obat penyakit parkinson
TRANSCRIPT
OBAT PENYAKIT PARKINSON
Pendahuluan
Penyakit Parkinson (paralisis agitans) merupakan suatu sindrom
dengan gejala utama berupa trias gangguan neuromuscular : tremor,
rigiditas, alkinesia (hipokinesia) disertai kelainan postur tubuh dan gaya
berjalan. Gerakan halus yang memerlukan koorinasi kerja otot skelet sukar
dilakukan pasien misalnya menyuap makanan, mengancingkan baju dan
menulis. Akibat gejala ini pasien sangat bergantung pada orang lain dalam
kegiatan hidupnya sehari-hari.
Berdasarkan etiologinya dikenal 3 jenis penyakit Parkinson yaitu
parkinsonisme pascaensefalitis, parkinsonisme akibat obat, dan
parkinsonisme idiopatik.
Berdasarkan gejala klinik Lonis Herzberg mengemukakan 5 tahap
penyakit :
a. Tahap 1. Gejala begitu ringan sehingga pasen tdak merasa
terganggu. Hanya seorang ahli akan mendeteksi gejala dini penyit
ini.
b. Tahap 2. Gejala ringan dan mulai sedikit mangganggu. Biasanya
berupa tremor ringan, bersifat variable, dan timbul hilang. Pasien
merasa ada yang tidak beres seakanakan “tangannya tidl lagi
menurut perintah” sehingga gelas dan barang lain lepas dari
tangannya.
c. Tahap 3. Gejala bertambah berat. Pasien sangat terganggu dan
gangguan bertambah dari hari ke hari. Banyak pasien dengan
bradikinetik berat tidak mengalamitremor sedangkan lebih sedikit
pasien dengan tremor tidaak mengalami bredikinesia . Volume
suara melemah dan menjadi monoton, wajah bagai topeng, disertai
tremor dan rigiditas. Jalan dengan langkah kecil dan
kecendeerungan terjatuh mencolok pada tahap ini.
d. Tahap 4. Tidak mampu lagi berdiri tegak, kepala, leher, dan bahu
jatuh ke depan. Ini merupakan postur khas penyakit Parkinson.
Pada tahap ini umumnya pasien juga mengalami efek samping
levodopa yang mengganggu karena dosis yang diperlukan cukup
besar. Mental pasien saat ini juga memburuk. Harus cepat
membedakan memberatnya penyakit dan efek samping levodopa.
e. Tahap 5. Memburuknya gejala terjadi terutama sewaktu kadar
levodopa menurun tetapi efek samping tidak memungkinkan
penambahan obat.pada tahap ini pengendalian penyakit sangat
sulit dan menimbulkan keputusasaan baik pada pasien maupun
keluarga.
Pada umumnya, penyebab Parkinson tidak diketahui. Penyakit ini ada
hubungannya dengan penurunan aktivitas inhibitor neuron dopaminergik
dalam substansi nigra dan korpus stratum-bagian dari system ganglia basalis
otak yang berfungsi mengatur gerakan. Factor genetic tidak memainkan
peran dominan dalam penyakit Parkinson, meskipun dapat mempengaruhi
pada orang-orang yang peka pada penyakit tersebut. Mungkin factor
lungkungan yang belum diketahui ikut mempengaruhi kenapa neuron
dopaminergik tersebut berkurang.
a. Substansia nigra : bagian dari system ekstrapiramidal merupakan
sumber neuron dopaminergik yang berakhir dalam striatum. Setiap
neuron dopaminergik akan membuat ribuan kontak sinaptikdalam
striatum dan memodulasi sebagian besar aktivitas sel. Cabang
dopaminergik dari substansi nigra ini mengeluarkan pacu secara
tonik, bukan berdasakan respon gerakan muscular spesiik ataupun
input sensoris. System dopaminergik memberikan pengaruh yang
bersifat tonik, terus menerus selama aktivitas motorik, bukan hanya
dalam gerakan-gerakan tertentu.
b. Striatum : biasanya, striatum dan substansia nigra dihubungkan
oleh neuron yang mengeluarkan transmitter inhibitor GABA
diterminalnya. Jalur inhibisi bersama ini biasanya mempertahankan
suatu derajat inhibisi dari kedua daerah yang terpisah ini. Serabut
saraf korteks serebri dan thalamus dalam neostriatum asetilkolin,
berfungsi eksikatif, memacu dan mengatur gerakan-gerakan tubuh
dibawah kehendak. Pada penyakit parkinson, destruksi sel dalam
substansia nigra menimbulkan degenerasi neuron sehingga sekresi
dopamine dalam neostriatum menurun. Inhibisi modulasi akan
mengurangi pengaruh dopamine pada neostriatum, menyebabkan
control gerakan otot pada Parkinson akan menurun.
c. Parkinson sekunder : gejala Parkinson kadang-kadang terjadi
setelah ensefalitis virus atau lesi vascular kecil yang multiple. Obat-
obat seperti fenotiazin da haloperidol yang berfungsi menghamba
reseptor dopamine di otak, dapat juga memperlihatkan gejala
Parkinson. Obat-obat ini tidak boleh digunakan pada penderita
parkinson.
Obat-Obat Anti Parkinson
1. Obat dopaminergik sentral
a. Precursor dopamine (levodopa)
Substitusi defisiensi dopamine-striatum tidak dapat dilakukan
dengan pemberian dopamine, sebab dopamine tidak melintasi sawar-
darah otak. Dengan dilaporkannya hasil terapi parkinsonisme dengan
dopa-rasemik oleh Cotzias dkk, pengobatan klinik penyakit Parkinson
memasuki babak baru. Kemudian ternyata bahwa pengobatan dopa-
rasemik banya menimbulkan efek samping yang mengganggu.
Levodopa, sebagai isomer aktif lebih efektif dan kurang toksik.
Mekanisme kerja levodopa pada gejala parkinsonisme diduga
berdasarkan replesi kekurangan dopamine korpus striatum. Telah
dibuktikan bahwa beratnya defisiensi dopamine sejalan dengan
beratnya tiga gejala utama parkinsonisme dan konversi levodopa
menjadi dopamine terajdi pada manusia. Selain itu, kadar dopamine di
striatum pada pasien yang mendapat levodopa lima sampai delapan kali
lebih tinggi disbanding yang tidak diobati. Pengubahan levodopa
menjadi dopamine membutuhkan adanya dekarboksilase asam L-amino
aromatic. Pada sebagain besar pasien Parkinson, aktivitas enzim ini
menurun, tetapi agaknya mencukupi untuk mengubah levodopa menjadi
dopamine. Kenyataan ini tidaklah menyingkirkan kemungkinan lain
mekanisme kerja levodopa sebagai obat penyakit Parkinson.
b. Agonis dopamine
Beberapa zat kimia memiliki sifat dopaminergik, dengan
mekanisme kerja merangsang reseptor dopaminergik sentral. Obat yang
termuk golongan in ialah apomorfin, piribedil, brmokriptin, dan pergolin.
Keterterimaan apomorfin maupun N-propil-noraportin sebagai obat
penyakit Parkinson buruk karena efek emesisnya yang kuat.
- Bromokriptin merupakan prototip kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot
yang bersifat dopaminergik, yang dikelompokkan sebagai ergolin.
Dalam kelompok ini termasuk lesurid dan pergolid. Walaupun obat-
obat ini berbeda sifat farmakokinetiknya maupun afinitasnya terhadap
berbagai subtype reseptor dopaminergik, efektivitas kliniknya sangat
mirip. Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat ini lebih
besar afinitasnya terhadap reseptor D2 dan merupakan antagonis
reseptor D1. Organ yang dipengaruhi adalah yang memiliki reseptor
dopamine yaitu SSP, kardiovaskular, poros hopotalamus-hipofisis dan
saluran cerna. Efektivitas bromokriptin pada penyakit Parkinson
cukup nyata dan lebih nyata lagi pada pasien dengan derajat penyakit
lebih berat. Kenyataan didukung oleh fakta : (1) efek terapi
bromokriptin tidak tergantung dari enzim dekarboksilase; pada
penyakit Parkinson terdapat defisiensi enzim tersebut di ganglia basal
dan repon terapi levodopa biasanya kurang memuaskan dalam
keadaan penyakit yang berat.; (2) bertambah beratnya penyakit akan
lebih meningkatkan sensitivitas reseptor dopminergik
(supersiensitivitas denervasi).
- Pergolid mesilat, sama efektifnya dengan bromokriptin untuk
mengatasi parkinsonisme dan hiperprolaktinemia. Obat yang
merupakan turunan ergolin yang paling poten ini merangsang
reseptor D1 dan D2. Pergolid bermanfaat untuk pasien yang tidak
responsive terhadap bromokriptin dan sebaliknya bomokriptin
bermanfaat untuk pasien yang tidak responsive terhadap pergolid.
- Lisurid, sama dengan bomokripin, merupakan agonis D2 dan
antagonis D1. Lisurid juga merangasang 5 HT yang diduga mendasari
halusinasi dan efek samping lainnya. Sifatnya yang larut aircocok
untuk pemberian sebagai infuse.
- Apomorfin, merupakan agonis dopamine. Afinitasnya tinggi terhadap
reseptor D4 sedang untuk reseptor D2, D3, D4, dan α1D, α2B, α2C; rendah
untuk reseptor D1. Apomorfin diindikasikan untuk terapi fenomena “off”
pada terapi levodopa/karbidopa. Efek samping berupa halusinasi,
diskinesia dan tingkah laku abnormal, perpanjangan interval Q-T juga
dapat terjadi. Karena efek sampingnya dan berpotensi menyebabkan
adiksi, apomorfin hanya diberikan bila pengobatan dengan agonis
dopamine lain gagal. Karena sifat emetogenik perlu perlu pemberian
antiemetic, yaitu trimetobenzamid, 300 mg tiga kali sehari, diberikan 3
hari sebelumnya dan diteruskan seama 2 bulan awal pengobatan.
Jangan memberikan antiemetic antagonis dopamine, misalnya
ondansetron kerena dilapokan terjadinya hilang kesadaran dan
hipotensi
- Ripinirol, merupakan agonis murni D2, dopamine non-ergot. Ripinirol
diindikasikan kepada penyait Parkinson awal atau lanjut. Dengan
penundaan pemberian levodopa diharapkan efek samping diskinesia
berkurang.
- Pramipreksol, agonis dopamine non-ergot. Obat ini memperlihatkan
afinitas khusus pada reseptor D3. Pramipreksol efektif sebagai
monoterapi pada penyakit Parkinson ringan. Pada penyakit yang lebih
berat berguna untuk menurunkan dosis levodopa. Obat ini diduga
bersifat neuroprotektif berdasarkan daya menyingkirkan hydrogen
peroksidadan meningkatkan aktivitas neurotropik pada sel
dopaminergik in vitro.
c. Perangsang SSP
Pada terapi Parkinson, perangsang SSP bekerja memperlancar
transmisi dopamine. Defisiensi dopamine tidak diperbaiki. Efek anti
Parkinson hanya lemah dan perlu dikombinasikan dengan
antikolinergik. Untuk tujuan ini dekstroamfetamin diberikan 2 kali 5 mg
sehari;metamfetamin 2 kali 2,5 mg sehari; atau metilfenidat, 2 kali 5
mg sehari.
2. Obat antikolinergik sentral
Antikolinergik merupakan obat alternative levodopa dalam
pengobatan parkinsonisme. Prototip kelompok ini ialah triheksifenidil.
Termasuk dalam kelompokini ialah biperidin, prosiklidin, benztropin, dan
antihistamin dengan efek antikolinergik difenhidramin dan etopropazin.
Dasar kerja obat ini ialahmengurangi aktivitas kolinergik yang
berlebihan di ganglian basal. Efek antikolinergik perifernya relative rendah
dibandingkandengan atropine. Atropine dan alkaloid belladon lainnya
merupakan obat pertama yang dimanfaatkan pada penyakit Parkinson
tetapi bukan pilihan karena efek perifernya terlalu mengganggu.
a. Triheksifenidil, senyawa kongeneriknya, dan benztropin.
Obat-obat ini terutama berefek sentral. Dibandingkan dengan
potensi atropine, triheksifenidil memperlihatkan potensi antispasmodic
setengahnya, efek midriatik sepertiganya, efek terhadap kelenjar ludah
dan vagus sepersepuluhnya. Seperti atropin, triheksifenidil dosis besa
menyebabkan perangsangan otak. Ketiga senyawa kongenerik
triheksifenidil yaitu biperiden, sikrimin, dan prosiklidin, pada umumnya
serupa triheksifenidil dalam efek antiparkinson maupun efek
sampingnya. Apabila terjadi toleransi terhadap triheksifenidil, obat-obat
tersebut dapat digunakan sebagai pengganti
Benztropin tersedia sebagai benzropin mesilat yaitu suatu
metansulfonat dari eter tropinbenzohidril. Eter ini terdiri atas gugus
basa tropin dan gugus antihistamin (difenhidramin). Masing-masing
bagian tetap mempertahankan sifat-sifatnya termasuk efek
antiparkinson. Efek sedasi gugus difenhidramin bermanfaat bagi
mereka yang justru mengalami perangsangan akibat penggunaan obat
lain, khususnya pada pasien yang berusia lanjut. Sebaliknya bagian
basa tropinnya menimbulkan perangsangan.
b. Senyawa antihistamin
Beberapa antihistamin dapat dimanfaatkan efek antikolinergiknya
untuk terapi penyakit Parkinson yaitu difenhidramin, fenindamin,
orfenadrin, dan klorfenoksamin. Keempat senyawa ini memiliki sifat
farmakologik yang mirip satu dengan lainnya.
Difenhidramin 50 mg, 3-4 kali sehari diberikan bersaa levodopa
untuk mengatasi efek ansietas dan insomnia akibat levodopa.
Walaupun menimbulkan perasaan kantuk, obat kelompk ini dapat
memperbaiki suasana perasaan karena efek psikotropiknya
menghasilkan euphoria. Efek antikolinergik perifer lemah, sehingga
besar ludah hanya sedikit dipengaruhi.
c. Turunan fenotiazin
Turunan fenotiazin merupakan kelompok obat yang paling sering
menyebabkan gangguan ekstrapiramidal. Tetapi beberapa diantaranya
justru berefek antiparkinson yaitu etopropazin, prometazin, dan
dietazin. Perbedaan antara kedua sifat yang berlawanan ini mungkin
dapat dijelaskan dengan SAR. Rumus kimia ketiga senyawa tersebut di
atas memiliki atom N pada cincin inti fenotiazin oleh dua atom C
sedangkan pada senyawa dengan sifat berlawanan pemisahan terjadi
pada tiga atom C. Di samping ini ketiga senyawa tersebut memiliki
gugus dietil pada atom N rantai alifatik.
Rigiditas dan tremor dikurangi oleh obat ini sedangkan terhadap
gejala lain efektivitasnya lebih kecil. Efek samping kantuk, pusing, dan
gejala antikolinergik dapat terjadi. Dietazin dapat menyebabkan depresi
sumsum tulang dengan manifestasi granulositopenia atau
agranuloitosis yang mngkin berbahaya.
3. Obat dopamino-antikolinergik
a. Amantadin
Amantadin adalah antivirus yang digunakan terhadap influenza
Asia. Secara kebetulan penggunaan amantadin pada seorang pasien
influenza yang juga menderita penyakit Parkinson memperlihatkan
perbaikan gejala neurologic. Kenyataan ini merupakan titik tolak
penggunaan amantadin pada pengobatan penyakit antiparkinson.
Amantadin diduga meningkatkan aktivitas dopaminergik serta
menghambat aktivitas kolinergik di korpus striatum. Sebagai penjelasan
telah dikemukakan bahwa amantadin membebaskan dopamine dari
ujung saraf dan menghambat ambilan prasinaptik dopamine, sehingga
memperpanjang waktu paruh dopamine di sinaps. Berbeda dengan
levodopa, amantadin tidak meningkatkan HVA dalam CSS. Mekanisme
kerjanya belum diketahui dengan pasti.
Efektivitasnya sebagai antiparkinson lebih rendah daripada
levodopa tetapi respon lebih cepat (2-5 hari) dan efek sampingnya lebih
rendah. Efektivitas amantdin tidak dipengaruhi umur, jenis kelamin,
lamanya penyakit, jenis penyakit, dan pengobatan terdahulu.
Efektivitasnya paling nyata pada pasien yang kurang baik responnya
terhadap levodopa. Pemberian amantadin dan levodopa bersama-
sama bersifat sinergis.
Pada terapi dengan amatadin tunggal, efektivitasnya tidak bertahan
dan hasil pengobatan menurun setelah 3-6 bulan. Pemberinamantadin
dimulai dengan 100 mg sehari. Jika pasien cukup toleran setelah 1
minggu dosis dapat ditambah menjadi 2 kai 100 mg sehari dan
kemudian menjadi 3 kali 100 mg sehari. Tetapi menurut Schwab dkk
dosis lebih dari 200 mg sehari tidak memperlihatkan kenaika manfaat
terapi yang berarti.
Efek samping amantadin mnyerupai gejala intoksikasi atropine.
Gejala yang dapat timbul adalah disorientasi, depresi, gelisah,
insomnia, pusing, gangguan saluran cerna, mulut kering, dan
dermatitis. Lima persen pasien menderita ganggaun proses berpikir,
bingung, halusinasi, dan ansietas. Gejala ini terjadi pada awal terapi.
Bersifat ringan dan bersifat reversible dan kadang-kadang menghilang
walaupun pengobatan diteruskan. Aktivitas yang membutuhkan
kewaspadaan mental sebaiknya dihindarkan sampai kelompok gejala
jelas tidak ada. Livedo retikularis umum terjadi setalah 1 bulan setelah
pengobatan dengan amantadin tetapi tidak memerlukan penghentian
terapi. Terjadinya livedo retikularis diduga merupakan respon fisiologik
akibat deplesi katekolamin dari depot ujung saraf perifer. Pada
beberapa pasien, livedo retikularis disertai dengan edema pergelangan
kaki.
Amantadin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien epilepsy,
ulkus peptic, atau pengobatan dengan perangsang SSP, misalnya
amfetamin.
Kombinasi amantadin dengan levodopa hanya dianjurkan bagi
mereka yang tidak dapat mentoleransi levodopa dalam dosis optimal.
b. Antidepresan trisiklik
Imipramin atau amitriptilin yang digunakan tersendiri efek
antiparkinsonnya kecil sekali tetapi bia dikombinasi dengan
anikolinergik dapat sangat bermanfaat. Dengan kombinasi ini, selain
meningkatkan perbaikan rigiditas dan akinesia, gejala depresi juga
diperbaiki. Untuk terapi penyakit Parkinson, imipramin atau amitriptilin
dapat diberikan 10-25 mg, 4 kali sehari, pemberian ini dapat diteruskan
dengan aman untuk waktu yang lama.
4. Penghambat enzim pemecah dopamine
a. Penghambat monoamine oksidase-B
Salah satu contoh obtnya adalah selegilin. Selegilin merupakan
penghambat MAO-B yang relative spesifik. Saat ini dikenal dua bentuk
penghambat MAO, tipe A yang terutama berhubungan dengan
deaminasi oksidatif norepinefrin dan serotonin, tipe B yang
memperlihatkan aktivitas terutama pada dopamine.
Penghambat MAO-A menyebabkan hipertensi bila terdapat tiramin
yang masuk dari makanan, deimikian juga bila dikombinasi dengan
levodopa. Selegilin dapat diberikan secara aman dalam kombinasi
dengan levodopa. Selektivitas ini hanya berlaku untuk dosis sampai 10
mg/hari.
Selegilin menghambat deaminasi dopamine sehingga kadar
dopamine diujung saraf dpaminergik lebih tinggi. Selain itu, ada
hipotesis yang mengemukakan bahwa selegilin mungkin mencegah
pembentukan neurotoksin endogen yang membutuhkan aktivasi ole
MAO-B. Secara eksperimental pada hewan, selegilin mencegah
parkinsonisme akibat MPTP. Mekanisme lain diduga berdasarkan
pengaruh metabolitnya yaitu N-desmetil-selegilin, L-metamfetamin dan
L-amfetamin. Metamfetamin dan amfetamin menghambat ambilan
dopamine dan meningkatkan penglepasan dopamine.
b. Penghambat katekoloksimetil transferase (COMT-inhibitor)
Entakapon dan tolkapon merupakan inhibitor COMT yang bersifat
reversible. Penambahan obat-obat ini pada karbidopa memperpanjang
masa kerja karbidopa. Obat ini tertama berguna bila masa kerja
karbidopa semakin memendek setelah pengobatan jangka panjang.
Karena obat ini meningkatkan kadar levodopa di otak pada awal
pengobatan, dosis karbidopa sebaiknya diturunkan kira-kira
sepertiganya. Efek samping levodopa dapat meningkat setelah
pemberian obat golongan ini. Tolkapon dilaporkan lebih sering
menimbulkan diare daripada entakapon. Tes fungsi hati peru dilaporkan
setiap 2 minggu dalam 1 tahun pemberian tlkapon; tidak pada
entakapon.
OBAT ANTIPARKINSON
OLEH:
CITRA RAHAYU
N11108320
MAKASSAR
2010