proposal akar wangi 3

43
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Minyak akar wangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang banyak digunakan dalam industri parfum, kosmetika dan pewangi sabun. Minyak akar wangi memiliki daya fiksasi yang kuat sehingga banyak digunakan sebagai pengikat aroma (fixative agent) dalam parfum dan kosmetika. Manfaat lain minyak akar wangi adalah sebagai bahan insektisida alami, sedangkan dalam obat herbal berfungsi sebagai carminative, stimulant, dan diaphoretic 3,4. Sifat dan kegunaan minyak akar wangi tersebut berkaitan dengan komponen kimia yang dikandungnya. Komponen utama minyak akar wangi adalah senyawa golongan seskuiterpen (3-4%), seskuiterpenol (18-25%) dan seskuiterpenon seperti asam benzoat, vetiverol, furfurol, α dan β-vetivon, vetiven dan vetivenil vetivenat (.Emmyzar SRoechan, A.M,2000). Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak akar wangi terbesar di dunia setelah Haiti dan Bourbon. Minyak akar wangi yang dihasilkan oleh genus vetiveriae yang banyak digunakan dalam industri parfum sebagai fiksatif, sebagai komponen

Upload: riki

Post on 15-Apr-2016

107 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

akar

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Akar Wangi 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Minyak akar wangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang

banyak digunakan dalam industri parfum, kosmetika dan pewangi sabun.

Minyak akar wangi memiliki daya fiksasi yang kuat sehingga banyak

digunakan sebagai pengikat aroma (fixative agent) dalam parfum dan

kosmetika. Manfaat lain minyak akar wangi adalah sebagai bahan insektisida

alami, sedangkan dalam obat herbal berfungsi sebagai carminative, stimulant,

dan diaphoretic 3,4. Sifat dan kegunaan minyak akar wangi tersebut berkaitan

dengan komponen kimia yang dikandungnya. Komponen utama minyak akar

wangi adalah senyawa golongan seskuiterpen (3-4%), seskuiterpenol (18-

25%) dan seskuiterpenon seperti asam benzoat, vetiverol, furfurol, α dan β-

vetivon, vetiven dan vetivenil vetivenat (.Emmyzar SRoechan, A.M,2000).

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak akar wangi

terbesar di dunia setelah Haiti dan Bourbon. Minyak akar wangi yang

dihasilkan oleh genus vetiveriae yang banyak digunakan dalam industri

parfum sebagai fiksatif, sebagai komponen campuran dalam industri sabun

dan kosmetik, dan untuk aromaterapi. Vetiverol merupakan komponen utama

minyak akar wangi yang menjadi penentu dari kualitas minyak. Minyak akar

wangi diperoleh dengan cara distilasi akar tanaman akar wangi. Harga minyak

ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga minyak atsiri lainnya.

Semakin tinggi kadar vetiverol dalam minyak akar wangi, maka harganya

semakin mahal (Guenther,1987;1990).

Sentra budidaya tanaman dan produksi minyak akar wangi di Indonesia

berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Minyak atsiri diproduksi dengan

menggunakan teknologi yang sederhana/konvensional, sehingga kualitasnya

masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Penurunan kualitas minyak atsiri

Page 2: Proposal Akar Wangi 3

dapat disesbabkan oleh terjadinya burning pada proses penyulingan.

Akibatnya terjadi penurunan nilai ekonomisnya. Minyak atsiri yang telah

disimpan satu tahun ternyata lebih baik daripada minyak atsiri yang baru di

produksi. Belum diketahui secara pasti apa faktor penyebab perubahan

kualitas ini. Untuk mengetahui hal ini maka dilakukan penelitian analisis

minyak atsiri akar wangi yang telah disimpan selama satu tahun dengan

menggunakan kromatografi gas (KG)(…….).

Kromatografi gas adalah teknik kromatografi yang didasarkan atas

pemisahan komponen campuran senyawa kimia berbentuk gas dengan sistem

adsorpsi pada fasa diam padat atau sistem partisi diantara fase diam cair yang

melapisi penyangga padat dan fase gerak gas. Kromatografi gas mempunyai

keunggulan dalam hal kecepatan analisis dan sensitivitasnya yang tinggi.

Sampel yang dapat dianalisis menggunakan kromatografi gas adalah zat-zat

yang mudah menguap sewperti halnya minyak atsiri. Oleh karena itu pada

penelitian ini kromatografi gas digunakan untuk analisis minyak atsiri akar

wangi (setiadarma,dkk,2004)

1.1 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penilitian diatas, dapat di identifikasi

masalah sebagai berikut:

1. Apakah terjadi perubahan kandungan senyawa kimia dari minyak atsiri

akar wangi?

2. Apakah kadar senyawa kimia dari minyak atsiri akar wangi yang sudah di

simpan selama satu tahun masih sama dengan minyak atsiri yang baru?

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan

perbedaan kualitas minyak atsiri yang baru dengan minyak atsiri akar wangi

yang sudah disimpan selama satu tahun.

1.3 Manfaat Penelitian

Page 3: Proposal Akar Wangi 3

Untuk memberikan informasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan

kualitas minyak atsiri akar wangi.

1.4 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai Juni 2016 di

Laboratorium kimia Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Jalan Soekarno –

Hatta No. 354 Bandung.

Page 4: Proposal Akar Wangi 3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Akar wangi

2.1.1 Taksonomi akar wangi

(Anonim 5, 2012)

2.1.1 Gambar Ttumbuhan Akar Wangi

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus :Chrysopogon

Spesies : C.zizanoides

(Wikipedia 2011)

2.1.2 Deskripsi Tanaman Akar Wangi

Tanaman akar wangi termasuk keluarga Gramineae, berumpun lebat,

memiliki akar tinggal yang bercabang banyak dan berwarna kuning pucat atau

abu-abu sampai merah tua. Dari akar-akar yang halus itu tersembul tangkai

Page 5: Proposal Akar Wangi 3

daun yang panjangnya dapat mencapai sekitar 1,5 – 2 meter. Rumpun

tanaman akar wangi terdiri dari beberapa anak rumpun yang nantinya dapat

dijadikan bibit. Daunnya sedikit kaku, berbentuk pita, berwarna hijau,

panjangnya sekitar 75 – 100 cm dan tidak mengandung minyak. Tanaman ini

berbunga yang warnanya hijau atau ungu dan berada di pucuk tangkai daun

(Damanik, 2006). Bunga akar wangi bentuknya menyerupai padi dan berduri.

Akar wangi memiliki batang yang tumbuh tegak namun lunak.Warna

batangnya putih, dengan ruas-ruas di sekeliling batang (Anonim3, 2013).

Terdapat 2 tipe akar wangi yaitu tipe India Utara (tumbuh liar dan berbiji) dan

tipe India Selatan (tidak berbiji atau steril). Akar wangi yang banyak

dibudidayakan dan diusahakan diberbagai negara untuk diambil minyaknya

berasal dari tipe India Selatan (Hadipoentyanti, 2008).

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas minyak akar

wangi antara lain keadaan tanah dan iklim. Berdasarkan penelitian Hermanto

dkk, 1996 jenis tanah Andosol cenderung memberikan pengaruh terbaik

terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman akar wangi. Hal ini dikarenakan

tanah andosol memiliki kapasitas air dan kesuburan yang tinggi sehingga

dapat menunjang pertumbuhan akar wangi (Kaunang, 2008). Akar wangi

memerlukan derajat keasaman tanah (pH) sekitar 6-7. Tanaman akar wangi

dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian sekitar 300 – 2.000 meter di atas

permukaan laut dan akan berproduksi dengan baik pada ketinggian 600 –

1.500 meter di atas permukaan laut. Tanaman akar wangi memerlukan curah

hujan yang cukup yaitu sekitar 140 hari per tahun, sedang suhu yang cocok

untuk pertumbuhan tanaman sekitar 17-27 derajat Celcius. Akar wangi

menyukai sinar matahari langsung, bila ditanam di tempat yang teduh akan

berpengaruh terhadap sistem pertumbuhan akar dan mutu minyaknya

(Anonim 4, 2012).

Akar wangi (Vetiveria zizanoides) merupakan salah satu tanaman

penghasil minyak atsiri yang potensial. Tanaman dari famili Gramineae ini

telah lama dikenal di Indonesia dan menjadi salah satu komoditas ekspor

Page 6: Proposal Akar Wangi 3

nonmigas. Rumpun tanaman akar wangi terdiri dari beberapa anak rumpun

yang memiliki sejumlah akar-akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu

sampai kemerahan (Ketaren 1985 dan Santoso 1993).

Tanaman tersebut terbagi dalam beberapa famili, genus dan spesies.

Salah satu tanaman yang banyak dijumpai di beberapa wilayah Indonesia

adalah tanaman yang termasuk dalam famili Poaceae. Poaceae merupakan

famili tanaman keempat terbesar yang memiliki 700 genus dan 8000 spesies.

Tanaman yang termasuk dalam famili Poaceae diklasifikasikan ke dalam dua

subgenus, yaitu Poaoideae dan Panicoideae. Poaoideae terbagi menjadi tiga

genus yaitu : Paniceae, Maydeae, dan Andropogoneae sedangkan subgenus

Panicoideae terbagi menjadi dua genus yaitu Cymobopogan dan Vetiveria.

Beberapa spesies dari Famili Poaceae memiliki karakteristik aromatik mampu

menghasilkan minyak atsiri yang dapat digunakan untuk kepentingan

komersial seperti parfum, kosmetik dan farmasi (Khanuja dkk, 2005).

Tanaman genus Vetiveria merupakan salah satu tanaman penghasil

minyak atsiri. (Champagnat dkk, 2008). Minyak atsiri yang dihasilkan oleh

tanaman yang berasal dari genus Vetiveria sebagian besar mengandung

terpen, siskuiterpen alifatik, turunan hidrokarbon teroksigenasi dan

hidrokarbon aromatik.Komponen utama dari minyak atsiri akar wangi adalahn

senyawa golongan seskuiterpen (30-40 %), seskuiterpenol (18-25 %) dan

seskuiterpenon seperti asam benzoat, vetiverol, vetiverol, furfurol, α dan β

vetivone, vetivene dan vetivenil vetivenat (Anon, 2006; Kamal and Ashok,

2006; Emmyzar et al., 2000). Selain memiliki senyawa siskuiterpen yang

merupakan komponen mayor dalam minyak atsiri, Genus Vetiveria dari

Perancis juga mengandung senyawa flavonoid. Beberapa senyawa flavonoid

tersebut adalah carlinoside, neocarlinoside, 6,8-di-C-

arabinopyranosylluteolin, isoorientin, dan tricin-5-O-glukoside (Champagnat

dkk, 2008).

Page 7: Proposal Akar Wangi 3

Tanaman ini menghasilkan minyak akar wangi (vetiver oil) yang

banyak digunakan dalam pembuatan parfum, kosmetik, pewangi sabun, obat-

obatan, serta pembasmi dan pencegah serangga. Minyak vetiver mempunyai

aroma yang lembut dan halus karena ester dari asam vetivenat dan adanya

senyawa vetivenol (Taringan,2006).

2.2 Minyak akar wangi

Minyak akar wangi merupakan salah satu minyak atsiri yang

mengandung campuran seskuiterpen alkohol dan hidrokarbon yang sangat

kompleks (Cazaussus 1988; Akhila & Rani 2002), dan jenis minyak atsiri

yang sangat kental dengan laju volatilitas yang rendah (Akhila & Rani

2002). Luu (2007) menyebutkan, komponen utama penyusun minyak akar

wangi terdiri dari sesquiterpen hidrokarbon (γ-cadinene, clovene, a-

amorphine, aromadendrene, junipene, dan turunan alkoholnya), vetiverol

(khusimol, epiglobulol, spathulenol, khusinol, serta turunan karbonilnya),

dan vetivone (a-vetivone, b-vetivone, khusimone dan turunan esternya).

Diantara komponen-komponen tersebut, a- vetivone, b-vetivone, dan

khusimone merupakan komponen utama sebagai penentu aroma minyak

akar wangi. Ketiga komponen ini disebut sebagai sidik jari (finger print)

minyak akar wangi (Demole et al. 1995).

Minyak akar wangi merupakan cairan kental, berwarna kuning

kecoklatan hingga coklat gelap, memiliki aroma sweet, earthy, dan woody

(Martinez et al. 2004). Minyak akar wangi secara luas digunakan untuk

pembuatan parfum, bahan kosmetika, pewangi sabun dan obat-obatan, serta

pembasmi dan pencegah serangga (Kardinan 2005). Minyak akar wangi dapat

juga digunakan sebagai aroma terapi dan pangan, yaitu sebagai penambah

aroma dalam pengalengan asparagus dan sebagai flavor agent dalam minuman

(Martinez et al. 2004).

Metode penyulingan yang digunakan produsen minyak akar wangi

Garut adalah penyulingan uap (steam) dengan tekanan tinggi berkisar 4–5 bar.

Page 8: Proposal Akar Wangi 3

Penyulingan ini menghasilkan minyak dengan mutu yang kurang baik, seperti

bau gosong dan warna gelap. Pada tekanan uap 4 bar suhu mencapai 1500 C,

sehingga terbentuk uap kering (superheated steam) yang dapat

menghanguskan bahan-bahan organik yang rentan terhadap panas. Metode

dan kondisi operasi proses penyulingan merupakan tahapan penting untuk

menghasilkan minyak atsiri dengan jumlah dan mutu yang tinggi. Jumlah

minyak yang menguap ditentukan oleh tekanan uap, berat molekul komponen-

komponen dalam minyak, dan laju penyulingan (Ketaren, 1985)

Umumnya minyak akar wangi yang baik ditandai oleh berat jenis dan

putaran optiknya yang tinggi, komposisi bau lebih sempurna, dan ketahanan

bau lebih lama (Lutony dan Rahmayati, 2002).

Table 2.1 Syarat mutu vetiver oil yang di tetapkan berdasar kan SNI 06-2386-

2006 sebagai berikut:

No Parameter Zat/Ukuran

1 Warna Bau Kuning muda – kecoklatan khas

akar wangi

2 Berat jenis pada 200 C 0,980 – 1,003

3 Indeks bias 1,520 – 1,530

4 Kelarutan dalam etanol 95% 1:1 jernih, seterusnya jernih

5 Bilangan Asam 10 – 35

6 Bilangan Ester 5 -26

7 Bilangan ester setelah asetilasi 100 – 150

8 Vetiverol total Minimum 50%

Menurunnya volume ekspor dan rendahnya harga minyak akar wangi Indonesia

disebabkan oleh rendahnya produksi dan mutu minyak akar wangi. Rendemen

minyak akar wangi yang dihasilkan rendah, hanya sekitar 1,2% dari potensi minyak

2-3% dan kadar vetiverolnya dibawah 50% (anonymous,2006). Kondisi tersebut

merupakan akumulasi dari kurang baiknya mutu bahan baku, penggunaan alat

Page 9: Proposal Akar Wangi 3

penyuling dan teknologi proses yang belum terstandar serta tidak adanya insentif

harga bagi minyak akar wangi yang bermutu baik (anonymous,2006). Mutu minyak

akar wangi Indonesia merosot tajam sejak akhir tahun 90-an sebagai akibat terjadinya

burning pada proses penyulingan yang menyebabkan adanya aroma gosong (smoky

burn), sehingga dalam perdagangannya mendapat harga yang rendah. Menurut

Chomchalow, akibat mutunya kurang baik tersebut maka minyak akar wangi asal

Indonesia di pasar dunia sering mendapatkan potongan harga yang sangat merugikan.

Minyak akar wangi diproduksi dengan cara distilasi (penyulingan) akar tanaman.

Dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya, proses penyulingan minyak akar wangi

relatif lebih sulit dilakukan, karena sel-sel minyaknya terletak pada bagian dalam

jaringan akar yang relatif keras. Untuk mengekstraknya, minyak harus berdifusi dari

bagian dalam jaringan akar ke permukaan yang umumnya berjalan lambat. Fraksi

senyawa yang paling bernilai pada minyak akar wangi adalah vetiverol dan vetivon

yang memiliki titik didih dan bobot jenis tinggi. Senyawa tersebut akan tersuling

pada akhir proses penyulingan sehingga fraksi-fraksi tersebut memiliki kontribusi

yang besar terhadap lamanya waktu penyulingan (chamcalow,2001).

Minyak akar wangi diproduksi dengan cara distilasi (penyulingan)

akar tanaman. Dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya, proses

penyulingan minyak akar wangi relatif lebih sulit dilakukan, karena sel-sel

minyaknya terletak pada bagian dalam jaringan akar yang relatif keras. Untuk

mengekstraknya, minyak harus berdifusi dari bagian dalam jaringan akar ke

permukaan yang umumnya berjalan lambat. Fraksi senyawa yang paling

bernilai pada minyak akar wangi adalah vetiverol dan vetivon yang memiliki

titik didih dan bobot jenis tinggi. Senyawa tersebut akan tersuling pada akhir

proses penyulingan sehingga fraksi-fraksi tersebut memiliki kontribusi yang

besar terhadap lamanya waktu penyulingan (Chamcalou N, 2001)

2.2.1 Kandungan Kimia Minyak Akar Wangi

Komponen utama penyusun minyak akar wangi terdiri dari

sesquiterpen hidrokarbon (γ-cadinen, cloven, α-amorphine, aromadendren,

junipen, dan turunan alkoholnya), vetiverol (khusimol, epiglobulol,

Page 10: Proposal Akar Wangi 3

spathulenol, khusinol, serta turunan karbonilnya), dan vetivon (α-vetivon, β-

vetivon, khusimon dan turunan esternya). Di antara komponen-komponen

tersebut, α-vetivon, β-vetivon, dan khusimon merupakan komponen utama

sebagai penentu aroma minyak akar wangi. Ketiga komponen ini disebut

sebagai sidik jari (finger print) minyak akar wangi (Demole EP GW, at al

1995).

2.2.2 Parameter Mutu Minyak Akar Wangi

Beberapa parameter yang digunakan untuk mengetahui standar mutu dari

minyak akar wangi, antara lain:

A. Bobot Jenis Minyak Akar Wangi

Prinsip Bobot jenis minyak akar wangi berdasarkan perbandingan antara berat

minyak dengan berat air pada volume dan suhu yang sama (Dewan

Standarisasi Nasional, 2006).

Cara penentuan bobot jenis minyak akar wangi yaitu dengan

menggunakan alat piknometer. Piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian

dibasuh berturut-turut dengan etanol dan dietil eter. Bagian dalam piknometer

dan tutupnya dikeringkan dengan arus udara kering. Didiamkan pinometer di

dalam lemari timbangan selama 30 menit dan ditimbang (m). Piknometer diisi

dengan air suling yang telah dididihkan pada suhu 20°C. sambil menghindari

adanya gelembung gelembung udara. Piknometer dicelupkan ke dalam

penangas air pada suhu 20°C ± 0,2°C selama 30 menit sisipkan penutupnya

kemudian dikeringkan piknometernya. Piknometer didiamkan dalam lemari

timbangan selama 30 menit, kemudian ditimbang dengan isinya (m1).

Piknometer tersebut dikosongkan, dan dicuci dengan etanol dan dietil eter.

Kemudian dikeringkan dengan arus udara kering. Piknometer diisi dengan

contoh minyak dan hindari adanya gelembung-gelembung udara. Piknometer

dan penutupnya dimasukkan kembali dalam penangas air pada suhu 20°C ±

0,2°C selama 30 menit dan dikeringkan piknometer tersebut. Piknometer

Page 11: Proposal Akar Wangi 3

dibiarkan di dalam lemari timbangan selama 30 menit kemudian ditimbang

dengan isinya (m2) (Dewan Standarisasi Nasional, 2006).

B. Indeks Bias Minyak Akar Wangi

Prinsip penentuan indeks bias minyak akar wangi menurut Standar Nasional

Indonesia (SNI) No. 06-2386-2006, yaitu metode penetapan indeks bias

didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang dipertahankan

pada kondisi suhu yang tetap (Dewan Standarisasi Nasional, 2006).

Nilai indeks juga dipengaruhi salah satunya dengan adanya air dalam

kandungan minyak atsiri tersebut. Semakin banyak kandungan airnya, maka

semakin kecil nilai indek biasnya. Ini karena sifat dari air yang mudah untuk

membiaskan cahaya yang datang. Jadi minyak atsiri dengan nilai indeks bias

yang besar lebih bagus dibandingkan dengan minyak atsiri dengan nilai indeks

bias yang kecil (Sastrohamidjojo, 2004).

2.3 Minyak Atsiri

Minyak atsiri sudah dikenal sejak 3000 tahun yang lalu dan sudah digunakan

serta dipelajari sejak lama. Pada awalnya minyak atsiri digunakan oleh bangsa Mesir

sebagai bahan ritual dan obat-obatan pada bidang kedokteran dan terus berkembang

hingga ke berbagai negara seperti Cina, Iran dan India.Menurut sejarah minyak atsiri

dihasilkan sebagai bahan dasar dari parfum pada abad ke 13 dan perkembangan

teknologi dan inovasi, minyak atsiri terus berkembang sampai penggunaanya sebagai

bahan dasar makanan, kosemetik dan juga obat-obatan (Mosset al., 2003).

Minyak atsiri dikenal dengan istilah minyak mudah menguap atau minyak

terbang, merupakan senyawa yang umumnya berwujud cairan, diperoleh dari bagian

tanaman akar, kulit, batang, daun, buah, biji, maupun dari bunga dengan cara

penyulingan.Minyak atsiri diperoleh secara ekstraksi menggunakan pelarut organik

maupun dengan cara dipres ataudikempa dan secara enzimatik. Minyak atsiri dibagi

Page 12: Proposal Akar Wangi 3

menjadi dua kelompok yaitu minyak atsiri yang mudah dipisahkan menjadi

komponen atau penyusun murninya (contohnya minyak serai, daun cengkeh, minyak

permen, dan minyak terpentin), dan minyak atsiri yang sukar dipisahkan menjadi

komponen murninya (contoh minyak nilam dan kenanga (Sastrohamidjojo, 2004).

Minyak atsiri merupakan salah satu hasil sisa proses metabolisme dalam

tanaman, yang terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia dengan

air. Minyak tersebut disintesis dalam sel kelenjar jaringan tanaman dan ada juga yang

terbentuk dalam pembuluh resin, misalnya minyak terpentin dari pohon pinus.

Minyak atsiri selain dihasilkan oleh tanaman dapat juga terbentuk dari hasil degradasi

trigliserida oleh enzim atau dapat dibuat secara sintesis (Lutony dan Rahmayati,

2002).

Pemisahan minyak atsiri dari beberapa campuran molekul yang komplek,

dapat dipisahkan dengan cara kromatografi distilasi, dan ekstraksi dengan pelarut.

Molekul utama adalah 95 % senyawa terpen, alkohol dan berbagai molekul organik

lainnya. Minyak atsiri dapat dikelompokkan secara homogen yang sifat fisiknya

sebagai berikut:keadaan cair, volatilitas, pucat kuning, indeks bias biasanya tinggi,

polaritas rendah, kerentanan terhadap oksidasi, dan juga cenderung polimerisasi

untuk membentuk produk resin (Bocquel-Baritaux, 1991).

Hasil penelitian Arswendiyumna (2011), menjelaskan metode penarikan air

menggunakan Natrium Sulfat (Na2SO4) anhidrat, di mana air akan ditarik oleh

Na2SO4 anhidrat hingga dihasilkan minyak atsiri dengan kemurnian yang tinggi.

Minyak atsiri pada umumnya dihasilkan melalui 4 macam metode pengolahan, yaitu

metode penyulingan, pressing, ekstraksi dengan pelarut menguap dan ekstraksi

dengan lemak padat (Ketaren, 1985).

Metode Penyulingan Minyak Atsiri

Penyulingan adalah proses pemisahan antara komponen cair atau padat

dari dua macam campuran atau lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya dan

dilakukan untuk minyak atsiri yang tidak larut dalam air. Dalam industri minyak

atsiri dikenal tiga metode penyulingan, yaitu:

A. Penyulingan dengan Air

Page 13: Proposal Akar Wangi 3

Metode ini merupakan metode paling sederhana dibandingakan dengan

metode yang lainnya. Proses penyulingan dengan cara ini hampir sama

dengan perebusan. Bahan baku yang sudah kering/layu dimasukkan kedalam

ketel suling yang telah terisi air. Perbandingan berat air dengan bahan baku

pada umumnya 1:3. Selanjutnya ketel ditutup rapat agar tidak ada uap yang

keluar, kemudian ketel dipanaskan sampai uap air dan minyaknya mengalir

melalui pipa didalam kondensor. Air dan minyak yang keluar ditampung

didalam tangki pemisah. Pemisahan minyak dengan air berdasarkan pada

berat jenisnya. Namun metode penyulingan dengan air mempunyai beberapa

kelemahan, yaitu hanya cocok untuk bahan baku dalam jumlah sedikit dan

tidak cocok untuk bahan baku yang larut dalam air. Metode ini diterapkan

untuk penyulingan minyak jahe, palmarosa dan kemangi (Yuliani dan Suyanti,

2012).

B. Penyulingan dengan Uap

Pada metode ini, ketel suling dan tangki air berisi sumber uap panas (boiler)

diletakan secara terpisah. Di dalam boiler terdapat pipa yang berhubungan

dengan ketel suling. Penyulingan dengan uap sebaiknya dimulai dengan

tekanan uap yang rendah (sekitar 0,5-1 bar). Setelah itu, secara berangsur-

angsur tekanan di boiler ditingkatkan sampai suhu uap mencapai 150°C dan

tekanan mencapai 5 bar. Air dari boiler akan mendidih lalu uapnya mengalir

kedalam ketel suling yang sudah ada bahan di dalamnya. Uap air akan

menembus sel-sel bahan dan membawa uap minyak atsiri yang selanjutnya

akan mengalir melalui kondensor, uap minyak akan mengembun menjadi

cairan yang kemudian ditampung ditangki pemisah.

Page 14: Proposal Akar Wangi 3

di boiler ditingkatkan sampai suhu uap mencapai 150°C dan tekanan

mencapai 5 bar. Air dari boiler akan mendidih lalu uapnya mengalir kedalam

ketel suling yang sudah ada bahan di dalamnya. Uap air akan menembus sel-

sel bahan dan membawa uap minyak atsiri yang selanjutnya akan mengalir

melalui kondensor, uap minyak akan mengembun menjadi cairan yang

kemudian ditampung ditangki pemisah.

Hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah tekanan pada boiler

yang harus dikontrol. Suhu di ketel penyulingan harus diatur sekitar 110-

120°C, sedangkan tekanan pada ketel suling disesuaikan dengan ketebalan

ketelnya. Metode ini cocok untuk menyuling minyak atsiri yang diambil dari

bagian tanaman yang keras, seperti kulit batang, kayu dan biji-biji yang keras

(Yuliani dan Suyanti, 2012).

C. Penyulingan dengan Uap dan Air

Metode ini disebut dengan sistem kukus atau sistem uap tidak langsung. Alat

yang digunakan pada metode ini menyerupai dandang nasi. Proses

penyulingan diawali dengan memasukkan air ke bagian dasar ketel sampai 1/3

bagian. Bahan baku diletakan di bagian atas lempeng penyekat. Bahan baku

sebaiknya jangan terlalu padat karena akan mempersulit jalannya uap air

untuk menembus bahan baku. Setelah itu ketel ditutup rapat lalu dipanaskan.

Pada saat air mendidih uap air akan melewati lubang-lubang pada lempeng

penyekat dan celah-celah bahan. Minyak atsiri yang ada di dalam bahan akan

terbawa uap panas menuju ke pipa kondensor. Selanjutnya uap air dan minyak

atsiri akan mengembun dan ditampung dalam tangki pemisah.

Keuntungan dari metode ini adalah adanya penetrasi uap yang terjadi secara

merata kedalam jaringan bahan. Selain itu, suhu dapat dipertahankan sampai

100°C, harga alat lebih murah, dan rendemen minyak yang dihasilkan lebih

besar dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan dengan metode

penyulingan air (Yuliani dan Suyanti, 2012).

2.2.2 Penggolongan minyak atsiri

Page 15: Proposal Akar Wangi 3

Komponen minyak atsiri adalah senyawa yang bersifat kimia, fisika

serta mempunyai bau dan aroma yang khas, demikian pula peranannya sangat

besar sebagai obat. Komponen penyusun minyak atsiri dibagi menjadi beberapa

golongan sebagai berikut :

A. Minyak Atsiri Hidrokarbon

Minyak atsiri kelompok ini komponen penyusunnya sebagian besar terdiri

dari senyawa-senyawa hidrokarbon, misalnya minyak terpentin diperoleh dari

tanaman-tanaman go longan pinus (family Pinaceae). Terpentin larut dalam

alkohol, eter, kloroform, dan asam asetat glasial dan bersifat optis aktif.

Kegunaannya dalam farmasi adalah sebagai obat luar, melebarkan pembuluh

darah kapiler dan merangsang keluarnya keringat. Terpentin jarang digunakan

sebagai obat dalam (Gunawan dan Mulyani, 2004).

B. Minyak Atsiri Alkohol

Minyak pipermin dihasilkan dari daun tananaman Mentha piperita Linn, yang

penyusun utamanya adalah mentol. Pada bidang farmasi digunakan sebagai

antigatal, bahan pewangi dan pelega hidung tersumbat. Sementara pada

industri digunakan sebagai pewangi pasta gigi (Gunawan dan Mulyani, 2004).

C. Minyak Atsiri Fenol

Minyak cengkeh merupakan minyak atsiri fenol. Minyak ini diperoleh dari

tanaman cengkeh yang memiliki nama latin yaitu Eugenia caryophyllata atau

Syzigium caryophyllum (famili Myrtaceae). Bagian yang dimanfaatkan adalah

bunga dan daun. Minyak cengkeh tersusun dari eugenol yaitu sampai 95%

dari jumlah minyak atsiri keseluruhan. Selain eugenol, juga mengandung

aseton-eugenol, beberapa senyawa dari kelompok seskuiterpen, serta bahan-

bahan yang tidak mudah menguap seperti tanin, lilin, dan bahan seperti

damar. Kegunaan minyak cengkeh antara lain mengobati masuk angin serta

menghilangkan rasa mual dan muntah (Gunawan dan Mulyani, 2004).

D. Minyak Atsiri Eter Fenol

Minyak adas merupakan minyak atsiri eter fenol. Minyak adas berasal dari

hasil penyulingan buah Pimpinella anisum atau dari Foeniculum vulgare

Page 16: Proposal Akar Wangi 3

(famili Apiaceae atau Umbelliferae). Minyak yang dihasilkan, terutama

tersusun dari komponen-komponen terpenoid seperti anetol, sineol, pinena

dan felandrena. Minyak adas digunakan sebagai pelengkap sediaan obat

batuk, sebagai korigen odoris untuk menutup bau tidak enak pada sediaan

farmasi dan bahan parfum (Gunawan dan Mulyani, 2004)

E. Minyak Atsiri Oksida

Minyak kayu putih merupakan minyak atsiri oksida. Diperoleh dari isolasi

daun Melaleuca leucadendon L (famili Myrtaceae). Komponen penyusun

minyak atsiri kayu putih palig utama adalah sineol (85%) (Gunawan dan

Mulyani, 2004).

F. Minyak Atsiri Ester

Minyak gandapura merupakan atsiri ester. Minyak atsiri ini diperoleh dari

isolasi daun dan batang Gaultheria procumbens L (famili Erycaceae).

Komponen penyusun minyak ini adalah metil salisilat yang merupakan bentuk

ester. Minyak ini digunakan sebagai korigen odoris, bahan parfum, industri

permen dan minuman tidak beralkohol (Gunawan dan Mulyani, 2004).

2.3.1 Kandungan kimia minyak atsiri

Minyak atsiri sebagian besar terdiri dari senyawa terpen, yaitu suatu

senyawa produk alami yang strukturnya dapat dibagi ke dalam satuan-satuan.

Universitas Sumatera Utara isopren. Satuan-satuan isopren (C5H8) ini

membentuk asetat melalui jalur biosintesis asam mevalonat dan merupakan rantai

bercabang lima dari satuan atom karbon yang mengandung dua ikatan rangkap

(Gunawan dan Mulyani, 2004).

Terpen yang paling sering terdapat dalam komponen penyusun minyak

atsiri adalah monoterpen. Monoterpen banyak ditemukan dalam bentuk asiklis,

monosiklis, serta bisiklis sebagai hidrokarbon dan turunan yang teroksidasi

seperti alkohol, aldehid, keton, fenol, oksidasi dan ester. Terpen lain di bawah

monoterpen yang berperan penting sebagai penyusun minyak atsiri adalah

seskuiterpen dan diterpen (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Page 17: Proposal Akar Wangi 3

Kelompok besar lain dari komponen penyusun minyak atsiri adalah

senyawa golongan fenil propan. Senyawa ini mengandung cincin fenil C6 dengan

rantai samping berupa propana C3 (Gunawan dan Mulyani, 2004).

2.3.2 Parameter Minyak Atsiri

Beberapa parameter yang biasanya dijadikan standar untuk mengenali

kualitas minyak atsiri meliputi:

A. Berat Jenis

Berat jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan

kemurnian minyak atsiri. Nilai berat jenis minyak atsiri didefinisikan sebagai

perbandingan antara berat minyak dengan berat air pada volume air yang

sama dengan volume minyak yang sama. Berat jenis sering dihubungkan

dengan fraksi berat komponen-komponen yang terkandung didalamnya.

Semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam minyak, maka semakin

besar pula nilai densitasnya. Biasanya berat jenis komponen terpen

teroksigenasi lebih besar dibandingkan dengan terpen tidak teroksigenasi

(Sastrohamidjojo, 2004).

B. Indeks Bias

Indeks bias merupakan perbandingan antara kecepatan cahaya di dalam udara

dengan kecepatan cahaya didalam zat tersebut pada suhu tertentu. Indeks bias

minyak atsiri berhubungan erat dengan komponen-komponen yang tersusun

dalam minyak atsiri yang dihasilkan. Sama halnya dengan berat jenis,

komponen penyusun minyak atsiri dapat mempengaruhi nilai indeks biasnya.

Semakin banyak komponen berantai panjang seperti sesquiterpen atau

komponen bergugus oksigen yang ikut tersuling, maka kerapatan medium

minyak atsiri akan bertambah sehingga cahaya yang datang akan lebih sukar

untuk dibiaskan. Hal ini menyebabkan indeks bias minyak lebih besar.

Menurut Guenther, nilai indeks bias juga dipengaruhi oleh adanya air dalam

kandungan minyak atsiri tersebut. Semakin banyak kandungan airnya, maka

semakin kecil nilai indek biasnya. Ini karena sifat dari air yang mudah untuk

membiaskan cahaya yang datang. Jadi,

Page 18: Proposal Akar Wangi 3

Universitas Sumatera Utara minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang besar

lebih bagus dibandingkan dengan minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang

kecil (Sastrohamidjojo, 2004).

C. Putaran optic

Sifat optik dari minyak atsiri ditentukan menggunakan alat polarimeter yang

nilainya dinyatakan dengan derajat rotasi. Sebagian besar minyak atsiri jika

ditempatkan dalam cahaya yang dipolarisasikan maka memiliki sifat memutar

bidang polarisasi ke arah kanan (dextrorotary) atau ke arah kiri (laevorotary).

Pengukuran parameter ini sangat menentukan kriteria kemurnian suatu

minyak atsiri (Sastrohamidjojo, 2004).

D. Bilangan Asam

Bilangan asam menunjukkan kadar asam bebas dalam minyak atsiri. Bilangan

asam yang semakin besar dapat mempengaruhi kualitas minyak atsiri, yaitu

senyawa-senyawa asam tersebut dapat merubah bau khas dari minyak atsiri.

Hal ini dapat disebabkan oleh lamanya penyimpanan minyak dan adanya

kontak antara minyak atsiri yang dihasilkan dengan cahaya dan udara sekitar

ketika berada dalam botol atau wadah pada saat penyimpanan. Karena

sebagian komposisi minyak atsiri apabila terkontaminasi dengan udara atau

berada pada kondisi yang lembab akan mengalami reaksi oksidasi dengan

udara (oksigen) yang dikatalisis oleh cahaya sehingga akan membentuk suatu

senyawa asam. Jika penyimpanan minyak tidak diperhatikan atau

terkontaminasi langsung dengan udara sekitar, maka akan semakin banyak

juga senyawa-senyawa asam yang terbentuk. Oksidasi komponen-komponen

minyak atsiri terutama golongan aldehid dapat membentuk gugus asam

karboksilat sehingga akan menambah nilai bilangan asam suatu minyak atsiri.

Hal ini juga dapat disebabkan oleh penyulingan pada tekanan tinggi

(temperatur tinggi), karena pada kondisi tersebut kemungkinan terjadinya

proses oksidasi sangat besar. Bilangan asam adalah ukuran dari asam lemak

bebas, serta dihitung berdasarkan berat molekul dari asam lemak atau

campuran asam lemak. Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah milligram

Page 19: Proposal Akar Wangi 3

KOH 0,1N yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang

terdapat dalam 1 gram minyak atau lemak (Sastrohamidjojo, 2004).

E. Kelarutan dalam Alkohol

Telah diketahui bahwa alkohol merupakan gugus OH. Karena alkohol dapat

larut dengan minyak atsiri maka pada komposisi minyak atsiri yang dihasilkan

tersebut terdapat komponen-komponen terpen teroksigenasi. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Guenther bahwa kelarutan minyak dalam alkohol

ditentukan oleh jenis komponen kimia yang terkandung dalam minyak. Pada

umumnya minyak atsiri yang mengandung persenyawaan terpen teroksigenasi

lebih mudah larut daripada yang mengandung terpen tidak teroksigenasi.

Semakin tinggi kandungan terpen maka semakin rendah daya larutnya (sukar

larut), karena senyawa terpen tidak teroksigenasi merupakan senyawa

nonpolar yang tidak mempunyai gugus fungsional. Oleh karena itu, dapat

disimpulkan bahwa semakin kecil kelarutan minyak atsiri pada alkohol

(biasanya alkohol 90%) maka kualitas minyak atsirinya semakin baik

(Sastrohamidjojo, 2004).

2.4 Kromatografi Gas

Kromatografi berasal dari kata chroma (warna) dan graphein (penulisan)

merupakan suatu teknik pemisahan fisik karena memanfaatkan perbedaan yang kecil

sifat-sifat fisik dari komponen-komponen yang akan dipisahkan. Istilah penulisan

warna dengan kromatografi sudah tidak tepat lagi karena pemisahan dengan

kromatografi dapat dipakai untuk memisahkan komponen-komponen yang tidak

berwarna. Kromatografi adalah pemisahan fisik suatu perbedaan migrasi dari masing-

masing komponen campuran yang terpisah pada fase diam dibawah pengaruh fase

gerak. Kromatografi Gas (KG) adalah suatu cara untuk memisahkan suatu campuran

dengan mengalirkan arus gas melalui fase diam (H.M Mc nair,1988).

Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen

campuran dalam sampel, sedangkan spektrometer massa berfungsi untuk mendeteksi

masing–masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi

Page 20: Proposal Akar Wangi 3

gas (Agusta, 2000). Satu keuntungan dari GC–MS adalah identifikasinya berdasarkan

waktu retensi dan spektrum massa (pola fragmentasi senyawa) (Anonimc, 2009).

Kebanyakan penyelidikan dengan kromatografi gas–spektrometri massa (GC–

MS) dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu: penjatidirian obat atau metabolit dan

kuantitasi obat dalam cairan hayati. Pada penjatidirian penekanan pada perolehan

spektrum massa dari senyawa, lalu dibandingkan dengan spektra baku, ini digunakan

untuk menjelaskan struktur analit. Bukti struktur juga dikuatkan oleh waktu tambat

pada kolom terpilih kromatografi gas. Untuk 16 kuantitasi obat dalam terokan hayati

ditekankan pada keselektifan dan kepekaan. Kedua kondisi ini dipenuhi dengan

penggunaan spektrometer massa sebagai detektor (Munson, 1991).

2.4.1 Unsur-unsur penting dalam sistem GC-MS:

a. Gas pembawa

Faktor yang menyebabkan suatu senyawa bergerak melalui kolom

kromatografi gas ialah keatsiriannya, aliran gas yang melalui kolom yang

diukur dalam satuan ml/menit, serta penurunan tekanan antara pangkal dan

ujung kolom. Gas pembawa harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara

lain harus inert (tidak bereaksi dengan sampel, pelarut sampel, material dalam

Page 21: Proposal Akar Wangi 3

kolom), murni, dan mudah diperoleh. Pemilihan gas pembawa tergantung

pada detektor yang dipakai.

Kemurnian gas pembawa sangat penting. Penggunaan gas yang

kemurniannya rendah sering dijumpai sejumlah puncak yang bukan berasal

dari sampel yang dianalisis (ghost peak) dan baseline kromatogram tidak rata

(Agusta, 2000). Oleh karena itu, gas pembawa sebelumnya dialirkan melalui

penyaring molekul untuk menghilangkan uap air yang terdapat dalam gas

pembawa. Sebagai gas pembawa pada GC-MS biasanya digunakan helium

karena ringan, relatif mudah dihilangkan dengan sistem pompa hampa

(Megawati,2010).

b. Kolom

Kolom merupakan jantung dari kromatografi gas karena didalam kolom inilah

sampel dianalisis sehingga beberapa komponen dapat dipisahkan dan terelusi

pada waktu yang berbeda. Beberapa faktor yang mempengaruhi kolom antara

lain ukuran kolom, jenis padatan pendukung fase diam, ukuran partikel

padatan pendukung dan fase cairan yang digunakan sebagai fase diam

(Megawati, 2010).

Ada dua macam kolom, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler. Kolom kemas

adalah pipa yang terbuat dari logam, kaca, atau plastik yang berisi penyangga

padat yang inert. Fase diam baik berwujud padat maupun cair, diserap atau

terikat secara kimia pada permukaan penyangga padat tersebut. Diameter

kolom biasanya 2–4 mm dengan panjang 0,5–6 meter (Agusta, 2000).

Kolom kapiler pertama kali diperkenalkan oleh M.J.E Golay pada tahun 1956.

Keuntungan penggunaan kolom ini adalah jumlah sampel yang dibutuhkan

hanya sedikit, gas pembawa yang dibutuhkan juga sedikit, dan pemisahan

lebih sempurna. Kolom kapiler dibedakan menjadi 4 tipe yang didasarkan

pada diameter sebelah dalamnya.

1. Narrow bore

Kolom ini berdiameter 0,1 mm, digunakan untuk melakukan analisis

dengan waktu yang relatif pendek atau analisis cepat. Kolom tipe ini

Page 22: Proposal Akar Wangi 3

dapat memisahkan campuran dengan konsentrasi sekitar 10 ng untuk

masing-masing komponen.

2. Middle bore

Kolom ini berdiameter 0,22–0,25 mm, memiliki daya pisah yang

tinggi, dapat memisahkan campuran dengan konsentrasi 50–100 ng

untuk masing-masing komponen. Untuk menganalisis komponen

minyak atsiri, lebih disarankan menggunakan kolom ini.

3. Semi wide bore

Kolom ini berdiameter 0,32 mm, penggunaannya lebih ditujukan

untuk analisis yang membutuhkan sensitivitas yang tinggi. Kolom

semi wide bore dapat memisahkan campuran dengan konsentrasi 150–

300 ng untuk masing-masing komponen.

4. Wide bore

Kolom ini berdiameter 0,50–0,53 mm. Kolom wide bore dapat

memisahkan campuran dengan konsentrasi 500–2500 ng untuk

masing-masing komponen, penggunaan kolom ini ditujukan untuk

analisis campuran yang relatif lebih banyak (Agusta, 2000).

c. Fase diam

Fase diam biasanya disapukan pada permukaaan dalam medium, seperti tanah

diatomae dalam kolom atau dilapiskan pada dinding kapiler. Berdasarkan

bentuk fisiknya, fase diam yang umum digunakan pada kolom adalah fase

diam padat dan fase diam cair. Akan tetapi, untuk kolom kapiler lebih banyak

digunakan fase diam cair yang disebut dengan istilah film thickness. Ketebalan

fase diam ini berbeda untuk masing–masing tipe kolom kapiler. Kolom tipe

narrow bore memiliki film thickness setebal 0,1 mu, tipe middle bore 0,25–

0,5 mu, tipe semi–wide bore 0,5–1,0 mu, dan tipe wide–bore 1,0–5,0 mu.

Berdasarkan sifatnya, fase diam dibedakan berdasarkan kepolarannya yaitu

nonpolar, sedikit polar, setengah polar (semi polar), dan sangat polar

(Agusta,2000).

Page 23: Proposal Akar Wangi 3

Menurut adnan, 1997, Pemilihan fase diam cair biasanya didasarkan

atas pedoman like dissolves like. Hal ini berarti bahwa fase diam yang bersifat

polar cocok untuk sampel yang bersifat polar dan sample–sampel yang non

polar akan terpisah dengan baik pada fase cair non polar (Megawati, 2010).

Berdasarkan sifat minyak atsiri yang nonpolar sampai sedikit polar, untuk

keperluan analisis sebaiknya digunakan kolom dengan fase diam nonpolar

atau sedikit polar. (Agusta, 2000).

d. Detector

Detektor dalam GC-MS adalah spektroskopi massa yang terdiri atas sistem

ionisasi dan sistem analisis (Agusta, 2000). Spektroskopi massa berdasarkan

atas ionisasi dari molekul solut dalam sumber ion dan pemisahan ion

didasarkan dari hasil unit analisis rasio massa (Fowlis, 1994). Salah satu

keuntungan teknik ini adalah sensitivitasnya tinggi. Spektroskopi massa dapat

mendeteksi senyawa dalam jumlah mikrogram (Sarker et al., 2006).

e. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor utama yang menentukan hasil analisis

kromatografi gas dan spektrometri massa. Ada tiga macam suhu yang penting

untuk pemisahan yang baik dalam GC, yaitu suhu tempat injeksi, suhu kolom

dan suhu detektor. Suhu pada tempat injeksi harus cukup tinggi untuk

Page 24: Proposal Akar Wangi 3

menguapkan sampel tetapi tidak terlalu tinggi, sebab kalau terlalu tinggi

akibatnya kemungkinan terjadinya perubahan oleh panas atau peruraian dari

molekul-molekul. Suhu pada kolom harus cukup tinggi sehingga analisis

dapat diselesaikan dalam waktu yang layak dan harus cukup rendah (Mc Nair

and Bonelli, 1988). Suhu-suhu yang rendah memberikan pemisahan lebih

baik, tetapi waktu retensi lebih panjang (Gritter, 1991).

f. System injeksi

GC–MS memiliki dua sistem pemasukan sampel (injection), yaitu secara

langsung (direct inlet) dan melalui sistem kromatografi gas (indirect inlet).

Sampel campuran seperti minyak atsiri, pemasukan sampel harus melalui

sistem GC, sedangkan untuk sampel murni dapat langsung dimasukkan ke

dalam ruang pengion (direct inlet) (Agusta, 2000). Penginjeksian yang lambat

untuk sampel yang terlalu besar akan menyebabkan pelebaran pita dan

pemisahan yang buruk (Mursyidi, 1989).

g. Sistem ionisasi

Ada beberapa metode ionisasi untuk analisis spektrometer massa. Electron

Impact ionization (EI) adalah metode ionisasi yang umum digunakan (Agusta,

2000). EI merupakan proses ionisasi yang sulit, bukan dikarenakan oleh

tabrakan antara molekul sampel tapi oleh interaksi antara elektron dan

molekul ketika elektron lewat berdekatan. Proses ini menghasilkan

perpindahan satu elektron dari molekul sampel, dengan anggapan ion ini tidak

mengalami fragmentasi ditunjukkan sebagai “ion molekuler”. Ion molekuler

adalah molekul dengan satu elektron yang dilepaskan, ion molekuler akan

mempunyai jumlah massa yang sama sebagai molekul netral. Ion yang lain

dalam spektrum diturunkan dari dekomposisis ion molekuler. EI

memperbolehkan penentuan dari massa relatif molekuler dan struktur dari

molekul. Elektron dihasilkan oleh lewatnya arus tertentu menembus tungsten

filament. Elektron ini menyebabkan analit menjadi diionisasi dan

difragmentasi. Semua muatan positif ion dibentuk dalam sumber ion

dimasukkan kedalam quadrupole (Anonimc, 2009).

Page 25: Proposal Akar Wangi 3

h. Sistem analisis

Sistem analisis yang digunakan pada spektrometer ini juga ada beberapa

macam. Sistem yang umum digunakan adalah sistem kuadrupol dengan

batang (empat buah) yang mempunyai 4 kutub dan terletak antara sumber ion

dan detektor (Agusta, 2000).

i. Sistem pengolahan data dan identifikasi senyawa

Berdasarkan analisis GC–MS diperoleh dua informasi dasar, yaitu hasil

analisis kromatografi gas yang ditampilkan dalam bentuk kromatogram dan

hasil analisis spektrometri massa yang ditampilkan dalam bentuk spektrum

massa. Kromatogram memberikan informasi mengenai jumlah komponen

kimia yang terdapat dalam campuran yang dianalisis (jika sampel berbentuk

campuran) yang ditunjukkan oleh jumlah puncak yang terbentuk pada

kromatogram berikut kuantitas masing-masing. Spektrum massa hasil analisis

sistem spektroskopi massa merupakan gambaran mengenai jenis dan jumlah

fragmen molekul yang terbentuk dari suatu komponen kimia (masing-masing

puncak pada kromatogram). Setiap fragmen yang terbentuk dari pemecahan

suatu komponen kimia memiliki berat molekul yang berbeda dan ditampilkan

dalam bentuk diagram dua dimensi, m/z (m/e, massa/muatan) pada sumbu X

dan intensitas pada sumbu Y yang disebut spektrum massa (Agusta, 2000).

Page 26: Proposal Akar Wangi 3

Daftar pustaka

Agusta, A. (2000). Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Bandung: Penerbit

Institut Teknologi Bandung. Hal. 101.

Megawati, R.F, 2010. Analisi Mutu Minyak Atsiri Bunga Cengkeh (syzygium

aromaticum. L). Meer & Perry) Dari Maluku, Sumatera, Sulawesi dan Jawa dengan

Metode Metabolomic Berbasis GC-MS. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas

Muhammadiah:Surakarta.

Martinez J, Paulo TV, Chantal M, Alain L, Pierre B, Dominique P, Angela AM.

2004. Valorization of Brazilian Vetiver (Vetiveria zizanoides (L) Nash ex Small) Oil.

J. Agr and Food Chem. 52 : 6578 – 6584.

Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Yuliani, Sri., Satuhu, Suyanti. 2012. Panduan LengkapMinyak Atsiri. Penebar

Swadaya.Bogor.

Sastrohamidjojo, H., (2004), Kimia Minyak Atsiri, Penerbit Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

Gunawan, D, Mulyani, S., (2004), Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid I, Penerbit

Penebar Swadaya, Jakarta.

Lutony, T. L. dan Y. Rahmayati, 2002. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri.

Penebar Swadaya, Jakarta. DSN (Dewan Standarisasi Nasional). (1995) SNI 06-

3735-1995.” Mutu dan Cara Uji Gelatin’, Jakarta.

Page 27: Proposal Akar Wangi 3

Hadipoentyanti, E. & Wahyuni, S., 2008, Keragaman Selasih (Ocimum Spp.)

Berdasarkan Karakter Morfologi, Produksi, dan Mutu Herba, Jurnal Littri, 14(4),

141-148.

Anonymous. Akar Wangi. Makalah disampaikan oleh PT Jasula Wangi pada

Konferensi Nasional Minyak Atsiri. Solo: 18-20 September 2006.

Chomchalow N. The utilization of vetiver as medicinal and aromatic plants with

specialreference to Thailand. Technical Bulletin No. 2001/1. Office of the Royal

Development Projects Board. Bangkok, Thailand. 2001.

Emmyzar SRoechan, A.M. Kurniawansyah dan Pulung. Produktivitas dan kadar minyak tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides Stapt) di tanah tercemar logam berat cadmium. Jurnal ilmiah Pertanian Gakuryoku; 2000. VI (2): 129-179.