paper minyak akar wangi

22
DEDI FAHROZI 1005105010049 PENDAHULUAN Akar wangi (Vetiveria zizanoides) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang potensial. Tanaman dari famili Gramineae ini telah lama dikenal di Indonesia dan menjadi salah satu komoditas ekspor nonmigas. Rumpun tanaman akar wangi terdiri dari beberapa anak rumpun yang memiliki sejumlah akar-akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai kemerahan (Ketaren 1985 dan Santoso 1993). Tanaman akar wangi dapat menghasilkan minyak yang dikenal dengan minyak akar wangi (vetiver oil) melalui proses penyulingan. Akar wangi adalah bagian dari jenis tanaman minyak yang dapat disuling dan menghasilkan minyak atsiri. Salah satu komoditi ekspor Indonesia, memiliki pangsa pasar tingkat dunia dengan harga cukup menawan. Tanaman akar wangi boleh dianggap tanaman yang “mati tidak hidup pun enggan”. Padahal tidak selamanya bertanam akar wangi akan merugikan, bahkan sebaliknya, tanaman akar wangi merupakan salah satu tanaman yang mampu mendukung upaya pelestarian lingkungan (misalnya menahan erosi). Sementara itu diketahui bahwa nilai ekonomis tanaman akar wangi terletak pada akarnya yaitu sebagai bahan baku penghasil minyak atsiri. Kualitas dan kuantitas minyak akar wangi bergantung dari keadaan tanaman akar wangi itu sendiri dan cara pembudidayaan yang dilakukan oleh petani.

Upload: dedi-fahrezi

Post on 23-Oct-2015

108 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: PAPER Minyak Akar Wangi

DEDI FAHROZI

1005105010049

PENDAHULUAN

Akar wangi (Vetiveria zizanoides) merupakan salah satu tanaman penghasil

minyak atsiri yang potensial. Tanaman dari famili Gramineae ini telah lama dikenal di

Indonesia dan menjadi salah satu komoditas ekspor nonmigas. Rumpun tanaman akar

wangi terdiri dari beberapa anak rumpun yang memiliki sejumlah akar-akar halus,

berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai kemerahan (Ketaren 1985 dan Santoso

1993). Tanaman akar wangi dapat menghasilkan minyak yang dikenal dengan minyak

akar wangi (vetiver oil) melalui proses penyulingan.

Akar wangi adalah bagian dari jenis tanaman minyak yang dapat disuling dan

menghasilkan minyak atsiri. Salah satu komoditi ekspor Indonesia, memiliki pangsa

pasar tingkat dunia dengan harga cukup menawan. Tanaman akar wangi boleh dianggap

tanaman yang “mati tidak hidup pun enggan”. Padahal tidak selamanya bertanam akar

wangi akan merugikan, bahkan sebaliknya, tanaman akar wangi merupakan salah satu

tanaman yang mampu mendukung upaya pelestarian lingkungan (misalnya menahan

erosi).

Sementara itu diketahui bahwa nilai ekonomis tanaman akar wangi terletak pada

akarnya yaitu sebagai bahan baku penghasil minyak atsiri. Kualitas dan kuantitas minyak

akar wangi bergantung dari keadaan tanaman akar wangi itu sendiri dan cara

pembudidayaan yang dilakukan oleh petani.

Kendati tanaman akar wangi cukup potensial untuk diambil minyaknya tetapi

hingga saat ini belum menarik perhatian pihak pemerintah dan investor. Dengan demikian

perkembangan tanaman akar wangi hanya di daerah-daerah tertentu saja. Satu-satunya

daerah sentra produksi tanaman akar wangi adalah di Kabupaten Garut, Jawa Barat

terutama di daerah sekitar hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) Cimanuk, tepatnya di sekitar

Kecamatan Semarang, Leles, Bayongbong, Cilawe dan Cisurupan.

Selain di daerah Garut, tanaman akar wangi pernah coba dikembangkan di sekitar

Propinsi Jawa Tengah, seperti di daerah lereng gunung Merapi. Bahkan sebuah

perusahaan swasta juga pernah mengembangkan akar wangi di lereng gunung Unggaran,

seperti di Kecamatan Ambarawa dan Somowono. Namun karena berbagai sebab, petani

kurang berminat sehingga perkembangan tanaman akar wangi di Jawa Tengah mengalami

Page 2: PAPER Minyak Akar Wangi

kemacetan. Dengan demikian Kabupaten Garut tetap menjadi sentra penghasil minyak

akar wangi yang mampu memasok 90% lebih dari total produksi minyak akar wangi

Indonesia, yaitu sekitar 60-75 ton pertahun.

Tanaman Akar wangi

Tanaman Akar Wangi Yang Telah Dikeringkan

Page 3: PAPER Minyak Akar Wangi

MINYAK AKAR WANGI

Pada tanaman akar wangi menurut Heyne (1987), hanya bagian akar yang

mengandung minyak, sedangkan batang, daun, dan bagian lain tidak mengandung

minyak. Akar yang menghasilkan minyak dengan mutu yang baik dipanen pada umur 22

bulan dan rendemen akar yang diperoleh 190 gram per rumpun. Ketaren (1985)

menyebutkan bahwa akar yang masih muda bersifat lemah, halus seperti rambut dan jika

dicabut dapat putus dan tertinggal dalam tanah. Selain itu akar yang muda menghasilkan

minyak dengan berat jenis dan putaran optik yang rendah, berbau seperti daun. Akar yang

lebih tua dan cukup baik pertumbuhannya, berupa akar yang lebih tebal dan dapat

menghasilkan minyak dengan mutu yang lebih baik, serta memiliki jenis dan putaran

optik yang lebih tinggi, berbau lebih wangi dan lebih tahan lama.

Minyak akar wangi merupakan cairan kental, berwarna kuning kecoklatan

hingga coklat gelap, memiliki aroma sweet, earthy, dan woody (Martinez et al. 2004).

Minyak akar wangi secara luas digunakan untuk pembuatan parfum, bahan kosmetika,

pewangi sabun dan obat-obatan, serta pembasmi dan pencegah serangga (Kardinan 2005).

Minyak akar wangi dapat juga digunakan sebagai aroma terapi dan pangan, yaitu sebagai

penambah aroma dalam pengalengan asparagus dan sebagai flavor agent dalam minuman

(Martinez et al. 2004). Minyak ini juga berfungsi sebagai pengikat karena mempunyai

daya fiksasi (pengikat) yang kuat, sehingga sering digunakan sebagai campuran parfum

untuk mempertahankan aroma.

Minyak akar wangi memiliki aroma yang kuat (Luu 2007), oleh karena itu

minyak ini banyak digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai macam produk

wewangian pada parfum, deodorant, lotions, sabun; sebagai bahan aromaterapi

(Guenther 1990; Luthony & Yeyet 1999; Luu 2007); sebagai zat fiksatif dan komponen

campuran dalam industri kosmetik (Akhila & Rani 2002; Martinez et al. 2004; Kardinan

2005); sebagai pembasmi dan pencegah serangga (Kardinan 2005); dalam obat herbal

sebagai carminative, stimulant, dan diaphoretic (Lavania 1988; Akhila & Rani 2002);

dalam industri pangan digunakan sebagai flavor agent pada pengalengan asparagus dan

berbagai minuman (Martinez et al. 2004).

Minyak akar wangi tersimpan dalam kantung-kantung minyak yang berada

diantara lapisan cortex dan endodermis (Gambar 1). Minyak yang terletak dibawah

lapisan permukaan disebut sebagai subcutaneous oils (Denny 2001). Pengeluaran minyak

dari dalam bahan dilakukan dengan melewatkan uap panas untuk merusak lapisan luar

Page 4: PAPER Minyak Akar Wangi

yang menutupi kantung minyak (epidermis dan cortex). Menurut Guenther (1990), suhu

tinggi dan pergerakan uap air yang disebabkan oleh kenaikan suhu dalam ketel

mempercepat proses difusi. Istilah difusi dalam konteks ini adalah penetrasi dari berbagai

komponen secara timbale balik sehingga tercapai keseimbangan.

Gambar 1. Kantong minyak akar wangi (Lavania et al. 2008)

Minyak akar wangi merupakan salah satu minyak atsiri yang mengandung

campuran seskuiterpen alkohol dan hidrokarbon yang sangat kompleks (Cazaussus 1988;

Akhila & Rani 2002), dan jenis minyak atsiri yang sangat kental dengan laju volatilitas

yang rendah (Akhila & Rani 2002). Luu (2007) menyebutkan, komponen utama

penyusun minyak akar wangi terdiri dari sesquiterpen hidrokarbon (γ-cadinene, clovene,

a-amorphine, aromadendrene, junipene, dan turunan alkoholnya), vetiverol (khusimol,

epiglobulol, spathulenol, khusinol, serta turunan karbonilnya), dan vetivone (a-vetivone,

b-vetivone, khusimone dan turunan esternya). Diantara komponen-komponen tersebut, a-

Page 5: PAPER Minyak Akar Wangi

vetivone, b-vetivone, dan khusimone merupakan komponen utama sebagai penentu

aroma minyak akar wangi. Ketiga komponen ini disebut sebagai sidik jari ( finger print)

minyak akar wangi (Demole et al. 1995).

Shibamoto et al. (1981) mengidentifikasi sebelas komponen yang terkandung

dalam fraksi fenolik minyak akar wangi asal India menggunakan metode kromatografi

gas–spektrometri massa (KG-SM) dan resonansi magnet inti (RMI). Komponen tersebut

antara lain : metoksifenol, o-kresol, p-kresol, mkresol, eugenol, 4-vinilguaikol, cis-

isoeugenol, trans-isoeugenol, 4-vinilfenol, vanilin, dan asam zizanoat. Subhas et al.

(1982) mengidentifikasi komponen fraksi karbonil minyak akar wangi (±13%) antara lain

: zizanal, epizizanal, a-vetivone, b-vetivone, khusimone dan (+)-(1S,10R)-1,10-

dimetilbisiklo[4.4.0]-dec-6-en-3-on. Sementara komponen minyak akar wangi asal

Burundi terdiri dari a-muurolene, valensene, b-vetivene, a-vetivone, b-vetivone,

khusimole, a-cadinol, vetiselinenol, isosedranol, isokhusimol, dan b-bisabolol (Dethier et

al. 1997).

Beberapa hasil identifikasi komponen menunjukkan kandungan senyawa

lebih dari 100 komponen (Cazaussus 1988), 28 komponen terutama dari golongan

sesquiterpen (Martinez et al. 2004). Hasil analisis terhadap minyak akar wangi yang

berasal dari Brazil, Haiti, Bourbon dan Indonesia, komposisi minyak berbeda secara

kuantitatif tetapi jenis komponen yang dihasilkan hampir sama (Martinez et al. 2004).

Minyak akar wangi berfungsi sebagai fiksatif alamiah. Penggunaan minyak akar

wangi sangat luas dalam pembuatan parfum, bahan kosmetik, pewangi sabun, dan obat-

obatan pembasmi dan penolak serangga. Minyak akar wangi yang digunakan dalam

formulasi parfum merupakan minyak akar wangi yang bermutu tinggi, sedangkan minyak

akar wangi yang bermutu rendah biasanya digunakan sebagai pewangi sabun.

Aromanya yang keras, menyebabkan dosis pemakaian minyak akar wangi harus

tepat. Penggunaan dengan dosis yang berlebihan akan memberi kesan bau tidak

menyenangkan (woody). Oleh karena itu dalam penggunaannya dalam industri parfum

dan sabun, umumnya minyak akar wangi dicampur dengan minyak cendana, minyak

nilam atau minyak mawar.

Minyak akar wangi dapat dideterpenasi untuk memisahkan antara senyawa

hidrokarbon dan oxygenated hydrocarbon. Oxygenated hydrocarbon dapat digunakan

sebagai bahan baku pembuatan vetiverol melalui proses fraksinasi yang menghasilkan

vetiverol, vetiveron, dan venil vetivenat. Vetiverol mempunyai bau yang lebih lembut dan

Page 6: PAPER Minyak Akar Wangi

halus dibandingkan dengan bahan asalnya, dan merupakan zat fiksatif alam dalam

parfum.

Selain minyak, penyulingan akar wangi juga menghasilkan hasil samping berupa

limbah padat. Limbah padat tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alternatif substitusi pada

tepung kayu pada produksi obat nyamuk bakar, sebagai bahan campuran kayu lapis,

bahan penghalang bunyi (sound insulator), bahan baku pembuatan papan semen partikel,

sebagai penolak serangga (insect repellent) dan kerajinan tangan. Pohon industri minyak

akar wangi dapat dilihat pada

Page 7: PAPER Minyak Akar Wangi

PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI

Pengukusan minyak akar wangi

Penyulingan (distilasi) merupakan proses pemisahan komponen berupa

cairan atau padatan dari 2 macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan

titik uapnya (Ketaren 1985). Proses penyulingan umum digunakan untuk mendapatkan

minyak atsiri dari tanaman.

Guenther (1990) menyebutkan ada tiga cara penyulingan yang umum digunakan,

yaitu penyulingan dengan air (water distillation), penyulingan dengan air dan uap (water

and steam distillation), dan penyulingan dengan uap (steam distillation). Pada

penyulingan dengan air, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih.

Pada penyulingan dengan menggunakan uap dan air, bahan diletakkan pada rak-rak atau

saringan berlubang, sehingga bahan tidak mengalami kontak langsung dengan air yang

digunakan untuk menghasilkan uap. Tekanan yang dihasilkan dalam ketel suling untuk

kedua cara ini biasanya sekitar 1 atm. Penyulingan dengan menggunakan uap, pada

dasarnya hampir sama dengan penyulingan menggunakan uap dan air. Perbedaannya

adalah uap panas yang digunakan berasal dari ketel uap yang terpisah dari ketel suling.

Tekanan uap dalam ketel suling dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi bahan.

Page 8: PAPER Minyak Akar Wangi

Pemilihan metode penyulingan sangat menentukan keberhasilan dan efisiensi

proses penyulingan. Penyulingan dengan uap langsung memiliki efisiensi yang lebih

tinggi dibandingkan penyulingan air dan penyulingan air–uap, tetapi membutuhkan

peralatan yang lebih komplek dan mahal (Risfaheri & Mulyono 2006). Ketaren (2004)

merekomendasikan penyulingan uap untuk bahan yang mengandung minyak bertitik

didih tinggi/fraksi berat yang lebih stabil terhadap panas seperti nilam, akar wangi,

cendana, dan pala, karena dapat mempersingkat waktu penyulingan.

Proses Penyulingan

Penyulingan menggunakan air (water distillation), air dan uap (kukus), dan

uap (steam distillation) umum digunakan untuk mendapatkan minyak akar wangi

(Tabel 4). Proses penyulingan tersebut terdiri dari beberapa mekanisme penting

yang dapat membantu dalam memahami fenomena yang terjadi selama proses.

a. Difusi

Difusi memegang peranan penting pada ekstraksi minyak atsiri dari tanaman.

Geankoplis (1983) menyebutkan difusi molekuler didefinisikan sebagai perpindahan

molekul dalam fluida secara acak. Gambar 3 memperlihatkan skema proses difusi

molekuler. Dari gambar tersebut, terlihat molekul A (dalam hal ini adalah uap) berdifusi

secara acak melalui molekul B (minyak dalam tanaman) dari titik 1 ke 2. Hal ini

dikarenakan jumlah molekul A yang ada di sekitar titik 1 lebih banyak daripada yang

berada disekitar titik 2. Hukum Fick menyebutkan penyebab terjadinya difusi adalah

perbedaan konsentrasi komponen. Akibat perbedaan ini komponen akan berpindah ke

berbagai arah hingga konsentrasi mencapai kesetimbangan. Arah difusi dari konsentrasi

tinggi ke konsentrasi rendah.

Page 9: PAPER Minyak Akar Wangi

Gambar 3. Skema proses difusi (Geankoplis 1983)

Sel tanaman terdiri dari membran sel. Membran sel merupakan lapisan pelindung

tanaman yang memisahkan sel dari lingkungan luar. Minyak atsiri berada dalam kelenjar

minyak (oil glands). Molekul-molekul yang berada disekitar sel dapat berpindah masuk

atau keluar sel. Membran sel selective permeabel mengatur molekul yang melewatinya.

Air dapat melewati membran sel dengan bebas melalui proses difusi dan osmosis.

b. Osmosis

Peristiwa osmosis berperan membawa minyak yang terdapat dalam kelenjar ke

permukaan bahan. Osmosis merupakan peristiwa perpindahan partikel dari tempat yang

memiliki konsentrasi lebih tinggi ke tempat yang memiliki konsentrasi yang lebih rendah

melewati membran selektif permeable hingga tercapai keseimbangan dinamis.

c. Pemanasan, penguapan dan kondensasi

Pemanasan akan menyebabkan temperatur air meningkat hingga tekanan

uap cairan sama dengan tekanan sekitar. Pada kondisi ini tidak terjadi peningkatan suhu

dan penambahan energi panas hanya akan membuat cairan menguap. Molekul-molekul

uap tersebut akan tetap berada dalam gerakan yang konstan (keadaaan setimbang). Pada

sistem tertutup, keadaan setimbang dipengaruhi oleh suhu. Kondensasi merupakan proses

perubahan wujud uap menjadi cairan dengan cara mengalirkan air pendingin pada tabung

kondensor. Kondensasi dan penguapan melibatkan fase cairan dengan koefisien pindah

panas yang besar. Kondensasi terjadi apabila uap jenuh seperti uap bersentuhan dengan

padatan yang suhunya dibawah jenuh sehingga membentuk cairan (Geankoplis 1983).

Page 10: PAPER Minyak Akar Wangi

d. Pemisahan

Pemisahan campuran air dan minyak umumnya dilakukan berdasarkan

berat jenis. Secara umum minyak memiliki berat jenis lebih kecil dari berat jenis air (=1),

sehingga minyak akan berada di lapisan atas. Pada proses ekstraksi minyak atsiri dengan

menggunakan uap (steam distillation), ada sedikit perbedaan mekanisme yang terjadi.

Variasi mekanismepada proses penyulingan dengan steam distillation disajikan pada

Gambar 5.

Pertama-tama uap akan berdifusi ke dalam bahan, untuk melepas minyak

yang terdapat dalam bahan akan larut. Campuran minyak yang dibawa uap ini ke luar

menuju permukaan bahan melalui peristiwa osmosis. Setelah mencapai permukaan,

minyak dibawa oleh uap yang melewati bahan. Penambahan jumlah minyak yang larut

dalam air dan proses osmosis sangat tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam

jaringan tanaman tersebut. Air masuk ke dalam jaringan tanaman melalui proses difusi.

Dengan kata lain, peristiwa osmosis dan difusi terjadi dalam waktu yang bersamaan

(simultaneously). Proses-proses ini berlangsung terus menerus hingga semua komponen

volatil minyak keluar dari jaringan tanaman.

Destilator yang biasa digunakan pada proses destilasi

Page 11: PAPER Minyak Akar Wangi

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Minyak Akar Wangi

a. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Akar Wangi

Perlakuan pendahuluan pada bahan sebelum proses penyulingan dapat

meningkatkan rendemen dan memperbaiki mutu minyak. Perlakuan pendahuluan

terhadap akar wangi sebelum proses penyulingan antara lain pembersihan, pengeringan,

dan pengecilan ukuran. Peningkatan rendemen minyak yang diawali perlakuan

pendahuluan telah dibuktikan Adams et al. (2008) dengan proses pembersihan, Bacon

dalam Jong (1987) dengan proses pengeringan, serta Rusli (1985), Sudibyo (19890, dan

Moestafa et al. (1998) dengan proses pengecilan ukuran.

Adams et al. (2008) membandingkan rendemen minyak akar wangi yang

dibersihkan dan tidak dibersihkan. Rendemen yang diperoleh dari akar wangi yang

dibersihkan adalah 1.04%, nilai ini lebih tinggi dibandingkan rendemen dari akar wangi

yang tidak dibersihkan yaitu 0.66%. Pada proses pengeringan, sebagian besar membran

sel akan pecah sehingga cairan sel bebas melakukan penetrasi dari satu sel ke sel yang

lain hingga membentuk senyawa-senyawa yang mudah menguap (Sastrohamidjojo 2004).

Oleh karenanya Ketaren (1985) dan Thorpe (1947) menyebutkan bahwa pengeringan

akan mempercepat proses penyulingan, menaikkan rendemen serta memperbaiki mutu

minyak meskipun kemungkinan sebagian minyak akan hilang karena penguapan dan

oksidasi oleh oksigen udara.

Hasil penelitian Bacon dalam Jong (1987) memperlihatkan bahwa pengeringan

memberikan peningkatan rendemen minyak akar wangi. Rendemen dari bahan yang

dikeringkan sebesar 1,09 % sedangkan rendemen akar wangi yang tidak dikeringkan

hanya 0,45 %. Perajangan bahan sebelum disuling bertujuan untuk memudahkan

penguapan minyak atsiri dari bahan dan mengurangi sifat kamba bahan (Ketaren 1985).

Pada perajangan akar wangi tanpa bonggol dengan ukuran 15–20 cm diperoleh rendemen

1.6%-2.1% (Rusli 1985). Untuk ukuran biji jintan yang dihancurkan diperoleh rendemen

2,18–2,43%, dibanding biji jintan yang tidah dihancurkan hanya sebesar 1,90–2,23%

(Sudibyo 1989). Perajangan halus ukuran 2-3 mm pada penyulingan jeruk purut juga

menghasilkan rendemen yang lebih tinggi yaitu 4.58% dibandingkan dengan jeruk purut

yang dirajang kasar 2 cm sebesar 4.18% (Moestafa et al. 1998)

Page 12: PAPER Minyak Akar Wangi

b. Kondisi Penyulingan

Selain metode penyulingan dan perlakuan bahan, kondisi proses penyulingan

juga akan mempengaruhi rendemen minyak. Menurut Ketaren (1985) jumlah minyak

yang menguap ditentukan oleh tekanan uap, berat molekul komponen-komponen dalam

minyak, dan kecepatan minyak dikeluarkan dari bahan.

1. Kepadatan bahan

Kepadatan bahan di dalam ketel sangat berpengaruh pada kemudahan uap

berpenetrasi kedalam bahan untuk membawa molekul minyak, sehingga mempengaruhi

rendemen dan efisiensi penyulingan (Risfaheri & Mulyono 2006). Guenther (1990)

menyebutkan bahwa tingkat kepadatan bahan berhubungan erat dengan besar ruangan

antar bahan. Kepadatan bahan yang terlalu tinggi dan tidak merata menyebabkan

terbentuknya jalur uap ”rat holes” yang dapat menurunkan rendemen dan mutu minyak.

Hasil penelitian Hardjono et al. (1973) telah membuktikan bahwa pada kepadatan akar

wangi 0,10 kg/liter dihasilkan rendemen lebih kecil yaitu 1,43% dibanding dengan

kepadatan 0,07 kg/liter yang menghasilkan rendemen 2,02%.

2. Tekanan uap

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penguapan minyak pada proses penyulingan

adalah besarnya tekanan uap yang digunakan (Ketaren 1985). Menurut Guenther (1990),

agar diperoleh minyak yang bermutu tinggi maka penyulingan hendaknya berlangsung

pada tekanan rendah dan dapat juga pada tekanan tinggi tetapi dalam waktu yang singkat.

Proses penyulingan dengan menggunakan tekanan dan suhu rendah mempunyai

keuntungan yaitu minyak yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan akibat panas.

Disamping itu mengurangi penguapan komponen bertitik didih tinggi dan larut di air.

Penyulingan dengan tekanan tinggi tidak selalu memghasilkan rendemen dan mutu yang

lebih baik. Penggunaan tekanan uap yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan

komponen-komponen penyusun minyak. Lestari (1993) membuktikan bahwa pada

penyulingan sereh wangi dengan tekanan 228.53 kPa memberikan rendemen 3.51% basis

kering dan tingkat mutu bagus. Sedangkan penggunaan tekanan 297.2 kPa dihasilkan

rendemen 2.52% dengan tingkat mutu biasa. Penyulingan minyak nilam dengan

menggunakan uap langsung selama 4 jam menghasilkan rendemen sebesar 3.21%, 3.11%,

3.44%, dan 3.27% berat kering masing-masing untuk tekanan penyulingan 158.86,

173.57, 190.24, dan 206.96 kPa (Dahlan 1989). Kondisi penyulingan minyak akar wangi

Page 13: PAPER Minyak Akar Wangi

menggunakan tekanan 1.2 kg/cm2 menghasilkan rendemen 2.3% (Rusli & Anggraeni

1999).

3. Laju Penyulingan

Laju penyulingan menyatakan jumlah air suling yang dihasilkan per satuan waktu.

Pengaturan laju penyulingan disesuaikan dengan diameter ketel dan volume antar ruang

bahan (Guenther 1990). Laju penyulingan yang rendah menyebabkan uap terhenti pada

bahan yang padat, sehingga proses ekstraksi minyak tidak berjalan sempurna. Sebaliknya,

jika laju penyulingan terlalu cepat maka uap dalam ketel akan keluar melalui bahan

dengan membentuk jalur uap serta mengangkut bahan partikel ke dalam kondensor,

sehingga menghambat aliran uap di dalam kondensor (Risfaheri & Mulyono 2006).

Laju penyulingan memberi pengaruh nyata terhadap rendemen dan kadar vetiverol pada

penyulingan minyak akar wangi. Jumlah minyak sebesar 2.47% pada laju penyulingan

0,6 kg uap/jam dengan kadar vetiverol 63.91% lebih tinggi dibandingkan pada laju

penyulingan 0,5 kg uap/jam yang menghasilkan minyak 2.17% dan kadar vetiverol

61.79% (Moestafa, et al. 1991).

4. Pengaruh Lama Penyulingan

Lama penyulingan mempengaruhi kontak air atau uap air dengan bahan. Pada

penyulingan yang lebih lama, jumlah minyak yang terbawa oleh uap semakin banyak

sehingga rendemen minyak yang diperoleh lebih banyak. Lama penyulingan juga

berpengaruh terhadap penguapan fraksi yang bertitik didih tinggi. Semakin lama

penyulingan, penguapan fraksi yang bertitik didih tinggi akan semakin besar (Guenther

1990).

Hasil penelitian penyulingan pada beberapa minyak atsiri menunjukkan lama

waktu penyulingan menghasilkan minyak yang semakin banyak. Penyulingan nilam

selama 6 jam menghasilkan rendemen 2.59% dibandingkan penyulingan selama 4 dan 5

jam yaitu 2.28% dan 2.52% (Setiadji & Tamtarini 2006). Biji jintan yang disuling selama

3, 5, dan 7 jam menghasilkan rendemen 1.90%, 2.10%, dan 2.23% (Sudibyo 1989).

Begitu pula halnya pada penyulingan minyak jeruk purut (Moestafa, et al. 1998).

Penyulingan jeruk purut selama 8 jam menghasilkan rendemen 4.58%, nilai ini lebih

tinggi dari rendemen minyak yang disuling selama 6 jam yaitu 3.58%. Rusli & Anggraeni

(1999) juga memperoleh rendemen minyak akar wangi lebih tinggi pada penyulingan

yang lebih lama yaitu 2.07% selama 12 jam dibandingkan dengan penyulingan 8 jam

Page 14: PAPER Minyak Akar Wangi

yang hanya 1.78%. Namun perpanjangan waktu penyulingan berdampak pada besarnya

biaya bahan bakar yang digunakan (Feryanto 2007).

Minyak akar wangi yang telah dikemas dalam botol kaca

Page 15: PAPER Minyak Akar Wangi

DAFTAR PUSTAKA

Ames, G.R., Matthews, M.S. A. 1968. The Destilation Of Essential Oil. Tropical

science, New Jersey.

Anonim, 2002. Raw Material and Processing. www.H&rscents.com. [26 April 2011].

Armando, Rochim. 2002. Memproduksi 15 Minyak Atsiri Berkualitas. Penebar Swadaya,

Jakarta.

Backer, C.A. and Backuizen van den Brink. 1965. Flora of Java. Vol. II. NVP Noordhoff.

Groningen, Belanda.

Brady, J., 1994, Kimia Universitas Asas dan Struktur: Jilid satu, Edisi Kelima. Binarupa

Aksara, Jakarta.

Dummond, H.M. 1960. Patchouly Oil. Patchouly Oil Journal of Perfumery and Essential

Oil Record.

Guenther, E., 1948. The Essensial Oils Vol.1. D. Van Nostrand Compay. Inc., New York.

Guenther, E, 1987. Minyak Atsir: Jilid I. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Harris, R, 1987. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.

Ketaren, S., 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta.