pembahasan+tipus+daftar pustaka

41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat. Skenario : Tangan Kaki Lemah dan Sesak Nafas Seorang laki-laki usia 22 tahun datang ke Instalasi Gawt Darurat RS dengan keluhan sesak nafas. Keluhan diawali dengan kedua tangan dan kakinya terasa kesemutan sejak 7 hari yang lalu. Keluhan kesemutan ini dirasakan awalnya hanya diujung-ujung jari kaki dan menjalar sampai ke pergelangan kaki. Kesemutan yang dirasakan semakin ke atas sampai lengan atas. Sejak 3 hari yang lalu ia juga merasakan kekuatan tangan dan kakinya lemh, untuk jalan merasa berat dan juga untuk mengangkat gelas terasa berat. Dua minggu sebelumnya ,enderita diare, sudah berobat ke dokter dan sembuh. Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 92 kali/menit, pernafasan 32 kali/menit, pendek-pendek, suhu 37 0 C, didapatkan

Upload: andrio-palayukan

Post on 19-Jan-2016

28 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

abcd

TRANSCRIPT

Page 1: pembahasan+tipus+daftar pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan

tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan

karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya

progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,

maupun susunan saraf pusat.

Skenario :

Tangan Kaki Lemah dan Sesak Nafas

Seorang laki-laki usia 22 tahun datang ke Instalasi Gawt Darurat RS dengan

keluhan sesak nafas. Keluhan diawali dengan kedua tangan dan kakinya terasa

kesemutan sejak 7 hari yang lalu. Keluhan kesemutan ini dirasakan awalnya hanya

diujung-ujung jari kaki dan menjalar sampai ke pergelangan kaki. Kesemutan yang

dirasakan semakin ke atas sampai lengan atas. Sejak 3 hari yang lalu ia juga

merasakan kekuatan tangan dan kakinya lemh, untuk jalan merasa berat dan juga

untuk mengangkat gelas terasa berat. Dua minggu sebelumnya ,enderita diare, sudah

berobat ke dokter dan sembuh.

Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 92

kali/menit, pernafasan 32 kali/menit, pendek-pendek, suhu 370C, didapatkan paresis

dengan kekuatan ekstremitas dekstra dan sinistra 4/4, refleks fisiologis menurun,

reflek patologis negatif, parastesi pada kedua tangan dan kaki.

Di IGD dokter memberikan oksigenasi dan melakukan pemeriksaan

penunjang unttuk menegakkan diagnosis. Selanjutnya pasien dirawat di ICU karena

kegawatannya.

Page 2: pembahasan+tipus+daftar pustaka

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mekanisme sesak nafas?

2. Mengapa kesemutan bisa menjalar dari ujung kaki ke pergelangan kaki lalu

ke lengan atas?

3. Apakah hubungan diare dengan keluhan utama pasien?

4. Mengapa kekuatan tangan dan kaki melemah?

5. Apa hubungan jenis kelamin, usia dengan keluhan?

6. Bagaimana interprestasi hasil vital sign dan pemeriksaan fisik terkait

skenario?

7. Pemeriksaan penunjang apa saja untuk menegakkan diagnosis?

8. Apa tujuan dan manfaat diberikan terapi oksigenasi

9. Apa diagnosis banding terkait skenario tersebut?

10. Apa penatalaksanaan terkait skenario?

11. Apa indikasi seseorang masuk ICU?

C. Tujuan

1. Mengetahui mekanisme sesak nafas

2. Mengetahui mekanisme kesemutan yang dapat menjalar

3. Mengetahui hubungan diare dengan keluhan utama

4. Mengetahui penyebab kelemahan pada tangan dan kaki

5. Mengetahui hubungan jenis kelamin, umur dengan keluhan utama

6. Mengetahui interprestasi hasil vital sign dan pemeriksaan fisik terkait

skenario

7. Mengetahui peeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis

8. Mengetahui manfaat dari pemberian terapi oksigenasi

9. Mengetahui diagnosis banding terkait skenario

10. Mengetahui penatalaksanaan terkait skenario

11. Mengetahui indikasi seseorang masuk ICU

D. Hipotesis

Berdasarkagan skenario di atas, kemungkinan laki-laki tersebut

menderita Guillain Barre Sindrom

Page 3: pembahasan+tipus+daftar pustaka

BAB II

PEMBAHASAN

Pada skenario kali ini, seorang pasien datang dengan keluhan yang diawali

dengan sesak nafas, kesemutan, melemahnya kekuatan tangan dan kaki, serta diare

yang diderita beberapa waktu sebelumnya. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik,

pasien dirawat di ICU karena kegawatannya.

A. Patofisiologi

Kesemutan

Dr. Naomi Kleitman, direktur program “repair dan plasticity”

pada National Institute of Neurological Disorders di Bethesda –

Maryland, mengatakan bahwa pada saat kesemutan terjadi kemacetan

pada syaraf-syaraf sehingga sinyal-sinyal yang seharusnya disampaikan

balik ke otak tidak terjadi sebagaimana mestinya. Jaringan syaraf

bertindak seperti kabel listrik yang menyebar di seluruh tubuh. Syaraf

berfungsi sebagai jalur untuk menyampaikan perintah dari otak dan begitu

juga sebaliknya. Penyempitan yang terjadi menghambat jalannya gula

darah dan oksigen, dan “sabotase” ini mengakibatkan sinyal yang

seharusnya disampaikan ke otak terkocar-kacir ke seluruh jaringan syaraf

yang terhambat.

Kemacetan aliran syaraf tersebut dapat terjadi karena beberapa hal :

a. Tekanan

Kesemutan terjadi jika syaraf dan pembuluh darah mengalami

tekanan, misalnya, saat duduk bersimpuh atau menekuk kaki

terlalu lama, maka syaraf dan aliran darah terganggu. Umumnya

kesemutan akan mereda jika bagian tubuh yang mendapat

tekanan digerakkan. Kesemutan biasanya bersifat sementara dan

terjadi apabila baik disengaja atau tidak disengaja aktivitas kita

menghambat aliran darah ke salah satu bagian tubuh kita.

Page 4: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Aktivitas seperti berlutut atau jongkok dalam waktu yang lama

akan memancing terjadinya kesemutan. Ini karena pada bagian

bawah kaki kita darah tidak leluasa mengalir karena terhambat

oleh beban tubuh kita di bagian tersebut. Apabila kita

menghentikan aktivitas tersebut maka berangsur-angsur aliran

darah menjadi normal kembali dan kesemutan pun jadi hilang

b. Kerusakan struktur maupun fungsi syaraf

Kerusakan syaraf dapat terjadi karena trauma fisik, kimia,

toksik, kurangnya aliran darah dan reaksi imun. Misal pada

pasien diabetes mellitus terjadi kerusakan kecepatan konduksi

syaraf karena konsentrasi glukosa tinggi dan penyakit

mikrovaskuler (Engram, 1999). Pada pasien sindrom Guillain-

Barré, terjadi kerusakan selubung myelin syaraf (Hartanto,

2012).

c. Adanya sumbatan

Adanya sumbatan di otak seperti pada pasien stroke dan jantung

setelah oprasi pemasangan klep dapat menjadi penyebab

kesemutan

Sesak Nafas

a. Konsep length – tension inappropriateness

Sesak nafas timbul dari gangguan hubungan antara

kekuatan/ketegangan otot – otot pernafasan dan perubahan yang

dihasilkan (panjang otot dan volume paru)

b. Afferent mismatch

Ketidaksepadanan (disosiasi) antara perintah yang keluar dari otak

(aktivitas motorik pernafasan pusat) dan informasi aferen yang datang

dari reseptor (jalan nafas, paru, dinding dada)

c. Kebutuhan jalan nafas meningkat, misal pada :

Penyakit paru

Page 5: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Hipoksemia rangsang kemoreseptor bisa meningkatkan aktivitas

motorik pernafasan

Deconditioning pada pasien penyakit kardiopulmoner

mengakibatkan asam laktat terbentuk lebih awal dan cepat

meningkat, sehingga rangsang pernafasan meningkat lalu

kebutuhan jalan nafas meningkat dan mengakibatkan sesak nafas

d. Kelainan otot pernafasan

Kelemahan mekanik otot pernafasan mengakibatkan ketidakcocokan

antara hasil dari motor pernapasan dan jalan nafas sehingga terjadi

sesak nafas. Hal ini dapat terjadi pada pasien penyakit neuromuskuler

dan kelemahan otot

e. Kelainan tahanan jalan nafas

Penyempitan jalan nafas seperti pada asma dan PPOK

mengakibatkan tahanan jalan nafas meningkat kemudian sesak

nafas

Penyakit paruparenkim seperti pada interstisial pneumonitis dan

fibrosis paru mengakibatkan kelainan elastisitas paru sehingga

terjadi tahanan jalan nafas kemudian sesak nafas

f. Kelainan pola bernafas

Misal pada penyakit parenkim paru, nafas menjadi cepat karena

adanya refleks dari respons rangsangan reseptor vagus di paru – paru

g. Kelainan asam basa

Pada hiperkapnia kronik terjadi kompensasi metabolik yang akan

mengurangi perubahan ion hidrogen sehingga terjadi penurunan

respons ventilasi kemudian sensasi pernafasan berubah

(Kusumosutoyo, 2009)

Page 6: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Diare

Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam

penyebab diare, maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam tiga macam

kelainan pokok yang berupa:

a. Kelainan Gerakan Transmukosal Air dan Elektrolit

Gangguan reabsorbsi pada sebagian kecil usus halus sudah

dapat menyebabkan diare. Di samping itu peranan faktor infeksi pada

patogenesis diare akut adalah penting, karena dapat menyebabkan

gangguan sekresi (diare sekretorik), difusi (diare osmotik),

malabsorpsi, dan keluaran langsung. Faktor lain yang cukup penting

dalam diare adalah empedu, karena dehidroksilasi asam dioksikolik

dalam empedu akan mengganggu fungsi mukosa usus, sehingga

sekresi cairan di jejunum dan kolon serta menghambat reabsorpsi

cairan di kolon. Diduga bakteri mikroflora usus turut memegang

peranan dalam pembentukan asam dioksikolik tersebut.

b. Kelainan laju gerakan bolus makanan dalam lumen usus

Proses absorbsi dapat berlangsung sempurna dan normal bila

bolus makanan tercampur baik dengan enzim – enzim saluran cerna

dan cukup tercerna. Juga waktu sentuhan yang adekuat antara kim dan

permukaan mukosa usus halus diperlukan untuk absorbsi yang normal.

Motilitas usus merupakan faktor yang berperan penting dalam

ketahanan lokal mukosa usus. Hipomotilitas dan stasis dapat

menyebabkan mikroba usus berkembang biak secara berlebihan, yang

kemudian dapat merusak mukosa usus. Kerusakan mukosa usus akan

menimbulkan gangguan digesti dan absorbsi, yang kemudian akan

terjadi diare. Selain itu hipermotilitas dapat memberikan efek langsung

sebagai diare.

c. Kelainan tekanan osmotik lumen usus

Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang

melebihi kapasitas dari pencernaan dan absorbsinya akan

Page 7: pembahasan+tipus+daftar pustaka

menimbulkan diare. Adanya malabsorbsi karbohidrat, lemak, dan

protein akan menimbulkan kenaikan daya tekanan osmotik intra

lumen, yang akan menimbulkan gangguan absorbsi air.

(Mayer L., 2003)

Hasil Pemeriksaan

Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 140/80 mmHg yang

termasuk dalam kategori prediabetes. Nadi 92 kali/menit termasuk

kategori normal, pernafasan 32 kali/menit termasuk cepat, hal ini

terkait pasien mengalami sesak nafas sehingga pengambilan oksigen

kurang maksimal karenanya tubuh mengimbangi dengan peningkatan

frekuensi nafas. Paresis dengan kekuatan ekstremitas dekstra dan

sinistra 4/4 menunjukkan kekuatan kontraksi otot dapat menggerakkan

sendi dengan aktif dan dapat melawan sedikit tahanan. Refleks

fisiologi menurun menunjukkan refleks yang normal mengalami

gangguan ataupun berlangsung lebih lambat dari pada standar

normalnya. Refleks patologis negatif menunjukkan tidak ditemukkan

nya refleks yang abnormal.

B. Diagnosis Banding

Dari keluhan dan gejala klinis yang dialami pasien, dapat ditetapkan diagnosis

banding yang sesuai, berikut ini diagnosis banding dari keluhan yang dialami

pasien:

1. Sindroma Guillain-Barre (SGB)

Definisi

Guillain-Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang bersifat

ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah

infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang

ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan

Page 8: pembahasan+tipus+daftar pustaka

dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan

nervus kranialis.

Epidemiologi

Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9

kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central

Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate

1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun

dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia

termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95

tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras

didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5%

Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.

Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia

adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita

laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung

menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia

rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana

terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan

pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa

keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya

dengan terjadinya SGB, antara lain:

- Infeksi

- Vaksinasi

- Pembedahan

- Penyakit sistematik:

1. Keganasan

2. systemic lupus erythematosus

Page 9: pembahasan+tipus+daftar pustaka

3. tiroiditis

4. penyakit Addison

5. Kehamilan atau dalam masa nifas

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.

Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara

56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul

seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.

Mekanisme

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum

diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa

kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme

imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme

yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell

imediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari

peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses

demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon

imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai

peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Gejala Klinis & Diagnosis

Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai

dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya

refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu

setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan

gangguan sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnosa yang umum

Page 10: pembahasan+tipus+daftar pustaka

dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and

Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

a. Terjadinya kelemahan yang progresif

b. Hiporefleksi

2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

Ciri-ciri klinis:

o Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,

maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2

minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

o Relatif simetris

o Gejala gangguan sensibilitas ringan

o Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering

bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang

mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus

neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain

o Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,

dapat memanjang sampai beberapa bulan.

o Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,

hipertensi dangejala vasomotor.

o Tidak ada demam saat onset gejala neurologis.

Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

o Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi

peningkatan pada LP serial

o Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3

o Varian:

Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu

gejala

Page 11: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm

o Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80%

kasus.

Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

(Iskandar Japardi, 2002)

2. MIESTENIA GRAVIS

Definisi

Miastenia Gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah

satu-satunya penyakit neuromuskuler yang menggabungkan kelelahan

cepat otot voluntar dan waktu penyembuhan yang lama (penyembuhan

dapat butuh waktu 10 hingga 20 kali lebih lama daripada normal). (Price,

2005)

Miastenia Gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi

neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran

seseorang (volunter). (Brunner & Suddart, 1996)

Epidemiologi/Insiden kasus

Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering

pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun. Dahulu,

angka kematian mencapai 90 %. Angka kematian menurun drastis sejak

tersedia pengobatan dan unit perawatan pernapasan.

Etiologi

Kelainan primer pada Miastenia Gravis dihubungkan dengan

gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung

antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat

partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh).

Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah

dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian

bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik.

Page 12: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan

menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian

terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler

pada Miastenia Gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia

Gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi

menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.

Manifestasi klinis Miastenia Gravis

Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah

mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan

berkurang setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini akan mengalami

kelelahan hanya karena penggunaan tenaga yang sedikit seperti menyisir

rambut, mengunyah dan berbicara, dan harus menghentikan segalanya

untuk istirahat.

Berbagai gejala yang muncul sesuai dengan otot yang terpengaruh.

Otot-otot simetris terkena, umumnya ini dihubungkan dengan saraf

kranial. Karena otot-otot okular terkena maka gejala awal yang muncul

adalah diplopia (pengelihatan ganda) dan ptosis (jatuhnya kelopak mata).

Kelemahan pada otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan

menelan dan adanya bahaya tersedak dan aspirasi.

Ekspresi wajah pasien yang sedang tidur terlihat seperti patung, hal ini

disebabkan karena otot-otot wajah terkena. Pengaruhnya terhadap laring

menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam membentuk bunyi suara

hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata. Beberapa pasien

sekitar 15% sampai 20% mengeluh lemah pada tangan dan otot-otot

lengan, dan biasanya berkurang, pada otot kaki mengalami kelemahan,

yang membuat pasien jatuh. Kelemahan diafragma dan otot-otot

interkostal progresif mengebabkan gawat napas, yang merupakan keadaan

darurat akut.

Page 13: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Patofisiologi

Pada Miastenia Gravis, konduksi neuromuskularnya terganggu.

Jumlah reseptor asetilkolin normal menjadi menurun yang terjadi akibat

cedera autoimun sehingga terjadi penurunan potensial aksi yang

menyebabkan kelemahan pada otot. Pada 90 % pasien gejala awal

melibatkan otot okular yang menyebabkan ptosis dan diplopia. Otot

wajah, laring dan faring juga sering terlibat dalam Miastenia Gravis yang

dapat mengakibatkan regurgitasi melalui hidung ketika berusaha menelan

dan pasien dapat mengalami aspirasi, gangguan suara (disfonia).

Kelemahan otot pernapasan juga ditandai dengan batuk lemah dan

akhirnya serangan dispnea, dan ketidakmampuan membersihkan mukus

dari cabang trakeobronkial. Selain itu terjadi kelemahan otot ekstremitas

yang menyebabkan pasien kesulitan untuk berdiri, berjalan, atau bahkan

menahan lengan di atas kepala (Misalnya ketika sedang menyisir rambut).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan

fisik. Pemeriksa harus memiliki pengetahuan mengenai Miastenia Gravis.

Banyak pasien telah berterus terang kepada psikiater karena gejala mereka

hanya memiliki dasar fisiologis. Meminta pasien untuk memperlihatkan

aktivitas berulang hingga kelelahan adalah bukti-bukti yang dapat

membantu menegakkan diagnosis. Elektromiografi (EMG)

memperlihatkan satu ciri khas penurunan dalam amplitudo unit motorik

potensial dengan penggunaan yang terus menerus. Tes khusus untuk

Miastenis Gravis adalah adanya antibodi serum terhadap reseptor

asetilkolin. Setidaknya 80% penderita Miastenia Gravis memiliki kadar

antibodi serum tinggi yang abnormal, tetapi penderita bentuk penyakit

Miastenia Gravis okular yang ringan atau tunggal dapat memiliki hasil

negatif palsu.

Page 14: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Diagnosis dipastikan dengan tes Tensilon. Edrofonium klorida

(Tensilon) adalah suatu obat penghambat kolinesterase, yang diberikan

secara intravena. Pada pasien Miastenia Gravis memperlihatkan perbaikan

otot dalam 30 detik. Ketika didapatkan hasil positif, perlu didapatkan

diagnosis banding antara Miastenia Gravis sejati dengan sindron

miastenik. Penderita sindrom miastenia memiliki gejala yang sama dengan

Miastenia Gravis sejati, namun penyebabnya berkaitan dengan proses

patologis lain (seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang

menyebar).

Usia awitan kedua keadaan ini adalah faktor pembeda yang penting.

Penderita Miastenia Gravis sejati biasanya berusia muda, sedangkan

penderita sindrom miastenia cenderung lebih tua. Gejala sindrom

miastenia biasanya menghilang bila penyakit dasarnya dapat dikontrol.

Pada Miastenia Gravis terjadi kelainan kelenjar timus. Walaupun terlalu

kecil untuk dapat dilihat secara radiologis, kelenjar timus sebagian besar

pasien secara histologis adalah abnormal. Perempuan usia muda

cenderung mengalami hiperplasia timus sedangkan laki-laki usia tua

cenderung mengalami neoplasma timus.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Miastenia Gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk

antibodi AChR dan CT-scan atau MRI toraks untuk melihat adanya

timoma.

1. Tes antikolinesterase. Untuk tes ini digunakan edrofonium (tensilon),

suatu antikolinesterase kerja pendek, yang diberikan intravena dalam

beberapa detik dan efeknya akan berakhir dalam beberapa menit.

Mula-mula edrofonium diberikan dalam dosis 2 mg intravena selama

15 detik; bila dalam waktu 30 detik tidak terdapat respons, dapat

ditambahkan 8-9 mg. Respons yang diharapkan meliputi derajat ptosis,

derajat gerak mata dan kekuatan menggenggam. Efek samping

Page 15: pembahasan+tipus+daftar pustaka

kolinergik yang dapat muncul antara lain fasikulasi, flushing,

lakrimasi, kejang otot perut, nausea, vomitus dan diare. Edrofonium

harus diberikan secara berhati-hati pada pasien dengan kelainan

jantung karena dapat menyebabkan bradikardi, blok atrioventrikular,

bahkan sampai henti jantung. Untuk mengatasi toksisitas edrofonium,

dapat digunakan atropin.

2. Elektromiografi. Akan tampak gambaran frekuensi yang rendah (2-4

Hz); stimulasi berulang akan menghasilkan penurunan amplitudo dari

evoked motor responses.

3. Antibodi AChR. Hasil positif bersifat diagnostik; walaupun

demikian, hasil postif tidak berkorelasi dengan derajat penyakit. Pada

umumnya 80% pasien menunjukkan hasil positif; sedangkan pasien

dengan kelainan mata hanya 50% yang positif. Antibodi terhadap

Muscle-spesific Kinase (MuSK) didap atkan pada 40%o pasien dengan

antibodi AChR negatif.

(Sudoyo, 2009)

3. POILOMIELITIS

Definisi

Poliomielitis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus

yang disebut poliovirus yang cepat menyebar dan dapat mempengaruhi

seluruh tubuh, bahkan otot dan saraf, dan pada kasus yang serius (berat)

dapat mengakibatkan kelumpuhan permanen atau kematian.

Etiologi

Poliomielitis disebabkan oleh virus polio yang merupakan suatu

enterovirus. Besarnya 8 – 12 mmu (millimikron). Virus ini tidak tahan

panas tetapi dapat hidup terus dalam suasana dingin. Virus polio dibagi

lagi dalam 3 tipe, yaitu: (1) tipe I Brunhilde, (2) tipe II Lansing, (3) tipe III

Leon.

Epidemiologi

Page 16: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, meskipun masih banyak kasus

yang belum dilaporkan. Dahulu penyakit ini lebih sering menyerang bayi

dan anak-anak, tetapi akhir-akhir ini menyerang orang yang lebih besar

yaitu usia 15 tahun. Penyakit ini sering muncul pada saat musim panas

dan musim gugur. Orang dewasa dan wanita-wanita muda lebih sering

terkena penyakit ini. Apabila orang dewasa terinfeksi maka kemungkinan

terjadi kelumpuhan lebih besar. Antara tahun 1840–1950, penyakit

poliomielitis ini mewabah di seluruh dunia. Setelah itu dikembangkan

suatu vaksin untuk mencegah penyakit poliomielitis ini sehingga angka

prevalensi menjadi berkurang, yang masih mewabah adalah pada daerah

yang tidak mendapat immunisasi.

Patogenesis

Poliomielitis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

infeksi/peradangan oleh poliovirus, penyakit ini ditularkan dari orang

yang terinfeksi ke orang lain dengan cara kontak baik melalui sekret yang

dikeluarkan dari hidung, mulut ataupun melalui feses. Di faring, virus ini

hanya dapat ditemukan tiga hari sebelum sampai lima hari sesudah

penyakit ini timbul. Tetapi di dalam tinja, virus ini dapat ditemukan

sampai 17 minggu sejak penderita itu menjadi sakit. Penularannya adalah

secara water-borne (seperti penularan penyakit tifus). Porte d`entre dari

virus ini adalah usus di mana virus itu dapat berkembang biak dan

menimbulkan viremia, sampai akhirnya virus ini sampailah ke SSP.

Virus masuk melalui mulut dan hidung kemudian berkembangbiak di

dalam kerongkongan dan di dalam traktus gastrointestinal (usus) akan

menyebar melalui pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Masa

inkubasi yang diperlukan berkisar 5 – 35 hari dengan rata-rata 7 – 14 hari.

Russell mengatakan bahwa suatu provokasi seperti misalnya suatu

infeksi (juga suatu vaksinasi atau pencacaran), suatu tonsilektomi atau

suatu olah raga yang berat, dapat merupakan suatu “invitation to settle

down” bagi virus itu di tempat-tempat tertentu dalam SSP.

Page 17: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Provokasi tadi menimbulkan kelemahan pada motoneuron, sehingga

virus polio itu dapat masuk ke dalam sel-sel motoneuron tersebut. Dengan

demikian maka timbullah suatu kelumpuhan (polio paralitik). Bila virus

itu hanya sampai pada selaput sumsum tulang belakang saja tetapi tidak

ada “invitation to settle down”, maka akan terjadi kaku kuduk dan lain-

lain tanpa kelumpuhan (polio non-paralitik).

Ada beberapa faktor yang menentukan apa sebabnya tempat-tempat

tertentu dari SSP lebih sering terserang virus polio daripada tempat-tempat

yang lain. Faktor yang yang berperan dalam hal ini adalah:

1. Jumlah (banyaknya) dan virulensi virus polio yang memasuki tubuh.

2. “Invitation to settle down” yang berperan dalam fase pre-paralitik.

Invitasi itulah yang akan menentukan apakah akan terjadi kelumpuhan

dan bagian tubuh yang mana yang akan menjadi paralisis. Invitasi itu

adalah suatu trauma seperti misalnya suatu infeksi, olah raga berat,

tonsilektomi, adenektomi, cabut gigi, fraktur, abses dan lain-lain.

Gejala Klinis

Gejala klinis yang muncul akibat infeksi / peradangan ini sangat

bervariasi dari yang ringan sampai berat sehingga dapat menimbulkan

kematian Gejala klinis (gejala prodromal) ini meliputi: (1) demam, (2)

rasa tidak enak badan, (3) sakit kepala, (4) mual dan muntah, (5) nyeri

pada otot, (6) kekakuan pada otot dan leher.

Pemeriksaan Penunjang

Prosedur dasar laboratorium untuk diagnosis poliomyelitis terdiri dari

isolasi virus polio dalam kultur sel dari yang sesuai spesimen tinja yang

dikumpulkan dari acute flaccid paralysis (AFP) pasien dan yang kontak

dengan mereka. (Fransisco P, et al, 1997)

- Isolasi Virus

Virus polio dapat pulih dari tinja atau faring dari orang dengan

poliomyelitis. Isolasi virus dari cerebrospinal cairan (CSF) adalah

menegakkan diagnostik, tetapi jarang dicapai. Jika virus polio yang

Page 18: pembahasan+tipus+daftar pustaka

diisolasi dari orang dengan acute flaccid paralysis (AFP), harus diuji

lebih lanjut, dengan menggunakan oligonucleotide mapping (sidik jari)

atau sekuensing genom untuk menentukan jika virus "wild type"

(yaitu, virus yang menyebabkan penyakit polio) atau vaksin type

(virus yang bisa berasal dari vaksin strain).

- Serologi

Pemeriksaan serologi berupa tes netralisasi dengan memaakai serum

pada fase akut dan konvalen. Dikatakan positif bila ada kenaikan titer

4 kali atau lebih. Tes netralisasi sangat spesifik dan bermanfaat untuk

menegakkan diagnose Poliomielitis. Selain itu bisa juga dilakukan

pemeriksaan CF (Complement Fixation), tetapi ditemukan reaksi

silang diantara ketiga tipe virus ini.

- Cairan Serebrospinal

Pada infeksi virus polio, CSS biasanya mengandung sel darah putih

yang jumlahnya meningkat (10-200 sel/mm3, terutama limfosit) dan

protein meningkat sedikit (40-50 mg/100 mL).

(Syahril Pasaribu, 2005)

c. Hubungan Umur dan Jenis Kelamin

Pasien adalah seorang laki laki berusia 22 tahun

Jika dihubungkan dengan diagnosis yang berupa sindrom Guillain Barre maka

akan ditemukan bahwa penyakit ini memiliki insidensi 1 hingga 2 kasus per

100.000 orang pertahun (0,001% hingga 0,002% dari populasi). Penyakit ini juga

menyerang di berbagai musim sehingga mirip dengan penyakit endemik.

Walaupun penyakit ini menyerang berbagai usia dan jenis kelamin, diketahui

bahwa penyakit ini bukanlah penyakit yang diturunkan, namun apa yang

mendasari penyakit ini belumlah diketahui hingga saat ini (Price, 2006)

Dalam sebuah penelitian dinyatakan bahwa sindrom ini menyerang laki-laki

1,5 kali lebih banyak daripada wanita. Penyakit ini juga lebih sering ditemui pada

Page 19: pembahasan+tipus+daftar pustaka

orang dewasa dengan puncak insidensi pada usia 30 – 50 tahun karena

berdasarkan etiologinya, penyakit ini merupakan sebuah penyakit autoimun yang

melibatkan selsel pertahanan tubuh yang sudah berkembang yang biasanya

ditemukan pada orang dewasa sedangkan pada anak-anak sel-sel ini belum

mengalami perkembangan yang maksimal, sehingga jarang menimbulkan

sindrom Guillan Barre ini. Selain itu orang dengan kulit putih juga lebih jarang

mengalami penyakit ini (Fauci, 2008).

d. Indikasi Pasien Masuk ICU

Pasien Prioritas 1 (Satu)

Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan

terapi intensif seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif

kontinu, dan lain-lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain pasca bedah

kardiotoraksik, atau pasien shock septic. Mungkin ada baiknya beberapa institusi

membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat hipoksemia, hipotensi

di bawah tekanan darah tertentu. Pasien prioritas 1 (satu) umumnya tidak

mempunyai batas ditinjau dari macam terapi yang diterimanya.

Pasien Prioritas 2 (Dua)

Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien

ini berisiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, karenanya pemantaun

intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial catheter sangat

menolong. Contoh jenis pasien ini antara lain mereka yang menderita penyakit

dasar jantung, paru, atau ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami

pembedahan major. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang

diterimanya mengingat kondisi mediknya senantiasa berubah.

Pasien Prioritas 3 (Tiga)

Pasien jenis ini sakit kritis, dan tidak stabil di mana status kesehatan

sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, baik masing-

masing atau kombinasinya, sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan

atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh: pasien ini antara lain pasien

dengan keganasan metastase disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade,

Page 20: pembahasan+tipus+daftar pustaka

atau sumbatan jalan napas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru

terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 (tiga)

mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha

terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi kardiopulmoner.

(Achsanuddin Hanafie, 2007)

e. Oksigenasi

Tujuan terapi oksigenasi adalah mengoptimalkan oksingenasi jaringan dan

meminimalkan asidosis respiratorik.

Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen. Terapi oksigen pada pasien

PPOK (penyakit paru obstruksi kronik) dengan konsentrasi yang tepat dapat

mengurangi sesak napas saat aktivitas, dapat meningkatkan kemampuan

beraktivitas dan dapat memperbaiki kualitas hidup.

Manfaat lain terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik paru, kapasitas

latihan, kor pulmonal, menurunkan cardiac output, meningkatkan fungsi jantung

mmperbaiki fungsi neuropsikiatrik, mengurangi hipertensi pulmonal,

memperbaiki metabolisme otot dan diperkirakan dapat memperbaiki impotensi.

INDIKASI TERAPI OKSIGENASI

Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-

benar membutuhkan oksigen, apakah dibutuhkan terapi oksigen jangka pendek

(short-term oxygen therapy) atau terapi oksigen jangka panjang (long-term

oxygen therapy)

Indikasi untuk pemberian oksigenasi harus jelas. Oksigen yang diberikan

harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat

manfaat terapi dan menghindari toksisitas.

KONTRAINDIKASI TERAPI OKSIGENASI

Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada :

Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama

dispneu, tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak

mempunyai hipoksia kronik

Page 21: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang

buruk dan dapat meningkatkan resiko kebakaran

Pasien yang tidak menerima terapi adekuat

TEKNIK PEMBERIAN OKSIGEN

Cara pemberian oksigen dibagi menjadi 2 jenis yaitu sistem arus rendah

dan sistem arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan dan

kerugian. Alat oksigen arus rendah diantaranya kanul nasal, topeng oksigen,

reservoir mask, kateter transtracheal, dan simple mask. Alat oksigen arus tinggi

diantaranya venturi mask dan reservoir nebulizer blenders

f. Penatalaksanaan

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara

umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh

sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan

(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan

terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat

penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

1. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid

tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

2. Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB

memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,

penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang

lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml

plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila

diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

Page 22: pembahasan+tipus+daftar pustaka

3. Pengobatan imunosupresan:

a. Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan

dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih

ringan. Dosis :

maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis

maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

b. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

6 merkaptopurin (6-MP), azathioprine , cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopesia, muntah, mual dan

sakit kepala.

(Japardi, 2002)

Page 23: pembahasan+tipus+daftar pustaka

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB)

merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang

terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya

adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-

Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun.

Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian

mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi

antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia

dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan

terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya,

misalnya: kegagalan jantung, kegagalan pernapasan, infeksi dan sepsis,

trombosis vena, serta emboli paru. Sindrom ini dapat menyebabkan tidak

efektifnya pola napas, gangguan mobilitas fisik, resiko integritas kulit, nutrisi

kurang dari kebutuhan, gangguan eliminasi serta gangguan komunikasi

verbal.

B. Saran

Guillan Barre Sindrome dapat menyebabkan perubahan status kesehatan pada

penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi yang dapat memperparah

kondisi prognosis pada klien dengan kasus tersebut. Oleh karena itu perlu

adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

Page 24: pembahasan+tipus+daftar pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Price SA and Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit Jilid II, 6thed. EGC: Jakarta.

Fauci AS and Longo DL. 2008. Harrison’s : Principle of Internal Medicine, 17th ed.

EGC : Jakarta

Harahap, Ikhsanuddin Ahmad. 2005. Oksigen Dalam Suatu Asuhan Keperawatan.

Available from:

http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-ikhsanuddin2.pdf (diakses pada 5

Oktober 2012)

Hanafie, Achsanuddin. 2007. Peranan Ruangan Perawatan Intensif (ICU) Dalam

Memberikan Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Available from:

http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_achsanuddin_hanafie.pdf

(diakses pada 5 Oktober 2012)

Pasaribu, Syahril. 2005. Aspek Diagnostik Poliomielitis. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2030/1/anak-syahril2.pdf

(diakses pada 7 Oktober 2012)

Japardi, Iskandar. 2002. Sindroma Guillain Barre. Available from:

http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf (diakses

pada 7 Oktober 2012)

Pinheiro, Fransisco P. 1997. Eradication of Wild Poliovirus from the Americas: Wild

Poliovirus Surveillance-Laboratory Issues. Available from:

http://jid.oxfordjournals.org/content/175/Supplement_1/S43.full.pdf

Aru W. Sudoyo, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna

Publishing.

Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. 1990. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu

Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga: Surabaya.

Brunner & Suddart. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol 3.

EGC: Jakarta.

Page 25: pembahasan+tipus+daftar pustaka

Carpenito, L.J. 2001. Handbook of Nursing Diagnosis (Buku terjemahan) Ed.8. EGC:

Jakarta.

Meyer, L. 2003. Mucosal Immunity. New York : American Academy of Pediatrics,

Departement of Medicine and Immunobiology, Mount Sinai School of

Medicine.

Page 26: pembahasan+tipus+daftar pustaka

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK NEOPLASMA

SKENARIO 2

GUILLAIN BARRE SYNDROME

Disusun Oleh :

Amalia Fitri Puspitasari G0011016Andrio Palayukan G0011022Berlian A. P. W. G0011052Deneisha Kartika P. G0011064Erlimia Eka Noor Yuliana G0011084I. A. Sinthia Pradnya Swari G0011112Luthfi Saiful Arif G0011128Novalya Kurniawati G0011152Riris Arizka W. K. G0011176Syarifah Aini Khairunisa G0011202Wahyu Pamungkas G0011208

Tutor :

Isdaryanto dr. PHK. MARS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2011/2012