas penurunan dalam amplitudo unit motorik
potensial dengan penggunaan yang terus menerus. Tes khusus untuk
Miastenis Gravis adalah adanya antibodi serum terhadap reseptor
asetilkolin. Setidaknya 80% penderita Miastenia Gravis memiliki kadar
antibodi serum tinggi yang abnormal, tetapi penderita bentuk penyakit
Miastenia Gravis okular yang ringan atau tunggal dapat memiliki hasil
negatif palsu.
Diagnosis dipastikan dengan tes Tensilon. Edrofonium klorida
(Tensilon) adalah suatu obat penghambat kolinesterase, yang diberikan
secara intravena. Pada pasien Miastenia Gravis memperlihatkan perbaikan
otot dalam 30 detik. Ketika didapatkan hasil positif, perlu didapatkan
diagnosis banding antara Miastenia Gravis sejati dengan sindron
miastenik. Penderita sindrom miastenia memiliki gejala yang sama dengan
Miastenia Gravis sejati, namun penyebabnya berkaitan dengan proses
patologis lain (seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang
menyebar).
Usia awitan kedua keadaan ini adalah faktor pembeda yang penting.
Penderita Miastenia Gravis sejati biasanya berusia muda, sedangkan
penderita sindrom miastenia cenderung lebih tua. Gejala sindrom
miastenia biasanya menghilang bila penyakit dasarnya dapat dikontrol.
Pada Miastenia Gravis terjadi kelainan kelenjar timus. Walaupun terlalu
kecil untuk dapat dilihat secara radiologis, kelenjar timus sebagian besar
pasien secara histologis adalah abnormal. Perempuan usia muda
cenderung mengalami hiperplasia timus sedangkan laki-laki usia tua
cenderung mengalami neoplasma timus.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Miastenia Gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk
antibodi AChR dan CT-scan atau MRI toraks untuk melihat adanya
timoma.
1. Tes antikolinesterase. Untuk tes ini digunakan edrofonium (tensilon),
suatu antikolinesterase kerja pendek, yang diberikan intravena dalam
beberapa detik dan efeknya akan berakhir dalam beberapa menit.
Mula-mula edrofonium diberikan dalam dosis 2 mg intravena selama
15 detik; bila dalam waktu 30 detik tidak terdapat respons, dapat
ditambahkan 8-9 mg. Respons yang diharapkan meliputi derajat ptosis,
derajat gerak mata dan kekuatan menggenggam. Efek samping
kolinergik yang dapat muncul antara lain fasikulasi, flushing,
lakrimasi, kejang otot perut, nausea, vomitus dan diare. Edrofonium
harus diberikan secara berhati-hati pada pasien dengan kelainan
jantung karena dapat menyebabkan bradikardi, blok atrioventrikular,
bahkan sampai henti jantung. Untuk mengatasi toksisitas edrofonium,
dapat digunakan atropin.
2. Elektromiografi. Akan tampak gambaran frekuensi yang rendah (2-4
Hz); stimulasi berulang akan menghasilkan penurunan amplitudo dari
evoked motor responses.
3. Antibodi AChR. Hasil positif bersifat diagnostik; walaupun
demikian, hasil postif tidak berkorelasi dengan derajat penyakit. Pada
umumnya 80% pasien menunjukkan hasil positif; sedangkan pasien
dengan kelainan mata hanya 50% yang positif. Antibodi terhadap
Muscle-spesific Kinase (MuSK) didap atkan pada 40%o pasien dengan
antibodi AChR negatif.
(Sudoyo, 2009)
3. POILOMIELITIS
Definisi
Poliomielitis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
yang disebut poliovirus yang cepat menyebar dan dapat mempengaruhi
seluruh tubuh, bahkan otot dan saraf, dan pada kasus yang serius (berat)
dapat mengakibatkan kelumpuhan permanen atau kematian.
Etiologi
Poliomielitis disebabkan oleh virus polio yang merupakan suatu
enterovirus. Besarnya 8 – 12 mmu (millimikron). Virus ini tidak tahan
panas tetapi dapat hidup terus dalam suasana dingin. Virus polio dibagi
lagi dalam 3 tipe, yaitu: (1) tipe I Brunhilde, (2) tipe II Lansing, (3) tipe III
Leon.
Epidemiologi
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, meskipun masih banyak kasus
yang belum dilaporkan. Dahulu penyakit ini lebih sering menyerang bayi
dan anak-anak, tetapi akhir-akhir ini menyerang orang yang lebih besar
yaitu usia 15 tahun. Penyakit ini sering muncul pada saat musim panas
dan musim gugur. Orang dewasa dan wanita-wanita muda lebih sering
terkena penyakit ini. Apabila orang dewasa terinfeksi maka kemungkinan
terjadi kelumpuhan lebih besar. Antara tahun 1840–1950, penyakit
poliomielitis ini mewabah di seluruh dunia. Setelah itu dikembangkan
suatu vaksin untuk mencegah penyakit poliomielitis ini sehingga angka
prevalensi menjadi berkurang, yang masih mewabah adalah pada daerah
yang tidak mendapat immunisasi.
Patogenesis
Poliomielitis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi/peradangan oleh poliovirus, penyakit ini ditularkan dari orang
yang terinfeksi ke orang lain dengan cara kontak baik melalui sekret yang
dikeluarkan dari hidung, mulut ataupun melalui feses. Di faring, virus ini
hanya dapat ditemukan tiga hari sebelum sampai lima hari sesudah
penyakit ini timbul. Tetapi di dalam tinja, virus ini dapat ditemukan
sampai 17 minggu sejak penderita itu menjadi sakit. Penularannya adalah
secara water-borne (seperti penularan penyakit tifus). Porte d`entre dari
virus ini adalah usus di mana virus itu dapat berkembang biak dan
menimbulkan viremia, sampai akhirnya virus ini sampailah ke SSP.
Virus masuk melalui mulut dan hidung kemudian berkembangbiak di
dalam kerongkongan dan di dalam traktus gastrointestinal (usus) akan
menyebar melalui pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Masa
inkubasi yang diperlukan berkisar 5 – 35 hari dengan rata-rata 7 – 14 hari.
Russell mengatakan bahwa suatu provokasi seperti misalnya suatu
infeksi (juga suatu vaksinasi atau pencacaran), suatu tonsilektomi atau
suatu olah raga yang berat, dapat merupakan suatu “invitation to settle
down” bagi virus itu di tempat-tempat tertentu dalam SSP.
Provokasi tadi menimbulkan kelemahan pada motoneuron, sehingga
virus polio itu dapat masuk ke dalam sel-sel motoneuron tersebut. Dengan
demikian maka timbullah suatu kelumpuhan (polio paralitik). Bila virus
itu hanya sampai pada selaput sumsum tulang belakang saja tetapi tidak
ada “invitation to settle down”, maka akan terjadi kaku kuduk dan lain-
lain tanpa kelumpuhan (polio non-paralitik).
Ada beberapa faktor yang menentukan apa sebabnya tempat-tempat
tertentu dari SSP lebih sering terserang virus polio daripada tempat-tempat
yang lain. Faktor yang yang berperan dalam hal ini adalah:
1. Jumlah (banyaknya) dan virulensi virus polio yang memasuki tubuh.
2. “Invitation to settle down” yang berperan dalam fase pre-paralitik.
Invitasi itulah yang akan menentukan apakah akan terjadi kelumpuhan
dan bagian tubuh yang mana yang akan menjadi paralisis. Invitasi itu
adalah suatu trauma seperti misalnya suatu infeksi, olah raga berat,
tonsilektomi, adenektomi, cabut gigi, fraktur, abses dan lain-lain.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul akibat infeksi / peradangan ini sangat
bervariasi dari yang ringan sampai berat sehingga dapat menimbulkan
kematian Gejala klinis (gejala prodromal) ini meliputi: (1) demam, (2)
rasa tidak enak badan, (3) sakit kepala, (4) mual dan muntah, (5) nyeri
pada otot, (6) kekakuan pada otot dan leher.
Pemeriksaan Penunjang
Prosedur dasar laboratorium untuk diagnosis poliomyelitis terdiri dari
isolasi virus polio dalam kultur sel dari yang sesuai spesimen tinja yang
dikumpulkan dari acute flaccid paralysis (AFP) pasien dan yang kontak
dengan mereka. (Fransisco P, et al, 1997)
- Isolasi Virus
Virus polio dapat pulih dari tinja atau faring dari orang dengan
poliomyelitis. Isolasi virus dari cerebrospinal cairan (CSF) adalah
menegakkan diagnostik, tetapi jarang dicapai. Jika virus polio yang
diisolasi dari orang dengan acute flaccid paralysis (AFP), harus diuji
lebih lanjut, dengan menggunakan oligonucleotide mapping (sidik jari)
atau sekuensing genom untuk menentukan jika virus "wild type"
(yaitu, virus yang menyebabkan penyakit polio) atau vaksin type
(virus yang bisa berasal dari vaksin strain).
- Serologi
Pemeriksaan serologi berupa tes netralisasi dengan memaakai serum
pada fase akut dan konvalen. Dikatakan positif bila ada kenaikan titer
4 kali atau lebih. Tes netralisasi sangat spesifik dan bermanfaat untuk
menegakkan diagnose Poliomielitis. Selain itu bisa juga dilakukan
pemeriksaan CF (Complement Fixation), tetapi ditemukan reaksi
silang diantara ketiga tipe virus ini.
- Cairan Serebrospinal
Pada infeksi virus polio, CSS biasanya mengandung sel darah putih
yang jumlahnya meningkat (10-200 sel/mm3, terutama limfosit) dan
protein meningkat sedikit (40-50 mg/100 mL).
(Syahril Pasaribu, 2005)
c. Hubungan Umur dan Jenis Kelamin
Pasien adalah seorang laki laki berusia 22 tahun
Jika dihubungkan dengan diagnosis yang berupa sindrom Guillain Barre maka
akan ditemukan bahwa penyakit ini memiliki insidensi 1 hingga 2 kasus per
100.000 orang pertahun (0,001% hingga 0,002% dari populasi). Penyakit ini juga
menyerang di berbagai musim sehingga mirip dengan penyakit endemik.
Walaupun penyakit ini menyerang berbagai usia dan jenis kelamin, diketahui
bahwa penyakit ini bukanlah penyakit yang diturunkan, namun apa yang
mendasari penyakit ini belumlah diketahui hingga saat ini (Price, 2006)
Dalam sebuah penelitian dinyatakan bahwa sindrom ini menyerang laki-laki
1,5 kali lebih banyak daripada wanita. Penyakit ini juga lebih sering ditemui pada
orang dewasa dengan puncak insidensi pada usia 30 – 50 tahun karena
berdasarkan etiologinya, penyakit ini merupakan sebuah penyakit autoimun yang
melibatkan selsel pertahanan tubuh yang sudah berkembang yang biasanya
ditemukan pada orang dewasa sedangkan pada anak-anak sel-sel ini belum
mengalami perkembangan yang maksimal, sehingga jarang menimbulkan
sindrom Guillan Barre ini. Selain itu orang dengan kulit putih juga lebih jarang
mengalami penyakit ini (Fauci, 2008).
d. Indikasi Pasien Masuk ICU
Pasien Prioritas 1 (Satu)
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan
terapi intensif seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif
kontinu, dan lain-lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain pasca bedah
kardiotoraksik, atau pasien shock septic. Mungkin ada baiknya beberapa institusi
membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat hipoksemia, hipotensi
di bawah tekanan darah tertentu. Pasien prioritas 1 (satu) umumnya tidak
mempunyai batas ditinjau dari macam terapi yang diterimanya.
Pasien Prioritas 2 (Dua)
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien
ini berisiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, karenanya pemantaun
intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial catheter sangat
menolong. Contoh jenis pasien ini antara lain mereka yang menderita penyakit
dasar jantung, paru, atau ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami
pembedahan major. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang
diterimanya mengingat kondisi mediknya senantiasa berubah.
Pasien Prioritas 3 (Tiga)
Pasien jenis ini sakit kritis, dan tidak stabil di mana status kesehatan
sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, baik masing-
masing atau kombinasinya, sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan
atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh: pasien ini antara lain pasien
dengan keganasan metastase disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade,
atau sumbatan jalan napas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru
terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 (tiga)
mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha
terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi kardiopulmoner.
(Achsanuddin Hanafie, 2007)
e. Oksigenasi
Tujuan terapi oksigenasi adalah mengoptimalkan oksingenasi jaringan dan
meminimalkan asidosis respiratorik.
Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen. Terapi oksigen pada pasien
PPOK (penyakit paru obstruksi kronik) dengan konsentrasi yang tepat dapat
mengurangi sesak napas saat aktivitas, dapat meningkatkan kemampuan
beraktivitas dan dapat memperbaiki kualitas hidup.
Manfaat lain terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik paru, kapasitas
latihan, kor pulmonal, menurunkan cardiac output, meningkatkan fungsi jantung
mmperbaiki fungsi neuropsikiatrik, mengurangi hipertensi pulmonal,
memperbaiki metabolisme otot dan diperkirakan dapat memperbaiki impotensi.
INDIKASI TERAPI OKSIGENASI
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-
benar membutuhkan oksigen, apakah dibutuhkan terapi oksigen jangka pendek
(short-term oxygen therapy) atau terapi oksigen jangka panjang (long-term
oxygen therapy)
Indikasi untuk pemberian oksigenasi harus jelas. Oksigen yang diberikan
harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat
manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
KONTRAINDIKASI TERAPI OKSIGENASI
Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada :
Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama
dispneu, tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak
mempunyai hipoksia kronik
Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang
buruk dan dapat meningkatkan resiko kebakaran
Pasien yang tidak menerima terapi adekuat
TEKNIK PEMBERIAN OKSIGEN
Cara pemberian oksigen dibagi menjadi 2 jenis yaitu sistem arus rendah
dan sistem arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan dan
kerugian. Alat oksigen arus rendah diantaranya kanul nasal, topeng oksigen,
reservoir mask, kateter transtracheal, dan simple mask. Alat oksigen arus tinggi
diantaranya venturi mask dan reservoir nebulizer blenders
f. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan
terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml
plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila
diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
3. Pengobatan imunosupresan:
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih
ringan. Dosis :
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
6 merkaptopurin (6-MP), azathioprine , cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopesia, muntah, mual dan
sakit kepala.
(Japardi, 2002)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB)
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang
terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-
Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun.
Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian
mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi
antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia
dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan
terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya,
misalnya: kegagalan jantung, kegagalan pernapasan, infeksi dan sepsis,
trombosis vena, serta emboli paru. Sindrom ini dapat menyebabkan tidak
efektifnya pola napas, gangguan mobilitas fisik, resiko integritas kulit, nutrisi
kurang dari kebutuhan, gangguan eliminasi serta gangguan komunikasi
verbal.
B. Saran
Guillan Barre Sindrome dapat menyebabkan perubahan status kesehatan pada
penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi yang dapat memperparah
kondisi prognosis pada klien dengan kasus tersebut. Oleh karena itu perlu
adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
Price SA and Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Jilid II, 6thed. EGC: Jakarta.
Fauci AS and Longo DL. 2008. Harrison’s : Principle of Internal Medicine, 17th ed.
EGC : Jakarta
Harahap, Ikhsanuddin Ahmad. 2005. Oksigen Dalam Suatu Asuhan Keperawatan.
Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-ikhsanuddin2.pdf (diakses pada 5
Oktober 2012)
Hanafie, Achsanuddin. 2007. Peranan Ruangan Perawatan Intensif (ICU) Dalam
Memberikan Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Available from:
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_achsanuddin_hanafie.pdf
(diakses pada 5 Oktober 2012)
Pasaribu, Syahril. 2005. Aspek Diagnostik Poliomielitis. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2030/1/anak-syahril2.pdf
(diakses pada 7 Oktober 2012)
Japardi, Iskandar. 2002. Sindroma Guillain Barre. Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf (diakses
pada 7 Oktober 2012)
Pinheiro, Fransisco P. 1997. Eradication of Wild Poliovirus from the Americas: Wild
Poliovirus Surveillance-Laboratory Issues. Available from:
http://jid.oxfordjournals.org/content/175/Supplement_1/S43.full.pdf
Aru W. Sudoyo, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing.
Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. 1990. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga: Surabaya.
Brunner & Suddart. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol 3.
EGC: Jakarta.
Carpenito, L.J. 2001. Handbook of Nursing Diagnosis (Buku terjemahan) Ed.8. EGC:
Jakarta.
Meyer, L. 2003. Mucosal Immunity. New York : American Academy of Pediatrics,
Departement of Medicine and Immunobiology, Mount Sinai School of
Medicine.
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
BLOK NEOPLASMA
SKENARIO 2
GUILLAIN BARRE SYNDROME
Disusun Oleh :
Amalia Fitri Puspitasari G0011016Andrio Palayukan G0011022Berlian A. P. W. G0011052Deneisha Kartika P. G0011064Erlimia Eka Noor Yuliana G0011084I. A. Sinthia Pradnya Swari G0011112Luthfi Saiful Arif G0011128Novalya Kurniawati G0011152Riris Arizka W. K. G0011176Syarifah Aini Khairunisa G0011202Wahyu Pamungkas G0011208
Tutor :
Isdaryanto dr. PHK. MARS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2011/2012