laporan kasus - nyeri kronik lutut kanan dan diskrepansi pada laki-laki 48 tahun dengan...
TRANSCRIPT
Laporan Kasus November 2011
NYERI KRONIK LUTUT KANAN DAN DISKREPANSI PADA LAKI-LAKI 48 TAHUN DENGAN MELORHEOSTOSIS
ELIANA MUIS FARIDIN HP
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS ii
DAFTAR ISI
Lembar Judul ….. i
Daftar Isi ….. ii
I. Pendahuluan ….. 1
II. Laporan Kasus ….. 2
III. Pembahasan ….. 7
Ringkasan ….. 10
Daftar Pustaka ….. 11
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 1
NYERI KRONIK LUTUT KANAN DAN DISKREPANSI PADA LAKI-LAKI 48 TAHUN DENGAN MELORHEOSTOSIS
Eliana Muis, Faridin HP*
*Subdivisi Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
I. PENDAHULUAN
Melorheostosis adalah penyakit sclerosing mesodermal non-herediter bersifat jinak yang
menyerang tulang rangka dan jaringan lunak sekitarnya.1 Melorheostosis berasal dari bahasa Yunani,
melos=anggota gerak, rhein=mengalir, dan osteon=tulang.2 Umumnya, penyakit ini menyerang
tulang panjang, khususnya ekstremitas bawah. Tetapi, dapat pula menyerang tulang-tulang
ekstremitas atas, pelvis, tulang iga, vertebra dan yang jarang tulang wajah dan kepala.1,3,4 Penegakan
diagnosis melorheostosis berdasarkan karakteristik radiologis yaitu hiperostosis periosteal di
sepanjang korteks tulang panjang yang tampak menyerupai tetesan/aliran lilin cair. Karena itu,
melorheostosis dikenal pula dengan nama penyakit lilin tulang (candle wax diseases of the bones),
penyakit Leri dan osteosis eburnisans monomelica.1,2
Melorheostosis merupakan penyakit langka, yang dilaporkan pertama kali oleh Leri dan
Joanny tahun 1922.1,2,4,5 Hingga kini, baru dilaporkan sebanyak 400 kasus melorheostosis di seluruh
dunia, dimana sejumlah kasus terdiagnosis secara kebetulan.1,2,5,6 Di Indonesia sendiri, belum ada
publikasi kasus melorheostosis. Meski insiden yang pasti belum jelas, diperkirakan melorheostosis
menyerang sekitar 1 orang per 1 juta penduduk dunia. Tidak ada predileksi jenis kelamin maupun
ras. Pada hampir 50% kasus, displasia dimulai sejak usia kanak-kanak yang kemudian bermanifestasi
klinis di usia 20 tahun.1,2,5
Sampai saat ini, etiologi dan patogenesis melorheostosis belum jelas sepenuhnya.1,2,6 Salah
satu teori yang masih terus diteliti lebih lanjut yaitu defek mutasi gen LEMD3, atau disebut juga
sebagai MAN1, suatu protein membran dalam nukleus yang berperan pada proses morfogenik
tulang.1
Gejala klinis yang sering dikeluhkan yaitu nyeri kronik (neuralgia atau artralgia), rasa kaku,
keterbatasan gerak sendi atau bahkan deformitas. Nyeri kronik yang dikeluhkan sifatnya tidak terus-
menerus, diperberat oleh aktifitas dengan gradasi nyeri bervariasi mulai ringan sampai berat.5
Kelainan yang terjadi dapat segmental dan unilateral (hemimelic), menyerang hanya satu tulang
(monostotic), satu anggota gerak (monomelic) atau beberapa tulang (polyostostic). Berbagai
gangguan lain yang dilaporkan juga diderita oleh pasien melorheostosis adalah abnormalitas
mesodermal seperti hemangioma, nevi, malformasi arteriovenosus dan tumor glomus.1,2,3
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 2
Meskipun jinak dengan mortalitas rendah, perubahan osseous bisa menimbulkan morbiditas
fungsional. Jaringan lunak disekitarnya juga bisa mengalami berbagai kelainan, termasuk edema,
hiperpigmentasi kulit, fibrosis, eritema, skleroderma, timbul massa jaringan lunak, miosklerosis,
miositis, atrofi otot, kontraktur sendi dan bahkan mungkin berakhir dengan deformitas dan
diskrepansi tungkai permanen yang sulit untuk diterapi.1,4,5 Tatalaksana kasus melorheostosis
meliputi terapi konservatif dan operatif, serta bersifat multidisiplin diantaranya melibatkan ahli
reumatologi, rehabilitasi medis dan ortopedi. Berikut akan dilaporkan satu kasus langka
melorheostosis.
II. LAPORAN KASUS
Seorang pasien laki-laki, Tn. AS umur 48 tahun, asal Kendari, status pekerjaan pensiunan
PNS, status perkawinan menikah dan memiliki 3 orang anak, datang ke poliklinik Reumatologi RS
Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 1 Februari 2011, nomor rekam medis 455454 dengan keluhan
utama nyeri lutut kanan. Nyeri dirasakan hilang timbul sejak 10 tahun terakhir yang seringkali
memberat saat aktifitas seperti naik tangga, tidak dipengaruhi cuaca. Sifat nyeri awalnya berupa rasa
kram dan ‘ngilu’, lalu berubah menjadi nyeri tajam seperti ditusuk-tusuk. Nyeri juga dirasakan di
sendi pergelangan kaki, pangkal paha dan pinggul kanan. Nyeri pada lutut kanan semakin memberat
sejak 2 tahun lalu, disertai rasa kaku sendi-sendi tungkai kiri, hingga akhirnya pasien sulit berjalan
tanpa bantuan alat atau orang lain. Awalnya pasien hanya berobat ke tukang urut. Ketika mulai sulit
berjalan, baru kemudian pasien berobat ke ahli penyakit dalam dan dikatakan menderita
pengeroposan tulang, diberi obat Voltaren® 2x50 mg yang sejak itu dikonsumsi sendiri, tidak rutin,
sampai saat ini tanpa kontrol kembali. Tidak ada demam, batuk maupun sesak. Tidak ada mual atau
muntah, tetapi nafsu makan menurun sejak 2 tahun lalu dan berat badan juga menurun sekitar 5 kg
dalam 2 tahun terakhir. Tidak ada keluhan berkemih maupun defekasi. Riwayat timbul benjolan
kemerahan di lutut kanan kurang lebih 3 tahun lalu setelah mengalami kecelakaan lalu-lintas. Saat
itu pasien terjatuh dari sepeda motor dengan posisi miring kanan, terdapat luka-luka lecet di mata
kaki dan lutut, kemudian timbul benjolan di lutut kanan yang membaik setelah berobat ke tukang
urut. Tidak ada riwayat penyakit jantung, hipertensi atau diabetes. Tidak ada riwayat penyakit yang
sama dalam keluarga.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan penderita tampak sakit sedang, gizi cukup, sadar. Berat
badan 49 kg, tinggi badan 156 cm dengan indeks massa tubuh 20,13 kg/m2. Tekanan darah pada
lengan kiri 120/70 mmHg, nadi 78 kali/menit, regular dan kuat angkat, frekuensi napas 16 kali/menit,
suhu aksiler 36,7oC. Pada pemeriksaan kepala, leher, toraks maupun abdomen tidak ditemukan
kelainan.
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 3
Pada pemeriksaan sistim muskuloskeletal menggunakan metode GALS (gait, arm, leg, and
spine) didapatkan:
Gait Asimetris
Cara berdiri tidak normal, waddling gait
Tidak mampu berbalik cepat
Inspeksi dari belakang Tampak skoliosis ringan
Otot paraspinal normal dan simetris
Otot bahu dan gluteal normal dan simetris
Tinggi puncak iliaka asimetris (kanan > kiri)
Tidak tampak bengkak pada popliteal
Inspeksi dari samping
‘Touch toes’
Palpasi
Lordosis servikal dan lumbar normal
Kifosis torasik ringan
Fleksi tulang belakang dan pinggul tidak maksimal (30o)
Nyeri pada supraspinatus daerah lumbar, pinggul kanan
Arms
‘Arms behind head’
‘Arms straight’
‘Hands in front’
‘Turn hands over’
‘Make a fist’
‘Fingers on thumb’
Palpasi
Gerak sendi glenohumeral, sternoklavikular dan akromioklavikular
normal
Ekstensi siku maksimal
Tidak ada bengkak/deformitas pergelangan dan jari-jari tangan
Mampu ekstensi maksimal jari-jari tangan
Supinasi/pronasi normal, telapak tangan normal (tidak ada bengkak,
wasting otot dan eritema)
Kekuatan genggaman normal
Presisi halus normal/cekatan
Tidak ada nyeri metakarpal
Legs
‘Lying on a couch’
Tampak asimetris, bengkak tungkai kanan dibanding kiri
Fleksi panggul dan lutut kiri serta rotasi internal panggul kiri normal,
fleksi panggul kanan ±15o dan rotasi internal panggul kanan abnormal,
fleksi lutut kanan ±30o
Nyeri tekan (-) panggul kiri, (+) kanan
Nyeri tekan (-) patella kiri, (+) kanan efusi (-)
Nyeri tekan (-) metatarsal kiri, (+) kanan
Sudut popliteal kanan < kiri
A. Dorsalis pedis kanan dan kiri (+) teraba
Telapak kaki kanan dan kiri normal
Diskrepansi (+) (Gambar 1).
Spine
‘Head on shoulders’
Fleksi lateral servikal normal
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 4
Gambar 1. Pemeriksaan muskuloskeletal (legs)
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan lekosit 6.900/mm3, hemoglobin 13,4 g/dl,
trombosit 275.000/mm3, laju endap darah 7/16 mm, gula darah sewaktu 104 mg/dl, ureum 17
mg/dl, kreatinin 0,7 mg/dl, SGOT 16 mg/dl, SGPT 21 mg/dl, natrium 142 mEq/ml, kalium 3,8 mEq/ml,
klorida 105 mEq/ml, dan alkali fosfatase 127 mg/dl. Pada pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan
irama sinus, denyut jantung 80 kali/menit.
Pemeriksaan foto toraks menunjukkan paru dan jantung normal (Gambar 2). Dari
pemeriksaan foto pelvis, femur, cruris dan pedis sinistra et dekstra tampak hiperostosis kortikal dan
endosteal pada tulang-tulang ilium, sacrum, ischium, pubis, femur, patella, tibia, fibula,
talocalcaneal, tarsal-metatarsal dan phalanx kanan yang menyebabkan penebalan korteks bahkan
hingga ke endosteal, penebalan diameter tulang dan deformitas bentuk dari tulang-tulang tersebut
yang tersebar dari proksimal sampai distal tulang. Tidak tampak tanda-tanda fraktur pada tulang-
tulang tersebut diatas dan pada sendi yang tervisualisasi tidak tampak penyempitan maupun
obliterasi signifikan. Kesan sclerosing bone dysplasia pada ilium, femur, patella, tibia, fibula,
talocalcaneal, tarsal, metatarsal dan phalanx dekstra sesuai dengan melorheostosis (Gambar 3-11).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan radiologi, maka pasien ini didiagnosis
melorheostosis dan diterapi simtomatis dengan meloxicam 15 mg/hari, ditambah calcium 2
tablet/hari, diberi informasi dan edukasi mengenai progresi, tatalaksana komprehensif,
kemungkinan komplikasi dan prognosis penyakitnya, kemudian pasien juga dirujuk ke bagian
ortopedi dan rehabilitasi medis.
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 5
Gambar 2. Foto toraks
Gambar 3. Foto pelvis Gambar 4. Foto femur AP dan lateral
Gambar 5. Foto popliteal kanan dan kiri Gambar 6. Foto lateral sendi lutut kanan dan kiri
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 6
Gambar 7. Foto lateral sendi lutut kanan Gambar 8. Foto lateral sendi lutut kiri
Gambar 9. Foto AP cruris kanan dan kiri Gambar 10. Foto lateral cruris kanan dan kiri
Gambar 11. Foto pedis kanan dan kiri
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 7
III. PEMBAHASAN
Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Leri dan Joanny tahun 1922, berbagai hipotesis telah
dikemukakan sebagai dasar patogenesis melorheostosis. Dua yang utama yaitu (1) teori klasik oleh
Murray dan Mc Credie tahun 1979 yang menghubungkan antara melorheostosis dan sklerotom,
dimana melorheostosis mungkin timbul akibat lesi sensoris segmental oleh infeksi atau jejas
terhadap segmen neural crest saat embriogenesis; dan (2) teori oleh Fryns tahun 1995 yang
mengemukakan mosaicism sebagai kemungkinan penyebab displasia tulang sporadik.1,5-9 Hipotesis
hubungan antara melorheostosis dan sklerotom secara parsial mampu menjelaskan kecenderungan
manifestasi monomelic. Sedangkan hipotesis mosaicism dimana diduga terjadi mutasi post-zigotik
mesenkimal selain mampu menjelaskan manifestasi yang sporadik, juga adanya perubahan vaskuler
dan hamartom jaringan lunak sekitar dan keseimbangan rasio gender.1,7
Berdasarkan temuan radiologis pada kasus ini, manifestasinya adalah monomelic. Beberapa
literatur mengatakan bahwa varian monomelic adalah presentasi terbanyak (66-81%).1,9,11 Campbell
dkk.dikutip dari 9, melaporkan 8 dari 14 pasien melorheostosis memiliki manifestasi monomelic, dan
Morris dkk.dikutip dari 9, menemukan bahwa 81% dari 131 pasien melorheostosis memiliki manifestasi
monomelic. Berbagai laporan juga mengemukakan kejadian malformasi vaskuler dan limfatik pada 5-
17% kasus melorheostosis.1,7,8,10
Berdasarkan pemeriksaan radiologis sederhana, diagnosis melorheostosis sudah dapat
ditegakkan. Pemeriksaan CT-scan dan MRI jarang diperlukan, sedangkan scintigraphy mampu
memperjelas lesi tulang dan jaringan sekitar berdasarkan peningkatan tracer uptake.10
Tanda patognomonik melorheostosis pada pemeriksaan radiologis yaitu hiperostosis
periosteal di sepanjang korteks tulang panjang yang tampak menyerupai tetesan/aliran lilin cair (the
dripping candle wax sign).12 Tanda klasik ini tidak selalu tampak jelas pada semua pasien, karena itu
Freyschmidt mengemukakan 3 tanda tambahan, yaitu: (1) gambaran mirip osteoma dengan
hiperostosis pada aspek dalam atau luar dari tulang yang terserang (merupakan gambaran yang
paling banyak ditemukan oleh Freyschmidt); (2) gambaran mirip osteopathia striata yang
menunjukkan hiperostotik striation pada aspek dalam korteks 2 tulang atau lebih; dan (3) gambaran
mirip miositis osifikans pada 2 tulang atau lebih unilateral dengan atau tanpa hiperostosis
intraosseous.1,6 Pada penyakit tahap lanjut, dapat ditemukan gambaran hiperostosis endosteal
dengan obliterasi rongga meduler parsial maupun komplit, bahkan overgrowth tulang.1 Pasien ini
sudah dapat dikategorikan ke dalam melorheostosis tahap lanjut berdasarkan gambaran
hiperostosis kortikal dan endosteal pada tulang-tulang ilium, femur, patella, tibia, fibula,
talocalcaneal, tarsal-metatarsal dan phalanx kanan.
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 8
Meski tergolong penyakit langka yang relatif jinak, gejala dan tanda akibat melorheostosis
bisa sangat mengganggu. Beberapa pasien mungkin asimtomatik, sampai kemudian ditemukan
secara kebetulan melalui pemeriksaan radiologis. Tetapi mayoritas menderita nyeri kronik (neuralgia
maupun artralgia), kekakuan dan keterbatasan ruang gerak. Sedangkan kasus berat bisa berakibat
diskrepansi atau kontraktur jaringan lunak.2-4,11 Pasien ini mengeluh nyeri kronik lutut kanan yang
sudah berlangsung lebih dari 10 tahun dengan eksaserbasi periodik. Riwayat trauma yang terjadi 3
tahun sebelumnya, kemungkinan bisa memperburuk progresifitas penyakit hingga akhirnya terjadi
diskrepansi panjang tungkai. Freyschmidt yang melakukan tinjauan terhadap 23 kasus
melorheostosis pada tahun 2001,dikutip dari 2 menemukan bahwa derajat gejala yang dikeluhkan
berkorelasi dengan derajat hiperostosis dan jumlah tulang yang terserang, sementara hasil
laboratorium rutin umumnya normal. Mengingat derajat nyeri yang memberat ditambah diskrepansi
dan temuan hiperostosis kortikal hingga endosteal, serta banyaknya jumlah tulang yang terserang
sudah mencakup satu anggota gerak (monomelic), maka penderita ini sudah tergolong kasus berat.
Hasil pemeriksaan laboratorium pasien ini dalam batas normal. Dalam literatur dikatakan,
tidak ada temuan laboratorium definitif untuk kasus melorheostosis. Pemeriksaan darah perifer
lengkap, C-reactive protein (CRP), kimia darah rutin, kadar kalsium, fosfor dan alkaline phosphatase
(ALP) umumnya normal.6,7,10,11 Ada satu laporan kasus melorheostosis yang menunjukkan
peningkatan kadar ALP, dipikirkan kemungkinan berhubungan dengan peningkatan aktifitas
osteoblast.dikutip dari 6
Diagnosis banding kasus melorheostosis yaitu osteokondroma, parosteal osteosarkoma,
osteoid osteoma, dan kelainan sclerosing bone dysplasia lain seperti osteopoikilosis, osteopathia
striata dan miositis osifikans khususnya jika yang ditemukan adalah gambaran lesi monostotic.
Sedang gambaran polyostotic, monomelic dan hemimelic jelas sudah dapat menyingkirkan diagnosis
banding lainnya. Pada miositis osifikans, osifikasi jelas tampak di bagian perifer dibanding sentral
(zoning phenomenon) dan ada celah radiolusen antara lesi dan korteks. Pada osteoid osteoma,
pencitraan cross-sectional menunjukkan gambaran nidus yang khas. Osteokondroma memiliki
gambaran karakteristik yaitu korteks lesi seolah bersambung dengan korteks normal, demikian pula
rongga meduler. Pada parosteal osteosarkoma biasa ditemukan gambaran destruksi tulang.1 Meski
demikian, perlu diingat bahwa melorheostosis dapat terjadi bersamaan dengan sclerosing bone
dysplasia lain.2,3,7,13 Osteopoikilosis pada radiologis tampak sebagai lesi sklerosis menyerupai pulau-
pulau kecil (islands bony sclerosis). Sementara, osteopathia striata adalah kombinasi striation
vertikal metafise tulang panjang, kepala yang membesar, manifestasi klinis lain seperti
palatoscheizis, retardasi mental, kelainan sensorineural dan tanda kompresi saraf kranial lain seperti
paralisis fasialis.3
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 9
Berbagai pendekatan terapi konservatif dan operatif telah dilakukan untuk mengobati nyeri
dan deformitas akibat melorheostosis. Terapi konservatif meliputi farmakologi seperti
bisphosphonate, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) dan nifedipin, serta non-farmakologi
seperti terapi fisik di bagian rehabilitasi medis, penggunaan alat bantu penyangga tubuh (kruk),
serial casting/splint (bebat), blok saraf dan simpatektomi. Satu laporan kasus melorheostosis dengan
gejala nyeri hebat pada punggung dan anggota gerak, serta ditemukan peningkatan kadar ALP
berhasil diterapi dengan pemberian infus bisphosphonate selama 6 hari. Pemberian nifedipin, suatu
vasodilator, selama 6 bulan, terbukti efektif pada pasien wanita usia 42 tahun dengan nyeri hebat
seperti terbakar pada paha atas yang membatasi aktifitas sehari-harinya.6 Pada seorang pria usia 21
tahun dengan nyeri dan bengkak jari kedua hingga keempat tangan kiri berhasil diobati dengan
ibuprofen 800 mg.2 Kasus berat melorheostosis yang melibatkan anggota gerak ipsilateral pada
wanita Asia usia 44 tahun dengan keluhan nyeri, bengkak dan keterbatasan gerak sendi selama lebih
dari 30 tahun, mengalami sedikit perbaikan setelah pemberian pamidronate 30 mg/hari selama 3
hari dan meloxicam 7.5 mg/hari selama 28 hari.11 Pasien ini sebelumnya telah mengkonsumsi
Voltaren® 2x50 mg jangka panjang tetapi tidak rutin dan tanpa kontrol kembali untuk pemantauan
efek terapi. Karena obat Voltaren dirasakan sudah tidak efektif dan keluhan nyeri justru memberat,
maka diberikan meloxicam 15 mg/hari yang setelah 7 hari pengobatan ternyata mampu mengurangi
nyerinya, dan diberikan pula suplemen calcium 2 tablet/hari. Rujukan ke bagian ortopedi diperlukan
untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding lain. Tidak ada indikasi tindakan operatif untuk
kasus melorheostosis berat pada tahap lanjut seperti pasien ini. Sedangkan fisioterapi di bagian
rehabilitasi medis, terutama ditujukan untuk mempertahankan fungsi anggota gerak kontralateral
disamping membantu mengurangi nyeri.
Setiap pasien melorheostosis adalah unik, dan mengingat kasusnya langka maka tatalaksana
pun sangat bervariasi.14 Mayoritas kasus melorheostosis diterapi simtomatis dan tidak memerlukan
tindakan operatif.4,9-11 Adapun teknik operasi bisa meliputi jaringan lunak seperti pemendekan
tendon, eksisi jaringan fibrous dan osseus, fasiotomi dan kapsulotomi. Teknik lain yaitu osteotomi
korektif, debulking tulang yang mengalami osteotik, bahkan amputasi anggota gerak yang terserang
bila disertai nyeri hebat dengan tanda-tanda iskemik vaskuler. Akan tetapi, perlu diingat bahwa
sering terjadi kekambuhan pasca operasi. Karena itu, pasien dan keluarga perlu diberi penjelasan
yang baik mengenai teknik, manfaat, risiko dan ekspektasi realistis operatif.1,2,6,7,10,11,13
Terlepas dari morbiditas fungsional, prognosis kasus melorheostosis umumnya baik.15 Pada
kasus-kasus berat dan tahap lanjut, maka prognosisnya dubia.8
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 10
IV. RINGKASAN
Telah dilaporkan satu kasus langka, Melorheostosis pada pasien laki-laki, 48 tahun yang
datang dengan keluhan utama nyeri kronik lutut kanan, ±10 tahun dengan eksaserbasi periodik.
Nyeri juga dirasakan pada sendi pergelangan kaki, pangkal paha dan pinggul kanan. Pada
pemeriksaan fisis sistim muskuloskeletal ditemukan waddling gait, tungkai kanan tampak bengkak
ada keterbatasan gerak sendi dan diskrepansi panjang tungkai. Hasil laboratorium dalam batas
normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologis konvensional yang menunjukkan
kesan sclerosing bone dysplasia pada tulang-tulang ilium, femur, patella, tibia, fibula, talocalcaneal,
tarsal, metatarsal dan phalanx dekstra sesuai dengan gambaran Melorheostosis manifestasi
monomelic. Pasien diterapi simtomatis dengan meloxicam 15 mg/hari dan ditambahkan suplemen
calcium 2 tablet/hari, diberi informasi dan edukasi mengenai progresi, tatalaksana komprehensif,
kemungkinan komplikasi dan prognosis penyakitnya kemudian dirujuk ke bagian ortopedi dan
rehabilitasi medis.
Laporan Kasus | MELORHEOSTOSIS 11
DAFTAR PUSTAKA
1. Suresh S, Muthukumar T, Saifuddin A. Review: Classical and unsual imaging appereances of melorheostosis. Clinical Radiology 2010;65:593-600.
2. Murano T, Egarian M. Case report: Emergency department diagnosis of melorheostosis in the upper extremity: A rare disease with an unsual presentation. The Journal of Emergency Medicinie 2010;5(8):1-3.
3. Kaissi AA, Skoumal M, Roetzer K, et al. Case report: A patient with Melorheostosis manifesting with features similar to tricho-dento-osseous syndrome. J of Medical Care Reports 2008;2:51-4.
4. Butkus CE, Michels VV, Lindor NM, Cooney-III WP. Melorheostosis in a patient with familial osteopoikilosis. Am J Med Genet 1997;72:43-6.
5. Jermin PJ, Webb M. Case Report: Melorheostosis masquerading as a frozen shoulder in a sportsman. Shoulder & Elbow 2010;2:217-2.
6. Gagliardi GG, Mahan KT. Melorheostosis: A literature review and case report with surgical considerations. The J of Foot & Ankle Surgery 2010;49:80-5.
7. Greenspan A, Azouz EM. Melorheostosis: Review and update. Canadian Assoc of Radiologist Journal 1999;50(5):324-330.
8. Lone AR, Ahmad M, Aziz SA, Bhat GM, Bhat JR, et al. Melorheostosis with renal arterio-venosus malformation: A case report with review of literature. Indian J Med Paediatr Oncol 2009;30(1):39-42.
9. Zeiller SC, Vaccaro AR, Wimberley DW, Albert TJ, Harrop JS, Hilibrand AS. Severe myelopathy resulting from melorheostosis of the cervicothoracic spine – A case report. The J of Bone Joint Surg 2005;87(12):2759-62.
10. Azouz EM, Greenspan A. Melorheostosis. 2005. Downloaded at http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-Melorheostosis.pdf
11. Long HT, Li KH, Zhu Y. Case Report: Severe Melorheostosis involving the ipsilateral extremities. Clin Orthop Relat Res 2009;467(10):2738-43.
12. Bansal A. The dripping candle wax sign. Radiology 2008;246(2):638-40. 13. Debeer P, Pykels E, Lammens J, Devriendt K, Fryns JP. Clinical Report: Melorheostosis in a family with autosomal
dominant osteopoikilosis: Report of a third family. Am J of Med Genet 2003;119:188-93. 14. King JC, Dobyns J. Surgical management of melorheostosis: General information and considerations. Downloaded at
http://www.melorheostosis.org. 15. Naik RS, Narang J. Case Report: Melorheostosis: Follow-up of a case compounded with carcinoma prostate. Indian J
Surg 2005;67(2):106-8.