pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah aquades sebagai · hancuran sampel lalu ditambahkan...
TRANSCRIPT
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ekstraksi tulang
Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah aquades sebagai
pendekatan terhadap keadaan nyata konsumsi pepes sehari-hari secara umum.
Bagian tulang dari ikan pepes iradiasi maupun pepes noniradiasi yang akan
diekstrak mengalami proses penghalusan dengan menggunakan mortar dengan
tujuan memperluas daya pelarutan sampel. Proses penghacuran tulang iradiasi
lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan tulang noniradiasi karena tekstur
tulang iradiasi lebih lunak dibandingkan dengan tekstur tulang noniradiasi. Tulang
yang diiradiasi kehilangan resistensi mekanis dan menghasilkan tulang yang rapuh
karena terjadinya denaturasi pada komponen kolagen (Kubisz, 2007).
Hancuran sampel lalu ditambahkan dengan pelarut aquades dengan
perbandingan berat antara tulang dan aquades sebesar 1:2, kemudian disaring
menggunakan kain saring. Filtrat yang diperoleh kemudian disentrifuse pada 3500
rpm selama 30 menit dengan tujuan mengendapkan padatan dan lemak yang
masih tersisa pada filtrat. Setelah disentrifuse, bagian supernatan sampel
dipisahkan dari lemak dan minyak yang berada pada bagian paling atas lalu
supernatannya dilewatkan pada kertas saring. Pada tahap akhir, supernatan yang
lolos kertas saring kemudian dilewatkan pada membran steril dengan ukuran pori
0.20 μm.
Pada pengujian pengaruh terhadap hemolisis eritrosit dan proliferasi
limfosit digunakan sampel steril yang dilewatkan pada membran steril, sedangkan
pada pengukuran kapasitas antioksidan dan kadar malonaldehida sampel cukup
digunakan ekstrak yang lolos pada kertas saring. Hal ini dilakukan karena pada
teknik kultur sel dibutuhkan kondisi steril agar mencegah kontaminasi
mikroorganisme yang dapat menyebabkan kesalahan pada pengujian. Sedangkan
pada pengukuran kapasitas antioksidan dan pengukuran kadar malonaldehida
tidak melibatkan sel hidup, sehingga tidak membutuhkan ekstrak dalam kondisi
steril.
32
Ekstrak yang akan digunakan dalam pengujian terdiri dari tiga jenis
pengenceran, yaitu pengenceran 0x (C1), 2x (C2), dan 4x (C3). Pengenceran 0x
(C1) adalah ekstrak sampel awal, pengenceran 2x (C2) adalah ekstrak yang
diencerkan dengan perbandingan volume ekstrak awal dan air sebesar 1:1, dan
pengenceran 4x (C3) adalah ekstrak yang diencerkan dengan perbandingan
volume ekstrak awal dan air sebesar 1:3. Pengenceran ini dilakukan untuk
mengetahui efek peningkatan ketersediaan air bebas terhadap pengujian, dimana
radikal bebas yang terdapat pada sampel dapat menyerang molekul air dan
menyebabkan reaksi berantai, serta membentuk senyawa radikal baru yang
tentunya akan mempengaruhi pengujian, karena radikal bebas memiliki sifat yang
sangat reaktif dan dapat menyerang senyawa lain (Winarsi, 2003).
B. Pengaruh ekstrak tulang iradiasi terhadap hemolisis eritrosit
Eritrosit dipilih karena sel eritrosit menggambarkan model sel yang
sederhana. Walaupun tidak cukup mempunyai perlengkapan untuk sintesis protein
dan mempunyai sedikit keistimewaan dibandingkan dengan sel-sel lainnya,
membran sel ini mempunyai cukup fungsi, seperti transport aktif dan pasif, dan
produksi gradien ionik dan elektrik. Pada penelitian ini diteliti ketahanan
membran eritrosit terhadap peroksidasi, dimana radikal bebas dibentuk oleh
sumber dari luar. Peroksidasi membran eritrosit dapat dipelajari dengan beberapa
oksidator, seperti hidrogen peroksida, asam dialurik, xanthine oxidase, dan
hidroperoksida organik (Zhu et al., 2002; Miki et al., 1987). Oksidator yang
digunakan pada penelitian ini adalah hidrogen peroksida, H2O2 mampu
mendegradasi Hb untuk melepaskan ion Fe (Halliwell dan Aruoma, 1991).
Pengaruh ekstrak tulang A terhadap hemolisis sel eritrosit
Ekstrak tulang A adalah ekstrak tulang ikan pepes iradiasi dosis tinggi
yang diiradiasi pada tahun 2007 dan pengujian dilakukan pada tahun 2009 yang
berarti telah memiliki masa simpan selama 2 tahun. Pengaruh ekstrak tulang A
terhadap laju hemolisis eritrosit yang diamati pada tiga variasi pengenceran, yaitu
pengenceran C1, C2, dan C3. Pengamatan dilakukan tiap jam selama lima jam
pengamatan. Pada Gambar 5. Terlihat profil hemolisis yang diperlihatkan dengan
33
nilai absorbansi. Secara umum ekstrak tulang A dengan pengenceran C1 memiliki
nilai absorbansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan
pengenceran C2 dan C3, tetapi pada jam ke-3 dan ke-4 absorbansi ekstrak C1
lebih rendah dibandingkan ekstrak C2. Sedangkan absorbansi yang terjadi pada
kontrol negatif nilainya paling kecil sampai jam pengamatan ke-3 dan nilainya
lebih besar dari ekstrak C3 pada jam k-4 dan jam ke-5. Hemolisis yang terjadi
pada kontrol negatif dapat dikatakan sebagai hemolisis spontan, artinya hemolisis
yang terjadi secara alami bukan karena pengaruh sampel. Suspensi pada kontrol
negatif adalah suspensi antara sel eritrosit dan media PBS. Penggunaan kontrol
negatif ini bertujuan untuk mengetahui laju hemolisis dari sel eritrosit tanpa
adanya pengaruh dari lingkungan luar karena PBS didesain untuk menciptakan
tekanan osmosis yang mirip dengan kondisi di dalam tubuh manusia. PBS ini
termasuk jenis balanced salt solution, yaitu larutan kombinasi dari garam-garam
yang dapat mempertahankan pH fisiologis dan tekanan osmotik. PBS
mengandung bufer fosfat, potasium klorida, dan sodium klorida dengan pH 7.4,
pH ini sesuai dengan kondisi optimal untuk kultur sel mamalia (Davis, 1994).
Pada jam ke-0 sampai jam ke-3 terlihat bahwa hemolisis spontan lebih
kecil dibandingkan dengan hemolisis akibat pengaruh sampel, sedangkan pada
jam ke-4 dan ke-5 hemolisis spontan lebih besar dibandingkan dengan hemolisis
yang disebabkan sampel A pada pengenceran C3. Hal ini diduga karena pada
konsentrasi C3 sudah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hemolisis
dan sel eritrosit sendiri secara alami akan mengalami hemolisis. Menurut Diehl
(1990), apabila jumlah pelarut lebih banyak maka komponen-komponen di dalam
larutan tersebut akan sulit menemukan partner reaksinya sehingga cenderung tidak
terjadi reaksi.
34
Gambar 5. Absorbansi akibat pengaruh tulang A dengan tiga perlakuanpengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif
Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan konsentrasi sampel
akan memberikan dampak terhadap hemolisis yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena
jumlah radikal bebas yang terdapat pada C1 lebih besar dibandingkan pada konsetrasi
C2 dan C3. Radikal bebas tersebut kemungkinan terbentuk pada proses iradiasi dan
selama penyimpanan. Menurut Urbain (1986), pada saat proses iradiasi terjadi
peningkatan energi pada partikel-partikel yang menyebabkan terjadinya ionisasi dan
eksitasi, proses ini dapat menghasilkan radikal bebas. Selama penyimpanan, radikal
bebas ini akan mengalami beberapa kemungkinan, diantaranya adalah reaksi
pembentukan radikal baru dan reaksi saling menetralkan antar radikal. Radikal bebas
inilah yang menyerang komponen membran sehingga sel pecah dan terjadi hemolisis.
Nilai absorbansi yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui nilai
persentase hemolisis eritrosit. Persen hemolisis ini dihitung dengan membandingkan
absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol positif. Kontrol positif yang digunakan
dalam penelitian ini adalah hidrogen peroksida (H2O2). Sifat-sifat hidrogen peroksida
diantaranya adalah bening, agak lebih kental dari air, dan merupakan oksidator kuat.
Senyawa ini larut dalam air dan berdifusi dengan cepat di dalam dan di antara sel.
Hidrogen peroksida merupakan senyawa yang relatif stabil sehingga dapat menembus
membran nukleus atau membran sel. Hidrogen peroksida yang masuk ke dalam
membran akan bereaksi dengan ion Fe dan Cu dan membentuk molekul yang lebih
35
reaktif seperti OH. Hidroksil radikal banyak merusak protein dan lemak di dalam sel,
selain itu juga dapat mendegradasi hemoglobin untuk melepaskan ion Fe (Halliwell dan
Aruoma, 1991).
Penggunaan eritrosit sebagai model pada penelitian sudah banyak dilakukan,
seperti yang dilakukan oleh Mrowczynska (2001) yang menggunakan eritrosit sebagai
model untuk membandingkan dan menghubungkan aktivitas hemolitik terhadap sifat
sitotoksik garam empedu, Zhu et al. (2005) yang mengukur pengaruh flavonoid kakao
terhadap ketahanan membran eritrosit yang dioksidasi dengan AAPH, Suwalsky (2007)
yang mengukur sifat antioksidan tumbuhan Ugni molinae dan pengaruhnya pada
eritrosit manusia dalam menanggulangi stress oksidatif yang dipicu dengan HClO, dan
Karimi et al. (2008) yang mengukur efek perlindungan eritrosit oleh silimarin. Dari
berbagai penelitian yang telah dilakukan tersebut, kontrol positif yang sering digunakan
adalah H2O2 dan AAPH.
Gambar 6 menunjukkan persentase hemolisis eritrosit pada tulang A pada jam
ke-5. Persentase hemolisis pada C1, C2, dan C3 berturut-turut sebesar 84.94 %, 72.89
%, dan 62.25 %. Sedangkan kontrol negatif memiliki nilai persentase hemolisis sebesar
67.17 %. Penurunan konsentrasi sampel mengakibatkan penurunan persentase
hemolisis eritrosit. Persentase hemolisis kontrol negatif lebih besar dibandingkan
dengan hemolisis akibat tulang A pada konsentrasi C3. Hal ini dikarenakan nilai
persentase hemolisis tersebut adalah nilai persentase hemolisis pada jam pengamatan
ke-5 dimana nilai absorbansi kontrol negatif lebih besar dari nilai absorbansi tulang A
dengan pengenceran C3.
36
Gambar 6. Persentase hemolisis eritrosit akibat pengaruh tulang A pada berbagaiperlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif
Berdasarkan analisis statistik, menggunakan uji ANOVA, tidak terdapat
perbedaan yang nyata (p>0.05) pada hemolisis eritrosit antara kontrol negatif dan
tiga perlakuan pengenceran (C1, C2, dan C3) akibat pengaruh tulang A. Jadi,
antara kontrol negatif dan perlakuan pengenceran 1x, 2x, dan 4x terhadap tulang
A tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.
Pengaruh ekstrak tulang B terhadap hemolisis sel eritrosit
Ekstrak tulang B adalah ekstrak tulang ikan pepes iradiasi yang diiriadiasi
pada tahun 2008 dan diuji pada tahun 2009, sehingga memiliki masa simpan
selama satu tahun pada saat diuji. Pengukuran hemolisis eritrosit dilakukan tiap
jam selama lima jam pengamatan. Absorbansi yang diperoleh pada pengamatan
hemolisis akibat pengaruh tulang B pada konsentrasi C1, C2, C3, dan kontrol
negatif tersaji pada Gambar 7. Kontrol negatif yang digunakan pada
pembandingan sampel B ini sama dengan kontrol negatif yang digunakan pada
sampel A.
Pada pengamatan jam ke-4 dan ke-5, nilai absorbansi pada pengenceran
C3 jauh lebih kecil dibandingkan dengan absorbansi pada kontrol negatif.
Kecenderungan ini sama dengan yang terjadi pada sampel A. Sama halnya dengan
sampel A, sampel B dengan pengenceran yang lebih tinggi memiliki komponen
37
yang lebih sedikit, sehingga kemungkinan terjadi reaksi juga lebihkecil. Akan
tetapi pada sampel B terlihat perbedaan nilai absorbansi yang lebih tinggi antara
kontrol negatif dan sampel dengan pengenceran C3. Hal ini diduga karena pada
pengenceran yang sama sampel A memiliki komponen terlarut yang lebih besar
dibandingkan sampel B.
Gambar 7. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dengan tigaperlakuan pengenceran
Hasil pengamatan menunjukkan nilai absorbansi pada pengenceran C1
selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pengenceran C2 dan C3 pada semua jam
pengamatan dari jam ke-0 sampai jam ke-5, sedangkan untuk ekstrak pada
pengenceran C2 dan C3 terjadi fluktuasi pada jam ke-2, nilai absorbansi ekstrak
pada pengenceran C2 lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan
pengenceran C3, sedangkan pada jam-jam pengamatan lainnya pengenceran C3
memberikan nilai absorbansi yang lebih kecil dibandingkan dengan pengenceran
C2.
Hal ini diduga karena konsentrasi radikal bebas pada C1 yang tinggi,
sehingga antioksidan endogen yang ada pada eritrosit, seperti katalase dan
glutation peroksidase tidak mampu lagi menjaga membran sel eritrosit dari
kerusakan. Sedangkan pada konsentrasi C2 dan C3, antioksidan endogen masih
berfungsi untuk menjaga sel dari kerusakan karena konsentrasi radikal bebas tidak
38
terlalu tinggi. Eritrosit dilengkapi dengan antioksidan yang berupa enzim CuZn-
SOD yang dapat mencegah terhimpunnya senyawa oksidan yang berlebihan dan
mencegah reaksi berantai lebih lanjut (Christyaningsih, 2003). Oksidasi dari
membran eritrosit dapat digunakan sebagai model untuk kerusakan oksidasi
biomembran yang dapat dilakukan secara in vitro.
Gambar 8. Persentase hemolisis tulang B pada berbagaiperlakuan pengenceran
Pada Gambar 8 terlihat, nilai persentase hemolisis tulang B pada
pengenceran C1 sebesar 73.19 %, ekstrak pengenceran C2 sebesar 67.67%, dan
ekstrak pengenceran C3 sebesar 59.34%, sedangkan nilai persentase hemolisis
kontrol negatif sebesar 67.17 %. Dari hasil tersebut diketahui bahwa tren dari
persentase hemolisis yang terjadi pada tulang B sama dengan tulang A.
Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang
nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis kontrol negatif dan perlakuan
pengenceran C1, C2, dan C3 pada tulang B. Jadi, kontrol negatif dan perlakuan
pengenceran 1x, 2x, dan 4x terhadap tulang B tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.
39
Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C1 terhadap hemolisis sel eritrosit
Gambar 9. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi padapengenceran C1
Pada Gambar 9 disajikan grafik absorbansi pada ekstrak sampel dengan
pengenceran C1. Ekstrak tulang A dan tulang B pada pengenceran C1
dibandingkan dengan tulang noniradiasi, kontrol positif, dan kontrol negatif.
Kontrol positif adalah suspensi sel eritrosit yang ditambahkan dengan H2O2 yang
dapat memicu terjadinya hemolisis eritrosit, sedangkan kontrol negatif merupakan
suspensi sel eritrosit yang ditambahkan dengan PBS yang dapat mempertahankan
tekanan osmosis sel. Kecenderungan terjadinya peningkatan nilai absorbansi
terjadi pada semua sampel, akan tetapi masing-masing sampel memiliki
kecenderungan yang berbeda pada profil hemolisisnya. Ekstrak tulang A memiliki
kecenderungan hemolisis yang fluktuatif dan pada jam pengamatan ke-2 dengan
nilai absorbansi lebih besar apabila dibandingkan dengan semua sampel dan
kontrol positif. Hal ini diduga karena terjadi reaksi berantai antar radikal sehingga
kandungan radikal bebas pada tulang A yang tinggi. Menurut Kubisz (2007),
radikal bebas yang disebabkan oleh iradiasi tulang terjebak sangat lama, radikal
bebas dihasilkan baik dalam matriks organ maupun kompoenen mineral dalam
tulang.
Kecenderungan hemolisis pada tulang B cenderung mengalami
peningkatan yang tidak terlalu besar dan tidak lebih besar daripada kontrol positif.
40
Hal ini diduga karena umur simpan tulang B lebih pendek dibandingkan tulang A,
sehingga senyawa-senyawa radikal yang terbentuk tidak lebih besar dari tulang A.
Pada tulang noniradiasi, profil hemolisisnya hampir sama dengan tulang B, akan
tetapi nilai absorbansinya tidak sebesar sampel B. Laju hemolisis tulang
noniradiasi cenderung mengalami peningkatan yang stabil dari jam ke-0 sampai
jam ke-5.
Gambar 10. Persentase hemolisis pada tulang denganperlakuan pengenceran C1
Nilai persentase hemolisis ini dihitung dengan membandingkan nilai
absorbansi sampel dengan nilai absorbansi kontrol positif. Pada Gambar 10 dapat
dilihat nilai persentase hemolisis dari masing-masing sampel pada pengenceran
C1. Nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 68.67 %, tulang A
sebesar 84.94 %, dan tulang B sebesar 73.19 %. Berdasarkan analisis statistik
dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara
persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada
pengenceran C1. Jadi, perlakuan pengenceran 1x tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.
41
Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C2 terhadap hemolisis sel eritrosit
Gambar 11. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasipada pengenceran C2
Pada pengenceran C2, profil hemolisis pada tulang A pada jam-jam awal
mengalami peningkatan hemolisis kemudian pada jam ke-2 cenderung stabil.
Menurut Dewi (2008), pada pengujian hemolisis eritrosit in vitro terdapat
kecenderungan profil hemolisis eritrosit yang fluktuatif pada jam-jam awal
pengamatan. Setelah 2 atau 3 jam pengamatan profil hemolisis eritrosit
menjadi stabil yang diamati berdasarkan intensitas warna merah yang
terbentuk akibat hemolisis. Pada jam-jam awal pengamatan, sel masih
beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Meskipun kondisi media telah dibuat
sedemikian rupa sehingga mirip dengan kondisi di dalam tubuh, akan tetapi
kondisi sel berbeda apabila berada di dalam tubuh dengan kultur sel di luar tubuh.
Nilai absorbansi pada tulang A paling besar dibandingkan dengan tulang B dan
tulang noniradiasi. Tren ini sama dengan yang terjadi pada pengenceran C1.
Tulang B dan tulang noniradiasi memiliki profil hemolis yang hampir
sama, yaitu mengalami kenaikan di awal pengamatan kemudian stabil setelah jam
ke-2. Nilai absorbansi dari tulang noniradiasi dan tulang B pun tidak jauh
berbeda, dimana nilai absorbansi jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan
tulang A dan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kontrol negatif.
42
Gambar 12. Persentase hemolisis pada pengenceran C2
Pada Gambar 12 dapat dilihat nilai persentase hemolisis pada
pengenceran C2, nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 67,07 %,
tulang A sebesar 72,89 %, dan tulang B sebesar 67,67 %. Berdasarkan analisis
statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara
persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada
pengenceran C2. Jadi, perlakuan pengenceran 2x tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.
Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C3 terhadap hemolisis sel eritrosit
Gambar 13. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasipada pengenceran C3
43
Pada pengenceran C3, tulang A dan tulang B memiliki profil hemolisis
yang cenderung stabil, sedangkan tulang noniradiasi memiliki profil hemolisis
yang fluktuatif. Pada pengenceran C3 ini terlihat pada jam pengamatan ke-1
sampai jam ke-4 absorbansi tulang noniradiasi lebih besar dibandingkan dengan
tulang A dan tulang B. Pada jam ke-0 sampai jam ke-3, nilai absorbansi tulang
iradiasi dan tulang noniradiasi lebih tinggi dari kontrol negatif, akan tetapi pada
jam ke-4 dan ke-5, absorbansi sampel lebih rendah dari kontrol negatif. Hal ini
diduga karena terjadi reaksi yang saling menetralkan antar radikal, sehingga
radikal tidak menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada membran. Menurut
Diehl (1990) radikal bebas yang berkurang dapat disebabkan oleh terjadinya
reaksi saling menetralkan antar radikal.
Gambar 14. Persentase hemolisis pada pengenceran C3
Pada Gambar 14 dapat dilihat nilai persentase hemolisis tulang
noniradiasi sebesar 60,79 %, tulang A sebesar 62,25%, dan tulang B sebesar
59,34%. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi
perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis pada tulang A, tulang
B, dan tulang noniradiasi pada pengenceran C3. Jadi, perlakuan pengenceran 3x
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.
44
C. Pengaruh ekstrak tulang terhadap proliferasi limfosit
Sel limfosit merupakan sel yang erat hubungannya dengan status imun
individu (Erniati, 2007) dan rentan terhadap senyawa asing, sehingga dapat
digunakan sebagai model untuk uji ketoksikan pangan. Salah satu uji yang dapat
dilakukan adalah uji in vitro dengan kultur sel. Kultur sel secara in vitro
memerlukan kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan lingkungan dalam
tubuh sehingga proses biologis yang terjadi dalam kultur sel dapat berlangsung
mendekati keadaan sebenarnya. Pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh
diperoleh dengan aplikasi media pertumbuhan dan fase gas yang sesuai untuk
pertumbuhan sel. Media yang tepat untuk pertumbuhan sel limfosit adalah RPMI
dengan kombinasi suhu sebesar 37 0C dan kadar karbondioksida sebesar 5%.
Pengaruh ekstrak tulang A terhadap proliferasi sel limfosit
Gambar 15. Absorbansi akibat pengaruh tulang A dibandingkan dengan tulangnoniradiasi
Pada Gambar 15 terlihat nilai absorbansi pada tulang A dengan berbagai
perlakuan pengenceran dibandingkan dengan absorbansi tulang noniradiasi. Nilai
absorbansi hasil pengukuran dengan spectrophotometer microplate reader
menyatakan ukuran penyerapan sinar oleh kristal formazan yang terbentuk
sebagai hasil konversi MTT dengan adanya enzim suksinat dehidrogenase. Enzim
ini dihasilkan dari mitokondria sel hidup, dengan demikian kristal formazan hanya
dapat terbentuk oleh sel hidup (Kubota et al., 2003). Hasil penelitian
Tulang Noniradiasi Tulang A
45
menunjukkan nilai absorbansi tulang noniradiasi dan tulang A berada di antara
kontrol negatif dan kontrol positif dengan kecenderungan nilai absorbansi
semakin menurun pada konsentrasi yang lebih kecil.
Pada Gambar 16 dapat dilihat perbandingan indeks stimulasi proliferasi
limfosit antara tulang noniradiasi dengan tulang A. Nilai indeks stimulasi tersebut
diperoleh dengan membandingkan absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol
negatif. Indeks stimulasi tulang noniradiasi secara umum lebih besar
dibandingkan dengan indeks stimulasi tulang A pada semua pengenceran. Hasil
penelitian menunjukkan tulang A memiliki indeks stimulasi yang lebih besar
dibandingkan dengan tulang noniradiasi pada setiap pengenceran.
Gambar 16. Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh tulang Adibandingkan dengan tulang noniradiasi
Pada pengenceran C1 nilai indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.50 pada
tulang noniradiasi dan sebesar 1.26 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik
dengan uji ANOVA, pada pengenceran C1 tidak terjadi perbedaan yang nyata
(p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi.
Pada pengenceran C2, indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.39 pada
tulang noniradiasi dan sebesar 1.16 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik
Tulang Noniradiasi Tulang A
46
dengan uji ANOVA, pada pengenceran C2 tidak terjadi perbedaan yang nyata
(p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi.
Pada pengenceran C3, indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.31 pada
tulang noniradiasi dan sebesar 0.98 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik
dengan uji ANOVA, pada pengenceran C3 tidak terjadi perbedaan yang nyata
(p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi.
Pengaruh ekstrak tulang B terhadap proliferasi sel limfosit
Gambar 17. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dibandingkan denganTulang noniradiasi
Pada Gambar 17 di atas diperlihatkan data absorbansi sampel 2008
dibandingkan dengan tulang noniradiasi, kontrol positif dan kontrol negatif. Nilai
absorbansi tulang B pada semua pengenceran lebih kecil dibandingkan dengan
tulang noniradiasi dan pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi nilai absorbansi
semakin turun. Nilai absorbansi yang lebih tinggi berarti terdapat sel limfosit yang
lebih banyak. Karena prinsip dari metode ini adalah dengan mewarnai sel limfosit,
semakin banyak sel limfosit maka akan semakin banyak sel yang menyerap zat
warna, sehingga meningkatkan nilai absorbansi apabila diukur dengan
spektrofotometer mikroplate reader.
Tulang Noniradiasi Tulang B
47
Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung
nilai indeks stimulasi proliferasi limfosit yang dapat dilihat pada Gambar 18.
Profil dari indeks stimulasi proliferasi limfosit pada tulang B sama dengan profil
dari indeks stimulasi proliferasi limfosit pada tulang A, yaitu pada pengenceran
yang lebih besar memiliki indeks stimulasi yang lebih rendah. Indeks stimulasi
tulang B pada pengenceran C1 sebesar 1.42, pengenceran C2 sebesar 1.23, dan
pengenceran C3 sebesar 1.16.
Gambar 18. Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh ekstrak tulang B
Indeks stimulasi sampel yang diperoleh pada tulang B lebih kecil
dibandingkan dengan tulang noniradiasi pada masing-masing pengenceran dan
nilainya lebih besar dari kontrol negatif. Artinya ekstrak tulang B dapat memicu
terjadinya proliferasi limfosit akan tetapi kemampuan untuk memicu terjadinya
hemolisis tidak lebih besar dari tulang noniradiasi. Hal ini diduga karena radikal
bebas yang terdapat pada tulang lebih besar dibandingkan yang terdapat pada
tulang noniradiasi, akan tetapi jumlah radikal tersebut belum mampu untuk
membuat kerusakan sel, sehingga proliferasi limfosit masih dapat terjadi.
Tulang Noniradiasi Tulang B
48
D. Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH
DPPH digunakan secara luas untuk menguji kemampuan senyawa untuk
bereaksi sebagai penghambat radikal atau donor hidrogen. DPPH akan bereaksi
dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH
tereduksi (DPPH-H). DPPH tereduksi tidak memiliki absorpsi maksimum pada
kisaran gelombang sinar tampak, sedangkan DPPH itu sendiri berwarna ungu.
Menurut Benabadji et al. (2004), reaksi yang terjadi adalah pembentukan α,α-
diphenyl-β-picrylhidrazine, melalui kemampuan antioksidan untuk menyumbang
hidrogen.
Pada Gambar 19 dapat dilihat kapasitas antioksidan dari masing-masing
sampel pada berbagai macam pengenceran dibandingkan dengan tulang
noniradiasi. Hasil pengukuran kapasitas antioksidan memberikan data yang unik
untuk masing-masing sampel pada berbagai perlakuan pengenceran. Hasil
pengukuran kapasitas antiokasidan pada konsentrasi C1 berkisar antara 7.98-
20.85 %, pada konsentrasi C2 sebesar 10.64-37.23 %, dan pada konsentrasi C3
sebesar 4.79-33.19 %.
Gambar 19. Kapasitas antioksidan ekstrak tulang iradiasi dibandingkan dengantulang noniradiasi
Berdasarkan hasil penelitian, kapasitas sisa antioksidan pada tulang
noniradiasi secara umum paling kecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal
49
ini diduga karena pada proses iradiasi menyebabkan pelunakan jaringan sehingga
antioksidan yang terdapat pada rempah-rempah dapat menetralkan radikal yang
terbentuk secara optimal, sedangkan pada tulang yang tidak diiradiasi tidak
terjadi. Matriks sampel yang diiradiasi akan lunak (Kubisz, 2007), sehingga
antioksidan dapat terekstraksi dengan lebih baik dibandingkan sampel yang tidak
diiradiasi. Antioksidan yang terdeteksi merupakan antioksidan yang berasal dari
tulang dan berasal dari rempah-rempah.
Perlakuan pengenceran C1 pada semua sampel menunjukkan nilai yang
lebih kecil dibandingkan pada perlakuan pengenceran C2. Hal ini berkebalikan
dengan hasil penelitian dari Rao et al. (2005) yang meneliti pengaruh iradiasi
pada chitosan. Menurut Rao et al. (2005), perlakuan iradiasi pada chitosan dengan
semakin meningkatnya konsentrasi maka persentase penangkapan radikal oleh
DPPH semakin meningkat. Hal ini diduga karena karakteristik dari chitosan dan
tulang berbeda dalam hal komponen penyusunnya. Iradiasi pada chitosan
membentuk kitooligosakarida dengan bobot molekul yang rendah dan terjadi
penurunan viskositas dengan meningkatnya dosis iradiasi. Kitooligosakarida ini
dapat menangkap radikal DPPH, artinya dengan meningkatnya dosis maka
konsentrasi kitoligosakarida yang terbentuk akan semakin rendah dan dari hasil
penelitian tersebut diketahui kapasitas antioksidan semakin tinggi.
E. Pengukuran kadar malonaldehida
Malonaldehida (C3H4O2) adalah senyawa aldehida berkarbon tiga sebagai
produk peroksidasi lipid. Kadar MDA dapat digunakan sebagai indeks tidak
langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid (Aruoma,
1997; Gordon, 2001). Metode kimia yang digunakan untuk mengukur kadar MDA
pada penelitian ini adalah metode uji TBA (tiobarbituric acid). Metode ini
berdasarkan pada reaksi antara MDA dengan asam tiobarbiturat dalam suasana
asam membentuk komplek MDA-TBA yang berwarna merah muda, intensitas
warnanya dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 535 nm
(Winarsi, 2003). Pada pengukuran kadar MDA digunakan kurva standar TEP
(tetraetoksi propane).
50
Hasil pengukuran kadar malonaldehida pada konsentrasi C1 berkisar
antara 108.5-141.25 pmol/ml, pada konsentrasi C2 berkisar antara 40.5-59.75
pmol/ml, dan pada konsentrasi C3 berkisar antara 10.5-31.5 pmol/ml. Gambar 20
merupakan hasil pengukuran kadar malonaldehida sampel pada tiga tingkat
konsentrasi. Tren yang terjadi pada pengukuran kadar malonaldehida adalah
dengan meningkatnya tingkat pengenceran maka kadar malonaldehida akan turun.
Gambar 20. Kadar malonaldehida pada ekstrak tulang
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa kisaran kadar
malonaldehida tertinggi terdapat pada tulang B, yaitu 31.5 pmol/ml pada
konsentrasi C3 dan 141.25 pmol/ml pada konsentrasi C1, sedangkan kisaran kadar
malonaldehida terendah terdapat pada tulang A dengan kadar malonaldehida
sebesar 10.5 pmol/ml pada konsentrasi C3 dan 108.5 pada konsentrasi C1.
Berdasarkan analisis statistik menggunakan uji ANOVA, tidak terjadi
perbedaan yang nyata (p>0.05) antara kadar malonaldehida tulang A dengan
tulang noniradiasi maupun tulang B dengan tulang noniradiasi.
Data mengenai pengukuran kadar malonaldehida pada produk ikan siap
saji yang mengalami proses γ-iradiasi pada dosis tinggi sangat terbatas. Namun
sebagai perbandingan ditemukan data mengenai hasil pengukuran kadar
51
malonaldehida (mg/kg) pada sampel ikan Sea Bream yang mengalami perlakuan
γ-iradiasi pada dosis rendah yaitu 1 kGy dan 3 kGy. Penelitian ini dilakukan oleh
Chouliara et al. (2005), menunjukkan bahwa selama masa simpan selama 21 hari,
kadar malonaldehida sampel meningkat. Pada awal masa penyimpanan, rata-rata
sampel memiliki kadar malonaldehida sebesar 0.5-0.6 mg/kg sampel dan di akhir
masa penyimpanan tulang noniradiasi memiliki konsentrasi sebesar 4.9 mg/kg,
sampel iradiasi 1 kGy memiliki konsentrasi sebesar 5.2 mg/kg, dan sampel
iradiasi 3 kGy memiliki konsentrasi sebesar 6.8 mg/kg (Chouliara et al., 2005).
Rao et al. (2005) menyatakan bahwa sampel kabab dan bacon yang
mengalami perlakuan non iradiasi memilliki bilangan TBA yang lebih rendah dari
sampel kabab dan bacon yang diiradiasi. Berdasarkan pernyataan tersebut secara
tidak langsung dapat dikatakan bahwa reaksi peroksidasi lemak yang terjadi pada
bahan yang diiradiasi lebih besar dibandingkan dengan bahan yang tidak
diiradiasi. Hal ini sesuai dengan tulang B apabila dibandingkan dengan tulang
noniradiasi, akan tetapi tidak sama trennya dengan tulang A, dimana tulang A
memiliki kadar malonaldehida yang lebih tinggi dibandingkan tulang noniradiasi.
Fenomena yang terjadi pada sampel A diduga karena pengaruh umur simpan dari
tulang A, tulang A memiliki umur simpan di atas dua tahun, sehingga
kemungkinan senyawa malonaldehida telah terdegradasi.
Menurut Karadag dan Gunes (2008), penggunaan antioksidan, bumbu, dan
rempah pada produk juga dapat menghambat oksidasi lipid pada produk. Pada
produk pepes ikan mas digunakan berbagai macam bumbu dan rempah yang
mengandung berbagai komponen bioaktif yang dapat berfungsi sebagai
antioksidan dan menurunkan oksidasi lipid akibat proses iradiasi sehingga kadar
malonaldehida pada produk pepes iradiasi masih dapat diterima dan dianggap
tidak berbahaya.