nyeri kronik bab i-iii

81
BAB I PENDAHULUAN Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau penggambaran dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengalaman nyeri melibatkan dimensi sensori, emosional dan juga kognitif. Nyeri selalu bersifat subyektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu tersebut. Melzack dan Casey menyebutkan bahwa pengalaman nyeri merupakan interaksi dari tiga sistem (dimensi) yang berkaitan dengan stimulasi nosiseptif, yaitu sensori-diskriminatif, motivasi-afektif, dan kognitif-evaluasi. Ketiga sistem ini berkontribusi terhadap subyektifitas nyeri dan integralisasi faktor psikologis dalam pengalaman nyeri. Berdasarkan perjalanan waktunya, nyeri dapat diklasifikasikan sebagai nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba sedangkan nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu tertentu. 1

Upload: dhieto-basuki-putra

Post on 16-Dec-2015

64 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Referat

TRANSCRIPT

BAB I

BAB IPENDAHULUANNyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau penggambaran dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengalaman nyeri melibatkan dimensi sensori, emosional dan juga kognitif.

Nyeri selalu bersifat subyektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu tersebut. Melzack dan Casey menyebutkan bahwa pengalaman nyeri merupakan interaksi dari tiga sistem (dimensi) yang berkaitan dengan stimulasi nosiseptif, yaitu sensori-diskriminatif, motivasi-afektif, dan kognitif-evaluasi. Ketiga sistem ini berkontribusi terhadap subyektifitas nyeri dan integralisasi faktor psikologis dalam pengalaman nyeri.Berdasarkan perjalanan waktunya, nyeri dapat diklasifikasikan sebagai nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba sedangkan nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu tertentu.

Nyeri merupakan alasan yang paling umum bagi pasien-pasien untuk memasuki tempat perawatan kesehatan dan merupakan alasan yang paling umum diberikan untuk pengobatan terhadap diri sendiri. Nyeri kronis biasanya lebih kompleks dan lebih sulit untuk ditangani, diobati, atau dikontrol daripada nyeri akut.Suatu penelitian di 15 negara Eropa pada 4839 responden berusia 18 tahun atau lebih yang menderita nyeri lebih dari 6 bulan, dengan intensitas nyeri 5 atau lebih (pada skala nyeri 1 sampai 10), didapatkan 66% dari responden menderita nyeri sedang (skala 5-7), 34% menderita nyeri berat (skala 8-10); 46% mengalami nyeri yang terus menerus, 56% hilang timbul; 49% telah menderita nyeri selama 2-15 tahun; dan 21% terdiagnosis mengalami depresi sehubungan dengan nyerinya. 61% mengalami gangguan atau tidak dapat bekerja di luar rumah, 19% kehilangan pekerjaannya, dan 13 persen harus berpindah pekerjaan dikarenakan nyerinya. 41% dari responden mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat dan kurang dari 21% yang memeriksakan diri mereka kepada spesialis yang kompeten dalam penanganan nyeri.

Nyeri kronik dapat berdampak pada semua area kehidupan seseorang dan seringkali berasosiasi dengan masalah-masalah lingkungan sosial. Nyeri kronik dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap keluarga dan rekan-rekan penderita. Nyeri kronik merupakan situasi yang menurunkan moral, yang mengkonfrontasi penderita tidak hanya dengan stress yang berasal dari nyeri tetapi juga dengan banyak kesulitan-kesulitan lain yang menyertai yang mempengaruhi semua aspek kehidupan.Nyeri merupakan fenomena yang multidimensional. Dimensi ini meliputi dimensi fisiologis, sensori, afektif, kognitif, dan perilaku (behaviour), dan sosial-kultural yang saling berhubungan, berinteraksi, serta dinamis. Nyeri kronik merupakan suatu problem kesehatan yang kompleks, kadang dengan etiologi yang belum jelas, dan sering mendapatkan terapi dengan hasil yang kurang memuaskan bagi pasien. Diperlukan pengetahuan yang mendalam bagi tenaga kesehatan, pendekatan multidisiplin keilmuan, serta melibatkan pasien, keluarga, dan lingkungan untuk dapat menangani pasien nyeri kronik secara optimal.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1. DEFINISI

Definisi nyeri yang paling luas diterima adalah yang diambil dari International Association for the Study of Pain (IASP), yaitu : pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.

Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang berlangsung lebih lama dari proses penyembuhannya yang normal. Ada yang berpendapat lama nyeri kronis adalah berlangsung lebih dari 6 bulan.

Pustaka lain menyebutkan bahwa nyeri didefinisikan sebagai nyeri kronik jika:

1. berlangsung melampaui waktu yang diperlukan untuk penyembuhan nyeri akut atau penyembuhan jaringan

2. jika berhubungan dengan proses patologis kronis3. nyeri rekuren dalam interval bulan atau tahunTabel 1. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan normal

Jenis OrganWaktu Untuk Sembuh

Kulit3 7 hari

Tulang6 minggu

Tendon dan ligamen3 bulan

2.2. KLASIFIKASI NYERI KRONIK

Berdasarkan mekanisme patofisiologinya nyeri kronis terbagi menjadi :

1. Nyeri Nosiseptik

Nyeri nosiseptik timbul sebagai akibat dari aktivasi nosiseptor perifer yang berlokasi pada jaringan yang mengalami kerusakan dan ditransmisikan ke saraf pusat melalui jalur sensori naural yang berfungsi secara normal. Nyeri nosiseptik umumnya berkaitan dengan derajat kerusakan jaringan somatik atau visceral.

2. Nyeri Neuropatik

Nyeri Neuropatik dihasilkan dari kerusakan atau perubahan strukur dan fungsi jaringan saraf. Nyeri neuropatik dapat timbul berkaitan dengan proses somatosensorik yang menyimpang pada saraf tepi atau sistem saraf pusat

3. Nyeri Psikogenik

Nyeri psikogenik sering dirujuk sebagai gangguan somatisasi. Penyebabnya didasari oleh adanya gangguan emosional atau stressor yang sering tidak disadari pasien. Nyeri psikogenik timbul walaupun tidak ditemukan organ sumber nyeri yang dapat diidentifikasi.

2.3. EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan 10-20% dari populasi dunia menderita nyeri kronik. Penelitian di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa 10-11% dari penduduk mempunyai gejala nyeri kronik di seluruh bagian tubuh yang menetap sedang 20-25% mengalami nyeri kronik regional dengan perempuan 1,5 kali lebih banyak dari laki-laki. 2.4. FISIOLOGI NYERI

Pada keadaan normal nyeri bertindak sebagai mekanisme alarm yang mengindikasikan adanya kerusakan atau potensi kerusakan di dalam tubuh manusia. Namun pada nyeri kronik terjadi perubahan mekanisme sehingga tidak selalu mencerminkan proses patologi yang sebenarnya.

Nyeri timbul sebagai respon terhadap stimulasi struktur nosiseptif. Stimulus dijalarkan melalui sepanjang saraf tepi ke sistem saraf pusat. Sensasi nyeri dan respon individu terhadap nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya mekanisme fisiologi reseptor nyeri, struktur anatomi sistem saraf nyeri, keadaan psikologi, emosional, perilaku, dan motivasi dari masing-masing individu. Variasi dalam beberapa faktor tersebut dapat memberikan perbedaan persepsi, derajat, tipe lokasi dan durasi nyeri.

Interaksi yang komplek antara stimulus dari kerusakan jaringan dan pengalaman subyektif dari nyeri kronis dapat digambarkan dengan proses umum yang dikenal sebagai transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.2.4.1. RESEPTORAkhiran saraf aferen di seluruh jaringan tubuh dinamakan reseptor. Kepadatan reseptor di jaringan tubuh berbeda-beda. Untuk reseptor nyeri, misalnya jaringan yang sangat peka nyeri seperti kornea dan pulpa gigi, menunjukkan kepadatan reseptor nyeri yang sangat tinggi dibandingkan dengan jaringan yang kurang peka nyeri seperti otot dan organ-organ visera. Jenis reseptor cukup banyak. Ada yang peka terhadap peregangan, temperatur, zat-zat kimia, akan tetapi ada pula yang peka terhadap berbagai stimuli dan tipe ini dinamakan reseptor polimodal. Reseptor polimodal paling banyak berperan dalam proses timbulnya nyeri. Distribusi reseptor ini luas (kulit, otot dan visera) dan mudah dimodulasi oleh karena sangat sensitif terhadap mediator kimiawi. Reseptor polimodal lebih sering disebut sebagai nosiseptor,

Sensasi nyeri dimulai dari peristiwa seperti terpotong, terbakar, inflamasi yang merangsang terminal akhir berkas saraf. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif (sleeping nociceptors). Keadaan patologik mengakibatkan nosiseptor menjadi sensitif bahkan hipersensitif. Berkas saraf yang terlibat dalam peristiwa ini terdiri dari serabut C yang tidak bermyelin dan A-delta, serta neuron preganglion autonom.

Di samping sebagai penerima impuls, nosiseptor dapat pula berfungsi sebagai pelepas neuropeptid seperti substansia P dan CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide) paska trauma atau inflamasi. Pelepasan substansi P dan CGRP akan menyebabkan terjadinya inflamasi neurogenik. Fungsinya untuk mencegah atau mengurangi efek merugikan dari trauma atau lesi dan mempercepat penyembuhan. Akan tetapi dalam beberapa keadaan patologik fungsi tersebut sebaliknya menyebabkan rasa nyeri terutama pada nyeri kronik.

2.4.2. TRANSDUKSI

Transduksi adalah peristiwa perubahan stimulus nyeri menjadi sinyal nyeri yang terjadi di reseptor nyeri. Stimuli yang datang di reseptor mengubah permeabilitas membran reseptor terhadap berbagai ion terutama Na+. Reseptor mengubah berbagai stimulasi menjadi impuls listrik yang mampu menimbulkan potensial aksi di akson untuk dijalarkan ke medula spinalis.

Gambar 1. skema specificity theory dan pattern theory.Dikenal dua macam teori dalam proses transduksi ini, yaitu specificity theory dan pattern theory. Menurut specificity theory, sensasi nyeri tergantung akhiran saraf yang terangsang dan reseptor tersebut berbeda-beda untuk setiap jenis sensasi. Sedangkan pattern theory berpendapat bahwa sensasi nyeri timbul karena peningkatan frekwensi dan intensitas rangsang yang dialami oleh reseptor nyeri.

2.4.3. TRANSMISI

Lintasan Perifer

Transmisi merupakan proses penghantaran sinyal nyeri dari reseptor sistem saraf tepi menuju medula spinalis kemudian melalui jalur tertentu akhirnya sampai ke otak.

Pada saraf tepi sinyal nyeri dihantarkan oleh serabut saraf C, A-delta, dan pada keadaan tertentu serabut A-beta dapat ikut terlibat. Serabut C peka terhadap rangsang mekanikal, thermal, dan kimiawi, yang nantinya akan menyebabkan rasa nyeri yang dirasakan tumpul, berdenyut, sakit-sakitan, terbakar, atau kesemutan. Sensasi nyeri yang ditransmisikan melalui serabut C mempunyai onset yang lambat setelah terjadinya stimulus, berlangsung lama, sulit ditoleransi secara emosional, cenderung diffusely localized, Sensasi ini dapat disertai dengan respon autonom (berkeringat, berdebar-debar, mual, peningkatan tekanan darah)

Gambar 2. Transmisi sinyal nyeri pada sistem saraf perifer dan pusat Serabut A-delta, yang mempunyai lapisan, myelin menghantarkan nyeri lebih cepat dari serabut C. Serabut A-delta lebih sensitif terhadap rangsang mekanikal dengan intensitas tinggi, dan dapat juga menghantarkan rangsang panas, dingin, atau rangsang lainnya. Sensasi yang dihantarkan dirasakan seperti menikam, menusuk, dan tajam. Onset yang dihantarkan lebih cepat, durasinya lebih pendek, lokasi yang dirasakan jelas, dan tidak berhubungan dengan respon emosi. Sensasi nyeri yang dijalarkan serabut A-delta biasanya tidak dapat dihambat dengan obat golongan opiat.

Gambar 3. Karakteristik serabut aferen dari sistem sarafTabel 2. Karakteristik aferen primer pada serabut penghantar nyeri

Serabut A-beta dapat terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri yang tidak normal. Serabut A-beta (wide dynamic-range neuron) bermyelin dan berdiameter besar, menghantarkan sinyal lebih cepat dari serabut A-delta dan C. Serabut A-beta dalam keadaan normal menghantarkan sinyal yang berhubungan dengan getaran, peregangan, rangsang mekanik dan tidak menghantarkan nyeri. Namun demikian dalam keadaan nyeri neuropatik dan sensitisasi sentral terjadi perubahan sehingga stimulus yang normal (tidak berhubungan dengan nyeri) dapat menghasilkan sensasi nyeri. Terdapat tiga teori yang menjelaskan keterlibatan serabut A-beta terhadap nyeri. Teori pertama mengatakan bahwa perangsangan serabut A-beta mengaktifkan sel saraf di medula spinalis yang telah mengalami sensitisasi sentral. Teori ke dua menjelaskan bahwa serabut A-beta mengalami sprouting ke dalam lapisan medula spinalis yang normalnya merupakan akhiran serabut C, sehingga akhirnya menstimulasi neuron yang salah. Teori ke tiga mengatakan bahwa serabut A-beta yang berada di dekat neuron nosiseptif yang rusak ikut terpicu secara abnormal. Perubahan dalam fungsi neuron inilah yang menjadi kunci dalam nyeri yang berkepanjangan.

Lintasan pusat

Serabut saraf A-delta maupun C bersinaps secara langsung maupun melalui interneuron di lapisan superfisial kornu posterior medula spinalis (substansia gelatinosa). Beberapa serabut A-delta bersinaps pada lapisan yang lebih dalam, dimana serabut A-beta berakhir. Interneuron dalam kornu posterior dikenal sebagai Transmission cells atau sel T. Sel T membuat sambungan lokal di medula spinalis, baik dengan neuron eferen sebagai bagian dari refleks apinal, maupun dengan neuron aferen yang berlanjut ke level yang lebih tinggi.

Impuls nosiseptif yang masuk ke kornu dorsalis kemudian dilanjutkan ke otak oleh neuron proyeksi. Terdapat beberapa jalur utama informasi nosiseptif menuju otak yaitu:

1. Traktus spinotalamikus2. Traktus spinoretikular

3. Traktus spinomesenfalik

4. Traktus spinoservikalis

Dari semua traktus tersebut di atas yang terpenting dan terbanyak dipelajari adalah traktus spinotalamikus. Traktus ini dalam perjalanannya ke talamus mempercabangkan traktus paleospinotalamikus (medial) dan traktus neospinotalamikus (lateral). Traktus paleospinotalamikus terutama berasal dari serabut aferen C dan dirilei di nukleus intralaminaris talami, disini impuls didistribusikan ke korteks bilateral dan luas dan tidak mempunyai organisasi somatotopik. Oleh karena itu perangsangan nukleus intralaminaris talami akan menimbulkan rasa nyeri yang datangnya dari kedua bagian tubuh (kanan dan kid) dan disertai perasaan takut dan sedih yang merupakan reaksi emosi terhadap nyeri. Impuls nyeri yang dibawa oleh traktus neospinotalamikus menuju area somatosensori primer maupun sekunder di korteks serebri yaitu area yang menerima input dari somaestesi spesifik. 2.4.4. MODULASI DAN KONTROL NYERIBeberapa mekanisme yang menerangkan mengenai modulasi dan kontrol nyeri diantaranya adalah teori gate control, opiad endogen, inhibisi segmental di kornu posterior, dan mekanisme kontrol sentral psikologikal.

Berbagai intervensi fisik, kimia, dan psikologikal dikembangkan berdasarkan pengertian mengenai modulasi nyeri. Sebagai contoh TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) dikembangkan berdasarkan teori gate control.

Gambar 4 . Skema teori gate controlTeori Gate ControlTeori modulasi nyeri ini pertama kali dikenalkan oleh Melzack dan Wall pada tahun 1965. Menurut teori ini derajat nyeri ditentukan oleh keseimbangan rangsangan dan penghambatan input terhadap sel T di medula spinalis. Sel T menerima input rangsangan dari aferen nosiseptor C dan A-delta dan input penghambatan dari aferen sensori non nosiseptor A-beta. Peningkatan aktivitas aferen sensori non nosiseptor menyebabkan inhibisi presinaps pada sel T dan kemudian menutup secara efektif jembatan spinal ke kortek cerebral dan menurunkan sensasi nyeri.

Beberapa modalitas dan intervensi mengontrol nyeri dengan cara mengaktivasi saraf sensori non nosiseptif yang kemudian menghambat aktivasi sel penghantar nyeri dan menutup jembatan untuk mentransmisikan nyeri. Sebagai contoh elektro stimulasi, traksi, kompresi, dan masase kesemuanya dapat mengaktfkan saraf sensori non nosiseptif yang berdiameter besar, memiliki ambang yang rendah dan kemudian menghambat transmisi nyeri dengan menutup jembatan nyeri pada level medula spinalis.

Gambar 5. Modulasi nyeri pada sistem saraf pusatSistem opioid endogenPersepsi nyeri juga dimodulasi oleh opiad endogen. Peptida ini dikenal dengan Opio peptin (endorfin). Opio peptin mengontrol nyeri dengan binding terhadap reseptor opiat pada sistem syaraf. Opio peptin dan reseptor opiat ditemukan dalam berbagai akhiran saraf perifer dan dalam neuron di beberapa regio dari sistem saraf. Opio peptin dan reseptor opiad terindentifikasi di beberapa tempat pada otak termasuk PAGM (Peri Aqueductal Grey Matter) dan nukleus raphe batang otak dimana struktur tersebut memicu analgesia ketika terstimulasi, dan di beberapa area pada sitem limbik. Opio peptin juga ditemukan pada konsentrasi yang tinggi dalam lapisan superfisial dari kornu posterior medulas spinalis dan dalam sistem saraf enterik, dan juga akhiran saraf serabut C.

Opioid dan Opio peptin selalu memiliki aksi inhibisi. Mereka menyebabkan inhibisi presinap dengan mensupresi influks kalsium kedalam sel dan menyebabkan inhibisi post sinap dengan mengaktivasi pengeluaran kalium. Sebagai tambahan Opio peptin secara tidak langsung menginhibisi transmisi nyeri dengan mempengaruhi pelepasan GABA di dalam PAGM dan nukleus raphe.

Opiat bekerja mengaktifkan neuron proyeksi descenden melalui mekanisme inhibisi. Opiat juga menunjukkan efek analgesiknya, langsung pada medula spinalis oleh karena dapat menghambat aktivitas neuron di kornu dorsalis.

Mekanisme kontrol sentral dan psikologikalTerdapat dua mekanisme kontrol sental utama, yaitu periaqueductal grey matter (PAG) di otak tengah dan rostral ventromedial system (RVM). Lintasan PAG dan RVM menerima input dari sistem limbik, hal ini menerangkan bagaimana faktor emosi dapat mempengaruhi persepsi nyeri.

Terdapat jalur descenden yang membuat koneksi inhibisi pada kornu posterior medula spinalis. Neurotramsmitter utama pada jalur ini adalah serotonin (5-HT) dan norepinephrine (noradrenalin). Hal ini menerangkan cara kerja dari antidepresan dan tramadol dalam menghambat nyeri. ES pada area yang banyak menghasilkan opio peptin, seperti PAGM dan nukleus raphe, menginhibisi dengan kuat transmisi nyeri. Stimulasi pada area ini dapat membebaskan nyeri yang membandel pada manusia dan meningkatkan jumlah beta endorfin dalam CSF. Konsentrasi reseptor opiat dan opio peptin dalam sistim limbik yang berhubungan dalam fenomena emosional juga membuktikan dan menerangkan pengaruh respon emosional terhadap nyeri .

Pelepasan opio peptin memainkan peran yang penting dalam modulasi dan kontrol nyeri selama terjadi stres emosional. Level opio peptin di otak dan CSF meningkat dan ambang rangsang nyeri meningkat. Teori ini juga menerangkan efek pembebasan nyeri dari akupunktur dan pemakaian nyeri sebagai stimulator (preparat topikal yang menyebabkan sensasi terbakar).Dalam beberapa tahun belakangan ini, diketahui pula bahwa banyak neuron di medula oblongata bagian rostroventral yang bersifat serotonergik, sedangkan yang di pons berupa noradrenergik. Kedua tipe ini sangat penting perannya dalam memodulasi impuls nyeri. Apabila kedua jenis neuron ini rusak, maka kemampuan analgesik dari neuron opiat akan menurun. Demikian pula halnya dengan pemberian antagonis reseptor serotonin di medula spinalis, akan sangat mengurangi efek analgesik pemberian morfin supraspinalis. Pemberian langsung serotonin dan norepinefrin ke medula spinalis akan menyebabkan analgesia.

2.4.5 PERSEPSINyeri merupakan suatu pengalaman yang kompleks, melibatkan sensori dan afektif. Korteks area somatosensori primer dan sekunder berkaitan dengan aspek sensori dan diskriminasi nosisepsi, sedangkan area limbik berkaitan dengan afektif motivasi. Area kortek cingulate anterior memainkan peran dalam emosi dan aversive (penolakan) dalam respon terhadap nyeri. Pengaruh korteks inilah yang menjelaskan peran modulasi bahwa memori dan pembelajaran sangat berpengaruh dalam persepsi nyeri.2.5. PATOFISIOLOGI NYERI KRONIK

Nyeri kronik dapat disebabkan oleh proses patologi di jarigan yang persisten (contoh pada kanker) atau dapat juga disebabkan oleh nyeri yang persisten walaupun telah tejadi perbaikan jaringan (yang awalnya cidera) dengan disertai hilangnya kapasitas fungsional yang berlebihan.

Pada nyeri akut, nyeri berasal dari peningkatan peningkatan aktivitas nosiseptor yang mencerminkan adanya kerusakan jaringan. Setelah kerusakan jaringan, mediator inflamasi seperti glutamat, substansi P, kalsitonin dilepaskan dan menyebabkan peningkatan sensitivitas di area jaringan yang rusak dan sekitarnya. Pada beberapa kasus, nosiseptor tetap dalam keadaan terpicu (meletup) dan menyebabkan hipersensitivitas dalam kornu posterior medula spinalis. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan sensitivitas reseptor yang kemudian menyebabkan peningkatan respon nyeri terhadap rangsang mekanikal, thermal, atau kimia. Aktivitas nosiseptor yang berkepanjangan dapat menyebabkan perubahan pada medula spinalis dan pusat yang lebih tinggi di otak dan berdampak pada peningkatan sensitivitas neuron yang memodulasi nyeri. Perubahan-perubahan ini dapat memperkuat stimulus periferal yang masuk walaupun stimulus non nyeri tersebut tidak cukup kuat untuk menimbulkan nyeri.

Gambar 6. Perbedaan proses kimia pada reseptor antara nyeri akut dan kronik.Nyeri kronis menginduksi banyak faktor yang mempertahankan nyeri dan menghambat penyembuhan yaitu:

1. Aktivasi menetap dari reseptor AMPA menyebabkan perubahan polaritas membran dengan pelepasan Mg2+ yang membuka kanal Ca2+ pada kompleks reseptor NMDA.

2. Ca2+ akan mengaktivasi protein kinase C (PKC) PKC dibutuhkan oleh Nitric Oxide Synthase (NOS) untuk memproduksi Nitric Oxide (NO).

3. NO akan berdifusi ke membran dan merangsang guanil sintase untuk menutup kanal K+. Hal ini menyebabkan resistensi terhadap opiat karena endorfin dan enkefalin menghambat nyeri dengan membuka kanal K+.

4. NO juga akan merangsang pelepasan substansi P.

5. Substansi P adalah neurokinin yang bila berikatan dengan reseptor neurokinin-1 (NK-1) akan memicu ekspresi gen c-fos.

6. Ekspresi gen c-fos menyebabkan remodeling saraf dan heipersensitisasi.

Gambar 7. Perbedaan antara perjalanan nyeri akut dan nyeri kronik

Sensitisasi sentral adalah respon berlebihan dari sel saraf nyeri di susunan saraf pusat terhadap input dari reseptor perifer. Medula spinalis bertugas sebagai penguat atau pengubah dari keadaan jaringan yang sebenarnya. Pada keadaan ini informasi yang diterima otak dari kornu posterior tidak akurat lagi dan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya di jaringan. Lebih lanjut lagi, dapat terjadi perubahan penafsiran lokasi bagian tubuh oleh area sensorik primer otak yang menyebabkan penyimpangan kontrol motorik

Pasien nyeri kronik sering mengalami perubahan kemampuan adaptasi fisiologi dan nyeri yang menetap tersebut menjadi penyakit yang tersendiri. Pasien mengalami dekondisioning karena aktifitas fisik yang menurun, frustasi, depresi, perubahan perilaku, penurunan produktifitas, sikap, dan gaya hidup yang justru memperberat keluhan nyeri kronik.

Gambar 8. Lingkaran setan nyeri kronik Nyeri berpengaruh dan dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Respon nyeri bersifat subyektif dan berbeda pada masing-masing individu karena hal tersebut dimodulasi oleh faktor somatik, sosial, dan psikologikal. Faktor kognitif dan emosi dapat memberi respon positif maupun negatif terhadap nyeri. Perlu kita ketahui bahwa selama pembelajaran mengenai pengalaman nyeri beberapa bagian otak teraktivasi secara simultan dan oleh karena itu tidak hanya terdapat satu pusat nyeri di otak. Nyeri kronik sering berhubungan dengan gangguan tidur dan penurunan fungsi. Dalam tahap ini nyeri menjadi penyebab dari perilaku disfungsi, penderitaan, dan disabilitas.

2.6. PEMERIKSAAN DAN GAMBARAN KLINIS2.6.1. PEMERIKSAANPenilaian nyeri kronik meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penilaian komprehensif mengenai intensitas nyeri, faktor psikososial yang berhubungan dengan pengalaman nyeri dan faktor-faktor yang mempengaruhi tidur, aktivitas kehidupan sehari-hari, keadaan keluarga, dan pekerjaan. Keluhan subyektif mengenai derajat nyeri merupakan bagian yang penting sebagai penilaian awal dan untuk evaluasi pada kunjungan berikutnya.

AnamnesisAnamnesis berfokus pada jangka waktu, kronologi, intensitas, lokasi nyeri, faktor yang memperberat atau memperingan, serta gejala penyerta nyeri. Status fungsional pasien harus ditetapkan. Reaksi terhadap intervensi diagnostik dan terapeutik harus diperhatikan, karena hal tersebut bisa menjadi perkiraan respon pengobatan mendatang.

Riwayat terdahulu mengenai masalah iatrogenik karena prosedur yang tidak sesuai atau tidak perlu harus digali. Dicari riwayat penyalahgunaan zat kimia atau perilaku kecanduan karena hal ini merupakan indikator prognosis negatif. Riwayat sosial, ekonomi, dan kondisi psikologis perlu dicatat karena pasien sering barhadapan dengan masalah-masalah tersebut.Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus lengkap, berfokus pada sistem neurologi dan muskuloskeletal. Saraf kranialis harus dinilai. Sensasi protopatik (nyeri, suhu, sentuhan raba) sensasi propioseptik (tekanan dalam, getaran, posisi) dan sensori kortikal (two point tactile discrimination, extinction phenamenon) harus didata. Pola anatomis nyeri dan gangguan sensorik sering memberikan petunjuk tingkat lesi atau dasar organik yang sesuai dengan keluhan. Contohnya hilangnya sensasi sentuhan ringan pada tangan dan lengan, tapi tetap mampu mengenali benda dan melakukan gerakan motorik halus (yang membutuhkan masukan sensorik yang utuh), memberikan perkiraan bahwa pasien berpura-pura sakit atau somatisasi yang berlebihan.Tabel 3. Ringkasan anamnesis pada nyeri kronik

Karena pemeriksaan sistem motorik mungkin terbatas oleh karena nyeri, penilaian kekuatan, gelondong otot, refleks, dan tonus otot harus dilakukan dengan cermat karena hal tersebut dapat memberi petunjuk diagnostik yang bernilai. Gangguan fungsi otonomik, seperti ketidakstabilan vasomotor, dapat dinilai dengan membandingkan suhu kulit, keringat, perubahan rambut dan kuku di anggota gerak. Ketidaknormalan ini mungkin merupakan tanda kerja simpatetik berlebihan yang sedang berlangsung , terutama bila terlokalisir pada daerah nyeri. Perubahan respon refleks mungkin salah satu tanda paling awal gangguan fungsi sistem syaraf pusat (SSP), dan pemeriksaan refleks sering merupakan salah satu bagian pemeriksaan paling obyektif pada pasien nyeri. Teknik-teknik evaluasi standar ini perlu disertai dengan pemeriksaan fisik khusus (pemeriksaan provokasi) untuk melakukan penilaian yang lebih tepat. Selanjutnya, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan sesuai dengan indikasi. 2.6.2. GAMBARAN KLINIS

The American Medical Association mendefinisikan dan menjabarkan gambaran nyeri kronik sebagai berikut:1. Durasi

Menurut literatur lama, istilah nyeri kronik dipakai untuk nyeri yang berlangsung lebih dari 6 bulan, namun beberapa pendapat terbaru menyatakan sindrom nyeri kronik dapat didiagnosis lebih awal, 2 sampai 4 minggu setelah onset nyeri. Evaluasi dan penatalaksanaan dini yang tepat sangat penting.

2. Dramatisasi

Pasien dengan nyeri kronik memperlihatkan perilaku nyeri verbal dan nonverbal yang tidak lazim. Kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan nyeri kronik penuh emosi, dibuat-buat, dan berlebihan. Pasien memperlihatkan postur dan perilaku maladaptatif, merintih, mengerang, terengah-engah atau meringis.

3. Dilema diagnostik

Pasien cenderung memiliki riwayat telah dievaluasi oleh banyak dokter dan telah menjalani berbagai pemeriksaan penunjang, meskipun dengan hasil klinis yang samar-samar, inkonsisten, dan tidak akurat.

4. Obat-obatan

Ketergantungan dan penyalahgunaan obat sering menyertai pasien nyeri kronik. Pasien mendapat resep dan menkonsumsi secara berlebihan berbagai macam obat.

5. Ketergantungan

Pasien menjadi tergantung terhadap dokter dan membutuhkan perawatan yang berlebihan. Mereka menjadi tergantung terhadap pasangan hidup dan keluarga, serta melepas tanggung sosialnya.

6. Depresi

Hasil tes psikologi menunjukkan depresi, hipokondriasis, dan histeria. Pasien cenderung tidak bahagia, putus asa, ketakutan, mudah tersinggung, atau bersikap bermusuhan. 7. Disuse

Imobilisasi yang berkepanjangan dan berlebihan menyebabkan nyeri muskuloskeletal sekunder. Pemakaian splint dan imobilisasi yang tidak tepat menyebabkan disfungsi muskuler dan deconditioning sehingga memperburuk keluhan nyeri pasien.8. Disfungsi

Pasien menjadi menarik diri dari lingkungan pergaulan, diberhentikan dari pekerjaan, kehilangan aktivitas rekreasional, menjauhkan diri dari teman dan keluarga, dan terisolasi. Hal tersebut menyebabkan pasien mengalami masalah fisik, emosi, sosial, dan ekonomi. Tabel 4 . Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

2.6.3. PENGUKURAN NYERI Nyeri merupakan pengalaman sebyektif dan kompleks yang melibatkan faktor sensori, emosi, psikologi, dan sosial. Saat ini nyeri dapat dimasukkan sebagai tanda vital ke lima selain respiration rate, tekanan darah, heart rate, dan suhu tubuh.

Nyeri dapat dinilai menggunakan berbagai alat ukur. Diantaranya dapat dipakai Self assessment tools dimensi tunggal atau multidimensi. Apabila nyeri yang diukur dengan sellf assessment tools tersebut tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dianjurkan untuk menggunakan behavioral assessmnet. Pada anak bayi, anak usia dibawah 3 tahun, pasien dengan gangguan kognitif dapan dipakai skala FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, Consolalility)

Alat ukur dimensi tunggal yang paling sering dipergunakan untuk evaluasi nyeri diantaranya Visual Analogue Scale, Numerical Rating Scale, Wong Baker Faces Scale.

1. 2. 3. Gambar 9. 1. Visual Analogue Scale, 2. Numerical Rating Scale,

3.Wong Baker Faces Scale.

Salah satu alat ukur multidimensional adalah McGill Paint Questioner. Self assessment tools ini yang mengukur berbagai aspek dari nyeri, yaitu sensori diskriminasi (intensitas, lokasi durasi), dimensi afektif emosional, dan kognitif evaluatif. Bagian pertama berisi penggambaran bagian depan dan belakang tubuh manusia yang mendeskripsikan nyeri. Bagian kedua berisi enam kata deskripsi verbal yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri. Bagian terakhir dari kwesioner ini menggunakan 20 subkelas pengelompokan sifat nyeri yang menggambarkan tiga dimensi nyeri yaitu sensori (misalnya tajam, tumpul, lokasi), afektif (misalnya melelahkan, mengganggu) dan evaluatif.Alat ukur behavioral menilai masalah sosial, psikologikal (penyimpangan perilaku, sikap, gaya hidup, kemampuan fungsional tersebut merupakan masalah fisikal atau psikologikal), pengertian dan penerimaan terhadap situasi yang dialami, tanda-tanda depresi (iritabel, loyo, kurang konsentrasi, penurunan hasrat), dan status emosional dan kepribadian premorbid.Beberapa alat ukur psikobehavioral diantaranya adalah skala status fungsional (contoh: Sicknes Impact Profil) dan tes psikologi umum (contoh: Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI)), Milon Behavioral Health Inventory (MBHI) dan Zung Depresi Scale)2.7. MANAJEMEN NYERI KRONIK Manajemen nyeri dimulai dengan asumsi bahwa semua keluhan nyeri adalah nyata sampai terbukti sebaliknya dan hampir semua nyeri mempunyai komponen psikologikal. Pendekatan terbaik adalah dengan menemukan dan mengatasi etiologi yang mendasari nyeri, meskipun hal tersebut tidak selalu ada dan tidak mudah untuk diidentifikasi.

Proses nyeri kronik melibatkan beragam jalur saraf, transmiter, reseptor, dan dipengaruhi kondisi psikologis serta lingkungan sosial. Hal tersebut menunjukkan kontrol nyeri yang optimal memerlukan pendekatan multimodal dengan menggunakan terapi analgesia dari berbagai multidisiplin dan interdisiplin keilmuan. Multidisiplin menunjukkan bahwa penatalaksanaan nyeri kronik melibatkan dan memerlukan kerjasama dari berbagai bidang disiplin keilmuan. Interdisiplin berarti pendalaman keseluruhan proses dalam penatalaksanaan (evaluasi, goal setting, dan terapi) yang disepakati oleh berbagai tim yang terlibat. Berdasarkan penelitian, data-data terbaru menunjukkan bahwa penilaian dan pendekatan biopsikososial merupakan suatu metode penatalaksanaan yang terbaik. Hal ini didasari bahwa nyeri kronik bukan hanya merupakan masalah anatomis saja akan tetapi pengalaman nyeri juga melibatkan faktor psikologis. Dalam pendekatan biopsikososial penatalaksanaan kronik meliputi penerimaan dan mengurangi rasa nyeri, pengembalian kemampuan mobilitas, perbaikan pola tidur, perbaikan mood, pemanfaatan waktu luang, dan dapat kembali bekerja.Tabel 5. Pendekatan multimodal dalam tatalaksana nyeri kronik

2.7.1. FARMAKOTERAPI PADA NYERI KRONIKDalam menentukan terapi medikamentosa yang paling tepat diperlukan penilaian yang menyeluruh. Dari penelitian didapatkan bahwa penanganan yang cepat terhadap nyeri akut dapat menurunkan resiko terjadinya kronisitas, walaupun hal ini bukan merupakan satu-satunya faktor predisposisi. Keadaan nyeri yang hebat mungkin ditimbulkan oleh suatu proses inflamasi atau dapat juga merupakan suatu nyeri neuropatik. Dalam beberapa kasus nyeri tertentu, pasien mencapai derajat analgesia yang memuaskan dengan pemberian antidepresan. Penggunaan obat opioid dalam jangka lama bukanlah jalan keluar yang terbaik untuk pengelolaan semua jenis sindom nyeri.

Gambar 10. Skema aksi kerja analgetik

Konsep analgesia multimodal merupakan pendekatan farmakologi dengan menggunakan dosis kecil dari beberapa obat berbeda yang saling bersinergi untuk mencapai perbaikan derajat nyeri yang maksimal dengan efek samping yang minimal dengan memperhatikan interaksi antar obat dan kondisi pasien.

Dalam penatalaksanaan nyeri nosiseptif dikenal beberapa golongan obat, antara lain golongan non opioid analgetik dan opioid. WHO membuat suatu acuan untuk pemakaian obat-obatan yang rasional sesuai dengan derajat nyeri yang dirasakan. Pemakaian pedoman ini terutama untuk menangani masalah nyeri nosiseptif.Tabl 6 . Penggunaan analgetik menurut tahapan analgetik WHO

Seseorang dicurigai menderita nyeri neuropatik ketika nyeri dikeluhkan sebagai terbakar, tertembak, tertusuk-tusuk, tajam, diris-iris, atau sensasi yang aneh. Pada pemeriksaan fisik kadang tidak ditemukan kerusakan jaringan yang nyata. Analgesik konvensional sering tidak efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik. Obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri neuropatik disebut analgetik adjuvant karena indikasi utama obat ini adalah bukan untuk nyeri (antidepresan, antikonvulsan, antihipertensi).2.7.1.1. NON OPIOID ANALGESIK

Obat golongan ini umumnya digunakan sebagai analgesia nyeri dengan derajat ringan sampai sedang. Obat-obatan ini memiliki ceiling effect, yaitu suatu keadaan/dosis dimana peningkatan dosis lebih lanjut tidak akan lagi menambah efek analgesianya. Berdasarkan susunan kimiawinya, analgesia golongan ini terdiri dari salicylates (asam asetilsalisilat), anthranilates (asam mafenamat), arylacetic acids (diclofenac, indometasin), arylpropionic acids (ibuprofen, ketorolac), pyrazolinone (metamizole), paraamino phenol (paracetamol), acidic enolic compounds (piroxicam, meloxicam), dan coxib (celexocib) PARACETAMOL

Paracetamol mempunyai sifat analgesia dan antipiretik. Obat ini bekerja secara sentral di hipothalamus, namun mekanisme kerja dari obat ini belum jelas sepenuhnya. Obat ini mungkin mempunyai aksi pada sistem serotoninergik dan di perifer berpengaruh pada kemoreseptor yang sensitif terhadap bradikinin. Dosis lazim 15 mg/kgbb 4 gram/hari peroral atau intravena. Berdasarkan evidence base, paracetamol efektif pada nyeri kronik, terutama kasus osteoarthritis. Hepatotoksik merupakan efek samping dari paracetamol, oleh karena itu perlu kewaspadaan dan penurunan dosis pada pasien dewasa bertubuh kurus, anak-anak, dan pemakaian bersama alkohol. nonsteroidal anti inflamamtory drugs (NSAIDs)

Golongan obat analgetik ini juga bekerja sebagai antipiretik dan anti inflamasi dengan menghambat enzim Cyclooxygenase (COX) yang diperlukan dalam sintesa prostaglandin dan tromboxan. Nyeri yang berasal dari proses inflamasi memberikan respon yang baik terhadap obat anti inflamasi. Terdapat 2 COX isoform yaitu COX1 dan COX2. NSAIDs tradisional merupakan inhibitor non selektif COX1 dan COX2 (contoh: diclofenac, indometasin, ibuprofen, ketorolac, piroxicam), sedangkan generasi yang baru merupakan inhibitor selektif COX2 (contoh: meloxicam, coxib).

Gambar 11. Mekanisme kerja NSAIDsTabel 6. Dosis beberapa obat golongan NSAIDs

Tabel 7. Efek samping obat golongan NSAIDs

Induksi sentral COX secara luas mengakibatkan hilangnya gairah, selera makan, nyeri yang dirasakan di seluruh tubuh, perubahan mood, dan gangguan siklus tidur, oleh karenanya pemberian nonsteroidal anti inflamamtory drugs (NSAIDs) dapat memberikan manfaat yang memuaskan untuk keadaan tersebut. Namun demikian, pasien yang mendapatkan terapi jangka panjang dengan obat golongan ini harus dimonitor mengenai efek samping obat, antara lain berupa pendarahan gastrointestinal, komplikasi kardiovaskuler, dan ginjal.2.7.1.2. OPIOID

Istilah opioid digunakan untuk semua obat sistetis maupun natural yang mempunyai aksi kerja pada reseptor opioid di sistem saraf sentral maupun perifer. Opioid dapat dibedakan menjadi : Opiat: derivat obat dari alkaloid tumbuhan opium, contohnya morfin

Opioid endogen: opioid dalam tubuh manusia, contohnya endorfin

Opioid semi sintetik: contohnya oxycodone

Opioid full sintetik: contohnya fentanyl

Aksi analgetik dari opioid terjadi terutama pada reseptor mu (), namun pada derajat yang berbeda juga terjadi pada reseptor kappa (k) dan delta (). Golongan ini bekerja dengan memperkuat jalur analgesia endorfin intrinsik, namun obat ini juga berdampak pada jalur dopaminergik mesolimbik, sehingga dapat menimbulkan ketergantungan.

Peresepan opioid ditujukan pada penatalaksanaan nyeri dengan derajat sedang sampai berat, dan pasien harus diingatkan mengenai efek samping obat, khususnya ketika direncanakan akan digunakan dalam jangka panjang. Opioid dimulai dengan dosis kecil peroral, kemudian dinaikkan sampai mencapai analgesia yang diinginkan.

Efek samping yang sering dijumpai berupa konstipasi, mual, drowsiness, pruritus, dan depresi pernafasan. Pemberian opioid yang berkepanjangan dapat menyebabkan imunosupresi, melalui stimulasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, yang mengganggu fungsi limfosit. Penggunaan jangka panjang juga menekan produksi gonadotrofin dan testosteron sehingga menimbulkan masalah disfungsi seksual dan keseimbangan mood. Walaupun jarang, opioid dapat menginduksi hiperalgesia sehingga penambahan dosis akan memperberat keluhan nyeri.Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum pemberian opioid diantaranya adalah:

Opioid hanya diberikan jika modalitas analgetika yang lainnya gagal Riwayat penyalahgunaan obat, kepribadian patologis, kondisi rumah dan lingkugan yang tidak mendukung harus dipertimbangkan sebagai kontra indikasi relatif

Persetujuan dan edukasi pasien mengenai resiko ketergantungan, penyimpangan kognitif yang mungkin terjadi, dan efek samping.

Penggunaan opioid yang bertanggung jawab, baik peresepan, cara pakai, dosis, dan pengawasannya.

Tabel 8. Dosis opioid

2.7.1.3. ANALGETIK ADJUVANTAnalgesik adjuvant adalah obat-obatan yang indikasi primernya bukan untuk mengatasi nyeri namun memberikan efek analgesia pada kondisi nyeri tertentu. Analgesik adjuvant diberikan pada pasien dengan tujuan

mengelola nyeri yang sukar disembuhkan dengan analgesik lain

untuk menurunkan dosis analgesik lain saat dipakai bersama dengan analgesik adjuvant sehingga dapat mengurangi efek samping

secara bersamaan mengelola keluhan selain nyeri.

Pada beberapa kondisi klinis tertentu, analgesik adjuvant memberikan hasil yang memuaskan sehingga dipakai sebagai obat lini pertama

Antidepresan

Antidepresan trisiklik merupakan pilihan lini pertama pada nyeri neuropatik karena keefektifannya. Satu dari tiga pasien mengalami perbaikan derajat nyeri lebih dari 50%. Amitriptyline dimulai dari dosis rendah (10-25 mg pada malam hari) dan bertahap ditingkatkan (sampai dengan 100 mg) sesuai toleransi pasien. Namun pada pasien lanjut usia harus digunakan dengan hati-hati karena efek sedasinya yang kuat, antikolonergik, dan hipotensi ortostatik. Pasien harus diberi penjelasan mengenai efek samping obat yang mungkin timbul dan onset analgesia yang diharapkan baru dapat dirasakan dalam beberapa minggu. Pasien harus mengerti bahwa pemberian obat golongan ini bukan karena dokter menganggap mereka mengalami gangguan jiwa.

Antikonvulsan

Bagi pasien yang tidak berespon memuaskan atau tidak dapat mentolerir antidepresi trisiklik, direkomendasikan untuk memakai obat alternatif dengan menambahkan analgetik opioid bersama antidepresi trisiklik atau menggantikannya dengan memulai terapi antikonvulsan berupa carbamazepine, fenintoin, atau gabapentin. Gabapentin dapat menjadi pilihan utama karena efek samping sedasi dan confusion lebih rendah.

Antikonvulsan memberikan efek analgesia dengan menstabilkan membran neuron pada sistem saraf pusat dan perifer. Beberapa antikonvulsan dilaporkan dapat meningkatkan GABA (Gamma Amino Butyric Acid) di sistem saraf pusat. Analgetik ini dipertimbangkan dapat diberikan lebih awal pada nyeri neuropatik yang bersifat seperti diris-menusuk (lancinating) dan nyeri hebat (paroxysmal).Tabel 9. Antidepresan dan antikonvulsan dalam manajemen nyeri kronik

Anksiolitik dan sedativeBenzodiazepin adalah depresan pada sistem saraf pusat dengan diduga mempunyai efek potensiasi GABA. Beberapa peneliti tidak menyarankan pemakaian benzodiazepine dalam jangka panjang karena kemungkinan terjadi penyalahgunaan obat dan penurunan kapasitas fungsional. Pemakaian berkepanjangan berdampak buruk pada perilaku (menjadi pemarah dan bermusuhan)

Diazepam dapat diberikan peroral 2-10 mg perhari. Clonazepam 0,5-1 mg maksimal 20 mg/hari dan Alprazolam 0,25-0,5 mg maksimal 4 mg/hari.

Gambar 12. Skema tatalaksana famakoterapi pada nyeri kronikAntispastisitas

Baclofen bekerja sebagai agonis pada reseptor GABA. Baclofen juga mempunyai aksi presinaps dengan menurunkan pelepasan transmitter yang mengeksitasi nyeri (mungkin termasuk substansia P) dari akhiran saraf aferen. Obat ini efektif pada kasus neuralgia trigeminal, sindroma nyeri miofascial, dan nyeri bersifat lancinating dan paroksismal yang disertai spasme otot. Dosis dimulai 5 mg 3 kali sehari. Efek samping obat ini berupa mual, confusio, drawsiness, dizziness, dan hipotensi. Baclofen tidak dianjurkan untuk dihentikan secara mendadak karena dapat menimbulkan kejang dan halusinasi.Steroid

Steroid memiliki anti inflamasi, mengurangi konsentrasi mediator inflamasi di jaringan, dan menurunkan letupan pada saraf yang cidera. Pada neoplasma tertentu yang peka terhadap steroid, obat ini mengurangi odem para tumor, memperkecil ukuran tumor, dan menurunkan tekanan terhadap jaringan sekitar. Obat yang dapat dipergunakan diantaranya deksametason, prednison, dan metilprednisolon.

Pemakaian steroid jangka panjang memberikan efek samping berupa sindroma cushing, pemambahan berat badan, hipertensi, osteoporosis, miopati, peningkatan resiko infeksi, hiperglikemia, peptic ulcer, dan avaskuler nekrosis kaput femur.

Analgetik TopikalAnalgetik ini dapat dipakai pada kasus nyeri neuropatik yang disebabkan kelainan saraf perifer dan disestesia berkepanjangan. Absorbsi sistemik yang minimal bermanfaat pada pasien lansia dengan penyakit komorbid dan kesulitan mentolerir efek samping obat sistemik. Beberapa obat dari golongan ini diantaranya krim capsaicin, lidokain, prilokain, dan krim yang mengandung NSAIDs (aspirin, diklofenak, dan indomethasin)Anestesi lokal

Anestesi lokal bekerja dengan menstabilkan membran neuron, memblok depolarisasi potensial aksi, dan mesupresi aktifitas listrik abnormal yang ditimbulkan sel saraf. Semua jenis anestesia lokal tidak dapat diberikan pada penderita gagal jantung berat dan aritmia. Sediaan golongan ini diantaranya lidokain dan prokain parenteral maupun sediaan topikal.

Antihipertensi

Clonidine adalah agonis 2 adrenergik dan 1 adrenergik bloker yang dapat bermanfaat pada bermacam-macam sindroma nyeri neuropatik, migrain, nyeri paska operasi, nyeri hebat pada neuropati diabetes, neuralgia post herpestika, nyeri tungkai nokturnal, causalgia, dan kanker. Aksi kerja obat ini berhubungan dengan inhibisi letupan lintasan nosiseptor pada kornu posterior medula spinalis. Clonidine merupakan lini ke dua pada penanganan nyeri kronik, setelah NSAIDs, antidepresan, atau obat lain gagal. Nifedipine bekerja dengan memblok kanal kalsium sehingga menyebabkan vasodilatasi. Obat ini dapat dipakai pada kasus causalgia dan sindroma Raynauds. Nifedipine diberikan peroral 10-30 mg tiga kali perhari.

Obat antihipertensi lain yang dapat dipakai dalam penatalaksanaan nyeri kronik antara lain propranolol, reserpine, phenoxybenzamine, dan prazosin.

2.7.2. REHABILITASI MEDIK PADA NYERI KRONIK

Tujuan utama pendekatan rahabilitasi dalam penatalaksanaan nyeri kronik adalah untuk mengurangi nyeri dan mengembalikan kapasitas fungsional seseorang. Seorang fisiatris memegang peran yang sangat penting dalam menilai, memanajemen nyeri kronik, dan memimpin tim rehabilitasi. Secara lebih terperinci goal penatalaksanaan dalam manajemen nyeri kronik adalah sebagai berikut:

1. memelihara dan memaksimalkan fungsi dan aktifitas fisik

2. mengurangi penyalahgunaan dan ketergantungan akibat obat-obatan, prosedur invasif, dan modalitas pasif lainnya, serta membantu pasien menjadi lebih aktif dalam menolong dirinya sendiri.

3. mengembalikan derajat aktifitas seperti semula baik di rumah, di tempat kerja, dan dalam pemanfaatan waktu luang.

4. Menurunkan intensitas nyeri subyektif dan perilaku maladaptasi terhadap nyeri.

5. Membantu pasien dalam menyelesaikan masalah kerja yang berkaitan dengan kondisi nyeri.

Gambar 13. Pendekatan biopsikososial pada nyeri kronikPendekatan biopsikososial merupakan suatu metode penatalaksanaan yang terbaik. Hal ini didasari bahwa nyeri kronik bukan hanya merupakan masalah anatomis saja akan tetapi pengalaman nyeri juga melibatkan faktor psikologis dan dipengaruhi lingkungan sosial

2.7.2.1. TERAPI FISIK

Fisioterapis menggunakan terapi latihan aktif maupun pasif, teknik manual, traksi, dan modalitas fisik untuk menangani masalah nyeri dan hubungannya dengan fleksibilitas, kekuatan, endurance, keseimbangan, kontrol neuromuskuler, postur, serta mobilitas. Terapi fisik dapat membantu membangun kepercayaan diri pasien, mengurangi ketakutan untuk bergerak dan kekawatiran terhadap cedera ulang,

Modalitas adalah agen-agen fisik yang digunakan untuk menghasilkan respon terapi pada jaringan. Modalitas tersebut antara lain pemakaian panas, dingin, air, suara, daya listrik, gelombang elektromagnetik (termasuk sinar infra merah, sinar tampak; shortwave; dan microwave), traksi, manipulasi, dan massage. Modalitas-modalitas tersebut umumnya digunakan sebagai terapi tambahan, bukan sebagai intervensi kuratif primer tunggal dalam penatalaksanaan nyeri kronik.

Pemilihan modalitas dipengaruhi oleh banyak faktor. Dengan mempunyai pemahaman mengenai modalitas akan membuat kita dapat membuat pemilihan yang tepat. Bentuk tubuh mempengaruhi pemilihan modalitas karena jaringan adiposa subkutan berdampak pada dalamnya penetrasi pada banyak modalitas. Kondisi komorbid juga sebaiknya dipertimbangkan. Sebagai contoh, baik dingin maupun panas dapat mengakibatkan efek yang buruk terhadap pasien yang mengalami insufisiensi arterial yang signifikan. Dingin dapat mengakibatkan efek yang buruk melalui vasokonstriksi arterial, dan panas dapat menyebabkan komplikasi melalui peningkatan aktivitas metabolik, yang dapat melampaui peningkatan potensial pada aliran darah dan menghasilkan iskemia. Umur juga menjadi faktor dalam pemilihan modalitas. Pada populasi pediatrik, umumnya ultra sonik (US) sebaiknya tidak mendekati epifise yang masih terbuka. Pada populasi orang lanjut usia, bisa terdapat komorbiditas yang akan mempengaruhi pemilihan modalitas. Jenis kelamin juga berperan dalam penggunaan modalitas, karena malformasi janin telah dilaporkan setelah penggunaan ultra sonik di dekat uterus gravid.

Modalitas ThermalBentuk modalitas panas dapat diklasifikasikan menurut kedalaman penetrasi dan bentuk transfer panas. Kedalaman penetrasi dibagi menjadi superfisial dan dalam. Panas superfisial meliputi hot packs, heating pads, paraffin baths, Fluidotherapy, whirlpool baths, dan radiant heat. Agen pemanas dalam (atau diatermi) meliputi US, shortwave, dan microwave. Mekanisme transfer panas terdiri dari konduksi, konveksi, radiasi, evaporasi, dan konversi. Konduksi adalah penghantaran energi panas antara dua benda dengan kontak langsung. Konveksi menggunakan gerakan suatu medium (seperti, air, udara, darah) untuk menghantarkan energi panas, meskipun transfer yang sebenarnya dari energi panas tetap dilakukan melalui konduksi. Radiasi adalah radiasi panas yang dipancarkan dari semua benda yang mempunyai suhu permukaan di atas nol absolut (-273,15C atau 459,67F). Evaporasi melibatkan perubahan bentuk dari cair menjadi gas, proses yang memerlukan energi panas. Evaporasi sebenarnya merupakan proses penguapan panas, dan berperan pada modalitas pendingin seperti vapocoolant sprays. Konversi adalah transformasi energi (seperti, suara, elektromagnetik) menjadi panas.

Tabel 10. Klasifikasi Berbagai Tipe Pemanas

Kedalaman

Mekanisme Utama

Transfer Panas

Hot packs/heating pads

Superfisial

Konduksi

Paraffin baths

Superfisial

Konduksi

Fluidotherapy

Superfisial

Konveksi

Whirpool baths

Superfisial

Konveksi

Radiant heat

Superfisial

Radiasi

Ultrasound

Dalam

Konversi

Shortwave diathermy

Dalam

Konversi

Microwave

Dalam

Konversi

Efek fisiologis dari panas adalah sebagai berikut:1. Hemodinamik

Meningkatkan aliran darah

Mengurangi inflamasi kronik

Meningkatkan inflamasi akut

Memperbesar edema

Meningkatkan perdarahan

2. Neuromuskular

Meningkatkan firing rate kelompok serabut Ia (gelendong otot)

Menurunkan firing rate kelompok serabut II (gelendong otot)

Meningkatkan firing rate kelompok serabut Ib (organ tendon Golgi)

Meningkatkan kecepatan konduksi saraf

3. Sendi dan jaringan penghubung

Meningkatkan ekstensibilitas tendon

Meningkatkan aktivitas kolagenase

Mengurangi kekakuan sendi

4. Lain-lain

Mengurangi nyeri

Relaksasi umumBerbagai kondisi yang yang menyebabkan modalitas panas tidak dapat diberikan adalah diatesis perdarahan, edema akut, jaringan parut yang besar, gangguan sensasi, keganasan, infeksi, penurunan kognisi atau komunikasi dimana pelaporan rasa nyeri tidak dapat diberikan

Modalitas dingin pada nyeri kronis diberikan pada kasus nyeri yang berkaitan dengan spastisitas. Pengaruh terapi dingin pada spastisitas berhubungan dengan menurunnya aktivitas gamma motor neuron dan selanjutnya berkurangnya aktivitas serabut aferen serta meningkatnya aktivitas organ tendon golgi. Aplikasi selama 10-30 menit atau lebih lama dapat menurunkan klonus dan tahanan terhadap regangan pasif.Hidroterapi

Hidroterapi adalah penggunaan air secara eksternal untuk tatalaksana disfungsi fisik. Efek terapi didapatkan dengan memanfaatkan sifat air berupa daya apung, densitas relatif, dan viskositas, suhu, dan agitasi. Daya apung akan membentuk latihan asistif (saat dilakukan gerakan mengarah ke permukaan air), dan latihan resistif (saat terjadi gerakan menjauhi permukaan air). Tekanan hidrostatik membantu sirkulasi dan menurunkan tendensi penumpukan darah pada bagian bawah tubuh. Densitas relatif memberikan dukungan pada tubuh atau tungkai dan lengan, sehingga menurunkan stress pada sendi yang menopang berat badan tubuh. Viskositas air yang rendah, akan membentuk friksi dengan gerakan berkecepatan rendah. Semakin meningkat kecepatannya, semakin meningkat pula turbulensi (tekanan positif) dan gaya tarik-menariknya (tekanan negatif). Jika terdapat friksi yang lebih besar, maka akan membuat gerakan semakin sulit. Efek termal dari hidroterapi sama dengan efek termal pada aplikasi terapi panas dan dingin lokal, kecuali efek yang lebih sistemik karena imersi permukaan tubuh yang lebih luas. Terapi dingin dapat menurunkan detak jantung dan dapat meningkatkan tekanan darah melalui vasokontriksi perifer. Efek panas dari hidroterapi dapat menurunkan tekanan darah karena kecendrungan terjadinya vasodilatasi. Laju nafas dapat meningkat baik oleh terapi panas maupun dingin. Metode transfer panas ataupun dingin adalah dengan konduksi dan konveksi.

Efek nontermal dari hidroterapi dapat dicapai melalui air yang dipompakan dari turbin, yang akan mengagitasi air dan membentuk pola masase dan debridement. Efek fisiologis dari agitasi air ini antara lain adalah meredakan nyeri dan spasme otot (melalui stimulasi mekanik dari reseptor kulit, yang akan beraksi sebagai alat atau sebagai stimulasi terhadap syaraf afferent sensoris yang luas, sehingga akan memblok input nyeri), debridement mekanik, dan memfasilitasi latihan. Jika hanya menghendaki efek mekanik dari hidroterapi, maka air yang dibuat pada suhu netral (33-36C) akan diterima dengan baik. Indikasi dari hidroterapi antara lain adalah pada tatalaksana luka dan luka bakar, mobilisasi otot, setelah gips dilepas, rheumatoid arthritis, dan spasme otot. Kontraindikasi dan preukasi umum sama dengan terapi panas dan dingin, kecuali hidroterapi dapat digunakan pada kulit luka terbuka dan terinfeksi selama tong tempat penyimpanan air disterilisasi.

Laser dingin tenaga rendah (low-power cold laser)

LASER adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation (amplifikasi cahaya yang distimulasi oleh emisi radiasi). Laser dapat mengeluarkan photon (partikel-partikel energi dari cahaya) yang dapat berinteraksi dengan molekul biologis untuk menghasilkan reaksi termal atau kimiawi di dalam tubuh yang diinduksi oleh cahaya. Pada rehabilitasi medis, cold laser yang sering dipakai dihasilkan oleh gas helium-neon (Laser He-Ne) atau dari semikonduktor gallium-arsenit (Laser Ga-As).

Efek fisilogis dari cold laser adalah memfasilitasi penyembuhan luka atau ulkus dengan menstimulasi fibroblast; meningkatkan kekuatan penutupan luka yang diterapi laser, meningkatkan fagositosis limfosit dengan efek bakterisidal; meningkatkan akivitas limfosit T dan B; mereduksi edema dengan menurunkan prostaglandin E2 (PG E2); mereduksi formasi jaringan parut dengan mendorong terjadinya epitelisasi dengan sedikit materi eksudat dan memperbanyak pembentukan jaringan kolagen yang teratur; mengurangi nyeri dengan menurunkan amplitudo potensial aksi dan menurunkan velositas konduksi sensoris; dan mendorong penyembuhan luka dengan mendorong remodeling kartilago artikuler dan tulang.

Kontraindikasinya adalah jaringan kanker, stimulasi secara lansung ke mata (dapat menyebabkan retina terbakar), dan kehamilan pada trimester pertama. Dosis yang biasa dipakai adalah 0.5-3 J/cm2 untuk kondisi-kondisi yang kronik sebanyak 3-6 kali tindakan. Elektroterapi

Adalah terapi yang menggunakan arus listrik untuk menstimulasi syaraf atau otot atau keduanya secara transkutaneus menggunakan elektroda-elektroda permukaan. Efek fisiologisnya adalah kontraksi kelompok otot yang dapat meningkatkan lingkup gerak sendi, melatih otot, meningkatkan kekuatan otot; meningkatkan sirkulasi dengan meredakan nyeri dan spasme otot melalui efek pompa otot, mengalirkan polipeptida dan neurotransmitter (seperti -endorphin, dopamine, enkefalin, polipeptida vaoaktif intestinal, dan serotonin), menghambat serabut-serabut nyeri melalui serabut syaraf perifer besar tipe A (teori gate controldan teori central biasing), penyembuhan luka dan osteogenesis (melalui remodeling dan regenerasi jaringan), dan untuk menghantarkan ion-ion medikasi melalui kulit (ionthoporesis).

Indikasi klinisnya adalah tatalaksana nyeri kronik, nyeri neurogenik kronik, dan nyeri sistemik luas), tatalaksana efusi sendi dan edema intersisial (akut dan kronik), menangani spasme otot, disuse atropi otot, ulkus kulit dan luka; dan gangguan sirkulasi (insufisiensi vena, gangguan neurovaskuler).

Kontraindikasi umumnya adalah kerusakan sirkulasi (seperti thrombosis vena atau arteri dan thrombophlebitis), stimulasi pada sinus karotikus, stimulasi pada area jantung (terutama pasien yang menggunakan pacemakers), kehamilan, gangguan kejang, fraktur yang baru, perdarahan aktif, dan keganasan. Pemakaian harus hat-hati karena dapat menyebabkan luka bakar dan tidak boleh digunakan pada kulit dengan penurunan sensasi.

Traksi tulang belakang

Adalah usaha menarik dengan kekuatan tertentu, yang digunakan pada vertebra cervical atau lumbal, untuk menghasilkan efek-efek berikut ini: distraksi sendi vertebrae; mencegah dan menghilangkan adhesi disepanjang dural sleeves, akar saraf, dan struktur kapsul disekitarnya; mereduksi kompresi dan iritasi pada akar saraf dan diskus; meningkatkan sirkulasi disepanjang ruang epidural dari foramen akar saraf; mereduksi nyeri, inflamasi, dan spasme otot. Indikasi klinis yang paling sering dari traksi tulang belakang adalah untuk meredakan nyeri dan herniasi diskus, dengan atau tanpa komplikasi kompresi akar saraf. Traksi cervical atau lumbal merupakan kontraindikasi bagi spondilitis myelopati, keganasan (lesi litik), osteopenia, infeksi tulang belakang (discitis dan TB), cedera jaringan lunak akut, deformitas vertebra kongenital, hipertensi atau penyakit kardiovaskuler, dan pada pasien yang tegang dan tidak dapat rileks. Kontraindikasi lain untuk traksi cervical adalah instabilitas ligament cervical (contohnya pada rheumatoid arthritis, Down syndrome, atau pasien dengan hipermobilitas sendi), subluksasi axial dengan penekanan pada medula spinalis, insufisiensi arteri vertebrobasiler, aterosklerosis arteri karotis atau arteri vertebralis, dan whiplash injury akut. Kondisi-kondisi tersebut biasanya terlihat pada pasien lanjut usia, sehingga traksi tulang belakang harus digunakan dengan pengawasan ketat pada lansia. Pada traksi lumbal, kontraindikasi lainnya (yang mengarah pada pengunaan harness dada atau perut) termasuk kehamilan, kompresi cauda equina, aneurisma aorta, ulkus peptida aktif, hiatus hernia, dan hernia-hernia lainnya, dan penyakit paru restriktif atau gangguan pernafasan lainnya.

Parameter-parameter yang perlu diperhatikan adalah posisi traksi, berat beban yang hendak digunakan, durasi, dan pemberian kontiyu, atau intermittent. Yang paling penting, pasien harus merasa nyaman dan traksi tersebut tidak boleh menyebabkan nyeri yang lebih jelek dari sebelumnya.

Traksi tulang belakang biasanya digunakan dalam konjuksi dengan modalitas lain, seperti relakasasi, contohnya masase dan pemanasan. Pasien-pasien yang menerima traksi harus diberikan latihan-latihan reedukasi postural untuk mempertahankan efek dari traksi. Jika gejala yang dirasakan pasien memburuk atau tidak ada peningkatan penyembuhan setelah dilakukan traksi dalam 6-8 sesi, traksi tidak boleh dilanjutkan.

Terapi Latihan

Terapi latihan adalah aktifitas fisik, sikap tubuh, atau pergerakan tubuh secara menyeluruh yang dilakukan secara sistematik dan terencana dengan tujuan untuk:

1. mencegah atau memperbaiki impairment

2. meningkatkan, mengembalikan, atau memperbaiki fungsi tubuh

3. mencegah atau menurunkan faktor resiko suatu penyakit, meningkatkan kebugaran, status kesehatan secara menyeluruh baik fisik maupun mental.

Latihan mobilitas diberikan untuk memelihara atau mengembalikan mobilitas dari jaringan lunak (otot, jaringan ikat, dan kulit) dan sendi sehingga pasien dapat melakukan aktivitas normal. Latihan ini dapt dilakukan secara pasif, aktif, atau akrif assisted. Latihan mobilitas diberikan kepada penderita nyeri dengan tujuan :

Mengurangi ketegangan otot dan membuat tubuh terasa lebih relaks.

Membantu gerakan yang lebih bebas dan lebih mudah.

Memelihara atau memperluas rentang gerak sendi.

Membantu mencegah cedera seperti kram otot. (Otot yang kuat dan lentur dapat menahan beban lebih baik daripada otot yang kuat tapi kaku)

Membuat aktivitas yang berat, seperti berlari, bermain ski, bermain tenis, berenang, dan bersepeda, menjadi lebih mudah dilakukan, karena peregangan akan menyiapkan tubuh untuk beraktivitas. Latihan ini merupakan cara untuk memberi tahu otot bahwa sebentar lagi akan digunakan.

Membantu mempertahankan tingkat kelenturan, sehingga dengan berjalannya waktu, penderita tidak akan menjadi semakin kaku.

Latihan endurance merupakan latihan yang bertujuan untuk meningkatkan pemakaian energi dalam otot. Latihan endurance bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk melakukan aktifitas sehari-hari yang berulang dan berkepanjangan, serta mencegah dan memperbaiki deconditioning. Gerakan latihan harus melibatkan kelompok otot-otot besar, dilakukan dengan repitisi yang tinggi dan beban ringan. Latihan endurance diberikan dengan frekuensi seminggu 3-5 kali dengan lama latihan 30 menit dengan intensitas 60-80% dari denyut jantung.

Gambar 14. Manfaat dari latihan aerobik

Pada keadaan nyeri kronik yang berhubungan dengan kelemahan otot, latihan penguatan dapat diberikan. Latihan penguatan dapat berupa latihan isotonik, isometrik maupun isokinetik. Latihan penguatan dilakukan dengan prinsip overload, yaitu beban yang diberikan saat latihan harus melebihi beban yang dapat menyebabkan kelelahan otot.Manipulasi

Manipulasi adalah suatu tindakan pasif, gerakan mekanis yang dilakukan pada sendi tertentu atau pada suatu segmen sendi, untuk mengembalikan lingkup gerak atau ekstensibilitasnya, dan untuk mengurangi nyeriHipotesis yang menerangkan mekanisme manipulasi dalam meredakan nyeri diantaranya relaksasi mekanis atau relaksasi refleks dari jaringan lunak yang mengarah pada pemulihan dari lingkup gerak vertebrae, menormalisasi penonjolan diskus dengan kekuatan menghisap yang diciptakannya atau dengan stretching ligamentum longitudinal posterior, yang akan mendorong material diskus secara anterior, menjauhi stuktur-struktur yang peka nyeri, dan mengubah input proprioseptik yang menuju ke medula spinalis, sehingga menyebabkan pintu nyeri tertutup.Masase

Merupakan stimulasi sistematik dan mekanis dari jaringan lunak pada tubuh dengan memberikan tekanan ritmik dan stretching untuk tujuan terapeutik. Efek fisiologis dari masase dapat berupa efek mekanis (yaitu peningkatan arus balik vena / venous return dan drainase limfatik, penglepasan adhesi dan melembutkan jaringan parut, dan menghilangkan sekresi) maupun efek refleksif (yaitu peningkatan sirkulasi melalui refleks vasodilatasi, relaksasi general dan efek sedatif, peningkatan perspirasi dan sekresi glandula sebacea, dan mengurangi nyeri yang mungkin dengan pengendalian gerbang atau mengalirkan opiate endogen aatau neurotransmitter). Ekstremitas yang terbaring dengan santai juga memiliki efek-efek fisiologis dan dapat mendorong sensasi dari rasa nyaman yang general.

Kontraindikasinya meliputi segala kondisi inflamasi dari kulit, jaringan lunak, atau sendi, yang mengarah pada infeksi bakterial (phlebitis, cellulitis, synovitis, abses, arthritis septis), luka terbuka, luka bakar, penyempitan syaraf (seperti carpal tunnel syndrome), bursitis, rheumatoid dan gouth arthritis, rheumatic fibrositis, panniculitis (radang lemak subkutan), arteriosclerosis , thrombosis atau emboli vena, varicose vena berat, gangguan pembekuan darah (atau sedang menggunakan antikoagulan), fraktur, dan keganasan.2.7.2.2. TERAPI OKUPASIOkupasi terapi khususnya berfokus pada edukasi pasien mengenai postur yang sesuai dan ergonomis, aktivitas ekstrimitas yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari hari, dan memfasilitasi seseorang untuk memilih atau kembali ke pekerjaan yang sesuai. Terapis okupasional harus dilibatkan sejak awal untuk mengindentifikasi masalah pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan, menganalisa dan memberikan saran dalam memodifikasi pekerjaan dan jika perlu memberikan pelatihan.

2.7.2.3. PSIKOTERAPINyeri yang menetap mempengaruhi komponen emosional pasien serta seringkali disertai dengan depresi dan/atau kecemasan. Faktor-faktor psikologis memainkan peranan yang signifikan terhadap nyeri kronik dan dalam masa transisi nyeri akut menjadi nyeri kronik, dan bukti neurosains serta bukti klinis memperlihatkan hubungan yang erat antara nyeri dan status mood.

Depresi dapat meningkatkan gangguan yang terkait-nyeri dan menyebabkannya menetap. Penelitian mengungkapkan bahwa nyeri dan depresi merupakan komorbid yang sering dijumpai. Depresi yang meningkat berhubungan dengan peningkatan kelainan yang terkait-nyeri. Prediktor depresi pada nyeri kronik diantaranya insentisitas nyeri, luas area yang dikeluhkan, frekuensi nyeri yang dikeluhkan, dan beberapa faktor yang berhubungan dengan psikososial. Pasien yang mengalami depresi dapat mengalami derajat nyeri yang lebih tinggi, kurang aktif, dan mengalami penurunan kapasitas fungsional normal.

Penilaian dan intervensi terapi psikologi difokuskan pada faktor kognitif dan behavioral yang berhubungan dengan nyeri. Faktor psikologi yang terlibat dalam perkembangan dan adaptasi menjadi nyeri kronik diantaranya kecemasan, perasaan tidak bisa ditolong, sifat menghindar, dan perasaan menganggap nyeri sebagai bencana. Faktor yang dapat memberikan perbaikan dalam nyeri kronik diantaranya self efficacy, pain coping strategy, kesiapan untuk berubah dan dapat menerima keadaan sakitnya.

Penggunaan modalitas psikologi sebagai tambahan terhadap intervensi medik dan terapi fisik dapat meningkatkan efektivitas program penanganan nyeri kronik. Penanganan psikologi pada nyeri kronik termasuk edukasi psikologi, psikoterapi, biofeedback, dan latihan relaksasi, dan konseling vokasional. Pendekatan perilaku kognitif terhadap nyeri kronik sangat tergantung pada pelatihan keterampilan dan intervensi psikoedukasional. Psikoterapi secara kelompok berhasil meningkatkan kemampuan pasien dalam rehabilitasi nyeri. Terapi secara individual dan terapi keluarga merupakan intervensi lain yang sering digunakan pada pasien nyeri kronik untuk menangani stres psikososial yang mendasari. Baru baru ini sebuah argumen yang kuat digunakan untuk melibatkan anggota keluarga dan orang lain yang signifikan dalam proses evaluasi dan penanganan.

Teknik psikoterapeutik digunakan dalam mengobati pasien nyeri kronik meliputi hal-hal:

Pengetahuan tentang nyeri

Psikoterapi suportif untuk memberikan semangat pada pasien menjalani strategi pengobatan.

Terapi perilaku kognitif, yang berfokus pada kognisi pasien yang maladaptif bersamaan dengan teknik perilaku, seperti terapi relaksasi dan latihan ketegasan.

Terapi perilaku, berdasarkan pada teori perilaku dan teori belajar sosial.

Terapi interpersonal, yang berfokus pada kehilangan, peran transisi dan perselisihan, defisit sosial, dan faktor-faktor interpersonal lainnya berdampak pada berkembangnya depresi.

Psikoterapi dinamis, dimana hubungan dengan terapist memberikan konteks yang sifatnya mengoreksi pengalaman emosional.

Terapi keluarga dan terapi pasangan, yang mana menunjukkan fakta bahwa nyeri kronis adalah suatu masalah mengganggu akan mempengaruhi keseluruhan keluarga.

Terapi kelompok, yang mana dapat bersifat mendidik dan/atau psikoterapeutik.

Di dalam praktek klinis, psikoterapis membedakan kombinasi pendekatan tersebut untuk dicocokkan dengan kebutuhan pasien.

Terapi Perilaku Kognitif

Terapi perilaku kognitif (CBT/Cognitive behavioral therapy) berdasar pada teori bahwa meyakini hal-hal yang irrasional dan sikap yang menyimpang ke arah diri sendiri, lingkungan, dan depresi yang menetap.

Studi klinis menunjukkan bahwa CBT merupakan metode pengobatan yang efektif pada depresi ringan dan sedang serta mengurangi gangguan terkait-nyeri pada kelainan nyeri.

Tujuan diberikannya CBT adalah untuk mengurangi depresi dengan cara menantang sikap dan kepercayaan ini.

CBT dapat membantu pasien mengenali bahwa respon emosional terhadap nyeri sangat dipengaruhi oleh pikiran dan bahwa mereka dapat melatih mengendalikan gangguan yang diproduksi oleh suatu peristiwa hidup tak terelakkan atau penyakit kronis.

Beberapa penyelidik merekomendasikan memberikan CBT sedini mungkin dari perlangsungan penyakit untuk meningkatkan percaya diri pasien dalam menangani gejala dan dalam kemampuan mereka untuk mengurangi penggunaan alat bantu kesehatan.

Terapi Perilaku

Terapi perilaku menggunakan manajemen kontingensi atau operant conditioning untuk membantu pasien memodifikasi nyeri-terkait perilaku.

Metode ini dapat juga membantu merehabilitasi nyeri pasien dengan terus meningkatkan kemampuan fungsional mereka.

Psikoterapi Interpersonal

Psikoterapi interpersonal (IPT/Interpersonal Therapy), dikembangkan untuk penatalaksanaan depresi, yang bekerja dengan asumsi bahwa, karena adanya gejala yang terjadi dalam konteks sosial, menunjukkan sebuah masalah atau banyak masalah dalam kehidupan interpersonal pasien dapat membantu menghilangkan gejala.

IPT untuk berfokus pada:

Kedukaan (suatu reaksi terhadap kematian orang yang dicintai)

Peran transisi (menyerah dari peran sosial lama dan menyesuaikan ke bentuk yang baru)

Peran perselisihan (kesukaran dalam membangun hubungan dari harapan yang tidak sesuai)

Peran defisit (suatu kekurangan hubungan interpersonal)

Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan pada pasien nyeri kronik yang memiliki gejala dan ketidakmampuan menempatkan mereka dalam status transisi peran yang tetap akibat depresi atau kecemasan.

Psikoterapi Psikodinamik Psikoterapi psikodinamik meliputi semua intervensi psikoterapeutik yang membagi dasarnya dalam teori psikodinamik mengenai penyebab kerentanan terhadap masalah psikologis.

Bentuk psikoterapi ini paling sering digunakan jangka panjang dan bertujuan mengurangi gejala dengan segera.

Latihan Relaksasi dan Biofeedback

Latihan relaksasi dan biofeedback merupakam metode penanganan perilaku yang telah berhasil digunakan untuk menangani banyak sindroma nyeri, termasuk miofasial dan nyeri yang diatur simpatetik. Beberapa teknik relaksasi bisa pada nyeri kronik, dua yang paling sering yaitu latihan autogenik dan relaksasi otot progresif.

Terapi relaksasi dapat dikerjakan oleh berbagai tim disiplin keilmuan termasuk didalamnya psikolog, fisioterapis atau perawat. Teknik yang digunakan diantaranya latihan respon relaksasi yang dipandu (penggunaan gambar atau suara sebagai media relaksasi), meditasi, dan hipnosis. Teknik tersebut membantu pasien untuk dapat berperan aktif untuk dapat menolong dirinya sendiri.

Tehnik distraksi

Tehnik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus yang lain. Tehnik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri. Saat seseorang menerima input sensori yang berlebihan maka hal tersebut dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan). Stimulus yang menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh menjadi berkurang. Peredaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulasi, Oleh karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan sentuhan mungkin akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indera saja.

Beberapa tehnik distraksi antara lain :

Distraksi visualMelihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandang an dan gambar termasuk distraksi visual.

Distraksi pendengaranDiantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara burung serta gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi pada nada dan irama lagu. Pasien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki.

Distraksi pernafasanPasien bernafas ritmik sambil memandang fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan pasien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan2.7.3. TINDAKAN MEDIS INVASIF DAN TERAPI RADIASITindakan invasif merupakan pilihan terakhir apabila penatalaksanaan non invasif gagal. Tindakan invasif dalam pengelolaan nyeri kronik antara lain:

Injeksi sendi dan soft tissue Blok saraf dengan obat anestesi atau neurolitik dengan phenol atau alkohol absolut

Tindakan bedah

Tindakan bedah saraf

Tehnik non destruktif

Memperbaiki dan mengembalikan kondisi fisilogis anatomis bagian tubuh yang rusak, contohnya antara lain release Carpal Tunel Syndrome, dekompresi Thoracic Outlet Syndrome

Tehnik destruktif atau interuptif

Contohnya neurotomi perifer, cordotomy Tehnik modulatori

Pemasangan implant untuk memasukkan obat analgesik, pemasangan implant alat stimulasi listrik.

Prosedur bedah muskuloskeletal

Contohnya joint replacement dan eksisi tumor

Terapi radiasi diberikan untuk mengatasi nyeri yang berasal dari jaringan lokal kanker primer atau metastatiknya. Yang termasuk terapi radiasi antara lain terapi radiasi lokal, wide field radiation therapy, dan radiofarmakoterapi (iodine-131 dan strontium-99).

BAB III

SIMPULAN

Nyeri kronik merupakan suatu keadaan abnormal dimana nyeri tidak lagi hanya menjadi gejala dari kerusakan yang sedang berlangsung, melainkan suatu keadaan dimana nyeri dan perilaku nyeri telah menjadi proses primer.

Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap lebih dari 3-6 bulan atau nyeri yang berlangsung lebih lama dari proses penyembuhannya yang normal, atau berhubungan dengan proses patologis kronis, atau nyeri rekuren dalam interval bulan atau tahun.

Selain aspek fisik, nyeri mempunyai komponen psikologikal. Pasien dengan nyeri kronik sering sulit ditangani dan menimbulkan rasa frustasi serta putus asa. Pendekatan terbaik adalah dengan menemukan dan mengatasi etiologi yang mendasari nyeri, meskipun hal tersebut tidak selalu ada dan tidak mudah untuk diidentifikasi.

Proses nyeri kronik melibatkan beragam jalur saraf, transmiter, reseptor, dan dipengaruhi kondisi psikologis dan lingkungan sosial. Hal tersebut menunjukkan kontrol nyeri yang optimal memerlukan pendekatan multimodal dengan menggunakan terapi analgesia dari berbagai multidisiplin dan interdisiplin keilmuan.

Peran fisik rehabilitasi medik dalam manajemen nyeri kronik adalah memelihara dan memaksimalkan fungsi dan aktifitas fisik, mengurangi penyalahgunaan dan ketergantungan akibat obat-obatan, prosedur invasif, dan modalitas pasif lainnya, serta membantu pasien menjadi lebih aktif dalam menolong dirinya sendiri, mengembalikan derajat aktifitas seperti semula baik di rumah, di tempat kerja, dan dalam pemanfaatan waktu luang, menurunkan intensitas nyeri subyektif dan perilaku maladaptasi terhadap nyeri, serta membantu pasien dalam menyelesaikan masalah kerja yang berkaitan dengan kondisi nyeri.

Dengan evaluasi dan penatalaksanaan yang memadai pasien dengan nyeri kronik diharapkan dapat mencapai keberhasilan yang masuk akal dalam memperbaiki kualitas hidupnya.DAFTAR PUSTAKA1. Stanos S, Tybursky M, Harden R. Chronic pain. In: Braddom RL. Physical medicine and rehabilitation. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p. 935-70.2. Walsh N, Dumitru D, Schoenfield L. Treatment of the patient with chronic pain. In: Delisa JA. Physical medicine and rehabilitation principles and practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005.p. 493-530.

3. Tan JC. Practical manual of physical medicine and rehabilitation. New York: Mosby Inc; 1998. p. 607-44.4. Argoff CE, McCleane G. Pain management secrets. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009.

5. Marcus DA, Cope DK, Deodhar A. An atlas of investigation and management chronic pain. Oxford: Clinical Publishing; 2009.6. Serpell M, Basler M, Chaudhari M. Handbook of pain management. London: Springer; 2009.

7. Whitten CE, Dinovan M, Cristobal K. Treating chronic pain new knowledge more choices. The Permanente Journal. 2005; 9(4): 9-18.

8. Carr DB. Physical rehabilitation in managing pain. Pain Clinical Updates. 1997; 5(3): 14-21.

9. Winterowd C, Beck AT, Gruener D. Cognitive therapy with chronic pain patients. New York: Springer Publishing Company; 2003. p.3-57.

10. Vadivelu N, Urman RD, Hines RL. Essentials of pain management. New York: Springer; 2011. p.31-74.

11. Lynch ME, Craig KD, Peng PW. Clinical pain management a practical guide. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2011.

12. Buschmann H, Christoph T, Friderichs E. Analgesics from chemistry and pharmacology to clinical application. Weinheim: Wiley-VCH; 2003.p. 13-121.

13. Kisner C, Colby L. Therapeutic exercise foundations and techniquea. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2002.14. Ramamurthy, Alanmanou, Rogers. Decision making in pain management. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006.p. 2-23.

15. Gallagher RM, Verma S. Biopsychosocial factors in pain medicine. In: Wallace MS, Staat PS. Pain medicine and management just the facts. New York: McGraw-Hill; 2005.p. 244-54.16. National Cancer Institute. Pain control support for people with cancer. New York: Nova Science Publishers Inc; 2009.p. 5-47.

17. Hadjistavropoulos T, Craig KD. Pain psychological perspectives. London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher; 2004.p. 13-5818. Jay Gw. Practical guide to chronic pain syndromes. New York: Informa Healthcare USA Inc; 2010.p. 327-397.

19. Geoffrey T, Aslam H. Spinal mechanisms of chronic pain. AJPM. 2006; 17: 27-43.20. Lenz FA, Casey KL, Willis WD. The human pain system experimental and clinical perspectives. Cambridge: Cambridge University Press; 2010.

21. Helme RD. Drug treatment of neuropathic pain. Australian Presciber. 2006; 29(3): 72-5.22. Curatolo M, Nielsen LA, Felix SP. Central hypersensitivity in chronic pain mechanisms and clinical implications. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2006; 7: 287302.23. Schatman ME, Campbell A. Chronic pain management guidelines for multidisciplinary program development. New York: Informa Healthcare USA Inc; 2007.24. Wilson PR, Watson P, Haythornthwaite J. Clinical pain management chronic pain. London: Hodder and Stoughton Limited; 2008.25. Stannard C, Kalso E, Ballantyne J. Evidence based chronic pain management. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2010.PAGE 1