rhinitis kronik

48
MAKALAH ILMIAH RHINITIS KRONIK ERWIN SAHAT HAMONANGAN SIREGAR 070100093 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER (THT-KL) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN 2012 Saya yang bertandatangan di bawah ini telah menyerahkan hard copy dan soft copy makalah ilmiah ini kepada dr. Indri Adriztina Nama Judul Full Text Power point Soft Copy Tanda Tangan Erwin S. H. Siregar Rhiniti s kronik

Upload: erwin-siregar

Post on 30-Jul-2015

1.454 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rhinitis Kronik

MAKALAH ILMIAH

RHINITIS KRONIK

ERWIN SAHAT HAMONANGAN SIREGAR

070100093

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER (THT-KL)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

MEDAN

2012

Saya yang bertandatangan di bawah ini telah menyerahkan hard copy dan

soft copy makalah ilmiah ini kepada dr. Indri Adriztina

Nama Judul Full

Text

Power

point

Soft

Copy

Tanda

Tangan

Erwin S. H.

Siregar

Rhinitis

kronik

Yang menerima, Telah disetujui, Tanggal Tanggal

dr. Indri Adriztina

Page 2: Rhinitis Kronik

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

atas rahmat dan karunia-Nya yang memberikan kesehatan dan keselamatan bagi

penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Indri

Adriztina selaku dokter pembimbing yang telah memberikan arahan dalam

penyelesaian makalah ini.

Judul makalah ini adalah mengenai “Rhinitis Kronik”. Adapun tujuan

penulisan makalah ini ialah untuk memberikan informasi mengenai berbagai hal

yang berhubungan dengan penyakit ini. Dengan demikian diharapkan dapat

memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima segala bentuk kritikan yang

bersifat membangun dan saran-saran yang akhirnya dapat memberikan manfaat

bagi makalah ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2012

Penulis

Page 3: Rhinitis Kronik

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2

2.1. Anatomi Nasal 2

2.2. Fisiologi Hidung 5

2.3. Rhinitis Kronik6

2.3.1. Rhinitis Hipertrofi 6

2.3.2. Rhinitis Sika 6

2.3.3. Rhinitis Spesifik 7

2.3.4. Rhinitis Alergi 10

2.3.5. Rhinitis Vasomotor 22

2.3.6. Rhinitis Medikamentosa 29

BAB 3 KESIMPULAN 30

DAFTAR PUSTAKA 31

Page 4: Rhinitis Kronik

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang1

Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis”

(radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput

lendir (membran mukosa) hidung.

Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.

Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh

infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi

sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam

kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah

rhinitis simpleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif.

Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.

Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai

penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita

temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri,

atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh

peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis

medikamentosa.

1.2. Tujuan

Makalah ini ditulis untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik senior

di Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala

Leher RSUP.H. Adam Malik Medan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasal2

Page 5: Rhinitis Kronik

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga

hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung

luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

a. Pangkal hidung (bridge)

b. Batang hidung (dorsum nasi)

c. Puncak hidung (hip)

d. Ala nasi

e. Kolumela

f. Lubang hidung ( nares anterior )

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior,

tepat dibelakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang

mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang yang disebut vibrise.

Sedangkan nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding

lateral, medial, inferior, dan superior.

Gambar 1.1 Anatomi Hidung

Gambar 1.2. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2)

Page 6: Rhinitis Kronik

vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang

rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.

Gambar 1.3. Kartilago septum nasi sisi lateral

Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah

konka inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi

konka superior dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya

rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi yang

jumlahnya tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus superior.

Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding

lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus

nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral

rongga hidung yang bermuara pada sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus

maksilaris. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior

dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.

Gambar 1.4. Konka nasi

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os

maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan

dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari

Page 7: Rhinitis Kronik

rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os

etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya

serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung

dibentuk oleh os sphenoid.

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi

atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa

olfaktori). Mukosa pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang

mempunyai silia dan terdapat sel-sel goblet. Dalam keadaan normal warna

mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir.

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan

menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat

disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental, dan

obat-obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior,

dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratified

columnar tidak bersilia. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri

maksilaris interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a.

splenopalatina yang keluar dari foramen splenopalatina bersama n. splenopalatina.

Hidung bagian depan mendapat perdarahan dari a. fasialis. Pada bagian depan

septum terdapat anastomosis cabang a. splenopalatina, a. etmoidalis anterior, a.

palatina mayor, dan a. labialis superior yang membentuk Pleksus Kiesselbach

yang mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis

anterior. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal

dari n. ophtalmicus. Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan

sensoris dari n. maksilaris melalui ganglion spenopalatina. Ganglion

spenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan

vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut

sensoris dari n. maksilaris (N V2), serabut parasimpatis dari n. petrosus

superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n. petrosus profunda.

Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung

posterior konka media. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari

permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor

penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung.

Page 8: Rhinitis Kronik

2.2. Fisiologi Hidung2

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional. Fungsi

hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi

udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam

pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, 2) fungsi penghidu karena

terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus

penghidu, 3) fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses

bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, 4) fungsi

statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma,

dan pelindung panas, 5) refleks nasal.

2.3. Rhinitis Kronik

2.3.1. Rhinitis Hipertrofi3

a. Etiologi

Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan

sinus atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.

b. Manifestasi Klinis

Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak,

mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi,

permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.

c. Terapi

Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis

hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam

trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan

konkotomi.

2.3.2. Rhinitis Sika4

a. Etiologi

Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja

di lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga pada pasien dengan

anemia, peminum alkohol, dan gizi buruk.

Page 9: Rhinitis Kronik

b. Manifestasi Klinis

Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak

ada. Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang-

kadang disertai epitaksis.

c. Terapi

Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.

 2.3.3. Rinitis Spesifik5

Yang termasuk ke dalam rhinitis spesifik adalah:

a. Rhinitis Difteri

1. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.

2. Manifestasi klinis

Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis,

sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang

mudah berdarah, terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi.

Sedangkan rhinitis difteri kronik gejalanya lebih ringan.

3. Terapi

Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin

lokal, dan intramuskular.

b. Rhinitis Atrofi5

1. Etiologi

Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu

infeksi kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis

kronis, kelainan hormonal, dan penyakit kolagen.

2. Manifestasi Klinis

Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang

hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering,

sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas

Page 10: Rhinitis Kronik

berbau, ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu,

sakit kepala, dan hidung tersumbat.

3. Terapi

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan

antibiotika berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe.

Jika tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang

hidung untuk mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi

normal kembali.

c. Rhinitis Sifilis5

1. Etiologi

Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.

2. Manifestasi Klinis

Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut

lainnya. Hanya pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa.

Sedangkan pada rhinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus yang

dapat mengakibatkan perforasi septum. Sekret yang dihasilkan merupakan

sekret mukopurulen yang berbau.

3. Terapi

Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.

d. Rhinitis Tuberkulosa5

1. Etiologi

Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.

2. Manifestasi Klinis

Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang

mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk

Page 11: Rhinitis Kronik

noduler atau ulkus, jika mengenai tulang rawan septum dapat

mengakibatkan perforasi

3. Terapi

Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.

e. Rhinitis Lepra5

1. Etiologi

Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.

2. Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau,

dan produksi sekret yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena

adanya destruksi tulang dan kartilago hidung.

3. Terapi

Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin,

dan clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.

f. Rhinitis Jamur5

1. Etiologi

Penyebab rhinitis jamur diantaranya adalah Aspergillus yang

menyebabkan aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan

mukormikosis, dan Candida yang menyebabkan kandidiasis.

2. Manifestasi Klinis

Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna

hijau kecoklatan. Pada mukomikosis biasanya pasien datang dengan

keluhan nyeri kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis

paranasalis, dan sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.

3. Terapi

Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat

cuci hidung. 

Page 12: Rhinitis Kronik

2.3.4. Rhinitis Alergi

a. Definisi6,7

Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang

disebabkan oleh reaksi yang dimediasi IgE terhadap paparan alergen.

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2001 rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung yang terpapar alergen

yang diperantarai oleh IgE.

b. Epidemiologi6,7

Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit

atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%. Dimana dalam dekade terakhir ini

peningkatan prevalensi rhinitis alergi di seluruh dunia sekitar 6%-8%. Namun,

prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, dikarenakan banyaknya pasien yang

mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak

terhitung pada survei resmi. Disebutkan bahwa di Indonesia pravalensi rhinitis

alergi pada anak berkisar antar 9%-27% dan dewasa 22%.

c. Etiologi6,7

Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien

yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara

jelas memiliki peran penting. Pada 20 ± 30% semua populasi dan pada 10 ± 15%

anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4

kali lebih besar atau mencapai 50%. Beberapa penelitian menunjukan hubungan

gambaran polimorfik pada kromosom 5q pada penderita atopi. Peran lingkungan

dalam dalam rhinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan,

terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki

kecenderungan alergi.

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk

bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu

binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan, misalnya tungau

debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (anjing dan kucing),

rerumputan (bermuda grass), serta jamur (Aspergillus, Alternaria).

Page 13: Rhinitis Kronik

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya

susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, misalnya bahan perhiasan dan kosmetik.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran

sehingga memberi gejala campuran misalnya tungau debu rumah yang

menimbulkan gejala asma bronkial dan rhinitis alergi.

d. Klasifikasi6,7

Rhinitis alergi menurut guideline ARIA (2001) rhinitis alergi menurut

guideline ARIA (2001). Berdasarkan lamanya terjadi gejala:

1. Intermiten. Seorang pasien dengan rhinitis alergi intermiten menunjukkan

gejala kurang dari empat hari per minggu atau kurang dari empat minggu.

2. Persisten. Pasien dengan rhinitis alergi persisten menunjukkan gejala yang

lebih dari empat hari per minggu atau selama lebih dari empat minggu.

Berdasarkan keparahan dan kualitas hidup:

1. Ringan. Seorang pasien dengan diagnosis gejala ringan yaitu jika gejala-

gejalanya tidak mempengaruhi tidur, kegiatan sehari-hari, pekerjaan, sekolah,

olahraga atau bersantai.

2. Sedang sampai berat. Seorang pasien dengan diagnosis gejala rhinitis alergi

sedang sampai berat adalah jika penyakitnya berdampak terhadap gejala tidur,

kegiatan sehari-hari, kerja, sekolah, olahraga atau bersantai, serta jika ada

gejala merepotkan. pasien dengan rhinitis alergi yang berlangsung selama

enam minggu dengan gejala mengganggu aktivitas normal akan dapat

didiagnosis dengan moderat sampai parah dan persisten.

e. Gejala Klinis6,7

Produksi mukus berlebihan, kongesti, Rhinorrhea (hidung meler), hidung

tersumbat, mata berair, gatal serta bersin, bersifat reversibel secara spontan atau

sebagai akibat pengobatan. Rhinitis mempunyai jenis yang bervariasi, hampir

semua jenis rhinitis yang non infeksi disebut “alergi”.

f. Patofisiologi6,7

Page 14: Rhinitis Kronik

Secara klasik, rhinitis alergi dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi

dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi

yang terdiri dari berbagai macam sel. Pada rhinitis alergi selain granulosit,

perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya

tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons selular

yang meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif, dan migrasi sel-sel transendotel.

Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13 dan eotaxin berpengaruh

pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi.

Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel

T CD4+, sel mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya

terjadi peningkatan ekspresi sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5,

IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan sel mast. Selanjutnya sel mast

menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin

akan mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 menyebabkan

infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel mast. Perpanjangan masa hidup sel

terutama dipengaruhi oleh IL-5.

Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan

cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama dalam rhinitis alergi

menyebabkan gejala rinorea dan gatal. Penyusupan eosinofil menyebabkan

kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan

dan alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative

Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin.

Terdapat hubungan antara sistem imun dan sumsum tulang. Fakta ini

membuktikan bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF)

dan berperan dalam atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel mast dalam inflamasi

alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal merupakan akibat dari respons

imun di atas adalah tanda penting rhinitis alergi.

Pada sensitisasi awal, alergen spesifik IgE terikat pada reseptor sel mast dan

basofil diikuti oleh respon inflamasi dan alergi pada alergen yang  terpapar. Pada

mukosa nasal proses ini menyebabkan cross-linking pada IgE di permukaan

mukosa sel, sel mast, dan basofil, diikuti dengan granulasi dari sel-sel inflamasi

menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin lima menit, setelah

terpapar alergen (respon fase awal). Respon yang berikutnya biasanya 15 menit.

Sintetis dari mediator (misal leukotrin, prostaglandin, aktivasi faktor platelet), dan

beberapa sitokin) menyebabkan vasodilatasi, peningkatan sekresi glandula, dan

Page 15: Rhinitis Kronik

stimulasi nervus sensoris menyebabkan symptom immediate berupa bersin,

rhinorrhea, gatal, dan kongesti nasal. Respons fase lambat terjadi setelah 4 sampai

24 jam setelah terpapar alergen dicirikan recruitment sel inflamasi dari darah

misal basofil, monosit, limfosit, dan monosit, melepaskan mediator inflamasi

tambahan  dan kerusakan jaringan. Mengakibatkan peningkatan simptom berupa

nasal kongesti.

 

g. Diagnosis6,7

Diagnosis rhinitis alergi didasarkan pada anamnesa (riwayat individu dan

riwayat keluarga yang didapatkan secara terperinci, riwayat klinis dari gejala

tipikal), pemeriksaan fisik (nasal examination/anterior rhinoscopy), dan

pemeriksaan penunjang (skin prick test atau pengukuran antibody spesifik

alergen  IgE, fibreoptic rhinoscopy, cytology of nasal secretions, nasal challenge

with allergen andrhinomanometry, conventional radiography (RX); and CT scan).

1. Anamnesis

         Dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Perlu

ditanya gejala spesifik; pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan

keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan,

kondisi lingkungan dan pekerjaan.

Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin

berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi

hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan

mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).

Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan,

terutama merupakan gejala pada RAFC (Reaksi Alergi Fase Cepat) dan kadang-

kadang pada RAFL (Reaksi Alergi Fase Lambat) sebagai akibat dilepaskannya

histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung

tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air

mata keluar (lakrimasi). Rhinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis

alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-

kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya

gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan Fisik

Page 16: Rhinitis Kronik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat

disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior

tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas

tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di

daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi

hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak

menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini

disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,

yang disebut sebagai allergic crease. Mulut sering terbuka, sehingga akan

menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding

posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta

dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic

tongue).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Sitologi Hidung

Apabila pada pemeriksaan sitologi sekret hidung didapatkan lebih dari

10% eosinofil maka dapat diindikasikan rhinitis alergi. Namun kadangkala adanya

eosinofil dalam sekret hidung dapat dijumpai pada non-rhinitis alergi. Eosinofil

tidak dapat ditemukan pada penderita yang mengalami perbaikan, infeksi, dan

mendapat terapi kortikosteroid fokal atau sistemik.

b. IgE Total

IgE total dianggap meningkat bila lebih dari 100-159 kU/I, ini dapat

terjadi pada penderita alergi atau pada penderita dengan infestasi parasit dan 50%

penderita rhinitis alergi musiman (RAS) kadar IgEnya normal, jadi pemeriksaan

igE total terbatas manfaatnya.

c. Tes Kulit

Tes kulit terhadap suatu alergen diindikasikan untuk memberikan bukti

adanya dasar alergi pada gejala penderita, untuk mengkonfirmasi penyebab

keluhan yang dicurigai  atau untuk melihat derajat sensitifitas untuk alergi

Page 17: Rhinitis Kronik

terrtentu. Tes kulit ini lebih disukai karena sederhana, cepat, mudah, relatif murah,

dan sensitifitas tinggi. Pada saat pemeriksaan kulit, harus dikerjakan dengan

teknik yang benar untuk mendapatkan hasil yang akurat. Intepretasi hasil tes kulit

yang tepat perlu pengetahuan, aeroallergen apa yang penting secara lokal dan

klinis penting memungkinkan adanya reaksi silang.

Tes kulit melibatkan perkenalan yang dikendalikan alergen dan zat kontrol

ke dalam kulit. Test Percutaneous adalah jenis yang paling umum yang di uji pada

kulit dan lebih disukai dalam primer care karena  nyaman, aman, dan luas, dapat

diterima. Kadang-kadang test intradermal digunakan (kebanyakan oleh peneliti

dan subspesialis alergi), adalah lebih sensitif tetapi kurang spesifik daripada tes

percutaneous. Tidak jelas metode mana lebih unggul, namun terdapat

peningkatan  kekhawatiran keamanan menggunakan tes kulit intradermal.

Rhinitis alergi memiliki respon immediate atau respon delayed. Tes kulit

(Skin test) dapat ditimbulkan dari kedua respon tersebut. Namun tujuan utama

skin test adalah untuk mendeteksi langsung respon alergi yang ditimbulkan oleh

pelepasan sel mast atau basofil mediator spesifik Ig E. yang mana menyebabkan

reaksi setelah 15 menit. Pada respon  delayed terjadi empat sampai delapan jam

setelah terpapar alergen tersensitiasasi dan kurang berguna dalam diagnos klinis.

Tes kulit (skin-test) alergi  dilakukan dengan  uji tusukan yaitu dengan

menempatkan setetes larutan uji pada kulit dan menusuk melalui drop dengan alat

yang tajam, atau melalui uji intracutaneous (intradermal) dimana sejumlah kecil

larutan uji disuntikkan ke dalam kulit. Menurut literature uji tusukan lebih disukai

untuk pengujian awal, karena lebih murah, lebih cepat,  kurang nyaman, dan

kepekaan klinisnya lebih baik daripada uji intrakutaneus.

d. Tes Provokasi

Tes provokasi hidung dengan alergen sangat bermanfaat pada penelitian,

namun potensi terjadinya serangan alergi, sehingga tidak dilakukan untuk

pemeriksaan rutin. Dalam tes provokasi hidung  mukosa hidung dipaparkan

dengan alergen atau bahan iritan dan kemudian reaksi dipantau. Provokasi adalah

alat yang berguna dalam pekerjaan penelitian dan dalam kasus untuk verifikasi

diagnosis alergi dibutuhkan. Dalam pekerjaan klinis, mayoritas pengujian

provokasi dilakukan dengan alergen. Selain itu digunakan untuk menilai

reaktivitas non-spesifik pada hidung dan reaksi yang telah diinduksi dengan

beberapa zat kimia dan juga dengan rangsangan fisik.

Page 18: Rhinitis Kronik

Ada beberapa teknik provokasi hidung yaitu dengan agen larut yang

ditetes kedalam hidung, dengan disemprot atau dinebul ke dalam hidung

(diuapkan) atau rongga hidung dicuci dengan larutan uji untuk aplikasi topikal

dapat dilakukan dengan kertas disk.

Hasil dari provokasi dapat dinilai dengan pengamatan berupa bersin,

discharge hidung dan pembengkakkan mukosa dengan rhinoscopy. Sensasi

sekresi hidung subjek, gatal-gatal dan kongesti pada semiquantitative skor atau

skala  analog visual. Menghitung bersin merupakan cara yang sederhana untuk

menilai respon iritasi.

Metode lain yang sederhana adalah dengan mengukur volume sekresi yang

timbul, dikumpulkan  dengan membiarkan menetes ke dalam saluran dengan

mengisap. Ditimbang  disaputangan, sekresi ke disk kertas preweighed dan

reweighed. Perbedaan bobot mencerminkan jumlah sekresi dikumpulkan dalam

jangka waktu yang tetap. Rinomanometri diterima secara luas  sebagai metode

objektif yang akurat  sebagai respon dalam mengukur perubahan dalam saluran

napas hidung  resistensi (NAR).

e. Immunoassay

Pemeriksaan rasioallergo test (RAST) dan enzyme link immune sorbent

test (ELISA), untuk memeriksa pelepasan mediator selama reaksi alergi dengan

mengukur mediator/enzim yang dilepaskan dalam darah.

Test alergen antibody spesifik IgE radioallergosorbent testing (RAST])

adalah bermanfaat pada primary care, jika tes perkutaneus tidak praktis misalnya,

masalah dengan penyimpanan reagen, keahlian, frekuensi penggunaan, staf

pelatihan) atau jika pasien menjalani pengobatan yang terganggu dengan adanya

test pada kulit (skin test) misalnya, antidepresan trisiklik, antihistamin. RAST

sangat spesifik namun umumnya tidak sensitif seperti skin test.

RAST berguna untuk mengidentifikasi alergen umum (misalnya, bulu

hewan peliharaan, tungau debu, serbuk sari), tetapi kurang berguna dalam

mengidentifikasi makanan, racun, atau alergi obat. Tes alergi pada anak-anak

memiliki tantangan tersendiri. Banyak literatur memberikan rekomendasi

berdasarkan bukti untuk test  alergi pada anak dengan berbagai penyakit alergi

(misalnya, rhinitis, asma, alergi makanan).  Tes perkutaneus  sesuai untuk anak-

anak tiga tahun dan lebih tua dan RAST biasanya tepat pada usia berapa pun.

Beberapa literatur merekomendasikan bahwa dasar keputusan melakukan test oleh

Page 19: Rhinitis Kronik

sang dokter adalah berdasarkan riwayat klinis, rekomendasi usia dewasa;

melakukan tes hanya bila diperlukan untuk mengubah terapi atau untuk

memperjelas diagnosis.

h. Diagnosa banding6,7

1. Rhinitis non-alergi

Infeksi dan rhinitis diinduksi obat

Rhinitis hormonal

Rhinitis dari penyebab lainnya

Gastro-oesophageal reflux

Rinitis vasomotor dan idiopatik

2. Polyposis

3. Ciliary defects

4. Cerebrospinal rhinorrhea

5. Tumor benigna/maligna

6. Deviasi septum

7. Foreign bodies

8. Blocked nostril (choanal atresia)

9. Penyakit granulomatous

i. Penatalaksanaan6,7

1. Non  Farmakoterapi

Menghindari faktor alergen merupakan terapi yang pertama kali perlu

dilakukan. Menghindari alergen kausal merupakan dasar pendekatan untuk

mencegah munculnya gejala alergi.

2. Farmakoterapi

Saat memilih terapi yang cocok bagi rhinitis alergi, beberapa hal yang

menjadi pertimbangan adalah keadaan penyakit penderita saat itu, gejala yang

paling dominan, umur, gejala saluran pernafasan lain yang ada di penderita serta

riwayat, riwayat pengobatan yang sebelumnya.

Page 20: Rhinitis Kronik

a. Antihistamin

Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak dari

tipe antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir reseptor

H1 menghalangi terjadinya reaksi histamin seperti mencegah peningkatan

permeabilitas vaskuler, mencegah kontraksi otot polos, meningkatkan

produksi mukus dan mencegah pruritus. Oleh karena obat ini menghilangkan

gejala reaksi histamin di kulit, penderita tidak dianjurkan untuk

mengkonsumsinya beberapa hari sebelum dilakukan tes cukit kulit karena

hasilnya dapat menjadi negatif. Pada tes in vitro, mengkonsumsi antihistamin

tidak akan berpengaruh pada hasil tes. Antihistamin sangat efektif pada reaksi

alergi fase cepat (RAFC) sehingga dapat mencegah gejala bersin, rinore, dan

pruritus namun kurang berpengaruh pada reaksi alergi fase lambat (RAFL)

contohnya sumbatan hidung (nasal congestion/blockers). Antihistamin

generasi pertama yang banyak bisa dibeli tanpa resep mempunyai efek sedasi

sehingga berpengaruh terhadap penurunan prestasi dan tumpuan penderita

Efek samping yang lain adalah efek antikolinergik yang dapat mengakibatkan

mulut kering contohnnya difenhidramin, hidroksizin, klorfeniramin dan

bromfeniramin.

Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan mengikat reseptor H1

sentral, sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak berefek antikolinergik.

Golongan ini diabsorpsi secara baik, kerja cepat dan menghilangkan gejala

dalam waktu sejam. Pemakaiannya cukup sekali sehari dan tidak

menimbulkan efek penggunaan jangka panjang contohnya loratadin dan

levosetirisin.

b. Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif bagi

tiap tingkat gejala rhinitis alergi. Keberhasilan maksimal timbul pada minggu

pertama sampai kedua dari hari pertama penggunaan. Efektifitasnya tergantung

pemakaian yang sering dan keadaan hidung yang adekuat untuk inhalasi obat.

Obat ini turut bekerja pada RAFL sehingga mencegah terjadinya peningkatan sel

inflamasi yang mendadak. Formulasi mutakhir seperti triamsinolon, budesonid

dan flutikason mempunyai ciri absorpsi sistemik yang minimal dengan hampir

tiada efek samping sistemik sehingga aman pada tiap golongan umur termasuk

Page 21: Rhinitis Kronik

anak-anak. Efek samping lokal seperti hidung kering dan epistaksis dapat

diregulasi dengan instruksi pemakaian yang benar.

c. Kortikosteroid sistemik

Preparat ini sesuai bagi gejala sangat berat yang menetap. Pemberiannya

adalah melalui intramuskular atau per oral. Jika lewat oral, penurunan dosis

secara tapering off diberikan dalam tiga sampai tujuh hari. Obat ini bertindak

terhadap inflamasi justru menurunkan gejala rhinitis alergi secara signifikan.

Namun pada penggunaan jangka panjang dapat timbul efek samping yang serius

seperti penekaan aksis HPA dan efek samping kortikosteroid sistemik lain yang

lazim ditemukan.

d. Dekongestan

Dekongestan bekerja pada reseptor α-adrenergik di hidung, menimbulkan

efek vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi. Kongesti rongga hidung

berkurang namun obat ini tidak mengatasi gejala lainnya seperti rinore, bersin,

dan pruritus. Obat ini banyak ditemukan dalam preparat flu yang bisa dibeli tanpa

resep namun pemakaian pada penderita dengan kelainan jantung dan hipertensi

harus dengan berhati-hati. Dekongestan intranasal seperti oksimetazolin dapat

menimbulkan kekambuhan kongesti nasal serta menimbulkan ketergantungan

pada pemakaian lebih dari tiga hari (rhinitis medikamentosa).

e. Antikolinergik intranasal

Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala

lainnya. Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan dengan

obat alergi lainnya terutama bagi penderita dengan rhinitis alergi tipe sepanjang

tahun (perennial).

f. Kromolin intranasal

Preparat ini harus digunakan sebelum munculnya gejala untuk menjadi

efektif. Penggunaannya harus sepanjang paparan terhadap alergen dengan dosis

sehingga empat kali sehari dan cukup aman bagi penderita.

g. Inhibitor leukotrien

Page 22: Rhinitis Kronik

Obat ini mengatasi kelebihan plasebo dalam menangani rhinitis alergi

namun masih jauh ketinggalan efeknya berbanding antihistamin dan

kortikosteroid intranasal.

3. Imunoterapi

Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas (threshold)

sebelum munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada alergen. Mekanisme

kerja terapi imun ini masih belum jelas dimengerti. Indikasi imunoterapi adalah

penggunaan farmakoterapi jangka panjang, terapi farmakologi yang tidak adekuat

dan tidak dapat ditoleransi oleh penderita serta sensitifitas signifikan terhadap

alergen. Sebelum memulai imunoterapi, harus ditentukan alergen yang tepat pada

penderita. Di Amerika Serikat yang biasa dilakukan adalah penyuntikan alergen

secara subkutan yang gradual sehingga timbul reaksi sistemik yang ringan atau

reaksi lokal yang berat. Teknik lain adalah pemberian secara sublingual yang

terutama dianuti di Eropa. Teknik ini lebih aman dan mudah dilakukan sendiri

oleh penderita di rumah.

4 . Operatif

Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila

konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

j. Komplikasi6,7

Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah:

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah

satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.

Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rhinitis

alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drainase.

Page 23: Rhinitis Kronik

k. Prognosis

Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang mendapat

imunoterapi untuk alergen spesifik yang dapat sembuh dari penyakitnya dan

banyak juga pasien yang melakukan pengobatan simtomatik saja secara intermiten

dengan baik. Rhinitis alergi mungkin dapat timbul kembali dalam 2-3 tahun

setelah pemberhentian imunoterapi. Gejala rhinitis alergi akan menurun pada

pasien bila mencapai umur 4 dekade.

2.3.5. Rhinitis Vasomotor

a. Definisi8,9

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa

adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid),

dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin

dan obat topikal hidung dekongestan).

b. Etiologi8,9

Penyebab pasti rhinitis vasomotor ini belum diketahui secara pasti, diduga

akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan vasomotor ini

dipengaruhi berbagai hal, antara lain:

1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, misal

ergotamin, clorpromazin, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor lokal.

2. Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi,

dan bau yang merangsang.

3. Faktor endokrine, seperti kehamilan, pubertas, dan hipotiroidisme.

4. Faktor psikis seperti cemas, tegang.

c. Manifestasi Klinis8,9

Gejala penderita rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit

dibedakan karena gejala-gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan

bersin. Biasanya penderita rhinitis alergik lebih merasakan gatal dan bersin

berulang seperti “ staccato“. Biasanya ia tidak ditemukan atau tidak jelas pada

rinitis vasomotor. Reaksi bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom,

tetapi disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh

faktor iritasi, fisik, endokrin dan faktor lain. Hidung mungkin sensitif terhadap

Page 24: Rhinitis Kronik

pengaruh hormon, oleh karena itu reaksi rhinitis vasomotor mungkin berhubungan

dengan kehamilan atau kontrasepsi per oral, tetapi rhinitis vasomotor pada

kehamilan segera menyembuh setelah melahirkan dan mungkin berhubungan

dengan keseimbangan hormon.

Biasanya penderita rhinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi

pada keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia

dewasa. Jarang terjadi bersin dan rasa gatal.

Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi

pasien. Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang

disertai bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari

waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga

karena asap rokok dan sebagainya.

d. Patogenesis8,9

Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang

menyebabkan terjadinya rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan.

Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi

mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf

parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya,

serta menekan efek dari pembuluh darah (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf

simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh

darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan

akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat.

Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang

menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif.

Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang

dikeluarkan sel-sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien,

prostaglandin, dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya

mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, hidung

tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis

pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida

ini bukan diperantarai oleh IgE seperti pada rhinitis alergik. Pada beberapa kasus

rhinitis vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada

mukosa hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada

terjadinya rhinitis vasomotor. Banyak kasus rhinitis vasomotor berkaitan dengan

Page 25: Rhinitis Kronik

agen spesifik atau kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag

mempengaruhi kondisi tersebut adalah perubahan temperatur, kelembaban udara,

parfum, aroma masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara, dan

stres (fisik dan psikis).

Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi

secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan

merangsang sel-sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktori. Kemudian berjalan

melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah merelay

neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris

lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika

bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta

emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi

dominasi fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat

menimbulkan manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor.

Dari penelitian telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi

sistem adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang

mengontrol vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya,

memungkinan kita memahami mekanisme bendungan koana. Stimulasi kolinergik

menimbulkan vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung, hasilnya

terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menimbulkan

vasokonstriksi hidung.

Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya

atas mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rhinitis alergika.

Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal

sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi

parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan

permeabilitas vaskular disertai edema dan peningkatan sekresi kelenjar. Bila

dibandingkan mekanisme kerja pada rhinitis alergik dengan rhinitis vasomotor,

maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan

mediator yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan

permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta

gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas

kelenjar dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada

reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom yang

menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis) yang

Page 26: Rhinitis Kronik

akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai

peningkatan permeabilitas yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal

ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin

dan gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan

menimbulkan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada

reaksi alergi dan disfungsi vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui

mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia disebabkan interaksi antigen-

antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia disebabkan oleh disfungsi sistem

saraf autonom.

e. Diagnosis8,9

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu

menyingkirkan adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat.

Dalam anamnesa dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Rhinitis

vasomotor dibuat dengan menyingkirkan kemungkinan lainnya dengan anamnesa,

pemeriksaan fisik pada hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan konka

nasalis berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema

mukosa hidung dan permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol

(hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan

tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan serosa yang banyak

jumlahnya. Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan

rhinitis alergik karena dapat ditemukan eosinofil di dalam sekresi hidung, akan

tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negative, kadar IgE spesifik

tidak meningkat. Perubahan foto rontgen, penebalan membrana mukosa sinus

tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis. Rhinitis vasomotor bisa

terjadi bersama-sama dengan rhinitis alergik.

f. Penatalaksanaan8,9

Penatalaksanaan yang digunakan pada rhinitis vasomotor bervariasi,

tergantung pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar

penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Non Farmakologik

Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah

dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan

Page 27: Rhinitis Kronik

mukosa nasal secara periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan

menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator seperti Grossan

irigator.

2. Farmakologik

Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien

dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik

juga efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini adalah

antagonis muskarinik. Obat yang disarankan seperti Ipratropium bromida, juga

terdapat formula topikal dan atrovent, yang mempunyai efek sistemik lebih

sedikit. Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien dengan takikardi dan

glaukom sudut sempit.

Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti,

rinorea dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan

oleh vasoaktif mediator yang dapat menghambat Phospolipase A2,

mengurangi aktivitas reseptor asetilkolin, menurunkan basofil, sel mast dan

eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan

jangka panjang, minimal sampai 2 gr sebelum hasil yang diinginkan tercapai.

Steroid topikal yang dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide dan

Fluticasone. Efek samping dengan steroid yaitu edem mukosa dan eritema

ringan.

Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama

hidung tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan dekongestan yang

diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan

seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta

Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini merupakan agonis reseptor α dan

baik untuk meringankan serangan akut. Pada penggunaan topikal yang terlalu

lama (> 5 hari) dapat terjadi rhinitis medikamentosa yaitu rebound kongesti

yang terjadi setelah penggunaan obat topikal > 5 hari. Kontraindikasi

pemakaian dekongestan adalah penderita dengan hipertensi yang berat serta

tekanan darah yang labil.

Pemberian preparat Kalsium seperti Dumocalsin atau preparat Kalk dapat

juga digunakan. Pada rhinitis vasomotor terjadi peningkatan acetilkholin

sebagai akibat dari dominasi parasimpatis untuk menurunkan kadar asetil

cholin maka diperlukan adanya enzyme asetilcholin esterase. Dengan

Page 28: Rhinitis Kronik

pemberian prerat Kalk dapat meningkatkan kerja enzyme asetil cholin esterase

sehingga dapat memecah asetilkolin yang menumpuk tersebut.

3. Bedah

Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur

pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo

yang berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Operasi ini merupakan

tindakan yang cukup sukses untuk mengatasi kongesti, tetapi ada

kemungkinan untuk terjadinya hidung tersumbat post operasi yang

berlangsung lama dan kerusakan dari septum nasi. Neurectomi n.vidianus

merusak baik hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa sehingga dapat

menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau elektrik cauter

dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih

dipertimbangkan daripada kauterisasi karena dapat mencapai lapisan

submukosa. Reseksi total atau parsial pada konka inferior berhasil baik.

Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan olahraga

dapat meningkatkan daya tahan dan kondisi penderita rhinitis vasomotor.

Peningkatan aktivitas fisik berpengaruh pada pengurangan produksi dari protein

yang memacu timbulnya mukus. Penjelasan lain menyebutkan dengan olahraga

dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi membran, karena dengan olahraga

dapat meningkatkan kadar adrenalin sehinggga dapat mengurangi sekresi mukus.

Juga dengan olahraga akan membentuk reflek nasopulmonal yaitu dengan

meningkatkan Volume Tidal (VT) paru dan diharapkan bila paru terbuka

maksimal maka hidung juga akan lebih terbuka, sehingga dapat mengurangi

sumbatan hidung. Ini bukanlah suatu solusi permanen dalam menangani rhinitis

vasomotor, tetapi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bentuk pencegahan

terjadinya eksaserbasi gejala.

g. Komplikasi8,9

Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari rinitis vasomotor ini adalah

polip hidung dan terjadinya sinusitis.

Page 29: Rhinitis Kronik

2.3.6. Rhinitis Medikamentosa

a. Etiologi10,11

Rhinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon

normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topikal dalam waktu

lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.

Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan

menyebabkan siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila pemakaian

dihentikan. Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang dan waktu lama akan

menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah

vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka

akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, perttambahan mukosa jaringan dan

rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret

berlebihan.                Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema

mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen,

fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan

pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat

katekolamin.

b. Gambaran Klinis10,11

Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus

menerus, berair. Pada pemeriksaan edema/hipertrofi konka dengan secret hidung

berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.

c. Terapi10,11

Pengobatan rhinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan obat

tetes/semprot hidung, kortikosteroid secara penurunan bertahap untuk mengatasi

sumbatan berulang, dekongestan oral.

BAB 3

KESIMPULAN

Rhinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di

hidung. Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau

Page 30: Rhinitis Kronik

kronik. Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan

oleh infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai

reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan

dalam kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya

adalah rhinitis simpleks, rhinitis influenza dan rhinitis bakteri akut supuratif.

Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.

Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai

penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita

temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri,

atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh

peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis

medikamentosa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,

Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508

2. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 118-122

3. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 221

Page 31: Rhinitis Kronik

4. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,

Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508

5. Maran., Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.

6. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 128-134

7. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 196-217

8. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 135-136

9. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 218

10. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 137-138

11. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 219-222