pemanfaatan lateks karet alam sebagai bahan … · secara umum, aspal modifikasi yang dihasilkan...
TRANSCRIPT
PEMANFAATAN LATEKS KARET ALAM SEBAGAI BAHAN
PEMODIFIKASI ASPAL UNTUK MENINGKATKAN MUTU
PERKERASAN JALAN ASPAL
Oleh:
DEGO YUSA ALI
F34052557
2010
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PEMANFAATAN LATEKS KARET ALAM SEBAGAI BAHAN
PEMODIFIKASI ASPAL UNTUK MENINGKATKAN MUTU
PERKERASAN JALAN ASPAL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
DEGO YUSA ALI
F34052557
2010
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PEMANFAATAN LATEKS KARET ALAM SEBAGAI BAHAN
PEMODIFIKASI ASPAL UNTUK MENINGKATKAN MUTU
PERKERASAN JALAN ASPAL
DEGO YUSA ALI
F34052557
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ono Suparno, STP, MT Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, MSi
NIP. 19721203 199702 1 001 NIK. 110 700 308
Mengetahui,
Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus: 15 Januari 2010
Dego Yusa Ali F34052557. Pemanfaatan Lateks Karet Alam Sebagai Bahan Pemodifikasi Aspal Untuk Meningkatkan Mutu Perkerasan Jalan Aspal. Di bawah bimbingan Dr. Ono Suparno, STP, MT dan Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, MSi.
RINGKASAN
Indonesia merupakan produsen karet alam terbesar ke-2 di dunia setelah Thailand. Produksi karet alam Indonesia tahun 2007 mencapai 2,55 juta ton per tahun. Namun, produksi karet alam Indonesia mengalami penurunan akibat krisis global yang terjadi pada tahun 2008. Salah satu sektor yang terkena dampak langsung krisis tersebut adalah industri otomotif yang merupakan konsumen karet alam terbesar di dunia. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi menyebabkan bertambahnya beban lalu lintas (jalan) baik jumlah, beban, maupun kecepatannya. Beban lalu lintas yang berat, suhu permukaan jalan yang mencapai 70oC, curah hujan yang tinggi, serta drainase yang buruk, menyebabkan jalan mudah rusak. Oleh karena itu dibutuhkan modifikasi perkerasan jalan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, salah satunya dengan modifikasi aspal oleh lateks.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh jenis lateks dan dosis penambahan lateks dalam aspal terhadap nilai penetrasi dan titik lembek yang mempengaruhi mutu perkerasan aspal dan mendapatkan campuran beraspal yang terbaik untuk memperbaiki mutu perkerasan jalan aspal. Metodologi penelitian ini terdiri dari dua tahapan, yaitu persiapan bahan baku (penentuan sifat dan karakteristik lateks serta proses depolimerisasi lateks) dan penelitian utama (proses pencampuran lateks ke dalam aspal dan pengujian). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan untuk masing-masing perlakuan. Faktor-faktor yang dikaji pengaruhnya adalah jenis lateks dan dosis penambahan karet dalam aspal dengan masing-masing 8 dan 3 taraf.
Lateks yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu lateks pekat Kadar Karet Kering (KKK) 60% dan lateks depolimerisasi (lateks yang mengalami penurunan bobot molekul akibat pemutusan ikatan polimernya). Depolimerisasi lateks pada penelitian ini menggunakan metode depolimerisasi secara kimia dengan reaksi reduksi-oksidasi (redoks) dengan hidrogen peroksida (H2O2) sebagai oksidator dan natrium hipoklorit (NaOCl) sebagai reduktor.
Secara umum, aspal modifikasi yang dihasilkan telah memenuhi syarat mutu atau standar mutu untuk aspal polimer pada nilai penetrasi dan titik lembeknya. Standar mutu nilai penetrasi adalah 50-75 dmm, sedangkan untuk titik lembek adalah minimal 54oC. Nilai penetrasi aspal modifikasi berkisar antara 49,33 sampai 61,25 dmm. Ada dua jenis aspal modifikasi yang nilainya di luar standar, yaitu aspal modifikasi dengan penetrasi 49,52 dan aspal modifikasi dengan
penetrasi 49,33. Nilai titik lembek aspal modifikasi berkisar antara 56,11oC sampai 65,27oC.
Aspal modifikasi yang terbaik adalah sampel aspal L5K5 (Lateks depolimerisasi dengan konsentrasi 5% karet dalam aspal). Pemilihan aspal modifikasi yang terbaik tidak hanya ditentukan oleh kesesuaian nilai penetrasi dan titik lembek dengan standar, tetapi juga ditentukan oleh homogenitas antara aspal dan karet.
Dego Yusa Ali F34052557. Utilization of Natural Rubber Latex As Modifying Materials To Improve Quality of Asphalt Road Pavement. Supervised by: Dr. Ono Suparno, STP, MT and Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, MSi.
SUMMARY
Indonesia is the second largest producer of natural rubber in the world after Thailand. Indonesia's natural rubber production in 2007 reached 2.55 million tons per year. However, Indonesia's natural rubber production has decreased due to the global crisis that occurred in 2008. One of the sectors directly affected by the crisis is the automotive industry which is the largest consumer of natural rubber in the world. On the other hand, economic growth will increase the traffic load in terms of quantity, weight and speed. The burden of heavy traffic, road surface temperature reaches 70oC, high rainfall and the poor drainage, causing the road can be easily damaged. Therefore, paving way’s modification is required to fulfill those needs, one with the latex modified asphalt.
The purposes of this study were to determine the effect of types and additional doses of latex in the asphalt toward penetration value and softening point which affecting the quality of asphalt pavement and to get the best mixture of asphalt to improve the quality of asphalt road pavement. This research methodology consiststed of two stages, namely preparation of raw materials (determination of the nature and characteristics of latex and latex depolymerization process) and the main research (the mixing process of latex into the asphalt and testing). Experimental design used in this study was Complete Random Factorial design with two replications for each treatment. Factors that influence were types and additional doses of latex rubber in the asphalt with each level of 8 and 3.
There were two types of latex used in this study, namely concentrated latex which have dry rubber content (DRC) and depolimerization latex (latex which has decreased due to the molecular weight of polymer bonds break). Depolimerization latex in this study employed chemical methods with reduction-oxidation reaction (redox) with hydrogen peroxide (H2O2) as an oxidant and sodium hypochlorite (NaClO) as a reductant.
In general, asphalt modification which has produced fulfill the quality requirements or quality standards for asphalt polymer at the value of penetration and softening point. Quality standard of penetration value is 50-75 dmm, whereas minimum value for softening point is 54oC. Modification of asphalt penetration values ranged from 49.33 to 61.25 dmm. There are two types of asphalt modifications outside the standard value, namely the modification of asphalt with a penetration of 49.52 and 49.33. Softening point value of asphalt modification ranged from 56.11oC to 65.27oC.
The best asphalt modification was L5K5 sample (depolimerization latex with 5% additional doses of rubber in asphalt). Selection of the best asphalt modification was not only determined by the suitability of the penetration value and softening point with quality standard, but also was determined by homogenity between the asphalt dan rubber.
N
U
m
I
P
A
S
k
I
B
”
M
m
B
Negeri 5 Bo
Pada
Undangan S
melalui Ting
Industri Per
Praktek Lap
Aspek Prose
Selama ma
kemahasisw
Industri (HIM
Penu
Bogor dari b
”Pemanfaata
Meningkatk
mendapatkan
Bogor.
De
198
dar
Pen
Suk
sek
ogor (1999-2
a tahun 2005
Seleksi Masu
gkat Persiap
rtanian. Pad
pangan di PT
es Produksi
asa kuliah,
waan seperti
MALOGIN)
ulis melaksa
bulan Febru
an Lateks K
an Mutu Pe
n gelar sarja
BIOD
ego Yusa Ali
88. Penulis
ri bapak R
ndidikan da
kadamai 3
kolah dasar,
002) dan SM
5, penulis dit
uk IPB (US
pan Bersama
da tahun 200
T Zehat Int
pada Produ
penulis ter
UKM MA
), dan BEM
anakan pene
uari hingga M
Karet Alam
erkerasan Ja
ana pada Fa
DATA PENU
i dilahirkan
merupakan
Resta Busto
asar diseles
Bogor pada
penulis me
MU Negeri 2
terima di Ins
MI) dengan
a, penulis d
08, penulis
ternational B
uk Olahan K
rcatat perna
AX IPB, H
Fakultas Tek
elitian di B
Mei 2009 da
m Sebagai B
alan Aspal”,
akultas Tekn
ULIS
di Bogor pa
putra kedu
ommy dan
saikan di S
a tahun 199
elanjutkan pe
2 Bogor (200
stitut Pertani
n kurikulum
diterima di D
berkesempa
Bogor denga
Kedelai di PT
ah aktif di
Himpunan M
knologi Pert
Balai Peneli
an menyusun
Bahan Pemo
, sebagai sa
nologi Pertan
ada tanggal 1
ua dari dua
ibu Cucu
Sekolah Das
99. Setelah
endidikanny
02-2005).
ian Bogor m
mayor min
Departemen
atan untuk
an judul “M
T Zehat Inte
i beberapa
Mahasiswa
tanian (FAT
itian Tekno
n skripsi de
odifikasi As
alah satu sy
nian, Institut
10 Februari
bersaudara
u Mulyati.
sar Negeri
lulus dari
ya di SLTP
melalui jalur
or. Setelah
Teknologi
melakukan
Mempelajari
ernational”.
organisasi
Teknologi
ETA).
logi Karet
engan judul
spal Untuk
yarat untuk
t Pertanian
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala karunia
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang
berjudul ”Pemanfaatan Lateks Karet Alam Sebagai Bahan Pemodifikasi Aspal
Untuk Meningkatkan Mutu Perkerasan Jalan Aspal” dibuat berdasarkan penelitian
yang dilakukan di Balai Penelitian Teknologi Karet, Bogor.
Dalam pelaksanaa penelitian dan penulisan Skripsi ini penulis mendapatkan
banyak sekali bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menghaturkan
terima kasih kepada :
1. Dr. Ono Suparno, STP, MT sebagai dosen pembimbing akademik yang
telah banyak memberikan bimbingan dalam penelitian dan penulisan
skripsi ini.
2. Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, Msi selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.
3. Arief Ramadhan, STP sebagai peneliti bidang teknologi karet yang telah
memberikan arahan berkaitan dengan skripsi ini.
4. Papa, Mama, Kakak serta Neza Fadia Rayesa tercinta yang selalu
memberikan dukungan, semangat, dan doa kepada penulis.
5. Segenap karyawan Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK) Bogor atas
bantuan selama penelitian: Mba Woro, Mba Tri, Mas Syarif, Teh Yati,
Mba Desi, Pak Ridwan, Kiki, dan Pak Yusuf.
6. Teman-teman satu penelitian di BPTK: Novi, Mbok T, Wenny, dan Adit
atas kerjasama dan suka duka yang dialami bersama.
7. Sahabat-sahabatku: Ragil, Jo, Mba Denok, Amel, Deni, Doni, Fitrah,
Indra, Tara, Huda atas segala dukungan kepada penulis selama ini.
8. Teman-teman TIN angkatan 41, 42 dan 43 yang lain sebagai keluarga
penulis selama masa perkuliahan.
9. Segenap Karyawan Departemen TIN dan FATETA, Pak Mul, Bu Teti, Pak
Anwar, Bu Sri, Bu Ega, Pak Gun, Bu Ratna, Bu Nina, Bu Yuli atas
bantuan selama penulis menjadi mahasiswa.
ii
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak berkaitan dengan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2010
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL........................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ viii
I. PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Tujuan............................................................................................. 5
C. Hipotesis......................................................................................... 5
D. Ruang Lingkup Penelitian.............................................................. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 6
A. Lateks............................................................................................. 6
B. Karet Alam..................................................................................... 7
C. Lateks Pekat................................................................................... 9
D. Depolimerisasi............................................................................... 10
E. Hidroksilamin Netral Sulfat........................................................... 12
F. Surfaktan........................................................................................
1. Surfaktan Anionik....................................................................
2. Surfaktan Kationik...................................................................
3. Surfaktan Nonionik..................................................................
13
14
15
15
G. Toluena........................................................................................... 16
H. Hidrogen Peroksida........................................................................ 17
I. Natrium Hipoklorit........................................................................ 18
J. Aspal Berkaret............................................................................... 19
III. BAHAN DAN METODE.................................................................... 24
A. Bahan dan Alat...............................................................................
1. Bahan........................................................................................
2. Alat...........................................................................................
24
24
24
iv
B. Metodologi Penelitian....................................................................
1. Persiapan Bahan Baku.............................................................
2. Penelitian Utama......................................................................
25
25
26
C. Rancangan Percobaan.................................................................... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 31
A. Persiapan dan Karakteristik Bahan Baku........................................ 31
1. Lateks Pekat.............................................................................. 31
2. Lateks Depolimerisasi............................................................... 33
B. Homogenitas Campuran Lateks dengan Aspal Secara Visual........ 38
C. Pengaruh Lateks Terhadap Kekerasan (Penetrasi) Aspal............... 41
D. Pengaruh Lateks Terhadap Titik Lembek Aspal............................ 48
V. PENUTUP............................................................................................ 56
A. Kesimpulan.................................................................................... 56
B. Saran.............................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 58
LAMPIRAN................................................................................................. 62
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi Kimia Lateks………..................................................... 6
Tabel 2. Empat Fraksi Lateks Segar............................................................. 7
Tabel 3. Komposisi Partikel Karet Alam...................................................... 8
Tabel 4. Kecepatan dan Faktor Pengali pada Viskositas Brookfield........... 66
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur Ruang Poliisoprena................................................. 8
Gambar 2. Mekanisme Pemutusan Molekul Karet oleh Hidrogen
Peroksida...................................................................................... 12
Gambar 3. Struktur Hidroksilamin................................................................ 12
Gambar 4. Mekanisme Pengikatan Gugus Aldehida oleh Senyawa
Hidroksilamin............................................................................... 13
Gambar 5. Struktur Surfaktan....................................................................... 14
Gambar 6. Struktur Toluen........................................................................... 16
Gambar 7. Reaksi Penguraian Hidrogen Peroksida Secara Spontan........... 17
Gambar 8. Struktur Hidrogen Peroksida....................................................... 17
Gambar 9. Reaksi antara Natrium Hipoklorit dengan Hidrogen
Peroksida.................................................................................... 18
Gambar 10. Tahapan Reaksi Pembentukan Radikal Bebas.......................... 18
Gambar 11. Struktur Molekul Natrium Hipoklorit....................................... 19
Gambar 12. Diagram Alir Proses Depolimerisasi Lateks
Pekat.......................................................................................... 29
Gambar 13. Diagram Alir Proses Pencampuran Lateks ke dalam Aspal..... 30
Gambar 14. Pengujian Homogenitas Aspal Modifikasi Secara Visual......... 39
Gambar 15. Histogram Nilai Penetrasi Sampel pada Tiap Konsentrasi....... 42
Gambar 16. Histogram Signifikansi Penetrasi Berdasarkan ANOVA pada
Faktor Konsentrasi Karet........................................................... 43
Gambar 17. Histogram Signifikansi Penetrasi Berdasarkan ANOVA pada
Faktor Jenis Lateks.................................................................... 44
Gambar 18. Histogram Signifikansi Penetrasi pada Faktor Interaksi.......... 46
Gambar 19. Histogram Nilai Titik Lembek Sampel pada Tiap
Konsentrasi................................................................................ 49
Gambar 20. Histogram Signifikansi Titik Lembek Berdasarkan ANOVA
pada Faktor Konsentrasi............................................................ 50
vii
Gambar 21. Histogram Signifikansi Titik Lembek Berdasarkan ANOVA
pada Faktor Jenis Lateks............................................................ 51
Gambar 22. Histogram Signifikansi Titik Lembek pada Faktor Interaksi.... 53
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur Analisis........................................................................ 62
Lampiran 2. Data Hasil Pengujian Nilai Penetrasi.......................................... 69
Lampiran 3. Data Hasil Pengujian Nilai Titik Lembek................................... 71
Lampiran 4. Analisis Ragam Penetrasi........................................................... 73
Lampiran 5. Analisis Ragam Titik Lembek.................................................... 74
Lampiran 6. Analisis Ragam Interaksi Penetrasi............................................ 75
Lampiran 7. Analisis Ragam Interaksi Titik Lembek..................................... 76
Lampiran 8. Standar Mutu Aspal Polimer...................................................... 77
Lampiran 9. Standar Mutu Aspal Multigrade................................................. 78
Lampiran 10. Karakteristik Lateks.................................................................. 79
Lampiran 11. Syarat Mutu Lateks Pekat......................................................... 80
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan produsen karet alam nomor dua di dunia setelah
Thailand. Produksi karet alam Indonesia tahun 2007 mencapai 2,55 juta ton
dengan luas lahan perkebunan sebesar 3,3 juta hektar sedangkan produksi
karet alam Thailand mencapai 2,97 juta ton (Anonim, 2008a). Terdapat tiga
jenis perkebunan karet di Indonesia, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan
besar negara dan perkebunan besar swasta. Akan tetapi, dengan luas lahan
yang lebih besar, Indonesia belum bisa menjadi produsen karet alam nomor
satu, karena produktivitas perkebunan karet di Indonesia yang rendah, yaitu
sebesar 1 ton/ha dibandingkan dengan Thailand sebesar 1,7 ton/ha (Anonim,
2008b).
Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 membuat sektor
industri dan perdagangan dunia terpuruk. Salah satu sektor industri yang
terkena dampak krisis global adalah industri otomotif. Industri otomotif di
Amerika maupun di Eropa terpuruk, sehingga memaksa industri otomotif
untuk mengurangi produksi bahkan sampai menghentikan produksi dan
menutup pabrik. Menurunnya produksi otomotif dunia juga berdampak
langsung terhadap industri ban mengingat industri ban merupakan industri
penunjang bagi industri-industri otomotif.
Industri otomotif dan industri ban merupakan konsumen karet alam
terbesar di dunia dan juga di Indonesia khususnya. Karet alam banyak
digunakan sebagai bahan dasar komponen-komponen pada kendaraan
bermotor. Komponen yang paling banyak menggunakan karet alam sebagai
bahan dasarnya adalah ban. Dengan menurunnya jumlah produksi industri
otomotif dan industri ban dunia, maka secara otomatis jumlah permintaan
terhadap karet alam menjadi menurun juga. Akibat dari menurunnya konsumsi
karet alam, baik di dunia maupun dalam negeri, maka terjadi excess supply
karet alam yang juga berdampak pada menurunnya harga karet alam dunia.
Harga jual karet alam yang rendah menyebabkan banyak petani karet enggan
untuk menyadap karet sehingga produksi karet alam menurun. Hal ini
2
membawa dampak yang kurang baik terhadap negara yang mengandalkan
ekspor komoditas pertanian sebagai tumpuan perekonomian seperti Indonesia.
Permintaan dunia terhadap karet alam yang sekarang mulai melemah
diperkirakan akan tetap melemah dalam dua sampai tiga tahun ke depan
mengingat penurunan ekonomi global yang terjadi akan berdampak kepada
melemahnya kemampuan konsumsi dunia. Untuk jangka panjang permintaan
akan karet diperkirakan akan kembali meningkat seiring dengan semakin
membaiknya perekonomian global. Namun untuk mengatasi krisis yang
sedang terjadi serta untuk peningkatan pemanfaatan atau konsumsi karet alam,
perlu dilakukan diversifikasi produk karet alam serta memperluas
pemanfaatan karet alam di dalam negeri. Usaha ini juga diharapkan akan
menghidupkan kembali perkebunan dan gairah para petani karet di Indonesia
khususnya.
Ditinjau dari sisi demografi, pertambahan penduduk di Indonesia
secara otomatis diikuti oleh meningkatnya perkembangan ekonomi, yang salah
satunya berdampak pada peningkatan lalu lintas, baik jumlah, beban dan
kecepatannya. Di sisi lain peningkatan tersebut memerlukan kualitas
perkerasan jalan yang lebih baik, yang lebih dapat menahan beban kendaraan,
sehingga perkerasan lebih tahan terhadap terjadinya deformasi antara lain alur,
gelombang dan lainnya.
Aspal merupakan salah satu bahan ikat (binder) yang biasa digunakan
dalam perkerasan jalan. Perkerasan jalan adalah campuran agregat (batu kali
dan batu belah) dan bahan ikat (aspal, semen dan tanah liat) yang digunakan
untuk melayani beban lalu lintas. Selain sebagai bahan ikat, penggunaan
bahan aspal diperlukan agar lapisan bersifat kedap air dan memberikan
bantuan tegangan tarik yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan
terhadap beban lalu lintas.
Banyak faktor penyebab kerusakan jalan, antara lain beban lalu lintas
yang melebihi ukuran yang seharusnya, drainase atau saluran pembuangan dan
penyerapan air yang kurang baik. Khusus untuk Indonesia yang beriklim
tropis, dimana temperatur udara dan curah hujan yang umumnya tinggi,
diperlukan jenis mutu aspal yang tahan terhadap kenaikan suhu jalan (titik
3
lunaknya lebih tinggi). Aspal dengan mutu lebih baik tersebut dapat diperoleh
dengan memodifikasi aspal.
Bahan yang biasanya digunakan untuk memodifikasi aspal adalah
polimer; umumnya berupa polimer sintetis. Polimer yang digunakan bisa
polimer sintetis atau polimer alam. Polimer sintetis yang banyak digunakan
sebagai bahan pemodifikasi aspal adalah SBS (Styrene Butadiene Styrene),
namun masalah biaya dan ketersediaan bahan tersebut menjadi faktor untuk
mencari alternatif bahan lain yang lebih baik.
Karet alam yang termasuk polimer alam juga berpotensi digunakan
sebagai pemodifikasi aspal. Penggunaan karet alam sebagai aditif atau
pemodifikasi diprediksi lebih baik, karena memiliki sifat kelengketan dan
plastisitas yang lebih baik dari polimer sintetis. Karet alam juga memiliki
elastisitas yang baik, memiliki daya regang yang tinggi, dan resilien atau daya
kenyal yang baik.
Menurut Ramadhan et al. (2005), karet alam memiliki beberapa
kelemahan, yaitu memiliki ikatan rangkap yang banyak dalam struktur
molekul karet alam, sehingga karet alam tidak tahan terhadap reaksi oksidasi,
ozon, dan minyak. Selain kelemahan, karet alam juga memiliki beberapa
kelebihan, yaitu memiliki daya pantul dan elastisitas yang baik, serta sifat-
sifat fisik seperti elastisitas, kuat tarik, dan kepegasan yang tinggi pula (Alfa
et al., 2003).
Terdapat dua macam produk karet alam yang dapat digunakan
sebagai pemodifikasi aspal, yaitu karet padat dan lateks. Lateks memiliki
kelebihan lebih mudah untuk bercampur dengan aspal panas bila dibandingkan
dengan karet padat. Selain itu, lateks dipilih sebagai aditif dalam pencampuran
dengan aspal karena campuran aspal dengan lateks karet alam menghasilkan
produk yang lebih efisien bila dibandingkan dengan bentuk dan jenis karet lain
dalam jumlah yang sama (Smith, 1960). Pada penelitian ini, karet tersebut
digunakan untuk melihat peningkatan mutu aspal dan mutu campuran
beraspalnya.
Aspal yang dimodifikasi dengan karet merupakan sistem dua campuran
yang mengandung karet dan aspal yang digunakan untuk meningkatkan
4
kinerja aspal antara lain mengurangi deformasi pada perkerasan,
meningkatkan ketahanan terhadap retak, dan meningkatkan kelekatan aspal
terhadap agregat. Aplikasi pencampuran lateks karet alam dengan aspal
dalam pekerjaan jalan raya merupakan bentuk alternatif yang dapat
membantu meningkatkan konsumsi karet alam khususnya di dalam negeri.
Selain itu, penerapan ini dapat meningkatkan kualitas lapisan jalan raya,
meningkatkan umur pakai jalan raya, dan mengurangi biaya pemeliharaan
jalan raya.
Lateks karet alam yang digunakan dalam penelitian ini berupa lateks
pekat, yaitu lateks yang telah dipekatkan sehingga memiliki kadar karet
keringnya lebih besar daripada lateks kebun. Selain itu, lateks pekat lebih
tahan lama disimpan bila dibandingkan dengan lateks kebun. Selanjutnya,
penggunaan lateks pekat menghasilkan lebih sedikit buih pada proses
pencampuran dengan aspal bila dibandingkan dengan lateks kebun. Hal
tersebut disebabkan kadar air pada lateks pekat lebih rendah dari lateks
kebun. Oleh karena itu, penggunaan lateks pekat dapat membantu kemudahan
dan keamanan proses pencampuran aspal dengan lateks (Tuntiworawit et al.,
2005).
Lateks karet alam dapat digunakan sebagai perekat, karena partikel
karetnya memiliki daya lengket. Namun, daya rekat partikel karet alam
kurang baik sehingga hanya digunakan untuk merekatkan bahan-bahan ringan
yang tidak memerlukan daya rekat baik. Jika rantai molekulnya lebih pendek,
diharapkan kemampuan partikel karet alam tersebut melekat pada permukaan
media akan lebih baik, sehingga meningkatkan daya rekatnya (Alfa dan
Syamsu, 2004).
Dalam penelitian ini modifikasi struktur karet alam yang akan
dilakukan adalah depolimerisasi. Penelitian ini menggunakan metode
depolimerisasi secara kimia dengan reaksi reduksi-oksidasi (redoks) dengan
hidrogen peroksida (H2O2) sebagai oksidator dan natrium hipoklorit (NaClO)
sebagai reduktor. Metode ini dipilih karena dilakukan tanpa pengaliran gas
oksigen selama proses depolimerisasi (oksigen berasal dari reaksi hidrogen
peroksida dan natrium hipoklorit) sehingga proses secara teknis lebih mudah.
5
Selain itu, dengan digunakannya hidrogen peroksida dan natrium hipoklorit
akan menurunkan biaya produksi dibandingkan menggunakan fenilhidrasin.
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh jenis lateks dan jenis
bahan tambahannya serta dosis penambahan lateks dalam aspal terhadap nilai
penetrasi dan titik lembek yang mempengaruhi mutu perkerasan aspal dan
mendapatkan campuran beraspal yang terbaik untuk memperbaiki mutu
perkerasan jalan aspal.
C. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah dengan penambahan atau pencampuran
lateks ke dalam aspal, maka akan dapat menurunkan penetrasi aspal yang
berarti meningkatkan kekerasan aspal. Selain itu, penambahan lateks ke
dalam aspal juga akan dapat meningkatkan titik lembek aspal.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penentuan beberapa jenis lateks dan kombinasi bahan tambahan yang
digunakan untuk meningkatkan mutu aspal dan campuran beraspalnya.
2. Penentuan dosis lateks yang ditambahkan ke dalam aspal sehingga
diperoleh hasil yang terbaik.
3. Pengujian terhadap karakteristik lateks dan pengujian titik lembek serta
pengujian nilai penetrasi campuran aspal berkaret.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Lateks
Lateks merupakan cairan yang berwarna putih atau putih kekuning-
kuningan, yang terdiri atas partikel karet dan bukan karet yang terdispersi di
dalam air (Triwijoso dan Siswantoro,1989). Menurut Goutara, et al. (1985),
lateks merupakan sistem koloid, karena partikel karet yang dilapisi oleh
protein dan fosfolipid terdispersi didalam air. Protein di lapisan luar
memberikan muatan negatif pada partikel. Lateks merupakan suatu dispersi
butir-butir karet dalam air, dimana di dalam dispersi tersebut juga larut
beberapa garam dan zat organik, seperti zat gula, dan zat protein (Lie, 1964).
Menurut Suparto (2002), lateks Hevea terdiri dan karet, resin, protein, abu,
gula, dan air dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Lateks
Jenis Komponen Komposisi (%) Karet 30-35 Resin 0,5-1,5
Protein 1,5-2,0 Abu 0,3-0,7 Gula 0,3-0,5 Air 55-60
Sumber: Suparto (2002)
Secara fisiologi lateks merupakan sitoplasma dan sel-sel pembuluh
lateks yang mengandung partikel karet, lutoid, nukleous, mitokondria,
partikel Frey-Wyssling, dan ribosom. Selain partikel karet, di dalam lateks
terdapat bahan-bahan bukan karet yang berperan penting mengendalikan sifat
lateks dan karetnya meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Lateks segar
yang dipusingkan (disentrifus) dengan alat pemusing ultra dengan kecepatan
18.000 rpm akan menyebabkan lateks terpisah menjadi empat fraksi dengan
urutan dari atas ke bawah dapat dilihat pada Tabel 2.
7
Tabel 2. Empat Fraksi Lateks Segar
Fraksi Karet (35 %)
Karet Protein Lipid
Ion Logam
Fraksi Frey Wyssling (5%) Karotenoida Lipid
Serum (50%)
Air Karbohidrat dan inositot Protein dan turunarmya
Senyawa nitrogen Asam nukleat dan nukleosida
Ion anorganik Ion logam
Fraksi Dasar (10 %) Lutoid (vakuolisosom) Sumber: Suparto (2002)
B. Karet Alam
Menurut Triwijoso dan Siswantoro (1989), karet adalah suatu
polimer dari isoprena (C5H8) sehingga sering disebut Cis 1,4-poliisoprena
dengan rumus umum (C5H8), dimana n adalah bilangan yang menunjukkan
jumlah monomer didalam rantai polimer. Semakin besar harga n maka
molekul karet semakin panjang, semakin besar bobot molekul dan semakin
kental (viscous). Nilai n dapat berkisar antara 3000-15000. Struktur ruang
poliisoprena dapat dilihat pada Gambar 1.
(a)
H3C H H3C H H3C H H3C H
C = C C = C C = C C = C
H2C CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 n
8
(b) (c)
O O
O-
O
P
O
O
CH3
O
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
mO
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
m
CH2NHProtein
2
n = 1000 - 5000
(d) Gambar 1. Struktur Ruang: (a) 1,4 Cis Poliisoprena (Honggokusumo, 1978);
(b) Struktur Ruang Poliisoprena-Graft-Asam Maleat Monometil Ester
(Anonim, 2009a); (c) Partikel Karet Alam; (d) Molekul Karet Alam
(Situmorang, 2009)
Menurut Eng (1997), bobot molekul karet alam berkisar antara 1
sampai 2 juta. Partikel karet alam mengandung hidrokarbon karet dan
sejumlah kecil bahan bukan karet, seperti lemak, glikolipida, fosfolipida,
protein, karbohidrat, bahan anorganik, dan lain-lain dengan komposisi
seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Partikel Karet Alam
Jenis Komponen Komposisi (%) Hidrokarbon karet 93,7
Lemak 2,4
Glikolipida, fosfolipida 1,0
Protein 2,2 Karbohidrat 0,4
Bahan Anorganik 0,2 Lain-lain 0,1
Sumber: Tanaka (1998)
9
C. Lateks Pekat
Lateks pekat diperoleh dengan memekatkan lateks kebun. Pembuatan
lateks pekat bertujuan meningkatkan KKK. Lateks kebun pekat dengan
KKK 60 % akan lebih seragam mutunya dan lebih sesuai untuk pengolahan
barang jadi karet. Pembuatan lateks pekat dapat dilakukan dengan
empat metode, yaitu sentrifuse (pemusingan), pendadihan, penguapan,
dan elektrodekantasi. Metode yang paling sering digunakan adalah metode
sentrifuse (pemusingan), karena menghasilkan kapasitas produksi yang besar,
viskositas lateks lebih rendah (tidak kental), dan hasil lateks lebih murni
(tidak tercampur endapan dan kotoran) (Solichin, 1991).
Pada umumnya, pengolahan lateks pekat di Indonesia menggunakan
cara pemus ingan , karena kapas i t as p roduks inya leb ih t inggi
se r t a pemeliharaannya lebih mudah. Lateks kebun dengan KKK 28-
35% dipusingkan pada kecepatan 5000-7000 rpm, sehingga pada bagian atas
alat akan diperoleh lateks pekat dengan KKK 60% dan berat jenis
0,94, sedangkan di bagian bawah akan dihasilkan skim yang masih
mengandung 4-8% karet dengan berat jenis 1,02 (Goutara et al., 1985).
Menurut Triwijoso et al. (1989), kadar karet kering lateks pekat hasil
sentrifugasi adalah 60 ± 2%. Kadar karet kering lateks pekat lebih tinggi
daripada lateks kebun, karena pada saat proses sentrifugasi, bahan-bahan
bukan karet terpisah dari lateks bersamaan dengan serum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu lateks pekat pusingan adalah
pengawetan lateks kebun, KKK lateks kebun, pengendapan lateks kebun,
penambahan sabun ammonium laurat sebelum ataupun sesudah pemusingan,
alat dan cara pemusingan, penyimpanan, pengangkutan, dan cara
pengambilan sampel lateks pekat. Lateks pekat bermutu tinggi diperoleh
dengan melakukan pengontrolan dan perlakuan yang baik sejak dari lateks
kebun sampai pada pengambilan sampel lateks pekat (Solichin, 1991).
10
D. Depolimerisasi
Menurut Ramadhan et al. (2005), depolimerisasi adalah proses
pemutusan atau pendegradasian polimer dengan cara menghilangkan
kesatuan monomer secara bertahap dalam reaksi. Depolimerisasi molekul
karet dilakukan untuk memperoleh karet dengan bobot molekul rendah yang
ditandai dengan rendahnya viskositas Mooney (Surdia, 2000).
Depolimerisasi polimer dapat terjadi secara mekanik, termal, kimia,
fotokimia, dan biodegradasi (Surdia, 2000). Menurut Cowd (1991),
depolimerisasi polimer disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu energi panas,
energi mekanik, penyinaran (ultra violet), dan bahan kimia (oksidasi H2O2).
Depolimerisasi polimer secara kimia dapat berlangsung dengan dua cara,
yaitu reaksi tahap tunggal dan reaksi rantai. Reaksi tunggal terjadi
akibat reaksi fotokimia, misalnya degradasi polimer secara enzimatik,
sedangkan reaksi rantai merupakan reaksi degradasi polimer dengan bantuan
senyawa radikal bebas karena adanya suatu peroksida.
Menurut Alfa dan Syamsu (2004), penambahan senyawa pemutus
rantai molekul sistem redoks, campuran hidrogen peroksida dengan natrium
hipoklorit, dikombinasikan dengan ammonium hidroksil sulfat akan
menghasilkan lateks dengan viskositas Mooney karet mentah rendah dan
memiliki daya rekat baik.
Kemungkinan reaksi pemutusan rantai polimer akibat pengaruh dan
terbentuknya radikal bebas pada tahap inisiasi. Hal ini menyebabkan
terjadinya reaksi polimer dengan oksigen secara berurutan yang
menghasilkan pemutusan rantai polimer pada rantai utama, pemutusan rantai
samping dan eliminasi (Surdia, 2000).
Menurut Gunanti (2004), depolimerisasi molekul karet terjadi karena
adanya radikal OH hasil penguraian hidrogen peroksida (H2O2). Radikal OH
yang terbentuk bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi secara tidak
terkontrol dengan molekul polimer karet alam (poliisoprena). Radikal
OH yang terbentuk menarik salah satu atom H+ yang terdapat pada polimer
karet terutama menyerang ikatan karbon rangkap dan gugus karbon ekor,
sehingga dihasilkan radikal bebas yang aktif.
R
berikat
yang ti
pemutus
Gugus
aktif da
Gugus
aldehid.
pada Ga
Proses I
Radikal beb
an dengan
idak stabil
san ikatan. P
karbon akt
an reduktor
karbon yan
. Mekanism
ambar 2.
Inisiasi : HO
as pada mol
oksigen yan
hingga me
Pada akhir r
tif yang di
yang dihas
ng dihasilka
me depolime
OOH → 2 HO
lekul isopren
ng ada dala
engalami re
reaksi pemut
ihasilkan la
silkan gugu
an memiliki
erisasi mole
O+
CH
na tersebut
am lateks da
aksi autook
tusan, terbe
angsung be
us karbonil
gugus uju
ekul tersebu
CH2
mudah ber
an membentu
ksidasi samp
entuk gugus
ereaksi deng
yang tidak b
ung berupa
ut dapat dii
11
reaksi dan
uk molekul
pai terjadi
s karbonil.
gan gugus
bermuatan.
keton dan
ilustrasikan
E
Gambar
E. Hidrok
M
digunak
adalah
(NH2OH
3.
Gam
M
Mooney
menjadi
karena
sebelum
penceg
aldehid
amina m
2. Mekanism
ksilamin Net
Menurut So
kan secara k
hidroksilam
H)2H2SO4. G
mbar 3. Struk
2009c);
Menurut So
y karet alam
i penyebab
gugus alde
m gugus ald
ahan ikatan
da pada rant
monofungs
me Pemutusa
(Pri
tral Sulfat (
olichin et a
komersial u
min dalam
Gambar struk
F.
ktur Hidroksi
b. Struktur H
lichin et al.
m karena H
crosslinking
ehida pada
ehida terseb
n silang ini
tai poliisop
ional yaitu
an Molekul
istiyanti, 200
HNS)
l. (1995), b
untuk memp
bentuk gar
ktur hidroks
ilamin: a. St
Hidroksilam
(1995), HN
HNS dapat
g yang dapa
rantai poli
but melakuk
i adalah me
prena dan m
hidroksilam
Karet oleh H
06)
bahan kimia
produksi ka
am Hidrok
silamin dapa
(b)
truktur Hidro
min Sulfat (H
NS dapat m
mengikat g
at menyebab
iisoprena te
kan reaksi s
enghilangka
mereaksikan
min atau ga
Hidrogen Per
a yang palin
ret viskosit
silamin Net
at dilihat pad
oksilamin (A
oyle, 2007)
emantapkan
gugus aldeh
bkan terben
erlebih dah
elanjutnya.
an kereakti
nnya dengan
aramnya. M
12
roksida
ng banyak
tas mantap
tral Sulfat
da Gambar
Anonim,
n viskositas
hida yang
tuknya gel
hulu diikat
Dasar dari
fan gugus
n senyawa
Mekanisme
F
reaksi
dilihat
Gam
F. Surfakt
S
mengub
fluida
mengad
satu mo
yaitu gu
ikat) ya
gugus h
berasal
M
menurun
kestabil
itu, surf
sebagai
(coalesc
dapat di
pengikatan
pada Gamb
mbar 4. Mek
tan
Surfaktan (s
bah atau me
yang tidak
dsorbsi mole
olekulnya, s
ugus polar d
ang kuat den
hidrofilik. Gu
dari bahasa
Menurut R
nkan tegan
lan partikel y
faktan akan
penghalang
cence) dari p
ilihat pada G
Gugus Aldehida
n gugus ald
bar 4.
kanisme Pen
Hidroksila
surface act
emodifikasi
k saling la
ekul lain pad
urfaktan me
dan non pola
ngan pelarut
ugus non po
Yunani phob
Reiger (198
ngan permuk
yang terdisp
terserap ke
g yang akan
partikel yan
Gambar 5.
Hidroksilamin
dehida oleh
ngikatan Gu
amin (Pristi
tive agent)
tegangan p
arut (Anoni
da antar muk
emiliki dua
ar. Gugus po
polar (conto
lar biasa dis
bos (takut) d
85), sifat-s
kaan, tegan
ersi dan men
e dalam per
mengurangi
g terdispersi
l
h senyawa
ugus Aldeh
iyanti, 2006
adalah sua
ermukaan d
im, 2005),
ka dua zat (A
gugus yang
olar memper
ohnya air), s
sebut hidrofo
dan lipos (lip
sifat surfak
ngan antar
ngontrol sist
rmukaan par
i atau meng
i. Struktur s
Aldoksin
hidroksilam
hida oleh Se
6)
atu bahan y
dan antar m
atau mole
Anonim, 200
g berbeda p
rlihatkan afin
sehingga seri
obik atau lip
pid) (Salager
ktan adalah
muka, men
tem emulsi.
rtikel minya
ghambat pen
surfaktan sec
Ai
13
min dapat
enyawa
yang dapat
muka antara
ekul yang
05). Dalam
olaritasnya
nitas (daya
ing disebut
ofilik yang
r, 2002).
h mampu
ningkatkan
Disamping
ak atau air
nggabungan
cara umum
r
14
(a) (b)
Gambar 5. Struktur surfaktan: a. Struktur molekul surfaktan dalam suatu
system emulsi; b. Unimer Surfaktan (Ramli, 2009)
Penambahan kaustik soda dan surfaktan dimaksudkan untuk
menstabilkan lateks. Surfaktan merupakan bahan yang biasa ditambahkan
dalam jumlah kecil ke dalam cairan untuk memodifikasi sifat permukaan
cairan tersebut. Surfaktan yang ditambahkan akan melapisi partikel-partikel
polimer yang terdispersi di dalam air. Surfaktan akan menjaga kestabilan
lateks terutama terhadap gerakan mekanis yang timbul karena guncangan atau
pengadukan (Stevens, 2001).
Menurut Blackley (1966), surfaktan dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu berdasarkan fungsinya dalam cairan dan berdasarkan sifat
kimianya. Berdasarkan fungsinya ada beberapa jenis surfaktan, antara lain
pembasah (wetting agent), pendispersi (dispersing agent), penstabil dispersi
(dispersing stabilizer), pengemulsi (emulsifer), pembusa (foaming agent), dan
penstabil busa (foaming stabilizer). Surfaktan dibagi menjadi tiga berdasarkan
sifat kimianya, yaitu:
1. Surfaktan Anionik
Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada
bagian hidrofiliknya atau aktif permukaannya (surface-active). Sifat
hidrofiliknya disebabkan karena keberadaan gugus sulfat atau sulfonat.
Salah satu contoh surfaktan anionik adalah emal (sodium lauril
sulfat) yang memiliki rumus molekul (C12H25SO4Na) (Anonim, 2009f).
Emal mempunyai kestabilan yang tinggi pada emulsi polimerisasi, tidak
15
berwarna, larut dalam air panas, stabil dalam larutan asam, alkali, dan air
sadah (Roger, 1994). Gugus fungsi utama yang terdapat dalam emal
adalah (CH3(CH2)nOSO3)Na. Emal yang dilarutkan akan mengion
membentuk turunan anionnya, yakni ion alkil sulfat (CH3(CH2)nOSO3).
2. Surfaktan Kationik
Surfaktan kation yang dilarutkan akan mengion membentuk
turunan kationnya. Kation yang berhubungan dengan lateks adalah ion
ammonium yang satu atom hidrogennya telah digantikan oleh senyawa
organik (halida atau asetat). Contoh surfaktan kationik adalah
Lissolamine A, Vantoc A, Fixano C, dan Aerosol M.
3. Surfaktan Nonionik
Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak mengandung
gugus fungsional bermuatan, baik positif maupun negatif dan tidak
mengalami ionisasi di dalam larutan. Menurut Salager (2002) surfaktan
nonionik mempunyai kelebihan dibandingkan surfaktan anionik dan
kationik yaitu tidak dipengaruhi oleh kesadahan dan perubahan pH.
Surfaktan nonionik dianggap memiliki karakteristik tingkat
pembusaan yang rendah pada medium. Keunikan surfaktan nonionik
adalah tidak mengalami disosiasi menjadi ion-ion ketika dilarukan dalam
pelarut, sehingga sangat kompatibel bila dikombinasikan dengan tipe
surfaktan lainnya.
Surfaktan nonionik mampu memasuki struktur molekul yang
kompleks. Karakter lain dari surfaktan nonionik adalah tidak sensitif
terhadap cairan elektrolit, pH, surfaktan ionik, dan dapat digunakan pada
salinitas tinggi dan air sadah (Salager, 2002).
Surfaktan nonionik tidak membawa muatan, sehingga sangat
kompatibel dengan bahan kimia yang digunakan dalam berbagai operasi
produksi. Prinsip kerja dari surfaktan nonionik dalam mempertahankan
kestabilan larutan adalah dengan menurunkan gaya Van der Walls
(Allen, 1993).
G
emu
C12
put
tolu
lem
min
dila
dibu
G. Toluena
T
metil be
insolubl
normal
kali lebi
D
dan me
toluena
pada ef
dilihat p
Salah
ulgen adal
2H25(OCH2C
tih (white w
uena, dapat d
mak alkohol
nyak sayur (
akukan oleh
utuhkan surf
a
Toluena me
enzena atau
le dengan b
sebagai hidr
ih reaktif dar
Dengan bah
engalami ok
sebesar 10%
fektifitas de
pada Gamba
Gamb
satu jenis su
lah Polietil
CH2)46OH.
waxy solid).
dicampur de
dan lemak,
(Anonim, 20
Pristiyanti
faktan jenis
mpunyai rum
fenil metan
bau pengenc
rokarbon aro
ripada benze
an pereaksi
ksidasi. Men
% sebagai
egradasi par
r 6.
bar 6. Strukt
urfaktan non
lena lauril
Emulgen b
Sifat emulg
engan bahan
tetapi tidak
009d). Dari
(2006), untu
sodium laur
mus moleku
na. Toluena
cer cat yan
omatik. Gugu
ena.
lain gugus m
nurut Alfa
pengembang
rtikel karet.
tur Toluena (
nionik adala
eter deng
erbentuk pa
gen adalah l
n panas, miny
larut denga
penelitian t
uk membuat
ril sulfat dan
ul C7H8 dan
merupakan
ng khas. To
us metil dala
metil dalam
dan Sailah
g molekul k
Gambar st
(Helmenstin
ah emulgen.
gan rumus
adatan lilin
larut dalam
yak alami da
an minyak m
terdahulu ya
t lateks dep
polietilen la
n dikenal den
cairan berba
oluena berea
am toluena b
m toluena aka
h (2005), pe
karet berpen
truktur tolue
ne, 2009)
16
Nama lain
s molekul
n berwarna
air, etanol,
an sintetik,
mineral dan
ang pernah
olimerisasi
auril eter.
ngan nama
asis water-
aksi secara
bereaksi 25
an bereaksi
enambahan
ngaruh baik
enae dapat
HH. Hidrog
H
air, bers
kuat. Hi
Hidroge
dilihat p
Ga
M
dikenal
Pada su
berlangs
(pemutu
Pencam
pada su
molekul
M
sebagai
memben
degrada
mengha
hingga t
Natrium
en Peroksid
Hidrogen pe
sifat sebagai
idrogen pero
en peroksida
pada Gamba
2ambar 7. Re
Menurut Al
sebagai ok
uhu ruang p
sung lambat
us rantai)
mpuran reduk
uhu rendah,
l hidrogen p
Gambar 8.
Menurut Ram
oksidator
ntuk radika
asi dipercep
asilkan O2 y
terjadi pemu
m Hipoklorit
da
eroksida ada
i oksidator k
oksida digun
a terurai se
r 7.
H2O2 →eaksi Pengur
(P
fa et al. (20
ksidator yan
engaruh per
t, tetapi berl
yang berf
ktor pada p
sehingga le
eroksida dap
Struktur Hid
madhan et a
kuat yang
l bebas yan
pat oleh N
yang selanju
utusan ikatan
dengan Hid
alah cairan b
kuat, dan bah
nakan pada d
cara spontan
2 H2O +raian Hidrog
Pristiyanti, 2
003), hidrog
ng dapat me
roksida ini t
langsung cep
fungsi seb
eroksida ak
ebih praktis
pat dilihat pa
drogen Perok
al., (2005), b
g dapat me
ng aktif pa
NaClO yang
utnya melaku
n-ikatan pad
drogen Perok
bening, lebih
hkan sebaga
desinfektan,
n menjadi a
+ O2 + Enegen Peroksid
2006)
gen peroksid
endegradasi
terhadap deg
pat dengan
agai pemin
kan memperc
s dan ekono
ada Gambar
ksida (Helm
bahan pendeg
enginisiasi
ada rantai m
g dapat be
ukan proses
a rantai utam
ksida dapat d
h kental dib
ai bahan pem
dan sebagai
air dan oks
ergi da Secara Spo
da (H2O2) s
rantai mole
gradasi rant
adanya baha
ndah radik
cepat reaksi
omis. Gamb
8.
menstine, 200
gradasi H2O
rantai poli
molekul kar
ereaksi den
s autooksida
ma karet. Re
dilihat pada G
17
bandingkan
mucat yang
i oksidator.
igen dapat
ontan
sudah lama
ekul karet.
ai molekul
an peptiser
kal bebas.
i degradasi
bar struktur
09)
2 berfungsi
imer karet
ret. Proses
ngan H2O2
asi berantai
eaksi antara
Gambar 9.
18
NaOCl + H2O2 → O2 + NaCl + H2O Gambar 9. Reaksi antara Natrium Hipoklorit dengan Hidrogen Peroksida
(Pristiyanti, 2006)
Reaksi rantai radikal bebas terjadi berdasarkan tiga tahapan, yaitu insiasi,
propagasi, dan terminasi. Pada tahapan inisiasi dan propagasi, radikal bebas
(R*) akan bereaksi dengan oksigen (O2), yang terbentuk dari rekasi
disproporsionasi hidrogen peroksida, membentuk senyawa RO2* (radikal).
Pada rantai polimer karet, atom hidrogen yang berikatan dengan atom karbon
(C) pada posisi alilik diserang oleh RO2* (radikal) yang selanjutnya
melakukan reaksi berantai radikal bebas. Pada proses ini, rantai poliisopren
akan diserang oleh oksigen, atau terjadi proses autooksidasi berantai yang
menyebabkan pemutusan ikatan-ikatan pada rantai polimer karet. Tahapan
pembentukan radikal bebas dapat dilihat pada Gambar 10.
Inisiasi Produksi RO2*
Propagasi R* + O2 → RO2*
RO2* + RH → ROOH + R*
Terminasi R* + R* →
R* + RO* → Produk non-radikal
RO2* + RO2* →
Gambar 10. Tahapan Reaksi Pembentukan Radikal Bebas (Roberts, 1988)
I. Natrium Hipoklorit
Natrium hipoklorit adalah garam dan asam hipoklorit. Natrium
hipoklorit tidak berwarna dan merupakan cairan transparan. Dalam air akan
terurai menjadi kation natrium (Na+) dan anion asam hipoklorit (HClO-).
Menurut Alfa et al. (2003), natrium hipoklorit merupakan reduktor yang
digunakan sebagai bahan peptiser yang dapat mempercepat reaksi
degradasi molekul oleh peroksida pada suhu rendah. Selain itu, natrium
hipoklorit berfungsi untuk menyediakan oksigen yang akan digunakan oleh
hidrogen peroksida dalam proses oksidasi. Struktur molekul natrium
J
hipoklor
Ga
J. Aspal d
A
yang ter
dua bent
cair mem
cair dis
Nitrogen
Nitrogen
paramete
abrasi (S
A
perubaha
sedangka
perubaha
mejadi
rendah,
(Suroso,
M
menentu
aspal me
titik lele
sebaikny
kadar asp
(pelunak
rit dapat dili
ambar 11. St
dan Aspal B
Aspal adalah
susun menja
tuk, yaitu fr
mbentuk bah
ebut malten
n base, Acida
n base dan A
er komposi
Suroso, 2005
Aspal adala
an tempera
an pada te
an jarak par
renggang s
jarak antar
2005).
Menurut Su
ukan sifat rh
enjadi keras.
eh tinggi.
ya antara 5-
phalten dala
k), sehingga
ihat pada Ga
truktur Mole
Berkaret
h bahan yan
adi fraksi hi
aksi padat d
han semi pa
n. Malten
afit I, Acida
Acidafit I d
si malten y
5).
ah bahan v
atur. Pada
emperatur t
rtikel aspal.
ehingga asp
r partikel m
uroso (200
heologi asp
. Dengan kat
Kadar asph
25%. Keken
am malten. A
asphalten d
ambar 11.
ekul Natrium
ng semi pad
drokarbon. F
dan fraksi ca
adat. Fraksi p
dibedakan
afit II, dan Pa
engan jumla
yang menen
visko elastik
temperatur
tinggi berbe
. Pada temp
pal berubah
menjadi deka
5), kadar
pal. Kenaika
ta lain penet
halten dalam
ntalan aspal
Asphalten da
diyakini mem
m Hipoklorit
dat terdiri d
Fraksi terseb
air. Fraksi pa
padat disebu
menjadi em
arafin. Perba
ah Acidafit
ntukan keta
k yang sifa
rendah be
entuk cair.
peratur tingg
h menjadi c
at sehingga
asphalten
an kadar as
trasi aspalny
m aspal un
akan naik se
apat berinter
mpunyai sif
(Anonim, 2
dari hidroge
but dibedaka
adat larut da
ut asphalten
mpat kelomp
andingan ant
II dan Para
ahanan aspa
fatnya berub
erbentuk se
Hal ini d
gi jarak ant
cair, pada
a aspal men
dalam asp
sphalten me
ya rendah da
ntuk perker
eiring denga
raksi dengan
fat lengket,
19
009e)
en, karbon,
an menjadi
alam fraksi
dan fraksi
pok, yaitu
tara jumlah
afin disebut
al terhadap
bah akibat
emi padat
disebabkan
tar partikel
temperatur
njadi padat
pal sangat
enyebabkan
an memiliki
rasan jalan
an kenaikan
n fraksi cair
tergantung
20
dari strukturnya. Ikatan asphalten merupakan kesatuan yang kontinyu, dengan
kata lain kekentalannya akan menurun sebanding dengan kenaikan temperatur.
Aspal telah digunakan sebagai bahan konstruksi dasar selama bertahun-
tahun karena sifat alaminya, yakni memiliki daya ikat dan tahan air. Diatas
suhu 100oC, aspal berbenuk cairan yang viskos. Aspal mulai mengeras pada
suhu yang rendah. Semakin rendah (hingga dibawah nol derajat) suhunya,
maka aspal semakin keras dan rapuh (Robinson, 2004).
Pada penerapan untuk jalan bebas hambatan, aspal memegang peran
yang baik dalam pembangunan jalan raya yang sibuk. Situasi tersebut
membuat penggunaan polimer untuk pemodifikasi aspal lebih disukai.
Penggunaan polimer tersebut dapat meningkatkan ketahanan terhadap
deformasi permanen dengan memperbaiki temperatur kerja, memperbaiki
daktilitas (ketahanan terhadap tarikan atau regangan tanpa mengalami
kerusakan) aspal untuk mengurangi resiko retak atau pecah pada suhu rendah,
memperbaiki daya ikat dengan agregat untuk mengurangi resiko agregat
terlepas dari permukaan aspal (Robinson, 2004).
Aspal merupakan produk turunan dari minyak mentah atau minyak
bumi yang didapatkan dengan proses destilasi atau penyulingan dengan cara
memisahkan fraksi-fraksi yang lebih tinggi, sehingga menyisakan aspal
sebagai residu yang lebih berat dari fraksi-fraksi lain. Aspal merupakan bahan
yang viskoelastis dan sensitif terhadap perubahan temperatur. Aspal juga
cenderung mudah mengalami deformasi permanen dalam aplikasinya untuk
menahan beban atau muatan. Laju deformasi aspal tergandung dari kualitas
aspal, komposisi aspal, temperatur udara ambien, tingkat tekanan dan volume
beban (Robinson, 2004).
Sumber dan jenis minyak bumi berpengaruh terhadap komposisi kimia
aspal yang berpengaruh juga terhadap ciri fisiknya. Aspal terdiri dari
kompleks hidrokarbon yang mengandung kalsium, besi, mangan, nitrogen,
oksigen, sulfur dan vanadium. Struktur aspal sangat bervariasi pada tiap-tiap
sumbernya dan tidak mungkin dapat dipetakan secara akurat. Kimia aspal
ditentukan dengan pendekatan analisis saturates-aromatics-resins-asphaltenes
(SARA) untuk membandingkan komposisi dengan reologi (Robinson, 2004).
21
Menurut Robinson (2004), aspal dapat teroksidasi karena adanya
udara. Oksidasi menyebabkan pengerasan aspal dan penggetasan. Hal ini
menyebabkan kegagalan pelekatan aspal terhadap agregat dan keretakan.
Pengerasan aspal pada permukaan atau lapisan dasar membantu meningkatkan
kekakuan aspal yang berkontribusi untuk memperbaiki daya guna aspal.
Laju pengerasan aspal tergantung dari beberapa faktor, antara lain
komposisi campuran aspal, ketebalan lapisan pengikat, rongga udara yang
terkandung dalam aspal, dan komposisi aspal. Rongga udara sangat penting
karena jika udara tidak bisa menembus campuran aspal yang tebal secara
mudah, maka laju oksidasi akan lebih lambat bila dibandingkan bahan yang
lebih berpori (Robinson, 2004).
Menurut Robinson (2004), aspal memberikan respon yang beragam
pada aplikasinya, respon tersebut tergantung dari temperatur dan waktu
muatan. Terdapat berbagai macam uji empiris yang dapat dilakukan untuk
mengetahui karakteristik dari aspal yang dikendalikan oleh badan standarisasi
yang berbeda dengan versi yang berbeda pula. Akan tetapi, kelas atau kualitas
aspal yang digunakan untuk perkerasan jalan biasanya diklasifikasikan
berdasarkan nilai penetrasi (pen) yang diukur pada 25oC dan dinyatakan
dalam dmm (0,1 mm) serta titik lunak atau titik lembek dalam oC. Nilai
tersebut yang digunakan untuk merancang atau menentukan kelas atau
kualitas dari aspal. Sebenarnya, masih banyak terdapat uji spesifikasi empiris
untuk aspal yang bisa digunakan, namun kedua uji empiris tersebut
merupakan pendekatan utama yang digunakan untuk menentukan ketahanan
aspal terhadap deformasi permanen (Robinson, 2004).
Menurut Robinson (2004), terdapat juga uji yang digunakan untuk
mengukur viskositas dinamis aspal pada selang temperatur 100-190oC.
Pengujian atau pengukuran tersebut penting juga untuk mengetahui
kemampuan aspal untuk dipompa dan melapisi agregat. Pengujian ini
menggunakan pemanasan aspal dalam ruang sampel dalam kondisi yang
terkendali serta pengukuran daya tahan putaran menggunakan spindel
berputar dengan nilai yang terbaca sebagai nilai viskositas, biasanya
dinyatakan dalam centipoise (cP).
22
Polimer secara umum digunakan untuk memodifikasi aspal, sehingga
dapat meningkatkan daya guna aspal. Polimer juga dapat digunakan untuk
mengurangi laju kerusakan aspal. Polimer juga dapat memperbaiki kelekatan
atau daya ikat aspal dengan agregat yang sering terlepas karena adanya
kikisan dari air sehingga dapat memelihara kekakuan atau kekuatan struktur
aspal tersebut.
Perbaikan dalam sifat mekanik atau struktur dari aspal menggunakan
pemodifikasi berupa polimer terkadang sulit untuk diukur dan dikendalikan.
Misalnya, polimer jenis elastomer biasanya menghasilkan penurunan
kekakuan aspal, akan tetapi ketahanan deformasi dan kerekatan meningkat.
Selain itu, polimer biasanya digunakan untuk mengurangi deformasi
permanen, meningkatkan kerekatan aspal, dan mengurangi resiko keretakan
aspal akibat temperatur rendah.
Aspal minyak merupakan residu pengilangan minyak bumi. Oleh
karena itu, mutunya sangat tergantung pada lokasi dan kondisi geologi
dimana minyak bumi diproses. Saat ini, aspal yang dihasilkan banyak yang
kurang sesuai dengan kebutuhan, yaitu aspal dengan titik lembek tinggi agar
menghasilkan stiffness (kekakuan) yang tinggi, sehingga tahan terhadap
terjadinya deformasi. Selain aspal harus mempunyai stiffness yang tinggi
diperlukan aspal yang mempunyai ketahanan terhadap retak, ketahanan
terhadap oksidasi sehingga perkerasan dapat tahan lama.
Indonesia terletak di negara tropis serta pada ruas jalan tertentu lalu
lintas cukup tinggi dan bebannya pun melebihi kapasitas jalan sehingga faktor
cuaca, temperatur, kerusakan dini berupa terjadinya alur, gelombang,
deformasi menjadi alasan mengapa aspal perlu dimodifikasi agar dapat
mengurangi faktor-faktor tersebut di atas. Banyak faktor yang menentukan
keawetan konstruksi jalan salah satunya adalah aspal sebagai bahan pengikat,
dan pengisi. Sebagai bahan pengikat, sifat adhesinya harus baik, sedangkan
sebagai bahan pengisi maka jumlah (kadar aspal dalam campuran beraspal)
harus cukup serta mutunya harus baik agar diperoleh umur pelayanan yang
maksimal.
23
Pencampuran karet dengan aspal selama 45 – 60 menit, menghasilkan
suatu material baru. Material ini memiliki karakteristik teknis yang
menguntungkan pada kedua komposisi yang disebut aspal karet (Huffman,
1980). Aspal tersebut diabsorbsi oleh partikel karet yang bertambah besar
pada temperatur tinggi, sehingga meningkatkan konsentrasi aspal cair dalam
campuran beraspal.
Polimer umumnya digunakan untuk memodifikasi sifat-sifat yang
dimiliki aspal untuk meningkatkan daya guna aspal. Peningkatan dalam sifat
mekanik maupun struktur aspal menggunakan polimer sebagai bahan
pengikat kadang sulit untuk diukur. Sebagai contoh, polimer jenis elastomer
bisa menghasilkan penurunan kekakuan, walaupun ketahanan terhadap
deformasi dan kekuatan ikatan didapatkan (Robinson, 2004).
Polimer yang umum digunakan sebagai bahan pengikat untuk
memodifikasi aspal adalah polimer jenis elastomer termoplastik dan
plastomer termoplastik. Elastomer adalah polimer yang paling banyak
digunakan sebagai bahan pengikat atau pemodifikasi. Jenis elastomer yang
sering digunakan meliputi polimer termoplastik karet sintetis. Dalam praktek,
polimer styrene butadiene styrene (SBS) adalah polimer yang memberikan
kombinasi yang paling optimum dari daya guna, ketahanan, kemudahan
penggunaan dan ekonomis bila dibandingkan dengan elastomer sintetis
lainnya (Robinson, 2004).
Lateks karet alam telah digunakan dalam campuran aspal selama lebih
dari 30 tahun dan lateks dapat meningkatkan daya guna aspal walaupun
dispersi polimer dalam campuran aspal biasanya kurang homogen. Secara
keseluruhan, lateks (dispersi cair polimer) yang ditambahkan secara langsung
ke dalam pencampur aspal tidak memodifikasi sifat-sifat aspal pada derajat
yang sama dengan plastomer dan elastomer yang membutuhkan perlakuan
pra-pencampuran dengan aspal panas. Lateks karet alam mudah digunakan
karena dapat langsung ditambahkan ke dalam pencampur aspal tanpa
membutuhkan tangki penyimpanan khusus. Lateks merupakan polimer alami
dan menunjukkan reaksi yang mirip dengan bentuk polimer termoplastik
sintetis (Robinson, 2004).
24
III. BAHAN DAN METODE
A. Bahan Dan Alat
1. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks
pekat perdagangan KKK 60%. Bahan-bahan lain yang berfungsi sebagai
bahan pembantu dalam penelitian ini adalah bahan pemantap, surfaktan
Emal (sodium lauril sulfat), Natrium Hipoklorit (NaClO) teknis,
Toluena teknis, Hidrogen Peroksida (H2O2) teknis, Hidroksilamin Netral Sulfat
(HNS), dan aspal.
2. Alat
a. Bekker glass
Bekker glass merupakan gelas kaca yang mempunyai skala ukur
(1000, 500, 250, dan 100 ml) yang fungsinya sebagai tempat
pencampuran bahan-bahan.
b. Gelas Ukur
Gelas ukur berfungsi untuk mengukur banyaknya cairan yang
digunakan. Ukuran gelas ukur yang digunakan adalah 100, 25,
dan 5 ml masing-masing sebanyak 1 buah.
c. Termometer
Termometer berfungsi untuk mengukur suhu aspal dan
campuran aspal berkaret. Termometer yang digunakan
mempunyai kemampuan membaca sampai 200oC.
d. Pengaduk bermotor
Pengaduk bermotor berfungsi membantu pengadukan yang bisa
disesuaikan kecepatan pengadukannya.
e. Statip dan Klem
Statip dan klem berfungsi untuk penempatan pengaduk bermotor
pada penyangga agar memudahkan dalam proses pengadukan.
25
f. Penangas
Penangas digunakan untuk memanaskan aspa l dan campuran
(aspal+lateks).
g. Stopwatch
Stopwatch digunakan untuk pengukuran waktu pada proses
pembuatan lateks depolimerisasi dan pencampuran aspal dengan
lateks.
h. Neraca mekanik
Neraca mekanik digunakan untuk menimbang bahan-bahan
sebelum direaksikan.
B. Metodologi Penelitian
1. Persiapan Bahan Baku
Persiapan bahan baku dilakukan untuk meneliti sifat dan
karakteristik bahan baku lateks serta depolimerisasi lateks.
a. Penentuan sifat dan karakteristik lateks
Karakteristik yang dilakukan adalah uji KKK, kadar jumlah
padatan (KJP), kadar asam lemak bebas, uji viskositas, uji waktu
kemantapan mekanis (WKM), penetapan total alkalinitas (kadar
amonia), dan penetapan bilangan KOH. Prosedur analisis dan
pengujian dapat dilihat pada Lampiran 1.
b. Depolimerisasi lateks
Lateks pekat yang telah diuji karakteristiknya diaduk dengan
agitator kemudian ditambahkan bahan penstabil sebanyak 0,4% dan
surfaktan sebanyak 1 bsk (bagian per seratus bagian karet).
Dilakukan pengadukan selama kurang lebih 5 menit. Setelah itu
ditambahkan toluene sebanyak 10% volume lateks sedikit demi
sedikit. Lateks yang telah ditambahkan toluene diperam selama 24
jam. Setelah 24 jam lateks ditambahkan H2O2 50% 2 bsk sedikit
demi sedikit kemudian ditambahkan NaClO 50% 7 bsk. Lateks
26
diaduk selama 15 menit kemudian lateks ditempatkan dalam
beberapa Erlenmeyer lalu ditutup dengan plastik tahan panas.
Erlenmeyer yang berisi lateks dimasukkan ke dalam oven
bersuhu 70oC selama 16 jam. Setelah 16 jam Erlenmeyer diturunkan
suhunya dengan cara dialiri air. Lateks ditempatkan kembali ke
dalam satu wadah. Diambil sedikit lateks untuk diukur kadar karet
keringnya. Setelah diketahui kadar karet keringnya, lateks
ditambahkan dengan surfaktan sebanyak 0,5 bsk dan HNS 20% 0,4
bsk. Diagram alir proses depolimerisasi latetks dapat dilihat pada
Gambar 12.
2. Penelitian Utama
a. Pencampuran lateks dan aspal
Aspal dipanaskan diatas penangas hingga suhu 170oC sambil
diaduk dengan agitator pada kecepatan 250 rpm. Setelah aspal
mencair sempurna lateks dimasukkan lateks sedikit demi sedikit
sambil tetap diaduk. Aspal dan lateks diaduk selama 30 menit. Tiap
10 menit dilihat kehomogenannya. Homogenitas aspal modifikasi
dilakukan secara visual dengan melihat gumpalan pada aliran jatuh
aspal yang dicairkan. Diagram alir proses pencampuran lateks ke
dalam aspal dapat dilihat pada Gambar 13.
b. Pengujian
Campuran aspal dan lateks diuji dengan metode pengujian
penetrasi dan titik lembek. Pengujian penetrasi dilakukan untuk
mengetahui tingkat kekerasan campuran aspal dan lateks. Pengujian
titik lembek dilakukan untuk mengetahui suhu dimana campuran
aspal tersebut melunak.
Penetrasi adalah masuknya jarum penetrasi ukuran tertentu,
beban tertentu dan waktu tertentu ke dalam aspal pada suhu tertentu,
sedangkan titik lembek adalah suhu pada saat bola baja dengan berat
tertentu mendesak turun suatu lapisan aspal yang tertahan dalam
27
cincin berukuran tertentu, sehingga aspal tersebut menyentuh pelat
dasar yang terletak di bawah cincin pada tinggi 24,4 mm, sebagai
kecepatan akibat pemanasan tersebut. Prosedur pengujian penetrasi
dan titik lembek dapat dilihat pada Lampiran 1.
C. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan untuk masing-
masing perlakuan. Faktor-faktor yang dikaji pengaruhnya adalah sebagai
berikut:
1. Faktor A, yaitu:
L1 : Lateks Pekat
L2 : Lateks Pekat + Bahan pemvulkanisasi
L3 : Lateks Pekat + Resin I
L4 : Lateks Pekat + Resin II
L5 : Lateks Depolimerisasi
L6 : Lateks Depolimerisasi + Bahan pemvulkanisasi
L7 : Lateks Depolimerisasi + Resin I
L8 : Lateks Depolimerisasi + Resin II
2. Faktor B, yaitu:
K3 : Konsentrasi karet 3% terhadap aspal
K5 : Konsentrasi karet 5% terhadap aspal
K7 : Konsentrasi karet 7% terhadap aspal
Model matematis Rancangan Percobaan yang digunakan adalah sebagai
berikut (Myers, 1995):
Yijk= μ + Ai + Bj + AB(ij) + ε(ijk)
Dengan:
Yijk = Variabel respon yang diukur
μ = Nilai tengah populasi
Ai = pengaruh faktor A pada taraf ke-i
28
Bj = pengaruh faktor A pada taraf ke-j
AB(ij) = pengaruh interaksi dari faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf
ke-j
ε(ijk) = pengaruh galat dari unit percobaan ke-k dalam kombinasi
perlakuan ij
Lateks Pekat (KKK diketahui)
Diaduk dengan Agitator (Kecepatan 200 rpm)
Bahan Pemantap Sebanyak 0,4%
Surfaktan Sebanyak 1 bsk
Diaduk selama 5 menit
Toluena Sebanyak 10% Volume Lateks
Diperam selama 24 jam
H2SO4 50% sebanyak 2 bsk
NaClO 50% sebanyak 7 bsk
Diaduk selama 15 menit
Ditempatkan ke dalam beberapa erlenmeyer
Ditutup dengan plastik tahan panas
Dimasukkan Oven 70oC selama 16 jam
A
29
Gambar 12. Diagram Alir Proses Depolimerisasi Lateks Pekat
(Dimodifikasi dari hasil penelitian Pristiyanti, 2006)
Diturunkan suhunya dengan dialiri air
Ditempatkan dalam satu wadah
Surfaktan Sebanyak 0,5 bsk
HNS 20%
A
Lateks Depolimerisasi
30
Gambar 13. Diagram Alir Proses Pencampuran Lateks ke dalam Aspal
Aspal
Dipanaskan pada suhu 170oC
Aspal cair
Diaduk dengan Agitator pada kecepatan 250 rpm
Aspal mencair sempurna
Lateks sesuai perlakuan
Diaduk selama 30 menit
Aspal berkaret
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan dan Karakteristik Bahan Baku
1. Lateks Pekat
Jenis lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks
pekat perdagangan yang telah ditambahkan amonia. Lateks pekat kemudian
dianalisis karakteristiknya seperti kadar alkalinitas (amonia), KJP, KKK,
bilangan KOH, Waktu Kemantapan Mekanik (WKM), viskositas Mooney,
viskositas brookfield, bilangan volatile fatty acid (VFA), dan kadar nitrogen.
Data hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 10. Penggunaan lateks pekat
dalam penelitian ini bertujuan agar hasil penelitian ini dapat diaplikasikan
dalam industri yang umumnya menggunakan lateks pekat untuk menurunkan
biaya pengangkutan, penyimpanan, dan pemrosesan.
Amonia di dalam lateks akan menyebabkan permukaan partikel karet
memiliki muatan negatif, sehingga menimbulkan gaya tolak menolak antar
partikel karet selanjutnya sistem koloid menjadi mantap dan tidak terjadi
penggumpalan. Penambahan amonia ke dalam lateks pekat juga berfungsi
untuk mencegah atau menghambat penggumpalan lateks selama penyimpanan
akibat asam hasil metabolisme mikroorganisme. Kadar amonia yang terukur
adalah sebesar 0,835%. Lateks pekat ini tergolong ke dalam lateks pekat high
ammonia (kandungan ammonia tinggi) karena mengandung ammonia lebih
dari 0,6%.
Lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat
dengan KKK 58,4%, artinya terdapat 58,4 gram partikel karet dalam 100 mL
lateks pekat. KKK merupakan parameter terukur yang menunjukkan
presentase jumlah karet dalam lateks. Kadar jumlah padatan (KJP) lateks
pekat yang digunakan adalah 59,19%, artinya terdapat 59,19 gram padatan
total dalam 100 mL lateks pekat. Selisih antara nilai KJP dan KKK pada
lateks pekat kurang dari 2%, yaitu 0,79%, hal tersebut menandakan bahwa
lateks pekat mengandung padatan bukan karet dan pengotor dalam jumlah
relatif rendah bila dibandingkan dengan angka penerimaan KJP, yaitu KKK +
2%.
32
Setelah analisis KKK dan KJP, selanjutnya dilakukan analisis kadar
nitrogen. Hasil analisis kadar nitrogen adalah sebesar 0,24%. Dari analisis
kadar nitrogen ini maka dapat diketahui jumlah protein yang terdapat dalam
lateks pekat ini. Kadar protein dapat dihitung dengan kadar nitrogen dikalikan
dengan faktor 6,25. Penambahan amonia yang tinggi dapat mendegradasi
protein dalam lateks. sehingga akan mengurangi kadar protein dalam lateks
tersebut.
Lateks pekat juga dianalisis viskositas Mooney nya sebagai indikator atau
pembanding yang menunjukkan kecenderungan perubahan bobot molekul
karet alam. Dari hasil uji viskositas Mooney pada lateks pekat diketahui
bahwa nilai viskositas Mooney nya sebesar 77,60 (ML (1’+4’) 100oC).
Viskositas Mooney karet alam menunjukkan panjangnya rantai molekul karet
atau berat molekul. Pada umumnya, semakin tinggi berat molekul (BM) karet,
maka semakin panjang rantai molekulnya dan semakin tinggi sifat tahanan
aliran bahannya atau dengan kata lain karetnya semakin viskos.
Pengukuran viskositas Mooney dilakukan dengan Mooney Viscosimeter.
Prinsip kerja alat tersebut berdasarkan pengukuran nilai torsi rotor yang dapat
berputar. Nilai viskositas Mooney berlawanan dengan nilai plastisitas.
Semakin plastis karet, maka semakin cepat rotor berputar yang berarti tenaga
yang dibutuhkan untuk memutar rotor semakin kecil. Hal tersebut
menunjukkan bahwa viskositas karet rendah. Sebaliknya, jika karet kurang
plastis, maka tenaga yang dibutuhkan untuk memutar rotor semakin besar dan
rotor akan berputar lambat sehingga nilai viskositasnya tinggi.
Selain nilai viskositas Mooney, dianalisis juga nilai viskositas Brookfield
lateks pekat. Nilai viskositas Brookfield lateks pekat sebesar 98 centipoise
(cP). Viskositas Brookfield ini menunjukan kekentalan dari suatu lateks.
Semakin tinggi nilai viskositas Brookfield, maka lateks semakin kental.
Sebaliknya, semakin rendah nilai viskositas Brookfield, maka semakin cair
lateks tersebut.
Parameter karakteristik lateks pekat yang dianalisis berikutnya adalah
waktu kemantapan mekanik (WKM). Analisis waktu kemantapan mekanik
bertujuan untuk mengetahui ketahanan karet terhadap gaya sobek. Dari hasil
33
analisis lateks pekat didapatkan nilai WKM sebesar 767 detik. Hasil ini telah
memenuhi standar SNI yaitu minimal 650 detik.
Menurut Goutara et al. (1985), analisis bilangan VFA (volatile fatty acid)
atau asam lemak eteris bertujuan untuk melihat jumlah asam lemak menguap
yang dihasilkan dari kerusakan bahan bukan karet oleh mikroorganisme.
Bilangan ini merupakan uji khusus yang menggambarkan tingkat pengawetan
yang telah dilakukan pada lateks dan juga mengindikasikan umur dan mutu
dari lateks pekat. Hasil analisis menunjukkan nilai VFA sebesar 0,02 gr KOH
per 100 gr total padatan. Hasil ini sudah memenuhi standar SNI yaitu
maksimal 0,2 gr KOH per 100 gr total padatan.
Bilangan VFA ini dihasilkan dari keaktifan mikroorganisme terhadap
bahan bukan karet. Mikroorganisme ini akan menguraikan senyawa
karbohidrat atau protein dalam lateks menjadi asam lemak eteris seperti asam
format, asam asetat, dan asam propionat. Asam-asam ini mengakibatkan
penurunan pH sehingga menganggu kestabilan lateks dan dapat
menggumpalkan lateks.
2. Lateks Depolimerisasi
Selain lateks pekat, lateks yang digunakan dalam penelitian ini adalah
lateks depolimerisasi. Lateks depolimerisasi adalah lateks yang mengalami
proses pemutusan rantai polimer isoprena yang panjang menjadi rantai
polimer yang pendek. Depolimerisasi merupakan salah satu cara mengubah
struktur molekul karet menjadi lebih lunak dan mempunyai bobot molekul
rendah. Tahapan lebih lanjut yang diharapkan adalah dapat diaplikasikan
sebagai bahan baku produk yang membutuhkan sifat lekat yang baik. Jika
rantai molekulnya lebih pendek, diharapkan kemampuan partikel karet alam
tersebut melekat pada permukaan media akan lebih baik, sehingga
meningkatkan daya rekatnya.
Keberhasilan proses depolimerisasi sangat tergantung pada kestabilan
atau kemantapan lateks selama proses depolimerisasi. Selama proses
depolimerisasi berlangsung, aglomerasi (penggumpalan) partikel karet harus
diusahakan dapat dicegah. Kemantapan atau kestabilan lateks selama proses
34
depolimerisasi dapat dijaga dengan menambahkan bahan penstabil lain, yakni
surfaktan. Gugus hidrofilik pada surfaktan akan berinteraksi dengan air,
sedangkan gugus hidrofobiknya akan berinteraksi dengan lapisan fosfolipid
pada partikel karet. Dengan demikian, dispersi partikel karet di dalam air
pada sistem lateks lebih stabil.
Pada saat surfaktan dimasukkan ke dalam lateks, maka partikel-partikel
karet yang semula diam akan bergerak untuk berikatan dengan surfaktan.
Penambahan surfaktan harus sesuai dengan dosisnya. Jika surfaktan yang
ditambahkan jumlahnya terlalu kecil, maka surfaktan tidak dapat melindungi
seluruh partikel karet sehingga masih ada partikel karet yang bergerak dan
memungkinkan terjadinya tumbukan antar partikel karet yang menyebabkan
lateks menggumpal.
Penambahan surfaktan sebagai anti koagulan sebelum proses
depolimerisasi perlu dilakukan. Surfaktan jenis sodium lauril sulfat termasuk
jenis surfaktan anionik yang lebih dapat mempertahankan kestabilan lateks
dibandingkan surfaktan polietilene lauril eter, karena surfaktan tersebut
mempunyai muatan negatif, sehingga sesuai digunakan pada lateks yang
mengandung partikel karet bermuatan negatif. Muatan negatif pada surfaktan
sodium lauril sulfat dapat menurunkan tegangan antar muka antara partikel
karet dan serumnya, sehingga dispersi partikel karet dalam lateks semakin
stabil.
Proses degradasi bisa menjadi lebih efektif dengan ditambahkannya
toluen ke dalam lateks dengan KKK yang tinggi. Penambahan toluen ke
dalam lateks berguna untuk mengembangkan molekul karet. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh semakin tinggi kadar karet dalam lateks, berarti jarak
antar molekul karet dalam lateks semakin dekat dan jumlah air dalam lateks
lebih sedikit, sehingga toluen dapat dengan mudah mengembangkan molekul
karet. Oleh karena itu, bahan-bahan pedegradasi (H2O2 dan NaOCl) lebih
mudah masuk ke dalam rantai hidrokarbon karet alam dan memutus rantai
molekulnya menjadi lebih pendek.
Di sisi lain, semakin rendah kadar karet dalam lateks, berarti semakin
banyak jumlah air dalam lateks dan semakin jauh jarak antar molekul karet
35
dalam lateks. Jumlah air yang banyak dan jarak antar molekul karet yang
semakin jauh dapat menghalangi pengembangan molekul karet oleh toluen,
karena toluen bersifat hidrofobik (sulit larut dalam air yang menyelubungi
molekul karet), sehingga toluen sulit mencapai partikel karet dalam lateks dan
sulit mengembangkan molekul karet dan menyebabkan bahan pendegradasi
sulit masuk ke dalam molekul karet untuk memutus rantai molekulnya atau
rantai polimernya.
Proses degradasi rantai polimer karet alam dapat terjadi secara kimia
melalui suatu reaksi reduksi-oksidasi (redoks) dengan bantuan senyawa-
senyawa tertentu. Pada sistem reaksi redoks, senyawa yang umumnya
berperan sebagai oksidator adalah hidrogen peroksida (H2O2), sedangkan
senyawa reduktornya adalah klorit (OCl-). Penambahan hidrogen peroksida
akan mendegradasi rantai molekul melalui pembentukan senyawa radikal
bebas. Mekanisme reaksi pembentukan radikal bebas oleh H2O2 adalah
sebagai berikut:
ROOR → 2OR
H2O2 → 2 OH* (radikal hidroksil)
Selain membentuk radikal, sebagian senyawa hidrogen peroksida juga
akan mengalami reaksi disproporsionasi, yaitu suatu jenis reaksi reduksi
oksidasi yang terjadi apabila senyawa tunggal dioksidasi dan direduksi.
Senyawa ini ditambahkan pertama kali ke dalam lateks, sehingga sebagian
akan mengalami reaksi disproporsionasi membentuk air dan oksigen yang
ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas pada sistem.
Senyawa yang ditambahkan ke dalam lateks selanjutnya adalah natrium
hipoklorit (NaOCl). Natrium hipoklorit merupakan reduktor yang digunakan
sebagai bahan peptiser yang dapat mempercepat reaksi degradasi
molekul oleh peroksida pada suhu rendah. Selain itu, natrium hipoklorit
berfungsi untuk menyediakan oksigen yang akan digunakan oleh hidrogen
peroksida dalam proses oksidasi.
Lateks hasil depolimerisasi kemudian diuji juga karakteristiknya.
Pengujian karakteristik lateks depolimerisasi sama seperti pengujian
karakteristik yang dilakukan pada lateks pekat. Hasil analisis atau pengujian
36
karakteristik lateks depolimerisasi dapat dilihat pada Lampiran 10.
Karakteristik lateks depolimerisasi yang pertama kali dianalisis adalah kadar
alkalinitas atau kadar amonia lateks. Dari hasil analisis didapatkan bahwa
kadar amonia pada lateks depolimerisasi adalah sebesar 0,14%. Kadar amonia
pada lateks depolimerisasi lebih rendah daripada lateks pekat, karena pada
amonia menguap selama proses depolimerisasi akibat pengadukan dan
pemanasan.
Sama halnya dengan lateks pekat, KKK lateks depolimerisasi juga
dianalisis dan didapatkan hasil KKK lateks depolimerisasi sebesar 46,73%.
KKK diukur berdasarkan persentase perbandingan antara bobot karet kering
dengan bobot lateks. KKK lateks depolimerisasi lebih rendah daripada KKK
lateks pekat karena pada saat proses depolimerisasi terjadi penambahan
bahan-bahan lain yang menyebabkan volume dan bobot lateks bertambah,
tetapi kadar karet dalam lateks tetap. Hal tersebut yang menyebabkan KKK
lateks depolimerisasi lebih rendah daripada lateks pekat.
Hasil analisis KJP menunjukkan bahwa KJP dari lateks depolimerisasi
adalah sebesar 51,47%. Hasil tersebut lebih rendah dari KJP lateks pekat. Hal
itu juga terjadi karena selama proses depolimerisasi, penambahan bahan-
bahan kimia yang bersifat cair hanya meningkatkan volume dan bobot lateks,
akan tetapi, jumlah bahan-bahan padatan (karet dan non karet) dalam lateks
tidak berubah, maka dari itu KJP lateks depolimerisasi lebih rendah daripada
lateks pekat. Hampir sama dengan KKK, KJP diukur dari perbandingan bobot
padatan setelah pemanasan dengan bobot lateks sebelum pemanasan.
Waktu kemantapan mekanik lateks depolimerisasi yang didapatkan lebih
rendah daripada waktu kemantapan mekanik lateks pekat, yaitu sebesar 109
detik. Waktu kemantapan mekanik yang lebih rendah ini disebabkan karena
lateks mengalami penurunan kemantapan atau ketahanan terhadap
pengadukan selama proses depolimerisasi. Sebenarnya, lateks pekat
mengalami kenaikan WKM selama penyimpanan dengan pengadukan
perlahan hingga batas waktu tertentu, kemudian WKM lateks pekat akan
menurun kembali. Kemungkinan proses depolimerisasi telah mempercepat
siklus WKM lateks, sehingga WKM lateks depolimerisasi menjadi rendah.
37
Kadar VFA atau asam lemak eteris pada lateks depolimerisasi lebih
tinggi dari kadar VFA dalam lateks pekat, yaitu sebesar 0,047 g KOH/100 g
JP. Nilai VFA yang lebih tinggi ini disebabkan selama proses depolimerisasi
dan penyimpanan, telah terjadi penguraian bahan-bahan non karet seperti
karbohidrat atau protein oleh mikroorganisme dalam lateks menjadi asam
lemak eteris seperti asam format, asam asetat, dan asam propionat. Kadar
VFA yang terlalu tinggi dan melebihi SNI kurang dikehendaki karena asam-
asam yang dihasilkan akan mengganggu pH dan kemantapan lateks. Selain
itu, kadar VFA yang tinggi akan mempengaruhi (menurunkan) mutu dari
lateks tersebut.
Kadar nitrogen adalah jumlah zat-zat yang mengandung nitrogen yang
terdiri dari protein dan turunannya. Kadar nitrogen diuji untuk mengetahui
jumlah protein yang ada dalam lateks. hal ini dilakukan karena protein
merupakan salah satu pelindung molekul karet. Kadar nitrogen pada lateks
depolimerisasi adalah sebesar 0,14%. Hal ini menunjukkan bahwa protein
yang terkandung dalam karet berkurang.
Penurunan kadar nitrogen disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
terbuangnya fase protein pada saat proses sentrifugasi (pemekatan) lateks,
larutnya protein dalam aseton pasa saat lateks digumpalkan, dan HNS yang
ditambahkan berhasil mengikat gugus amida. Penurnan kadar nitrogen juga
dapat disebabkan selama depolimerisasi, hidrogen peroksida yang memiliki
sifat asam mampu merusak protein. Selain itu, selama proses pemeraman
lateks dengan toluen, ada sebagian protein yang larut dalam toluen.
Viskositas Brookfield pada lateks depolimerisasi ternyata lebih rendah
daripada viskositas Brookfield pada lateks pekat. Nilai viskositas Brookfield
lateks depolimerisasi adalah sebesar 18,3 cP. Viskositas Brookfield lateks
depolimerisasi lebih rendah juga disebabkan oleh proses depolimerisasi
lateks. Pada awal proses depolimerisasi, pemeraman lateks oleh toluena
dapat mengembangkan molekul karet, sehingga kekentalan lateks menurun.
Setelah itu, pada akhir proses depolimerisasi, telah terjadi pemutusan rantai
molekul poliisoprenayang panjang menjadi lebih pendek, sehingga bobot
38
molekul lateks depolimerisasi menjadi lebih rendah yang mengakibatkan
viskositasnya menurun.
Viskositas Mooney merupakan salah satu parameter penting dalam
penelitian depolimerisasi, karena dapat memberikan gambaran kasar bobot
molekul sampel. Proses depolimerisasi berhasil jika viskositas Mooney lateks
depolimerisasi lebih rendah dari viskositas Mooney lateks pekat. Viskositas
Mooney lateks depolimerisasi juga lebih rendah dari viskositas Mooney
lateks pekat. Viskositas Mooney lateks depolimerisasi adalah sebesar 16,50
(ML (1+4) 100oC). Hal tersebut menunjukkan bahwa proses depolimerisasi
telah berhasil memperpendek rantai molekul karet (menurunkan bobot
molekul karet alam) yang terlihat dari nilai viskositas Mooney lateks
depolimerisasi yang lebih kecil dari nilai viskositas Mooney lateks pekat.
B. Homogenitas Campuran Lateks dengan Aspal Secara Visual
Pada penelitian ini, lateks karet alam dipilih untuk dicampurkan dengan
aspal karena pencampuran lateks dengan aspal menghasilkan produk yang
lebih efisien dibandingkan dengan bentuk lain dari karet dalam jumlah yang
sama. Selain itu, harga lateks karet alam lebih rendah daripada harga produk
karet lainnya, khususnya produk karet olahan dan juga penggunaan lateks
mempermudah produksi atau pembuatan aspal berkaret. Penggunaan lateks
pekat lebih disukai dalam pencampuran lateks dengan aspal, karena lateks
pekat memiliki KKK lebih tinggi dari lateks kebun. Selain itu, lebih tahan
lama untuk disimpan dan pada proses pencampuran dengan aspal,
menghasilkan lebih sedikit buih karena kandungan air yang lebih sedikit
dibandingkan dengan lateks kebun. Hal ini dapat membantu kemudahan dan
keamanan pada saat proses pencampuran.
Pencampuran lateks ke dalam aspal diawali dengan pemanasan aspal
pada suhu 160-170oC. pada suhu tersebut aspal mencair sempurna. Aspal
tersebut dipanaskan atau dicairkan pada wadah dengan volume aspal 2/3
volume wadah. Hal tersebut bertujuan agar memberikan ruang untuk
campuran yang mengembang pada saat lateks dimasukkan ke dalam aspal
panas. Pengembangan volume campuran tersebut disebabkan oleh penguapan
39
air dalam lateks. Memasukkan atau mencampurkan lateks ke dalam aspal
harus secara perlahan-lahan, karena jika lateks dicampurkan sekaligus, maka
akan terjadi pengembangan buih yang tidak terkontrol. Pencampuran lateks
ke dalam aspal dalam jumlah yang cukup banyak harus dilakukan secara hati-
hati karena lateks mengandung sekitar 40% air dan temperatur pencampuran
lebih tinggi daripada titik didih air. Pengadukan dilakukan selama 30 menit
setelah lateks dimasukkan semua ke dalam aspal dan kestabilan temperatur
harus tetap dijaga untuk menghasilkan homogenitas karet dalam aspal yang
baik.
Pencampuran lateks pekat dalam konsentrasi atau jumlah besar ke dalam
aspal menyebabkan campuran aspal dan karet (aspal modifikasi) menjadi
lebih viskos dan menjadi kurang homogen. Hal tersebut dapat dilihat dengan
cara pengujian visual campuran aspal dan karet secara sederhana. Pengujian
visual aspal modifikasi dapat dilakukan dengan cara penuangan aspal
modifikasi cair ke permukaan wadah yang datar. Penuangan aspal modifikasi
cair tersebut bertujuan untuk melihat keseragaman penyebaran karet dalam
aspal. Cara pengujian homogenitas dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Pengujian Homogenitas Aspal Modifikasi Secara Visual
Karet yang tidak homogen atau tidak menyebar secara merata dalam
aspal akan terlihat gumpalan-gumpalan pada aliran aspal cair pada saat
dijatuhkan dan pada saat jatuh di permukaan wadah yang datar, akan terjadi
penumpukan aspal modifikasi pada satu pusat atau dengan kata lain aspal
modifikasi tersebut tidak menyebar di atas wadah. Sebaliknya, pada aspal
40
modifikasi dengan homogenitas karet yang baik, pada saat aspal cair dialirkan
atau dituang, tidak terlihat adanya gumpalan-gumpalan dan pada saat aspal
cair jatuh di atas permukaan wadah datar, aspal tersebut langsung menyebar
ke seluruh bagian permukaan wadah.
Dari hasil pengujian secara visual dapat terlihat bahwa semakin banyak
kosentrasi atau dosis karet dalam aspal, maka homogenitasnya semakin
berkurang yang terlihat dari semakin banyaknya gumpalan-gumpalan pada
aliran aspal cair. Dari hasil pengujian juga terlihat perbandingan homogenitas
antara aspal yang dicampur dengan lateks pekat dengan aspal yang dicampur
dengan lateks depolimerisasi. Aspal yang dicampur dengan lateks
depolimerisai homogenitasnya lebih baik daripada aspal yang dicampur
dengan lateks pekat. Aspal yang dicampur dengan lateks depolimerisasi
hampir tidak terlihat adanya gumpalan pada aliran aspal cair dan pada saat
aspal menyentuh permukaan wadah, aspal menyebar merata. Sebaliknya,
aspal yang dicampur dengan lateks pekat terlihat gumpalan-gumpalan pada
aliran aspal cair dan pada saat aspal menyentuh permukaan wadah, aspal
menumpuk di satu pusat atau dengan kata lain tidak jatuh menyebar secara
merata ke seluruh bagian permukaan wadah.
Hasil pengukuran secara visual atau kualitatif memperlihatkan bahwa
aspal yang dicampurkan dengan lateks jenis lateks pekat dan bahan
tambahannya atau disimbolkan dengan kode L1, L2, L3 dan L4 pada
konsentrasi 7% karet dalam aspal (K7), menghasilkan campuran yang tidak
homogen, sedangkan pada konsentrasi 5% karet dalam aspal (K5),
menghasilkan campuran yang kurang homogen dan pada konsentrasi 3%
karet dalam aspal (K3), menghasilkan campuran yang agak homogen. Aspal
yang dicampurkan dengan lateks jenis lateks depolimerisasi dan bahan
tambahannya atau disimbolkan dengan kode L5, L6, L7 dan L8 pada
konsentrasi 7% karet dalam aspal (K7), menghasilkan campuran yang agak
homogen, sedangkan pada konsentrasi 5% karet dalam aspal (K5) dan pada
konsentrasi 3% karet dalam aspal (K3), menghasilkan campuran yang
homogen.
41
Perbedaan homogenitas antara aspal yang dicampur dengan lateks pekat
(L1, L2, L3 dan L4 ) serta lateks depolimerisasi (L5, L6, L7 dan L8)
disebabkan oleh perbedaan bobot molekul atau panjang rantai molekul
polimer serta kemudahan polimer karet untuk berikatan dengan senyawa lain
dan kemudahan untuk dimodifikasi. Lateks depolimerisasi memiliki rantai
polimer yang lebih pendek daripada lateks pekat dan juga bobot molekul yang
lebih kecil daripada lateks pekat yang ditandai dengan nilai viskositas
Mooney lateks depolimerisasi yang lebih kecil daripada lateks pekat.
Pendeknya rantai polimer atau bobot molekul yang kecil menyebabkan lateks
depolimerisasi lebih mudah untuk bercampur dan berikatan dengan aspal,
sehingga partikel karet dapat menyebar lebih merata dalam aspal.
C. Pengaruh Lateks Terhadap Kekerasan (Penetrasi) Aspal
Penetrasi aspal atau tingkat kekerasan aspal merupakan parameter utama
untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk perkerasan jalan. Uji
empiris ini merupakan pendekatan utama yang digunakan untuk menentukan
ketahanan aspal terhadap deformasi permanen. Proses modifikasi aspal oleh
penambahan lateks karet alam dinyatakan berhasil, jika nilai penetrasi aspal
modifikasi lebih rendah daripada nilai penetrasi kontrol (aspal pen 60). Nilai
penetrasi sampel dapat dilihat pada histogram nilai penetrasi (Gambar 15).
Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa penetrasi aspal modifikasi yang
dihasilkan berkisar antara 49,33 sampai 61,25 dmm, sedangkan nilai penetrasi
kontrol adalah 68,00 dmm. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan
lateks dan campurannya telah berhasil membuat aspal menjadi lebih keras
yang ditunjukkan dengan nilai penetrasi aspal modifikasi yang lebih rendah
daripada kontrol. Berdasarkan nilai penetrasi pada histogram di atas, terlihat
bahwa nilai penetrasi aspal modifikasi yang tertinggi adalah aspal modifikasi
pada konsentrasi 3% (karet dalam aspal), yang nilainya berkisar antara 50,50
sampai 61,25 dmm, kemudian nilai penetrasi aspal modifikasi pada
konsentrasi 5% berkisar antara 51,45 sampai 59,15 dmm, dan nilai penetrasi
yang terendah adalah aspal modifikasi pada konsentrasi 7% dengan kisaran
nilai 49,33 sampai 57,45 dmm. Hampir seluruh sampel aspal modifikasi
L
L
L
L
Pene
tras
i (dm
m)
memenu
luar sta
sampel
L1 : Lateks Pek
L2 : Lateks Pek
L3 : Lateks Pek
L4 : Lateks Pek
Gam
Ber
α = 0,0
aspal b
dapat d
penetras
penetras
modifik
mdifika
modifik
konsent
01020304050607080
L6
()
Kontro
uhi standar a
andar persya
dengan kode
kat
kat + Bahan pe
kat + Resin I
kat + Resin II
mbar 15. His
rdasarkan ha
05, menunju
erpengaruh
ilihat pada
si aspal m
si aspal mo
kasi konsentr
asi konsentra
kasi 7% be
trasi 3% dan
L5
ol 3% Kar
aspal polime
aratan minim
e L7K7 sebe
emvulkanisasi
stogram Nila
asil analisis k
ukkan bahw
nyata terha
Gambar 16
odifikasi ko
odifikasi kon
rasi 5% jug
asi 3% dan
erbeda nyat
5%.
L3
ret dalam Aspa
er. Tetapi, te
mum aspal p
esar 49,52 dm
L5 : Late
L6 : Late
L7 : Late
L8 : Late
ai Penetrasi
keragaman p
wa perlakuan
adap nilai p
Dari histog
onsentrasi 3
nsentrasi 5%
ga berbeda n
7%. Begitu
ta dengan
L4
Jenis Latek
al 5% Kare
erdapat dua
polimer sebe
mm dan L1K
eks Depolimer
eks Depolimer
eks Depolimer
eks Depolimer
Sampel pada
pada tingkat
n variasi ko
penetrasi. Ha
gram tersebu
3% berbeda
% dan 7%.
nyata dengan
pula denga
nilai penetr
L8 L
ks
et dalam Aspal
sampel yang
esar 50,00 d
K7 sebesar 4
risasi
risasi + Bahan
risasi + Resin I
risasi + Resin I
a Tiap Kons
t kepercayaa
onsentrasi ka
asil uji lanj
ut, terlihat b
a nyata de
Nilai pene
n nilai pene
an nilai pene
rasi aspal
L2 L7
l 7% Karet
42
g berada di
dmm, yaitu
49,33 dmm.
pemvulkanisas
I
II
entrasi
an 95% dan
aret dalam
ut Duncan
bahwa nilai
ngan nilai
etrasi aspal
etrasi aspal
etrasi aspal
modifikasi
L1
t dalam Aspal
si
Gamb
Sem
penetras
aspal ti
kekeras
dalam a
ruang an
pada sa
saat asp
Ter
malten
rheolog
Adanya
bertamb
menjadi
karet ke
Oleh k
membua
Ber
α = 0,0
nyata te
Gambar
Pene
tras
i (dm
m)
bar 16. Histo
makin tingg
sinya. Nilai
inggi, sedan
an aspal ren
aspal, maka
ntar partikel
aat jarak ant
pal tersebut b
rdapat dua b
(fraksi cair)
i aspal. Ken
a karet dalam
bah, peningk
i lebih keras
e dalam aspa
karena itu,
at aspal men
rdasarkan ha
05, menunju
erhadap nila
r 17. Dari
50
52
54
56
58
3% Karet d
ogram Signif
Fakto
i kadar kar
penetrasi y
ngkan nilai
ndah. Hal te
a semakin b
aspal. Partik
ar partikel m
berwujud cai
entuk fraksi
). Kadar asp
naikan kadar
m aspal mem
katan jumlah
s (penetrasi
al, maka aka
dengan dita
njadi semakin
asil analisis k
ukkan bahw
ai penetrasi.
histogram t
Konse
dalam Aspal
fikansi Pene
or Konsentra
ret dalam a
yang rendah
penetrasi y
ersebut diseb
banyak parti
kel karet ma
menjadi reng
ir (dipanaska
i pada aspal,
phalten dala
r asphalten m
mbuat jumlah
h fraksi padat
aspalnya me
an menamba
ambahkanny
n keras.
keragaman p
wa perlakuan
. Hasil uji
tersebut, ter
entrasi Karet
5% Karet dal
etrasi Berdas
asi Karet
aspal maka
h menunjukk
yang tinggi
babkan sema
kel karet ya
asuk ke dalam
ggang atau
an).
, yaitu aspha
am aspal san
menyebabka
h fraksi pada
t dalam aspa
enjadi renda
ah jumlah fra
ya lateks ke
pada tingkat
n variasi jen
lanjut Dunc
lihat bahwa
dalam Aspal (
lam Aspal 7
arkan ANOV
semakin re
kan tingkat
menunjukk
akin tinggi k
ang memen
m ruang-ruan
dengan kata
alten (fraksi
ngat menen
an aspal men
at dalam asp
al mengakiba
ah). Dengan
aksi padat da
e dalam as
t kepercayaa
nis lateks be
can dapat d
a nilai pene
(%)
7% Karet dalam
43
VA pada
endah nilai
kekerasan
kan tingkat
kadar karet
nuhi ruang-
ng tersebut
a lain pada
padat) dan
ntukan sifat
njadi keras.
pal menjadi
atkan aspal
masuknya
alam aspal.
spal, maka
an 95% dan
erpengaruh
ilihat pada
etrasi aspal
m Aspal
L
L
L
L
modifik
dan L1
modifik
L3 tidak
nyata de
L1 : Lateks Pek
L2 : Lateks Pek
L3 : Lateks Pek
L4 : Lateks Pek
Gamb
Nila
modifik
L2, L7,
dengan
modifik
berbeda
penetras
L3, L4,
dengan
Ber
lateks p
penetras
444648505254565860
Pene
tras
i (dm
m)
kasi L6 berbe
. Nilai pene
kasi L6, L3,
k berbeda n
engan aspal
kat
kat + Bahan pe
kat + Resin I
kat + Resin II
bar 17. Histo
ai penetrasi
kasi L3 dan L
, dan L1. N
aspal mod
kasi L6, L5
a nyata deng
si aspal mod
L8, L2, da
aspal modif
rdasarkan Ga
ekat (L1) tan
si terendah (
L6 L
eda nyata de
etrasi aspal
L4, L8, L2
nyata dengan
modifikasi L
emvulkanisasi
ogram Signif
Fa
aspal mod
L8, tetapi be
Nilai penetra
difikasi L3
, L2, L7, d
an aspal mo
difikasi L7 b
an L1. Nilai
fikasi L6, L5
ambar 17, te
npa bahan ta
(aspal modi
5 L3
engan aspal m
modifikasi
, L7, dan L1
n aspal mod
L6, L5, L2, L
L5 : Late
L6 : Late
L7 : Late
L8 : Late
fikansi Pene
aktor Jenis L
ifikasi L4 t
erbeda nyata
asi aspal m
dan L4, tet
dan L1. Nil
odifikasi L6,
berbeda nyat
penetrasi a
5, L3, L4, L8
erlihat bahw
ambahan me
fikasi yang
L4Jenis Late
modifikasi L
L5 berbed
1. Nilai pen
difikasi L4 d
L7, dan L1.
eks Depolimer
eks Depolimer
eks Depolimer
eks Depolimer
etrasi Berdas
Lateks
tidak berbed
a dengan asp
modifikasi L8
tapi berbeda
lai penetrasi
L5, L3, L4,
ta dengan as
aspal modifik
8, L2, dan L7
wa aspal yang
enghasilkan
paling keras
L8 Leks
L5, L3, L4, L
da nyata den
etrasi aspal
dan L8, teta
risasi
risasi + Bahan
risasi + Resin I
risasi + Resin I
arkan ANOV
da nyata den
pal modifika
8 tidak berb
a nyata den
i aspal mod
, L8, L7, dan
spal modifik
kasi L1 berb
7.
g dicampurk
campuran d
s), yaitu seb
L2 L7
44
L8, L2, L7,
ngan aspal
modifikasi
api berbeda
pemvulkanisas
I
II
VA pada
ngan aspal
asi L6, L5,
beda nyata
ngan aspal
difikasi L2
n L1. Nilai
asi L6, L5,
beda nyata
kan dengan
engan nilai
besar 50,42
L1
si
45
dmm. Namun, nilai penetrasi campuran tersebut terlalu dekat dengan batas
minimal nilai penetrasi sesuai dengan SNI (50 dmm). Campuran aspal dengan
lateks pekat yang ditambahkan bahan pemvulkanisasi (L2) menghasilkan
nilai penetrasi sebesar 52,60 dmm, yang lebih tinggi dari L1. Kegunaan bahan
pemvulkanisasi adalah untuk membuat karet memiliki sifat elastis karena
karet berikatan dengan belerang yang menyebabkan terjadinya proses
vulkanisasi.
Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan Resin I (L3)
menghasilkan nilai penetrasi sebesar 55,82 dmm, yang lebih tinggi dari L1.
Resin I merupakan resin yang berasal dari getah pinus. Resin tersebut juga
memiliki nama lain, yaitu gondorukem dan siongka. Campuran aspal dengan
lateks pekat yang ditambahkan Resin II (L4) menghasilkan nilai penetrasi
sebesar 55,60 dmm, yang lebih tinggi dari L1.
Resin II adalah resiprene yang merupakan resin hasil siklikasi karet alam.
Kegunaan dari kedua resin tersebut dalam aspal adalah membantu
meningkatkan kelengketan aspal sebagai binder serta membantu
meningkatkan kekerasan aspal (menurunkan nilai penetrasi aspal). Namun,
pada campuran L3 dan L4 resin tidak membantu menurunkan nilai penetrasi.
Hal ini kemungkinan disebabkan resin tersebut tidak berikatan secara optimal
dengan karet dalam lateks pekat yang kurang tercampur secara homogen
dalam aspal.
Aspal yang dicampurkan dengan lateks depolimerisasi (L5) tanpa bahan
tambahan menghasilkan campuran dengan nilai penetrasi 57,25 dmm.
Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan bahan
pemvulkanisasi (L6) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 59,28 dmm, yang
lebih tinggi dari L5. Berdasarkan hasil penelitian, bahan pemvulkanisasi yang
ditambahkan, baik ke dalam lateks pekat maupun ke dalam lateks
depolimerisasi, dapat meningkatkan nilai penetrasi aspal. Campuran aspal
dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin I (L7) menghasilkan
nilai penetrasi sebesar 52,60 dmm, yang lebih rendah dari L5. Campuran
aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin II (L8)
menghasilkan nilai penetrasi sebesar 55,22 dmm, yang lebih rendah dari L5.
01020304050607080
Pene
tras
i (dm
m)
Pada ca
penetras
optimal
secara m
Ber
α = 0,05
konsent
Hasil u
tersebut
tidak be
kombin
kombin
lainnya.
L3K3,
lainnya.
Ga
Asp
L3K3,
lainnya.
L4K3 d
kombin
L7K3, t
L5K5 ti
L6K3 L3K3 L4K3
ampuran L7
si aspal. Hal
dengan lat
merata di dal
rdasarkan ha
5, menunjuk
trasi karet d
uji lanjut D
t, terlihat b
erbeda nyata
asi lainnya.
asi L6K3, L
. Aspal kom
L5K3, dan
.
ambar 18. H
pal kombina
L4K3, dan
. Aspal kom
dan L5K3, te
asi L6K7 tid
tetapi berbed
idak berbeda
L5K3 L6K5 L6K7 L
dan L8, re
l ini kemung
eks depolim
lam aspal.
asil analisis k
kkan bahwa
dalam aspal
Duncan dapa
ahwa nilai
a dengan ko
. Aspal kom
L4K3, dan L
mbinasi L4K3
L6K5, tet
istogram Sig
asi L5K3 ti
L6K5, tet
mbinasi L6K5
etapi berbeda
dak berbeda
da nyata den
a nyata deng
L5K5 L8K3 L7K3 L2K
Minimal
esin dalam c
gkinan diseb
merisasi, seh
keragaman p
interaksi ant
berpengaru
at dilihat pa
penetrasi a
ombinasi L3
mbinasi L3
L5K3, tetapi
3 tidak berb
tapi berbeda
gnifikansi Pe
idak berbed
tapi berbeda
5 tidak berb
a nyata deng
a nyata deng
ngan aspal ko
gan aspal kom
K3 L4K5 L8K5 L5K7
Jenis Late
SNI M
campuran da
babkan resin
hingga resin
pada tingkat
tara variasi j
uh nyata ter
ada Gamba
spal modifi
3K3, tetapi
K3 tidak b
i berbeda ny
eda nyata de
a nyata den
enetrasi pada
da nyata den
a nyata den
eda nyata de
gan aspal kom
gan aspal ko
ombinasi lain
mbinasi L6K
7 L3K5 L8K7 L2K5
eks
Maksimal SNI
apat menuru
dapat berika
tersebut bi
t kepercayaa
jenis lateks
rhadap nilai
ar 18. Dari
kasi kombin
berbeda nya
berbeda nya
yata dengan
engan aspal
ngan aspal
a Faktor Inte
ngan aspal
ngan aspal
engan aspal
mbinasi lain
ombinasi L5
nnya. Aspal
K7, L8K3, L7
L3K7 L2K7 L4K7 L
46
unkan nilai
atan secara
sa tersebar
an 95% dan
dan variasi
i penetrasi.
histogram
nasi L6K3
ata dengan
ata dengan
kombinasi
kombinasi
kombinasi
eraksi
kombinasi
kombinasi
kombinasi
nnya. Aspal
K5, L8K3,
kombinasi
7K3, tetapi
L7K5 L1K5 L1K3 L7K
K7 L1K7
47
berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K3 tidak
berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L6K7, L7K3, tetapi berbeda
nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K3 tidak berbeda
nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L8K3, L6K7, tetapi berbeda nyata
dengan aspal kombinasi lainnya.
Aspal kombinasi L2K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi
L4K5, L8K5, L5K7, dan L3K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi
lainnya. Aspal kombinasi L4K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi
L2K3, L8K5, L5K7, L3K5, dan L8K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal
kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K5 tidak berbeda nyata dengan aspal
kombinasi L2K3, L4K5, L5K7, L3K5, dan L8K7, tetapi berbeda nyata
dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L5K7 tidak berbeda nyata
dengan aspal kombinasi L2K3, L4K5, L8K5, L3K5, L8K7, dan L2K5, tetapi
berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K5 tidak
berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K3, L4K5, L8K5, L5K7, L8K7, dan
L2K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi
L8K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L4K5, L8K5, L5K7,
L3K5, dan L2K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal
kombinasi L2K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K7, L3K5,
dan L8K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya.
Aspal kombinasi L3K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi
L2K7, L4K7, L7K5, dan L1K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi
lainnya. Aspal kombinasi L2K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi
L3K7, L4K7, L7K5, dan L1K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi
lainnya. Aspal kombinasi L4K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi
L3K7, L2K7, L7K5, dan L1K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi
lainnya. Aspal kombinasi L7K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi
L3K7, L2K7, L4K7, L1K5, dan L1K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal
kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K5 tidak berbeda nyata dengan aspal
kombinasi L3K7, L2K7, L4K7, L7K5, dan L1K3, tetapi berbeda nyata
dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K3 tidak berbeda nyata
dengan aspal kombinasi L7K5, L1K5, dan L7K7, tetapi berbeda nyata dengan
48
aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K7 tidak berbeda nyata dengan
aspal kombinasi L1K3 dan L1K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal
kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K7 tidak berbeda nyata dengan aspal
kombinasi L7K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya.
Hampir seluruh jenis kombinasi variasi jenis lateks dan variasi
konsentrasi karet dalam aspal memenuhi standar yang ada untuk aspal
polimer jenis elastomer. Standar untuk aspal polimer menyebutkan bahwa
nilai penetrasi minimal agar aspal modifikasi masuk memenuhi standar
adalah 50,00, sedangkan nilai maksimal penetrasi agar aspal modifikasi
memenuhi standar adalah 75,00. Namun, ada dua jenis kombinasi aspal yang
berada di luar range standar, yaitu sampel dengan kombinasi L7K7 dengan
nilai penetrasi 49,52 dan L1K7 dengan nilai penetrasi 49,33. Hal tersebut
diakibatkan oleh banyaknya fraksi padat (asphalten dan karet) dalam aspal,
sehingga aspal modifikasi yang dihasilkan memiliki nilai penetrasi yang
rendah dan berarti bahwa aspal modifikasi tersebut terlalu keras untuk
digunakan sebagai bahan perkerasan jalan.
D. Pengaruh Lateks Terhadap Titik Lembek Aspal
Titik lembek aspal atau titik leleh aspal aspal merupakan parameter
utama untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk perkerasan
jalan. Uji empiris ini merupakan pendekatan utama selain penetrasi aspal
yang digunakan untuk menentukan ketahanan aspal terhadap deformasi
permanen. Proses modifikasi aspal oleh penambahan lateks karet alam
dinyatakan berhasil jika nilai titik lembek aspal modifikasi lebih tinggi
daripada nilai titik lembek kontrol (aspal pen 60). Nilai titik lembek sampel
dapat dilihat pada histogram nilai penetrasi (Gambar 19).
Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa titik lembek aspal modifikasi yang
dihasilkan berkisar antara 56,11 sampai 65,27 (oC), sedangkan nilai titik
lembek kontrol adalah 46,50 (dmm). Hal tersebut menunjukkan bahwa
penambahan lateks dan campurannya telah berhasil meningkatkan titik
lembek yang ditunjukkan dengan nilai titik lembek aspal modifikasi yang
lebih tinggi daripada kontrol. Berdasarkan nilai titik lembek pada histogram
di atas,
adalah
nilainya
modifik
titik lem
dengan
L1 : Lateks P
L2 : Lateks P
L3 : Lateks P
L4 : Lateks P
Gamb
Ber
α = 0,0
aspal be
dapat d
titik lem
lembek
modifik
mdifika
modifik
konsent
010203040506070
Titi
k L
embe
k (o C
)
Ko
terlihat ba
aspal modi
a berkisar an
kasi pada kon
mbek yang
kisaran nilai
Pekat
Pekat + Bahan p
Pekat + Resin I
Pekat + Resin II
bar 19. Histo
rdasarkan ha
05, menunju
erpengaruh n
ilihat pada G
mbek aspal m
aspal modi
kasi konsentr
asi konsentra
kasi 7% ber
trasi 3% dan
L1 L
ontrol 3% K
ahwa nilai t
ifikasi pada
ntara 58,62 sa
nsentrasi 5%
terendah ad
i 56,11 samp
pemvulkanisas
I
ogram Nilai T
asil analisis k
ukkan bahw
nyata terhad
Gambar 20.
modifikasi ko
ifikasi konse
rasi 5% juga
asi 3% dan 7
rbeda nyata
5%.
L3 L7
Karet dalam Asp
titik lembek
konsentras
ampai 65,27
% berkisar an
dalah aspal
pai 58,00.
L5 : La
si L6 : La
L7 : La
L8 : La
Titik Lembe
keragaman p
wa perlakuan
dap nilai titik
Dari histog
onsentrasi 3
entrasi 5%
a berbeda ny
7%. Begitu p
dengan nil
L5
Jenis L
pal 5% Kar
k aspal mod
si 7% (kare
7, kemudian
ntara 57,94 s
modifikasi
ateks Depolime
ateks Depolime
ateks Depolime
ateks Depolime
ek Sampel pa
pada tingkat
n variasi ko
k lembek. H
gram tersebu
% berbeda n
dan 7%. Ni
yata dengan n
pula dengan n
lai titik lem
L4
Lateks
et dalam Aspa
difikasi yan
et dalam as
nilai titik lem
sampai 60,94
pada konse
erisasi
erisasi + Bahan
erisasi + Resin
erisasi + Resin
ada Tiap Ko
t kepercayaa
onsentrasi ka
Hasil uji lanj
ut, terlihat b
nyata dengan
ilai titik lem
nilai titik lem
nilai titik lem
mbek aspal
L8 L
l 7% Karet
49
g tertinggi
spal), yang
mbek aspal
4, dan nilai
entrasi 3%
n pemvulkanisa
n I
n II
nsentrasi
an 95% dan
aret dalam
jut Duncan
bahwa nilai
n nilai titik
mbek aspal
mbek aspal
mbek aspal
modifikasi
L6 L2
dalam Aspal
asi
Gambar
Sem
lembekn
maka s
partikel
jadi asp
partikel
modifik
Ada sua
nilai tit
lembek
titik lem
Ber
α = 0,0
nyata te
Gambar
modifik
dengan
modifik
dengan
modifik
dan L8,
54
56
58
60
62
64
Titi
k L
embe
k (o C
)
7%
r 20. Histogr
makin tinggi
nya. Hal ters
semakin ban
aspal. Aspa
pal lebih mu
karet terka
kasi menjadi
atu hubunga
tik lembek.
meningkat.
mbek menuru
rdasarkan ha
05, menunju
erhadap nila
r 21. Dari h
kasi L1 tidak
aspal modi
kasi L3 tidak
aspal modi
kasi L7 tidak
tetapi berbe
% Karet dalam
ram Signifik
Fa
i kadar kare
sebut diseba
nyak partike
al memiliki
udah melun
andung dala
i lunak lebih
an yang berb
Apabila nil
Sebaliknya,
un.
asil analisis k
ukkan bahw
i titik lembe
histogram ter
k berbeda ny
ifikasi L5, L
k berbeda ny
ifikasi L5, L
k berbeda ny
eda nyata den
Konsentr
Aspal 5%
kansi Titik L
aktor Konsen
et dalam asp
abkan semak
el karet ya
titik lunak
nak bila dib
am aspal, m
h sulit bila
banding terb
lai penetrasi
, apabila nila
keragaman p
wa perlakuan
ek. Hasil uji
rsebut, terlih
yata dengan
L4, L8, L6,
yata dengan
L4, L8, L6,
yata dengan
ngan aspal m
rasi Karet dal
% Karet dalam
embek Berd
ntrasi
pal maka sem
kin tinggi ka
ang memenu
yang lebih r
andingkan d
maka usaha
dibandingka
balik antara
i aspal men
ai penetrasi
pada tingkat
n variasi jen
i lanjut Dun
hat bahwa n
n L3 dan L7
dan L2. N
n L1 dan L7
dan L2. N
n aspal modi
modifikasi L
lam Aspal (%
Aspal 3%
dasarkan AN
makin tingg
adar karet da
uhi ruang-ru
rendah darip
dengan kare
untuk mem
an dengan a
nilai penetr
nurun, maka
meningkat,
t kepercayaa
nis lateks be
ncan dapat d
nilai titik lem
7, tetapi berb
ilai titik lem
7, tetapi berb
ilai titik lem
ifikasi L1, L
L6 dan L2.
)
% Karet dalam A
50
NOVA pada
i nilai titik
alam aspal,
uang antar
pada karet,
et. Apabila
mbuat aspal
aspal biasa.
rasi dengan
a nilai titik
maka nilai
an 95% dan
erpengaruh
dilihat pada
mbek aspal
beda nyata
mbek aspal
beda nyata
mbek aspal
L3, L5, L4,
Aspal
L1 : Lateks
L2 : Lateks
L3 : Lateks
L4 : Lateks
Gambar
Nila
modifik
L3, L6,
dengan
modifik
berbeda
modifik
berbeda
L3, L7,
nyata de
L5, L4,
Ber
lateks p
titik lem
pekat ya
lembek
ditamba
5556575859606162
Titi
k L
embe
k (o C
)
Pekat
Pekat + Bahan
Pekat + Resin
Pekat + Resin
r 21. Histogr
ai titik lemb
kasi L7, L4,
dan L2. Ni
aspal modif
kasi L1, L3,
a nyata deng
kasi L1, L3,
a nyata deng
L5, L4, dan
engan L6, te
dan L8.
rdasarkan Ga
ekat (L1) tan
mbek tertingg
ang ditamba
sebesar 57
ahkan Resin
L1 L
n pemvulkanis
n I
n II
ram Signifik
Fa
bek aspal mo
dan L8, teta
ilai titik lem
fikasi L7, L
L6 dan L2.
gan L7, L5,
L6, dan L2
gan L2, tetap
n L8. Nilai t
etapi berbed
ambar 21, te
npa bahan ta
gi, yaitu seb
ahkan bahan
7,52 oC. C
I (L3) meng
3 L7
L5 : L
asi L6 : L
L7 : L
L8 : L
kansi Titik L
aktor Jenis L
odifikasi L5
api berbeda n
mbek aspal m
L5, dan L8, t
. Nilai titik
, dan L4, te
. Nilai titik
pi berbeda n
titik lembek
da nyata den
erlihat bahw
ambahan me
besar 61,40 o
n pemvulkan
Campuran a
ghasilkan ni
L5
Jenis Late
Lateks Depolim
Lateks Depolim
Lateks Depolim
Lateks Depolim
embek Berd
Lateks
tidak berbe
nyata denga
modifikasi L
tetapi berbe
lembek aspa
etapi berbed
lembek asp
nyata dengan
aspal modif
ngan aspal m
wa aspal yang
enghasilkan oC. Campur
nisasi (L2) m
aspal denga
ilai titik lem
L4 L
eks
merisasi
merisasi + Bah
merisasi + Resi
merisasi + Resi
dasarkan AN
eda nyata de
an aspal mod
L4 tidak berb
da nyata de
al modifikas
da nyata den
al modifikas
n aspal mod
fikasi L2 tid
modifikasi L
g dicampurk
campuran d
an aspal den
menghasilkan
an lateks p
mbek sebesar
8 L6
51
han pemvulkan
in I
in II
NOVA pada
engan aspal
difikasi L1,
beda nyata
engan aspal
si L8 tidak
ngan aspal
si L6 tidak
difikasi L1,
ak berbeda
L1, L3, L7,
kan dengan
engan nilai
ngan lateks
n nilai titik
pekat yang
61, 34 oC.
L2
isasi
52
Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan Resin II (L4)
menghasilkan nilai titik lembek sebesar 59,97 oC.
Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi tanpa bahantambahan (L5)
menghasilkan nilai titik lembek sebesar 60,06 oC. Campuran aspal dengan
lateks depolimerisasi yang ditambahkan bahan pemvulkanisasi (L6)
menghasilkan nilai titik lembek sebesar 58,34 oC. Campuran aspal dengan
lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin I (L7) menghasilkan nilai titik
lembek sebesar 60,40 oC. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang
ditambahkan Resin II (L8) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 58,35 oC.
Berdasarkan hasil penelitian, penambahan bahan pemvulkanisasi, baik pada
lateks pekat maupun lateks depolimerisasi dapat menurunkan titik lembek
aspal. Penambahan resin ke dalam campuran tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap kenaikan titik lembek aspal, bahkan cenderung
menurunkan nilai titik lembek aspal.
Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan
α = 0,05, menunjukkan bahwa interaksi antara variasi jenis lateks dan variasi
konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek.
Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 22. Dari histogram
tersebut terlihat bahwa nilai titik lembek aspal kombinasi L1K7 tidak berbeda
nyata dengan aspal kombinasi L3K7 dan L3K5, tetapi berbeda nyata dengan
aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K7 tidak berbeda nyata dengan
aspal kombinasi L1K7, L3K5, dan L4K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal
kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K5 tidak berbeda nyata dengan aspal
kombinasi L1K7, L3K7, L4K7, L8K7, L7K7, dan L5K7, tetapi berbeda nyata
dengan aspal kombinasi lainnya.
010203040506070
Titi
k L
embe
k (o C
)
Gam
Asp
L3K5, L
aspal ko
aspal ko
aspal ko
aspal ko
dengan
dengan
nyata de
Asp
L4K5, L
lainnya.
kombin
berbeda
berbeda
L8K5,
lainnya.
Asp
L1K5, L
nyata de
nyata d
L2K7, d
L1K7 L3K7 L3K5
mbar 22. Hist
pal kombina
L3K7, L4K7
ombinasi lai
ombinasi L3
ombinasi lai
ombinasi L3
aspal komb
L3K5, L4K
engan aspal
pal kombina
L7K5, L6K7
. Aspal km
asi L5K7, L
a nyata deng
a nyata deng
L6K3, dan
.
pal kombina
L4K5, L5K5
engan aspal
dengan aspa
dan L7K3, te
L4K7 L8K7 L7K7 L
togram Signi
asi L4K7 ti
7, L8K7, L7
nnya. Aspal
K5, L4K7, L
nnya. Aspal
3K5, L4K7,
inasi lainnya
K7, L8K7, L
kombinasi la
asi L1K5 tida
7, dan L8K5
mombinasi
L1K5, L4K5,
gan aspal kom
gan aspal ko
L2K7, tet
asi L7K5 ti
5, L6K7, L8
kombinasi l
l kombinasi
etapi berbeda
L5K7 L1K5 L5K5 L4K
ifikansi Titik
idak berbed
7K7, dan L
l kombinasi
L7K7, dan L
l kombinasi
L8K7, L5K
a. Aspal kom
L7K7, L1K5,
ainnya.
ak berbeda n
5, tetapi berb
L5K5 tida
, L7K5, L6K
mbinasi lain
ombinasi L5
tapi berbeda
idak berbed
8K5, L6K3,
lainnya. Asp
i L1K5, L4
a nyata deng
K5 L7K5 L6K7 L8K5
Jenis Late
Minimal SN
k Lembek pa
da nyata den
5K7, tetapi
L8K7 tidak
L5K7, tetapi
L7K7 tidak
K7, dan L1K5
mbinasi L5K
, L5K5, dan
nyata dengan
beda nyata d
ak berbeda
K7, L8K5, L
nnya. Aspal
5K7, L1K5,
a nyata den
da nyata den
L2K7, dan
pal kombina
4K5, L5K5,
gan aspal kom
5 L6K3 L2K7 L7K3
eks
NI
ada Faktor In
ngan aspal
berbeda ny
k berbeda ny
i berbeda ny
k berbeda ny
5, tetapi ber
K7 tidak ber
n L4K5, teta
n L7K7, L5
engan aspal
nyata den
L6K3, dan L2
kombinasi L
, L5K5, L7K
ngan aspal
ngan aspal
n L7K3, teta
asi L6K7 tid
L7K5, L8K
mbinasi lain
L1K3 L2K5 L5K3 L2
53
nteraksi
kombinasi
ata dengan
yata dengan
yata dengan
yata dengan
rbeda nyata
rbeda nyata
api berbeda
K7, L5K5,
kombinasi
ngan aspal
2K7, tetapi
L4K5 tidak
K5, L6K7,
kombinasi
kombinasi
api berbeda
ak berbeda
K5, L6K3,
nnya. Aspal
2K3 L4K3 L6K5 L8K
K3 L3K3
54
kombinasi L8K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K5, L4K5,
L5K5, L6K7, L7K5, L6K7, L6K3, L2K7, dan L7K3, tetapi berbeda nyata
dengan aspal kombinasi lainnya.
Aspal kombinasi L6K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi
L5K5, L4K5, L6K7, L7K5, L6K7, L6K3, L8K5, L2K7, L7K3, L1K3, L2K5,
dan L5K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal
kombinasi L2K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L4K5,
L6K7, L7K5, L6K7, L6K3, L8K5, L7K3, L1K3, L2K5, dan L5K3, tetapi
berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K3 tidak
berbeda nyata dengan aspal kombinasi L7K5, L6K7, L6K3, L8K5, L2K7,
L1K3, L2K5, dan L5K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi
lainnya.
Aspal kombinasi L1K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi
L6K3, L2K7, L7K3, L2K5, L5K3, L2K3, L4K3, dan L6K5, tetapi berbeda
nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K5 tidak berbeda
nyata dengan aspal kombinasi L6K3, L2K7, L7K3, L1K3, L5K3, L2K3,
L4K3, dan L6K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal
kombinasi L5K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L6K3, L2K7,
L7K3, L1K3, L2K5, L2K3, L4K3, L6K5, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda
nyata dengan aspal kombinasi lainnya.
Aspal kombinasi L2K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi
L1K3, L2K5, L5K3, L4K3, L6K5, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda nyata
dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L4K3 tidak berbeda nyata
dengan aspal kombinasi L1K3, L2K5, L5K3, L2K3, L6K5, L8K3, dan L3K3,
tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L6K5
tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K3, L2K5, L5K3, L2K3,
L4K3, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi
lainnya. Aspal kombinasi L8K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi
L5K3, L2K3, L4K3, L6K5, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal
kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K3 tidak berbeda nyata dengan aspal
kombinasi L5K3, L2K3, L4K3, L6K5, dan L8K3, tetapi berbeda nyata
dengan aspal kombinasi lainnya.
55
Seluruh jenis kombinasi variasi jenis lateks dan variasi konsentrasi karet
dalam aspal memenuhi standar yang ada untuk aspal polimer jenis elastomer.
Standar untuk aspal polimer menyebutkan bahwa nilai titik lembek minimal
agar aspal modifikasi masuk memenuhi standar adalah 54,00. Jadi, aspal yang
dimodifikasi dengan variasi jenis lateks dan konsentrasi karet dalam aspal
bisa dikatakan telah memenuhi standar.
Penetrasi dan titik lembek merupakan parameter yang paling penting
dalam menentukan mutu suatu aspal. Kedua parameter tersebut merupakan
dasar untuk menentukan kelayakan suatu aspal untuk digunakan sebagai
bahan perkerasan jalan. Aspal yang tidak memenuhi persyaratan kedua
parameter tersebut berarti tidak layak untuk dijadikan bahan perkerasan jalan.
Oleh karena itu, kedua parameter tersebut cukup mewakili untuk menentukan
kelayakan dan mutu aspal.
Perlakuan yang terbaik pada penelitian ini adalah perlakuan L5K5
(Lateks Depolimerisasi, Konsentrasi 5%), aspal modifikasi dari perlakuan
tersebut memiliki penetrasi sebesar 57,40 dmm dan titik lembek sebesar
60,65 oC. Penentuan sampel yang terbaik didasarkan pada tiga kriteria, yaitu
niali penetrasi, nilai titik lembek dan homogenitas campuran aspal dengan
lateks. Sampel L5K5 tersebut memiliki nilai penetrasi yang berada di antara
batas minimal dan batas maksimal nilai penetrasi aspal berdasarkan SNI.
Sampel L5K5 memiliki titik lembek di atas batas maksimal nilai titik lembek
berdasarkan SNI. Selain itu, parameter yang juga menentukan sampel L5K5
menjadi yang terbaik adalah homogenitas campurannya yang baik. Campuran
tersebut homogen berdasarkan pengujian secara visual dan penampakannya
mirip dengan aspal tanpa campuran.
56
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Nilai penetrasi aspal modifikasi yang dihasilkan berkisar antara 49,33
sampai 61,25 (dmm), sedangkan nilai penetrasi kontrol adalah 68,00 (dmm).
Nilai penetrasi aspal modifikasi yang tertinggi adalah aspal modifikasi L6K3
(Lateks Depolimerisasi+bahan pemvulkanisasi, Konsentrasi 3% karet dalam
aspal) dengan nilai penetrasi 61,25 dmm, sedangkan nilai penetrasi yang
terendah adalah aspal modifikasi L1K7 (Lateks Pekat, Konsentrasi 7% karet
dalam aspal) dengan 49,33 dmm. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa
penambahan lateks dan campurannya berhasil menurunkan nilai penetrasi
yang ditunjukkan dengan nilai penetrasi aspal modifikasi yang lebih rendah
daripada kontrol.
Titik lembek aspal modifikasi yang dihasilkan berkisar antara 56,11
sampai 65,27 (oC), sedangkan nilai titik lembek kontrol adalah 46,50 (dmm).
Nilai titik lembek aspal modifikasi yang tertinggi adalah aspal modifikasi
L1K7 (Lateks Pekat, Konsentrasi 7% karet dalam aspal) dengan nilai titik
lembek sebesar 65,27 oC, sedangkan nilai titik lembek yang terendah adalah
aspal modifikasi L3K3 (Lateks Pekat + Resin I, Konsentrasi 3% karet dalam )
dengan nilai titik lembek 55,38 oC. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa
penambahan lateks dan campurannya telah berhasil meningkatkan titik
lembek yang lebih tinggi daripada kontrol yang ditunjukkan dengan nilai titik
lembek aspal modifikasi yang lebih tinggi daripada kontrol.
Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan
α = 0,05, menunjukkan bahwa perlakuan variasi jenis lateks dan konsentrasi
karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa nilai penetrasi dan titik lembek aspal modifikasi
berbeda nyata antara variasi konsentrasi yang satu dengan yang lainnya, serta
berbeda nyata juga antara variasi jenis lateks yang satu dengan lainnya.
Peningkatan kadar karet dalam aspal menyebabkan penurunan nilai penetrasi
aspal (peningkatan tingkat kekerasan aspal).
57
Perlakuan yang terbaik pada penelitian ini adalah perlakuan L5K5
(Lateks Depolimerisasi, Konsentrasi 5%), aspal modifikasi dari perlakuan
tersebut memiliki penetrasi sebesar 57,40 dmm dan titik lembek sebesar
60,65 oC. Selain itu, perlakuan tersebut menghasilkan aspal modifikasi
dengan homogenitas yang baik, serta menghasilkan kelengketan antara aspal
dengan aggregate yang cukup baik.
B. Saran
Walaupun aspal modifikasi telah memenuhi standar untuk penetrasi, titik
lembek dan homogenitas yang cukup baik, tetapi aspal modifikasi tersebut
belum dapat diaplikasikan untuk perkerasan jalan, karena aspal modifikasi
pada penelitian ini belum bisa digunakan pada peralatan yang digunakan
untuk pembuatan jalan aspal yang berupa penyemprot (sprayer). Untuk itu,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar dihasilkan mutu aspal modifikasi
yang lebih baik dan juga dapat diaplikasikan menggunakan peralatan untuk
pembuatan jalan aspal.
58
DAFTAR PUSTAKA
Alfa, A.A, I. Sailah, dan Y. Syamsu. 2003. Pengaruh Perlakuan Lateks Alam dengan H2O2–NaOCl Terhadap Karakter Lateks dan Kelarutan Karet Siklo dari Lateks. Simposium Nasional Polimer IV, Jakarta 8 Juli 2003.
Alfa, A.A, dan Y. Syamsu. 2004. Degraded and Stabilized Natural Rubber
Latex – Prospect for Veneer Adhesive. Seminar Kimia Malaya. Alfa, A.A, dan I. Sailah. 2005. Pengaruh Penambahan Toluen Pada
Degradasi Partikel Karet Dari Lateks DPNR Dengan Senyawa H2O2 – NaOCl. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor.
Allen, T. O. dan A. P. Roberts. 1993. Production Operation 2: Well Completions,
Workover, and Stimulatio. Oil, and Gas Consultantas International (OGCL), Inc. Tulsa, Oklahoma, USA.
Anonim. 2005. Surfactants. Univ of Florida. http://www.unmc.edu/
pharmacy/wwwcourse/p surfactants 00 files/p surfactan ts.ppt. Diakses pada: 29 Oktober 2009.
Anonim. 2007. Hydroxylamine Sulfate Product Description. Diperoleh dari:
http://www.chemicalbook.com/ChemicalProductProperty_EN_CB8205115.htm. Diakses pada: 29 Oktober 2009.
Anonim. 2008a. Industri Karet Mulai Resah Soal Bahan Baku. Artikel Tanggal 27
Agustus 2008. Diperoleh dari: http://ptpn13.com. Diakses pada: 15 Februari 2009.
Anonim. 2008b. Mulai 2009 Pasar Karet Alam Diprediksi Turun. Artikel tanggal
13 Juni 2008. Diperoleh dari: http://kapanlagi.com. Diakses pada: 04 Juni 2009.
Anonim. 2009a. Dienes. Artikel. Diperoleh dari: http://www.sigmaaldrich.com/
materials-science/material-science-products.html?TablePage=20202668. Diakses pada: 29 Oktober 2009.
Anonim. 2009b. Fleksibel-Persyaratan Aspal. Artikel. Diperoleh dari:
http://www.scribd.com/doc/10067826/FLEKSIBEL-Persyaratan-aspal. Diakses pada: 29 Oktober 2009.
Anonim. 2009c. Hydroxylamine. Artikel. Diperoleh dari: http://en.wikipedia.org/
wiki/Hydroxylamine. Diakses pada: 30 Agustus 2009. Anonim. 2009d. Polyethylene Lauryl Ether. Artikel. Diperoleh dari:
http://mpfinechemicals.com/pages. Diakses pada: 20 Februari 2009.
59
Anonim. 2009e. Sodium Hypochlorite. Artikel. Diperoleh dari: http://www.bisonlabs.com/Portals/0/Sodium-hypochlorite.png. Diakses pada: 29 Oktober 2009.
Anonim. 2009f. Sodium Lauryl Sulfate. Artikel. Diperoleh dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Sodium Lauryl Sulfate. Diakses pada: 20 Februari 2009.
Blackley, D.C. 1966. High Polimer latices. Palmerton publishing Co.Inc,.
New York. Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Terjemahan. Institut Teknologi Bandung,
Bandung. Eng, A.H. 1997. Distribution and Origin of Abnormal Groups in Natural Rubber,
Journal Natural rubber. Res.I(3),. 154-166. Goutara, B.D., dan W. Tjiptadi.1985. Dasar Pengolahan Karet.
Agroindustri. Press, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertania, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gunanti, S.D. 2004. Kajian Kemantapan Viskositas Mooney Karet
Hasil Depolimerisasi Lateks Alam yang Diberi Perlakuan Hidroksilamin Netral Sulfat (FINS). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Helmenstine, A.M. 2009a. Hydrogen Peroxide. Diperoleh dari
http://chemistry.about.com/od/factsstructures/ig/Chemical-Structures---H/Hydrogen-Peroxide.htm. Diakses pada: 29 Oktober 2009.
Helmenstine, A.M. 2009b. Toluene. Diperoleh dari http://chemistry.about.com/
od/factsstructures/ig/Chemical-Structures---T/Toluene.htm. Diakses pada: 29 Oktober 2009.
Honggokusumo, S. 1978. Pengetahuan Lateks. Kursus Pengolahan Barang Jadi
Karet. Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Bogor. Hoyle, J., Tran, S., Niven, R.M. 2007. The paper recycling industry,
hydroxylamine and occupational asthma: two case reports. Diperoleh dari: http://www.occupationalasthma.com/occupational_asthma_pageview.aspx?id=67. Diakses pada: 29 Oktober 2009.
Huffman, J.E. 1980. Sahuaro Concept of Asphalt-Rubber Binders. Presentation at
the First Asphalt Rubber User Producer Workshop. Scottsdale, Arizona. Myers, J.L., A.D. Well. 1995. Research Design and Statistical Analysis.
Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Hillsdale, NewJersey.
60
Pristiyanti, E.N.W. 2006. Pengaruh Pengembangan Partikel Karet Terhadap Depolimerisasi Lateks Dengan Reaksi Reduksi-Oksidasi. Skripsi. FATETA IPB, Bogor.
Ramli, E.Z. 2009. Surfaktan. Diperoleh dari: http://www.lib.itb.ac.id/
~mahmudin/evi/evi/SURFAKTAN-EVI.doc. Diakses pada: 31 Desember 2009.
Ramadhan, A., H. Prastanto., dan A.A. Alfa. 2005. Pengaruh Waktu Reaksi
depolimerisasi Terhadap Viskositas Mooney Karet Mentah Pada Proses Pembuatan Karet Alam Cair Sistem Redoks. Prosiding Aplikasi Kimia Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Yayasan Media Utama, Yogyakarta.
Roberts, A. D. 1988. Natural Rubber Science And Technology. Oxford University
Press. Roger, M. R. 1994. Handbook of Surfactant. Blackie Academic and Professional,
London. Reiger , M.M. 1985. Surfactant in Cosmetics. Surfactant Science Series, hal. 488.
John Wiley & Sons, Inc, New York. Robinson, H. L. 2004. Polymer in Asphalt. Rapra Review Reports Volume 15,
Number 11, 2004. Tarmac Ltd, UK. Salager, J.L. 2002. Surfactants Types and Uses. Version 2. FRIP Booklet #
E300-A: Teaching Aid in Surfactant Science & Engineering in English. Universidad De Los Andes, Merida-Venezuela. Diperoleh dari: http://www.fhp.ula.ve/cuadernos/E300A.pdf . Diakses pada: 29 Agustus 2006.
Situmorang, J.R. 2009. Pengaruh Penambahan Senyawa Merkaptan Pada Karet
Alam (Hevea Brasiliensis) Dalam Fasa Padat. Skripsi. FATETA IPB, Bogor.
Smith, L.M. 1960. Some Viscous and Elastic Properties of Rubberised Bitumens.
Journal of Apply Chemistry, Vol.10, 296-305. Solichin, M.H. dan B. Kartika. 1991. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Viskositas Mooney dalam Pengolahan SIR 3 CV. Dalam. Jurnal Lateks vol 6 nomor 2 Oktober 1991. Pusat penelitian Perkebunan Sembawa, Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia.
Stevens, M.P. 2001. Kimia Polimer. Diterjemahkan oleh lis Sofyan. Pradnya
Paramitra. Jakarta.
61
Suparto, D. 2002. Pengetahuan Tentang Lateks Hevea. Kursus Teknologi barang Jadi Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor. Bogor.
Surdia, N. M. 2000. Degradasi Polimer. Indonesian Polymer Journal. Vol. 3. no.
1. Bandung. Tanaka, Y. 1998. A New Approach to Produce Highly Deproteinized
Natural Rubber. Kuliah Tamu Mengenai Karet Alam, BPTK Bogor, Bogor.
Triwijoso, S.U. dan O. Siswantoro. 1989. Pedoman Teknis Pengawetan dan
Pemekatan Lateks Hevea. Balai Penelitian Perkebunan, Bogor. Tuntiworawit, N., D. Lavansiri dan C. Phromsorn. 2005. The Modification of
Asphalt With Natural Rubber Latex. Proceeding of Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol. 5. Pp. 679-694, 2005. Bangkok, Thailand.
81
LAMPIRAN
62
Lampiran 1. Prosedur Analisis
a. Penetapan Total Alkalinitas (ASTM D-1076-97)
Masukkan kira-kira sejumlah 5 g lateks dalam botol timbang 10 cm3.
Timbang botol timbang yang telah berisi lateks dengan ketelitian 1 mg.
Tuang lateks ke dalam gelas piala yang telah berisi 300 cm3 air suling. Botol
timbang ditimbang kembali, perbedaan bobot botol timbang adalah bobot
contoh (W).
Siapkan contoh uji seperti pada persiapan contoh. Tambahkan 6 tetes
indikator Merah Methyl 0,1 % ke dalam alkohol. Titrasi dengan HCl 0,1 N
sedikit demi sedikit sambil diaduk (digoyang) sampai tercapai titik ekuivalen,
yaitu apabila larutan berubah dari kuning menjadi merah jambu (pink). Catat
penggunaan HCl 0,1 N (V)
Alkalinitas dihitung sebagai gram per NH3 per 100 gram lateks sebagai
berikut :
Total alkalinitas, dihitung sebagai % NH3 dalam fasa lateks
= (1,7 x V x N) / W
Total alkalinitas, dihitung sebgai % NH3 dalam fasa air
= (1,7 x V x N) / W(1-TS/100)
Keterangan :
N = Normalitas larutan HCl
V = Volume HCl 0,1 N yang dibutuhkan
W = Bobot contoh, g
TS = Kadar jumlah padatan
b. Penetapan Kadar Karet Kering (ASTM D-1076-97)
Timbang botol timbang yang telah berisi contoh lateks (W1). Tuang 10 g
contoh lateks pekat dengan ketelitian 1 mg ke dalam cawan porselein. Botol
timbang ditimbang kembali (W2), perbedaan bobot antara kedua penimbang
adalah bobot contoh (W). Tambahkan air suling hingga KJP menjadi ± 25%
dan aduk agar homogen. Tambahkan asam asetat 2% sambil diaduk hingga
terbentuk gumpalan sempurna, ditandai dengan terbentuknya serum yang
jernih. Untuk mempercepat penggumpalan, cawan berisi lateks tersebut
63
dipanaskan pada penangas air selama 15 – 30 menit. Jika serum masih keruh,
tambahkan kembali asam sampai didapat serum yang jernih, jika masih
keruh, ulangi pengerjaan dari awal.
Gumpalan digiling 5 kali hingga terbentuk krep, penggilingan dilanjutkan
untuk mengatur agar tebal krep maksimum 2 mm. Keringkan krep di dalam
lemari pengering pada suhu 70 ± 2 °C. Jika terjadi oksidasi, penetapan
diulangi dengan pengeringan pada suhu 55 ± 2 °C. krep yang telah
didinginkan di dalam deskator kemudian ditimbang. Ulangi pengeringan dan
penimbangan sampai bobot tetap (WK) dengan perbedaan berat tidak lebih
dari 1 mg. penetapan ini dikerjakan 2 kali (duplo) dengan perbedaan hasil
tidak lebih dari 0,2%. Hasil dari KKK adalah rata-rata dari 2 kali pengerjaan.
Kadar karet kering, % = WKW
x 100
Keterangan :
WK = Bobot karet / koagulum kering, g
W = Bobot contoh, g
c. Penetapan Kadar Jumlah Padatan (ASTM D-1076-97)
Masukkan sejumlah lateks ke dalam botol timbang kemudian timbang
dengan ketelitian 1 mg (W1). Tuangkan 2,5 ± 0,5 g lateks dari botol timbang
ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobotnya (W2), kemudian
diratakan dengan goyangan. Timbang kembali botol timbang berisi sisa lateks
(W3). Perbedaan bobot kedua penimbangan tersebut adalah bobot contoh.
Tambahkan 1 cm3 air suling. Biarkan pinggan berisi contoh lateks pada
penangas air hingga terbentuk film. Masukkan cawan berisi film ke dalam
lemari pengering bersuhu 100 ± 2 °C, biarkan selama 2 jam. Dinginkan ke
dalam desikator pada temperatur kamar. Timbang cawan berisi film kering
hingga bobot tetap dengan perbedaan berat tidak lebih dari 1 mg (W4).
Penetapan ini dikerjakan 2 kali (duplo) dengan perbedaan hasil tidak lebih
dari 0,15%. Kadar jumlah padatan adalah rata-rata 2 kali pengerjaan.
Kadar jumlah padatan, % W WW W
x 100
65
2), 0,6% (untuk lateks tipe 3). Panaskan lateks pada penangas air hingga suhu
36-37°C. Saring lateks tersebut dengan penyaring 80 mesh ke dalam
container hingga didapat 80 g saringan. Tempatkan wadah berisi lateks
bersuhu 35°C pada alat Klaxon. Aduk lateks pada kecepatan 14000 ± 200
rpm (Stopwatch dihidupkan).
Sambil tetap diaduk, tiap 15 detik sampel diambil dengan cara
menyentuhkan ujung kaca pengaduk pada lateks dan teteskan lateks yang
menempel di ujung pengaduk ke dalam cawan petri yang telah berisi air,
amati keadaan lateks di dalam air tersebut. Pengamatan diakhiri jika flokulat
telah terbentuk, berupa bintik-bintik putih yang tidak pecah oleh goyangan.
Penetapan ini dikerjakan 2 kali (duplo) dengan perbedaan hasil tidak lebih
dari 5%. Hasil WKM adalah rata-rata dari 2 kali pengulangan.
Volume larutan amonia yang harus ditambahkan (V)
V KJP 100
WKM = Sesuai dengan waktu yang ditunjukkan stopwatch pada saat
akhir pengamatan, dinyatakan dalam detik
f. Pengujian Viskositas Brookfield (ASTM D-1084-63)
Pengukuran viskositas Brookfield dilakukan dengan viskosimeter
Brookfield dengan satuan cP (centipoise). Spindel dan kecepatan yang
digunakan dalam pengukuran ditentukan oleh kekentalan bahan. Bila spindel
dan kecepatan yang digunakan untuk pengukuran tidak sesuai, maka nilai
viskositas tidak terbaca. Besarnya kecepatan dan faktor pengali tiap spindel
pada pengukuran viskositas dapat dilihat pada Tabel 4. Pengujian dilakukan
dengan cara memasukkan spindel ke dalam contoh sampel (lateks). Langkah
selanjutnya adalah menghidupkan viskosimeter Brookfield.
64
Keterangan :
W4 – W3 = Bobot padatan kering, g
W3 – W2 = Bobot contoh, g
d. Penetapan Volatil Fatty Acid (ASTM D-1076-97)
Timbang 50 ± 0,2 g lateks dalam gelas piala 250 cm3. Tambahkan 50 cm3
larutan amonium sulfat, kemudian diaduk. Panaskan pada penangas air 70°C,
3-5 menit hingga gumpalan sempurna. Saring serum ke dalam erlenmeyer 50
cm3. Pipet 25 cm3 saringan ke dalam erlenmeyer 50 cm3 yang telah berisi 5
cm3 asam sulfat (2+5), lalu diaduk. Pipet 10 ml campuran serum asam sulfat
ke dalam tabung Markham. Tambahkan 1 tetes silikon anti busa.
Tutup penyuling Markham kemudian alirkan uap air 100°C. Sulingan
ditampung di dalam erlenmeyer berskala (kecepatan aliran sulingan diatur 3 -
6 cm3/menit). Penyulingan dihentikan setelah didapatkan 100 cm3 sulingan.
Ke dalam sulingan dialirkan udara bebas CO2 selama 3 menit. Tambahkan 1
tetes BTB dan titar dengan larutan Ba(OH)2 hingga warna berubah menjadi
biru muda dan tidak berubah selama 10-20 detik (V). Kerjakan blanko dengan
subtitusi 20 cm3 air suling ke dalam semua pereaksi yang digunakan .
Volatile Fatty Acid V NKJP W
W S
S KKK,
Keterangan :
N = Normalitas larutan Ba(OH)2
V = Volume Ba(OH)2
KJP = Kadar jumlah padatan
KKK = Kadar Karet Kering
e. Penetapan Waktu Kemantapan Mekanik (ASTM D-1076-97)
Lakukan penentuan kadar jumlah padatan. Timbang 100 g lateks yang
telah dihomogenkan ke dalam erlenmeyer 250 cm3. Turunkan KJP menjadi
55 ± 0,2% dengan penambahan larutan amonia 1,6% (untuk lateks tipe 1 dan
66
Tabel 4. Kecepatan dan Faktor Pengali pada Viskositas Brookfield
Kecepatan Faktor Finder 1 2 3 4
0,3 200 1 M 4 M 20 M 0,6 100 500 2 M 10 M 1,5 40 200 800 4 M 3 20 100 400 2 M 6 10 50 200 1 M 12 5 25 100 500 30 2 10 40 200 60 1 5 20 100
g. Penetapan Kadar Nitrogen (SNI-06-1993-1990)
Contoh ditimbang sebanyak 0,1 gram (A) kemudian dimasukkan ke
dalam labu mikro kjedahl, setelah itu ditambah ± 0,65 gram katalis selenium
dan 2,5 mL H2SO4 pekat. Contoh di destruksi sekitar dua jam atau sampai
timbul warna hijau, setelah itu didinginkan dan diencerkan dengan 100 mL
aquades. Larutan dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas dua atau tiga
kali dengan 3 mL air suling. Setelah itu ditambahkan 5 mL NaOH 76%.
Air dialirkan melewati alat destilasi dan destilat yang dihasilkan
ditampung ke dalam erlenmeyer berisi 10 mL asam borat 2% dan 2 tetes
indikator nitrogen. Destilat dititrasi dengan larutan H2SO4 0,01 N. Titik akhir
ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi ungu muda (Va). Hal
serupa dilakukan pula pada blanko (Vb). Kadar nitrogen dihitung dengan
rumus sebagai berikut.
Kadar Nitrogen % Vb Va x N x 14
A x 100 %
Keterangan:
Va = Volume H2SO4 pada titrasi larutan sampel (mL)
Vb = Volume H2SO4 pada titrasi larutan blanko (mL)
N = Normalitas H2SO4 (N)
A = Bobot sampel (mg)
67
h. Penetapan Viskositas Mooney (ASTM D-1076-97)
Contoh sebanyak ± 25 gram diletakkan di atas rotor dan di bawah rotor,
kemudian ditutup. Sebelumnya alat dipanaskan hingga suhu 100°C, setelah
dipanaskan selama 1 menit, rotor dijalankan. Tenaga untuk memutar rotor
dibaca pada skala setelah 4 menit, sehingga persamaannya menjadi sebagai
berikut.
M = (1’ + 4’)L 100°C
Keterangan:
M = Angka viskositas Mooney karet
L = Ukuran rotor (cm)
1 = Waktu pemanasan pendahuluan yang dinyatakan dalam menit (1’)
4 = Waktu pemanasan pengujian yang dinyatakan dalam menit (4’)
i. Pengujian Penetrasi Bahan-Bahan Bitumen (SNI 06-2456-1991)
Letakkan benda uji dalam tempat air dalam tempat air dan masukkan
tempat air tersebut ke dalam bak perendam bersuhu 25°C. Pasang jarum pada
pemegang jarum dan letakkan pemberat 50 gram di atas jarum untuk
memperoleh beban sebesar (100 ± 0,1) gram. Turunkan jarum perlahan-lahan
sehingga jarum menyentuh permukaan benda uji. Lepaskan pemegang jarum
dan serentak jalankan stopwatch selama (5 ± 0,1) detik.
Penetrasi adalah masuknya jarum penetrasi ukuran tertentu, beban
tertentu dan waktu tertentu ke dalam aspal pada suhu tertentu.
j. Pengujian Titik Lembek Aspal dan TER (SNI 06-2434-1991)
Pasang dan aturlah kedua benda uji diatas dudukannya dan letakkan
pengarah bola diatasnya. Isi bejana dengan air suling baru, dengan suhu (5 ±
1) °C sehingga tinggi permukaan air berkisar antara 101,6 mm sampai 108
mm. Letakkan termometer diantara kedua benda uji (± 12,7 mm dari tiap
cincin) periksa dan atur jarak antara permukaan plat dasar dengan benda uji
sehingga menjadi 25,4 mm dan letakkan bola-bola baja ditengah masing-
masing benda uji yang bersuhu 5°C dengan menggunakan penjepit. Panaskan
bejana sehingga kenaikan suhu menjadi 5°C per menit.
68
Titik lembek adalah suhu pada saat bola baja dengan berat tertentu
mendesak turun suatu lapisan aspal yang tertahan dalam cincin berukuran
tertentu, sehingga aspal tersebut menyentuh pelat dasar yang terletak di
bawah cincin pada tinggi 24,4 mm, sebagai kecepatan akibat pemanasan
tersebut.
69
Lampiran 2. Data Hasil Pengujian Nilai Penetrasi
Kode Jenis Lateks Ulangan
I
Ulangan
II Rataan Homogenitas
L1K3 LP, 3% Karet 50,5 50,5 50,5 Agak Homogen
L1K5 LP, 5% Karet 51,2 51,7 51,45 Kurang Homogen
L1K7 LP, 7% Karet 49,37 49,28 49,325 Tidak Homogen
L2K3 LP - Pemvulkanisasi, 3% Karet 54,5 56,2 55,35 Agak Homogen
L2K5 LP - Pemvulkanisasi, 5% Karet 53,8 53,8 53,8 Kurang Homogen
L2K7 LP - Pemvulkanisasi, 7% Karet 52,15 52,3 52,225 Tidak Homogen
L3K3 LP + RI, 3% Karet 60,6 60,6 60,6 Agak Homogen
L3K5 LP + RI, 5% Karet 54,9 54,4 54,65 Kurang Homogen
L3K7 LP + RI, 7% Karet 52,35 52,1 52,225 Tidak Homogen
L4K3 LP + RII, 3% Karet 59,79 59,6 59,695 Agak Homogen
L4K5 LP + RII, 5 % Karet 55,27 54,9 55,085 Kurang Homogen
L4K7 LP + RII, 7% Karet 52,48 51,4 51,94 Tidak Homogen
L5K3 L - Depolimerisasi, 3% Karet 59,6 59,6 59,6 Homogen
L5K5 L - Depolimerisasi, 5% Karet 58,8 56 57,4 Homogen
L5K7 L - Depolimerisasi, 7% Karet 55,21 54,3 54,755 Agak Homogen
L6K3 L - Depolimerisasi -
Pemvulkanisasi, 3% Karet 61,5 61 61,25 Homogen
L6K5 L - Depolimerisasi -
Pemvulkanisasi, 5% Karet 59,1 59,2 59,15 Homogen
L6K7 L - Depolimerisasi -
Pemvulkanisasi, 7% Karet 57,49 57,4 57,445 Agak Homogen
L7K3 L - Depolimerisasi + RI, 3%
Karet 56,78 56,6 56,69 Homogen
L7K5 L - Depolimerisasi + RI, 5%
Karet 51,6 51,6 51,6 Homogen
L7K7 L - Depolimerisasi + RI, 7%
Karet 49,56 49,48 49,52 Agak Homogen
70
L8K3 L - Depolimerisasi + RII, 3%
Karet 56,7 56,7 56,7 Homogen
L8K5 L - Depolimerisasi + RII, 5%
Karet 54,96 55,1 55,03 Homogen
L8K7 L - Depolimerisasi + RII, 7%
Karet 54,12 53,74 53,93 Agak Homogen
71
Lampiran 3. Data Hasil Pengujian Nilai Titik Lembek
Kode Jenis Lateks Ulangan
I
Ulangan
II Rataan Homogenitas
L1K3 LP, 3% Karet 58 58 58 Agak Homogen
L1K5 LP, 5% Karet 58 63,87 60,935 Kurang Homogen
L1K7 LP, 7% Karet 64,83 65,7 65,265 Tidak Homogen
L2K3 LP - Pemvulkanisasi, 3% Karet 56,1 56,12 56,11 Agak Homogen
L2K5 LP - Pemvulkanisasi, 5% Karet 57,8 57,87 57,835 Kurang Homogen
L2K7 LP - Pemvulkanisasi, 7% Karet 58,84 58,4 58,62 Tidak Homogen
L3K3 LP + RI, 3% Karet 55,4 55,35 55,375 Agak Homogen
L3K5 LP + RI, 5% Karet 63,5 63,45 63,475 Kurang Homogen
L3K7 LP + RI, 7% Karet 64,97 65,38 65,175 Tidak Homogen
L4K3 LP + RII, 3% Karet 55,86 56,25 56,055 Agak Homogen
L4K5 LP + RII, 5 % Karet 60,6 60,62 60,61 Kurang Homogen
L4K7 LP + RII, 7% Karet 63,17 63,37 63,27 Tidak Homogen
L5K3 L - Depolimerisasi, 3% Karet 57,1 57,12 57,11 Homogen
L5K5 L - Depolimerisasi, 5% Karet 61 60,3 60,65 Homogen
L5K7 L - Depolimerisasi, 7% Karet 62,76 62,1 62,43 Agak Homogen
L6K3 L - Depolimerisasi -
Pemvulkanisasi, 3% Karet 58,8 58,82 58,81 Homogen
L6K5 L - Depolimerisasi -
Pemvulkanisasi, 5% Karet 56 56,1 56,05 Homogen
L6K7 L - Depolimerisasi -
Pemvulkanisasi, 7% Karet 60,2 60,17 60,185 Agak Homogen
L7K3 L - Depolimerisasi + RI, 3%
Karet 58,2 58,25 58,225 Homogen
L7K5 L - Depolimerisasi + RI, 5%
Karet 60,2 60,2 60,2 Homogen
L7K7 L - Depolimerisasi + RI, 7%
Karet 63,15 62,43 62,79 Agak Homogen
72
L8K3 L - Depolimerisasi + RII, 3%
Karet 55,46 55,55 55,505 Homogen
L8K5 L - Depolimerisasi + RII, 5%
Karet 59,89 60,22 60,055 Homogen
L8K7 L - Depolimerisasi + RII, 7%
Karet 62,76 63,12 62,94 Agak Homogen
73
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Penetrasi
Keterangan: * = Berpengaruh nyata
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
Lateks Rataan Pengelompokan Duncan
K3 57,56 A K5 54,77 B K7 52,67 C
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung F Tabel
Lateks 7 315,79 45,11 155,50* 2,42 Konsentrasi 2 192,51 96,26 331,79* 3,40
Lateks*Konsentrasi 14 58,78 4,19 14,47* 2,13 Galat 24 6,96 0,29 Total 47 574,05
Lateks Rataan Pengelompokan Duncan
L6 59,28 A L5 57,25 B L3 55,82 C L4 55,60 C L8 55,22 C L2 53,79 D L7 52,60 E L1 50,42 F
74
Lampiran 5. Analisis Ragam Titik Lembek
Keterangan: * = Berpengaruh nyata
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung F Tabel
Lateks 7 76,73 10,96 14,04* 2,42 Konsentrasi 2 259,19 129,59 165,96* 3,40
Lateks*Konsentrasi 14 88,01 6,28 8,05* 2,13 Galat 24 18,74 0,78 Total 47 442,69
Lateks Rataan Pengelompokan Duncan
L1 61,40 A L3 61,34 A L7 60,40 AB L5 60,06 B L4 59,97 B L8 58,35 B L6 58,34 B L2 57,52 C
Lateks Rataan Pengelompokan Duncan
K7 62,58 A K5 59,97 B K3 56,89 C
75
Lampiran 6. Analisis Ragam Interaksi Penetrasi
Keterangan: * = Berpengaruh nyata
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung F Tabel
Interaksi 23 567,09 24,65 84,99* 2,01 Galat 24 6,96 0,29 Total 47 574,05
Interaksi Rataan Pengelompokan Duncan
L6*K3 61,25 A L3*K3 60,00 AB L4*K3 59,79 BC L5*K3 59,60 BC L6*K5 59,15 C L6*K7 57,44 D L5*K5 57,40 D L8*K3 56,70 D L7*K3 56,69 D L2*K3 55,36 E L4*K5 55,08 E L8*K5 55,03 E L5*K7 54,75 EFG L3*K5 54,65 EFG L8*K7 53,93 FG L2*K2 53,80 GL3*K7 52,22 H L2*K7 52,22 H L4*K7 51,94 H L7*K5 51,60 HI L1*K5 51,45 HI L1*K3 50,50 IJ L7*K7 49,52 JK L1*K7 49,32 K
76
Lampiran 7. Analisis Ragam Interaksi Titik Lembek
Keterangan: * = Berpengaruh nyata
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung F Tabel
Model 23 423,94 18,43 23,60* 2,01 Galat 24 18,74 0,78 Total 47 442,69
Interaksi Rataan Pengelompokan Duncan
L1*K7 62,26 A L3*K7 65,17 AB L3*K5 63,47 ABC L4*K7 63,27 BC L8*K7 62,94 C L7*K7 62,79 CD L5*K7 62,43 CDEL1*K5 60,93 DEF L5*K5 60,65 EFG L4*K5 60,61 EFG L7*K5 60,20 FGH L6*K7 60,18 FGH L8*K5 60,05 FGH L6*K3 58,81 GHI L2*K7 58,62 GHI L7*K3 58,22 HI L1*K3 58,00 HI L2*K5 57,83 IJ L5*K3 57,11 IJK L2*K3 56,11 JK L4*K3 56,05 JK L6*K5 56,05 JK L8*K3 55,50 K L3*K3 55,37 K
77
Lampiran 8. Standar Mutu Aspal Polimer
No Jenis Pengujian Metode Pengujian Persyaratan Plastomer
Persyaratan Elastomer
1 Pen pada 25°C, 100 g 5 dtk (dmm) SNI 06-2456-91 50-70 50-75 2 Titik lembek, (°C) SNI 06-2434-91 min.56 min.54 3 Titik nyala (°C) SNI 06-2433-91 min.232 min.232 4 Berat jenis SNI 06-2441-91 min.1,0 5 Kekentalan pada 135°C, cst SNI 06-6721-02 150-1500 max.2000
6 Stabilitas penyimpanan pada 163°C 48 jam, perbedaan titik lembek SNI 06-2434-91 homogen max.2
7 Kelarutan dalam TCE, (%) RSNI M-04-04 min.99 min.99 8 Penurunan berat/TFOT, (%) SNI 06-2440-91 max.1,0 max.1,0
9
Perbedaan penetrasi setelah RTFOT: % asli Kenaikan TL Penurunan TL
SNI 06-2456-91
max.10 max.10
max.40 max.40
10
Perbedaan titik lembek setelah RTFOT: % asli kenaikan TL Kenaikan TL Penurunan TL
max.6,5 max.6,5
max.2 max.2
11 Elastic recovery residu RTFOT, % AASHTO T301-95 min.45 Sumber: Anonim (2009b)
78
Lampiran 9. Standar Mutu Aspal Multigrade
No Jenis Pengujian Metode Pengujian Persyaratan Min Maks
1 Pen pd 25°C, 100 g 5 dtk (dmm) SNI 06-2456-91 50 70 2 Titik lembek, (°C) SNI 06-2434-91 55 - 3 Daktilitas, 25°C 5 cm/mnt, (cm) SNI 06-2432-91 100 - 4 Kelarutan dalam TCE, (%) SNI 06-2438-91 99 - 5 Titik nyala (°C) SNI 06-2433-91 225 - 6 Berat jenis SNI 06-2441-91 1 - 7 Penurunan berat/TFOT, (%) SNI 06-2440-91 - 0,8 8 Pen stlh TFOT (% thd pen awal) SNI 06-2456-91 60 - 9 Daktilitas, 25°C 5 cm/mnt, (%) SNI 06-2432-91 50 -
Sumber: Anonim (2009b)
79
Lampiran 10. Karakteristik Lateks
A. Lateks Pekat
Analisis Hasil Rataan 1 2
Alkalinitas, % NH3 0,82 0,85 0,835 KKK, % 58,4 59,98 59,19 KJP, % 61,46 60,51 60,985 WKM, detik 780 754 767 VFA, g KOH/100 g JP 0,018 0,022 0,02 Kadar Nitrogen, % 0,21 0,26 0,24 Viskositas Lateks, cP 97 99 98 Viskositas Mooney, (ML (1+4) 100oC) 77,60 77,60 77,60
B. Lateks Depolimerisasi
Analisis Hasil Rataan 1 2
Alkalinitas, % NH3 0,11 0,17 0,14 KKK, % 47,2 46,26 46,73 KJP, % 51,25 51,68 51,465 WKM, detik 105 113 109 VFA, g KOH/100 g JP 0,046 0,048 0,047 Kadar Nitrogen, % 0,12 0,15 0,14 Viskositas Lateks, cP 18,4 18,2 18,3 Viskositas Mooney, (ML (1+4) 100oC) 16,50 16,50 16,50
80
Lampiran 11. Syarat mutu lateks pekat
No Jenis Uji Metode
Sentrifugasi Amonia Tinggi
Metode Sentrifugasi
Amonia Rendah 1. Kadar jumlah padatan min, % 61,5 61,5
2. Kadar karet kering min, % 60,0 60,0
3. Selisih kadar jumlah padatan
dengan kadar karet kering maks, %
2,0 2,0
4. Total alkalinitas dihitung
sebagai amonia (NH3) sebagai % lateks
Min 0,60 Max 0,29
5. Bilangan KOH, maks 0,80 0,80
6. Waktu Kematapan Mekanik min, detik 650 650
7. Bilangan asam lemak, maks 0,2 gr KOH/100 gr TS
0,2 gr KOH/100 gr TS
8. Warna secara inspeksi visual Tidak berwarna biru atau abu-abu
9. Warna setelah dinetralisasi dengan asam borat Tidak berbau busuk
Sumber: SNI 06-3139-1992