p 35 46 hani solihah

Upload: nahdlatuna-jurnal

Post on 03-Mar-2016

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Islam adalah agama rahmat, yang senantiasa mengandung kemaslahatan dan menolak ke-mafsadat-an. Oleh karena itu, dalam masalah hukum yang berkaitan dengan “mua`amalah” dan tidak ada nash al-Qur’an atau Sunnah yang mengaturnya, manusia diberi kebebasan berijtihad untuk menjawab segala permasalahan yang timbul karena perkembangan zaman dan keadaan karena mempertimbangkan adat atau `urf yang berlaku saat itu dan di tempat itu. Dengan demikian, hukum Islam sangat memperhatikan aspek sosiologis yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat. Akibatnya, hukum yang ditetapkan atas dasar adat dan `urf akan senantiasa berubah karena kebutuhan manusia berkembang dan berubah. Hal ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam.Namun, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa adat atau `urf (sebagai pertimbangan sosiologis) bukan dalil syara` yang berdiri sendiri. Adat atau `urf yang menjadi dalil syara` adalah adat atau `urf yang mengandung kemaslahatan dan –sudah barang tentu—tidak bertentangan dengan ketentuan syari`at. Ringkasnya, adat atau `urf yang dapat dijadikan sebagai dalil syara` adalah adat atau `urf yang shahih, dengan berbagai syarat dan kriteria yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, dinamisasi hukum Islam tetap menjaga nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan identitas hukum Islam itu sendiri.

TRANSCRIPT

  • 35

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM (Teori Perubahan Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologis)

    Dr. Hj. Hani Solihah, M.Ag. [email protected]

    Abstrak

    Islam adalah agama rahmat, yang senantiasa mengandung kemaslahatan dan

    menolak ke-mafsadat-an. Oleh karena itu, dalam masalah hukum yang berkaitan dengan mua`amalah dan tidak ada nash al-Quran atau Sunnah yang mengaturnya, manusia diberi kebebasan berijtihad untuk menjawab segala permasalahan yang timbul karena perkembangan zaman dan keadaan karena mempertimbangkan adat atau `urf yang berlaku saat itu dan di tempat itu. Dengan demikian, hukum Islam sangat memperhatikan aspek sosiologis yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat. Akibatnya, hukum yang ditetapkan atas dasar adat dan `urf akan senantiasa berubah karena kebutuhan manusia berkembang dan berubah. Hal ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam.

    Namun, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa adat atau `urf (sebagai pertimbangan sosiologis) bukan dalil syara` yang berdiri sendiri. Adat atau `urf yang menjadi dalil syara` adalah adat atau `urf yang mengandung kemaslahatan dan sudah barang tentutidak bertentangan dengan ketentuan syari`at. Ringkasnya, adat atau `urf yang dapat dijadikan sebagai dalil syara` adalah adat atau `urf yang shahih, dengan berbagai syarat dan kriteria yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, dinamisasi hukum Islam tetap menjaga nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan identitas hukum Islam itu sendiri. Kata kunci: fleksibilitas, hukum Islam, `adat, `urf, kemaslahatan PENDAHULUAN

    Pada waktu Islam masuk dan berkembang di Arab, di sana berlaku norma yang mengatur kehidupan bermuamalah yang telah berlangsung lama, yang disebut adat. Adat tersebut diterima dari generasi sebelumnya dan diyakini serta dijalankan oleh masyarakat dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah baik untuk mereka. Islam datang dengan seperangkat norma syara` yang mengatur kehidupan muamalah yang harus dipatuhi umat Islam sebagai konsekuensi dari keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagian dari `adat lama itu ada yang selaras dan ada yang bertentangan dengan hukum syara` yang datang kemudian. Adat yang bertentangan itu dengan sendirinya tidak mungkin dilaksanakan oleh umat Islam secara bersamaan dengan hukum syara`. Dari pertemuan antara adat dan syari`at

    tersebut terjadilah perbenturan, penyerapan, dan pembauran antara keduanya. Dalam hal ini yang diutamakan adalah proses penyeleksian `adat yang dipandang masih diperlukan untuk dilaksanakan1. Islam mengakui perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara sahih dan aman. Agama berjalan bersama kehidupan dengan saling bergandengan tangan; tidak hanya mengiringinya sebagai pengekor semata. Tugas agama juga adalah membedakan antara perubahan yang benar dan yang tidak benar; antara yang menghancurkan dan yang membangun. Agama juga berkewajiban untuk menetapkan suatu

    1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2

    (Jakarta: Kencana, 2008). Cet. 4, hlm. 368369.

  • 36

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    perubahan apakah bermanfaat atau berbahaya bagi umat manusia, atau paling tidak bagi mereka yang mengikutinya2.

    Dalam sistem hukum Islam, `adat dijadikan salah satu unsur yang dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. Penghargaan hukum Islam terhadap adat ini menyebabkan sikap yang toleran dan memberikan pengakuan terhadap hukum yang berdasar adat menjadi hukum yang diakui oleh hukum Islam. Walaupun demikian, pengakuan tersebut tidaklah mutlak, tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini adalah wajar demi menjaga nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan identitas hukum Islam. Karena hukum Islam bukanlah hukum yang menganut sistem terbuka secara penuh, tetapi bukan pula sistem tertutup secara ketat. `Adat atau `urf yang shahih memberi daya vitalitas dan gerak dinamis hukum Islam3.

    Teori Perubahan Hukum Islam

    Dalam pandangan ulama, perubahan merupakan keniscayaan; bahkan dalam salah satu riwayat dikatakan bahwa pada setiap abad akan diutus seorang mujaddid yang bertugas melakukan modernisasi paham-paham agama. Riwayat tersebut merupakan rujukan bagi ulama yang melakukan modernisasi ajaran agama yang termasuk wilayah nisbi yang dinilai sudah tidak relevan. Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M) mencoba mereduksi perubahan dalam sebuah kaidah fiqh yang menyatakan bahwa fatwa dapat berubah karena perubahan keadaan.

    Dalam pandangan Ibn Qayyim al-Jauziyah, yang mengalami perubahan adalah fatwa; dan fatwa adalah termasuk wilayah ijtihad. Akan tetapi, kemudian

    2 Abdul Halim Uways, Fiqih Statis Dinamis

    (Bandung: Pustaka Hidayah, !998). Terjemahan dari

    al-Fiqh al-Islamiy bayn a,-Tathawwur wa al-Tsabit

    oleh A. Zarkasyi Chumaidy. Cet.1, hlm. 211. 3 A. Djazuli( Ilmu Fiqh: Penggalian,

    Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam

    (Jakarta: Kencana, 2006). Cet.6, hlm. 89.

    ulama mencoba melebarkan perubahan yang tidak hanya dibatasi pada fatwa. Ulama lainnya menyusun suatu kaidah yang menyatakan bahwa hukum berubah karena perubahan zaman.

    Karena perluasan cakupan kaidah tersebut, sebagaian ulama mempertanyakan apakah setiap hukum (baik yang termasuk qath`iy maupun yang zhanniy) berubah karena perubahan zaman. Subhi Mahmashshani menjelaskan bahwa hukum yang berubah adalah hukum ijtihadiyah yang didasarkan atas mashlahat, qiyas, atau `adat. Hal yang sama juga dikatakan oleh Ali Ahmad al-Nadawi yang menyatakan tidak dapat diingkari bahwa hukum yang didasarkan pada maslahat dan adat berubah karena perubahan zaman4.

    Berkaitan dengan hal ini, para ulama mengemukakan suatu teori yaitu teori al-tsabat wa al-syumul. Teori ini pada dasarnya merupakan teori yang dibangun atas dasar keyakinan ulama bahwa syari`at Islam terdiri atas nilai-nilai universal yang bermanfaat bagi manusia, yang disebut mashlahat. Yang dimaksud dengan al-tsabat ialah sifat abadi dan langgeng yang tidak berubah dan tidak dapat digantikan; dan akan senantiasa ada (langgeng) hingga hari kiamat.

    Ada tiga alasan para ulama menetapkan bahwa syari`at mamiliki sifat langgeng, yaitu: 1. Firman Allah dalam Q.S. al-An`am

    (6):115 yang berbunyi:

    Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia Maha Mendenyar lagi Maha mengetahui.

    4 Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan di

    Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005).

    Cet.1, hlm. 2730.

  • 37

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    Imam Qatadah menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut ialah bahwa al-Qur`an itu benar sebagai firman-Nya dan adil dalam ketetapan hukumnya. Selanjutnya Ibn Katsir menjelaskan bahwa berita yang dijelaskan dalam al-Quran adalah benar (tidak diragukan lagi) dan tuntutan (perintah dan cegahan-Nya) bersifat adil. Semua tuntutannya mengandung keadilan (karena tidak ada yang memiliki keadilan sejati selain Allah) dan setiap cegahan-Nya mengandung kebatilan karena setiap yang dilarang mengandung mafsadat. 2. Argumen logika dengan menggunakan

    kerangka berpikir silogisme (analogis); yaitu kerangka berpikir yang menggunakan premis major, premis minor, dan pada akhirnya mencapai kesimpulan (natijah). Premis majornya adalah syari`at Islam ditetapkan Allah untuk menegakkan kemaslahatan hamba. Premis minornya adalah di dalam syari`at terdapat aturan hidup (nizham) bagi manusia; dalam hal inilah makna al-tsabat memiliki tempat. Kesimpulannya adalah syari`at akan bersifat abadi karena bersumber dari Allah yang bersifat abadi, yang mengatur kehidupan manusia demi kemaslahatannya.

    3. Keyakinan ulama bahwa sumber-sumber ajaran Islam terpelihara dan terjaga secara baik. Oleh karena itu, syari`at pun terpelihara dengan baik pula. Dasar keyakinan ini adalah Q.S. Hud (11):1 sebagai berikut:

    Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.

    Kata uhkimat dalam ayat tersebut berarti sempurna (al-`itqan) dan terjaga (al-man`u) dari kerusakan. Abu Hamid al-

    Ghazali menjelaskan bahwa para ulama salaf telah sepakat tentang taklif yang berlaku secara terus-menerus sampai hari kiamat; termasuk taklif untuk menjaga dan memelihara syari`at dari perubahan (al-taghyir) dan penggantian (al-tabdil).

    Dengan tiga dalil tersebut, para ulama berkeyakinan bahwa syari`at bersifat tsabat karena ia terpelihara dari kerusakan dan penggantian. Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa syari`at Islam bersifat abadi dan universal dan diyakini akan berlaku dalam berbagai tempat dan zaman. Dalam hal ini para ulama merumuskannya dalam suatu kaidah yang menyatakan bahwa syari`at

    Mengandung maslahat (bagi manusia) pada setiap waktu dan tempat.5

    Selain bersifat al-tsabat, syari`at juga bersifat al-syumul, dalam arti syari`at Islam mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia secara mutlak; suatu peristiwa baru yang terjadi tidak akan kosong ketentuan hukumnya dalam syari`at Islam pada setiap waktu, tempat, dan keadaan. Makna yang terkandung dalam syari`at mencakup (meliputi) semua peristiwa sampai hari kiamat.

    Keyakinan ulama mengenai syumul al-syari`at didukung oleh tiga dalil, yaitu: 1. Beberapa ayat al-Quran yang secara

    umum menunjukkan fungsi al-Quran bagi manusia. Q.S. al-Nahl (16):89 memuat pernyataan bahwa al-Quran berfungsi sebagai penjelas (al-tibyan) segala sesuatu, petunjuk (hudan), rahmat, kabar gembira (busyra) bagi orang-orang Islam; Q.S. al-An`am (6):38 menyatakan bahwa Allah tidak melewatkan sesuatu apapun dalam al-Quran; dan Q.S. Bani Israil (17):9 memuat pernyataan bahwa al-Quran

    5 Jaih Mubarok, Hukum Islam: Konsep,

    Pembaruan, dan Teori Penegakan (Bandung:

    Benang Merah Press, 2006). Cet.1, hlm. 8387.

  • 38

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    merupakan petunjuk (jalan) yang lurus bagi manusia.

    Imam al-Thabari menjelaskan bahwa sejumlah fungsi al-Quran yang menyatakan bahwa Allah menurunkan al-Quran kepada Nabi Muhammad adalah menjelaskan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, yang diperlukan untuk diketahui hukumnya: apakah halal atau haram, apakah akan mendapatkan pahala (apabila dikerjakan) ataukah siksa; petunjuk bagi manusia agar terhindar dari kesesatan; dan rahmat bagi orang yang percaya kepada al-Quran (sebagai firman-Nya) dan mengamalkan isinya yang berupa batasan-batasan yang ditetapkan Allah: perintah dan cegahan-Nya. Maka, seorang muslim akan menghalalkan apa-apa yang dihalalkan oleh-Nya dan mengharamkan apa-apa yang diharamkan oleh-Nya. Al-Quran juga berfungsi sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang taat pada al-Quran atas dasar ketundukan kep`da Allah (al-tawhid). 2. Q.S. al-A`raf (7):52 menginformasikan

    bahwa al-Quran adalah petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang mempercayainya; Q.S. Bani Israil (17):12 manyatakan bahwa Allah telah menjelaskan segala sesuatu dalam al-Quran; dan Q.S. Yusuf (12):111 Menjelaskan bahwa kisah para nabi dapat dijadikan pelajaran (al-`ibrah) bagi orang-orang yang menggunakan kemampuan38akalnya; serta al-Quran adalah kitab suci yang menjelaskan segala sesuatu yang berupa petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang mempercayainya.

    Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Quran menjelaskan38segala sesuatu (wa tafshila kulla syay) adalah bahwa dalam al-Quran terdapat penjelasan mengenai halal-haram dan hukum-hukum, 3. Q.S. al-Maidah (5):3 memuat

    pernyataan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Ibn Abbas dan al-Sadda menjelaskan bahwa yang

    dimaksud sempurna dalam Q.S. al-Maidah (5): 3 adalah bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak memerlukan yang lainnya dan tidak memerlukan penambahan selama-lamanya.

    Para pakar berkesimpulan bahwa makna sempurna bagi syari`ah adalah: pertama, al-Quran adalah kitab yang sempurna, yang memerintahkan umat Islam agar mengikuti Sunnah; kedua, Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan memperinci al-Quran; dan ketiga, ijma` dan qiyas adalah metode atau cara untuk mengetahui dan mengaplikasikan kandungan syari`at yang bersifat umum dan bersifat khusus. Al-Sufyani menjelaskan bahwa ijma` dan qiyas wajib diikuti atas dasar perintah Allah dalam al-Quran.

    Dengan teori al-tsabat wa al-syumul ini dapat disimpulkan bahwa secara sederhana syari`at dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Syari`at yang diabadikan dalam al-

    Quran dan Sunnah yang diyakini kesempurnaannya dan ia berfungsi sebagai penetap hukum, baik terhadap persoalan yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi (antisipatif). Oleh karena itu, syari`at diyakini akan senantiasa sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman (shalih li kulli zaman wa makan); dan

    2. Ketetapan hukum yang berupa hasil ijtihad melalui metode istinbath tertentu. Sifat hasil ijtihad adalah relatif dan dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan adat kebiasaan (taghayyur al-fatwa bi hasb taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al ahwal wa al-niyat wa al-`awaid).

    Hukum yang berubah adalah hukum yang ditetapkan atas dasar adat dan `urf karena kebutuhan (need) manusia berkembang dan berubah. Perubahan kebutuhan mendorong perubahan adat; dan perubahan adat menuntut adanya

  • 39

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    perubahan hukum yang didasarkan atas adat. Sedangkan hukum yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya (syari`at) tidak berubah karena perubahan zaman6.

    Dengan kata lain berbagai masalah (hukum) fiqh secara umum dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu: pertama, hukum fiqh yang ditetapkan dengan nash yang sharih; dan kedua, hukum fiqh yang ditetapkan berdasarkan ijtihad dan rayu. Dalam menetapkan berbagai hukum fiqh tersebut, kebanyakan mujtahid mendasarkannya atas `urf pada masanya, yang mungkin saja jika mereka berada pada zaman yang kemudian, akan berpendapat berbeda dengan pendapatnya yang terdahulu. Oleh karena itu, para ulama menetapkan syarat dalam berijtihad bahwa seorang mujtahid harus mengetahui berbagai`adat masyarakat.

    Dengan demikian, kebanyakan hukum akan berbeda karena perbedaan zaman (waktu), karena jika hukum tetap sebagaimana hukum yang ditetapkan pada zaman (waktu) yang terdahulu padahal masyarakat berubah sesuai dengan perubahan zamantentu akan menimbulkan masyaqat dan kemadharatan bagi manusia. Perubahan hukum didasarkan atas berbagai kaidah syari`at yang dibangun atas prinsip keringanan dan kemudahan, dan menolak kemadaratan dan kerusakan. Berdasarkan kaidah tersebut, terdapat perbedaan pendapat ulama mutaakhkhirun dengan ulama mutaqaddimun dalam banyak masalah hukum yang didasarkan atas `urf yang lama, jika berbeda dengan `urf yang baru7.

    Muh. Zuhri dalam bukunya Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah menjelaskan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah hukum Islam yaitu: 1. Yang berkaitan dengan sumber hukum.

    6 Ibid., hlm. 9092.

    7 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Dar al-Fikr

    al-`Araby, Tanpa Tahun), hlm. 275.

    Dalam hal ini ada sebagian golongan yang menolak sumber hukum yang bersifat zhanniy al-wurud, dan hanya menggunakan sumber hukum yang bersifat qath`iy al-wurud; sementara golongan yang lain tidak hanya menerima sumber hukum yang bershfat qath`iy al-wurud saja, tetapi juga yang zhanniy al-wurud.

    2. Yang berkaitan dengan metode ijtihad: a. Teori tentang tahsin dan

    taqbih39(penilaian baik dan buruk). Pihak yang berpendapat bahwa munculnya perintah dan larangan Tuhan disebabkan adanya hubungan kausa antara sifat (baik/buruk) dan perilaku manusia, mengatakan bahwa sifat tersebut sebenarnya dapat dijangkau oleh akal. Karenanya, kasus-kasus tertentu yang tidak manshush dapat dijawab dengan kesanggupan akal melalui penemuannya tentang baik dan buruk yang melekat pada perbuatan/kasus. Dengan kata lain, baik dan buruk adalah persoalan rasional. Pihak lain berpendapat bahwa baik dan buruk bukan persoalan rasional. Sesuatu dipandang baik karena Tuhan mengatakan baik. Sebaliknya, sesuatu dipandang buruk karena Tuhan mengatakannya buruk. Tanpa informasi dari Tuhan, manusia tidak akan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Tidak dapat dimengerti, misalnya, mengapa untuk tindak pidana zina diperlukan empat orang saksi, sementara untuk tindak pidana pembunuhan cukup dua orang saksi. Padahal, ancaman hukuman pembunuhan lebih berat daripada zina. Pihak yang lain lagi, agaknya sebagai penengah, mengatakan bahwa untuk persoalan ibadah, akal tidak dapat menjangkau penilaian baik atau buruk, sedangkan untuk

  • 40

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    persoalan nonibadah, akal mempunyai peranan penting dalam menjawabnya.

    b. Tema kebahasaan. Misalnya, dalam tata bahasa Arab dikenal istilah haqiqat dan majaz, musytarak, muthlaq dan muqayyad, `am dan khash, dan lain-lain. Contohnya, para ulama berbeda pendapat tentang istilah al-quru yang disebut dalam al-Quran. Ulama Hijaz berpendapat, al-quru berarti thuhr (suci), sementara ulama Irak berpendapat, ia berarti haidh. Oleh karena itu, bagi ulama Hijaz, masa `iddah dalam kasus ayat tersebut dihitung dari suci, sedangkan bagi ulama Irak, dihitung dari haidh.

    3. Adat istiadat. Masyarakat Madinah berpegang teguh kepada konsep-konsep hukum kesukuan Arab. Perkawinan di sana adalah hak prerogatif anggota keluarga laki-laki. Seorang wanita tidak boleh mengadakan akad nikah sendiri, melainkan harus menyerahkannya kepada wali, berapapun usia dan bagaimanapun keadaan wanita tersebut. Sementara di Kufah, suasananya lebih kosmopolitan karena masyarakatnya yang heterogen. Norma-norma kesukuan terasa asing. Kendati menduduki posisi yang lebih rendah dibanding pria, wanita yang sudah cakap (diberi simbol janda) boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa menyertakan wali. Tentang kafaah sebagai persyaratan terwujudnya rumah tangga yang ideal, dikenal di masyarakat Islam Kufah. Keberagaman mereka, di mana orang Arab dan non-Arab bergaul, serta stratifikasi sosial peninggalan kerajaan Persi, melahirkan kesadaran kelas sosial. Di sini, suami harus sebanding dengan isterinya atau keluarga isterinya dalam hal-hal tertentu, seperti nasab (keturunan), status ekonomi,

    status sosial dan profesi. Konsep semacam ini tidak sejalan dengan konsep hukum ulama Madinah dahulu. Dalam al-Muwaththa, konsep ini tidak pernah disebutkan. Agaknya perbedaan kelas tidak dirasakan oleh masyarakat Madinah8.

    Dari paparan di atas jelaslah bahwa adat istiadat (`adat atau`urf) merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perbedaan pendapat ulama. Dengan kata lain, adat atau `urf dapat menjadi salah satu faktor terjadinya perubahan hukum. Hukum yang didasarkan atas adat (`urf) dapat berbeda dan berubah karena perbedaan dan perubahan adat (`urf) yang berlaku pada suatu tempat atau waktu dengan adat (`urf) yang berlaku pada tempat atau waktu yang lain. Adapun syarat-syarat `urf atau adat yang bisa diterima oleh hukum Islam ialah: 1. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus

    tersebut, baik dalam al-Quran maupun Sunnah;

    2. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari`at, termasuk juga tidak mengakibatkan ke-mafsadat-an, kesempitan, dan kesulitan;

    3. Telah berlaku secara umum, dalam arti bukan yang hanya biasa dilakukan oleh beberapa orang saja9.

    Rachmat Syafe`i menyatakan bahwa menurut penyelidikan, `urf bukan merupakan dalil syara` tersendiri. Pada umumnya `urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. `Urf mengkhususkan lafadz yang `amm (umum) dan membatasi yang mutlak10.

    8 Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan

    Sejarah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996).

    Cet.1, hlm. 7377. 9 A. Djazuli, Ilmu Fiqh..., hlm. 89.

    10 Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqh

    (Bandung: Pustaka Setia, 2007). Cet.3, hlm. 131;

    Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam

    (Ilmu Ushulul Fiqh). Terjemahan oleh Noer

    Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer dari

  • 41

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    Senada dengan pendapat di atas, A. Djazuli menyatakan bahwa penggunaan adat bukanlah dalil yang berdiri sendiri, tetapi erat kaitannya dengan al-mashlahah al-mursalah. Hanya bedanya, kemaslahatan dalam adat sudah berlaku sejak lama sampai sekarang, sedangkan dalam al-mashlahah al-mursalah kemaslahatan itu bisa terjadi pada hal-hal yang sudah biasa berlaku dan mungkin pula pada hal-hal yang belum biasa berlaku, atau bahkan pada hal-hal yang akan diberlakukan11.

    Dalam menanggapi adanya penggunaan `urf dalam fiqh, al-Suyuthi mengulasnya dengan mengembalikan kepada kaidah:

    Adat (`urf) itu menjadi pertimbangan hukum.

    Alasan para ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap `urf tersebut adalah hadits yang berasal dari `Abdullah bin Mas`ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya, yaitu:

    Apa-apa yang dipandang oleh umat Islam sebagai sesuatu yang baik, maka hal itu di sisi Allah adalah baik.

    Abu Zahrah menyatakan bahwa hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sesuatu yang telah menjadi kebiasaan (urf) kaum muslimin karena dipandang termasuk hal yang baik, maka hal tersebut dalam pandangan Allah juga dinilai sebagai sesuatu yang baik. Dan sesuatu yang bertentangan dengan `urf yang dianggap baik oleh masyarakat, biasanya mengandung kesulitan dan kesempitan, sedangkan firman Allah dalam Q.S. al-Hajj (22): 78 menyatakan:

    Ilmu Ushul al-Fiqh (Jakarta: PT RajaGrafindo

    Persada, 2002). Cet.8..., hlm. 133134. 11

    A. Djazuli, Ilmu Fiqh..., hlm. 91.

    ...dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan12.

    Atas dasar itulah adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat Islam serta tidak melanggar ketentuan syari`at dapat ditetapkan sebagai sumber hukum yang berlaku. Adat kebiasaan yang menyimpang dari ketentuan syari`at, walaupun banyak dikerjakan orang, tidak dapat dijadikan sumber hukum karena dalam hadits tersebut diberi predikat hasanan (baik), yang sudah barang tentu menurut ukuran syari`at dan logika. Sesuatu dikatakan baik, jika tidak ada nash yang menetapkannya ditentukan oleh penilaian akal dan diterima oleh masyarakat13.

    Di samping itu, alasan lain adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak menggunakan `urf tersebut. Bahkan, ulama menempatkan `urf sebagai syarat yang disyaratkan.

    Sesuatu yang berlaku secara `urf adalah seperti sesuatu yang telah disyaratkan14.

    Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada `urf, maka kekuatannya menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash. Ketentuan ini dirumuskan dalam suatu ungkapan yang dinyatakan oleh al-Sarakhsi dalam al-Mabsuth yang dikutip oleh Abu Zahrah, bahwa:

    Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan `urf adalah seperti sesuatu yang ditetapkan berdasarkan nash15.

    12

    Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh..., hlm. 273. 13

    Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman,

    Dasar-Dasar Pembinaan Pembinaan Hukum Fiqh

    Islami (Bandung: Al-Ma`arif, 1986). Cet.1, hlm.

    518. 14

    Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 376.

    15 Abu Zahrah, Ibid.

  • 42

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa `adat atau `urf merupakan salah satu metode dalam berijtihad dan meng-istinbath hukum, dengan syarat-syarat dan kriteria yang ditetapkan para ulama. Dengan kaidah bahwa adat dapat menjadi pertimbangan hukum menjadikan hukum Islam (dalam wilayah ijtihadiyah) menjadi fleksibel dan dapat menjawab berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. A. Beberapa Contoh Perubahan Hukum

    1. Jenis Harta yang Wajib Dizakati Berbagai literatur fiqh klasik

    menjelaskan bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya ialah;

    a. emas dan perak; b. binatang ternak: unta, sapi, dan

    kambing; c. hasil pertanian: biji-bijian dan buah-

    buahan; d. harta perdagangan; e. hasil tambang; dan f. barang temuan (rikaz)16.

    Namun, seiring dengan perkembangan zaman, para ulama merumuskan bahwa harta yang wajib dikenakan zakat tidak terbatas pada enam jenis harta di atas. Yusuf Qardawi menyatakan bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya meliputi:

    a. binatang ternak; b. emas dan perak; c. harta perdagangan; d. hasil pertanian; e. madu dan produksi hewani; f. investasi pabrik, gedung, dan lain-

    lain; g. pencarian dan profesi; h. saham dan obligasi17.

    16

    Tentang zakat harta dan jenis harta yang

    wajib dikeluarkan zakatnya dapat dilihat misalnya

    dalam karya al-Syafi`i, al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr,

    2002). Juz I, hlm.368; Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Semarang:

    Karya Toha Putra, Tanpa Tahun), Juz I, hlm. 178203.

    17 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat.

    Terjemahan oleh Salman Harun dkk. Dari Fiqh al-

    Didin Hafiduddin sebagaimana dikutip oleh Abdul Ghofur Anshorimenambahkan kewajiban harta yang wajib dizakati dalam perekonomian modern yang dikelompokkan dalam sepuluh jenis harta, yaitu zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat berharga, zakat perdagangan mata uang, zakat hewan ternak yang diperdagangkan, zakat madu dan produk hewani, zakat investasi properti, zakat asuransi syari`ah, dan zakat rumah tangga modern. Semua jenis harta tersebut merupakan harta yang wajib dizakati di era modern, dengan tujuan agar jangan sampai harta yang berpotensi untuk dikembangkan terlepas begitu saja dari kewajiban membayar zakat18.

    Sementara itu, pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menyatakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah:

    a. emas, perak, dan uang; b. perdagangan dan perusahaan; c. hasil pertanian, hasil perkebunan,

    dan hasil perikanan; d. hasil pertambangan; e. hasil peternakan; f. hasil pendapatan dan jasa; g. rikaz.

    Yusuf Qardawi mengemukakan alasan adanya kewajiban zakat atas jenis-jenis harta tersebut, meskipun tidak disebutkan dalam hadits Nabi dan dalam karya para ulama salaf, antara lain sebagai berikut:

    a. Allah menegaskan bahwa dalam harta kekayaan apapun terdapat kewajiban tertentu yang namanya zakat atau shadaqah, sebagaimana firman Allah Orang-orang yang di dalam kekayaan mereka terdapat kewajiban tertentu, dan Pungutlah dari kekayaan mereka shadaqah, serta sabda Rasulullah

    Zakat. (Jakarta: Litera AntarNusa, 1993). Cet.3, hlm.

    122501. 18

    Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan

    Pemberdayaan Zakat, Upaya Sinergis Wajib Zakat

    dan Pajak di Indonesia (Yogyakarta: Pilar Media,

    2006). Cet.2, hlm. 23.

  • 43

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    Bayarlah zakat kekayaan kalian, tanpa memperbedakan satu kekayaan dari kekayaan lain. Firman Allah Pungutlah dari kekayaan mereka shadaqah berlaku umum, yaitu segala jenis kekayaan apapun bentuk, jenis, dan tujuannya.

    b. Alasan wajib zakat atas suatu kekayaan adalah logis, yaitu bertumbuh, sesuai dengan pendapat ulama fiqh yang melakukan pengkajian dan penganalogian atas hukum. Bila pertumbuhan adalah sebab wajib zakat, maka wajib atau tidaknya zakat tergantung pada ada atau tidak adanya sebab itu. Bila pertumbuhan terjadi pada suatu kekayaan, maka berarti wajib zakat; bila tidak terjadi pertumbuhan, tentu tidak wajib zakat.

    c. Maksud disyari`atkan zakat ialah pembersihan dan penyucian bagi kepentingan pemilik kekayaan sendiri, penyantunan terhadap fakir miskin, dan keikutsertaan dalam membela Islam, negara, dan dakwah. Hal itu mengakibatkan pewajiban zakat sangat pantas ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kekayaan supaya mereka bersih dan suci. Di lain pihak, orang-orang yang miskin memperoleh bantuan dan terangkat harkat dirinya, serta Islam sebagai agama dan negara menjadi kuat dan maju. Kasani mengemukakan logika pewajiban zakat atas hasil tanaman sebagai berikut: Pemberian zakat untuk fakir miskin adalah salah satu bentuk bersyukur kepada Allah, menolong yang lemah, membantu mereka untuk dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban, serta merupakan bentuk pemberantasan sifat kikir dan menanamkan sifat pemurah. Semuanya itu benar menurut logika dan agama. Lalu karena itu, tidakkah lebih pantas

    para pemilik pabrik, gedung, kapal laut dan kapal terbang, dan lain-lain untuk mensyukuri nikmat, menolong orang lemah, dan mengikis sifat kikir, bila penghasilan yang mereka terima jauh lebih besar daripada penghasilan petani, dan hanya dengan pengerahan tenaga yang sedikit sekali?19. Demikian pula halnya dengan zakat

    profesi yang, menurut Yusuf Qardawi, merupakan bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang. Menurutnya, pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama, pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang kayu, dan lain-lain. Kedua, pekerjaan yang dikerjakan seseorang untuk pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangandengan memperoleh upah. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, atau honorarium.

    Jenis penghasilan dengan bentuknya yang modern, volumenya besar, dan sumbernya yang luas itu merupakan sesuatu yang belum dikenal oleh para ulama fiqh pada masa silam. Akan tetapi, menurutnya, kekayaan seperti itu dapat digolongkan kepada kekayaan penghasilan, yaitu kekayaan yang diperoleh seorang muslim melalui usaha baru yang sesuai dengan syari`at agama. Jadi, pandangan fiqh tentang bentuk penghasilan itu adalah bahwa ia adalah harta penghasilan20. Dengan demikian, harta jenis ini termasuk harta yang wajib dikeluarkan zakatnya jika syarat-syarat wajib zakat terpenuhi.

    2. Harta Gono Gini Salah satu masalah hukum yang

    menimbulkan perbedaan karena adanya perbedaan kultur sosial (adat) ialah adanya

    19

    Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, hlm.

    436437. 20

    Ibid., hlm. 459461.

  • 44

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    ketentuan pembagian harta bersama (gono gini) yang disebabkan adanya perceraian suami isteri. Menurut Satria Effendi, tidak di setiap negeri Islam terjadi sengketa pembagian harta bersama antara suami isteri. Sengketa seperti ini hanya mungkin terjadi dalam masyarakat yang mengenal ketentuan harta bersama. Adanya apa yang disebut harta bersama dalam sebuah rumah tangga, menurut Satria, pada mulanya didasarkan atas `urf atau adat istiadat dalam sebuah negeri yang tidak memisahkan antara hak milik suami dan isteri. Harta bersama tidak ditemukan dalam masyarakat Islam yang adat istiadatnya memisahkan antara harta suami dan harta isteri dalam sebuah rumah tangga. Dalam masyarakat Islam seperti ini, hak dan kewajiban dalam rumah tangga, terutama hal-hal yang berhubungan dengan pembelanjaan, diatur secara ketat. Misalnya, sebagai imbalan dari sikap loyal isteri terhadap suami, isteri berhak menerima nafkah dari suami menurut tingkat ekonomi suami. Harta pencarian suami selama dalam perkawinan adalah harta suami, bukan dianggap harta bersama dengan isteri. Lain halnya dengan masyarakat Islam di mana adat istiadat yang berlaku, dalam urusan rumah tangga tidak ada lagi pemisahan antara harta suami dan harta isteri. Harta pencarian suami bercampur baur dengan harta hasil pencarian isteri. Dengan demikian, seluruh harta yang diperoleh setelah terjadinya akad nikah dianggap harta bersama suami isteri, tanpa mempersoalkan jerih payah siapa yang lebih banyak dalam usaha memperoleh harta itu21.

    Demikian juga jika salah satu pasangan suami isteri meninggal dunia. Dalam literatur fiqh klasik (kitab kuning) tidak ditemukan adanya pembahasan mengenai pembagian harta bersama

    21

    Satria Effendi M. Zein, Problematika

    Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis

    Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah

    (Jakarta: Kencana, 2004). Cet.1, hlm. 5960.

    sebelum dilakukan pembagian waris atas harta peninggalan suami atau isteri yang meninggal. Tidak dikenalnya ketentuan pembagian harta bersama (gono gini) dalam masyarakat tempat para fuqaha tersebut tinggal kemungkinan besar menjadi penyebab tidak adanya pembahasan mengenai hal tersebut. Berbeda dengan masyarakat Indoanesia yang mempunyai kultur sosial (adat) mengenal pembagian harta bersama.

    Dengan latar belakang sosial seperti itu, masyarakat Indonesia memandang perlu adanya ketentuan tentang pembagian harta bersama sebelum dilakukan pembagian waris jika salah satu pasangan suami atau isteri meninggal dunia. Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi sosial masyarakat yang tidak memandang adanya pemisahan harta suami dan isteri ketika keduanya terikat dalam suatu ikatan perkawinan sehingga terjadi percampuran harta keduanya. Akibatnya, jika salah satunya meninggal atau terjadi perceraian, maka dipandang adil jika dilakukan pembagian atas harta bersama tersebut. Ketentuan tersebut kemudian diatur secara formal dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab I tentang Ketentuan Umum dinyatakan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun22. Selanjutnya, jika terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama23. Demikian juga jika terjadi perceraian (cerai hidup), maka masing-

    22

    KHI, pasal 1, huruf f. 23

    KHI pasal 96 ayat (1).

  • 45

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    masing mendapat separoh dari harta bersama24.

    Berkenaan dengan masalah ini, Jaih Mubarok menyatakan bahwa ketentuan harta bersama tidak dijumpai dalam al-Quran dan Hadits. Para fuqaha pun cenderung mengabaikannya sehingga terkesan tidak terdapat peran isteri dalam rumah tangga, termasuk dalam masalah finansial; karena situasi dan keadaan masyarakat yang terjadi dan berkembang pada saat itu. Sedangkan dewasa ini, termasuk di Indonesia, keadaan telah berubah. Persoalan yang dahulu belum terpikirkan, satu demi satu muncul ke permukaan.

    Dari segi sosio-budaya masyarakat Indonesia, harta kekayaan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

    a. harta milik masing-masing suami-isteri. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur harta seperti itu disebut gono atau ghawan, di Sumatera disebut pusaka, dan di Sulawesi disebut sisila; dan

    b. harta campur kaya. Harta ini di Jawa Timur disebut dengan gono-gini, di Jawa Barat disebut gunakaya, di Minangkabau disebut harta suarang, dan di Banda Aceh disebut hareuta seuhareukat.

    Secara sosiologis, pelembagaan harta bersama merupakan hasil kompromi para pakar fiqh dengan nilai-nilai hukum adat yang hidup dalam masyarakat Indonesia25. B. Penutup

    Islam adalah agama rahmat yang senantiasa menghendaki terciptanya kemaslahatan bagi manusia. Fleksibilitas hukum Islam yang memungkinkan terjadinya perubahan hukum karena pertimbangan sosiologis (yaitu adat atau `urf) merupakan bukti nyata akan hal

    24

    KHI pasal 157. 25

    Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan...,

    hlm. 157158.

    tersebut. Dengan fleksibilitasnya, hukum Islam memberikan ruang gerak kepada manusia untuk hidup dan berkembang secara dinamis.

    Meskipun demikian, dengan teori al-tsabat wa al-syumul kebebasan yang terdapat dalam perubahan hukum Islam bukan menjadi tanpa batas, tetapi tetap dalam batas, yaitu koridor syari`at Islam. Demikianlah hukum Islam, ada hukum yang harus tetap dan ada hukum yang dapat berubah. Hukum yang berubah adalah hukum yang ditetapkan atas dasar adat dan `urf karena kebutuhan (need) manusia berkembang dan berubah, sedangkan hukum yang tidak berubah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya (syari`at). Wallahu a`lam bi al-shawab.

  • 46

    Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 1 Juni 2015

    DAFTAR PUSTAKA A.Djazuli( Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2006). Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat, Upaya Sinergis Wajib Zakat dan

    Pajak di Indonesia (Yogyakarta: Pilar Media, 2006). Abdul Halim Uways, Fiqih Statis Dinamis (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998). Terjemahan dari

    al-Fiqh al-Islamiy bayn a,-Tathawwur wa al-Tsabit oleh A. Zarkasyi Chumaidy. Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh). Terjemahan oleh Noer

    Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer dari Ilmu Ushul al-Fiqh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002).

    Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Dar al-Fikr al-`Araby, Tanpa Tahun). Al-Syafi`i, al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr, 2002). Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Kencana, 2008). Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Semarang: Karya Toha Putra,

    Tanpa Tahun). Jaih Mubarok, Hukum Islam: Konsep, Pembaruan, dan Teori Penegakan (Bandung: Benang

    Merah Press, 2006). Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005). Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996). Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Pembinaan Hukum Fiqh Islami

    (Bandung: Al-Ma`arif, 1986). Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2007). Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis

    Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah (Jakarta: Kencana, 2004). Yusuf Qardawi, Hukum Zakat. Terjemahan oleh Salman Harun dkk. Dari Fiqh al-Zakat.

    (Jakarta: Litera AntarNusa, 1993). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kompilasi Hukum Islam (KHI).