beton aspal

Upload: bela-yusdiantika

Post on 15-Jul-2015

195 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Tulisan ini juga untuk sekalian menjawab pertanyaan pada komentar di blog ini. Untuk kelengkapannya sekalian akan disinggung lagi tentang CTRB. Semoga cukup puas dengan penjelasan singkat ini Teknologi Daur Ulang Campuran Dingin CTRB Bahan Bahan Garukan: RAP ( Reclaimed Asphalt Pavement ): Yaitu hasil garukan mengandung bahan pengikat RAM ( Reclaimed Aggregate Material ): Yaitu agregat tanpa bahan pengikat Daur Ulang dengan Bahan Tambahan Semen: RAP + RAM + Agregat Baru ( Jika Diperlukan ) + Semen Dipadatkan pada kadar air optimum. Tipikal Alat CTRB Alat Penggaruk ( Milling ) Recycler Alat Pemadat : Sheepfoot Roller, Vibro ( kombinasi roda karet dan roda besi ), PTR. Cement Distributor Grader Truck Pengangkut Tangki Air Faktor Effisiensi ( FE ) Homogenitas campuran di lapangan sangat tergantung dari Faktor Effisiensi ( FE ) dari cara pencampuran yang digunakan yaitu: Instalasi pencampur: 80 100 % Alat Pencampur Rotor: 60 80 % Alat Pembentuk Mekanik: 40 50 % Mix in place ( Alat pencampur Berjalan ): 60 80 % Kadar Semen yang diperlukan di lapangan ditentukan sebagai sbb: Kuat Tekan Bebas sesuai dg ketentuan yg berlaku ( qu lap ) Kuat Tekan Bebas lapangan terkoreksi ( qu koreksi ) adalah: Qu koreksi = qu lap / FE Kadar Semen di lapangan ditentukan dr memplotkan qu.lap terkoreksi kedalam grafik qu lap dengan kadar semen. Pencampuran dan Penghamparan Pencampuran dari material daur ulang, semen dan air ( serta agregat baru bila diperlukan ) dilakukan dengan cara pencampuran ditempat ( mix in place ) dengan single pass stabilization machines minimum 350 HP yang dilengkapi dengan unit pengendali kadar air. Alat tersebut minimum harus mampu menggaruk sedalam 30 cm dan diameter butiran maksimum sesuai dengan butiran agregat maksimum campuran beraspal yang ada serta hasil pencampuran memiliki tingkat kehomogenan cukup baik. Tahap pencampuran dan penghamparan sebagai berikut: Lapis perkerasan lama yang didaur ulang digaruk dan dihancurkan sampai diameter butir yang sesuai dengan peruntukannya Bahan garukan yang telah siap ditentukan kadar airnya. Kemudian semen disebarkan merata dengan alat Cement Distributor di atas permukaan dengan takaran ( rate ) yang telah ditentukan. Selanjutnya, mesin pengaduk secara mekanis mengaduk secara merata semen dan material daur ulang dengan menambah air sampai menyamai batas kadar air yang ditentukan oleh prosedur rancangan campuran laboratorium. Pengendalian Mutu Segera sebelum pemadatan dimulai, contoh contoh campuran harus diambil dari lokasi yang diperintahkan Direksi Pekerjaan dengan interval satu dengan lainnya tidak lebih dari 500 meter di sepanjang proyek. Kepadatan yang dicapai harus lebih besar dari 95 % maksimum kepadatan kering ( > 95 % MDD ) Segera setelah pemadatan setiap lapisan selesai dilaksanakan, pengujian kepadatan lapangan harus

dilaksanakan, di lokasi yang telah diperintahkan oleh Direksi Pekerjaan dengan interval tidak melebihi 100 m disepanjang jalan. Setiap lokasi pengujian yang kelima harus sama dengan lokasi pengambilan contoh sebelum penggilasan. Hasil kepadatan dan kadar air pengujian konus pasir ( sand cone ) harus dibandingkan dengan nilai rata rata dari kepadatan kering maksimum dan kadar air optimum yang diukur dari dua benda uji, untuk menentukan persentasi pemadatan yang dicapai di lapangan dan menentukan apakah pengendalian kadar air di lapangan cukup memadai. Perawatan ( Curing ): Permukaan harus ditutup dengan menggunakan: o Lembaran plastik atau terpal untuk menjaga penguapan air dalam campuran. o Penyemprotan dengan Bituminous Emulsi CSS-1 pemakaian antara 0,35 0,50 liter per meter persegi. o Metode lain adalah menutupi dengan karung goni yang dibasahi air selama masa perawatan. Penghamparan lapis berikutnya: o Lapis padat CTRB dijaga dan penghamparan lapis berikutnya minimum setelah 4 hari. Kriteria Kekuatan CTRB: Kuat Tekan pada umur 7 hari: UCS ( diameter 70 mm x tinggi 140 mm ) minimal 30 kg / cm2 Compressive Strength sylinder: min 35 kg/cm2 Teknologi RCCP ( Roller Compacted Concrete Pavement ) Terjemahannya adalah Perkerasan Beton Semen Gilas. Bahan: Semen Berat per m3 kira kira 302 kg Air dalam Berat per m3 kira kira 97 kg Agregat dalam Berat per m3 : 2075 kg Alat: Batching Plant System continuous dan Type Weight Batch, dalam hal ini twin-shaft pugmill mixer mengontrol siklus pencampur melewati periode pencampuran kering dan pencampuran basah dengan zero slump ( water content tertentu ). Penghampar RCC biasanya menggunakan heavy duty screed finisher ( jadi keluar dari finisher bisa dengan kepadatan 90 % ) Vibrating Roller ( minimal 10 ton ) Finish Rollers ( 5 s / d 10 ton ) Dump truck sebagai pengangkut RCC Alat alat bantu lainnya. Pengendalian Mutu Biasanya test kepadatan di lapangan dengan nuclear densometer sesuai ASTM D 2922 yang dioperasikan pada moda transmisi langsung Curing compound. Kriteria Kekuatan RCC umur 7 hari = 70 % 28 hari. Dimana flexural strength umur 28 hari minimal 40 kg / cm2 atau bila dibuat kubus beton dengan vibrat hammer mencapai K350.

Samakah Mutu Beton K-225 dengan fc 22,5 Mpa?Posted on May 28, 2010 | 141 Comments

7 Votes Ir. Rony Ardiansyah, MT, IP-U. Praktisi HAKI (Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia)

Pak Pengasuh Rubrik Konstruksi. Apakah sama mutu beton K-225 dengan fc22,5 Mpa, dan apakah pula hubungannya dengan pengujian benda uji kubus dengan silinder. Dari Irfan, BE Pekanbaru. Pak Irfan, BE yang saya hormati. Jawabannya tidak sama, karena K-225 adalah kuat tekan karakteristik beton 225 kg/cm2 dengan benda uji kubus bersisi 15 cm. Sedangkan fc22,5 Mpa adalah kuat tekan beton yang disyaratkan 22,5 Mpa atau 225 kg/cm2 dengan benda uji silinder. Jadi, karena terjadi perbedaan benda uji maka mutu betonnya menjadi tidak sama. Perlu dicatat, fc22,5 Mpa itu setara dengan mutu beton berkisar K271.

Apakah kuat tekan Karakteristik itu? kekuatan tekan karakteristik ialah kekuatan tekan, dimana dari sejumlah besar hasil-hasil pemeriksaan benda uji, kemungkinan adanya kekuatan tekan yang kurang dari itu terbatas sampai 5% saja. Yang diartikan dengan kekuatan tekan beton senantiasa ialah kekuatan tekan yang diperoleh dari pemeriksaan benda uji kubus yang bersisi 15 (+0,06) cm pada umur 28 hari. Sedangkan fc adalah kuat tekan beton yang disyaratkan (dalam Mpa), didapat berdasarkan pada hasil pengujian benda uji silinder berdiameter 15 cm dan tinggi 30 cm. Penentuan nilai fc boleh juga didasarkan pada hasil pengujian pada nilai fck yang didapat dari hasil uji tekan benda uji kubus bersisi 150 mm. Dalam hal ini fc didapat dari perhitungan konversi berikut ini. Fc=(0,76+0,2 log fck/15) fck, dimana fck adalah kuat tekan beton (dalam MPa), didapat dari benda uji kubus bersisi 150 mm. Atau perbandingan kedua benda uji ini, untuk kebutuhan praktis bisa diambil berkisar 0,83.

Para pelaksana konstruksi perlu ekstra hati-hati, karena para sarjana kita dewasa ini telah dan harus mengunakan standar perencanaan berdasarkan SNI. Sedangkan aplikasi sampai saat ini hampir semua Bestek atau Recana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) di Provinsi Riau, masih mengunakan mutu beton dengan K

(karakteristik). Jadi jangan coba, sesekali memesan mutu beton K-225 apabila di RKS tercantum mutu beton fc22,5 Mpa karena ini sangat berbahaya, bisa menimbulkan kegagalan struktur bangunan beton bertulang.

Contoh perhitungan mutu beton fc 22,5 Mpa, menjadi K. Misalkan mutu beton di RKS 22,5 Mpa, maka kita dapat menghitung dengan konversi benda uji kubus ke silinder, yakni berkisar 0,83 dan konversi satuan Mpa ke kg/cm2, yakni sama dengan 10. Jadi mutu beton adalah sama dengan 22,5*10/0,83 = 271 kg/cm2.

Sebagai catatan tambahan. Tingkat kekuatan dari suatu mutu beton dikatakan dicapai dengan memuaskan bila persyaratan berikut terpenuhi : (i). Nilai rata-rata dari semua pasangan hasil benda uji yang masing masing terdiri dari empat hasil uji kuat tekan tidak kurang dari (fc + 0,82 S). (ii). Tidak satupun dari hasil uji tekan (rata-rata dari dua silinder) mempunyai nilai dibawah 0,85 fc.***ADVER TI SEMENT

Kelihatannya telah menjadi pemahaman umum, sebagaimana sering didengar bahwa yang namanya konstruksi yang memakai material beton adalah identik sama dengan struktur beton bertulang. Bahkan mahasiswa teknik sipilpun juga sering terkecoh tentang hal tersebut. Maklum, dalam kuliah struktur beton selalu diungkapkan bahwa beton hanya kuat terhadap gaya tekan dan tidak kuat terhadap tarik. Oleh karena itu agar dapat bekerja sebagai suatu balok dan kuat memikul lentur maka harus dipasang tulangan baja sebagai konsekuensinya. Itu benar, karena yang dibahas dalam kuliah struktur beton adalah material beton sebagai komponen untuk struktur balok, struktur kolom atau slab (pondasi). Itu adalah materi struktur beton I dan II di UPH, adapun struktur beton III adalah beton prategang. Pada mata kuliah struktur beton di UPH yang dipegang oleh Prof. Harianto Hardjasaputra bersama saya, maka dalam silabusnya tidak diajarkan tentang materi jalan beton. Padahal seperti diketahui bahwa jalan beton sekarang relatif cukup populer digunakan di jalan-jalan di ibukota maupun di daerah-daerah. Maklum, kesannya jalan beton tersebut lebih kuat, awet dan bebas perawatan.

Gambar 1. Jl. Raya Tajur, typical jalan beton di tanah air (sumber foto : My Setiawan Blog) Alasan terakhir, yaitu bebas perawatan. Alasan itulah yang rasa-rasanya menjadi magnet mengapa jalan tipe tersebut menjadi banyak dipilih akhir-akhir ini. Padahal sebenarnya jika tipe jalan yang terdahulu, yaitu jalan aspal dibangun dengan baik, dilengkapai saluran drainasi yang mencukupi dan sebagainya , maka diyakini akan sama juga kekuatannya dalam memikul beban lalulintas yang ada, bahkan lebih enak (halus) dibanding jalan beton yang kadang jika pembuatannya asal-asalan maka akan sangat terasa adanya siar-siar dilatasi di antaranya. Pemahaman tentang jalan beton terlihat belum dikenal luas, maklum seperti alasan di atas, di kuliah Struktur Beton yang mempunyai 7 SKS itupun, materi tersebut tidak dimasukkan di silabusnya (itu di UPH lho, mungkin saja di tempat lain diberikan). Mungkin saja materi jalan beton telah diberikan pada mata kuliah Perkerasan Jalan, tetapi mestinya fokusnya pada jalan dan bukan struktur betonnya. Oleh karena itu sangat wajar jika ada pernyataan seperti ini keluar dari pejabat yang tidak memahaminya. Apalagi, tidak terlihat adanya ikatan besi yang menjadi tulang dari jalan beton. Padahal, di setiap bangunan beton yang patah akan terlihat susunan besi yang menjadi pengikat struktur beton secara keseluruhan.

Jangan menyalahkan alam atas amblesnya jalan itu. Saya menduga, faktor kelalaian dalam desain atau proses pembangunan merupakan penyebab amblesnya Jalan RE Martadinata. Paling tidak, ada kelalaian dalam mengantisipasi risiko, kata Sanusi yang pernah berprofesi sebagai kontraktor. Sanusi meminta Kementerian PU mengevaluasi semua infrastruktur yang dibangun di Jakarta agar jangan mengalami kerusakan serupa. (Sumber : Kompas Minggu, 19 September 2010) Pernyataan anggota dewan yang pernah berprofesi sebagai kontraktor itu jika didengar oleh temanteman dengan latar belakang pengetahuan sebagaimana diungkapkan di atas, pastilah akan diamini. Apalagi awam yang mendengarnya. Akhirnya yang terjadi di masyarakat adalah opini bahwa kesalahan desain atau pelaksanaanlah yang menyebabkan amblesnya jalan R.E Mardinata tersebut. Mungkin pendapat anggota dewan itu bisa benar, tetapi kalau melihat argumentasi yang mendukung pernyataannya bahwa tidak terlihat adanya ikatan besi yang menjadi tulang dari jalan beton. Maka rasa-rasanyapernyataannya itu masih terlalu dini, pernyataan itu terjadi karena latar belakang pemikirannya adalah struktur beton bertulang gedung tinggi dan bukannya jalan beton. Bagaimanapun cara kerja keduanya adalah tidak sama, meskipun memakai bahan yang sama, yaitu beton. Untuk itulah maka rasa-rasanya artikel tentang jalan beton dan tipe jalan yang lain perlu diungkapkan agar kita bersama mampu belajar sehingga bisa memberi pernyataan yang baik dan benar serta tidak membingungkan masyarakat awam. Hal yang penting perlu dipahami, bahwa cara kerja struktur jalan beton adalah tidak sama dengan cara kerja konstruksi slab beton bertulang yang digunakan pada bangunan gedung. Meskipun samasama memakai material beton, sehingga awam yang melihatnya sepintas tidak ada perbedaan, tetapi tidak berarti bahwa cara desain maupun pelaksanaannya akan sama juga. Pada perkerasan jalan dikenal dua macam konstruksi, yaitu [1] fleksibel pavement (aspal) dan [2] rigid pavement (beton). Pavement di sini adalah bagian dari konstruksi jalan yang langsung menerima beban kendaraan di atasnya, atau tepatnya lapisan permukaan. Jika demikian berarti ada yang namanya lapisan dalam dan lainnya, dalam hal ini adalah tanah atau batuan dibawahnya.

Gambar 2. Lapisan perkerasan jalan (sumber: Pavement Design Guide)

Perhatikan Gambar 1 di atas, pavement di sini adalah Surface couse, adapun di bawahnya masih ada Base Course, juga ada Subbase dan baru tanah asli dibawahnya. Kesemuanya itu yang membentuk konstruksi jalan. Jadi meskipun Surface Course utuh, sebagaimana terlihat pada jalan RE Martadinata sebelum jebol, tetapi karena lapisan pendukung di bawahnya rusak (bisa karena abrasi atau juga hal yang lain) maka keseluruhan jalan akan menjadi rusak. Lihat jebolnya jalan RE Martadinata. Dengan cara berpikir seperti itu, maka sebenarnya perkerasan jalan dengan aspal (fleksibel pavement) mempunyai kekuatan yang sama dibanding perkerasan jalan dengan beton, khususnya untuk memikul roda kendaraan yang berjalan. Kalau untuk kendaraan yang berhenti (parkir) atau di daerah yang sering terjadi pengereman seperti di pintu tol maka rigid pavement akan lebih baik.

Gambar 3. Typical konstruksi Rigid Pavement (Jalan Beton) (sumber: Pavement Design Guide) Sesuai dengan namanya, maka sebenarnya yang membedakan keduanya adalah karakteristik kerja keduanya sebagaimana diperlihatkan pada gambar berikut:

Gambar 4. Distribusi tegangan pada Rigid (kiri) dan Fleksibel (kanan) (sumber Pavement Design Guide) Dengan distribusi tegangan yang lebih merata pada konstruksi rigid pavement maka hanya diperlukan sub-course yang relatif lebih tipis, dibanding konstruksi fleksibel pavement, yang mana distribusi tegangannya relatif lebih terpusat. Tetapi yang jelas, jika keduanya di desain dan

dilaksanakan dengan baik untuk memikul suatu beban tertentu maka jelas hasilnya juga sama-sama baik. Jadi kalaupun banyak jalan aspal yang rusak selama ini di Indonesia,maka itu disebabkan oleh lapisan dasarnya yang rusak terlebih dahulu, umumnya itudikarenakan ada penetrasi air akibat tidak tersedianya saluran drainasi yang memadai pada jalan tersebut. Pengetahuan ini sebenarnya telah dipahami oleh banyak insinyur kita, tetapi dalam prakteknya, lihat saja jalan-jalan di Jakarta, ketika hujan lebat beberapa jam saja maka sudah dipastikan akan terjadi genangan air di jalan-jalan. Air itulah yang menyebabkan kekuatan tanah dibawah jalan menjadi lembek, ditambah beban berat diatasnya. Pastilah rusak itu jalannya. Maklum, implementasi teori dan praktek memang tidak gampang. Jalan beton dari sisi perilaku strukturnya memang terlihat lebih bagus, tegangan yang timbul akibat beban yang sama relatif lebih kecil sehingga tidak diperlukan base-course yang tebal. Meskipun demikian, karena rigid maka pengaruh shrinkage (kembang susut) karena thermal menjadi dominan. Hal inilah yang menyebabkan dijumpai beberapa macam konstruksi jalan beton. Idenya ada dua, yaitu:

jika jalan beton dibuat kontinyu (pemakaianya nyaman) maka untuk mengantisipasi kembang-susut pada jalan tersebut harus dipasang tulangan baja sebagai tulangan susut. Meskipun jumlahnya relatif kecil, khususnya jika dibandingkan konstruksi slab pada bangunan gedung, tetapi penggunaan tulangan baja menyebabkan jalan beton ini menjadi mahal dan tentu saja pengerjaannya akan lebih kompleks. Ingat, ini konstruksi jalan, yang panjangnya relatif lebih panjang (besar) dibanding slab untuk kontruksi bangunan gedung. jalan beton di sekat-sekat dengan siar dilatasi. Jadi jalan beton dibuat atau terdiri dari segment yang terpisah-terpisah. Dengan terpisah-terpisah ini maka resiko kerusakan akibat faktor kembang susut menjadi teratasi tanpa perlu memasang tulangan susut. Ini jelas akan lebih murah di banding sistem diatas. Masalah timbul, selain jalan ini menjadi tidak nyaman (perlu konstruksi khusus agar rata) tetapi juga ada masalah jika terjadi beban di atasnya, tegangan di tanah pada pinggiran segement menjadi besar, berbeda dengan gambaran di atas. Untuk mengatasinya, agar segment sebelah dan sebelahnya juga dapat bekerja maka kedua segment yang berdekatan dipasangi dowel.

Untuk memberi gambaran tentang dua sistem pada rigid pavement itu maka akan disajikan detail konstruksinya sbb (sumber Pavement Design Guide).

Gambar 5. Rigid pavement menerus dengan tulangan Perhatikan, tulangan pada konstruksi rigid pavement di atas diletakkan di tengah, bukan ditepi bawah atau atas dari slab. Ini tentu berbeda dibanding slab pondasi atau basement. Bagaimanapun tugas tulangan di atas adalah untuk mengantisipasi kembang susut dan bukannya penyebaran beban kendaraan di atasnya. Perhatikan juga gambaran crack yang kecil-kecil tetapi merata pada slab di atas. Crack itu terjadi akibat kembang susut lho, bukan akibat beban. Jadi jika ternyata tanah dibawahnya (base course) berkurang kekuatannya, mungkin karena memang kondisinya demikian, maka tentu saja jalan beton tersebut akan menjadi rusak. Lihat saja jalan tol ke Merak, meskipun sudah pakai jalan beton tetapi rusak juga, bahkan jalan beton itu kalau rusak lebih susah lho memperbaiknya dibanding jalan aspal. Jadi jangan berpikir jika sudah dibikin jalan beton lalu masalahnya menjadi hilang. Selanjutnya ini tipe jalan beton yang boleh saja tidak memakai tulangan susut seperti diatas, tetapi agar tetap menyatu jika ada beban kendaraan di pinggir segment maka dipasangi dengan dowel.

Gambar 6. Rigid pavement tersegment dengan dowel. Adanya segment-segment tersebut menyebabkan apabila pelaksanaannya tidak baik maka jika dilalui menjadi tidak nyaman. Oleh karena itu dikembangkan suatu konstruksi lain yang merupakan kombinasi ke dua cara di atas.

Gambar 7. Rigid pavement tersegment dengan tulangan dan dowel. Konsep yang kombinasi mempunyai crack yang relatif sedikit, meskipun dalam hal ini dari segi ekonomis belum tentu diperoleh penghematan yang signifikan. Tetapi yang jelas dengan segment

yang lebih panjang mestinya lebih nyaman, juga jika ada kerusakan base-course dibawahnya maka ada segment menyebabkan perbaikannya relatif lebih mudah. Moga-moga pengetahuan tentang jalan beton di atas sedikit membuka wawasan kita tentang sesuatu sehingga setiap komentar yang timbul menjadi bermutu. Semoga berguna.