pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah aquades sebagai · hancuran sampel lalu ditambahkan...

21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi tulang Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah aquades sebagai pendekatan terhadap keadaan nyata konsumsi pepes sehari-hari secara umum. Bagian tulang dari ikan pepes iradiasi maupun pepes noniradiasi yang akan diekstrak mengalami proses penghalusan dengan menggunakan mortar dengan tujuan memperluas daya pelarutan sampel. Proses penghacuran tulang iradiasi lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan tulang noniradiasi karena tekstur tulang iradiasi lebih lunak dibandingkan dengan tekstur tulang noniradiasi. Tulang yang diiradiasi kehilangan resistensi mekanis dan menghasilkan tulang yang rapuh karena terjadinya denaturasi pada komponen kolagen (Kubisz, 2007). Hancuran sampel lalu ditambahkan dengan pelarut aquades dengan perbandingan berat antara tulang dan aquades sebesar 1:2, kemudian disaring menggunakan kain saring. Filtrat yang diperoleh kemudian disentrifuse pada 3500 rpm selama 30 menit dengan tujuan mengendapkan padatan dan lemak yang masih tersisa pada filtrat. Setelah disentrifuse, bagian supernatan sampel dipisahkan dari lemak dan minyak yang berada pada bagian paling atas lalu supernatannya dilewatkan pada kertas saring. Pada tahap akhir, supernatan yang lolos kertas saring kemudian dilewatkan pada membran steril dengan ukuran pori 0.20 μm. Pada pengujian pengaruh terhadap hemolisis eritrosit dan proliferasi limfosit digunakan sampel steril yang dilewatkan pada membran steril, sedangkan pada pengukuran kapasitas antioksidan dan kadar malonaldehida sampel cukup digunakan ekstrak yang lolos pada kertas saring. Hal ini dilakukan karena pada teknik kultur sel dibutuhkan kondisi steril agar mencegah kontaminasi mikroorganisme yang dapat menyebabkan kesalahan pada pengujian. Sedangkan pada pengukuran kapasitas antioksidan dan pengukuran kadar malonaldehida tidak melibatkan sel hidup, sehingga tidak membutuhkan ekstrak dalam kondisi steril.

Upload: trinhdan

Post on 25-Mar-2019

273 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ekstraksi tulang

Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah aquades sebagai

pendekatan terhadap keadaan nyata konsumsi pepes sehari-hari secara umum.

Bagian tulang dari ikan pepes iradiasi maupun pepes noniradiasi yang akan

diekstrak mengalami proses penghalusan dengan menggunakan mortar dengan

tujuan memperluas daya pelarutan sampel. Proses penghacuran tulang iradiasi

lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan tulang noniradiasi karena tekstur

tulang iradiasi lebih lunak dibandingkan dengan tekstur tulang noniradiasi. Tulang

yang diiradiasi kehilangan resistensi mekanis dan menghasilkan tulang yang rapuh

karena terjadinya denaturasi pada komponen kolagen (Kubisz, 2007).

Hancuran sampel lalu ditambahkan dengan pelarut aquades dengan

perbandingan berat antara tulang dan aquades sebesar 1:2, kemudian disaring

menggunakan kain saring. Filtrat yang diperoleh kemudian disentrifuse pada 3500

rpm selama 30 menit dengan tujuan mengendapkan padatan dan lemak yang

masih tersisa pada filtrat. Setelah disentrifuse, bagian supernatan sampel

dipisahkan dari lemak dan minyak yang berada pada bagian paling atas lalu

supernatannya dilewatkan pada kertas saring. Pada tahap akhir, supernatan yang

lolos kertas saring kemudian dilewatkan pada membran steril dengan ukuran pori

0.20 μm.

Pada pengujian pengaruh terhadap hemolisis eritrosit dan proliferasi

limfosit digunakan sampel steril yang dilewatkan pada membran steril, sedangkan

pada pengukuran kapasitas antioksidan dan kadar malonaldehida sampel cukup

digunakan ekstrak yang lolos pada kertas saring. Hal ini dilakukan karena pada

teknik kultur sel dibutuhkan kondisi steril agar mencegah kontaminasi

mikroorganisme yang dapat menyebabkan kesalahan pada pengujian. Sedangkan

pada pengukuran kapasitas antioksidan dan pengukuran kadar malonaldehida

tidak melibatkan sel hidup, sehingga tidak membutuhkan ekstrak dalam kondisi

steril.

32

Ekstrak yang akan digunakan dalam pengujian terdiri dari tiga jenis

pengenceran, yaitu pengenceran 0x (C1), 2x (C2), dan 4x (C3). Pengenceran 0x

(C1) adalah ekstrak sampel awal, pengenceran 2x (C2) adalah ekstrak yang

diencerkan dengan perbandingan volume ekstrak awal dan air sebesar 1:1, dan

pengenceran 4x (C3) adalah ekstrak yang diencerkan dengan perbandingan

volume ekstrak awal dan air sebesar 1:3. Pengenceran ini dilakukan untuk

mengetahui efek peningkatan ketersediaan air bebas terhadap pengujian, dimana

radikal bebas yang terdapat pada sampel dapat menyerang molekul air dan

menyebabkan reaksi berantai, serta membentuk senyawa radikal baru yang

tentunya akan mempengaruhi pengujian, karena radikal bebas memiliki sifat yang

sangat reaktif dan dapat menyerang senyawa lain (Winarsi, 2003).

B. Pengaruh ekstrak tulang iradiasi terhadap hemolisis eritrosit

Eritrosit dipilih karena sel eritrosit menggambarkan model sel yang

sederhana. Walaupun tidak cukup mempunyai perlengkapan untuk sintesis protein

dan mempunyai sedikit keistimewaan dibandingkan dengan sel-sel lainnya,

membran sel ini mempunyai cukup fungsi, seperti transport aktif dan pasif, dan

produksi gradien ionik dan elektrik. Pada penelitian ini diteliti ketahanan

membran eritrosit terhadap peroksidasi, dimana radikal bebas dibentuk oleh

sumber dari luar. Peroksidasi membran eritrosit dapat dipelajari dengan beberapa

oksidator, seperti hidrogen peroksida, asam dialurik, xanthine oxidase, dan

hidroperoksida organik (Zhu et al., 2002; Miki et al., 1987). Oksidator yang

digunakan pada penelitian ini adalah hidrogen peroksida, H2O2 mampu

mendegradasi Hb untuk melepaskan ion Fe (Halliwell dan Aruoma, 1991).

Pengaruh ekstrak tulang A terhadap hemolisis sel eritrosit

Ekstrak tulang A adalah ekstrak tulang ikan pepes iradiasi dosis tinggi

yang diiradiasi pada tahun 2007 dan pengujian dilakukan pada tahun 2009 yang

berarti telah memiliki masa simpan selama 2 tahun. Pengaruh ekstrak tulang A

terhadap laju hemolisis eritrosit yang diamati pada tiga variasi pengenceran, yaitu

pengenceran C1, C2, dan C3. Pengamatan dilakukan tiap jam selama lima jam

pengamatan. Pada Gambar 5. Terlihat profil hemolisis yang diperlihatkan dengan

33

nilai absorbansi. Secara umum ekstrak tulang A dengan pengenceran C1 memiliki

nilai absorbansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan

pengenceran C2 dan C3, tetapi pada jam ke-3 dan ke-4 absorbansi ekstrak C1

lebih rendah dibandingkan ekstrak C2. Sedangkan absorbansi yang terjadi pada

kontrol negatif nilainya paling kecil sampai jam pengamatan ke-3 dan nilainya

lebih besar dari ekstrak C3 pada jam k-4 dan jam ke-5. Hemolisis yang terjadi

pada kontrol negatif dapat dikatakan sebagai hemolisis spontan, artinya hemolisis

yang terjadi secara alami bukan karena pengaruh sampel. Suspensi pada kontrol

negatif adalah suspensi antara sel eritrosit dan media PBS. Penggunaan kontrol

negatif ini bertujuan untuk mengetahui laju hemolisis dari sel eritrosit tanpa

adanya pengaruh dari lingkungan luar karena PBS didesain untuk menciptakan

tekanan osmosis yang mirip dengan kondisi di dalam tubuh manusia. PBS ini

termasuk jenis balanced salt solution, yaitu larutan kombinasi dari garam-garam

yang dapat mempertahankan pH fisiologis dan tekanan osmotik. PBS

mengandung bufer fosfat, potasium klorida, dan sodium klorida dengan pH 7.4,

pH ini sesuai dengan kondisi optimal untuk kultur sel mamalia (Davis, 1994).

Pada jam ke-0 sampai jam ke-3 terlihat bahwa hemolisis spontan lebih

kecil dibandingkan dengan hemolisis akibat pengaruh sampel, sedangkan pada

jam ke-4 dan ke-5 hemolisis spontan lebih besar dibandingkan dengan hemolisis

yang disebabkan sampel A pada pengenceran C3. Hal ini diduga karena pada

konsentrasi C3 sudah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hemolisis

dan sel eritrosit sendiri secara alami akan mengalami hemolisis. Menurut Diehl

(1990), apabila jumlah pelarut lebih banyak maka komponen-komponen di dalam

larutan tersebut akan sulit menemukan partner reaksinya sehingga cenderung tidak

terjadi reaksi.

34

Gambar 5. Absorbansi akibat pengaruh tulang A dengan tiga perlakuanpengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif

Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan konsentrasi sampel

akan memberikan dampak terhadap hemolisis yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena

jumlah radikal bebas yang terdapat pada C1 lebih besar dibandingkan pada konsetrasi

C2 dan C3. Radikal bebas tersebut kemungkinan terbentuk pada proses iradiasi dan

selama penyimpanan. Menurut Urbain (1986), pada saat proses iradiasi terjadi

peningkatan energi pada partikel-partikel yang menyebabkan terjadinya ionisasi dan

eksitasi, proses ini dapat menghasilkan radikal bebas. Selama penyimpanan, radikal

bebas ini akan mengalami beberapa kemungkinan, diantaranya adalah reaksi

pembentukan radikal baru dan reaksi saling menetralkan antar radikal. Radikal bebas

inilah yang menyerang komponen membran sehingga sel pecah dan terjadi hemolisis.

Nilai absorbansi yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui nilai

persentase hemolisis eritrosit. Persen hemolisis ini dihitung dengan membandingkan

absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol positif. Kontrol positif yang digunakan

dalam penelitian ini adalah hidrogen peroksida (H2O2). Sifat-sifat hidrogen peroksida

diantaranya adalah bening, agak lebih kental dari air, dan merupakan oksidator kuat.

Senyawa ini larut dalam air dan berdifusi dengan cepat di dalam dan di antara sel.

Hidrogen peroksida merupakan senyawa yang relatif stabil sehingga dapat menembus

membran nukleus atau membran sel. Hidrogen peroksida yang masuk ke dalam

membran akan bereaksi dengan ion Fe dan Cu dan membentuk molekul yang lebih

35

reaktif seperti OH. Hidroksil radikal banyak merusak protein dan lemak di dalam sel,

selain itu juga dapat mendegradasi hemoglobin untuk melepaskan ion Fe (Halliwell dan

Aruoma, 1991).

Penggunaan eritrosit sebagai model pada penelitian sudah banyak dilakukan,

seperti yang dilakukan oleh Mrowczynska (2001) yang menggunakan eritrosit sebagai

model untuk membandingkan dan menghubungkan aktivitas hemolitik terhadap sifat

sitotoksik garam empedu, Zhu et al. (2005) yang mengukur pengaruh flavonoid kakao

terhadap ketahanan membran eritrosit yang dioksidasi dengan AAPH, Suwalsky (2007)

yang mengukur sifat antioksidan tumbuhan Ugni molinae dan pengaruhnya pada

eritrosit manusia dalam menanggulangi stress oksidatif yang dipicu dengan HClO, dan

Karimi et al. (2008) yang mengukur efek perlindungan eritrosit oleh silimarin. Dari

berbagai penelitian yang telah dilakukan tersebut, kontrol positif yang sering digunakan

adalah H2O2 dan AAPH.

Gambar 6 menunjukkan persentase hemolisis eritrosit pada tulang A pada jam

ke-5. Persentase hemolisis pada C1, C2, dan C3 berturut-turut sebesar 84.94 %, 72.89

%, dan 62.25 %. Sedangkan kontrol negatif memiliki nilai persentase hemolisis sebesar

67.17 %. Penurunan konsentrasi sampel mengakibatkan penurunan persentase

hemolisis eritrosit. Persentase hemolisis kontrol negatif lebih besar dibandingkan

dengan hemolisis akibat tulang A pada konsentrasi C3. Hal ini dikarenakan nilai

persentase hemolisis tersebut adalah nilai persentase hemolisis pada jam pengamatan

ke-5 dimana nilai absorbansi kontrol negatif lebih besar dari nilai absorbansi tulang A

dengan pengenceran C3.

36

Gambar 6. Persentase hemolisis eritrosit akibat pengaruh tulang A pada berbagaiperlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif

Berdasarkan analisis statistik, menggunakan uji ANOVA, tidak terdapat

perbedaan yang nyata (p>0.05) pada hemolisis eritrosit antara kontrol negatif dan

tiga perlakuan pengenceran (C1, C2, dan C3) akibat pengaruh tulang A. Jadi,

antara kontrol negatif dan perlakuan pengenceran 1x, 2x, dan 4x terhadap tulang

A tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

Pengaruh ekstrak tulang B terhadap hemolisis sel eritrosit

Ekstrak tulang B adalah ekstrak tulang ikan pepes iradiasi yang diiriadiasi

pada tahun 2008 dan diuji pada tahun 2009, sehingga memiliki masa simpan

selama satu tahun pada saat diuji. Pengukuran hemolisis eritrosit dilakukan tiap

jam selama lima jam pengamatan. Absorbansi yang diperoleh pada pengamatan

hemolisis akibat pengaruh tulang B pada konsentrasi C1, C2, C3, dan kontrol

negatif tersaji pada Gambar 7. Kontrol negatif yang digunakan pada

pembandingan sampel B ini sama dengan kontrol negatif yang digunakan pada

sampel A.

Pada pengamatan jam ke-4 dan ke-5, nilai absorbansi pada pengenceran

C3 jauh lebih kecil dibandingkan dengan absorbansi pada kontrol negatif.

Kecenderungan ini sama dengan yang terjadi pada sampel A. Sama halnya dengan

sampel A, sampel B dengan pengenceran yang lebih tinggi memiliki komponen

37

yang lebih sedikit, sehingga kemungkinan terjadi reaksi juga lebihkecil. Akan

tetapi pada sampel B terlihat perbedaan nilai absorbansi yang lebih tinggi antara

kontrol negatif dan sampel dengan pengenceran C3. Hal ini diduga karena pada

pengenceran yang sama sampel A memiliki komponen terlarut yang lebih besar

dibandingkan sampel B.

Gambar 7. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dengan tigaperlakuan pengenceran

Hasil pengamatan menunjukkan nilai absorbansi pada pengenceran C1

selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pengenceran C2 dan C3 pada semua jam

pengamatan dari jam ke-0 sampai jam ke-5, sedangkan untuk ekstrak pada

pengenceran C2 dan C3 terjadi fluktuasi pada jam ke-2, nilai absorbansi ekstrak

pada pengenceran C2 lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan

pengenceran C3, sedangkan pada jam-jam pengamatan lainnya pengenceran C3

memberikan nilai absorbansi yang lebih kecil dibandingkan dengan pengenceran

C2.

Hal ini diduga karena konsentrasi radikal bebas pada C1 yang tinggi,

sehingga antioksidan endogen yang ada pada eritrosit, seperti katalase dan

glutation peroksidase tidak mampu lagi menjaga membran sel eritrosit dari

kerusakan. Sedangkan pada konsentrasi C2 dan C3, antioksidan endogen masih

berfungsi untuk menjaga sel dari kerusakan karena konsentrasi radikal bebas tidak

38

terlalu tinggi. Eritrosit dilengkapi dengan antioksidan yang berupa enzim CuZn-

SOD yang dapat mencegah terhimpunnya senyawa oksidan yang berlebihan dan

mencegah reaksi berantai lebih lanjut (Christyaningsih, 2003). Oksidasi dari

membran eritrosit dapat digunakan sebagai model untuk kerusakan oksidasi

biomembran yang dapat dilakukan secara in vitro.

Gambar 8. Persentase hemolisis tulang B pada berbagaiperlakuan pengenceran

Pada Gambar 8 terlihat, nilai persentase hemolisis tulang B pada

pengenceran C1 sebesar 73.19 %, ekstrak pengenceran C2 sebesar 67.67%, dan

ekstrak pengenceran C3 sebesar 59.34%, sedangkan nilai persentase hemolisis

kontrol negatif sebesar 67.17 %. Dari hasil tersebut diketahui bahwa tren dari

persentase hemolisis yang terjadi pada tulang B sama dengan tulang A.

Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang

nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis kontrol negatif dan perlakuan

pengenceran C1, C2, dan C3 pada tulang B. Jadi, kontrol negatif dan perlakuan

pengenceran 1x, 2x, dan 4x terhadap tulang B tidak memberikan pengaruh yang

nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

39

Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C1 terhadap hemolisis sel eritrosit

Gambar 9. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi padapengenceran C1

Pada Gambar 9 disajikan grafik absorbansi pada ekstrak sampel dengan

pengenceran C1. Ekstrak tulang A dan tulang B pada pengenceran C1

dibandingkan dengan tulang noniradiasi, kontrol positif, dan kontrol negatif.

Kontrol positif adalah suspensi sel eritrosit yang ditambahkan dengan H2O2 yang

dapat memicu terjadinya hemolisis eritrosit, sedangkan kontrol negatif merupakan

suspensi sel eritrosit yang ditambahkan dengan PBS yang dapat mempertahankan

tekanan osmosis sel. Kecenderungan terjadinya peningkatan nilai absorbansi

terjadi pada semua sampel, akan tetapi masing-masing sampel memiliki

kecenderungan yang berbeda pada profil hemolisisnya. Ekstrak tulang A memiliki

kecenderungan hemolisis yang fluktuatif dan pada jam pengamatan ke-2 dengan

nilai absorbansi lebih besar apabila dibandingkan dengan semua sampel dan

kontrol positif. Hal ini diduga karena terjadi reaksi berantai antar radikal sehingga

kandungan radikal bebas pada tulang A yang tinggi. Menurut Kubisz (2007),

radikal bebas yang disebabkan oleh iradiasi tulang terjebak sangat lama, radikal

bebas dihasilkan baik dalam matriks organ maupun kompoenen mineral dalam

tulang.

Kecenderungan hemolisis pada tulang B cenderung mengalami

peningkatan yang tidak terlalu besar dan tidak lebih besar daripada kontrol positif.

40

Hal ini diduga karena umur simpan tulang B lebih pendek dibandingkan tulang A,

sehingga senyawa-senyawa radikal yang terbentuk tidak lebih besar dari tulang A.

Pada tulang noniradiasi, profil hemolisisnya hampir sama dengan tulang B, akan

tetapi nilai absorbansinya tidak sebesar sampel B. Laju hemolisis tulang

noniradiasi cenderung mengalami peningkatan yang stabil dari jam ke-0 sampai

jam ke-5.

Gambar 10. Persentase hemolisis pada tulang denganperlakuan pengenceran C1

Nilai persentase hemolisis ini dihitung dengan membandingkan nilai

absorbansi sampel dengan nilai absorbansi kontrol positif. Pada Gambar 10 dapat

dilihat nilai persentase hemolisis dari masing-masing sampel pada pengenceran

C1. Nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 68.67 %, tulang A

sebesar 84.94 %, dan tulang B sebesar 73.19 %. Berdasarkan analisis statistik

dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara

persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada

pengenceran C1. Jadi, perlakuan pengenceran 1x tidak memberikan pengaruh

nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

41

Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C2 terhadap hemolisis sel eritrosit

Gambar 11. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasipada pengenceran C2

Pada pengenceran C2, profil hemolisis pada tulang A pada jam-jam awal

mengalami peningkatan hemolisis kemudian pada jam ke-2 cenderung stabil.

Menurut Dewi (2008), pada pengujian hemolisis eritrosit in vitro terdapat

kecenderungan profil hemolisis eritrosit yang fluktuatif pada jam-jam awal

pengamatan. Setelah 2 atau 3 jam pengamatan profil hemolisis eritrosit

menjadi stabil yang diamati berdasarkan intensitas warna merah yang

terbentuk akibat hemolisis. Pada jam-jam awal pengamatan, sel masih

beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Meskipun kondisi media telah dibuat

sedemikian rupa sehingga mirip dengan kondisi di dalam tubuh, akan tetapi

kondisi sel berbeda apabila berada di dalam tubuh dengan kultur sel di luar tubuh.

Nilai absorbansi pada tulang A paling besar dibandingkan dengan tulang B dan

tulang noniradiasi. Tren ini sama dengan yang terjadi pada pengenceran C1.

Tulang B dan tulang noniradiasi memiliki profil hemolis yang hampir

sama, yaitu mengalami kenaikan di awal pengamatan kemudian stabil setelah jam

ke-2. Nilai absorbansi dari tulang noniradiasi dan tulang B pun tidak jauh

berbeda, dimana nilai absorbansi jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan

tulang A dan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kontrol negatif.

42

Gambar 12. Persentase hemolisis pada pengenceran C2

Pada Gambar 12 dapat dilihat nilai persentase hemolisis pada

pengenceran C2, nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 67,07 %,

tulang A sebesar 72,89 %, dan tulang B sebesar 67,67 %. Berdasarkan analisis

statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara

persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada

pengenceran C2. Jadi, perlakuan pengenceran 2x tidak memberikan pengaruh

nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C3 terhadap hemolisis sel eritrosit

Gambar 13. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasipada pengenceran C3

43

Pada pengenceran C3, tulang A dan tulang B memiliki profil hemolisis

yang cenderung stabil, sedangkan tulang noniradiasi memiliki profil hemolisis

yang fluktuatif. Pada pengenceran C3 ini terlihat pada jam pengamatan ke-1

sampai jam ke-4 absorbansi tulang noniradiasi lebih besar dibandingkan dengan

tulang A dan tulang B. Pada jam ke-0 sampai jam ke-3, nilai absorbansi tulang

iradiasi dan tulang noniradiasi lebih tinggi dari kontrol negatif, akan tetapi pada

jam ke-4 dan ke-5, absorbansi sampel lebih rendah dari kontrol negatif. Hal ini

diduga karena terjadi reaksi yang saling menetralkan antar radikal, sehingga

radikal tidak menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada membran. Menurut

Diehl (1990) radikal bebas yang berkurang dapat disebabkan oleh terjadinya

reaksi saling menetralkan antar radikal.

Gambar 14. Persentase hemolisis pada pengenceran C3

Pada Gambar 14 dapat dilihat nilai persentase hemolisis tulang

noniradiasi sebesar 60,79 %, tulang A sebesar 62,25%, dan tulang B sebesar

59,34%. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi

perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis pada tulang A, tulang

B, dan tulang noniradiasi pada pengenceran C3. Jadi, perlakuan pengenceran 3x

tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

44

C. Pengaruh ekstrak tulang terhadap proliferasi limfosit

Sel limfosit merupakan sel yang erat hubungannya dengan status imun

individu (Erniati, 2007) dan rentan terhadap senyawa asing, sehingga dapat

digunakan sebagai model untuk uji ketoksikan pangan. Salah satu uji yang dapat

dilakukan adalah uji in vitro dengan kultur sel. Kultur sel secara in vitro

memerlukan kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan lingkungan dalam

tubuh sehingga proses biologis yang terjadi dalam kultur sel dapat berlangsung

mendekati keadaan sebenarnya. Pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh

diperoleh dengan aplikasi media pertumbuhan dan fase gas yang sesuai untuk

pertumbuhan sel. Media yang tepat untuk pertumbuhan sel limfosit adalah RPMI

dengan kombinasi suhu sebesar 37 0C dan kadar karbondioksida sebesar 5%.

Pengaruh ekstrak tulang A terhadap proliferasi sel limfosit

Gambar 15. Absorbansi akibat pengaruh tulang A dibandingkan dengan tulangnoniradiasi

Pada Gambar 15 terlihat nilai absorbansi pada tulang A dengan berbagai

perlakuan pengenceran dibandingkan dengan absorbansi tulang noniradiasi. Nilai

absorbansi hasil pengukuran dengan spectrophotometer microplate reader

menyatakan ukuran penyerapan sinar oleh kristal formazan yang terbentuk

sebagai hasil konversi MTT dengan adanya enzim suksinat dehidrogenase. Enzim

ini dihasilkan dari mitokondria sel hidup, dengan demikian kristal formazan hanya

dapat terbentuk oleh sel hidup (Kubota et al., 2003). Hasil penelitian

Tulang Noniradiasi Tulang A

45

menunjukkan nilai absorbansi tulang noniradiasi dan tulang A berada di antara

kontrol negatif dan kontrol positif dengan kecenderungan nilai absorbansi

semakin menurun pada konsentrasi yang lebih kecil.

Pada Gambar 16 dapat dilihat perbandingan indeks stimulasi proliferasi

limfosit antara tulang noniradiasi dengan tulang A. Nilai indeks stimulasi tersebut

diperoleh dengan membandingkan absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol

negatif. Indeks stimulasi tulang noniradiasi secara umum lebih besar

dibandingkan dengan indeks stimulasi tulang A pada semua pengenceran. Hasil

penelitian menunjukkan tulang A memiliki indeks stimulasi yang lebih besar

dibandingkan dengan tulang noniradiasi pada setiap pengenceran.

Gambar 16. Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh tulang Adibandingkan dengan tulang noniradiasi

Pada pengenceran C1 nilai indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi

dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.50 pada

tulang noniradiasi dan sebesar 1.26 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik

dengan uji ANOVA, pada pengenceran C1 tidak terjadi perbedaan yang nyata

(p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi.

Pada pengenceran C2, indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi

dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.39 pada

tulang noniradiasi dan sebesar 1.16 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik

Tulang Noniradiasi Tulang A

46

dengan uji ANOVA, pada pengenceran C2 tidak terjadi perbedaan yang nyata

(p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi.

Pada pengenceran C3, indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi

dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.31 pada

tulang noniradiasi dan sebesar 0.98 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik

dengan uji ANOVA, pada pengenceran C3 tidak terjadi perbedaan yang nyata

(p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi.

Pengaruh ekstrak tulang B terhadap proliferasi sel limfosit

Gambar 17. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dibandingkan denganTulang noniradiasi

Pada Gambar 17 di atas diperlihatkan data absorbansi sampel 2008

dibandingkan dengan tulang noniradiasi, kontrol positif dan kontrol negatif. Nilai

absorbansi tulang B pada semua pengenceran lebih kecil dibandingkan dengan

tulang noniradiasi dan pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi nilai absorbansi

semakin turun. Nilai absorbansi yang lebih tinggi berarti terdapat sel limfosit yang

lebih banyak. Karena prinsip dari metode ini adalah dengan mewarnai sel limfosit,

semakin banyak sel limfosit maka akan semakin banyak sel yang menyerap zat

warna, sehingga meningkatkan nilai absorbansi apabila diukur dengan

spektrofotometer mikroplate reader.

Tulang Noniradiasi Tulang B

47

Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung

nilai indeks stimulasi proliferasi limfosit yang dapat dilihat pada Gambar 18.

Profil dari indeks stimulasi proliferasi limfosit pada tulang B sama dengan profil

dari indeks stimulasi proliferasi limfosit pada tulang A, yaitu pada pengenceran

yang lebih besar memiliki indeks stimulasi yang lebih rendah. Indeks stimulasi

tulang B pada pengenceran C1 sebesar 1.42, pengenceran C2 sebesar 1.23, dan

pengenceran C3 sebesar 1.16.

Gambar 18. Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh ekstrak tulang B

Indeks stimulasi sampel yang diperoleh pada tulang B lebih kecil

dibandingkan dengan tulang noniradiasi pada masing-masing pengenceran dan

nilainya lebih besar dari kontrol negatif. Artinya ekstrak tulang B dapat memicu

terjadinya proliferasi limfosit akan tetapi kemampuan untuk memicu terjadinya

hemolisis tidak lebih besar dari tulang noniradiasi. Hal ini diduga karena radikal

bebas yang terdapat pada tulang lebih besar dibandingkan yang terdapat pada

tulang noniradiasi, akan tetapi jumlah radikal tersebut belum mampu untuk

membuat kerusakan sel, sehingga proliferasi limfosit masih dapat terjadi.

Tulang Noniradiasi Tulang B

48

D. Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH

DPPH digunakan secara luas untuk menguji kemampuan senyawa untuk

bereaksi sebagai penghambat radikal atau donor hidrogen. DPPH akan bereaksi

dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH

tereduksi (DPPH-H). DPPH tereduksi tidak memiliki absorpsi maksimum pada

kisaran gelombang sinar tampak, sedangkan DPPH itu sendiri berwarna ungu.

Menurut Benabadji et al. (2004), reaksi yang terjadi adalah pembentukan α,α-

diphenyl-β-picrylhidrazine, melalui kemampuan antioksidan untuk menyumbang

hidrogen.

Pada Gambar 19 dapat dilihat kapasitas antioksidan dari masing-masing

sampel pada berbagai macam pengenceran dibandingkan dengan tulang

noniradiasi. Hasil pengukuran kapasitas antioksidan memberikan data yang unik

untuk masing-masing sampel pada berbagai perlakuan pengenceran. Hasil

pengukuran kapasitas antiokasidan pada konsentrasi C1 berkisar antara 7.98-

20.85 %, pada konsentrasi C2 sebesar 10.64-37.23 %, dan pada konsentrasi C3

sebesar 4.79-33.19 %.

Gambar 19. Kapasitas antioksidan ekstrak tulang iradiasi dibandingkan dengantulang noniradiasi

Berdasarkan hasil penelitian, kapasitas sisa antioksidan pada tulang

noniradiasi secara umum paling kecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal

49

ini diduga karena pada proses iradiasi menyebabkan pelunakan jaringan sehingga

antioksidan yang terdapat pada rempah-rempah dapat menetralkan radikal yang

terbentuk secara optimal, sedangkan pada tulang yang tidak diiradiasi tidak

terjadi. Matriks sampel yang diiradiasi akan lunak (Kubisz, 2007), sehingga

antioksidan dapat terekstraksi dengan lebih baik dibandingkan sampel yang tidak

diiradiasi. Antioksidan yang terdeteksi merupakan antioksidan yang berasal dari

tulang dan berasal dari rempah-rempah.

Perlakuan pengenceran C1 pada semua sampel menunjukkan nilai yang

lebih kecil dibandingkan pada perlakuan pengenceran C2. Hal ini berkebalikan

dengan hasil penelitian dari Rao et al. (2005) yang meneliti pengaruh iradiasi

pada chitosan. Menurut Rao et al. (2005), perlakuan iradiasi pada chitosan dengan

semakin meningkatnya konsentrasi maka persentase penangkapan radikal oleh

DPPH semakin meningkat. Hal ini diduga karena karakteristik dari chitosan dan

tulang berbeda dalam hal komponen penyusunnya. Iradiasi pada chitosan

membentuk kitooligosakarida dengan bobot molekul yang rendah dan terjadi

penurunan viskositas dengan meningkatnya dosis iradiasi. Kitooligosakarida ini

dapat menangkap radikal DPPH, artinya dengan meningkatnya dosis maka

konsentrasi kitoligosakarida yang terbentuk akan semakin rendah dan dari hasil

penelitian tersebut diketahui kapasitas antioksidan semakin tinggi.

E. Pengukuran kadar malonaldehida

Malonaldehida (C3H4O2) adalah senyawa aldehida berkarbon tiga sebagai

produk peroksidasi lipid. Kadar MDA dapat digunakan sebagai indeks tidak

langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid (Aruoma,

1997; Gordon, 2001). Metode kimia yang digunakan untuk mengukur kadar MDA

pada penelitian ini adalah metode uji TBA (tiobarbituric acid). Metode ini

berdasarkan pada reaksi antara MDA dengan asam tiobarbiturat dalam suasana

asam membentuk komplek MDA-TBA yang berwarna merah muda, intensitas

warnanya dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 535 nm

(Winarsi, 2003). Pada pengukuran kadar MDA digunakan kurva standar TEP

(tetraetoksi propane).

50

Hasil pengukuran kadar malonaldehida pada konsentrasi C1 berkisar

antara 108.5-141.25 pmol/ml, pada konsentrasi C2 berkisar antara 40.5-59.75

pmol/ml, dan pada konsentrasi C3 berkisar antara 10.5-31.5 pmol/ml. Gambar 20

merupakan hasil pengukuran kadar malonaldehida sampel pada tiga tingkat

konsentrasi. Tren yang terjadi pada pengukuran kadar malonaldehida adalah

dengan meningkatnya tingkat pengenceran maka kadar malonaldehida akan turun.

Gambar 20. Kadar malonaldehida pada ekstrak tulang

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa kisaran kadar

malonaldehida tertinggi terdapat pada tulang B, yaitu 31.5 pmol/ml pada

konsentrasi C3 dan 141.25 pmol/ml pada konsentrasi C1, sedangkan kisaran kadar

malonaldehida terendah terdapat pada tulang A dengan kadar malonaldehida

sebesar 10.5 pmol/ml pada konsentrasi C3 dan 108.5 pada konsentrasi C1.

Berdasarkan analisis statistik menggunakan uji ANOVA, tidak terjadi

perbedaan yang nyata (p>0.05) antara kadar malonaldehida tulang A dengan

tulang noniradiasi maupun tulang B dengan tulang noniradiasi.

Data mengenai pengukuran kadar malonaldehida pada produk ikan siap

saji yang mengalami proses γ-iradiasi pada dosis tinggi sangat terbatas. Namun

sebagai perbandingan ditemukan data mengenai hasil pengukuran kadar

51

malonaldehida (mg/kg) pada sampel ikan Sea Bream yang mengalami perlakuan

γ-iradiasi pada dosis rendah yaitu 1 kGy dan 3 kGy. Penelitian ini dilakukan oleh

Chouliara et al. (2005), menunjukkan bahwa selama masa simpan selama 21 hari,

kadar malonaldehida sampel meningkat. Pada awal masa penyimpanan, rata-rata

sampel memiliki kadar malonaldehida sebesar 0.5-0.6 mg/kg sampel dan di akhir

masa penyimpanan tulang noniradiasi memiliki konsentrasi sebesar 4.9 mg/kg,

sampel iradiasi 1 kGy memiliki konsentrasi sebesar 5.2 mg/kg, dan sampel

iradiasi 3 kGy memiliki konsentrasi sebesar 6.8 mg/kg (Chouliara et al., 2005).

Rao et al. (2005) menyatakan bahwa sampel kabab dan bacon yang

mengalami perlakuan non iradiasi memilliki bilangan TBA yang lebih rendah dari

sampel kabab dan bacon yang diiradiasi. Berdasarkan pernyataan tersebut secara

tidak langsung dapat dikatakan bahwa reaksi peroksidasi lemak yang terjadi pada

bahan yang diiradiasi lebih besar dibandingkan dengan bahan yang tidak

diiradiasi. Hal ini sesuai dengan tulang B apabila dibandingkan dengan tulang

noniradiasi, akan tetapi tidak sama trennya dengan tulang A, dimana tulang A

memiliki kadar malonaldehida yang lebih tinggi dibandingkan tulang noniradiasi.

Fenomena yang terjadi pada sampel A diduga karena pengaruh umur simpan dari

tulang A, tulang A memiliki umur simpan di atas dua tahun, sehingga

kemungkinan senyawa malonaldehida telah terdegradasi.

Menurut Karadag dan Gunes (2008), penggunaan antioksidan, bumbu, dan

rempah pada produk juga dapat menghambat oksidasi lipid pada produk. Pada

produk pepes ikan mas digunakan berbagai macam bumbu dan rempah yang

mengandung berbagai komponen bioaktif yang dapat berfungsi sebagai

antioksidan dan menurunkan oksidasi lipid akibat proses iradiasi sehingga kadar

malonaldehida pada produk pepes iradiasi masih dapat diterima dan dianggap

tidak berbahaya.