oma paper

24
BAB 1 PENDAHULUAN Otitis Media Akut (OMA) merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang umum terjadi di berbagai belahan dunia (Aboet, 2006), terutama oleh karena infeksi bakteri pada anak-anak serta penyakit yang cukup sering diterapi dengan antibiotik (Heikkinen dkk, 1999). Di sisi lain, OMA juga merupakan salah satu gangguan THT terkait infeksi yang umum terjadi di negara-negara dengan ekonomi rendah dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran moderat (WHO, 2006). Tidak hanya itu, OMA juga merupakan salah satu penyakit telinga yang sering terjadi sehari-hari di Indonesia. Tingginya kasus OMA di Indonesia ini perlu menjadi perhatian khusus, sebab OMA yang tidak ditangani secara adekuat dan tetap bertahan dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih serius, yaitu Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK), yang merupakan salah satu dari empat gangguan THT yang menjadi prioritas di Indonesia untuk penanggulangan dan pencegahan kecacatan, selain tuli sejak lahir (kongenital), pemaparan bising, dan presbiakusis (WHO-SEARO, 2002). Oleh karena itu, OMA perlu mendapatkan perhatian khusus agar kejadian gangguan ini dapat dicegah atau jika sulit dilakukan demikian, individu yang sudah atau rentan mengalami OMA perlu mendapatkan perhatian dan penanganan adekuat. Otitis media pada anak-anak sering kali diakibatkan oleh ISPA (Revai, 2007). Menurut Banz (1998) dalam Mora et al. (2002), 1

Upload: almira-ulfa-utari-nasution

Post on 18-Feb-2016

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

otitis media akut

TRANSCRIPT

Page 1: oma paper

BAB 1

PENDAHULUAN

Otitis Media Akut (OMA) merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang umum

terjadi di berbagai belahan dunia (Aboet, 2006), terutama oleh karena infeksi bakteri pada anak-

anak serta penyakit yang cukup sering diterapi dengan antibiotik (Heikkinen dkk, 1999). Di sisi

lain, OMA juga merupakan salah satu gangguan THT terkait infeksi yang umum terjadi di

negara-negara dengan ekonomi rendah dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran moderat

(WHO, 2006). Tidak hanya itu, OMA juga merupakan salah satu penyakit telinga yang sering

terjadi sehari-hari di Indonesia.

Tingginya kasus OMA di Indonesia ini perlu menjadi perhatian khusus, sebab OMA yang

tidak ditangani secara adekuat dan tetap bertahan dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih

serius, yaitu Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK), yang merupakan salah satu dari empat

gangguan THT yang menjadi prioritas di Indonesia untuk penanggulangan dan pencegahan

kecacatan, selain tuli sejak lahir (kongenital), pemaparan bising, dan presbiakusis (WHO-

SEARO, 2002). Oleh karena itu, OMA perlu mendapatkan perhatian khusus agar kejadian

gangguan ini dapat dicegah atau jika sulit dilakukan demikian, individu yang sudah atau rentan

mengalami OMA perlu mendapatkan perhatian dan penanganan adekuat.

Otitis media pada anak-anak sering kali diakibatkan oleh ISPA (Revai, 2007). Menurut

Banz (1998) dalam Mora et al. (2002), kasus ISPA rekuren yang sering terjadi adalah rinitis,

bronkitis, dan sinusitis kronik. Pada penelitian terhadap 112 orang pasien anak-anak yang

berumur 6 sampai dengan 35 bulan, didapatkan 30% mengalami OMA dan 8% sinusitis (Revai,

2007). Di Saudi, penelitian menunjukkan 62% anak-anak dibawah 12 tahun yang menderita

OMA mempunyai riwayat ISPA (Zakzouk et al., 2002).

Kasus OMA sangat banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan kalangan usia

lainnya. Kondisi tersebut terjadi oleh karena pada fase perkembangan telinga tengah saat usia

anak-anak, tuba eustachius memang memiliki posisi yang cenderung lebih pendek, lebar dan

terletak horizontal (Michael dkk,1997) dengan drainase yang minimal dibandingkan dengan

posisi tuba eustachius pada rentang usia yang lebih dewasa (Tortora dkk, 2009), Hal ini

1

Page 2: oma paper

membuat kecenderungan terjadinya OMA pada usia anak-anak menjadi lebih besar daripada

orang dewasa. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu terpapar dengan lingkungan grup anak-anak

yang meningkatkan insidensi infeksi saluran nafas, banyaknya pajanan pada asap lingkungan,

polusi iritan dan bahan-bahan alergen yang nantinya akan berkaitan dengan tuba eustachius,

kurangnya waktunya pemberian ASI esklusif, pemberian makan dalam posisi terlentang, riwayat

OMA pada keluarga, kelainan kepala dan wajah, penurunan sistem imun,dan aliran balik dari

lambung dan esopagus (Linsk dkk, 2002).

Di Indonesia, dari penelitian yang dilakukan di Poli THT sub-bagian Otologi THT

RSCM dan Poli THT RSAB Harapan Kita pada Agustus 2004 sampai dengan Februari 2005,

terhadap 43 orang pasien yang didiagnosis dengan OMA, sebanyak 30,2% dijumpai pada anak-

anak yang berumur kurang dari 2 tahun. Anak-anak yang berumur 2 sampai dengan 5 tahun

adalah sebanyak 23,3%. Golongan umur 5 sampai dengan 12 tahun adalah paling tinggi yaitu

32,6%. Anak-anak yang berumur 12 sampai dengan 18 tahun adalah 4,7% dan bagi yang

berumur 18 tahun ke atas adalah 9,2% (Titisari, 2005).

Pada penelitian yang sama, antara 43 orang pasien, 30,2% pasien tidak ada riwayat

demam. 62,8% pasien mempunyai riwayat demam selama satu hingga tujuh hari. Terdapat 7,0%

pasien dengan riwayat demam lapan hari hingga dua minggu. Selain itu, antara 43 orang pasien,

62,8% pasien adalah didahului dengan riwayat ISPA kurang dari tujuh hari. Pasien dengan

riwayat ISPA tujuh hari sampai dua minggu mencapai 27,9%. Yang lebih dari dua minggu

adalah 9,3%. Dari hasil kultur, jenis kuman telinga tengah yang dijumpai adalah Staphylococcus

aureus (78,3%), Haemophilus influenzae (8,7%), dan Streptococcus pneumonia (13,0%)

(Titisari, 2005). Selain tiga jenis mikroorganisme tersebut, Streptococcus pyogenes dan

Moraxella catarrhalis juga biasa dijumpai (Mora et al., 2002).

2

Page 3: oma paper

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

1. Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga d an liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga

dibentuk oleh tulang rawan yang dibungkus oleh perikondrium dan bagian terluar dilapisi oleh

kulit. Liang telinga dibagi atas bagian tulang rawan (2/3 luar) dan bagian tulang (1/3 dalam),

panjangnya kira-kira 3,7 cm.

2. Telinga Tengah

Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam sisi.

Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji.

Promotorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membrana timpani

sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah (Boeis, 1994).

Gambar 1. Anatomi Telinga Tengah

Dinding lateral dari telinga tengah adalah membrana timpani, sedangkan bagian medial

berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap

lonjong (fenestra ovalis), tingkap bundar (fenestra rotundum) dan yang paling dominan adalah

promotorium. Di dinding anterior terdapat pintu ke tuba Eustachius, sedangkan di dinding 3

Page 4: oma paper

posterior terdapat aditus ad antrum, yaitu saluran yang menuju ke rongga mastoid. Bagian dasar

telinga tengah adalah bulbus jugularis (dipisahkan dengan vena jugularis oleh tulang tipis).

Dinding superior berbatasan dengan lantai fosa kranii media yang disebut tegmen timpani.

Di dalam telinga tengah terdapat tiga tulang pendengaran yang saling berhubungan,

tersusun dari luar ke dalam yaitu maleus, inkus, dan stapes. Prosesus longus maleus melekat

pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, inkus melekat pada stapes, dan stapes

melekat pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea.

Membrana timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga.

Terdiri atas tiga lapis; 1) lapisan luar berupa lanjutan epitel kulit dari liang telinga, 2) bagian

tengah berupa jaringan ikat yang lentur, dan 3) lapisan dalam ialah sel kubis bersilia. Bagian atas

membran timpani disebut pars flaksida yang mengandung dua lapisan yaitu bagian luar dan

dalam, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa yang mengandung ketiga lapisan tersebut.

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari

umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada jam 7 untuk

membran timpani kiri dan jam 5 untuk membran timpani kanan.

Tuba Eustachius ialah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring dengan telinga

tengah yang berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani.

Terdiri dari tulang rawan pada 2/3 ke arah nasofaring dan 1/3 sisanya terdiri dari tulang. Pada

anak tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa

hingga infeksi dari nasofaring lebih mudah masuk ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa

kira-kira 3,75 cm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah 1,75 cm ( Boeis, 1994 ). Bagian tulang

rawan tuba biasanya tertutup dan baru terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah

atau pada saat mengunyah, menelan atau menguap. Pembukaan tersebut dibantu oleh kontraksi

otot tensor palatinum dan levator palatinum yang masing-masing dipersarafi oleh nervus

mandibularis dan pleksus faringealis.

3. Telinga Dalam

Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehIngga disebut sebagai labirin (Boeis, 1994).

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan

4

Page 5: oma paper

vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Koklea berperan dalam fungsi

pendengaran dan vestibular berperan dalam fungsi keseimbangan.

Gambar 2. Anatomi Telinga

2.2 Definisi Otitis Media Akut (OMA)

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-

tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi

secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta

otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga

dijumpai efusi telinga tengah. Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah

ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas pada membran

timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore.

5

Page 6: oma paper

2.3 Epidemiologi OMA

Bayi dan anak mempunyai resiko paling tinggi untuk mendapatkan otitis media;

insidensinya sebesar 15 – 20 % dengan puncaknya terjadi antara umur 6 – 36 bulan dan 4 – 6

tahun. Insidensi penyakit ini mempunyai kecenderungan untuk menurun sesuai fungsi umur

setelah usia 6 tahun. Insidensi tinggi dijumpai pada laki-laki, kelompok sosial ekonomi rendah,

anak-anak dengan celah pada langit-langit serta anomali kraniofasial lain, dan pada musim

dingin atau hujan. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas atas makin besar

kemungkinan terjadinya otitis media akut. Pada bayi terjadinya otitis media akut dipermudah

oleh karena tuba Eustachius pendek, lebar dan agak horizontal.

2.4 Etiologi OMA

1. Bakteri

Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-75%

kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur

cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik karena tidak

ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering

adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan

Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti

Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram

negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan

neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai

pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan

yang dijumpai pada anak-anak.

2. Virus

Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan

dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu

respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira

10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa

dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan

6

Page 7: oma paper

adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme

farmakokinetiknya.

2.5. Faktor Risiko OMA

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status

sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan

merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi,

infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba

Eustachius dan lain-lain.

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada bayi

dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba

Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah.

Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak

perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian

menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga

berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk,

fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas. ASI

dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan

ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA

yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang

sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga

meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA

karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah.

Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik

bakteri atau virus.

2.6 Patogenesis OMA

Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran

pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran

napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga

7

Page 8: oma paper

terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama

akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah

melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk

mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat

obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam

telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi.

Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta

terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada

sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi

yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat

meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum pasien

terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,

perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak

dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat

merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi.

Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor

intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada

mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan

otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga

mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi

adenoid.

2.7 Gejala Klinis dan Stadium OMA

Gejala klinis otitis media akut tergantung pada umur dan stadium penyakit. Pada bayi dan

anak kecil gejala khas otitis media akut adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada

stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,

kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur

membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tertidur

dengan tenang. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam

telinga, keluhan disamping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek

8

Page 9: oma paper

sebelumnya. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, gejala utamanya nyeri telinga.

Disamping itu juga didapat sensasi penuh di telinga, gangguan pendengaran, sering timbul tinitus

pulsatil dan demam. Ruptur spontan membran timpani, dengan hasil sekret purulen, berdarah,

akan mengurangi rasa nyeri secara dramatis.

OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada

perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis

atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi.

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran

timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya

absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal,

refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya

tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan,

atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi.

Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan

alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai

oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa

yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya

invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran

timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan

pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih

normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi

karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara

dua belas jam sampai dengan satu hari.

9

Page 10: oma paper

Gambar 3. Membran Timpani Tampak Hiperemis

3. Stadium Supurasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga

tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin

hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani

menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan

ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga

bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan

gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.

\

Gambar 4. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah

yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang

10

Page 11: oma paper

pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh

terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak

berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.

Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung

melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua

keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka

keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik.

Gambar 5. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya

otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi

membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering.

Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika

membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.

2.8 Diagnosa OMA

Kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:

1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.

2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah. Efusi

dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya

membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani, 11

Page 12: oma paper

terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari

telinga.

3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah

satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri

telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria

diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani

yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada

membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi

pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan

kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan

tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat

sedang sampai berat

2.9 Penatalaksanaan OMA

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium

awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan

lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk

menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala,

memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki

sistem imum lokal dan sistemik.

Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius

sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 %

dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan

fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus

diobati dengan pemberian antibiotik.

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.

Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat

diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan

penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi

12

Page 13: oma paper

mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik

diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada

anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin

atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.

Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan

miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi

ruptur.

Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut

atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari

serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan

menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari.

Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi,

dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar

melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila

keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi

dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari,

atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat

terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya.

2.10. Komplikasi OMA

Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses

subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut

biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar

(2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani,

mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses

subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis).

13

Page 14: oma paper

2.11. Pencegahan

Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada bayi

dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI

minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain.

14

Page 15: oma paper

BAB 3

KESIMPULAN

Otitis Media Akut (OMA) merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang umum

terjadi di berbagai belahan dunia (Aboet, 2006), terutama oleh karena infeksi bakteri pada anak-

anak serta penyakit yang cukup sering diterapi dengan antibiotik. Di sisi lain, OMA juga

merupakan salah satu gangguan THT terkait infeksi yang umum terjadi di negara-negara dengan

ekonomi rendah dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran moderat.

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-

tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi

secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta

otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga

dijumpai efusi telinga tengah. Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah

ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas pada membran

timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore.

OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada

perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis

atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi.

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium

awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan

lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk

menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala,

memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki

sistem imum lokal dan sistemik.

15

Page 16: oma paper

DAFTAR PUSTAKA

1. Aboet, A., 2006. Terapi pada otitis media supuratif akut. Majalah KedokteranNusantara, 39(3): 356.

2. Adams G. L., Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Penerbit : Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1994 ; hal . 89 – 100.

3. Bambang. Pelajaran Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Penerbit : BP FK UNDIP, Semarang, 1991; hal. 31.

4. Cody D. T. R., Kern E. B., Pearson B. W., 1993. Alih Bahasa Andrianto P., Samsudin S. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Jakarta: EGC, 112-135.

5. DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta. 1992

6. Djaafar Z. A., 2001. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi E. A., Iskandar., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok. Edisi ke-4. Jakarta: Gaya Baru-FKUI, 49-58.

7. Gardjito W., Puruhito, Darmadipura, dkk., 1997. Kepala dan Leher. Dalam: Sjamsuhidajat R., Jong W. J., ed., 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC, 474-477.

8. Heikkinen, T., Thint, M., Chonmaitree, T., 1999. Prevalence of Various Respiratory Viruses in The Middle Ear During Acute Otitis Media. The New England Journal of Medicine (NEJM), 340 (4): 260 – 261.

9. Herry S. Fisiologi Telinga Tengah. Fakultas Kedokteran UNDIP, Semarang.10. Linsk, R., dkk., 2002. Otitis Media Guideline. University of Michigan Health System: 1 –

4.11. Mora, R., Barbieri, M., Passali, G.C., Sovatzis, A., Mora, F., Cordone, M.P., 2002. A

Preventive Measure for Otitis Media in Children with Upper Respiratory Tract Infections. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 63: 111-118.

12. Nelson W. E., Behrman R. E., Vaughan V. C., 1993. Alih Bahasa Maulany R. F. Ilmu Kesehatan Anak-Nelson Edisi ke-12 Bagian ke-2. Jakarta: EGC, 588-593.

13. Rifki N, S Purnaman, Pandi, Mangunkusumo E. Penyakit Telinga Tengah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1990

14. Soepardi & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar Sosialisman Dalam Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006

15. Soetirto I., Hendarmin H., 2001. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga Dalam: Soepardi E. A., Iskandar N., Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok. Edisi ke-4. Jakarta: Gaya Baru-FKUI, 9-15.

16. Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

17. World Health Organization (WHO)., 2006. Primary Ear and Hearing Care Training Resource: Advanced Level. WHO Press: 14 – 15.

16