kearifan lokal (local wisdom) & ketahanan · pdf filelocal dalam bidang pertanian, ......

24
KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN PANGAN TUGAS Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Dalam Mata Kuliah Ekologi Manusia Dosen : Prof. Dr. Johan Iskandar, M.Sc DISUSUN OLEH : IID MOH. ABDUL WAHID 250120140017 MAGISTER ILMU LINGKUNGAN UNIVERSITAS PADJAJARAN 2014

Upload: hadang

Post on 03-Feb-2018

250 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN PANGAN

TUGAS

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Dalam Mata Kuliah

Ekologi Manusia

Dosen : Prof. Dr. Johan Iskandar, M.Sc

DISUSUN OLEH :

IID MOH. ABDUL WAHID

250120140017

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

UNIVERSITAS PADJAJARAN

2014

Page 2: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 1

KEARIFAN LOKAL (Local Wisdom) &

KETAHANAN PANGAN

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara ekologis, manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem

lingkungan hidup. Dengan demikian manusia adalah satu kesatuan terpadu dengan

lingkungannya dan dianta-ranya terjalin suatu hubungan fungsional yang sedemikian

rupa.Dalam hubungan fungsional tersebut manusia tidak dapat dipisahkan dengan

lingkungannya. Manusia akan selalu bergantung pada lingkungan yang sekaligus

dipengaruhi dan mempengaruhi dan pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem

secara keseluruhan (Tuhulele, 2013).

Menurut Rahmawati (2012) dua krisis besar yang sedang melanda dunia saat

ini adalah krisis pangan dan krisis energi. Krisis energi dipicu oleh kian menipisnya

energi yang berasal dari bahan bakar fosil, sedangkan krisis pangan dipicu oleh

fenomena pemanasan global dan tidak meratanya distribusi pangan. Kebutuhan

pangan merupakan penggerak esensial roda perekonomian masyarakat dunia sehingga

ketika isu perubahan iklim mencuat, hal tersebut tidak ayal memunculkan kekhwatiran

tersendiri pada persoalan ketahanan pangan.

Untuk menghadapi krisis tersebut dibutuhkan komoditi alternatif untuk

diversifikasi baik bahan pangan maupun bahan energi. Indonesia memiliki potensi

pangan lokal yang luar biasa besar akan tetapi walaupun stok pangan banyak tersedia,

potensi tersebut belum termanfaatkan dengan baik. Politik pemerintah Indonesia

dalam pembangunan pertanian pangan yang diidentikkan dengan “padi”, ternyata

secara tidak langsung telah mengubah pola konsumsi masyarakat dan berdampak pada

pola diversifikasi pangan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Padahal

diversifikasi pangan sebenarnya sudah merupakan budaya masyarakat secara

tradisional dan kalau pola pangan tradisional ini dikembangkan secara terencana dan

terarah maka masalah kesulitan pangan tidak perlu terjadi.

Seharusnya sebagai negara kepulauan kita mempertahankan citra kita dengan

mengembangkan segala kekayaan yang masih diwariskan para pendahulu kepada kita

saat ini yaitu kekayaan alam, budaya, serta agama. Hal ini mengajak kita bahwa kita

harus pandai-pandai memanfaatkan ekosistem-ekosistem yang ada demi

keberlanjutan pangan bagi masyarakat Indonesia. Dengan demikian penduduk negara

kepulauan selayaknya mengandalkan ketahanan pangannya bukan pada satu

komoditas unggulan saja yaitu beras tetapi pada berbagai komoditas unggulan

termasuk di dalamnya beras serta komoditi-komoditi lokal lainnya seperti jagung,

sagu, umbi-umbian, dan lain-lain

Indonesia masih banyak melakukan impor untuk bahan-bahan makanan pokok,

padahal impor tersebut seharusnya dapat ditekan, bahkan ditiadakan dengan cara lebih

mengoptimalkan potensi sumber pangan lokal yang ada di Indoensia. Ini dapat

digolongkan sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan kegiatan dalam

ketahanan pangan menjadi tidak maksimal. Fenomena tersebut kemudian berdampak

pada tidak stabilnya ketahanan pangan negara Indonesia. Ubi kayu, jagung, sagu,

kelapa sawit, jarak pagar, sebenarnya sangat potensial digunakan baik untuk

diversifikasi pangan dan energi maupun hanya energi.

Page 3: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 2

Oleh karena itulah perlu adanya inventarisasi jenis kearifan lokal dan ketahanan

pangan yang telah ada di Indonesia.

1.2. Permasalahan

Permasalahan yang ada adalah :

1. Jenis kearifan lokal yang bagaimanakah dan di daerah mana sajakah yang

memiliki kearifan lokal untuk adaptasi keberlangsungan hidup dalam hal

ketahanan pangan?

2. Bagaimana kearifan lokal di Indonesia sangat berhubungan dengan ketahanan

pangan?

1.3. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk :

1. Mengidentifikasi jenis dan tempat kearifan lokal di seluruh Indonesia yang

berkaitan dengan ketahanan pangan.

2. Mempelajari proses dan hubungan kearifan lokal dalam ketahanan pangan

masyarakat di indonesia

1.4. Manfaat

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :

1. Memberikan gambaran dan informasi tentang kearifan lokal yang ada di Indonesia

kepada para pembaca ataupun kepada seluruh masyarakat sehingga membantu

proses pengembangan pengetahuan.

2. Sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian sejenis lebih lanjut di masa

mendatang.

3. Sebagai saran dan masukan bagi pemegang kebijakan dalam membuat suatu

keputusan dan kebijakan yang menyangkut ketahanan pangan.

II. TINJAUAN TEORITIS

2.1. Kearifan Lokal

Perlu dipahami juga bahwa kearifan lokal merupakan konsep yang lahir dari

peneliti/akademisi dalam mendeskripsikan respons masyarakat terhadap

lingkungannya yang dianggap arif. Kata “dianggap arif” ini tentunya lahir melalui

analisis peneliti dengan meng-konteks-kan nilai-nilai atau perilaku yang dimiliki

suatu komunitas dengan ide-ide tentang solusi atas suatu permasalan. Jika tidak hati-

hati, inilah awal dari ranjau kedua yaitu bahwa kearifan dalam konteks suatu

permasalahan belum tentu arif dalam permasalahan yang lain. Sebagai contoh,

bangunan tradisional berbagai suku bangsa di Indonesia yang didominasi dengan

bahan kayu dengan sistem sambungan yang saling mengkait seringkali dinilai sebagai

bentuk kearifan lokal terhadap lingkungan Indonesia yang rawan dengan bencana

gempa. Namun, kesimpulan semacam ini tentu tidak akan memberi jawaban yang

memuaskan terhadap konteks permasalahan lain seperti kerawanan terhadap

kebakaran atau degradasi lingkungan jika penggunaan kayu untuk perumahan

melebihi kemampuan regenarasi hutan.

Dalam definisi ini, kearifan lokal ditujukan untuk menyelesaikan persoalan

yang dihadapi. Dengan label “arif” maka penyelesaian atas permasalahan itu harus

baik dan benar. Sementara itu, berkait sifatnya kearifan lokal dapat berkekuatan

hukum ataupun tidak. Secara umum, definisi di atas menekankan bahwa kearifan lokal

Page 4: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 3

lahir dari proses berpikir suatu komunitas dalam merespons permasalahan yang

dihadapi bersumber pada pengetahuan dari generasi sebelumnya yang dipandang

masih sesuai ataupun dari pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Dengan kata lain,

definisi ini tampaknya memegang asumsi bahwa perilaku masyarakat selalu

didasarkan pada cara berpikir yang rasional. Pada titik inilah studi tentang kearifan

lokal sangat strategis untuk disandingkan dengan pandangan tentang rasionalitas

masyarakat sebagaimana diuraikan Samuel Popkin ketika mendeskripsikan kaum tani

di Vietnam.

Kearifan Lokal Masyarakat Adat dan Pengelolan Lingkungan Hidup Guna memenuhi kebutuhan hidup manusia akan memanfaatkan apa yang

tersedia di sekitar lingkungannya untuk itu manusia akan berusaha untuk beradaptasi

agar melahirkan keseimbangan dan keteraturan dalam masyarakat dan lingkungan.

salah satunya adalah di berlakukannya sistem-sistem pengendalian sosial yang berupa

norma & hukum (adat) yang merupakan produk dari masyarakat tersebut. Dalam

kelompok masyarakat tradisional indonesia atau dikenal dengan masyarakat adat dan

norma/hukum yang berlaku di dalam masyarakat tradisional ini dikenal dengan

hukum adat.

Menurut Van Apeldoorn perkataan adat semata-mata adalah peraturan tingkah

laku, kaidah-kaidah yang meletakan kewajiban-kewajiban. Peraturan tingkah laku

yang dikatakan oleh Van Apeldoorn sebagai adat yang di anut oleh masyarakatnegeri

diwariskan oleh nenek moyang atau datuk-datuk yang telah membentuk masyarakat

negeri itu untuk digunakan sebagai contoh kehidupan bagi keturunan-keturunan

mereka. Selanjutnya pudjosewojo melihat adat sebagai tingkah laku yang oleh dan

dalam satu masyarakat (sudah, sedang, akan diadakan). Peraturan tingkah laku yang

menjadi adat istiadat dari suatu masyarakat adat ini dalam perkembanganya menjadi

suatu norma hukum adat. Hukum adat untuk disebut hukum harus mengandung sanksi

tertentu, baik berupa sanksi fisik maupun denda lainnya.

Menurut Soepomo, hukum adat adalah hukum yang hidup karena ia

menjelmakan hukum yang nyata dari masyarakat, ia terus-menerus tumbuh dan

berkembang seperti hidup itu sendiri dan hukum adat berurat akar pada kebudayaan

teradisional. Jadi hukum adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat adat karena tidak dapat dipisahkan dari keberadaan dan dinamika

masyarakat adat. Menurut Hazairin masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan

masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri

sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan

lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya,

bentuk hukum keluargannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral), semua

anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.

Salah satu peristiwa penting terkait dengan pengakuan dan penguatan

masyarakat hukum adat berangkat dari hasil Earth Summit di Rio de Janeiro pada 1992

dengan dikeluarkannya Rio Declaration on Environment and Development (1992).

Dalam Prinsip ke-22 dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai peranan

penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup karena pengetahuan

dan praktik tradisional mereka. Oleh karenanya, negara harus mengenal dan

mendukung penuh entitas, kebudayaan dan kepentingan mereka serta memberikan

kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pencapaian pembangunan yang

berkelanjutan (sustainable development). Keberadaan masyarakat hukum adat diakui

eksisktensinya oleh negara dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

Page 5: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 4

beserta hak-hak tradisionalnya”. Selanjutnya ketentuan ini juga memberikan batasan

sebagai syarat adanya pengakuan dan penghormatan yakni selama masyarakat hukum

adat masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang berlangsung

secara terus menerus.

Pengetahuan lokal yang dikenal sebagai kearifan lokal tumbuh dan berkembang

didalam masyarakat sebagai pengetahuan yang di turunkan dari generasi kegenerasi

sebagai bagian dari adaptasi terhadap lingkungannya. Demikian juga Gough (1977)

dan Triguna (2006) menambahkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge)

merupakan satu kultur masyarakat, yang diwariskan secara lisan secara turun temurun,

baik itu melalui upacara-upacara ritual, keseharian yang biasanya berbasis pada

kegiatan pertanian, penyediaan makanan, pelayanan kesehatan, pendidikan,

konservasi dan kegiatan-kegiatan yang lebih luas yang semuanya mengarah kepada

keberlanjutan masyarakat dan lingkungan

Menurut Wahyu (2007) bahwa kearifan local, dalam terminology budaya, dapat

diinterpretasikan sebagai pengetahuan local yang berasal dari budaya masyarakat,

yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang,

beradaptasi dengan system ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka

dengan tambahan pengetahuan baru. Secara lebih spesifik, kearifan local dapat

diartikan sebagai suatu pengetahuan local, yang unik yang berasal dari budaya atau

masyarakat setempat, yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat

local dalam bidang pertanian, kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan,

pengelolaan sumberdaya alam dan beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-

komunitas. Selanjutnya Wahyu juga menyatakan bahwa kemampuan memaknai

kearifan local oleh individu, masyarakat dan pemerintah yang diwujudkan dalam cara

berpikir, gaya hidup dan kebijakan secara berkesinambungan dalam mengelola

sumberdaya alam dan lingkungan dapat diharapkan untuk menghasilkan peningkatan

berkehidupan yang berkualitas dalam masyarakat dan Negara.

2.2. Ketahanan Pangan

Menurut Undang-Undang RI nomor 18 Tahun 2012, Pangan adalah kebutuhan

dasar manusia paling utama. Oleh karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian

dari hak asasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen

dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Negara

berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi

pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional

maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya,

kelembagaan, dan budaya lokal. Pangan merupakan kebutuhan jasmani yang tak

terelakkan, yang dalam istilah antropolog Melvile J. Herkovitas, merupakan the

primary determinants of survival bagi umat manusia.

Definisi :

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk

pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang

diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi

konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan

lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,dan/atau pembuatan

makanan atau minuman (Kartasasmita, 2005)

Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai

dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik

Page 6: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 5

jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak

bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup

sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sedangkan ketahanan pangan

menurut Kartasasmita (2005) adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga

yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

aman, merata, dan terjangkau.

Definisi ketahanan pangan sendiri masih banyak perdebatan dan kontroversi,

maka FAO (2004) memberikan empat kategori ketahanan pangan untuk

menjembatani perbedaan tersebut. Empat kategori tersebut yaitu:

1) kecukupan pangan;

2) stabilitas kecukupan pangan;

3) akses terhadap pangan; dan

4) kualitas pangan.

Ke empat kategori tersebut menurut FAO harus terpenuhi agar suatu negara

disebut telah mencapai ketahanan pangan. Namun kenyataan yang terjadi di Indonesia

adalah, di tengah keberhasilan swasembada pangan pada tahun 1982-1983, ternyata

masih banyak penduduk di pedesaan tidak merasakan dampak swasembada pangan

yang telah dicapai negara Indonesia. Masih banyak masyarakat merasakan sulitnya

mendapatkan pangan dan bahkan kekurangan pangan. Oleh karena itu sangat penting

dipahami bahwa swasembada pangan bukan berarti sama dengan pencapaian

ketahanan pangan (Martiningsih, 2012)

Yang perlu kita perhatikan di sini adalah bahwa konsep ketahanan pangan ini

tidaklah harus sama artinya dengan konsep swasembada pangan. Untuk negaranegara

seperti Taiwan dan Singapura yang mempunyai tingkat konsumsi yang relatif kecil

tidak diperlukan swasembada pangan untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yang

tangguh. Kebutuhan pangan dari negara-negara tersebut dapat dipenuhi dari

perdagangan dunia dengan mudah.

Konsep Ketahanan Pangan

Achmad Suryana (2005 : 144) menjelaskan bahwa ketahanan pangan yang

kokoh di bangun pada tingkat rumah tangga yang bertumpu pada keragaman

sumberdaya lokal. Sejalan dengan dinamika pemantapan ketahanan pangan

dilaksanakan dengan mengembangkan sumber-sumber bahan pangan, kelembagaan

pangan dan budaya pangan yang dimiliki pada masyarakat masing-masing wilayah.

Keunggulan dari pendekatan ini antara lain adalah bahwa bahan pangan yang di

produksi secara lokal telah sesuai dengan sumberdaya pertanian dan iklim setempat,

sehingga ketersediaannya dapat diupayakan secara berkesinambungan. Dengan

kemampuan lokal tersebut maka ketahanan pangan masyarakat tidak mudah

terpengaruh oleh masalah atau gejolak pasokan pangan yang terjadi di luar wilayah

atau luar negeri. Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa

Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi

oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama.

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem

ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi

menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari

segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi

mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh

rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup

sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi

berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi

Page 7: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 6

kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya (Coop

Indonesia Foundation, 2010 : 1).

Konsep Ketahanan pangan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun

2012, yaitu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga yang tercermin dari

tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan

terjangkau. Hal ini menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang

terus berkembang setiap waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan

mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya,

kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan,

mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana

produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif

III. FENOMENA KEARIFAN LOKAL DALAM KETAHANAN PANGAN

3.1. Masyarakat Adat Bali

Bali terkenal dengan adat dan tradisi Subak dalam sistem pertaniannya. Subak

merupakan salah satu kearifan lokal yang masih eksis di beberapa wilayah di Bali

adalah organisasi pembagian air di areal sawah secara tradisional. Organisasi subak

memiliki 4 (empat) elemen seperti :

1) lahan pertanian (sawah),

2) sumber air,

3) anggota subak dan

4) pura subak.

Jadi dalam setiap organisasi subak keempat elemen tersebut akan selalu ada dan

merupakan syarat mutlak sebuah organisasi subak. Menurut hasil survei yang

dilakukan oleh Wiguna dan Surata (2008) subak sampai saat ini masih dipercaya dan

diinginkan oleh hampir 70% masyarakat Bali untuk tetap eksis. Di samping itu

pemerhati subak seperti Pitana (1993), Windia (2002), Sutawan (2003), meyakini

bahwa melestarikan subak merupakan salah satu cara untuk tetap menjaga pelestarian

pertanian dan lingkungan dalam rangka pencapaian ketahanan pangan dan hayati

khususnya di daerah Bali. Keyakinan ini berdasarkan alasan elemen-elemen dalam

organisasi subak seperti lahan pertanian, anggota subak, pembagian air, dan kegiatan-

kegiatan ritual di pura subak masih berfungsi dengan baik.

Dari hasil-hasil penelitian tersebut secara umum subak ternyata masih

diinginkan untuk berperan dalam proses pembangunan di Bali. Pembangunan Bali

berarti pembangunan yang mampu mensejahterakan masyarakat Bali secara

keseluruhan, menjaga stabilitas Bali dari konflik-konflik adat, agama dan etnik. Di

samping itu beberapa pemerhati subak termasuk pemerintah masih meyakini bahwa

mengajegkan subak merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan budaya Bali

dari pengaruh globalisasi pariwisata. Apalagi menurut pendapat Triguna (2006)

bahwa modal sosial kearifan lingkungan merupakan hasil abstraksi pengalaman

beradaptasi dalam pemanfaatan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan dasar

kehidupan, yang terwujud dalam pranata kebudayaan dan hukum-hukum adat.

Pelaksanaan tradisi subak sebagai kearifan lokal masyarakat Bali ternyata

memberikan keberlangsungan pertanian di daerah Bali sehingga dengan kata lain

Subak memberikan keuntungan lanjut berupa ketahanan pangan masyarakat Bali.

Page 8: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 7

3.2. Masyarakat Desa Laelo Sekitar Kawasan Danau Tempeh, Kabupaten Wajo

Sulawesi Selatan

Berdasarkan laporan Trans 7 tanggal 10 Nopember 2014 Masyarakat Desa

Laelo merupakan salah satu masyarakat yang berada di kawasan Danau Tempeh

Sulawesi Tengah. Mata pencaharian utama masyarakat tersebut adalah nelayan ikan

air tawar. Menangkap ikan adalah hal biasa dan sudah menjadi kehidupan sehari-hari

dalam rangka memenuhi salah satu kebutuhan pangan.

Tradisi Mabeleh : Ketahanan Pangan Masyarakat Berkelanjutan

Tradisi mabeleh adalah kegiatan menangkap ikan di Danau Tempe dengan

menggunakan pagar dari bambu. Prinsipnya sama seperti keramba tetapi bersifat

alami, artinya ikan dipelihara secara alami tanpa ada pemberian pakan buatan.

Mabeleh tersebut merupakan daerah yang sudah dipagari berbentuk persegi yang

diperkirakan banyak ikannya. Satu mabeleh biasanya dikerjakan secara berkelompok.

Uniknya luas mabeleh ini biasanya dikurang 1 meter masuk ke dalam setiap hari,

artinya luas mabeleh semakin berkurang tiap harinya. Biasanya luasan mabeleh bisa

mencapai 2 Ha yang kemudian setelah sekitar 2-3 bulan semakin menyempit menjadi

ukuran 1-2 meter x 10 meter dimana ikan menjadi terkumpul dan sudah besar sehingga

mudah untuk dipanen.

Tradisi ini juga memberikan gambaran bahwa ikan yang kecil tetap dibiarkan

supaya tumbuh besar dan siap di panen. Akibatnya ketersediaan ikan sebagai sumber

pakan tetap terjaga jumlahnya.

Eceng Gondok Sebagai Sumber Energi Alternatif

Selain mabeleh masyarakat Desa Laelo juga mengembangkan energi alternatif

dari bahan eceng gondok. Eceng gondok yang melimpah di Danau Tempeh membawa

berkah bagi petani untuk sumber energi alternatif pengganti BBM. Eceng gondok,

oleh masyarakat Desa Laelo dijadikan biogas. Prosesnya cukup sederhana yaitu

memotong kecil-kecil (dicacah) eceng gondok kemudian di campur dengan kotoran

sapi sebagai sumber bakteri untuk fermentasi. Kemudian dimasukan kedalam wadah

tertutup sehingga diperoleh Biogas (gas metana) dengan bantuan bakteri methanogen.

Gas yang terbentuk ditampung dalam kantung plastik besar atau dalam tabung/tangki

penampung yang kemudian disalurkan ke kompor gas di rumah masing-masing

penduduk, sehingga tidak tergantung BBM dalam kehidupan sehari-hari.

3.3. Masyarakat Adat Dayak Kalteng

Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memiliki kekayaan budaya/tradisi lokal

dalam pengelolaan lingkungan hidup. Budaya/tradisi local ini sarat dengan nilai-nilai

kearifan dan sudah diterapkan semenjak jaman nenek moyang dahulu kala hingga

kini. Beberapa kearifan lokal dimaksud diuraikan berikut ini.

Pola perladangan berpindah Suatu contoh nilai-nilai kearifan lokal yang diterapkan pada usaha perladangan

berpindah diuraikan oleh Alamsyah (2010) ialah :

a) Pola yang digunakan masyarakat adalah pola berladang gilir balik. Pola ini berarti

bila, suatu areal sudah dibuka dan diladangi oleh masyarakat, maka akan ditinggal

beberapa waktu tertentu untuk membuka lahan baru. Kemudian, setelah ladang

pertama subur, maka masyarakat akan kembali lagi untuk menyambung

perkebunan pada lahan tersebut.

Page 9: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 8

b) Para peladang tradisional suku Dayak lebih suka memanfaatkan Jekau (hutan

sekunder) daripada Empak (hutan primer).

c) Para peladang selalu melakukan survey tentang kualitas lahannya sebelum

berladang. Kebiasaan survey ini sudah menjadi adat kebiasaan turun temurun

pada masyarakat

d) Dalam setiap kegiatan berladang, masyarakat selalu melakukan upacara-upacara

ritual adat untuk memohon kepada Sang Pencipta untuk memberikan kesuburan

tanah. Hal tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat memang sangat dekat

dengan alamnya, dan menunjukan bahwa mereka mempunyai semangat yang

tinggi untuk pelestarian alam dan lingkungan hidup.

e) Dalam aktifitas membuka lahan, tentunya tidak semua tumbuhan dan fauna yang

dibabat, namun masih ada sebagian yang dibiarkan tumbuh subur di ladang

mereka yang dianggap bermanfaat di kemudian hari.

f) Peristiwa berladang sebenarnya adalah peristiwa budaya, dimana budaya handep

hapakat atau kerjasama sejak menebas, membakar, menanam, hingga memanen

merupakan rangkaian kearifan yang ditorehkan dalam kebersamaan dan semangat

cinta kasih.

g) Berladang adalah budaya regeneratif, dimana karet, rotan, damar dan tumbuhan

lainnya ditanam pasca perladangan sebelumnya. Budaya ini, karenanya

masyarakat Dayak menanam tumbuhan tersebut dibekas ladang terdahulu adalah

suatu keharusan.

h) Masyarakat Dayak Kalteng adalah masyarakat tradisional yang masih

menghormati dan memegang erat hukum adat mereka. Hukum adat yang masih

kuat, karenanya para tokoh masyarakat seperti, Penghulu, Damang, Kepala Adat

atau Tetua Kampung masih dominan untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan dan persoalan yang muncul di masyarakat.

i) Hukum adat memberikan sanksi kepada mereka yang merusak hutan dan lahan

dengan cara membakar. Hukum adat yang dimaksud dapat berupa Denda Adat,

Pati Pamali, Penggantian Kerugian dan yang lebih berat biasanya sampai “hukum

sosial” yaitu rasa malu yang harus ditanggung oleh pelaku jika merusak kebun

atau ladang orang lain.

Menurut Dohong (2010) dan Mukti (2010) masyarakat dayak Kalimantan

Tengah juga mempunyai adat dan kearifan lokal berupa Kaleka dan Sepan-Pahewan.

Kaleka ialah daerah peninggalan nenek moyang Suku Dayak jaman dahulu kala.

Daerah ini biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang rumah betang/rumah

panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti durian, langsat dan sebagainya.

Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun

temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya (misal mengambil

buah-buahan) untuk kepentingan bersama (common property). Dari perspektif

konservasi ekologis, kaleka dapat dipandang sebagai gudang plasma nutfah (genetic

pool).

Sepan-pahewan merupakan tempat sumber mata air asin dimana binatang-

binatang seperti rusa, kijang, kancil dan lain-lain meminum air asin sebagai sumber

mineral. Dalam bahasa Dayak Kenyah sepan-pahewan disebut dengan istilah

Sungan. Lokasi sepan-pahewan merupakan tempat perburuan Suku Dayak untuk

memenuhi kebutuhan hewani. Tempat perburuan karenanya, lokasi tersebut umumnya

selalu dipelihara dan dilindungi. Perlindungan lokasi sepan-pahewan sangat relevan

dengan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi modern.

Page 10: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 9

Dengan adanya Keleka dan Sepan-Pahewan maka sumber makanan bagi

masyarakat adat dayak Kalimantan Tengah dapat terjaga atau dengan kata lain

ketahanan pangan berkelanjutan pada masyarakat dapat terjaga dengan baik.

3.4. Masyarakat Adat Dayak Kalbar

Mata pencaharian orang Dayak sebagai peladang yang berotasi (shifting

cultivation), sejauh mana setiap warga komunitas dapat melakukan rotasi pembukaan

ladang dapat menjadi tanda batas-batas teritorial adat suatu komunitas orang Dayak.

Tanah adat termasuk hutan primer dan sekunder merupakan sumber daya alam yang

dimanfaatkan secara lestari oleh warga komunitas, dengan melakukan sistem rotasi

lahan yang akan dibuka berarti petani peladang Dayak memberikan kesempatan

secara alamiah agar di tanah bekas ladang dapat tumbuh tanaman liar dan secara

perlahan akan berubah menjadi hutan sekunder kembali. Nenek moyang atau leluhur

orang Dayak memiliki kebiasaan menanam berbagai tanaman buah seperti durian,

nangka, cempedak, langsat, rambutan dan lainnya.

Hal ini berbeda dengan anggapan orang luar yang menyangka tanaman buah di

tembawang merupakan tanaman liar yang tumbuh dengan sendirinya tanpa campur

tangan orang. Tradisi lisan yang dituturkan secara turun-temurun di kalangan

masyarakat Dayak, tanaman buah dahulu sengaja ditanam di sekitar ladang yang baru

dibuka dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian hama babi dan monyet

berdasarkan pengalaman bahwa pada musim buah serangan hama babi dan monyet

sangat berkurang (Dewi, 2006).

Tembawang adalah suatu area kebun buah-buahan, warisan dari leluhur yang

dimiliki atau dikuasai secara individual maupun kolektif oleh suatu kelompok

genealogis orang Dayak. Keberadaan tembawang juga dapat dijelaskan dalam konteks

sistem tanurial masyarakat Dayak. Hak kepemilikan dan penguasaan tanah dalam

masyarakat Dayak pada masa lalu dan sebagian masih berlaku sampai saat ini tidak

dibuktikan dalam bentuk selembar kertas yang disebut surat tanah, leter C ataupun

sertifikat tanah. Tanda kepemilikan maupun penguasaan tanah dalam masyarakat

Dayak lebih mengandalkan pada pengakuan sosial dan tanda suatu hamparan tanah

yang sudah dikuasai oleh seseorang atau satu keluarga adalah adanya tanaman buah-

buahan di lahan tersebut. Oleh karena itu tembawang dapat dianggap merupakan bukti

kepemilikan lahan atau tanah dari suatu keluarga orang Dayak. Tembawang dapat

diwariskan kepada anak cucu baik secara individual maupun kolektif yaitu satu

generasi keturunan memiliki tembawang secara bersama-sama.

Sistem bercocok tanam masyarakat Dayak di ladang yang dilakukan secara

berotasi ini sering disebut sebagai bentuk kearifan lokal karena orang Dayak tidak

melakukan aktivitas pertanian yang merusak lingkungan. Mereka memang menebang

hutan untuk membuat ladang namun mereka memberi kesempatan kepada alam untuk

memperbaiki kualitas sumber daya alamnya dengan cara membiarkan bekas ladang

selama lebih dari sepuluh tahun sehingga tanah bekas ladang tersebut telah berubah

menjadi hutan sekunder. Orang Dayak pada masa lalu tidak melakukan aktivitas

pertanian yang bersifat ekstraktif karena mereka bercocok tanam sekedar untuk

memenuhi kebutuhan pangan keluarga batih mereka.

Hasil penelitian (Tim Peneliti, 2000) menunjukkan bahwa sampai akhir periode

1970-an setiap keluarga orang Dayak di Kabupaten Sanggau menguasai kurang lebih

40 hektar tanah pertanian. Apabila setiap keluarga batih orang Dayak hanya mampu

mengolah ladang seluas 2 hektar, dengan sistem rotasi setiap dua atau tiga kali panen,

lalu pindah ke petak tanah lainnya sampai akhirnya kembali ke lahan semula. Nico

Page 11: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 10

Andasputra (2007: 2) menyatakan sistem perladangan yang telah dilakukan selama

berabad-abad lalu sebenarnya relatif tidak merusak hutan seperti yang selama ini

dituduhkan kepada orang Dayak.

Berdasarkan pengalaman, mereka berpindah secara periodik dan kembali ke

petak yang sama selang 25-40 tahun sehingga petak ladang yang pertama kali dibuka

sudah berubah menjadi hutan kembali. Sistem pertanian ladang berotasi yang

dipraktikkan oleh masyarakat Dayak merupakan suatu kearifan lokal yang sesuai

dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada masa lalu ketika kepentingan

perekonomian nasional dan global belum banyak bersentuhan dengan kehidupan

masyarakat Dayak. Dengan perladangan, kelestarian ekosistem justru terjaga dengan

baik karena perladangan merupakan miniatur dari hutan yang menjaga konservasi

tanah dan kesuburan tanaman dengan menggunakan humus dari dedaunan tanaman

hutan (Geertz dalam Hudayana, 2005: 19).

Masyarakat Dayak telah mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya

alam berdasarkan kebudayaannya. Prinsip-prinsip dasar manajemen sumber daya

alam tersebut harus memenuhi kearifan-kearifan sebagai berikut:

1) Berkesinambungan (Sustainability). Alam tidak dipandang sebagai aset atau

kekayaan melainkan sebagai “rumah” bersama. Konsep “rumah bersama” ini

sangat jelas terlihat dalam setiap upacara yang mendahului tahap kegiatan

berladang.

2) Kebersamaan (Collectivity). Alam beserta seluruh isinya dikelola berdasarkan

prinsip kebersamaan dan demi kepentingan bersama.

3) Keanekaragaman (Biodiversity). Dalam sistem bercocok tanam orang Dayak,

unsur keanekaragaman (biodiversity) yang menjadi prioritas utama, bukan

produktivitas. Prinsip keanekaragaman tanaman ini berlaku pada ladang orang

Dayak di mana terdapat ratusan jenis tanaman seperti puluhan varietas padi,

sayuran, buah-buahan dan obat-obatan.

4) Subsistensi. Sumber daya alam yang diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat

Dayak umumnya dikonsumsi untuk keperluan keluarganya sendiri. Berdasarkan

prinsip subsistensi ini, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan dalam skala

kecil sekedar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

5) Tunduk pada hukum adat. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam pada

masyarakat Dayak dilakukan berdasarkan pada hukum dan adat istiadat yang telah

diformulasikan berdasarkan pengalaman turun-temurun dari nenek moyang

(Bamba, 1996: 13-23).

Dibandingkan dengan pihak-pihak berkepentingan lain, masyarakat Dayak

mempunyai motif yang paling kuat untuk melindungi hutan adatnya. Bagi masyarakat

Dayak yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, menjaga hutan dari kerusakan

merupakan bagian paling penting dalam mempertahankan keberlanjutan

kelangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas yang berlandaskan pada adat

istiadat dan hukum adat (Andasputra, 2007: 5). Hal tersebut itulah yang menjamin

ketahanan pangan yang berkelanjutan masyarakat dayak yang ada di Kalbar.

3.5. Masyarakat Adat Maluku

Kehidupan masyarakat Maluku yang kaya akan sumber daya alam baik di

laut maupun di darat masih berlaku hukum adat hal ini terlihat dari adanyaa kesatuan

masyarakat yang teratur yang mempunyai penguasa dan menetap disuatu wilayah

tertentu yang dikenal dengan wilayah petuanan (ulayat). Kesatuan hukum adat

masyarakat ini sejak dahulu sangat berpengaruh dalam berbagai aspek, baik

Page 12: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 11

pemerintahan, ekonomi terutama pengelolaandan perlindungan lingkungan hidup, hal

ini terlihat dengan masih sangat bergantungnya masyarakat adat malukupada

ketersediaan lingkungan, kehidupan masyarakat yang masih bersifat komunal dan

masih mempertahankan kearifan lokal yag didapatnya dari pengetahuan yang

diturunkan secara turun temurun.

Masyarakat adat maluku dengan kearifan lokalnya sebagai bagian dari struktur

pemerintahan negara, harus diposisikan sebagai bagian integral dalam proses

pembangunan. Artinya partisipasi aktif masyarakat adatharus direspons secara positif

oleh pemerintah. Masyarakat adat harus diberikan kebebasan untuk berkreasi sesuai

potensi yang dimiliki, sehingga ada keseimbangan. Kebijakan pembangunan harus

terintegrasi dengan tetap berbasis pada masyarakat adat yang mempunyai hukum adat,

sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang patut diakui eksistensinya.

Kehidupan sosial dan budaya masyarakat maluku yang tidak terlepas dari

hukum adat digunakan dalam upaya pengelolaan sumber daya alam guna memenuhi

kebutuhan hidupnya sekaligus sebagai upaya pelestarian atas sumber daya hayati dan

ekosistemnya. Salah satu bentuk pengelolaan dan perlindungan atas lingkungan hidup

oleh masyarakat adat maluku adalah sasi.

Sasi merupakan praktik-praktik pengelolaan dan perlindungan sumber daya

alam yang dilaksanakan masyarakat adat maluku dinilai selaras dengan prinsip

pengelolaan lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan. Sasi juga didukung oleh

kebijakan adat sebagai bentuk pengetahuan lokal yang secara turun-temurun sudah

mengatur bahwa pengelolaan dan pemanfaatan alam harus memperhatikan kelestarian

sumber daya alam serta lingkungan.

Sasi sebagai pranata adat mengandung kekuatan hukum yang mengikat bagi

masyarakat adat tesebut karena dalam penyelangaraan sasi mengandung ketentuan

yang mengatur tentang larangan serta kebolehan bagi masyarakat dalam pengelolaan

lingkungan hidup dan perlindungannya. Keberlakuan hukum dalam sasi mengenal

pembatasan wasktu berdasarkan jenis sumber daya alam yang diaturnya.Di

Maluku masyarakat adat yang tinggal pulau-pulau kecil maupun di wilayah pesisir

memiliki sistem ‘sasi’ atau larangan memanen ataumengambil dari alam (di laut atau

didarat) sumber daya alam tertentu untuk waktu tertentu. Sasi sebagai

upaya perlindunganguna menjaga mutu dan populasi sumber daya alam hayati.

Adanya larangan pengembilan hasil sebelum waktunya, maka akan terjadi

peningkatan populasi sumber daya alam hayati.

Penerapan sasi diterapkan pada sumber daya alam di laut maupun didarat, di

darat sasi diberlakukan pada tanaman dan buah-huahan yang dilarang untuk di panen

setiap waktu, ada waktu-waktu tertentu tanaman tersebut dilarang untuk di ambil

dengan tujuan hasil yang di dapat lebih maksimal dan dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat adat tersebut. Larangan dalam hukum sasi mulai berlaku sejak adanya

upacara adat “tutup sasi” dan berakhinya hukum sasi saat upacara “buka sasi “ di

lakukan.

Sasi yang dikenal masyarakat di pesisir Salah satunya adalah Sasi ikan lompa

di Pulau Haruku kabupaten maluku tengah, terkenal sebagai satu acara tahunan yang

unik bagi masyarakat di Pulau Haruku dan Ambon yang menunjukkan salah satu

bentuk kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan ditetapkannya

sasi atas spesies dan di wilayah tertentu oleh Kewang maka siapapun tidak berhak

untuk mengambil spesies tersebut. Ketentuan ini memungkinkan adanya

pengembang-biakan dan membesarnya si ikan lompa, untuk kemudian di panen ketika

sasi dibuka lagi

Page 13: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 12

Keunikan sasi di pulau haruku ini karena sasi ini merupakan perpaduan antara

sasi laut dengan sasi kali (sungai). Hal ini disebabkan karena keunikan ikan lompa itu

sendiri yang, dapat hidup baik di air laut maupun di air kali. Setiap hari, dari pukul

04.00 dinihari sampai pukul 18.30 petang, ikan ini tetap tinggal di dalam kali Learisa

Kayeli sejauh kurang lebih 1500 meter dari muara. Pada malam hari barulah ikan-ikan

ini ke luar ke laut lepas untuk mencari makan dan kembali lagi ke dalam kali pada

subuh hari. Pada saat mulai memberlakukan masa sasi (tutup sasi), dilaksanakan

upacara yang disebut panas sasi. Upacara ini dilakukan tiga kali dalam setahun,

dimulai sejak benih ikan lompa sudah mulai terlihat.

Sasi dalam penyelengaraanya di awasi oleh suatu lembaga adat yang di sebut

kewang (semacam polisi adat di Maluku Tengah), kewang sebagai lembaga adat yang

berakses secara langsung dengan wilayah adat (wilayah ulayat/petuanan) suatu

masyarakat adat baik di darat maupun di laut. Pengawasan dan pengaman lembaga

kewang menjamin terjaganya keseimbangan hubungan antara manusia dan

lingkungan hidupnya dengan pemanfaatan sumber daya alam secara terkendali dan

bijaksana.

Lain lagi bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup Masyarakat

Adat Aru (Maluku Tenggara), berperadaban yang ecocentrism, tercermin dalam

eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan

memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem pesisir dan

kepulauan. Pada Musim Timur (Mei-Oktober) mereka bekerja di kebun membuat

kanji dari sagu dan berburu, Pada Musim Barat (November-April) lebih terfokus pada

sumberdaya laut seperti mengumpulkan Teripang dipesisir pantai yang sedang pasang

ataupun berburu Hiu.

Pengumpulan teripang oleh masyarakat adat Aru tidak mengunakan alat apapun

tetapi memanfaatkan pengetahuan/kearaifan lokal (indigenous knowledge) mengenai

kehidupan Tripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi, pada

cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya. Melalui pengetahuan lokal

inilah komunitas lokal Aru mengorganisasikan kekuatannya mengelola sumberdaya

alam yang satu ini secara lestari. Sebagai contoh: Di Musim Barat saat pasang naik

merupakan saat yang tepat untuk “memanen”Tripang; tetapi dibatasi dari November

sampai Maret saja karena Tripang (khususnya Tripang Putih dan Tripang Matahui)

berproduksi pada bulan April. Masyarakat adat Aru sangat kuat memegang

kepercayaan yang dianutnya yang berhubungan erat dengan mitologi.hal ini menjadi

instrumen tangguh dalam menjaga kelestarian alam dan keberlanjutanya, karena alam

dan seluruh isinya dianggap sebagi milik leluhurnya yang senantiasa memantau agar

pengunaan sumber daya alam sehemat mungkin sekedar untuk memenuhi kebutuhan

hidup dan memikirkan mereka yang akan hidup.

Kepala adat sebagi mediator antara leluhur dan anak cucunya pada waktu-

waktu tertentu akan melakukan dialog, hasil dialog tersebut berupa kesepakatan untuk

hanya menagambil teripang yang berukuran besar dan ada masa larangan (restriction)

untuk mengambil teripang atau yang dikenal dengan sasi teripang selama ± 3 (tiga)

tahun, hal ini dimaksud agar memberikan kesempatan pada alam untuk melakukan

regenerasi. Jika hal ini dilanggar maka akan terjadi penyimpangan yang

dimanifestasikan dengan bencana alam.

Melihat bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup masyarakat

adat Maluku dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari sasi di Maluku merupakan

wujud dari kesadaran dan kearifan lokal masyarakat adat maluku dalam pengelolaan

dan perlindungan serta pelestarian lingkungan hidup sebagai modal dasar. Dengan

adanya sasi warga masyarakat adat tidak mengelola sumberdaya alamnya secara

Page 14: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 13

sembarangan sehingga sumber daya alam yang ada dapat berdaya guna dan lestari

demi kepentingan dan kesejahtraan masyarakat

3.6. Masyarakat Galesong dengan Adat Patorani

”Patorani” menunjukkan sekelompok orang dengan pekerjaan khusus pencari

ikan terbang. Ikan bersayap ini diburu oleh para ”patorani” bukan karena jenis

ikannya, tetapi yang utama adalah mengumpulkan telurnya sebagai komoditas

ekonomi yang sangat penting bagi mata dagangan untuk konsumsi ekspor yang

diminati oleh banyak negara seperti; Jepang, Korea dan Cina. Namun yang pasti

bahwa patorani telah ada sejak dahulu kala, sejak manusia mengenal ikan torani. Telur

ikan terbang ini, selain sebagai salah satu primadona nelayan Galesong, sekaligus juga

menjadi simbol langgengnya sistem ekonomi pesisir patron-client.

Ikan Terbang Ikan ini merupakan salah satu komoditas laut yang sangat

digemari oleh berbagai kelompok masyarakat. Ikan juga dipercayai sebagai salah satu

jenis makanan yang dapat meningkatkan beberapa aspek kesehatan tubuh. Salah satu

jenis ikan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian tidak hanya dari kelompok nelayan

yang menghasilkannya namun juga oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri.

Salah satu bagian penting dari ikan terbang adalah telurnya. Telur ikan terbang

dianggap berguna untuk pengobatan karena mengandung karagenan.

Kepercayaan dan Upacara Tradisional

Kepercayaan masyarakat Galesong menganggap bahwa di laut terdapat

kekuatan gaib yang dapat mengancam kehidupan nelayan tetapi juga dapat

memberikan kesejahteraan hidup. Hal ini telah berakar dalam jiwa masyarakat

nelayan, sejak nenek moyang mereka. Oleh karena itu dalam menghadapi kekuatan-

kekuatan gaib yang penuh misteri itu, mereka adakan suatu upacara. Berhasil tidaknya

mereka membujuk atau menenangkan kekuatan gaib tersebut tergantung pada kualitas

upacara yang diselenggarakan. Pelaksanaan upacara sangatlah hati-hati menjaga

segala pantangan yang tabu dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang dapat

menyebabkan kegagalan.

Kearifan Lokal Mengenai Laut

Patorani adalah salah satu bentuk kelompok nelayan Makassar yang telah ada

sejak lama di Sulawesi Selatan. Dalam kondisi realitasnya sampai saat ini masih

mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumber daya hayati laut berdasarkan

norma-norma dan nilai-nilai budaya. Melalui perilaku nelayan dalam bentuk

penggunaan teknologi cara (soft ware technolgy) maupun teknologi alat (hard ware

technology) yang bersifat partisipatif, asosiatif, analogik dan orientif yang melembaga

serta masih tetap dipertahankan dalam konteks kekinian. Sejumlah bentuk strategi

adaptif nelayan yang sering digunakan antara lain:

1. Tanda Alam Sebagai Pedoman Melaut

Dalam kaitannya dengan kegiatan melaut, para nelayan berpedoman pada berbagai

gejala alam seperti gugusan bintang yang bertaburan di angkasa ataupun gumpalan

awan yang berarak di samping peredaran musim, peredaran matahari dan bintang,

bahkan juga arah angin dan arus gelombang laut. Aktivitas penangkapan ikan laut

bagi para nelayan di Galesong turut dipengaruhi oleh adanya perangkat

pengetahuan tradisional tentang laut dan gejala-gejala alam, termasuk astronomi

dan meteorologi tradisional yang diwarisi dari generasi terdahulu.

Page 15: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 14

2. Pola Produksi

Pengetahuan dan teknologi penangkapan ikan diwarisi dari generasi terdahulu,

selanjutnya ditransformasikan pula kepada angkatan generasi yang lebih muda

melalui proses sosialisasi. Pola produksi dilakukan bisa dengan perorangan atau

dilakukan secara berkelompok. Produksi tersebut dilakukan dengan menangkap

ikan terbang tetapi yang dikhususkan adalah pengambilan telor-telor ikannya.

3. Wilayah Tangkapan

Secara garis besar batas wilayah tangkapan para nelayan patorani di Galeson tidak

hanya terbatas di perairan yang dangkal, melainkan sampai jarak jauh melintasi

perairan wilayah provinsi atau pulau terluar dari batas geografis daerahnya.

Menurut keterangan yang diperoleh, mereka sampai di wilayah perairan perbatasan

pulau Kalimantan dan bahkan hingga perairan Fak Fak di Jayapura.

4. Ritus Tradisi Patorani

Masyarakat nelayan di Galesong Utara menyadari betul, bahwa hidup dalam

ekologi kelautan harus dihadapi dengan spirit kejuangan yang tinggi. Ritus para

komunitas Patorani yang dilakukan secara tradisional ini, paling tidak bertujuan

untuk memperoleh keselamatan dalam aktivitas penangkapan ikan terbang (torani)

dan berharap memperoleh hasil tangkapan yang maksimal. Para nelayan menyadari

bahwa sumber daya laut memberikan berbagai kemungkinan agar mereka dapat

bertahan (survive), bukan semata-mata tingkat subsistensi, tetapi bahkan nelayan

dapat mencapai surplus yang memungkinkan mereka mampu untuk hidup

sejahtera.

Upacara tradisional patorani adalah sebuah upacara sakral yang penuh

muatan nilai-nilai magis-religius, sehingga harus dilakukan secermat dan

senormatif mungkin menurut tata cara yang sudah baku, sebagaimana pernah

dilakukan oleh nenek moyang mereka. Upacara ini biasanya dimulai menjelang

para nelayan melakukan operasi penangkapan ikan di laut. Kegiatan itu dilakukan

menjelang musim kemarau atau akhir bulan April sampai September pada setiap

tahun. Tetapi biasanya upacara tersebut dilaksanakan sekitar bulan April atau Mei

setiap tahunnya. Ada tiga tempat (tahapan) penyelenggaraan upacara tradisional

pa’torani dilakukan, yaitu pertama di rumah punggawa yang kemudian dilanjutkan

di pinggir pantai dan upacara terakhir sebagai simpul dari rangkaian upacara

diselenggarakan di sebuah pulau yaitu pulau Sanrobengi yang dipercayai sebagai

pintu gerbang menuju samudra lepas menemukan telur ikan terbang.

Perburuan ikan terbang oleh masyarakat di Galesong Kabupaten Takalar,

adalah sebuah peristiwa kenelayanan yang tidak hanya bernilai ekonomi semata,

tetapi merupakan ritus kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai sosial dan spiritual

yang mengandung makna yang sangat dalam, tentang suatu hubungan sesama

manusia, alam (lingkungan), dan Tuhannya. Koneksi ini, tergambarkan secara

gamblang melalui rangkaian-rangkaian acara, sejak dimulai upacara

pemberangkatan, perburuan ikan di laut lepas, sampai pada upacara syukuran yang

dilakukan ketika mereka pulang kembali ke pantai membawa hasil yang

menggembirakan.

Doa syukuran melalui acara selamatan selama musim penangkapan berakhir,

yaitu sekitar bulan September dan puncak acara dilakukan di pinggir pantai dengan

mempersembahkan sejumlah ekor ayam dan kambing untuk dikorbankan, bahkan

kerbau dan sapi (dipotong) sebagai tanda sukacita atas keberhasilan mereka.

Apabila acara itu telah usai, maka seluruh peralatan dan perlengkapan dibersihkan

termasuk perahu yang digunakan melaut untuk kemudian disimpan pada tempatnya

dengan rapi dan menunggu musim penangkapan berikutnya tiba. Menangkap ikan

Page 16: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 15

terbang pun kembali dilakukan secara turun temurun sebagai bentuk alih

pengetahuan (transfer knowledge) dan keberlanjutan tradisi. Pencarian dan

pengumpulan telur ikan terbang sampai saat ini masih tetap berlanjut, sesuai

dengan hukum ekonomi adanya pengiriman (supply) karena didorong oleh

permintaan (demand).

3.7. Masyarakat / Komunitas Petungkriyono Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah

Petungkriyono melingkupi kawasan seluas 7.236 ha, secara administratif

Petungkriyono merupakan bagian dari Kabupaten Pekalongan. Wilayah ini terbagi

menjadi sembilan desa. Sembilan desa tersebut adalah Tlagapakis, Kayupuring,

Kasimpar, Yosorejo, Songgodadi, Curugmuncar, Simego, Gumelem, dan

Tlagahendro. kawasan ini merupakan hamparan pegunungan dengan ketinggian

bervariasi antara 500-1.634 m di atas permukaan laut (dpl). Seluruh kecamatan ini

merupakan daerah dengan kelembaban udara yang relatif tinggi. Sebuah laporan

penelitian telah menuliskan bahwa suhu rata-rata di Petungkriyono berkisar antara 12-

18 derajat celcius, dengan curah hujan rata-rata 5000-6000 mm/tahun.

Dengan iklim basah ini sebagian besar masyarakat sekitar hutan di

Petungkriyono bekerja sebagai petani kecil. Populasi terus meningkat dari tahun ke

tahun, tapi lahan mereka tidak bertambah menyebabkan akses petani Petungkriyono

terhadap lahan semakin kecil. Dengan peningkatan populasi tersebut lahan pertanian

tiap keluarga di Petungkriyono pun tidaklah lebih dari 0,4 ha (Haryanto 1994; Murtijo

2002).

Dengan lahan yang sempit tersebut selain menanam padi, ketela, ubi dan jagung

sebagai sumber makanan sehari-hari, mereka juga menanam bermacam tanaman

komoditas seperti bawang daun, kopi, cabai, tomat, ataupun wortel. Dari lahan

tegalan, pohon aren yang sering tumbuh terutama di daerah yang tak terlalu tinggi

seperti Kasimpar dan Kayupuring pun dimanfaatkan masyarakat dengan mengolahnya

menjadi gula aren. Sementara di daerah yang relatif tinggi seperti Gumelem dan

Simego tanaman teh dan tembakau banyak ditanam sebagai penyokong perekonomian

masyarakat. Pemeliharaan sapi turut berperan penting pula dalam perekonomian

orang Petungkriyono1. Selain memelihara sapi peranakan Ongole yang telah ada di

Jawa dan Sumatra sejak awal tahun 1900-an, kini orang Petung juga banyak

memelihara sapi peranakan Kobis (Dutch Friesian), Charolais, Simmental, dan

Brahman (Nusrat, 2003). Sapi-sapi ini dikandangkan di sekitaran rumah, sedang

pakannya diperoleh dari merumput di lahan tegalan ataupun hutan pinusan. Di

Petungkriyono, usaha pemeliharaan sapi hanya diupayakan untuk pembesaran sapi.

Sapi yang masih kecil (pedet) diberi makan terus hingga besar, dan setelah besar

ditukar (dilambang) dengan dua ekor pedet demikian berulang seterusnya. Namun

demikian, adanya kebutuhan-kebutuhan yang besar seperti pernikahan, pengobatan

kerabat yang sakit, ataupun biaya sekolah seringkali memaksa orang Petung menjual

sapi mereka. Dengan praktik semacam ini keberadaan ternak sapi dipandang sebagai

salah satu investasi sekaligus tabungan yang dimiliki masyarakat.

Seiring berbagai perubahan fisik dan lansekap, perubahan besar dalam sistem

pertanian pun terjadi. Untuk pertanian padi, masyarakat mulai mengenal bibit padi

kucir (padi Semeru). Dengan masa panen yang hanya 4-5 bulan masyarakat mampu

panen dua kali setahun yaitu dengan tetap menanam varietas padi Jawi dalam masa

tanam pertama dan menanam padi kucir di masa tanam kedua. Akibatnya, kebutuhan

tenaga kerja pun semakin besar. Apalagi jika masa tanam dan masa panen tiba. Untuk

mengatasi permasalahan tenaga kerja ini masyarakat membangun sebuah mekanisme

Page 17: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 16

kerja bersama bernama sambatan. Melalui sambatan seseorang yang hendak

menggarap lahannya dapat minta bantuan kerabat dan tetangganya untuk turut dalam

kerja di lahan pertaniannya. Dengan demikian keberlanjutan dan ketahanan pangan

masyarakat Petungkriyono dapat terjaga dengan baik.

3.8. Komunitas Masyarakat Kampung Sarongge Kecamatan Cisarua, Bogor

Leuit adalah sebutan lokal bagi lumbung penyimpan padi atau gabah hasil

panen komunitas petani di Kampung Sarongge, Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya,

Bogor. Selama puluhan tahun dan dari generasi ke generasi masyarakat kampung itu

masih mempertahankan tradisi menyimpan padi dalam lumbung keluarga baik untuk

kepentingan konsumsi maupun benih musim tanam berikutnya. Sistem pertanian yang

menempatkan leuit sebagai bagian sitem pangan lokal ini merupakan satu bukti ---di

tingkat tertentu--- masih adanya kedaulatan pangan di tingkat komunitas petani

Tradisi Agraris di Kampung Sarongge

Kampung Sarongge adalah salah satu kampung di Desa Cisarua. Terletak di

lereng Gunung Halimun bagian utara kurang lebih 40 km arah barat daya kota Bogor.

Mayoritas warga kampung Sarongge hidup dari pertanian, khususnya padi sawah.

Tidak ada satupun keluarga yang tidak menanam padi. Praktek pertanian padi ini telah

berkembang secara turun temurun dari generasi ke generasi yang klemudianj

membentuk sistem pengetahuan dan tradisi bertani sendiri, seperti menjaga

keberagaman jenis benih, persiapan lahan, persiapan benih, penanaman,awatan,

pemanenan, penyimpanan sampai pada pola konsumsi dan distribusinya. Semua

rangkaian proses budidaya otu dikawal oleh berbagai aturan dan ritual. Pertanian padi

adalah sistem pengetahuan yang hidup dan menghidupi pemiliknya.

Hampir semua produksi padi di Sarongge dikonsumsi sendiri oleh masyarakat.

Budaya menjual padi atau gabah hampir tidak ada dan tidak dikenal. Beras merupakan

makanan pokok mereka sejak lama dan ada semacam tabu untuk menjualnya. Benih

padi yang ditanam juga merupakan jenis lokal yang dihasilkan sendiri. Masih ada 29

jenis varietas padi lokal yanng dikembangkan. Pola tanam dan teknologi masih sangat

sederhana dan mengandalkan tenaga manusia. Hanya saja kuatnya pengaruh revolusi

hijau sangat terasa di Kampung ini dengan adanya ketergantungan pada pupuk dan

pestisida kimia.

Leuit dan Ketahanan Pangan

Hampir setiap rumah penduduk mempunyai tempat penyimpanan hasil panen

padi yang dinamakan LEUIT dengan kapasitas yang berbeda. Leuit sendiri merupakan

semacam kotak/peti besar atau lumbung padi. Masih ada 14 leuit di kampung ini yang

letaknya tersebar di dalam kampung maupun di lokasi pesawahan. Peti biasanya

merupakan tempat menyimpan hasil panen keluarga yang hampir setiap rumah

memilikinya. Sementara leuit lebih bersifat komunal atau dimiliki oleh keluarga

dengan kapasitas produksi yang besar. Di dalam leuit inilah padi hasil panen mereka

disimpan sampai bertahun-tahun lamanya.

Saat ini padi dalam leuit ada yang sampai berumur 10 tahun. Umur padi yang

sudah lama ini biasanya terjadi karena padi yang lama tertumpuk oleh padi yang baru

dipanen begitu seterusnya sehingga tidak sempat dikonsumsi. Masyarakat disana

menyebut padi yang sudah tua dengan Indung Pare (tumbal). Indung pare ini sengaja

dibiarkan terus di tumpukan bagian bawah. Menyimpan padi tua di leuit sebenarnya

lebih didasarkan pada adanya konsep “Menabung” supaya mempunyai cadangan

Page 18: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 17

makanan untuk setiap musim baik panen maupun paceklik agar terjaminnya

kehidupan yang berkelanjutan.

Perubahan cara pandang terhadap leuit untuk sekarang juga sudah mengalami

perubahan. Kalau dulu indung pare jangan sampai digunakan tetapi untuk saat ini

boleh digunakan untuk situasi dan kondisi tertentu seperti hajatan dan ritual, tetapi

tetap harus ada penggantinya dengan padi baru yang disimpan di leuit jika sudah

panen tiba.

Padi di leuit baik untuk dikonsumsi setelah minimal disimpan 40 hari dan

intensitas pengambilan hanya boleh 1 kali seminggu dalam jumlah ikatan padi yang

tetap dan dalam hitungan ganjil. Maknanya adalah masyarakat punya kesadaran untuk

berhemat dan memiliki standar pangan yang cukup untuk keluarga dalam satu minggu

sampai dengan musim panen berikutnya. Hal inilah yang menyebabkan adanya

ketahanan pangan di kampung Sarongge tetap terjaga dengan baik sampai sekarang.

Prosesi ritual memasukkan padi didahului dengan membakar kemenyan sambil

membaca do’a kemudian dilakukan Rasulan ngelepkeun (nitipkeun pare) di leuit atau

peti.

Konservasi Benih Padi

Agar hasil panen padi menjadi baik maka masyarakat Kampung Sarongge,

sebelum menanam padi terlebih dahulu memilih bibit padi yang baik yang kemudian

dipisahkan dari padi yang akan disimpan di leuit. Benih padi biasanya disimpan

digantung di atas atap atau kayu dekat dapur paling lama 1 tahun. Karena jika

disimpan lebih dari 1 tahun biasanya kualitas padi yang dihasilkan kurang baik dan

tidak optimal. Padi benih tidak boleh tercampur dengan padi tua “indung pare” dalam

leuit. Secara keilmuan modern sebenarnya dapat dijelaskan bahwa menyimpan padi

di dapur adalah untuk menghindari kelembaban yang tinggi.

Dengan masih tersimpannya padi lokal maka keanekaragaman jenis padi masih

terjaga dan masyarakat Kampung Sarongge tidak memerlukan benih dari luar karena

sudah tercukupi benihnya sehingga ketahanan pangan pun dapat terjaga dengan baik.

3.9.Kearifan Lokal Masyarakat Tatar Sunda

Pada umumnya masyarakat pedesaan tatar pasundan mempunyai kearifan lokal

dalam memelihara lingkungan pekarangan dengan menanam berbagai macam tanaman

serta adanya kolam ikan. Hal ini berfungsi sebagai sumber pangan yang bersifat

subsisten dan berlaku terus menerus sampai sekarang. Karakteristik pekarangan di

daerah tatar sunda biasanya ditanami aneka tanaman kayu semusim dan dilengkapi

dengan kolam pekarangnan (Iskandar, 2014).

Pada kolam pekarangan biasanya dipelihara berbagai macam jenis ikan seperti

: sepat, sepat siyem, nilem, gurami dan lele. Sementara itu pematang-pematang kolam

umumnya ditanami talas, serawung, singkong, ubi jalar, bawang daun, dan waluh

siyem. Tanaman tersebut tumbuh subur karena tanahnya yang gembur berasal dari

lumpur/tanah kolam yang diangkat ke pematang ketika kolam “dibedahkeun”

(dipanen). Hasil tanaman pinggir kolam dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan

kebutuhan sehari hari atau sebagian digunakan untuk pakan ikan sendiri.

Dengan demikian penduduk desa di tatar pasundan yang mengembangkan

sistem pekarangan tersebut di atas dapat dikatakan telah mengembangkan dan

melestarikan keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dan

memellihara kesehatan penduduk, disamping sistem tersebut cukup adaptif terhadap

perubahan iklim yang kian tidak menentu. (Iskandar, 2014).

Page 19: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 18

3.10. Komunitas Punan Benalui

Komunitas Punan Benalui berada di daerah hulu Sungai Bahau, Kec. Long

Pujungan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Dalam pemenuhan kebutuhan hidup

sehari-hari terutama pangan dilakukan dengan berburu dan meramu meskipun sudah

ada yang mengerjakan perladangan berpindah. Kehidupan komunitas Punan Benalui

hidup berkelana di hutan-hutan primer secara berpindah pindah dalam kelompok yang

terdiri dari 20-100 orang. Biasanya tinggal selama 1-2 tahun atau berpindah kembali

dan ditinggalkan selamanya jika ada salah satu warganya meninggal. (Iskandar, 2009).

Pada umumnya , aktivitas sehari-hari komunitas Punan Benalui terdiri dari 2

kegiatan utama yaitu tinggal di kamp pondok-pondok (moko) dan pergi ke luar kamp

pondok/kampung (tei melakau). Sementara itu bahan panngan mereka diperoleh dengan

cara memungut hasil-hasil tumbuhan liar dan berburu berbagai jenis binatangn liar di

hutan. Jika ditinjau dari segi kehidupan ekonominya komunitas Punan mempraktekkan

sistem ekonomi subsisten. Mereka mengkonsumsi sagu dari tumbuhan nanga

(Eugeissona utilis) dan jakah (Arenga undulatifolia). Selain itu mereka mengkonsumsi

buah buahan yang ada di hutan primer. (Iskandar, 2009).

Selain mengkonsusmsi buah buahan, ketika musim buah mereka melakukan

perbuaruan binatang liar. Hal ini disebabkan banyak binatang liar muncul mencari

makan berupa buah buahan. Jenis binatangn yang diburu antara lain : babi hutan, rusa,

kijang, planduk, landak, musanng, kalong, kera, kera beruk dsb. Perburuan binatang liar

tersebut dilakukan hanya dengan peralatan sederhana berupa tombak (mabang satong),

menirukan bunyi binatang (nedok) dan menggunakan perangkap (nyaut). Proses

penangkapan juga dengan selalu memperhatikan keserasian dan keseimbangan

ekosistem sehingga jumlah dan populasi binatang liar tersebut tetap terjaga.

3.11.Sistem Agroforestry Masyarakat Baduy, Banten Selatan

Pada masyarakat Baduy, mata pencaharian utama mereka adalah berhuma atau

berladang. Setiap tahun Suku Baduy menggarap huma dan tabu untuk bertani sawah.

Lahan yang digunakan untuk huma biasanya adalah hutan sekunder tua (reuma kolot)

yang ditanami padi gogo dan tanaman semusim lainnya. Jika telah dipanen maka

ditanami kembali, digarap ulang atau diberakan. Lahan yang diberakan setelah dipanen

akan membentuk reuma ngora atau hutan sekunder muda yang kemudian tumbuh

menjadi hutan sekunder tua (reuma kolot). (Iskandar, 2009).

Jika lahan yang diberakan tersebut dikonversikan menjadi rumah tempat tinggal

maka daerah tersebut dinamakan babakan atau kampung baru. Sekitar babakan banyak

ditanami aneka ragam tanaman keras, buah-buahan, dan pohon-pohon kayu yang

kemudian dinnamakan dukuh lembur.Berdasarkan adat masyarakat adat Baduy, dukuh

lembur tidak boleh (tabu) dibuka dijadikan ladanng. Konsekuensinya dukkuh lembur

menjadi suatu bentuk hutan buatan manusia (man-made forest), yang struktur

vegetasinya menyerupai hutan. Dukuh lembur tersebut selain memberikan fungsi

ekologis seperti fungsi hutan, juga mempunyai fungsi penting sosial ekonomi. Sehingga

sistem dukuh lembur, reuma dan huma dapat dikategorikan sebagai sistem agroforesty

tradisional yang menganut kearifan lokal. Hal ini pula mendukung ketahanan pangan

masyarakat Baduy.

Page 20: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 19

IV. STRATEGI MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN

4.1. Permasalahan Strategis Ketahanan Pangan Nasional

Perumusan strategi ketahanan pangan khususnya di Indonesia tentunya tidak

terlepas dari masalah strategis ketahanan pangan nasional. Ketujuh masalah strategis

ketahanan pangan tersebut adalah :

1. Ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju konsumsi akibat

tingginya laju pertumbuhan penduduk.

2. Masalah lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbanng.

3. Masalah keamanan pangan

4. Kerawanan pangan dan gizi buruk yang masih cukup memprihatinkan

5. Alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan dan air

6. Pengembangan infrastruktur pedesaan

7. Belum berkembangnya kelembagaan pangan baik struktural maupun kelembagaan

pangan masyarakat seperti kelembagaan sarana produksi, keuangan mikro pasca

panen di beberapa daerah.

Sedangkan menurut Kartasasmita (2005), permasalahan lain dalam mewujudkan

ketahanan pangan andalah belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat

gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas

ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang

tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum

efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani,

masih ketergantungan terhadap import pangan.

Dari permasalahan di atas diharapkan nantinya dapat dirumuskan strategi untuk menuju

ketahanan pangan.

4.2. Strategi Nyata Untuk Ketahanan Pangan

Beberapa permasalahan yang sudah diketahui sebagaimana dinyatakan

sebelumnya, dianalisis dan dirumuskan cara pemecahannya. Beberapa strategi untuk

mewujudkan ketahanan pangan tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Kartasasmita

(2005) adalah sebagai berikut :

a. Demokratisasi Sistem Pemerintahan

Sesungguhnya ruh dari program ketahanan pangan adalah ketersediaan dan

aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan secara adil dan merata. Ketersediaan

mengandung nilai semangat produktifitas, adapun aksesibilitas mencakup bagaimana

pemenuhan hak asasi serta keterjangkauan termasuk daya beli seluruh rakyat akan

pangan. Produktifitas mengandung nilai kemandirian dan keberdayaan. Adapun

pemenuhan hak asasi rakyat akan pangan berhubungan bagaimana proses

demokratisasi pemerintahan berjalan dengan baik.

Demokrasi yang genuin dapat diwujudkan apabila hak dasar akan pangan pada seluruh

masyarakat sudah terpenuhi secara adil dan merata. Terdapat hubungan timbal balik

antara ketahanan pangan atau perkembangan kemajuan ekonomi dengan kualitas

demokrasi di suatu bangsa

b. Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Proses desentralisasi dan otonomi daerah membuka peluang keberlangsungan

ketahanan pangan nasional dengan berbagai keunikan dan keanekaragam hayatidan

budaya lokalnya. Dalam konteks otonomi daerah, ketahanan pangan nasional sangat

ditentukan oleh ketahanan pangan di daerah Semakin mandiri dan berdaya daerah

dalam ketahanan pangannya, semakin memungkinkan kemandirian nasional dan

keberdayaan nasional dalam ketahanannya pangannya.

Page 21: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 20

c. Kemandirian Pembangunan Perdesaan

Kemandirian pembangunan perdesaan sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan

nasional hanya dapat terwujud bila kondisi saling ketergantungan tersebut dibangun

atas dasar kekuatan modal sosial yang tinggi. Budaya silih-asih, silihasah, silih-asuh,

gotong-royong, ulah pareumeun obor, tikaracak ninggang batu launlaun jadi legok,

kudu nyaah ka sasama, ulah poho ka karuhun jeung ka-anak incu, serta ngajaga

amanah sesungguhnya merupakan nilai-nilai dalam transformasi sistem

pembangunan pertanian masa datang yang tuntutannya lebih holistik

d. Pemberdayaan (empowerment)

Tidak ada suatu kemandirian tanpa proses pemberdayaan. Pemberdayaan berarti

memampukan masyarakat dan pemerintah daerah dalam aspek material, intelektual,

moral dan manajerial. Pemberdayaan dalam program ketahanan pangan berarti pula

proses sistematis, berkesinambung dan terpadu dalam sistem ketahanan pangan yang

berakarkan kekuatan rakyat serta kearifan budaya lokal untuk menghadapi tantangan

dan kebutuhan pangan secara nasional dan global

Sedangkan menurut Cahyanto, dkk (2012), strategi untuk mewujudkan ketahan pangan

nasional adalah dengan penguatan kearifan lokal dan penguatan desa sebagai basis

lumbung pangan nasional.

4.3. Penguatan Kearifan Lokal Solusi Ketahanan Pangan Nasional

Indonessia kaya akan sumber daya keanekaragaman hayati dan

keanekaragaman budaya. Potensi yang besar ini harus dimanfaatkan sesuai dengan

kondisi fisik, sosial budaya daerahnya masing masing. Kearifan lokal adalah salah

satunya. Dengan mengembangkan kearifan lokal yang dinamis selaras dengan

ekologi, kemiskinan tidak hanya dapat dikurangi tetapi juga dapat dihindari karena

lestarinya sumber daya bagi generasi berikutnya. Kearifan lokal mengandung nilai

dan norma norma sosial yang mengatur bagaimana seharusnya membangun

keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan kebutuhan

manusia.

Variasi jenis dan macam pangan lokal Indonesia sangat beragam, hal ini

tergantung dari budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Nasi jagung, Sagu dan

Gaplek bukan mencerminkan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang rendah tetapi

kebiasaan dan kearifan masyarakat setempat dalam memanfaatkan keadaan alam yang

harmonis dan selaras. Salah satu upaya nyata untuk meningkatkan percepatan gerakan

penganekaragaman konsumsi pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan

adalah dengan mengembalikan pola penganekaragaman konsumsi pangan yang telah

mengakar di masyarakat sebagai kearifan lokal (Tupan, 2011).

Beberapa ragam jenis pangan yang sudah disesuaikan dengan kategori budaya

dan kearifan lokal masing masing daerah antara lain adalah 1). Ketela pohon; 2) Garut

atau Arairut; 3) Sukun; 4) jagung; 5) sagu; 6) kentang; 7) ubi jalar; 8) talas dan lain

sebagainya

Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian tanaman pangan, kearifan

lokal ini dapat dijadikan pendamping dari ilmu-ilmu serta teknologi modern. Karena

kearifan lokal merupakan internalisasi dari pengalaman hidup yang panjang dan

menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat lokal dengan norma-norma sosialnya.

Kearifan lokal ini dapat sekaligus menjadi penyaring modernisasi yang dapat

berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat, maupun

merusak alam lingkungan.

Page 22: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 21

Kearifan lokal menjadi benteng yang sangat penting dalam meningkatkan

peranan dunia usaha di bidang pertanian tanaman pangan. Peran dunia usaha

memproduksi komoditas pangan memang sulit dihindari, sebaliknya peran tersebut

perlu didorong. Sementara peran pemerintah lebih terfokus pada regulasi dalam

penyediaan infrastruktur pertanian. Meski demikian peranan dunia usaha tetap harus

sejalan dengan kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang pada kehidupan

masyarakat pedesaan selama ini. Dengan begitu ketahanan pangan nasional akan

terwujud dengan adanya diversifikasi konsumsi pangan yang berbasis kearifan lokal

(Tupan, 2011).

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Kearifan lokal masyarakat Indonesia yang beranekaragam merupakan modal

yang sangat besar dalam proses mewujudkan ketahanan pangan nasional. Beberapa

kearifan lokal yang telah mengakar dan tetap eksis sampai sekarang antara lain adalah:

1) kearifan lokal masyarakat bali dengan subaknya; 2) masyarakaat desa Laelo,

Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan dengan Mabeleh nya; 3) masyarakat adat dayak

kalimantan tengah dengan pola ladang bergilir, kaleka dan sepan-pahewan nya; 4)

masyarakat adat dayak kalbar dengan pola ladang bergilir dan tembawangnya; 5)

masyarakat adat maluku dengan sasi; 6) Masyarakat Galesong dengan Pattorani; 7)

Kearifan lokal masyarakat Petung kriyono, Pekalongan Jawa Tengah; 8) masyarakat

kampung Sarongge, Cisarua, Bogor dengan Leuit; 9) Kearifan lokal masyarakat tatar

Pasundan dengan sistem pekarangan agroforestry; 10) masyarakat Dayak Punan

dengan sistem berburu dan meramu; dan 11) masyarakat baduy dengan sistem

perladangan di reuma dan huma nya.

Terdapat hubungan yang tidak dapat terpisahkan antara kearifan lokal dan

ketahanan pangan. Sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional harus

tetap mempertahankan dan menguatkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi sosial,

budaya daerahnya masing-masing. Hal ini disebabkan karena untuk mewujudkan

ketahanan pangan nasional basisnya adalah ketahanan pangan daerah dan ketahanan

pangan daerah sendiri berbasis pada kearifan lokalnya.

5.2. Saran

Beberapa saran yang harus diperhatikan untuk mewujudkan ketahanan pangan

nasional adalah sebagai berikut :

1. Budaya daerah dan kearifan lokal yang ada jangan sampai terkikis habis oleh arus

globalisasi.

2. Pemerintah sudah selayaknya terus melakukan internalisasi kearifan lokal tiap

daerah untuk mewujudkan ketahanan pangan di daerah tersebut demi mewujudkan

ketahanan pangan nasional.

3. Diversifikasi pangan harus segera dilakukan untuk mendukung terwujudnya

ketahanan dan keamanan serta kemandirian pangan nasional.

Page 23: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 22

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010. Adaptasi Bioekologi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan

Iklim. Departemen Kehutanan. Jakarta

............., 2011. Buku Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Kementerian Kebudayaan dan

Pariwisata Republik Indonesia. Jakarta. P. 161-280

Bahua, Muhammad Ikbal. 2010. Strategi Penguatan Lumbung Pangan Desa Dalam

Menunjang Pemenuhan Ketahanan Pangan. Fakultas Pertanian. Universitas Negeri

Gorontalo

Budiyanto, Moch. Agus Krisno. 2010. Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis

Pisang Melalui Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal. Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2,

Agustus 2010: 170–177

Cahyanto, S.S, Bonifasius S.P. dan Attabik Muktaman, 2012. Penguatan kearifan lokal.

Prosiding the 4th International Conference on Indonesian Studies. https://icssis. files.

Wordpress.com/2012 /05/09102012 -66.pdf diakses tanggal 5 nopember 2014 jam

10.10 WIB

Iskandar, J. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. PSMIL. Universitas

Padjajaran. Bandung.

Iskandar, Johan. 2014. Manusia dan Lingkungan Dengan Berbagai Perubahannya. Graha

Ilmu. Yogyakarta.

Kartasasmita, Ginanjar. 2005. Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa. Seminar

“Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal”. Bandung, 26

November 2005. www.ginandjar.com. Diakses tanggal 5 Nopember 2014 jam 10.15

WIB

Listinawati, Endang. 2010. Diversifikasi Pangan Dalam Mencapai Ketahanan Pangan. Jurnal

Agrobis Vol. 2 No. 4 Tahun 2010. Hal. 11-17

Martiningsih, N.G.A.G.E., 2012. Pelestarian Subak Dalam Upaya Pemberdayaan Kearifan

Lokal Menuju Ketahanan Pangan dan Hayati. Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 2,

Agustus 2012, hlm. 303 - 312

Mentayani, Ira. 2008. Jejak Hubungan Arsitektur Tradisional Suku Banjar Dan Suku

Bakumpai. Thesis. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 36 nomor 1. Universitas

Lambung Mangkurat. Banjarmasin.

Miharja, Arif,. 2000. Leuit Kearifan Lokal Dalam Kedaulatan Pangan, Wacana ELSPPAT,

Edisi 30/VIII

Page 24: KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN · PDF filelocal dalam bidang pertanian, ... perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik ... dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan

Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)

Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 23

Mukti, A. 2010. Beberapa Kearifan Lokal Suku Dayak Dalam Pengelolaan Sumber Daya

Alam. Universitas Brawijaya. https://abdulmuktirusydi. files.wordpress.com /2011/07

/kearifan-lokal1.pdf diakses tanggal 5 Nopember 2014 jam 09.53 WIB

Rahmawati, Farida. 2012. Potensi Pangan Lokal Menuju Ketahanan Pangan Nasional.

Skripsi. http://farobsess.blogspot.com/2012/12/potensi-pangan-lokal-menuju-ketahanan

.html diakses tanggal 5 Nopember 2014 jam 10.02 WIB

Qodriyatun, Sri Nurhayati. 2013. Bencana Hidrometeorologi dan Upaya Adaptasi Perubahan

Ikllim. Jurnal Kesejahteraan Sosial. Vol. V, No. 10/II/P3DI/Mei/2013

Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan.

Jakarta.

Syafa’at, R. 2011. Ringkasan Ketahanan Pangan dan Kearifan Lokal.

http://eprints.undip.ac.id /40821/1/RINGKASAN.pdf diakses tanggal 5 Nopember 2014

jam 12.30 WIB

Tupan. 2011. Wujudkan Ketahanan Pangan dengan Kearifan Lokal. http://accountability.

humanitarianforumindonesia.org/LinkClick.aspx?fileticket = GNVCYk54hCw%3D &

tabid =648&mid=1526 diakses tanggal 5 Nopember 2014 jam 10.25 WIB

Tuhulele, P. 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Adat Maluku Dalam Perlindungan Dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG

DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50

Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013. http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel

/lingkungan-hidup-pengelolaan-sda-dan-perlindungan-hak-hak-adat/269-kearifan-lokal-

masyarakat-adat-maluku-dalam-perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-hidup,

diakses tanggal 5 Nopember 2014 jam 09.59 WIB