patofis, gejala klinis, diagnosa
DESCRIPTION
PenjelasanTRANSCRIPT
1.2 MORBUS HANSEN
1.2.4 PATOGENESIS
Patogenesis yang menyebabkan kerusakan jaringan disebabkan oleh empat prinsip yang
menyebabkan kerusakan jaringan.(1)
1.2.1 Derajat ekspresi CMI (cell mediated immunity) Lepromatous leprosi terjadi karena
kegagalan CMI spesifik melawan M. leprae yang mengakibatkan multifikasi bakteri,
penyebaran dan akumulasi bakteri dari antigen serta menyerang jaringan lunak.
Ketidakaktifan dari lymphocite dan macrofage menandakan bahwa kerusakan jaringan
saraf perifer lambat dan memiliki onset yang gradual. Sedangkan pada tuberkuloid
leprosy, CMI berekspresi dengan kuat, sehingga infeksi terbatas pada sebagian bagian
kulit dan persarafan perifer. Infiltrasi limfosit yang cepat menyebabkan kerusakan
saraf. Antara kedua bentuk tipe terletak bentuk batas penyakit, yang mencerminkan
keseimbangan antara CMI dan bakteri.
1.2.2 Tingkat luasnya infeksi dan multifikasi bakteri. Pada lepromatous leprosi,
penyebaran secara hematogen telah terjadi. Basil menyebar mulai dari lokasi
superfisial, termasuk mata, mukosa saluran pernafasan bagian atas, testis, otot- otot
halus, tulang pada tangan, kaki dan wajah, dan juga persarafan perifer dan kulit. Pada
tuberkuloid leprosy, multifikasi basil terbatas penyebarannya pada wilayah yang tidak
luas dan basil tidak dapat dengan mudah ditemukan.
1.2.3 Kerusakan jaringan yang diakibatkan proses imunologis : reaksi kusta Pada pasien
dengan tipe borderline (BT,BB,BL) imunologis pasien tidak stabil dan beresiko
terjadinya respon reaksi imunomediasi. Pada reaksi type 1 terjadi penundaan reaksi
hipersensitifitas yang disebabkan oleh meningkatnya paparan dari antigen M. leprae
pada kulit dan jaringan persarafan. Pada reaksi type 2, erithema nodusum leprosum
tejadi karena adanya imun komplek deposisi dan sering terjadi pada pasien type BL
dan LL yang memproduksi antibodi dan memiliki antigen yang kuat.
1.2.4 Kerusakan persarafan dan komplikasinya. Kerusakan persarafan terjadi pada lesi
kulit, serabut saraf sensorik dan otonom yang mensuplai dermal serta subkutan
mengalami kerusakan. Kerusakan pada persarafan ini akan mengakibatkan kehilangan
sensasi sensorik dan hilangnya ekskresi keringat pada area lesi. Ujung saraf perifer
rentan karena letak mereka di superfisial ataupun pada fibro-osseus tunnel. Karena hal
ini, peningkatan diameter dari persarafan akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intra neural. Akibatnya akan terjadi kompresi neural yang mengakibatkan iskemik.
Kerusakan pada persarafan perifer akan memberikan tanda-tanda hilangnya rasa
sensoris berdasarkan dermatom dan hilangnya fungsi motorik yang dipersarafi oleh
persarafan yang rusak tersebut. Bukti fisiologis keterlibatan saraf otonom pusat dan
perifer juga telah dilaporkan.
Kerusakan persarafan menyebabkan timbulnya anastesia, kelemahan otot dan kontraktur
serta disfungsi autonomik. Hal ini akan memudahkan terjadinya trauma, terbentur, luka,
terbakar, terpotong, yang akhirnya akan menjadi nekrosis jaringan karena trauma yang terjadi
terus-menerus yang akan menjadi ulserasi, secondary selulitis, dan osteomielitis serta
hilangnya jaringan lunak pada akhirnya akan berakhir pada kecacatan.1
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan
bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem
imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya
setelah kuman di fagosit, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak
aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera
di atasi akan terjadi rekasi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf
dan jaringan sekitarnya.4
Sel schawn merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di samping itu sel
Schwann berfungsi sebagai demielinasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi
bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan
beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan yang
progesif.4
1.2.5 Manifestasi klinis
Lesi awal dan gejala yang muncul
Gejala prodromal sangat jarang dan penyakit ini diidentifikasi hingga munculnya
suatu erupsi pada kulit. Manifestasi klinis pertama pada 90% pasien adalah mati rasa, dan
mungkin terjadi beberapa tahun sebelum lesi pada kulit dan tanda-tanda lainnya di temukan.
Awalnya akan terjadi perubahan sensitifitas sensorik terhadap suhu dan raba ringan, paling
sering terjadi di tangan dan kaki. Kehilangan kemampuan membedakan panas dan dingin
terjadi lebih awal dari pada sensibilitas terhadap benda tajam. Gejala tanda-tanda kerusakan
pada saraf dan intensitasnya tergantung pada jenis kusta yang dialami.3
Pasien sering datang dengan gejala gangguan pada saraf: yaitu kelemahan atau anestesi
karena lesi yang menyerang saraf perifer, atau melepuh, terbakar atau ulkus di tangan dan
kaki yang mengalami anestesi. Pada pasien dengan tipe borderline mungkin tampak reaksi
dengan nyeri saraf, tiba-tiba palsy, beberapa lesi baru pada kulit, nyeri pada mata, atau
demam sistemik.1
Lesi yang pertama kali muncul biasanya adalah berkurangnya sensasi sensorik pada
kulit, atau lesi kulit terlihat. Lesi yang awal kali muncul, berdasarkan survei, merupakan
kusta indeterminate, yang paling sering ditemukan pada wajah, permukaan ekstremitas,
pantat atau badan. Pada daerah Kulit kepala, ketiak, lipatan paha dan kulit daerah pinggang
cenderung aman dari lesi. Lesi indeterminate terdiri dari satu atau lebih dengan sedikit
hipopigmentasi atau makula eritematosa, dengan diameter beberapa sentimeter, dengan batas
yang tidak tegas. Pertumbuhan rambut dan fungsi saraf tidak terganggu. Biopsi dapat
menunjukkan infiltrasi perineurovascular, dan bila dilakukan pemeriksaan yang
berkelanjutan akan ditemukan sedikit BTA.1 atau bahkan tidak didapatkan BTA.3
Tuberkuloid Leprosy (TT)
Lesi tuberkuloid yang tunggal atau sedikit jumlahnya (lima atau kurang) dan distribusi
yang asimetris. Lesi dapat hipopigmentasi atau eritematosa, dan biasanya kering, bersisik,
dan rambut yang rontok. Lesi khas kusta tuberkuloid besar, disertai plaque eritematosa
dengan batas jelas dengan bagian tepi yang meninggi dan didapatkan central healing.
Predileksi tersering adalah wajah, tungkai, atau tubuh. Sedangkan bagian yang tidak
didapatkan lesi pada kulit kepala, ketiak, selangkangan, dan perineum.3
Lesi pada kulit yang tampak berupa plak yang mencolok (berbeda warna dengan kulit
sekitarnya), eritematosa, copper coloured atau ungu, tampak peninggian pada tepi lesi dan
hipopigmentasi pada tengah lesi. Eritema mungkin tidak tampak pada pasien dengan kulit
yang lebih gelap. Gangguan sensorik sulit di temukan pada wajah dikarenakan banyaknya
suplai dari ujung saraf sensorik. Jika pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan
menggunakan jari, di bagian luar, maka akan teraba saraf yang menebal di sekitarnya,
misalnya nervus ulnaris menebal jika terdapat lesi di lengan. Umumnya didapatkan
efloresensi makula pada lesi, erythematous di kulit yang cerah dan hipopigmentasi (tidak
pernah depigmentasi) di kulit gelap.1
Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi ini menyerupai tipe TT kecuali bahwa lesi lebih kecil dan jumlah lesi yang lebih
banyak. Terdapat satelitlesi disekitar makula yang besar dan plaques.3 gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya
gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya
ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal. Terdapat lebih sedikit rambut rontok.4
Mid borderline (BB)
Dalam kusta borderline, lesi kulit banyak (tapi masih dapat dihitung) dan merah, plak
berbentuk tidak teratur. Lesi satelit kecil dapat mengelilingi plak lebih besar. Tepi lesi susah
digolongkan sehingga lebih condong di tipe tuberkuloid. nerves mungkin menebal dan nyeri,
anestesi hanya sedang pada lesi.3
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta.
Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berupa lesi
yang infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi
yang melebihi BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk,
ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan cirri khas tipe ini.
Pemeriksaan bakteriologis ditemukan sejumlah bakteri, reaksi lepromin biasanya negatif, lesi
merah dan bentuk ireguler, lesi satelit kecil mungkin tampak, mungkin terdapat regional
adenopathy.8
Borderline lepromatous leprosy
Dalam kusta tipe borderline lepromatosa, lesi simetris, banyak (terlalu banyak untuk
dihitung), dan mungkin termasuk makula, papula, plak, dan nodul. Kemudian saraf mulai
terkena, nervus yang membesar, nyeri, atau keduanya, dan biasanya simetris. Hilangnya
sensasi dan berkeringat lebih lesi individual adalah normal. Pasien biasanya tidak
menunjukkan gambaran fullblown kusta lepromatosa, seperti madarosis (hilangnya rambut
alis), keratitis, ulserasi hidung, dan leonine facies.3
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya.
Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir
simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah
sering tampak normal dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandigkan dengan tipe LL. Penebalan
saraf dapat teraba pada tempat predileksi.4
Lepromatous leprosy
Lesi kusta lepromatous berupa makula yang menyebar dan simetris tersebar ke seluruh
tubuh. Makula tuberkuloid bentuknya besar dan sedikit jumlahnya, sedangkan makula
lepromatosa berbentuk kecil dan banyak. Makula lepromatosa yang tidak jelas, menunjukkan
tidak ada perubahan dalam tekstur kulit, dan samar dengan kulit di sekitarnya. Ada sedikit
anastesi atau mungkin tidak ditemukannya anastesi pada lesi, tidak ada penebalan saraf, dan
tidak didapatkan gangguan berkeringat. Hilangnya rambut secara lambat namun progesif
terjadi pada sepertiga bagian luar alis, kemudian bulu mata, dan akhirnya, tubuh, namun,
rambut kulit kepala biasanya tidak terkena.3
Infiltrasi lepromatosa dapat dibagi menjadi diffuse, plak, dan nodular (Gambar 2.8). Jenis
diffuse ditandai dengan perkembangan infiltrasi diffuse di wajah, terutama dahi, madarosis,
dan kulit yang mengkilap dan seperti lilin, kadang-kadang digambarkan seperti tampilan yang
dipernis (varnished).3
Infiltrasi dapat bermanifestasi dengan perkembangan nodul yang disebut lepromas.
Nodul awal yang tidak jelas dan paling sering terjadi di bagian acral : telinga (Gambar 2.9) ,
alis, hidung, dagu, siku, tangan, pantat, atau lutut. Kerusakan nervus juga terjadi pada
lepromatous kusta, namun berkembang dengan lambat. Seperti lesi kulit, kerusakan saraf
terjadi bilateral simetris, biasanya dalam bentuk stocking-glove. Ini sering salah didiagnosis
sebagai neuropati diabetes di AS.3
Gejala klinis awal berupa kulit (karena kerusakan nervus biasanya tanpa gejala), tetapi
terjadi tanpa disadari oleh pasien, yang sering mengeluhkan gejala klinis yang lain, di
antaranya hidung buntu dan epistaksis, dan edema kaki dan pergelangan kaki karena
peningkatan stasis kapiler dan permeabilitas. Tanda-tanda kulit terdiri dari makula, berdifusi
papula, infi ltration atau nodul, atau keempat-empatnya. Makula kecil, multiple, eritematosa
atau agak hipopigmentasi, dengan tepi kabur dan permukaan mengkilap. Papula dan nodul
biasanya memiliki warna yang sama dengan kulit normal, tetapi kadang-kadang eritematosa,
dengan distribusi bilateral simetris pada wajah, lengan, kaki dan pantat, mungkin terdapat di
mana saja selain di rambut kulit kepala, aksila, lipat paha dan perineum (daerah kulit dengan
suhu yang tinggi). Pada lesi tidak didapatkan gangguan pertumbuhan rambut dan sensasi.
Lesi mukosa mulut berupa papules pada bibir dan nodul pada palatum (mungkin terjaadi
perforasi), uvula, lidah dan gusi. Mukosa hidung tampak hiperemi atau ulserasi dan mudah
berdarah, epistaksis umum terjadi.1
Saraf sensoris yang terpanjang yang akan pertama kali terkena, menyebabkan mati rasa
dan anestesi pada permukaan dorsal tangan dan kaki, dan kemudian pada permukaan
ekstensor lengan dan kaki, dan akhirnya berakhir di tubuh. Infiltrasi saraf kornea
menyebabkan anestesi, yang menjadi predisposisi cedera, infeksi dan kebutaan jika terdapat
lagophthalmos karena terjadi kerusakan saraf wajah. Tangan dan kaki membengkak dan
dapat terjadi edema. Pada radiografi mungkin didapatkan osteoporosis di falang, kista
osteolitik kecil dan fraktur kompresi. Jari-jari terlihat menjadi bengkok atau pendek. Kuku
menjadi tipis dan rapuh.1
Jika pasien tetap tidak diobati maka garis dahi menjadi lebih tebal dan mengental (facies
leonine), alis dan bulu mata menjadi menipis atau hilang (madarosis), lobus telinga menebal,
hidung menjadi cacat, dan dapat terjadi deformitas hidung karena perforasi pada septum, dan
kehilangan tulang hidung bagian depan.1 Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer
mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot
tangan dan kaki.
Gambaran klinis ogan tubuh lain yang dapat diserang yaitu: mata berupa iritis,
iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan. Dan hidung: epistaksis, hidung pelana. Tulang
dan sendi: aborsi, mutilasi, arthritis. Lidah: Ulkus dan nodus. Larings: suara parau. Testis:
ginekomasti, epididimitis akut, orkhitis, atrofi. Kelenjar limfe : limfadenitis. Rambut:
alopesia, madarosis. Ginjal: glumerulonefritis, Amioloidoisis ginjal, pielonefritis, nefritis
interstitial.(8)
Kerusakan pada saraf
Dari ketiga fungsi fisiologis saraf, komponen sensorik adalah yang pertama dan yang
paling parah terkena dampaknya, tapi terkadang didapatkan lesi murni pada motorik.
Disfungsi otonom akan selalu muncul dengan kerusakan saraf yang parah. Dalam lesi kulit
ini terkait dengan hilangnya pertumbuhan rambut, dan kelenjar sebasea dan sekresi keringat,
dan minimnya pembentukan pigmen. Di tungkai akan menyebabkan statisnya kapiler,
sianosis dan kekeringan, yang menyebabkan rentan terhadap kulit yang pecah-pecah. Dua
penelitian kohort besar dengan pemeriksaan saraf sistematis menunjukkan bahwa saraf
tibialis posterior adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh ulnaris, median, poplitea
lateral dan wajah. Lesi pada nervus ulnaris dan nervus median biasanya rendah/sedikit, yang
menyebabkan pengecilan otot tapi kelemahan fleksor tidak mendalam, dan anestesi dari dua
bagian tangan. Umumnya lesi pada saraf peroneal menyebabkan kesulitan dalam dorsofleksi
dan eversi kaki dan anestesi pada bagian luar kaki, sebuah kombinasi yang merupakan
predisposisi trauma dan ulserasi plantar. Kerusakan saraf tibialis posterior termasuk hal yang
serius karena menyebabkan kelumpuhan dan kontraktur otot-otot kecil kaki dan anestesi dari
telapak kaki.1
Kuman M.leprae sering menyerang saraf tepi yang terletak superfisial dengan suhu yang
relative dingin. Saraf tepi yang dapat terserang akan menunjukkan berbagai kelainan yaitu: N.
Fasialis (lagoptalmus, mulut, mencong), N. Trigeminus (anestesi kornea), N. auricularis
magnus, N. Radialis (drop wrist), N. Ulnaris (anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V
dan sebagaian jari IV), N.Medianus (anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I,II,III dan
sebagaian IV), kerusakan nervus ulnaris dan nervus medianus menyebabkan jari kiting (clow
toes) dan tangan cakar (claw hand), N. peroneus komunis (droop foot). N. tibialis posterior
(mati rasa telapak kaki dan jari kitting (Claw toes).4
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri
atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis,
N. Aurikularis magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. poplitea lateralis, dan N.
tibialis posterior. Tampaknya mudah, tetapi memerlukan latihan dan kebiasaan untuk
memeriksanya. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan
menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti
tempat lesinya.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma
yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan
keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan saraf:
N. ulnaris :
Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
Clawing kelingking dan jari manis
Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial
N. medianus :
Anesthesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Ibu jari kontraktur
Atrofi otot tenar dan kedau otot lumbrikalis lateral
N. radialis :
Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
Tangan gantung (wrist drop)
Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. poplitea laeralis :
Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
Kaki gantung (foot drop)
Kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior
Anesthesia telapak kaki
Claw toes
Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis
N. fasialis
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir
N. trigeminus
Anesthesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis
palpebrarum sebagaian atau seleruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri –sendiri atau bergabung
akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang
terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit
kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus
testis.2
1.2.6 Diagnosa
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow
dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut. Sel
virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai tempat berkembangbiak dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR.
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.
leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi
Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan
kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti
mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.2