paper pengertian pangan lokal dan ketahanan pangan k.8

30
Ketahanan Pangan” Teknologi Pengolahan Pangan Lokal Oleh : Dita Energa Saputri 121710101115 Anyes Anggraini 121710101109 Andi Prasetio 121710101135 Bayu Octavian Prasetya 121710101118

Upload: bayu-octavian-prasetya

Post on 26-Nov-2015

29 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Ketahanan Pangan

Teknologi Pengolahan Pangan Lokal

Oleh :Dita Energa Saputri

121710101115

Anyes Anggraini

121710101109

Andi Prasetio

121710101135

Bayu Octavian Prasetya

121710101118

Yogi Fathur Rohman

121710101131

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

2014Abstrak

Ketersediaan bahan pangan sangat penting karena makanan adalah kebutuhan dasar manusia. Pemenuhan pangan adalah hak setiap manusia dan bahkan telah diatur dalam undang-undang. Ketahanan pangan tidak hanya berarti tersedianya pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses pangan (termasuk membeli), dan tidak tergantung pada negara lain. Berbagai aturan dan hukum dapat diimplementasikan sebagai upaya untuk mencapai ketahanan pangan serta menjamin ketersediaan pangan sampai menerapkan kebijakan makroekonomi dan perdagangan yang kondusif. Berbagai masalah pemerintahan yang harus dipertimbangkan untuk mampu mengimplementasikan aturan adalah tingginya tingkat pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan, tingkat konversi lahan yang tidak terkendali dan ancaman perubahan iklim akibat pemanasan global, sumber daya manusia dan infrastruktur yang tidak memadai, ketidakstabilan harga dan rendahnya efisiensi sistem pemasaran, ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan masih tinggi, ketergantungan yang tinggi dari produk impor, dan efisiensi produksi pangan tidak optimal. Namun, ketersediaan pangan tidak menjamin tercapainya ketahanan makanan. Oleh karena itu kita perlu diversifikasi pangan lokal. Dengan memanfaatkan makanan lokal untuk diolah menjadi produk makanan yang inovatif. Beberapa bahan yang dapat digunakan adalah sukun, lamtoro, jagung, labu kuning, dan singkong.Kata kunci : pangan lokal, ketahanan pangan dan diversifikasi pangan

BAB 1. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi pangan lokal yang melimpah. Biasanya, produk pangan lokal ini berkaitan erat dengan budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, produk-produk ini kerap kali juga menyandang nama daerah, sebagai misal, dodol garut, jenang kudus, gudeg jogja, dan lain-lain. Namun Kebijakan pangan nasional selama ini cenderung bias terhadap beras, sehingga berakibat pada perubahan arah pola pangan di masyarakat yang selama ini bersumber dari pangan lokal. Budi (2012) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara konsumsi beras terbesar didunia. Data Departemen Pertanian 2005 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 sampai 2004 tingkat kebutuhan beras Indonesia meningkat dari 32.771.264 ton sampai 33.669.384 ton, sedangkan produksi yang tersedia hanya 30.283.326 ton sampai 31.200.941 ton. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 243 juta jiwa. Dengan konsumsi beras per kapita per tahun 139 kilogram, dibutuhkan beras 33,78 juta ton. Tahun 2006, konsumsi beras per tahun sekitar 30,03 juta ton Pada tahun 2030, kebutuhan beras untuk pangan akan mencapai 59 juta ton untuk jumlah penduduk yang akan mencapai 425 jiwa dengan asumsi (Prabowo, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum bisa mencukupi kebutuhan pangan pokok rakyatnya sehingga pemerintah harus mengimpor dari negara lain. Peningkatan jumlah penduduk yang tajam setiap tahunnya dan telah mengakarnya istilah belum makan kalau tidak makan nasi menyebabkan masalah ini semakin memprihatinkan.

Selain itu Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap impor terigu juga semakin meningkat, hal ini berawal dari adanya diversifikasi atau penganekaragaman. Berdasarkan data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) tahun 2007, konsumsi terigu Indonesia mencapai angka sekitar 12% dari konsumsi pangan Indonesia. Menurut Ambarsari et al. (2009), penggunaan tepung terigu di dalam negeri terus meningkat dengan tingkat penggunaan rata-rata 3,5 juta ton per tahun. Pada tahun 2008, Badan Pusat Statistik mencatat Indonesia mengimpor 4.497.182 ton gandum dan 532.649 ton terigu. Pada tahun 2009, gandum merupakan komoditi yang diimpor Indonesia dengan jumlah terbesar yaitu 4.655.290 ton dan tepung terigu sebesar 646.859 ton (FAO 2009). Angka impor gandum dan terigu terus meningkat pada tahun 2011 menjadi 5.486.745 ton dan 680.125 ton (BPS 2011). Tingginya angka konsumsi dan impor gandum tersebut membawa dampak negatif bagi bangsa Indonesia, di antaranya ialah terjadi ketergantungan terhadap impor biji gandum dan terigu serta terkurasnya devisa negara dalam jumlah yang cukup besar. Pada akhirnya kondisi ini dapat menyebabkan ketahanan pangan nasional menjadi rapuh. Undang Undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, beragam, merata, serta terjangkau. Bahan pangan yang dimaksud adalah bahan pangan pokok yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok itu antara lain bisa diperoleh dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, garut, dan sebagainya.

Kondisi tersebut menuntut perlunya strategi pengembangan pangan masyarakat yang diarahkan pada product development melalui keanekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal. Upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan ketahanan adalah dengan cara melakukan program diversifikasi terhadap potensi pangan lokal seperti singkong, umbi-umbian, jagung, kacang-kacangan. Menurut Badan Ketahanan Pangan (2008) Diversifikasi/Penganekaragaman Pangan, adalah proses pemilihan pangan yang tidak tergantung kepada satu jenis saja, tetapi terhadap macammacam bahan pangan mulai dari aspek produksi, aspekpengolahan, aspek distribusi hingga aspek konsumsi pangan tingkat rumah tangga. Program diversifikasi pangan juga telah dilakukan oleh Departemen Pertanian. Departemen Pertanian mulai menggarap diversifikasi dengan tujuan Program DPG bertujuan untuk (1) mendorong meningkatnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, dan (2) mendorong meningkatnya kesadaran masyarakat terutama di pedesaan untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang. Dengan adanya program diversifikasi pangan diharapkan dapat untuk mengurangi ketergantungan pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional, serta dapat dijadikan instrumen peningkatan produktifitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat.1.2 Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mendefinisikan secara luas tentang arti pentingnya pangan lokal terhadap ketahanan pangan di Indonesia.

BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA2.1 Ketahanan Pangan

Pertemuan puncak dunia tentang pangan (World Food Summit) 1996 mendefinisikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi dimana semua manusia pada setiap saat memiliki akses terhadap makanan yang cukup, bergizi dan aman untuk menjaga kesehatan dan kehidupan yang aktif. Ketahanan pangan di Indonesia didefinisikan dalam UU No 7/1996 dan PP NO 68 tahun 2002 sebagai : kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Berikut disajikan beberapa definisi ketahanan yang sering diacu :a. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif.

b. FAO (1997) : situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.

c. FIVIMS 2005: kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.

d. Mercy Corps (2007) : keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.

Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, maka seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan masyarakat untuk meningkatkan strategi demi mewujudkan ketahanan pangan nasional.2.2 Hambatan hambatan dalam ketahanan pangan

Diantara dari banyak hambatan ketahanan pangan diantara lain sebagai berikut.

a. Pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan. hal ini berdampak pada kurangnya pangan yang tersedia sehingga seringkali pihak pemerintah sendiri memutuskan untuk impor.

b. Terbatasnya aksesibilitas. Luasnya wilayah Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Karena sulitnya medan sehingga berdampak pada kesulitan pula dalam distribusi pangan. Padahal tidak sedikit dari wilayah Indonesia dengan medan sulit tersebut yang memiliki potensi besar dalam hal pertanian dan perikanannya.

c. Pembenahan Infrastruktur

Khomsan (2008) dalam tulisannya di Kompas mengatakan bahwa lambannya pembangunan infrastruktur boleh jadi ikut berperan mengapa pertanian di Indonesia kurang kokoh dalam mendukung ketahanan pangan. Menurutnya, pembangunan infrastruktur pertanian menjadi syarat penting guna mendukung pertanian yang maju. Ia mengatakan bahwa di Jepang, survei infrastruktur selalu dilakukan untuk menjamin kelancaran distribusi produk pertanian. Perbaikan infrastruktur di negara maju ini terus dilakukan sehingga tidak menjadi kendala penyaluran produk pertanian, yang berarti juga tidak mengganggu atau mengganggu arus pendapatan ke petani.

Irigasi (termasuk waduk sebagai sumber air) merupakan bagian terpenting dari infrastruktur pertanian. Ketersediaan jaringan irigasi yang baik, dalam pengertian tidak hanya kuantitas tetapi juga kualitas, dapat meningkatkan volume produksi dan kualitas komoditas pertanian, terutama tanaman pangan, secara signifikan. Jaringan irigasi yang baik akan mendorong peningkatan indeks pertanaman (IP) (Damardono dan Prabowo, 2008).d. Konversi lahan pertanian yang masih tinggi dan tidak terkendali serta degradasi kesuburan tanah. Hal ini menyebabkan mutu hasil pertanian yang buruk dan hasil produksinya tidak memenuhi syarat.

e. Alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Semakin bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan akan areal untuk tempat tinggal. Sehingga mempersempit luas areal tanam.

f. Teknologi pasca panen yang belum diterapkan. Permasalahan paling vital negara kita adalah kurangnya SDM yang dapat memanfaatkan secara maksimal ilmunya untuk teknologi pasca panen. Sehingga seringkali ditemukan makanan yang lewat masanya masih dikonsumsi masyarakat. Jika teknologi pasca panen diterapkan, maka hal ini tidak akan terjadi.

Perubahan iklim yg tidak menentu akibat global warming menyebabkan rusaknya tanaman sehingga yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan seluruh negeri hanya dapat dimanfaatkan untuk sebagian negeri saja. Untuk itu peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam hal ini.2.3 Difersifikasi Pangan

Pengembangan diversifikasi pengolahan pangan lokal dipandang strategis dalam menunjang ketahanan pangan, terutama berkaitan dengan aspek promosi ketersediaan pangan yang beragam, penanggulangan masalah gizi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat (penciptaan dan pengembangan usaha ekonomi produktif). Jika disisi hilir (pengolahan dan pemasaran) produktif, maka secara otomatis akan mendorong pula produktivitas di sektor hulu, sehingga ketahanan pangan yang tercermin dari terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau dapat terwujud.

Dalam system konsumsi terdapat aspek penting yaitu diversifikasi. Diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memperoleh keragaman zat gizi sekaligus melepas ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu ketidakstabilan jika pasokan terganggu dan sebaliknya jika masyarakat menyukai pangan alternative maka ketidakstabilan akan dapat dijaga.Tabel 1.1. Konsumsi Penduduk Indonesia dan Selisih Aktual Terhadap Berbagai Kelompok MakananTahun 2005-2009.

2.4 Pola Konsumsi

Pola konsumsi pangan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jenis, frekuensi dan jumlah bahan pangan yang dimakan tiap hari oleh satu orang atau merupakan ciri khas untuk sesuatu kelompok masyarakat tertentu (Santoso, 2004).

Keadaan kesehatan tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kuantitas hidangan menunjukan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Jika susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari sudut kualitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan mendapat kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya. Konsumsi yang menghasilkan kesehatan gizi yang sebaik-baiknya disebut konsumsi adekuat. Bila konsumsi baik kuantitasnya dan dalam jumlahnya melebihi kebutuhan tubuh dinamakan konsumsi berlebih, maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih (Sediaoetama, 2006).

2.5 Angka Kecukupan Gizi

Angka kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi. Angka kecukupan gizi mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan Iptek gizi dan ukuran antropometri penduduk. Setelah sekitar sepuluh tahun ditetapkan angka kecukupan energi (AKE) dan kecukupan protein (AKP) bagi penduduk Indonesia, kini saatnya ditinjau ulang dan disempurnakan. Kajian ini bertujuan merumuskan angka kecukupan energi (AKE), kecukupan protein (AKP), kecukupan lemak (AKL), kecukupan karbohidrat (AKK) dan serat makanan (AKS) penduduk Indonesia. AKG pada tahun 2012 digunakan untuk perencanaan konsumsi & penyediaan pangan nasional, penilaian konsumsi pangan secara agregatif (makro) tingkat nasional, serta penetapan komponen gizi dalam perumusan garis kemiskinan & upah minimum dengan penyesuaian pada tingkat aktifitas. AKG tidak untuk digunakan menilai pemenuhan kecukupan gizi seseorang. AKE & AKP pada tingkat konsumsi untuk penilain konsumsi energi & protein penduduk secara agregatif (makro) adalah 2150 kkal & 57 g protein per kapita per hari2.6 Contoh Difersifikasi Pangan

Kebijakan pangan nasional selama ini cenderung bias terhadap beras, sehingga berakibat pada perubahan arah pola pangan di masyarakat yang selama ini bersumber dari pangan lokal. Kondisi tersebut menuntut perlunya strategi pengembangan pangan masyarakat yang diarahkan pada product development melalui keanekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal. Komoditas pangan lokal unggulan seperti jagung, ubi kayu, dan sagu serta umbi-umbian telah lama menjadi sandaran pemenuhan kebutuhan karbohidrat bagi masyarakat.

Jagung sebagai salah satu sumber pangan lokal memiliki potensi untuk terus dikembangkan dan menjadi sandaran sumber diversifikasi pangan yang menunjang upaya ketahanan pangan nasional. Hasil-hasil penelitian diversifikasi pangan dari jagung dalam lima tahun terakhir cukup tersedia. Sarono dan Widodo (2007) mengembangkan olahan jagung menjadi emping jagung. Suarni dan Firmansyah (2007) mengolah jagung menjadi beras jagung instan. Akmal dan Sarono (2008) mengembangkan filler roti dari pati jagung dan aneka kue kering dari jagung. Richana dan Suarni (2007) juga mengembangan marning jagung.

Sejalan dengan program pemerintah yaitu diversifikasi pangan berbasiskan pangan lokal, maka perlu dicari sumber pangan yang berpotensi sebagai prebiotik. Umbi-umbian terutama ubi jalar berpotensi dikembangkan menjadi pangan prebiotik karena mengandung oligosakarida yang dapat digunakan untuk pertumbuhan asam laktat (BAL). Ubi jalar yang telah dipanen segera dibuat minuman prebiotik karena penyimpanan dapat mengubah komponen gula dan karbohidrat yang terdapat dalam ubi jalar (Zhang et al., 2002). Dalam pembuatan minuman prebiotik menggunakan metode blancing atau blansir yaitu suatu pemberian perlakuan panas pada buah dan sayuran yang bertujuan untuk menginaktifasikan enzim, dimana dengan blancing dapat mencegah perubahan warna, perubahan flavor dan rasa pada proses penyimpanan. Selain itu, blanching bertujuan untuk mengeluarkan gas dan udara yang terdapat pada jaringan bahan yang dapat menyebabkan oksidasi serta berfungsi untuk membersih dan mengurangi mikroba pada sel dan jaringan tanaman (Winarto, 1980).KESIMPULAN

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pangan lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat dengan bahan sesuai potensi daerah masing masing.

2. Ketahanan pangan merupakan hal yang penting, karena pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi tiap manusia. Pemenuhan pangan menjadi hak asasi tiap individu karena pangan merupakan sesuatu yang mendasar bagi manusia.

3. Kebijakan perlu dikonsep dan diterapkan demi tercapainya ketahanan pangan.4. Salah satu upaya dalam mencapai ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan lokal.5. Diversifiasi pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal.DAFTAR PUSTAKA

Akmal, S dan Sarono (2008) Karakterisasi tepung jagung dan optimasi penggunaannya pada pembuatan filler roti. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan 8:29-36.

Richana dan Suarni (2007) Optimasi Proses Pembuatan Marning Jagung berbagai Varietas. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung 3-6 Desember 2007. Makasar. Hlm 363-368.

Sarono dan Widodo, YR (2007) Optimasi Proses Pembuatan Emping Jagung. Prosiding Seminar Nasional Ketahanan Pangan 15-17 Nopember 2007. Bandar Lampung Hlm. 362-366.

Budi. 2012. Optimasi Diversifikasi Pangan Guna Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional yang Berkelanjutan. Majalah Tannas Edisi 94-2014Damardono, Haryo dan Hermas E. Prabowo (2008), Irigsi Sempurna, Swasembada Pangan Tercapai, Kompas, Bisnis & Keuangan, 12 Maret, halaman 21Departemen Pertanian. 2005. Departeman Pertanian. 2005. Analisis Permintaan DanProduksi Beras Di Indonesia, 2001-2004. http://www.deptan.go.id. [11 Februari 2014]

Prabowo, 2007. Prabowo, Hermas E. (2007a), UpayaMelepaskan Dependensi Beras, Kompas, Bisnis dan Keuangan, Jumat, 25 Mei: 21

Ambarsari, I, Sarjana, dan A. Choliq., 2009. Rekomendasi Dalam Penetapan Standar Mutu Tepung Ubi Jalar. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian : Jawa Tengah

Badan Ketahanan Pangan . 2008. Roadmap Diversifikasi Pangan Propinsi Jawa Timur. Jawa Timur: Badan Ketahanan Pangan