bab ii kajian pustaka 2.1 aspek klinis dan epidemiologi ... ii.pdf2. diagnosa tb paru pada orang...

27
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Klinis dan Epidemiologi Tuberkulosis (TB) Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Paru-paru merupakan organ yang seringkali terserang kuman TB namun terdapat beberapa bagian tubuh lain yang juga dapat diserang seperti ginjal, tulang belakang, dan otak. Menurut Centers for Disease Control and Preventive (CDC) dan WHO, penularan TB dari orang ke orang dapat melalui udara yang terkontaminasi kuman TB oleh penderita TB dengan cara bersin, batuk, berbicara atau bernyanyi. Orang yang berdekatan dengan kondisi tersebut berpotensi menghirup kuman TB sehingga terinfeksi kuman TB hanya saja tidak setiap orang yang terinfeksi kuman TB menjadi sakit TB. Akibat hal tersebut dikenal dua macam kondisi terkait TB yaitu infeksi TB laten dan penyakit TB. Sedangkan berdasarkan Kemenkes RI (2011) penularan TB tergantung dari kondisi ruangan tempat udara terkontaminasi kuman TB, lamanya kuman TB berada dalam suatu ruangan, derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak penderita, dan konsentrasi kuman TB di udara serta lamanya menghirup udara. Di sisi lain TB tidak ditularkan melalui bersalaman, berbagi makanan atau minuman, menyentuh seprai atau kursi toilet, berbagi sikat gigi, dan berciuman (CDC, 2014). 2.1.1 Diagnosa tuberkulosis (TB) Diagnosa penyakit TB yang digunakan di Indonesia dilakukan berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang dibedakan sesuai dengan

Upload: dinhphuc

Post on 07-Jul-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Aspek Klinis dan Epidemiologi Tuberkulosis (TB)

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Paru-paru merupakan

organ yang seringkali terserang kuman TB namun terdapat beberapa bagian tubuh

lain yang juga dapat diserang seperti ginjal, tulang belakang, dan otak. Menurut

Centers for Disease Control and Preventive (CDC) dan WHO, penularan TB dari

orang ke orang dapat melalui udara yang terkontaminasi kuman TB oleh penderita

TB dengan cara bersin, batuk, berbicara atau bernyanyi. Orang yang berdekatan

dengan kondisi tersebut berpotensi menghirup kuman TB sehingga terinfeksi

kuman TB hanya saja tidak setiap orang yang terinfeksi kuman TB menjadi sakit

TB. Akibat hal tersebut dikenal dua macam kondisi terkait TB yaitu infeksi TB

laten dan penyakit TB. Sedangkan berdasarkan Kemenkes RI (2011) penularan

TB tergantung dari kondisi ruangan tempat udara terkontaminasi kuman TB,

lamanya kuman TB berada dalam suatu ruangan, derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak penderita, dan konsentrasi kuman TB di udara serta lamanya

menghirup udara. Di sisi lain TB tidak ditularkan melalui bersalaman, berbagi

makanan atau minuman, menyentuh seprai atau kursi toilet, berbagi sikat gigi, dan

berciuman (CDC, 2014).

2.1.1 Diagnosa tuberkulosis (TB)

Diagnosa penyakit TB yang digunakan di Indonesia dilakukan berdasarkan

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang dibedakan sesuai dengan

10

letak penyakit TB. Beberapa kriteria diagnosa penyakit TB adalah sebagai berikut.

a. Diagnosa TB paru

1. Seluruh suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam kurun waktu 2 hari

yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).

2. Diagnosa TB paru pada orang dewasa ditetapkan dengan penemuan kuman

TB. Menurut program TB nasional, pemeriksaan dahak mikroskopis untuk

penemuan BTA adalah diagnosa utama. Pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

diagnosa sepanjang sesuai dengan indikasinya.

3. Diagnosa TB tidak diperbolehkan hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran khas

keberadaan TB paru sehingga sering terjadi overdiagnosa.

b. Diagnosa TB ekstra paru

1. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, seperti kaku

kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis),

pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan

deformatis tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

2. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis atau

histopatologis yang diambil dari jaringan tubuh.

c. Diagnosa TB pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Pada ODHA kriteria diagnosa TB paru dan TB ekstra ditegakkan sebagai

berikut:

11

1. TB paru BTA positif ditegakkan apabila minimal satu hasil pemeriksaan

dahak positif

2. TB paru BTA negatif ditegakkan apabila hasil pemeriksaan dahak negatif

dan gambaran klinis dan radiologis mendukung TB atau BTA negatif dari

hasil kultur TB positif.

3. TB ekstra paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis

bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang

terkena.

Gambar 2.1

Alur Diagnosa TB Paru (Kemenkes, 2011)

12

2.1.2 Pengobatan TB

Secara umum tujuan pengobatan Tuberkulosis (TB) antara lain

penyembuhan pasien serta mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas,

pencegahan kematian, pencegahan kekambuhan, pemutusan rantai penularan,

serta pencegahan timbulnya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis

(OAT) dan penularannya (Kemenkes RI, 2011; TB Fact.org, 2014). Panduan

pengobatan TB yang berlaku di dunia dan Indonesia saat ini disebut dengan

DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy). DOTS

merupakan strategi yang ditetapkan oleh WHO yang bertujuan untuk mencapai

angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping

OAT, serta mencegah resistensi kuman akibat ketidakpatuhan.

Prinsip-prinsip yang diterapkan pada pengobatan TB menurut Kemenkes

dan TB Facts yaitu: 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa

jenis obat dalam jumlah yang cukup serta dosis yang sesuai dengan kategori

pengobatan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat; 2) jangan

menambahkan OAT tunggal (monoterapi); 3) pengobatan dilakukan di bawah

pengawasan langsung dengan pemilihan seorang Pengawas Minum Obat (PMO)

untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat; 4) kepatuhan terhadap

pengobatan TB menjadi tanggung jawab dokter yang merawat serta pasien; 5)

pengobatan dilakukan dalam dua fase yaitu intensif dan lanjutan.

1. Fase intensif

Pengobatan fase intensif merupakan bagian awal dari prosedur pengobatan

TB. Pengobatan fase intensif berlangsung dua bulan untuk pasien dengan OAT

13

kategori satu dan tiga bulan untuk pasien dengan OAT kategori dua. Pengobatan

dua bulan pertama pada pasien dengan kategori satu pada fase intensif bertujuan

untuk mencapai angka konversi pada fase awal, mencegah terjadinya resistensi

obat, dan membuat pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu

(Kemenkes RI, 2011). Pengobatan fase intensif perlu diperhatikan agar berjalan

sesuai dengan prosedur karena ketidaktepatan pelaksanaan pengobatan fase

intensif termasuk ketidakteraturan minum obat dapat berdampak pada kegagalan

konversi di akhir pengobatan fase intensif serta timbulnya masalah TB-MDR.

2. Fase lanjutan

Pasien yang telah menyelesaikan fase intensif akan diberikan pengobatan

fase lanjutan selama empat bulan. Pada fase lanjutan pasien akan mendapat obat

yang lebih sedikit dibandingkan dengan fase intensif namun dalam jangka waktu

pengobatan yang lebih panjang. Pada fase ini pemberian isoniasid dan rifampisin

tetap diberikan selama empat bulan. Pengobatan pada fase lanjutan bertujuan

untuk membunuh kuman persister dengan maksud mencegah kekambuhan

(Kemenkes RI, 2011).

2.1.3 Ketidakteraturan minum obat

Secara program TB ketidakteraturan minum obat didefinisikan sebagai

ketidaksesuaian seorang pasien dalam mengikuti jadwal pengobatan yang telah

ditentukan. Pasien TB seharusnya mengikuti ketentuan tersebut agar mendapat

hasil pengobatan yang optimal. Ketidakteraturan minum obat pada pasien TB

seharusnya tidak terjadi apabila keberadaan pengawas minum obat (PMO) dan

pemegang program TB membimbing secara penuh. Perilaku minum obat yang

14

tidak teratur akan mempersulit kesembuhan terhadap suatu penyakit (Hapsari,

2010).

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengenai ketidakteraturan

minum obat TB memiliki definisi yang berbeda-beda dan memakai istilah lain

seperti kepatuhan. Definisi pada penelitian tersebut yaitu sebagai berikut.

Tabel 2.1

Definisi Ketidakteraturan Minum Obat Beberapa Penelitian

No Penelitian Nama Variabel Definisi

1 2 3 4

1 Simamoro (2004) Tidak teratur Penderita dikatakan tidak teratur

jika penderita pernah terlambat/lalai

mengambil obat/minum obat lebih

dari 2 hari pada masa pengobatan

intensif dan lebih dari 1 minggu

pada masa fase lanjutan serta tidak

melakukan pemeriksaan sputum

ulang pada akhir bulan ke-2 dan ke-

5.

2 Hapsari (2010) Ketidakteraturan

berobat

Pasien yang selama periode

pengobatan terlambat mengambil

OAT 14 hari/lebih (jika

diakumulasikan) atau pasien yang

tidak menyelesaikan pengobatan

(Drop Out). Selain itu pasien

dikatakan tidak teratur jika pasien

tidak minum obat sesuai dengan

dosis yang dianjurkan.

3 Zuliana (2010) Tidak patuh Responden tidak menelan obat

sesuai dengan ketentuan petugas

kesehatan atau responden tidak

menelan obat lebih dari 8 minggu

selama tahap pengobatan lanjutan

dan tidak mengambil obat serta

tidak memeriksakan dahak sesuai

jadwal yang telah ditetapkan dan

tidak menaati nasihat dari petugas

kesehatan.

15

1 2 3 4

4 Jakubowiak et al.

(2009)

Treatment

interruption

Penghentian pengobatan sementara

didefinisikan sebagai segala jenis

penghentian pengobatan paling

sedikit 1 hari namun tidak melebihi

2 bulan berturut-turut.

5 Ibrahim et al.

(2014)

Treatment

interruption

Penghentian pengobatan TB

sementara yaitu setiap pasien yang

kehilangan pengobatan selama 2

hari berturut-turut pada fase intensif.

Hal tersebut juga berlaku untuk

pasien kategori 1 yang kehilangan

pengobatan 14 hari berturut-turut

dan pasien kategori 2 yang

kehilangan pengobatan 2 hari

berturut-turut pada fase lanjutan

pengobatan.

Beberapa penelitian menunjukkan variasi waktu terjadinya

ketidakteraturan minum obat TB yaitu: 1) kebanyakan ketidakteraturan minum

obat terjadi antara bulan kedua dan ketiga masa pengobatan, hal ini bertepatan

dengan perbaikan kondisi klinis pada awal pengobatan (Gupta et.al., 2011); 2)

Penelitian pada pasien TB paru di Rusia menemukan median kejadian

ketidakteraturan minum obat setiap pasien yaitu 2 kali (interval = 2-6 kali). 20%

pasien mengalami ketidakteraturan minum obat pada fase intensif, 67% pada fase

lanjutan, dan 13% pada kedua fase tersebut. Sementara median lama

ketidakteraturan minum obat yaitu 3 minggu (Oblast, 2001); 3)Penelitian yang

dilakukan di Rusia menemukan ketidakteraturan minum obat pada fase intensif

berkisar antara 1–125 hari dan pada fase lanjutan berkisar antara 1-127 hari

(Jakubowiak et al., 2009); 4) Penelitian oleh Ibrahim et al. (2014) menemukan

16

kejadian ketidakteraturan minum obat sebesar 19%; dan 5) Penelitian oleh

Senewe (2002) menemukan ketidakteraturan minum obat sebesar 33%.

2.2 Teori Lawrence Green

Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau

dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni faktor predisposisi (predisposing

factor), faktor yang mendukung (enabling factor), dan faktor yang memperkuat

atau mendorong (reinforcing factor) (Notoatmodjo, 2007). Faktor predisposisi

dapat mencakup pengetahuan, sikap, pendidikan, kepercayaan, keyakinana, dan

nilai-nilai lainnya yang dianut oleh seseorang. Sedangkan faktor pendukung dapat

mencakup sarana, fasilitas, dan akses agar seseorang mau mengubah

perilakunya. Sementara ini faktor penguat dapat berupa sikap dan perilaku petugas

yang menyebabkan seseorang mengadopsi lebih lama suatu perilaku. Perilaku

seseorang terhadap suatu respon atau stimulus dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: 1)

Faktor internal yang mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi,

motivasi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar; 2)

Faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non-fisik seperti

iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Berikut merupakan

gambaran bagan teori perilaku Lawrence Green.

17

Gambar 2.2

Bagan Model PRECEDE Green (1980)

(Sumber: Lawrence W. Green Health Education Planning. A Diagnostic Approach

(1980) dalam (Rahmansyah, 2012)

2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Ketidakteraturan Minum

Obat Tuberkulosis (TB)

Beberapa penelitian terkait faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan

minum obat TB dilakuakan di luar negeri dan beberapa telah dilakukan di

Indonesia. Terdapat faktor yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan minum

obat TB dan tidak berpengaruh terhadap ketidakteraturan minum obat TB. Berikut

adalah hasil analisis penelitian terkait ketidakteraturan minum obat TB.

Predisposing Factor:

Pengetahuan

Sikap

Nilai

Persepsi

Variabel demografi

Enabling Factor:

Ketersediaan fasilitas

Keterjangkauan fasilitas

kesehatan

Keterampilan petugas

kesehatan

Reinforcing Factor :

Sikap dan perilaku petugas

kesehatan, keluarga,

teman,guru, tokoh

masyarakat

PERILAKU

18

2.3.1 Faktor Sosiodemografi

1. Umur

Penyakit paru lebih sering ditemukan pada golongan usia produktif. Hal

ini menyebabkan tingginya kejadian TB pada kelompok produktif dapat

menurunkan kualitas kehidupan seseorang yang seharusnya berada pada masa

produktif. Beberapa penelitian mendapatkan hasil peningkatan umur memiliki

kecenderungan untuk mengalami ketidakteraturan minum obat. Hal ini

dikarenakan umur yang lebih tua membutuhkan dukungan tambahan untuk

mengakses pengobatan TB (Wu et.al., 2009). Hal tersebut tentu membatasi

kemampuan pasien untuk datang mengambil obat secara teratur di Puskesmas.

Beberapa penelitian mendapatkan kelompok umur beragam untuk

cenderung mengalami ketidakteraturan minum obat diantaranya yaitu : 1)

Simamoro (2004) menunjukkan ketidakteraturan (tidak datang ≥ 2 hari)

pengobatan lebih banyak terjadi pada umur 41-60 tahun dengan persentase

mencapai 41,3%; 2) Gupta et al. (2011) menemukan ketidakteraturan terbanyak

terjadi pada kelompok umur 25-44 tahun (57%); 3) penelitian di Rusia

menemukan umur 25-50 tahun berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat

pasien TB rawat inap yaitu dengan ORs=1,5–1,7 (Belilovsky et al., 2010); 4)

kelompok umur <50 tahun berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat

dengan RR=1,20 95%CI:1,00-1,04 yang menyertakan pasien default sebagai

outcome (Ahmad dan Velhal, 2014). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh

Ibrahim et al. (2014) menemukan tidak ada hubungan signifikan antara kelompok

19

umur > 35 tahun terhadap ketidakteraturan minum obat (AOR = 0,79 dan 95%

CI: 0,34–1,44).

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin secara tidak langsung berpengaruh terhadap peran sosial

seseorang. Wanita lebih cenderung mencari pelayanan kesehatan dan cenderung

lebih patuh terhadap pengobatan dengan DOTS dibandingkan dengan laki-laki

(Wu et al., 2009). Pendapat berbeda diperoleh dari penelitian di Afrika,

Bangladesh, dan Syria menyatakan bahwa wanita yang telah menikah cenderung

harus meminta ijin kepada suami untuk datang ke layanan kesehatan untuk

berobat TB (Ibrahim et al., 2014).

Hasil penelitian tentang hubungan antara jenis kelamin dengan

ketidakteraturan minum obat TB menunjukkan hal yang berbeda. Beberapa

penelitian mendapatkan hasil sebagai berikut: 1) pada penelitian oleh Gupta et al.

(2011), 77,61% yang mengalami ketidakteraturan minum obat berjenis kelamin

laki-laki; 2) penelitian oleh Ibrahim et al. (2014) menunjukkan jenis kelamin

wanita tidak berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat (AOR = 1,4 dan

95% CI: 0,55–3,47); 3) jenis kelamin laki-laki pada pasien TB rawat inap berisiko

mengalami ketidakteraturan dengan ORs = 1,5–2,3 (Belilovsky et al., 2010); dan

4) jenis kelamin laki-laki berisiko 1,3 kali mengalami ketidakteraturan minum

obat dibandingkan dengan wanita (95% CI: 1,1–1,6) (Connolly et al., 1999); 5)

jenis kelamin laki-laki berisiko mengalami ketidakteraturan minum obat dengan

RR=1,28 95%CI:1,02-1,59 dan p=0,02 (Ahmad dan Velhal, 2014). Sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh Simamoro (2004) menunjukkan bahwa perempuan

20

cenderung mengalami ketidakteraturan (tidak datang ≥ 2 hari) pengobatan

dibandingkan laki-laki dengan persentase 62,3%.

3. Pekerjaan

Beberapa penelitian ketidakteraturan minum obat TB meneliti tentang

pekerjaan pasien hanya saja belum diperoleh penjelasan yang jelas mengenai

pengaruhnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan hasil yang

berbeda.

Jenis pekerjaan pasien ditemukan tidak berhubungan dengan kepatuhan

minum obat yang rendah (p=0,56) pada penelitian oleh Kayigamba et al. (2013)

dengan hasil pelajar dengan OR=0,38 (95% CI: 0,09-1,68) dan wiraswasta dengan

OR=0,92 (95% CI: 0,43-2). Status bekerja pasien TB ditemukan tidak

berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan AOR=1,6 (95%

CI:0,66-3,70) (Ibrahim et al., 2014). Sedangkan status pasien TB rawat inap yang

tidak bekerja berhubungan signifikan terhadap ketidakteraturan minum obat

(ORs=1,1-2,8) (Belilovsky et al., 2010).

4. Pengetahuan pasien

Pengetahuan menjadi salah satu faktor yang berperan dalam mengambil

suatu keputusan. Menurut Notoatmodjo dalam Zuliana (2010), perilaku seseorang

terkait masalah kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan orang tersebut

terhadap masalah kesehatan yang dihadapi. Beberapa penelitian terkait

pengetahuan pasien yaitu: 1) kurangnya pengetahuan pasien tentang durasi minum

obat TB berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan AOR=6,1

(95% CI: 2,8-11,2) (Ibrahim et al., 2014); 2) 61% dari pasien yang tidak teratur

21

berobat memiliki pengetahuan yang kurang mengenai pentingnya melanjutkan

pengobatan (Gupta et al., 2011); 3) Pengetahuan berhubungan dengan

ketidakteraturan minum obat (p=0,004) (Zuliana, 2010).

5. Status pernikahan

Status pernikahan pasien TB berkaitan dengan dukungan sosial yang

diperoleh dari pasangan. Pada beberapa penilitian yang menyertakan status

pernikahan pasien TB tidak melakukan analisis mengenai pengaruh pernikahan

terhadap ketidakteraturan minum obat TB. Penelitian di India menemukan bahwa

72,14% pasien yang mengalami ketidakteraturan memiliki status menikah (Gupta

et al., 2011). Sama halnya dengan penelitian di Indonesia yang menemukan

pasien TB paru yang tidak teratur berobat, 76,67% diantaranya memiliki status

menikah (Hapsari, 2010).

6. Pengalaman berobat pasien

Pengalaman berobat pasien yaitu pengalaman pasien dalam berobat TB

sebelum memulai pengobatan yang ditentukan pada periode penelitian ini

berdasarkan riwayat dan hasil pengobatan seorang pasien TB sebelumnya. Pada

data sekunder pengalaman berobat pasien yang dimaksud tercatat dengan nama

tipe pasien. Tipe pasien yang dikategorikan dalam program tuberkulosis di Bali

yaitu sebagai berikut.

a. Kasus baru

Kasus baru didefinisikan sebagai pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB dengan OAT atau pernah diobati dengan OAT dalam

22

kurun waktu kurang dari empat bulan. Pasien yang dimaksud dapat

memiliki hasil pemeriksaan BTA positif maupun negatif.

b. Kasus yang sebelumnya diobati

Pada tipe pasien yang pernah diobati terdapat beberapa kategori yaitu:

1) Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien yang sebelumnya pernah

mendapatkan pengobatan TB serta telah dinyatakan berstatus sembuh

atau pengobatan lengkap kemudian terdiagnosa kembali dengan

kondisi BTA positif (apusan atau kultur)

2) Kasus setelah putus obat (default) yaitu pasien yang telah mengikuti

pengobatan TB namun mengalami putus obat selama dua bulan atau

lebih dengan hasil pemeriksaan BTA positif.

3) Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien yang pada pengobatan

sebelumnya memiliki hasil pemeriksaan dahak tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama masa

pengobatan.

c. Kasus pindahan (transfer in)

Kasus pindahan didefinisikan sebagai pasien yang dipindahkan pencatatan

pengobatannya ke register lain untuk melanjutkan pengobatan.

d. Kasus lain

Kasus lain pada program TB yaitu kasus-kasus yang tidak memenuhi

kategori di atas misalnya beberapa kondisi berikut.

1) Pasien dengan tidak diketahui dengan jelas riwayat pengobatan

sebelumnya

23

2) Pasien yang pernah mengikuti pengobatan TB namun hasil

pengobatannya tidak diketahui

3) Pasien yang kembali diobati namun dengan hasil pemeriksaan BTA

negatif

Pengalaman pengobatan TB yang tergolong buruk dapat menurunkan

motivasi pasien untuk sembuh ditambah mereka kembali mengalami infeksi TB.

Beberapa penelitian menemukan hasil yang berbeda yaitu: 1) Penderita dengan

tipe pasien kambuh memiliki risiko 18 kali lebih besar mengalami

ketidakteraturan minum obat dengan dibandingkan tipe pasien lainnya (OR =

18,18 dan 95% CI: 2,1–157,4) (Ubaidillah 2001); 2) pasien TB rawat inap yang

mengulang pengobatan berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan

ORs = 1,3–2,5 (Belilovsky et al., 2010) dengan kejadian ketidakteraturan minum

obat 51,2%; 3) proporsi pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat

tertinggi pada pasien baru (66,6%) (Kandel et al., 2014).

2.3.2 Faktor Pelayanan Kesehatan

1. Akses ke pelayanan kesehatan

Seorang pasien TB harus mengikuti berobat ke palayanan kesehatan

minimal selama enam bulan. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menjalani

delapan bulan pengobatan menyebabkan pasien cenderung tidak teratur minum

obat (Ibrahim et al., 2014). Ketersediaan dan akses menjadi hal yang

mempengaruhi seorang pasien TB untuk berobat dalam jangka waktu yang cukup

lama. Beberapa penelitian terkait jarak dan ketersediaan sarana transportasi

terhadap ketidakteraturan minum obat telah dilakukan.

24

Penelitian mengenai jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan

yaitu: 1) Jarak tempat tinggal pasien > 5 km (AOR=11,3 95% CI: 5,7-22,2)

membatasi akses pasien TB ke layanan kesehatan terutama saat menjalani

pengobatan TB fase intensif sehingga pasien harus mengeluarkan biaya perjalanan

(Ibrahim et al., 2014); 2) jarak berhubungan dengan keteraturan minum obat

dengan OR=3,26 (95% CI:1,8-5,89 dan p=0,00001) (Senewe, 2002); 3) Jarak

berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat pada penelitian yang dilakukan

oleh Raharno (2005) di Kabupaten Pekalongan.

Selain jarak, ketersediaan sarana transportasi juga diteliti sebagai salah

satu faktor yang mempengaruhi keteraturan minum obat dengan OR=3,12

(95%CI;1,19-8,14 dan p=0,015) (Senewe, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh

Raharno (2005) juga menemukan bahwa transportasi berpengaruh secara

signifikan terhadap ketidakteraturan berobat pasien TB.

2. Status tempat berobat

Pengobatan TB tergolong pengobatan dengan jangka panjang dimana

pengambilan obat yang teratur menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

keberhasilan pengobatan TB. Sarana dan jenis fasilitas kesehatan tempat pasien

berobat juga berperan dalam mencegah ketidakteraturan minum obat. Pengobatan

TB di Denpasar kini dapat diperoleh di puskesmas, rumah sakit, klinik, maupun di

dokter praktik swasta. Puskesmas di Kota Denpasar berdasarkan penggolangan

dalam program TB dibedakan menjadi dua jenis.

a. Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) merupakan puskesmas yang

memiliki laboratorium yang bertugas membuat sediaan, pewarnaan, serta

25

pemeriksaan dahak. Selain itu puskesmas ini juga menerima rujukan dan

melaksanakan bimbingan kepada puskesmas satelit. Setiap PRM

diharuskan untuk mengikuti uji silang secara berkala di laboratorium

rujukan uji silang di wilayahnya dengan tujuan menjaga mutu eksternal.

b. Puskesmas Satelit (PS) merupakan puskesmas yang memiliki laboratorium

dengan kapasitas pengumpulan dahak, pembuatan sediaan, dan fiksasi

yang kemudian dikirim ke PRM.

Belum banyak penelitian tentang perbedaan ketidakteraturan minum obat

pasien TB pada kedua jenis puskesmas tersebut namun beberapa hasil terkait

fasilitas pelayanan kesehatan dalam penelitian mendapatkan hasil yang bervariasi

yaitu: 1) 184 (56,27%) ketidakteraturan minum obat terjadi dari pasien yang

resepnya bersumber dari praktisi swasta (Gupta et al., 2011); 2) 121 (47,5%)

ketidakteraturan pasien TB berobat terjadi di puskemas pada penelitian di sebuah

distrik di Afrika Selatan (Kandel et al., 2014); 3) 34,25% ketidakteraturan minum

obat terjadi pada pengobatan dengan DOTS (Gupta et al., 2011).

3. Kualitas obat

Kualitas obat TB yang meningkat menyebabkan gejala umum TB akan

menghilang hanya dalam beberapa minggu pengobatan sehingga pasien yang

memiliki pengetahuan yang kurang akan durasi pengobatan TB cenderung

mengalami ketidakteraturan minum obat (Ibrahim et al., 2014). Mutu obat TB

ditemukan signifikan berhubungan dengan keteraturan minum obat dengan OR=2

(95% CI:1,02-3,9 dan p=0,039) (Senewe, 2002).

26

4. Petugas kesehatan

Aspek petugas kesehatan juga berperan dalam keberhasilan pasien minum

obat TB secara teratur. Baik dari segi kemampuan maupun sikap petugas terhadap

pasien. Pengobatan TB melibatkan interaksi antara pasien dan petugas kesehatan

sehingga sikap petugas kesehatan kepada pasien menjadi salah satu faktor penentu

keberhasilan ataupun kegagalan pengobatan TB (Ibrahim et al., 2014). Petugas

kesehatan yang melayani pasien dengan tidak ramah dan tidak bersahabat

berpotensi menimbulkan ketidakteraturan minum obat pada pasien sebaliknya

pasien yang dirawat dengan penuh cinta dan empati dari petugas kesehatan akan

memberikan keyakinan pada pasien untuk patuh dan setia mengikuti pengobatan

(Ibrahim et al., 2014).

2.3.3 Perilaku berisiko

1. Konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol berlebihan menjadi salah satu kebiasaan yang dapat

merusak kesehatan. Hal serupa juga ditemukan pada pasien TB yang tidak teratur

minum obat TB. Konsumsi alkohol dapat menekan respon imun selain itu orang

yang mengonsumsi alkohol seringkali lupa akan janji mereka untuk berobat ke

rumah sakit (Ibrahim et al., 2014). Beberapa penelitian menemukan hasil yaitu: 1)

49,25% pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat memiliki riwayat

konsumsi alkohol (Gupta et al., 2011); 2) Pasien TB rawat inap yang memiliki

kebiasaan buruk terkait alkohol yang ditemukan berhubungan signifikan dengan

ketikdakteraturan pengobatan (ORs=1,8-4,0) (Belilovsky et al., 2010).

27

2. Merokok

Merokok menjadi kebiasaan buruk yang berdampak terhadap orang yang

merokok dan orang disekitarnya. Merokok dapat merusak paru dan menurunkan

imun adaptif tubuh terhadap pengobatan TB hanya saja mekanisme tersebut

belum diketahui meskipun penelitian di Turki dan Rusia menemukan hubungan

signifikan antara merokok dan dengan ketidakteraturan minum obat (Ibrahim et

al., 2014). Sebuah penelitian di India menemukan 57,71% pasien yang mengalami

ketidakteraturan minum obat merupakan perokok (Gupta et al., 2011). Pada

penelitian oleh Ibrahim et al., (2014) ditemukan hubungan bermakna antara

kebiasaan merokok dengan ketidakteraturan minum obat (AOR=3,4 dan 95% CI:

1,5-8,0).

2.3.4 Kondisi Klinis Pasien

1. Jenis infeksi tuberkulosis (TB)

Pada program TB, klasifikasi penyakit TB dibedakan menjadi dua yaitu

TB paru dan TB ekstra paru yang disesuaikan dengan organ tubuh yang terserang

kuman TB. Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TB yaitu: 1) TB

paru didefinisikan sebagai tuberkulosis yang menginfeksi jaringan (parenkim)

paru tidak termasuk selaput paru dan kelenjar pada hilus; 2) TB ekstra paru

didefinisikan sebagai TB yang menginfeksi organ tubuh selain paru seperti selaput

otak, pleura, kelenjar lymfe, selaput jantung, persendian, kulit, tulang, usus,

saluran kencing, dan lain-lain. Khusus untuk pasien dengan kedua infeksi di atas

maka secara pencatatan akan diklasifikasikan sebagai TB paru.

28

Tidak banyak penelitian mengenai hubungan antara jenis infeksi TB

terhadap ketidakteraturan minum obat namun penelitian yang pernah dilakukan

memperoleh hasil yaitu: 1) penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim et al (2014)

menemukan kejadian ketidakteraturan pada pasien TB paru sebesar 71 (19%); 2)

Senewe (2002) menemukan ketidakteraturan minum obat TB pada pasien TB paru

lebih besar yaitu 33%; 3) tidak ada perbedaan kepatuhan minum obat TB

berdasarkan klasifikasi infeksi TB (p=0,16) (Kayigamba et al., 2013); 4) jenis

infeksi TB paru pada analisis bivariat ditemukan sebagai faktor risiko

ketidakteraturan minum obat dengan ORs=2,8-5,1 namun tidak terbukti dalam

analisis multivariat (Belilovsky et al., 2010).

2. Hasil Pemeriksaan Dahak

Hasil pemeriksaan dahak sebelum pasien memutuskan untuk mengikuti

pengobatan penting untuk mengetahui tingkat potensi penularan TB oleh pasien

tersebut dan menggolongkan jenis infeksi TB yang diperiksa. Pasien BTA positif

yang tidak teratur atau gagal dalam menjalani pengobatannya berpotensi untuk

menimbulkan resistensi obat dan berisiko tinggi menularkan hal tersebut ke orang

lain. Definisi tentang klasifikasi pasien TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak

awal secara program TB yaitu.

a. TB paru BTA positif dinyatakan apabila memenuhi kriteria yaitu; 1)

minimal dua dari tiga spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS)

menunjukkan hasil BTA positif; 2) satu spesimen dahak SPS

menunjukkan hasil BTA positif dengan foto toraks dada disertai gambaran

tuberkulosis; 3) satu spesimen dahak SPS menunjukkan hasil BTA positif

29

yang disertai biakan kuman positif; 4) satu atau lebih spesimen dahak SPS

menunjukkan hasil positif setelah tiga spesimen pada pemeriksaan BTA

sebelumnya menunjukkan hasil negatif tanpa ada perbaikan setelah

diberikan antibiotik non-OAT.

b. TB paru BTA negatif dinyatakan apabila kasus tidak memenuhi kriteria

TB paru BTA positif namun memenuhi kriteria berikut: 1) paling tidak

tiga spesimen dahak SPS menunjukkan hasil BTA negatif; 2) foto toraks

abnormal dengan menunjukkan gambaran tuberkulosis; 3) bagi pasien

dengan HIV negatif tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian

antibiotik non-OAT; 4) dipertimbangkan oleh dokter untuk diberikan

pengobatan.

Tidak banyak penelitian tentang hubungan antara hasil pemeriksaan dahak

terhadap ketidakteraturan pengobatan. Namun penelitian yang dilakukan oleh

Ahmad dan Velhal (2014) menunjukkan ketidakteraturan minum obat TB pada

pasien TB baru BTA positif sebesar 71% (199 kasus).

3. Jenis Rejimen Obat

Pengobatan TB dilakukan dengan pemberian obat sedemikian rupa pada

dosis dan waktu tertentu untuk dapat mencapai tujuan pengobatan. Sampai saat ini

lebih dari dua puluh jenis obat digunakan untuk pengobatan TB yang hampir

semuanya dikembangkan beberapa tahun lalu (TB Facts.org, 2014). Obat TB

digunakan dengan dalam berbagai kombinasi dalam berbagai kondisi berbeda. Hal

ini terlihat dari kombinasi obat yang digunakan pada pasien TB baru yang besar

kemungkinan tidak memiliki resistensi terhadap obat TB. Kombinasi-kombinasi

30

dari obat TB yang digunakan dalam pengobatan disebut dengan rejimen atau

panduan OAT.

Secara umum panduan OAT dibedakan menjadi dua yaitu kategori 1 dan

kategori 2. Rejimen kategori 1 diberikan kepada pasien dengan kriteria yaitu: 1)

pasien baru TB paru BTA (Basil Tahan Asam) positif; 2) pasien TB paru BTA

negatif foro toraks positif; 3) pasien TB ekstrak paru; dan 4) pasien dengan

pengobatan TB kurang dari 1 bulan. Lima obat dasar yang digunakan pada

kategori 1 yaitu izoniasid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, dan

streptomycin. Sedangkan rejimen kategori 2 diberikan kepada pasien yang

merupakan kasus kambuh, pasien gagal pada pengobatan sebelumnya, dan pasien

dengan status pengobatan default (putus obat). Jenis obat yang digunakan pada

kategori 2 sama degan kategori 1, hanya saja terdapat perbedaan pada kombinasi

dan dosis obat. Kombinasi dan dosis obat berdasarkan jenis rejimen dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 2.2

Kombinasi dan Dosis OAT KDT Berdasarkan Jenis Rejimen

Jenis

Rejimen

Berat Badan

(kg)

Tahap Intensif

RHZE(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

RH (150/150)

1 2 3 4

Kategori 1 30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

>71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

31

Tabel 2.3

Kombinasi dan Dosis OAT Kombipak Berdasarkan Jenis Rejimen

Jenis

Rejimen/Tahap

Pengobatan

Lama

Pengobatan

Dosis per hari/kali Jumlah

hari

menelan

obat

H

300mg

R

450mg

Z

500mg

E

250mg

E

400mg

S

injeksi

Kategori 1

- Intensif 2 bulan 1 1 3 3 - - 56 kali

- Lanjutan 4 bulan

2 1 - - - - 48 kali

Kategori 2

- Intensif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75gr 56 kali

1 bulan 1 1 3 3 - - 28 kali

- Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60 kali

Banyaknya jenis dan kombinasi obat TB yang digunakan menyebabkan

pengobatan TB lebih berat sebagai akibat efek samping dari masing-masing obat.

Berikut adalah efek samping OAT yang digunakan dalam pengobatan TB di

Indonesia beserta penatalaksanaannya.

1 2 3 4

Jenis

Rejimen

Berat Badan

(kg)

Tahap Intensif

RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

RH (150/150)+E(400)

Selama 56 hari Selama 28 hari

Kategori 2 30-37 2 tablet 4KDT + 500 mg

streptomisin injeksi

2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT+2 tablet

etambutol

38-54 3 tablet 4KDT+750 mg

streptomisin injeksi

3 tablet 4KDT

3 tablet 2KDT+3 tablet

etambutol

55-70 4 tablet 4KDT+1.000

mg streptomisin injeksi

4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT+4 tablet

etambutol

>71 5 tablet 4KDT+ 1.000

mg streptomisin injeksi

5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT+5 tablet

etambutol

32

Tabel 2.4

Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya

Efek Samping Kategori Efek

Samping

Penyebab Penatalaksanaan

1. Tidak ada nafsu makan, mual, sakit

perut

Ringan Rifampicin Semua OAT diminum malam

hari sebelum tidur

2. Nyeri sendi Ringan Pyrazinamide Beri aspirin

3. Kesemutan sampai dengan rasa terbakar

pada kaki

Ringan Izoniasid Beli vitamin B6 (piridoxin) 100

mg per hari

4. Warna kemerahan

pada air seni (urin)

Ringan Rifampicin Tidak perlu diberi apa-apa namun perlu penjelasan kepada

pasien

5. Gatal dan kemerahan

pada kulit

Berat Semua jenis

OAT

Singkirkan kemungkinan lain dapat dilakukan dengan

pemberian anti histamine sambil

diberikan OAT dengan

pengawasan ketat. Apabila tidak hilang maka hentikan OAT dan

lakukan rujukan

6. Tuli Berat Streptomycin Streptomycin dihentikan ganti

dengan ethambutol

7. Gangguan

keseimbangan

Berat Streptomycin Streptomycin dihentikan ganti

dengan ethambutol

8. Ikterus tanpa

penyebab lain

Berat Hampir semua

OAT

Hentikan semua OAT sampai

ikterus hilang

9. Bingung dan muntah-muntah (permulaan

pada ikterus karena

obat)

Berat Hampir semua

OAT

Hentikan semua OAT dan segera

lakukan tes fungsi hati

10. Gangguan

pengelihatan

Berat Ethambutol Hentikan ethambutol

11. Purpura dan renjatan

(syok)

Berat Rifampicin Hentikan rifampicin

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis

Hanya sedikit penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara

jenis rejimen terhadap ketidakteraturan minum obat pasien TB namun beberapa

penelitian menemukan beberapa hal terkait dengan rejimen obat yang diberikan

terhadap ketidakteraturan.

33

Penelitian yang dilakukan oleh Raharno (2005) menunjukkan hubungan

antara efek samping obat terhadap ketidakteraturan minum obat. Beberapa

penelitian serupa mendapatkan hasil yaitu: 1) efek samping obat berpengaruh

terhadap ketidakteraturan minum obat TB dengan OR=6,105, 95% CI:1,503–

24,796, dan p = 0,011 (Simamoro, 2004); 2) 6,9% pasien mengutarakan efek

samping menjadi alasan ketidakteraturan minum obat TB (Kandel et al., 2014).

4. Status HIV

Status HIV sekarang menjadi perhatian pula pada program penanganan TB

secara nasional sehingga dibentuklah program kolaborasi TB-HIV. Adanya

penyakit HIV pada pasien TB akan memberikan beban yang semakin besar

terhadap efek samping dari kedua pengobatan yang diterima sehingga

menyebabkan pasien untuk tidak teratur dalam mengikuti pengobatan TB.

Beberapa penelitian menemukan hasil yang bervariasi. Penelitian yang

dilakukan oleh Sardar et al. (2010) memperoleh prevalensi ketidakpatuhan

berobat TB pada pasien TB-HIV sebesar 40,5% (95% CI:30,5–50,5). Penelitian

lain di Rwandan menemukan bahwa ada hubungan antara infeksi HIV dengan

buruknya kepatuhan pasien TB dalam berobat dengan OR = 1,7 namun hasil ini

tidak bermakna secara statistik (95% CI : 0,97–3,0 dan p=0,06) (Kayigamba et al.,

2013). Sedangkan pasien TB dengan HIV yang tidak dalam program ART

cenderung memiliki kepatuhan yang rendah dalam menjalankan pengobatan TB

(OR = 2,4 dan 95% CI: 1,2–4,6) (Kayigamba et al., 2013). Hal serupa juga

didapat pada penelitian oleh Connolly et al. (1999) di mana status HIV positif

berisiko 1,8 kali mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan status

34

HIV negatif dengan 95% CI: 1,4–2,4. Tidak adanya konseling pada pasien TB-

HIV menjadi salah satu faktor ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan TB

(AOR=47,12, 95% CI: 7,99–195,27) (Sardar et al., 2010). Ketidakpatuhan pasien

TB-HIV tersebut berpotensi menimbulkan ketidakteraturan pada pengobatan TB.

2.3.5 Hubungan Pasien dengan Pengawas Minum Obat (PMO)

Pengawas Minum Obat (PMO) adalah salah satu upaya dalam strategi

DOTS untuk menjamin keberhasilan seorang pasien mengikuti pengobatan TB.

PMO bertugas untuk mengawasi pasien TB menum obat sesuai dengan jadwal.

Adanya PMO seharusnya dapat memberikan dukungan bagi pasien TB untuk

menjalani pengobatan yang tegolong jangka panjang. Penelitian terkait PMO

dengan keberhasilan pengobatan TB ataupun ketidakteraturan minum obat.

Hubungan pasien dengan PMO menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan

dalam menentukan PMO. PMO yang dipilih dari anggota keluarga memiliki

beberapa keuntungan yaitu kondisi dekat dengan pasien sehingga dapat setiap saat

memantau pasien minum obat, tedapat ikatan emosional sehingga penderita

merasa mendapatkan perhatian dari keluarga, dan dapat dipercaya oleh pasien

(Hapsari, 2010).

Beberapa penelitian terkait PMO yang telah dilakukan yaitu: 1) 40,9%

pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat menyatakan bahwa PMO

mereka berasal dari keluarga atau kader desa; 2) penderita yang memiliki PMO

anggota keluarga merupakan faktor protektif dengan OR=0,34 namun tidak

terbukti secara statistik (p=0,13) (Ubaidillah, 2001); 3) penderita dengan PMO

35

yang memiliki kinerja baik berhubungan dengan keteraturan berobat pasien TB

dengan OR=5,23 dan p=0,003 (Hapsari, 2010).