paper konsep pangan lokal

24
“TEORI DAN KONSEP PANGAN LOKAL SERTA KEBIJAKAN PEMERINTAH” TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN LOKAL Disusun oleh : Kelompok B1 1. Merrynda K A 121710101056 2. M. Arif Rahman 121710101074 3. Indah Miftahur R 121710101081 4. Istiqoma Novenda 121710101083 5. Moh. Ainul Yakin 121710101085 6. Rizaldy Adhisky 121710101087 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

Upload: paul-coleman

Post on 30-Dec-2015

192 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Paper Konsep Pangan Lokal

TRANSCRIPT

“TEORI DAN KONSEP PANGAN LOKAL SERTA

KEBIJAKAN PEMERINTAH”

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN LOKAL

Disusun oleh :

Kelompok B1

1. Merrynda K A 121710101056

2. M. Arif Rahman 121710101074

3. Indah Miftahur R 121710101081

4. Istiqoma Novenda 121710101083

5. Moh. Ainul Yakin 121710101085

6. Rizaldy Adhisky 121710101087

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

2014

ABSTRAK

Pangan lokal merupakan produk pangan yang telah lama diproduksi, berkembang dan dikonsumsi di suatu daerah. Umunya produk pangan lokal diolah dari bahan baku lokal, teknologi lokal, dan pengetahuan lokal pula. Untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi seimbang. Untuk mencapai keseimbangan gizi, diperlukan pengetahuan mengetahui pola makan yang seimbang sehingga dapat mewujudkan nilai Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan untuk setiap individu.

Kata Kunci : pangan, pangan lokal, diversifikasi pangan, ketahanan pangan, pola konsumsi pangan, dan Angka Kecukupan Gizi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia

mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh

pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh 

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam Undang-Undang

Nomor 7 tahun 1996 tersebut menyatakan Pemerintah menyelenggarakan

pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat

menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta

berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam

jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli

mereka. Hal tersebut mendorong adanya ketahanan pangan. Untuk meningkatkan

ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan

sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi

pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk

mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi seimbang. Oleh karena itu, untuk

membentuk kemandirian pangan sendiri sangat diharapkan kesadaran masyarakat

serta adanya kebijakan pemerintah dalam pelaksanaannya.

Tujuan

Adapun tujuan yang diperoleh dari rumusan masalah tersebut adalah

sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui konsep dari pangan lokal.

2. Untuk mengetahui diversifikasi pangan dan kebijakan pemerintah mengenai

diversifikasi pangan.

3. Untuk mengetahui pengertian dari ketahanan pangan nasional dan upaya

kebijakan pemerintah.

4. Untuk mengetahui pola konsumsi pangan dan angka kecukupan gizi (AKG).

REVIEW LITERATUR

Pengertian dan Konsep Bahan Pangan Lokal

Menurut Lembata (2009) pangan adalah hak asasi setiap individu untuk

memperolehnya dengan jumlah yang cukup dan aman serta terjangkau. Oleh

karena itu, upaya pemantapan ketahanan pangan harus terus dikembangkan

dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Setiap

daerah memiliki potensi pangan yang berbeda-beda, Berbagai jenis pangan

tersebar, dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Untuk

pemenuhan kebutuhan konsumsinya baik sebagai pangan pokok maupun

substitusi. Pangan lokal yang selama ini sudah dikembangkan dan dimanfaatkan

oleh masyarakat perlu ditingkatkan pengembangannya, baik dari sisi produksi

maupun pemanfaatan atau pengelolaannya. Dalam hal ini tentu membutuhkan

pendampingan yang intensif serta permodalan dan teknologi. Pangan lokal

termasuk di dalamnya pangan tradisional dan pangan khas daerah mempunyai

peranan strategis dalam upaya pemantapan ketahanan pangan khususnya aspek

konsumsi dalam hal ini penganekaragaman di daerah karena bahan baku pangan

tersebut tersedia secara spesifik lokasi. Disamping itu resep makanan yang

dimiliki cukup beranekaragaman macamnya baik yang telah diwariskan turun

temurun maupun baru diciptakan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, pangan

adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,

perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang

diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan/minuman

bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan

dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau

pembuatan makanan dan minuman. Sedangkan definisi pangan lokal juga

merujuk pada UU No. 18 tahun 2012 adalah makanan yang dikonsumsi oleh

masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Pangan lokal

merupakan produk pangan yang telah lama diproduksi, berkembang dan

dikonsumsi di suatu daerah. Umunya produk pangan lokal diolah dari bahan baku

lokal, teknologi lokal, dan pengetahuan lokal pula. Sehingga produk pangan lokal

berkaitan dengan budaya lokal, karena itu sering kali produk menggunakan nama

daerah. Contohnya : Gudeg Jogja, Dodol Garut, Jenang Kudus, Soto Betawi,

Talas Bogor dan lainnya.

Diversifikasi Pangan

Diversifikasi pangan adalah usaha untuk menyediakan berbagai ragam

produk pangan baik dalam segi jenis maupun bentuk sehingga tersedia banyak

pilihan bagi kosumen. Penganekaragaman konsumsi pangan akan memberi

dorongan dan insentif pada penyediaan produk pangan yang lebih beragam dan

aman untuk dikonsumsi termasuk pangan yang berbasis lokal. Dari sisi produksi,

hal tersebut mendorong pengembangan beragam sumber pangan terutama sumber

karbohidrat, protein, dan zat penting lainnya. Dari sisi konsumsi, dampak

langsung yang diharapkan adalah menurunnya konsumsi beras per kapita tiap

tahunnya pada tingkat rumah tangga, walaupun disadari bahwa banyak hal yang

mempengaruhitingkat konsumsi suatu produk.

Konsep diversifikasi pangan meliputi tiga hal, yaitu diversifikasi

horizontal (mengubah usaha tani berbasis padi menjadi tanaman pangan lain),

diversifikasi vertikal (pengembangan pangan pasca panen), dan diversifikasi

regional (penganekaragaman pangan dengan pendekatan wilayah). Diversifikasi

pangan ini tercakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi. Dari

aspek produksi, diversifikasi berarti perluasan spektrum komoditas pangan, baik

dalam hal perluasan pemanfaatan sumber daya, pengusahaan komoditas maupun

pengembangan produksi komoditas pangan. Sedangkan diversifikasi konsumsi

merupakan penganekaragaman konsumsi pangan dari masyarakat Indonesia agar

terpenuhinya gizi yang tepat dan seimbang. Pemenuhan pangan dapat diartikan

pemenuhan asupan zat-zat yang diperlukan tubuh, seperti karbohidrat, protein,

lemak, vitamin, dan lain sebagainya yang kemudian dikonversi menjadi energi.

Indonesia sendiri adalah negara yang dilewati garis khatulistiwa sehingga

beriklim tropis dan matahari bersinar sepanjang tahun. Kondisi geografis ini,

menyebabkan produk pertanian, dalah hal ini untuk konsumsi pangan, Indonesia

melimpah, mulai dari serelia, umbi-umbian, ternak, perikanan, dan lain

sebagainya. Maka, sumber asupan zat-zat yang diperlukan tubuh tidak harus

selalu bergantung pada jenis komoditi tertentu, seperti beras dan tepung terigu.

Presiden Republik Indonesia pada tangga 6 Juni 2009 telah mengeluarkan

Peraturan Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Melalui

kebijakan ini diharapkan mampu memberikan daya ungkit yang kuat bagi

penyediaan dan permintaan aneka ragam pangan secata nyata, yang secara

stimultan dapat mendorong terwujudnya peneydiaan aneka ragam pangan yang

berbasis pada potensi sumber daya lokal. Selain itu, sebagai tidak lanjut dari

Peraturan Presiden tersebut telah ditetapkan Peraturan Menteri Pertanian no.43

Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi

PaganBerbasis Sumber Daya Lokal. Pada 25 Febuari 2010 telah ditetapkan pula

Peraturan Menteri Pertanian no.25 Tahun 2010 mengenai Gerakan Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Diversifikasi pangan juga merupakan

upaya mengembalikan kedaulatan pangan nasional. Hal ini harus diiringi dengan

pengembangan berbasis kearifan lokal. Artinya, pola diversifikasi pangan harus

mengacu pada penggunaan bahan baku dalam negeri seperti bibit, pupuk, dan

pembasmi hama. Tujuannya, untuk mengurangi ketergantungan pangan terhadap

impor. Maka, penelitian dan pengembangan bahan baku dan produk pertanian

harus menjadi satu kesatuan rantai pangan sehingga mampu meningkatkan

kemandirian berbasis kearifan lokal.

Dimensi diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada pangan

pokok tetapi juga pangan jenis lainnya, karena konteks diversifikasi tersebut

adalah meningkatkan mutu gizi masyarakat secara kualitas dan kuantitas, sebagai

usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Indonesia dirasa mulai

perlu menggeser bahan baku makanan sehari-hari demi ketahanan jangka

panjang. Saat ini lahan pertanian di Indonesia semakin sempit akibat dari ledakan

jumlah penduduk, dengan demikian bertambahnya jumlah penduduk

mengakibatkan konsumsi beras akan bertambah pula. Ketidakmampuan

menghadapi situasi ini, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengimpor

beras. Impor beras dalam jumlah besar saat ini mengakibatkan inflasi pada

perekonomian Indonesia dan nilai kurs mata uang rupiah akan dolar semakin

melemah. Sehingga yang diperlukan Indonesia saat ini adalah mengurangi atau

bahkan menghapus kebijakan impor beras demi peningkatan perekonomian

Indonesia. Yakni salah satunya dengan mengambil kebijakan diversifikasi

pangan untuk meminimalisasi konsumsi beras. Beberapa komoditi yang cukup

berperan sebagai komoditi unggulan yaitu jagung karena merupakan salah satu

serelia yang strategis dan bernilai ekonomis dengan merupakan salah satu serelia

yang strategis dan bernilai ekonomis, sagu karena memiliki kandungan kalori

yang tinggi sehingga dapat dijadikan alternatif pengganti beras, dan singkong

yang merupakan makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai

sayuran dengan kandungan kalori, protein, lemak, hidrat arang, kalsium, fosfor,

zat besi, serta vitamin B dan vitamin C. Ada dua jalur alternatif untuk

pengembangan produk singkong guna mendukung diversifikasi pangan. Pertama

pengembangan singkong menjadi tepung komposit (terigu dan tepung yang

berasal dari umbi-umbian) sehingga produk akhrnya berupa mie, roti ataupun

pasta. Kedua adalah mengubah bentuk dari tepung singkong menjadi butiran atau

dapat disebut beras singkong (Rasi) yang merupakan ampas hasil sampingan

pembuatan tapioca (Djuwardi, 2010).

Pengertian Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu dalam stabilitas

nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai

peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu,  upaya

penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan

yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal,

mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi

produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan

mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Oleh sebab itu,

ketahanan pangan merupakan program utama dalam pembangunan pertanian saat

ini dan masa mendatang. Menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang

Pangan, pasal 1 angka 17 menyatakan bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan

yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”.

Ketahanan pangan nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk

menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup,

mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi

pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu

indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan

pangan nasional terhadap impor (Litbang Deptan, 2005).

Upaya dan kebijakan pemerintah dalam mempertahankan ketahanan

pangan yaitu terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup,

dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang

berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,

vitamin dan mineral serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan

kesehatan manusia, terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas

dari pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu,

merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah

agama, terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa

distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan

merata di seluruh tanah air.

Pola Konsumsi Pangan

Dalam kehidupan sehari-hari, pangan yang dikonsumsi beragam jenis

dengan berbagai cara pengolahanya. Di masyarakat dikenal pola

konsumsi pangan atau kebiasaan makan yang ada pada masyarakat.

Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah

pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu

(Yayuk Farida Baliwati. dkk, 2004)

Pola konsumsi pangan adalah tingkah laku manusia atau kelompok

manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap,

kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat

bersifat positif dan negatif. Sikap positif atau negatif terhadap makanan

bersumber pada nilai-nilai affectif yang berasal dari lingkungan (alam, budaya,

sosial dan ekonomi) dimana manusia atau kelompok manusia itu tumbuh.

Demikian juga halnya dengan kepercayaan terhadap makanan yang berkaitan

dengan nilai-nilai cognitif yaitu kualitas baik atau buruk, menarik atau tidak

menarik. Pemilihan adalah proses psychomotor untuk memilih makanan sesuai

dengan sikap dan kepercayaannya (Khumaidi, 1994). Maka pola konsumsi

pangan dapat didefinisikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang dalam

memilih makanan dan mengkonsumsi sebagai tanggapan pengaruh psikologi,

fisiologi, budaya, dan sosial (Soehardjo, 1996). Pola konsumsi pangan terdiri dari

frekuensi makan, jenis makanan, tujuan makan, fungsi makanan, dan cara

pengolahan makanan.

1. Frekuensi makan

Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif

dan kuantitatif.

2. Jenis makanan

Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan,

dicerna, dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat

dan seimbang.

3. Tujuan Makan

Secara umum, tujuan makan menurut ilmu kesehatan adalah memperoleh

energi yang berguna untuk pertumbuhan, mengganti sel tubuh yang rusak,

mengatur metabolisme tubuh serta meningkatkan daya tahan tubuh terhadap

serangan penyakit.

4. Fungsi Makanan

a. Memberikan bahan untuk membangun dan memelihara tubuh disamping

memperbaiki bagian tubuh yang rusak.

b. Memberikan energi (tenaga) yang dibutuhkan untuk kebutuhan bergerak

dan bekerja.

c. Memberikan rasa kenyang yang berpengaruh terhadap ketentraman

5. Cara Pengolahan Makanan

Dalam menu Indonesia pada umumnya makanan dapat diolah dengan

cara merebus (boiling), memasak (braising), mengukus (steaming), dan

bumbu-bumbuan (simmering).

Pola konsumsi pangan yang ada dalam suatu wilayah atau daerah dapat

dipengaruhi oleh dua faktor, yatu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor

ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar diri manusia sedangkan faktor

intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri manusia. Berikut ini adalah

faktor-faktor ekstrinsik.

1. Lingkungan Alam

Faktor lingkungan alam yaitu tergantung dari potensi alam

lingkungannya. Misalnya bila berada di daerah tropik maka makanan pokok

yang sering dikonsumsi adalah padi sedangkan bila berada di daerah

subtropik maka makanan pokok yang sering dikonsumsi adalah terigu atau

roti.

2. Lingkungan Sosial

Faktor ligkungan sosial yaitu berdasarkan dari segi kependudukan

dengan adanya tingkatan-tingkatan atau susunan dan strata. Misalnya

makanan yang dihidangkan pada tamu harus lebih istimewa.

3. Lingkungan Agama dan Budaya

Faktor lingkungan agama dan budata yaitu berdasarkan pada agama dan

kepercayaan yang dianut. Misalnya makanan yang berasal dari babi tidak

boleh dikonsumsi umat muslim karena haram. Selain itu juga adanya

makanan untuk selamatan atau dan sesaji.

4. Pendidikan atau Pengetahuan tentang Gizi

Faktor pendidikan akan berpengaruh terhadap pengetahuan tentang

makanan bergizi sehingga makanan yang dominan dikonsumsi adalah

makanan yang bergizi baik untuk kesehatan.

5. Tingkat Ekonomi

Faktor tingkat ekonomi yaitu berdasarkan dari tingkatan-tingkatan

ekonomi. Misalnya orang kaya akan mengkonsumsi makanan yang lebih

bergizi karena mampu membelinya sedangkan orang miskin akan

mengkonsumsi makanan kurang gizi karena tidak mampu membeli.

6. Perkembangan Teknologi

Faktor perkembangan teknologi berdasarkan adanya perkembengan

teknologi dalam bidang pangan. Misalnya dalam bidang bioteknologi yang

dapat menghasilkan jenis makanan yang lebih bergizi dan unggul.

Sedangkan dalam teknologi pengolahan dapat menghasilkan makanan yang

praktis atau instan serta makanan yg lebih menarik. Berikut ini adalah

faktor-faktor istrinsik dari pola konsumsi pangan suatu masyarakat.

1. Keadaan Emosional

Faktor keadaan emosional misalnya pengalaman masa lalu berupa

trauma, suka, atau tidak suka pada makanan tertentu sehingga ada

kecendurungan untuk mengkonsumsi makanan itu-itu saja. Selain itu faktor

emosional dapat berupa perasaan sedih atau gembira yang dapat

mempengaruhi selera makan.

2. Keadaan Kesehatan Jasmani

Faktor keadaan jasmani misalnya bila mengalami sakit maka dapat

menyebabkan nafsu makan turun sehingga pola makan dapat berubah.

3. Penilaian yang Berlebihan terhadap Makanan Tertentu

Pada faktor ini berdasarkan penilaian masing-masing indvidu terhadap

suatu jenis makanan. Misalnya beras, dinilai sebagai makanan pokok yang

terbaik walaupun lauknya hanya kerupuk dan kecap. Contoh lain yaitu

makanan berupa telur mentah dan madu merupakan makanan sehat karena

berkhasiat dalam penyegaran tubuh.

Pola konsumsi masyarakat Indonesia lebih dominan mengkonsumsi

makanan pokok berupa padi-padian seperti jagung, beras, sagu, gandum, dan ubi

sedangkan konsumsi produk hewani masih sangat rendah. Hal tersebut

menunjukkan ketidakseimbangan gizi makanan yang dikonsumsi. Karena pola

konsumsi pangan yang tidak sesuai gizi seimbang, maka diciptakan Pola Pangan

Harapan (PPH). PPH adalah suatu komposisi pangan yang seimbang untuk

dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. PPH dapat dinyatakan

dalam bentuk komposisi energi (kalori) aneka ragam pangan dan komposisi

berat (gram atau kg) aneka ragam pangan yang memenuhi kebutuhan penduduk.

PPH bertujuan untuk menghasilkan suatu komposisi normal atau standar pangan

dalam memenuhi kebutuhan gizi penduduk, sekaligus juga mempertimbangkan

keseimbangan gizi (nutricional balance), cita rasa (porlability), daya cerna

(digestability), daya terima masyarakat (acceptability), kualitas dan kemampuan

daya beli (affeadebilit)

Angka kecukupan Gizi (AKG)

Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan

fungsinya yaitu menghasilkan energi membangun dan memelihara jaringan serta

mengatur proses-proses kehidupan (Almatsier, 2003). Gizi adalah zat penyusun

bahan makanan yang diperlukan oleh tubuh untuk metabolisme, air, protein,

mineral dan karbohidrat. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi

seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila zat-zat yang

digunakan secara efisien. Sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,

perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat

setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan

satu atau zat-zat gizi esensial dan ini disebabkan karena adanya gangguan gizi

(Irianto & Waluyo, 2004). Menurut Almatsier (2003) terdapat 2 jenis gangguan

gizi yaitu gangguan oleh faktor primer, yang disebabkan karena kurangnya

penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan,

ketidaktahuan, kebiasaan makanan, dan gangguan oleh faktor sekunder yang

menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai disel-sel tubuh setelah makanan

dikonsumsi.

Pola konsumsi pangan suatu masyarakat harus seimbang sesuai

kebutuhan gizi tubuh atau Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan. AKG

merupakan suatu anjuran tentang jumlah zat gizi yang diperlukan seseorang atau

kelompok orang agar hampir semua orang (97,5% populasi) dapat hidup sehat.

AKG berguna untuk mengukur tingkat konsumsi, perencanaan konsumsi pangan

dan ketersediaan pangan, serta menentukan fortifikasi zat gizi dalam makanan.

Angka Kecukupan Gizi (AKG) juga dapat dikatakan sebagai jumlah zat-

zat gizi yang hendaknya dikonsumsi tiap hari untuk jangka waktu tertentu

sebagai bagian dari diet normal rata-rata orang sehat. Oleh sebab itu perlu

dipertimbangkan setiap faktor yang berpengaruh pada absorpsi zat-zat gizi atau

efisiensi penggunaan dalam tubuh. AKG belum dapat ditetapkan untuk semua zat

gizi yang kurang diketahui, akan tetapi AKG untuk zat-zat yang sudah ditetapkan

dapat dijadikan pedoman, oleh sebab itu dianjurkan agar menu sehari-hari terdiri

atas bahan pangan yang bervariasi yang diperoleh dari beberapa golongan pangan

(bukan dari suplemen) dan supaya dapat diperhitungkan kemungkinan

kehilangan zat-zat gizi selama pengolahan makanan. AKG yang ditetapkan pada

Widyakarya Pangan dan Gizi Nasional tahun 1998 meliputi zat-zat gizi sebagai

berikut: energi, protein, vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, tiamin,

riboblafin, niasin, vitamin B12.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut.

1. Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia

mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi

oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama

2. Pangan lokal merupakan produk pangan yang telah lama diproduksi,

berkembang dan dikonsumsi di suatu daerah. Umunya produk pangan lokal

diolah dari bahan baku lokal, teknologi lokal, dan pengetahuan lokal pula

3. Diversifikasi pangan adalah Penganekaragaman konsumsi pangan yang akan

memberi dorongan dan insentif pada penyediaan produk pangan yang lebih

beragam dan aman untuk dikonsumsi termasuk pangan yang berbasis lokal.

4. Presiden Republik Indonesia pada tangga 6 Juni 2009 telah

mengeluarkanPeraturan Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan

Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya

Lokal

5. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga

yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun

mutunya, aman, merata, dan terjangkau

6. Ketahanan pangan nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk

menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang

cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada

optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya

domestik.

7. Pola konsumsi pangan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia

dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap,

kepercayaan dan pemilihan makanan.

8. AKG merupakan suatu anjuran tentang jumlah zat gizi yang diperlukan

seseorang atau kelompok orang agar hampir semua orang (97,5% populasi)

dapat hidup sehat. AKG berguna untuk mengukur tingkat konsumsi,

perencanaan konsumsi pangan dan ketersediaan pangan, serta menentukan

fortifikasi zat gizi dalam makanan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Djaeni Sediaoetama. 2000. Ilmu Gizi untuk mahasiswa dan profesi jilid

I. Jakarta: Dian Rakyat.

Almatsier, S., 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Jakarta : Gramedia Pustaka

Utama.

Anne Lies Ranti Santoso Soegeng. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : PT. Asdi.

Bustaman, S. 2009. Kebijakan Pengembangan Bahan Bakar Nabati (Bioetanol)

di Maluku. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/161083545.pdf. (14

Februari 2014).

Darwin Karyadi dan Muhilal. 1996. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta :

PT. Gramedia Pustaka Utama. Edisi 3. Hal: 19,33.

Hanafie, R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta : ANDI OFFSET.

Irianto, K. dan Waluyo, K. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung : Yrama

Widya.

Khumaidi, M. 1994. Gizi Masyarakat. Jakarta : PT Gunung Agung Mahasatya.

Rao, V., M. Agarwal, et al., 2004. “How Is Manifest Branding Strategy Related

to the Intagible Value of a Corporation?” Journal of Marketing 68: 126-141.

Soehardjo, 1996. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta : UI Press.

Suhariyanto, R. V. Gerpacio, and P.L.Pingali, 2004. Maize in Indonesia

Production Systems, Constraints, and Research Priorities. CIMMYT.

www.cimmyt.org/english/docs/maize_producsys/indonesia.pdf. [14 Februari

2014]

Yayuk Farida Baliwati. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta : Penebar

Swadaya.