nilai-nilai pendidikan akhlak untuk peserta...
TRANSCRIPT
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK UNTUK PESERTA
DIDIK MENURUT M. QURAISH SHIHAB DALAM BUKU
YANG HILANG DARI KITA: AKHLAK
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh :
Gustin Ambarsih
NIM. 11150110000132
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2019
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi merupakan aspek berbahasa yang penting dalam penulisan skripsi,
karena banyak istilah Arab, nama orang, nama tempat, judul buku, nama lembaga dan
lain sebagainya, yang aslinya ditulis dengan huruf Arab dan harus disalin ke dalam
huruf latin. Adapun pedoman transliterasi menurut pedoman penulisan skripsi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta adalah sebagai berikut:
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin
ا
ś ث
ḥ ح
kh خ
ź ذ
Sy ش
Ṣ ص
ḍ ض
ṭ ط
ť ظ
᾽ ع
ģ غ
h ة
2. Vokal
Vocal Tunggul
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin
a
i
u
3. Mȃdd (Panjang)
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin
ا ى … Ᾱ
ى Ῑ
و Ṹ
4. Tȃ’ marbȗtah
Tȃ’ marbȗtah hidup transliterasinya adalah /t/.
Tȃ’ marbȗtah mati ditransliterasinya adalah /h/.
Kalau pada satu kata yang akhirnya katanya adalah Tȃ’ marbȗtah diikuti oleh
kata yang digunakan oleh kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah
maka Tȃ’ marbȗtah itu ditransliterasikan dengan /h/. contoh:
.Wahdat al-wujứd atau Wahdatul wujứd = وحدة الوجود
5. Syaddah (Tasydḭd)
Syaddah/tasydid di transliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang diberi tanda syaddah (digandakan).
Contoh : rabbanả, al-ḫaqq, ảduwwun.
6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf
yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung. Contoh:
al - zalzalah (az zalzalah)
b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya. Contoh: al - syamsu (bukan asy – syamsu),
7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kita, maka ia tidak dilambangkan dan ia
seperti a;if, contoh: akaltu, ȗitya.
b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh:
ta’kulȗna atau syai’un.
8. Huruf Kapital
Huruf capital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya. Contoh: آن ر ق ال = al-Qur’an,
ة ر و ن م ال ة ن ي د م ال = al-Madinatul Munawwarah
ي د و ع س م ال = al-Mas’ȗdi.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat
dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam proses penyusunan skripsi dan belajar di Jurusan Pendidikan Agama
Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, penulis banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil, oleh karena itu pada
kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2. Dr. Hj. Sururin, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019.
4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019.
5. Drs. Abdul Haris, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.
6. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.
7. Ahmad Irfan Mufid, MA. Dosen Pembimbing Akademik.
8. Dr. Dimyati, M.Ag. Dosen pembimbing yang memberikan bimbingan,
arahan serta motivasi kepada penulis selama menyusun skripsi ini.
9. Dosen-dosen dan staff yang sudah berpartisipasi dalam ide maupun
support dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Keluarga, terutama kedua orang tua. Ayahanda Misdi (Alm) dan
Ibunda Fatmah yang selalu memberikan support dan doanya disetiap
ibadah, serta yang telah mendidik penulis hingga saat ini.
iv
11. Kakak yang membanggakan. Kridha Aribowo, S.Pd, Dwi Harimurti,
S.Pd, Tri Mega Dini, S.Pd, Tiara Yunita, S.Pd, Ubay Baedowi dan
kerabat dekat lainnya.
12. Kakak-Kakak Kelas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13. Kawan-kawan PAI D dan seluruh angkatan PAI 2015 dan teman-
teman FITK.
14. Kawan-kawan kosan tercinta. Wila Silviah, Resty Maulidha, Nur
Alfiatussa’adah.
15. Teman-teman lainnya. Dea Sugiarti, Diana Sari, Mita Ulfah Yanti, Nita
Fitriani dan Siti Nurajizah.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, mudah-mudahan
segala bantuan, bimbingan, semangat dan doa yang telah diberikan bernilai ibadah
dihadapan Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan bagi penulis
khususnya dan bagi khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya.
Ciputat, 3 Oktober 2019
Gustin Ambarsih
i
ABSTRAK
Gustin Ambarsih, NIM 11150110000132, “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak
untuk Peserta Didik dalam Buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak”, Skripsi,
Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali pemikiran M. Quraish Shihab yang
tertuang dalam buku atau naskah-naskah yang terpublikasikan yaitu untuk
mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak untuk peserta didik menurut M. Quraish
Shihab dalam Buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak. Adapun jenis penelitian yang
digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kualitatif dengan
metode library research atau penulisan berdasarkan literature dan metode studi
dokumentasi. Studi dokumentasi merupakan kajian yang menitikberatkan pada
analisis atau interpretasi bahan tertulis berdasarkan konteks. Dalam analisis data
menggunakan analisis isi (content analysis). Dengan fokus kajian yang dibahas
dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan akhlak untuk peserta didik
menurut M. Quraish Shihab dalam buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak.
Dalam skripsi ini dibahas ide dan gagasan perihal nilai-nilai pendidikan akhlak
untuk peserta didik menurut M. Quraish Shihab yang tertuang dalam buku Yang
Hilang dari Kita: Akhlak, Yaitu meliputi toleransi, kedisiplinan, Al-Haya’/malu.
Ada beberapa sopan santun untuk peserta didik yang juga terkandung dalam buku
Yang Hilang dari Kita: Akhlak. Yaitu sopan santun terhadap Allah swt,sopan
santun terhadap Ibu-Bapak, sopan santun murid dan guru, sopan santun terhadap
sahabat/teman dan sopan santun terhadap berbicara. Banyak pembelajaran yang
dapat diambil selain dari nilai-nilai pendidikan akhlak untuk peserta didik atau
saran pendidikan dalam buku tersebut, terlebih mengenai bagaimana nilai-nilai
pendidikan akhlak untuk peserta didik sehingga menjadi seorang peserta didik
yang memiliki akhlak yang baik atau dapat juga dikatan dengan akhlakul karimah.
Buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak dapat dijadikan rujukan referensi baik bagi
peserta didik atau umat muslim pada umumnya dalam pendidikan akhlak.
Kata Kunci: Nilai-nilai Pendidikan Akhlak, Peserta Didik, M. Quraish
Shihab, Yang Hilang dari Kita: Akhlak.
ii
ABSTRACT
Gustin Ambarsih, NIM 11150110000132, "Values of Moral Education for
Students in Books Yang Hilang dari Kita: Akhlak", Thesis, Department of Islamic
Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State
Islamic University Jakarta, 2019.
This study aims to explore the thoughts of M. Quraish Shihab contained in books
or published manuscripts, namely to find out the values of moral education for
students according to M. Quraish Shihab in the Book Yang Hilang dari Kita:
Akhlak. The type of research used in the preparation of this thesis is a qualitative
research with library research methods or writing based on literature and
documentation study methods. Documentation studies are studies that focus on the
analysis or interpretation of written material based on context. In data analysis
using content analysis (content analysis). With the focus of the study discussed in
this research is moral education for students according to M. Quraish Shihab in
the book Yang Hilang dari Kita: Akhlak.
This thesis discusses ideas and ideas about the values of moral education for
students according to M. Quraish Shihab as contained in the book Yang Hilang
dari Kita: Akhlak, which includes tolerance, discipline, Al-Haya '/ shame. There
are some manners for students which are also contained in the book Missing Us:
Morals. Namely manners towards Allah, manners towards ladies and gentlemen,
manners of students and teachers, manners towards friends / friends and manners
towards speaking. Much learning can be taken apart from the values of moral
education for students or educational advice in the book, especially about how the
values of moral education for students so that they become a student who has
good morals or can also be addressed with moral morals . The Lost Book Yang
Hilang dari Kita: Akhlak can be used as a reference reference for students or
Muslims in general in moral education.
Keywords: Values of Moral Education, Students, M. Quraish Shihab, What
We Miss: Morals.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i
ABSTRACT ............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI............................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................................... 7
C. Pembatasan Masalah ..................................................................................... 8
D. Rumusan Masalah ......................................................................................... 8
E. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 8
F. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8
BAB II KAJIAN TEORI ....................................................................................... 10
A. Pendidikan .................................................................................................. 10
1. Pengertian Pendidikan ........................................................................... 10
2. Pengertian Pendidikan Islam.................................................................. 12
3. Ruang Lingkup Pendidikan Islam .......................................................... 16
B. Akhlak ......................................................................................................... 17
1. Pengertian Akhlak .................................................................................. 17
2. Macam-macam Akhlak .......................................................................... 21
3. Ruang Lingkup Akhlak .......................................................................... 24
C. Pendidikan Akhlak dan Tujuan ............................................................... 26
D. Hasil yang Relevan ..................................................................................... 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 30
A. Objek dan Waktu Penelitian ........................................................................ 30
B. Metode Penelitian ........................................................................................ 30
C. Fokus Penelitian ........................................................................................... 31
D. Prosedur Penelitian ...................................................................................... 31
vi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 33
A. Deskripsi Data ............................................................................................ 33
1. Biografi M. Quraish SHihab .................................................................. 33
2. Pendidikan M. Quraish Shihab .............................................................. 33
3. Karya-karya M. Quraish Shihab ............................................................ 35
4. Tentang Buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak ...................................... 36
B. Pendidikan Akhlak Menurut M. Quraish Shihab .................................. 36
C. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak untuk Peserta Didik Menurut M. Quraish
Shihab dalam Buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak ............................... 37
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 59
A. Kesimpulan .................................................................................................. 59
B. Implikasi ...................................................................................................... 59
C. Saran ............................................................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah moral adalah masalah yang saat ini banyak diperhatikan oleh
berbagai kalangan terutama dalam dunia pendidikan, usaha untuk
menanggulangi kemerosotan moral itu pun telah banyak dilakukan oleh
berbagai kalangan, baik lembaga keagamaan, pendidikan, sosial dan
instansi pemerintah. Namun hasil pembendungan arus yang berbahaya itu
belum tampak, justru permasalahan yang ada semakin pelik dan sulit untuk
ditanggulangi.1 Menurut Marzuki dalam buku Pendidikan Karakter Islam
dikatakan bahwa semua ini bermuara pada permasalahan karakter sumber
daya manusia saat ini, oleh karenanya pada tahun 2010 sebagai salah satu
upaya pemerintah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak
seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama membangun kembali nilai
budaya dan karakter luhur bangsa Indonesia yang sudah memudar. Nilai-
nilai karakter mulia yang dimiliki bangsa dan Negara Indonesia sejak
berabad-abad lalu yang sekarang mulai terkikis, harus dibangun kembali
terutama melalui dunia pendidikan.2
Adapun pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat
awalan “me” sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan
memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan
adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran. Selanjutnya, pengertian “pendidikan” menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.3 Guna menyelamatkan dan memperkokoh
akidah Islamiyah, pendidikan perlu dilengkapi dengan pendidikan akhlak.
1 Dzakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral Di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1976), h. 26.
2 Marzuki, Pendidikan Karekter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 3
3 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), h. 10.
2
Dalam rangka mendidik akhlakul karimah anak sebaiknya disisipkan
keteladanan yang tepat, yang menunjukan tentang bagaimana
menghormati, bersikap sopan, dan berkata jujur.
Akhlak merupakan sesuatu yang tidak pernah habis-habisnya untuk
dibicarakan. Sejak dari ketika seseorang mulai mengenal agamanya maka
disitulah dia juga sudah mempelajari apa-apa saja yang termasuk kedalam
akhlak yang terdapat di dalam agamanya. Bahkan di dalam agama Islam
sendiri hal ini merupakan salah satu sebab diutusnya seorang rasul sebagai
penutup para rasul yang sudah-sudah sehingga menjadi penyempurna
risalah terdahulu. Hal ini juga sesuai dengan sejarah yang ada bahwa
Muhammad Saw. ketika berdakwah juga beliau lebih berusaha sekuat
tenaga demi tercapainya atau tegaknya nilai-nilai akhlak di muka bumi ini.
Menanamkan nilai moral terutama di lingkungan sekolah semakin
sulit. Hal itu disebabkan pengaruh media massa dan pergaulan yang
semakin masyarakat luas, krisis keteladanan orang tua dalam keluarga dan
guru di sekolah.4
Sering kita dengar di media massa, berita tentang terjadinya tawuran,
kekerasan, dan kerusuhan antarpelajar, mahasiswa, antarwarga atau
bahkan antara guru dan murid. Realitas tersebut sangat memprihatinkan
bagi siapa saja yang mendengar, terutama bagi kalangan pendidik dan
akademisi. Seolah-oleh mereka, para pelaku tawuran dan kerusuhan,
kekerasan telah kehilangan nilai-nilai akhlaq al-karimah. Berbagai
fenomena dan gejala sosial seperti sopan santun yang mulai memudar,
kasus-kasus kekerasan, geng motor, tawuran, bentrok antar warga, dan
ketidakjujuran yang tercermin dengan semakin meningkatnya korupsi
seolah menjadi pemandangan sehari-hari di negeri ini.5
4 Muhammad Fajar Anwar dan Muhammad A. Salam, Membumikan Pendidikan
Karakter: implementasi Pendidikan Berbobot Nilai dan Moral, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟w, 2015),
h. 40. 5 Ridhani, Transformasi Nilai-nilai Karakter/Akhlak dalam Proses Pembelajaran,
(Yogyakarta: Lkis, 2013), h.1.
3
Sebagai contoh kejadian yang berhembus dari lingkungan pendidikan
di Kabupaten Sampang tepatnya di SMAN 1 Torjun. Pada hari Kamis
Februari 2018. Salah seorang murid melakukan tindakan kekerasan
terhadap guru seninya hingga meninggal dunia.6 Selain itu ada juga
seorang siswa yang menentang dan mendorong gurunya di dalam kelas,
hanya karena guru tersebut melarang untuk tidak main hp saat ujian
berlangsung, kejadian ini berlangsung di SMKN 3 Yogyakarta, pada
tanggal 20 Februari 2019.7 Jika dilihat dari beberapa peristiwa banyak hal
yang terjadi disebabkan dari runtuhnya moral atau pendidikan akhlak
seorang peserta didik terhadap guru, yang mana seharusnya seorang
peserta didik menghormati dan menyayangi gurunya.
Jika diperhatikan lebih jauh lagi, kondisi saat ini banyaknya kasus
sosial yang mengarah pada krisis moral level mengkhawatirkan. Maraknya
penyalahgunaan narkoba, pornografi, kekerasaan menjadi kasus sosial
yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Karena itu tidak
mengherankan jika pada 2018 Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) menyebutkan, siswa di Indonesia pernah mengalami kekerasan di
sekolah. Adanya berbagai kasus sosial yang tidak sesuai dengan etika, atau
moralitas menunjukkan rendahnya karakter generasi sekarang ini.
Menyadari fakta-fakta krisis moral saat ini, maka bangsa ini sedang
berada di tepi jurang kehancuran dan hanya menunggu waktu untuk jatuh
ke dalamnya. Sebagaimana pandangan Thomas Lickona, seorang pendidik
karakter dari Cortland University, New York, terdapat sepuluh tanda-tanda
sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, seperti: meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja; membudayanya ketidakjujuran; sikap
fanatik terhadap kelompok; rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan
6 Ratna Puspita, “Guru DIaniaya Siswa Karena Runtuhnya Moral”,
https://republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/p3mk3z428/mahfud-md-guru-dianiaya-siswa-
karena-runtuhnya-moral. Diakses pada tanggal 13 Juli 2019 pukul 22:20. 7 Firdaus Anwar, “SIswa Berani Aniaya Guru”, https://health.detik.com/berita-
detikhealth/d-4438455/alasan-kenapa-siswa-yang-berani-aniaya-guru-harus-dihukum-
rehabilitatif?_ga=2.51697450.2014665742.1563031812-1659631055.1563031812. Diakses pada
tanggal 13 Juli 2019 pukul 23:00.
4
guru; semakin kaburnya moral baik dan buruk; penggunaan bahasa yang
memburuk.8 Jika dilihat dari penjelasan di atas, krisis moral yang tidak
segera diatasi akan berdampak luas terhadap timbulnya berbagai krisis
lainnya. Tidak hanya membawa dampak buruk terhadap perkembangan
pola pikir masyarakat, lebih berbahaya lagi dapat mengancam kepentingan
bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pendidikan akhlak juga permasalahan utama yang menjadi tantangan
manusia sepanjang sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa yang diabadikan
dalam Al-Qur‟an baik kaum „Ad, Tsamud, Madyan maupun yang didapat
dalam buku-buku sejarah menunjukkan bahwa suatu bangsa akan kokoh
apabila akhlaknya kokoh dan sebaliknya suatu bangsa akan runtuh bila
akhlaknya rusak.
Pendidikan harus menjadikan akhlak yang mulia sebagai salah satu
tujuan yang semestinya dicapai. Realitanya, perilaku serta akhlak dari
pelajar saat ini sangatlah memprihatinkan, diantaranya mereka cenderung
bertutur kata yang kurang baik, bertingkah laku yang kurang sopan, dan
tidak lagi patuh terhadap orang tua maupun gurunya, jika tidak
ditanggulangi akan berdampak buruk pada diri peserta didik, maka akhlak
perlu diimplementasikan di dalam berbagai lini kehidupan agar tercapai
kehidupan yang bahagia, tidak terkecuali di dalam bidang pendidikan.
Sebagaimana menurut Imam Abu Hamid Al-Ghazali bahwa
memperhatikan masalah pendidikan anak itu sejak kecil, sejak permulaan
umurnya, karena bagaimana adanya seorang anak, begitulah besarnya
nanti.9 Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa faktor hilangnya
akhlak peserta didik adalah karena sejak dini tidak ditanamkan nilai-nilai
akhlak. Jadi, jika seorang anak berperilaku tidak baik karena tidak
mendapatkan perhatian khusus dari orang tuanya terkait pendidikan akhlak
8 Marhamah, “Krisis Moral, Jadi Degradasi Pendidikan”,
https://layarberita.com/2019/04/19/krisis-moral-jadi-degradasi-pendidikan/, Diakses pada tanggal
13 Juli 2019 pukul 23:22. 9 M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), h. 118.
5
dari usia dini, maka kemungkinan besar ia juga berperilaku tidak baik
kelak saat ia sudah dewasa.
Urgensi penanaman nilai-nilai akhlak anak sejak usia dini sebenarnya
sudah menjadi perhatian para ulama atau ilmuan muslim. Perhatian ulama
terhadap pendidikan akhlak salah satunya tampak dari kata pengantar oleh
„Umar Bin Ahmad Bārajā‟dalam kitabnya al-akhlāq li al-banīn. Beliau
menjelaskan bahwa memperhatikan perilaku anak-anak dan peserta didik
itu merupakan hal yang sangat bagus dan tidak boleh disepelekan. Faktor
hilangnya akhlak peserta didik karena kurangnya menanamkan nilai-nilai
akhlak pada anak usia dini, sehingga jika perilaku dan akhlak anak tidak
diperhatikan sampai seorang anak berperilaku tidak baik, maka jika nanti
ia sudah dewasa, perilaku tidak baik akan ia lakukan.10
Akhlak dalam
kehidupan manusia menempati tempat yang paling penting, sebagai
individu maupun sebagai masyarakat. Apabila akhlaknya baik, dapat
mengangkat status drajat yang tinggi lagi mulia bagi dirinya, bila
akhlaknya rusak, maka rendahlah derajatnya melebihi hewan.11
Islam datang sebagai pencerahan atas gelapnya zaman yang melanda
kehidupan manusia. Jahiliyah merupakan sebutan bagi zaman yang
mengalami kebobrokan akhlak dan perilaku sosial lainnya. Allah swt.
mengutus Nabi Muhammad saw. untuk membawa risalah kenabian yang
mana satu pokok tujuan risalahnya adalah perihal akhlak. Beliau
Rasulullah saw. bersabda:
لق خأ ا بعثأت لتم صالح الأ إنم
Artinya: “sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) semata-mata
untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR. Al-Bukhari, alHakim
dan al-Baihaqi).
10
Umar Ibnu Ahmad Baraja‟ , Akhlaq Li Al-Banin, (Surabaya: Ahmad Nabhan), h. 2. 11
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2007),
h. v.
6
Dari hadist tersebut secara amat jelas menekankan akan pentingnya
dimensi akhlak. Karena, kemuliaan seseorang terletak pada akhlaknya, bila
berakhlak baik dapat membuat seseorang menjadi aman, tenang, tentram,
dan tidak tercela. Sedangkan, berakhlak buruk menjadi sorotan bagi
masyarakat sekelilingnya,melanggar norma-norma dan penuh dengan
sifat-sifat tercela.
Manusia adalah makhluk yang beradab menurut tabiatnya dan
makhluk sosial menurut fitrahnya. Mereka saling suka dan beramah-tamah
sesamanya. Dalam pergaulan, terdapat hak-hak dan aturan kesopanan yang
banyak mereka perhatikan. Seseorang itu sedikit bila ia sendiri dan
menjadi banyak dengan kehadiran teman-temannya. Hal yang paling
berpengaruh terhadap suasana keakraban dalam masyarakat adalah akhlak
yang baik. Agama banyak menganjurkan hal itu, karena ia merupakan
penyebab adanya sikap saling bersahabat dan saling mencintai. Oleh sebab
itu dalam kaitannya dengan pendidikan, pendidikan akhlak sangat penting
bagi peserta didik dalam menumbuhkembangkan hubungan antara peserta
didik dengan Sang Pencipta, hubungan antara peserta didik dengan
manusia lainnya sehingga memunculkan suatu sikap yang harmonis di
antara sesamanya.
Kondisi demikian perlu pengkajian ulang tentang pendidikan
akhlak untuk peserta didik. Beberapa tokoh juga banyak yang
menyampaikan sumbangsih pemikirannya terhadap pendidikan, terutama
tentang pendidikan akhlak untuk peserta didik. M. Quraish Shihab adalah
salah satu tokoh yang cocok untuk dilontarkan, karena M. Quraish Shihab
juga besar perhatiannya terhadap pendidikan. Sebelum diselami secara
mendalam pemikiran M. Quraish Shihab tentang pendidikan akhlak untuk
peserta didik maka penting untuk mengetahui dahulu beberapa
pemikirannya. Hal ini untuk memudahkan menganalisis pemikiran tentang
pendidikan akhlak untuk peserta didik. Menurut M. Quraish Shihab
berakhklak mulia dan berbudi pekerti luhur adalah perilaku perbuatan
7
yang patut dimiliki seorang Muslim. Dari pemaparan tersebut, faktor
hilangnya akhlak peserta didik adalah Islam belum sepenuhnya terpatri
dalam jiwa dan pemikiran umat, sehingga akhlak dan moral yang telah
diajarkan Islam belum terealisasi dalam kehidupan sehari-hari. Ada
beberapa karya M. Quraish Shihab, namun penulis menggunakan buku
Yang Hilang dari Kita: Akhlak sebagai objek penelitian karena buku
tersebut secara detail membahas mengenai akhlak untuk peserta didik.
Dalam buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak dibahas tentang
pendidikan akhlak yang perlu dimiliki oleh peserta didik. Pendidikan
akhlak menurut M. Quraish Shihab diantaranya adalah toleransi,
kedisiplinan, al-Haya‟/malu, sopan santun terhadap Allah swt, sopan
santun terhadap ibu-bapak, sopan santun terhadap murid dan guru, sopan
santun terhadap sahabat, dan sopan santun berbicara.
Dari beberapa persoalan yang sudah diuraikan, dapat diambil suatu
pesan tentang pentingnya menanamkan akhlak pada peserta didik.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis merasa
perlu untuk meneliti secara mendalam pendidikan akhlak untuk peserta
didik menurut M. Quraish Shihab. Oleh karena itu, di sini peneliti
mencoba mengkaji sebuah karya ilmiah yang berjudul “Nilai-nilai
Pendidikan Akhlak untuk Peserta Didik Menurut M. Quraish Shihab
dalam buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak”.
B. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang tentang hilangnya akhlak peserta
didik di atas, maka dapat diidentifikasi masalahnya sebagai berikut:
1. Tidak ditanamkannya nilai-nilai pendidikan akhlak pada
peserta didik.
2. Kurangnya menanamkan nilai-nilai akhlak pada anak usia dini.
3. Akhlak dan moral yang telah diajarkan Islam belum terealisasi
dalam kehidupan sehari-hari khususnya pada peserta didik.
8
C. Pembatasan Masalah
Permasalahan yang akan diungkap yaitu mengenai Nilai-nilai
Pendidikan Akhlak untuk Peserta Didik Menurut Muhammad Quraish
Shihab dalam buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas, maka penulis merumuskan
masalah mengenai:
“Bagaimanakah Nilai-nilai Pendidikan Akhlak untuk Peserta didik
menurut M. Quraish Shihab yang tertuang dalam buku yang Hilang
dari Kita: Akhlak?”
E. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menjawab
permasalahan dalam latar belakang dan rumusan masalah di atas dan
adapun tujuan lainnya demi memperoleh gambaran tentangnilai-nilai
pendidikan akhlak untuk peserta didik yang terkandung dalam buku yang
Hilang dari Kita: Akhlak karya M. Quraish Shihab, dengan besar harapan
dapat memperkaya khazanah referensi tentang pendidikan akhlak menurut
M. Quraish Shihab.
F. Manfaat Penelitian
1. Teoritis : Penelitian ini secara umum memberikan informasi tentang
nilai-nilai pendidikan akhlak. Penelitian ini dapat diguanakan sebagai
penambahan kajian pustaka atau khasanah keilmuan tentang nilai-nilai
pendidikan akhlak untuk peserta didik menurut M. Quraish Shihab
dalam buku yang Hilang dari Kita: Akhlak.
2. Praktis :
a. Bagi Pendidik, dapat dipakai sebagai sumber infomasi sehingga
mengetahui bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak untuk peserta
didik menurut M. Quraish Shihab dalam buku yang Hilang dari
Kita: Akhlak.
b. Bagi Masyarakat, dapat dipakai sebagai sumber informasi tentang
pendidikan akhlak, terutama nilai-nilai pendidikan akhlak untuk
9
peserta didik menurut M. Quraish Shihab dalam buku yang Hilang
dari Kita, Akhlak.
c. Bagi para peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi
berkaitan dengan penelitian dengan tema yang sama.
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan atau karakter yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan Negara.1
Pernyataan tersebut merupakan salah satu konsep pendidikan yang
menekankan betapa penting dan kuatnya peranan pendidikan dalam
pembinaan manusia. Artinya, pendidikan sebagai suatu kegiatan
pembinaan sikap dan mental yang akan menentukan tingkah laku
seseorang.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata pendidikan berasal dari kata
didik yang artinya pelihara dan latih, sedangkan pendidikan sendiri
memiliki pengertian hal perbuatan dalam cara mendidik.2
Pengertian pendidikan yang diberikan oleh ahli. John Dewey,
seperti yang dikutip oleh M. Arifin menyatakan bahwa pendidikan
adalah sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya
perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia dan manusia
biasa.3
Adapun pengertian-pengertian atau definisi pendidikan menurut
para tokoh antara lain:
1 Zuchdi Darmiyati, Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif ,
(Yogyakarta : UNY Press, 2010), h. 2-3. 2 Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h.352. 3 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), h. 1.
11
a. Ahmad D. Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama.4
b. Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah usaha yang dilakukan
dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan
dan kebahagian manusia, berkebudayaan, berasas peradaban,
memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.5
c. Ngalim Purwanto, pendidikan adalah pimpinan yang diberikan
dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam
pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri
sendiri dan bagi masyarakat.6
Pendidikan juga disebut usaha sadar untuk
mengembangkan akhlak, keterampilan, dan pengetahuan anak
dan pemuda di sekolah maupun di rumah, agar hidup mereka
bahagia dan bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa.7
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah
suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sadar dan
disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun
rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik
serta menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya
dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan
bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur
menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia.
4 Achmad Sudja’i, “Pemikiran Pendidikan Prof. Dr. Hasan Langgulung”, dalam Ruswan
Thoyib (ed.), Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Semarang:
Pustaka Fajar, 1999), h. 37. 5 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.5.
6 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2014), h.1. 7 Jejen Musfah, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 9 – 11.
12
2. Pengertian Pendidikan Islam
Secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai
pendidikan yang di dasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana
yang tercantum dalam al-Qur’an dan Hadits serta dalam pemikiran
para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam.8 Ilmu Pendidikan
(agama) Islam merupakan suatu ilmu yang membicarakan tentang
upaya pengembangan secara sistematis bagaimana proses mengajarkan
pendidikan ajaran agama Islam melalui pembinaan, pembimbingan,
dan pelatihan yang dilakukan oleh orang ke orang lain, agar Islam
dapat dijadikan sebagai panutan (way of life).9
Pendidikan Islam, menurut Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Toumy
al-Syaebani, diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu
dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan
kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan.
Jelaslah bahwa proses kependidikan merupakan rangkaian usaha
membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa
kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga
terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk
individual, dan sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar di
mana ia hidup. Proses tersebut senantiasa berada di dalam nilai-nilai
Islami, yaitu nilai-nilai yang melahirkan norma-norma syari’ah dan
akhlak al-kariemah.10
Hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se Indonesia tahun 1960,
memberikan pengertian Pendidikan Islam:”sebagai bimbingan
terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam
dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan
mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Istilah membimbing,
8 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 161. 9 A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press,
2008), h. 6. 10
M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 13.
13
mengarahkan dan mengasuh serta mengajarkan atau melatih
mengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui
proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan yaitu
“menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran
sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan berbudi luhur
sesuai ajaran Islam. Menurut pandangan Islam, manusia adalah
makhluk ciptaan Allah yang di dalam dirinya diberi kelengkapan-
kelengkapan psikologis dan fisik yang memiliki kecenderungan ke
arah yang baik dan yang buruk.11
Hasil rumusan Konggres se-Dunia ke II tentang pendidikan Islam
melalui Seminar tentang Konsepsi Kurikulum Pendidikan Islam tahun
1980 dinyatakan bahwa : Pendidikan Islam ditujukan untuk mencapai
keseimbangan pertumbuhan dari pribadi manusia secara menyeluruh
melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan
dan pancaindera. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus
mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual,
intelektual, imajinasi (fantasi), jasmaniah, keilmiahannya, bahasanya,
baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong aspek-
aspek itu kea rah kebaikan dank e arah pencapaian kesempurnaan
hidup.12
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu
kepada term al-tarbiyah, al-ta‟dib, dan al-ta‟lim.
a. Istilah al-Tarbiyah
Penggunaan istilah tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun
kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya
menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara,
merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau
eksistensinya. Dalam penjelasan lain, kata al-tarbiyah berasal
dari tiga kata, yaitu: Pertama, rabba-yarbu yang berarti
11
Ibid., h. 14. 12
Ibid., h. 15.
14
bertambah, tumbuh, dan kembang (Q.S. Ar Ruum/30:39).
Kedua, rabiya-yarba berarti menjadi besar. Ketiga, rabba-
yarubbu berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun,
dan memlihara. Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam
Q.S. Al Fatihah/1:2 (alhamdu li Allahi rabb al-„alamin)
mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah
al-Tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan murobbi (pendidik)
berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka
Allah adalah pendidik yang maha Agung bagi seluruh alam
semesta. Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan
Islam yang dikandung dalam term al-Tarbiyah terdiri atas
empat unsur pendekatan : yaitu (1) memelihara dan menjaga
fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh). (2)
mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. (3)
mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. (4)
melaksanakan pendidikan secara bertahap.13
b. Istilah al-Ta’lim
Istilah ini telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan
pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat
universal di banding dengan al-Tarbiyah maupun al-Ta‟dib.
Rasyid Ridha mengatakan al-Ta‟lim sebagai proses transmisi
berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketenuan tertentu.
Dalam argumentasi lainnya, istilah al-ilmu (sepadan dengan al-
ta‟lim) dalam al-Qur’an tidak terbatas hanya berarti ilmu saja.
Lebih jauh kata tersebut dapat diartikan ilmu dan amal. Kata
fa‟lam (ketahuilah) pada Q.S. Muhammad/47:19 memiliki
makna sekedar mengetahui (ilmu) secara teoritis yang tidak
memiliki pengaruh bagi jiwa, akan tetapi mengetahui yang
13
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 25-26.
15
membekas dalam jiwa dan ditampilkan dalam bentuk aktivitas
(amaliah).14
c. Istilah al-Ta’dib
Menurut al-Attas, “istilah yang paling tepat untuk menunjukan
pendidikan Islam adalah al-Ta‟dib. Penggunaan istilah al-
Tarbiyah terlalu luas untuk mengungkapkan hakikat dan
operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab, kata al-Tarbiyah
yang memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang
tidak hanya digunakan untuk manusia, akan tetapi juga
digunakan untuk melatih dan memelihara bunatang atau
makhluk Allah, lainnya. Oleh karenanya, penggunaan istilah
al-tarbiyah tidak memiliki akar yang kuat dalam khazanah
bahasa Arab. Timbulnya istilah ini dalam dunia Islam
merupakan terjemahan dari bahasa Latin “educatio” atau
bahasa Inggris “education”. Kedua kata tersebut dalam batasan
pendidikan Barat lebih banyak menekankan pada aspek pisik
dan material. Sementara pendidikan Islam, penekanannya tidak
hanya aspek tersebut, akan tetapi juga pada aspek psikis dan
immaterial. Dengan demikian, istilah al-Ta‟dib merupakan
terma yang paling tepat dalam khazanah bahasa Arab karena
mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan,
pengajaran, dan pengasuhan yang baik sehingga maka al-
Tarbiyah dan al-Ta‟lim sudah tercakum dalam term al-Ta‟dib.
Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term di atas,
secara terminology, para ahli pendidikan Islam telah mencoba
memformulasi pengertian pendidikan Islam. Diantara batasan
yang sangat variatif tersebut adalah:
1. Al-Syaibaniy, mengemukakan bahwa pendidikan Islam
adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik
pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya.
14
Ibid., h. 27-29.
16
2. Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan
Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta
mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan
berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang
mulia.
3. Ahmad D. Marimba, mengemukakan bahwa pendidikan
Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang
utama (insan kamil).15
3. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Islam adalah suatu agama yang berisi suatu ajaran tentang tata cara
hidup yang dituangkan Allah kepada umat manusia melalui para
Rasulnya sejak dari Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad saw.
Kalau para Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw, pendidikan itu
berwujud prinsif atau pokok-pokok ajaran yang disesuaikan menurut
keadaaan dan kebutuhan pada waktu itu, bahkan disesuaikan menurut
lokasi atau golongan tertentu, maka pada Nabi Muhammad saw.
Prinsip pokok ajaran itu disesuaikan dengan kebutuhan umat manusia
secara keseluruhan, yang dapat berlaku pada segala masa dan tempat.
Ini berarti bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Rasul merupakan
ajaran yang melengkapi atau menyempurnakan ajaran yang dibawa
oleh para Nabi sebelumnya.16
Ruang lingkup pendidikan Islam adalah berkaitan dengan
persoalan-persoalan yang menyeluruh dan mengandung generalisasi
bagi semua jenis dan tingkat pendidikan Islam yang ada baik yang ada
di masa sekarang maupun di masa yang akan dating. Dengan kata lain,
pendidikan Islam adalah suatu system pendidikan yang memungkinkan
seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideology
15
Ibid., h. 30-32. 16
Mappasiara, “Pendidikan Islam (Pengertian, Ruang Lingkup dan Epistemologinya)”,
Jurnal Pendidikan, Vol. 7 No. 1 2018.
17
(cita-cita) Islam sehingga ia dengan mudah dapat membentuk dirinya
sesuai dengan ajaran Islam. Artinya, ruang lingkup pendidikan Islam
telah mengalami perubahan sesuai tuntunan waktu yang berbeda-beda
karena sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan imu dan
teknologi. Pendidikan Islam sebagai alat pembudayaan Islam memiliki
watak lentur terhadap perkembangan cita-cita kehidupan manusia
sepanjang zaman. Namun watak itu tetap berpedoman kepada prinsip-
prinsip nilai Islami. Pendidikan Islam juga mampu mengkomodasikan
tuntutan hidup manusia dari masa ke masa termasuk di bidang ilmu
dan teknologi dengan sikap mengarahkan dan mengendalikan tuntutan
hidup tersebut dengan nilai-nilai fundamental yang bersumber dari
iman dan taqwa kepada Allah swt. Iman dan taqwa inilah yang
merupakan rujukan dan transparansi tingkah laku manusia yang
memiliki jiwa kemanusiaan.17
B. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Menurut istilah etimologi perkataan akhlak berasal dari bahasa
Arab yaitu, akhlaaqun yang bentuk jamaknya adalah khaliqun ini
mengandung arti “budi pekerti, tingkah laku, perangai dan tabiat”.
Kata akhlak ini berakar dari kata khaliqun, yang artinya menciptakan.
Kata akhlak merupakan satu akar kata dengan khaaliqun (pencipta),
makhluuqun (yang diciptakan) dan khaliqun (penciptaan). Di sini
memberi makna bahwa antara kehendak Allah sebagai khaaliqun dan
perlakuan seorang makhluuqun perlu adanya sebuah keterpaduan.
Manusia harus menjalani kehidupan ini sebagaimana diinginkan oleh
Allah (khaliq), segala perilaku, tindak tanduk, budi pekerti, tabiat
manusia harus sesuai dengan apa yang disukai Allah. Jika tidak sesuai
dengan perintah Allah itu berarti manusia menunjukkan kecongkakan,
kesombongan, dan melawan kehendap Pencipta. Kita manusia adalah
17
Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam Menggali “Tradisi”,
Meneguhkan Eksistensi, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 25-26.
18
makhluk yang dhaif sekali di hadapan Yang Maha Kuasa, oleh karena
itu eloklah kita menjadi manusia yang taat dan patuh kepada segala
ketentuan-Nya termasuklah dalam menjalankan akhlak sehari-hari
dalam kehidupan ini. Dalam Lisan al-„Arab, makna akhlak adalah
perilaku seseorang yang sudah menjadi kebiasaannya, dan kebiasaan
atau tabiat tersebut selalu terjelma dalam perbuatannya secara lahir.
Pada umumnya sifat atau perbuatan yang lahir tersebut akan
mempengaruhi batin seseorang. Akhlak juga dapat dipahami sebagai
prinsip dan landasan atau metode yang ditentukan oleh wahyu untuk
mengatur seluruh perilaku atau hubungan antara seseorang dengan
orang lain sehingga tujuan kewujudannya di dunia dapat dicapai
dengan sempurna.18
Seorang ulama mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
“Sesungguhnya akhlak itu ialah kemauan (azimah) yang kuat tentang
sesuatu yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi adat yang
membudaya, yang mengarah pada kebaikan atau keburukan.
Terkadang adat itu terjadi secara kebetulan tanpa disengaja atau
dikehendaki. Mengenai yang baik atau yang buruk, hal itu tidak
dinamakan akhlak”. Hasrat atau azimah-lah yang membentuk akhlak
seseorang. Orang akan cenderung kepada hasratnya jikalau ia
melakukannya berulang-ulang sehingga terbentuk menjadi akhlak. Jika
yang dilakukannya adalah hal-hal baik, akhlaknya pun menjadi baik
(derajat tinggi). Jika yang dilakukannya adalah hal-hal buruk,
akhlaknya pun menjadi buruk (derajat rendah). Dengan demikian,
akhlak bersifat kejiwaan (nafsiyah) dan abstrak (ma‟nawiyah), dan
bentuknya yang tampak dinamakan mu‟amalah (tindakan/perilaku).
Akhlak menjadi sumber dari segala perbuatan.19
18
Muhammad Abdurrahman, Akhlak: Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 6. 19
Bambang Trim, Meng-instal Akhlak Anak, (Jakarta: PT. Grafindo Media Pratama,
2008), h. 6.
19
Akhlak adalah risalah terpenting yang diemban oleh Nabi
Muhammad saw. Al-Qur’an mengatakan, Sungguh, Allah telah
memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah)
mengutus seorang rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari
kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-
ayatNya, menyucikan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka
kitab (al-Qur‟an) dan hikmah (sunah), meskipun sebelumnya, mereka
benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Ali Imran:164).
Rasulullah juga mengatakan agar umatnya menghiasi diri dengan
akhlak yang mulia karena itulah yang menjadi misinya. “Aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. “Di hari kiamat tidak
ada yang diletakkan di dalam timbangan (mizan) yang lebih bernilai
dibandingkan akhlak yang mulia.”20
Dalam buku yang Hilang dari Kita Akhlak oleh M. Quraish Shihab
Imam al-Ghazaly mengemukakan bahwa:
“Khuluq dan khalaq adalah dua kata yang dapat ditemukan dalam
satu kalimat. Anda dapat berkata: Fulan Hasan al khalq wa al
khuluq (si A baik bentuk badannya dan baik pula akhlaknya). Yang
pertama dapat dilihat dengan mata kepala, sedang yang kedua
karena bersifat batin “tidak terlihat substansinya”, tetapi terlihat
dampak pada aktifitasnya. Hakikat kedua kata tersebut ada pada
diri setiap insan karena manusia adalah gabungan dari jasmani dan
rohani yang masing-masing bisa jadi baik dan juga buruk. Al
Ghazali lebih jauh menjelaskan bahwa khuluq (akhlak) merupakan
kondisi kejiwaan yang mantap, yang atas dasarnya lahir aneka
kegiatan yang dilakukan dengan mudah, tanpa harus dipikirkan
terlebih dahulu. Nah, bila kondisi kejiwaan itu baik dan
melahirkanperbuatan-perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan
agama baik, pemiliknya dinilai memiliki akhlak mulia. Sebaliknya
pun demikian.21
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap
atau kehendak manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa
yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits yang daripadanya timbul
20
Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 228. 21
M. Quraish Shihab, yang Hilang dari Kita Akhlak, (Tangerang Selatan: Lentera Hati,
2016), h. 5.
20
perbuatan-perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan secara mudah tanpa
memerlukan pembimbingan terlebih dahulu. Jiwa kehendak jiwa itu
menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang
bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula
sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-
kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan akhlak yang tercela.
Jika dilihat dari pengertiannya akhlak bisa dikatakan dengan sopan
santun sebagaimana yang dijelaskan oleh Antoro (2010:3) sebagai
perilaku individu yang menjunjung tinggi nilai-nilai menghormati,
menghargai, tidak sombong dan berakhlak mulia. Perwujudan dari
sikap sopan santun ini adalah perilaku yang menghormati orang lain
melalui komunikasi yang menggunakan bahasa yang tidak
meremehkan atau merendahkan orang lain. Sopan santun secara umum
adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan dalam
kelompok sosial. Norma kesopanan bersifatrelatif, artinya apa yang
dianggap sebagai norma kesopanan akan berbeda-beda di berbagai
tempat, lingkungan, dan waktu. Menurut kamus bahasa Indonesia,
sopan berarti hormat dengan tak lazim secara tertib menurut adab yang
baik. Sedangkan santun adalah halus dan baik (budi bahasanya,
tingkah lakunya). Jika kedua kalimat itu digabungkan, maka sopan
santun adalah pengetahuan yang berhubungan dengan penghormatan
melalui sikap, perbuatan atau tingkah laku.22
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwasannya akhlak,
dan sopan santun memiliki persamaan yaitu mengacu kepada ajaran
atau gambaran tentang sikap, perbuatan atau tingkah laku. Adapun
perbedaan antara akhlak dan sopan santun yaitu akhlak bisa disebut
perilaku seseorang yang sudah menjadi kebiasaannya dan kebiasaan
tersebut selalu terjelma dalam perbuatannya secara lahir. Sedangkan
22
Puspa Djuwita, “Pembinaan Etika Sopan Santun Peserta Didik Kelas V Melalui
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Di Sekolah Dasar Nomor 45 Kota Bengkulu”, Jurnal
Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Vol. 10 No 1 2017.
21
sopan santun yaitu peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan
dalam kelompok sosial.
2. Macam-macam Akhlak
Dilihat dari segi hubungan manusia dengan dirinya, serta
hubungannya dengan Tuhan, manusia dan lainnya, maka akhlak itu ada
yang berkaitan dengan dirinya sendiri, dengan Tuhan, dengan manusia,
dengan masyarakat, dengan alam dan dengan segenap makhluk Tuhan
lainnya yang gaib. Akhlak dengan diri sendiri antara lain tidak
membiarkan diri sendiri dalam keadaan lemah, tidak berdaya dan
terbelakang, baik secara fisik, intelektual, jiwa, spiritual, sosial dan
emosional. Akhlak terhadap diri sendiri dilakukan dengan cara
membuat diri secara fisik dalam keadaan sehat, kokoh dan memiliki
berbagai keterampilan, mengisi otak dan akal pikiran dengan berbagai
pengetahuan, mengisi jiwa dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan,
dan seni, mengisi jiwa dengan kemampuan bersosialisasi dengan
masyarakat sekitarnya dan sebagainya.23
Adapun akhlak terbagi menjadi dua yaitu, akhlak terpuji (akhlak
mahmudah) dan akhlak tercela (akhlak madzmumah).
a. Akhlak Terpuji (Akhlak Mahmudah)
Secara etimologi, akhlak mahmudah adalah akhlak yang
terpuji. Mahmudah merupakan bentuk maf‟ul dari kata hamida,
yang berarti dipuji. Akhlak mahmudah atau akhlak terpuji disebut
pula dengan akhlaq al-karimah (akhlak mulia), atau al-akhlaq al-
munjiyat (akhlak yang menyelamatkan pelakunya). Akhlak
mahmudah yaitu perilaku manusia yang baik dan disenangi
menurut individu, maupun sosial, serta sesuai dengan ajaran yang
bersumber dari Tuhan. Akhlak mahmudah dilahirkan oleh sifat-
sifat mahmudah yang terpendam dalam jiwa manusia, demikian
pula akhlak madzmumah, dilahirkan oleh sifat-sifat madzmumah.
23
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.
209.
22
Oleh karena itu, sikap dan tingkah laku yang lahir, adalah cermin
dari sifat atau kelakuan batin seseorang.24
Menurut tabiatnya, perangai seseorang terdidik untuk
mengutamakan kemuliaan, kebenaran, cinta kebijaksanaan, dan
suka kepada yang baik, serta senantiasa terdidik untuk menyukai
yang indah dan membenci yang buruk sehingga menjadi suatu
kebiasaan yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik
dengan mudah tanpa rasa keterpaksaan, maka ia dikatakan sebagai
“akhlak yang baik”. Semua perilaku bagus yang lahir dari
kebiasaan tanpa keterpaksaan, disebut akhlak-akhlak yang baik,
seperti kebijaksanaan, kemurahan hati, kesabaran, keteguhan,
kedermawanan, kesatriaan, keadilan, kebaikan, dan perangai-
perangai utama serta kesempurnaan-kesempurnaan jiwa lainnya. 25
Adapun induk-induk akhlak yang baik itu seperti disebut
Al-Ghazali, adalah sebagai berikut:
1. Kekuatan ilmu wujudnya dalah hikmah (kebijaksanaan),
yaitu keadaan jiwa yang bisa menentukan hal-hal yang
benar diantara yang salah dalam urusan ikhtiariyah
(perbuatan yang dilaksanakan dengan pilihan dan
kemauan sendiri).
2. Kekuatan marah wujudnya adalah syaja‟ah (berani),
yaitu keadaan kekuatan amarah yang tunduk kepada
akal pada waktu dilahirkan atau dikekang.
3. Kekuatan nafsu syahwat wujudnya adalah „iffah
(perwira), yaitu keadaan syahwat yang terdidik oleh
akal dan syari’at agama.
4. Kekuatan keseimbangan diantara kekuatan yang tiga di
atas wujudnya ialah adil, yaitu kekuatan jiwa yang
24
Samsul Munir Amin, Ilmu Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2016), h. 181. 25
Asma’ Umar Hasan Fad’aq, Mengungkap Makna & Hikmah Sabar, (Jakarta: Lentera,
1999), h. 17.
23
dapat menuntun amarah dan syahwat sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh hikmah.26
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan
memiliki akhlak terpuji akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik
seperti, jujur, suka memberi kepada sesama, tawadhu, tabah,
pemaaf, kasih sayang terhadap sesama, berani dalam kebenaran,
menghormati orang lain, sabar, mengutamakan kemuliaan, berani
dalam kebenaran, dan menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik.
b. Akhlak Tercela (Akhlak Madzmumah)
Secara etimologi, kata madzmumah berasal dari bahasa
Arab yang artinya tercela. Oleh karena itu, akhlak madzmumah
artinya akhlak tercela. Istilah akhlak madzmumah digunakan dalam
beberapa kitab akhlak, seperti Ihya‟ „Ulumuddin dan Ar-Risalah
Al-Qusyairiyah. Semua yang bertentang dengan akhlak terpuji
disebut akhlak tercela. Akhlak tercela merupakan tingkah laku
yang tercela yang dapat merusak keimanan seseorang, dan
menjatuhkan martabatnya sebagai manusia. Akhlak tercela juga
menimbulkan orang lain merasa tidak suka terhadap perbuatan
tersebut. Akhlak tercela adalah akhlak yang bertentangan dengan
perintah Allah. Dengan demikian, pelakunya mendapat dosa karena
mengabaikan perintah Allah.27
Adapun yang termasuk akhlak tercela, yaitu:
1. Khubtsan wa Jarbazah (keji dan pintar busuk) dan
balhan (bodoh), yaitu keadaan jiwa yang terlalu pintar
atau tidak bisa menentukan yang benar diantara yang
salah karena bodohny, di dalam urusan ikhtiariah.
2. Tahawwur (berani tapi sembrono), jubun (penakut) dan
khauran (lemah, tidak bertenaga), yaitu kekuatan
26
Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat &
Tasawuf, (Jakarta: Cv. Karya Mulia, 2005), h. 62. 27
Ibid., h. 232.
24
amanah yang tidak bisa dikekang atau tidak pernah
dilahirkan, sekalipun sesuai yang dikehendaki akal.
3. Syarhan (rakus) dan jumud (beku), yaitu keadaan
syahwat yang tidak terdidik oleh akal dan syari;at
agama, berarti ia bisa berkelebihan atau sama sekali
tidak berfungsi.
4. Zalim, yaitu kekuatan syahwat dan amarah yang tidak
terbimbing oleh hikmah, sekaligus kebalikan dari adil.28
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keadaan
akhlak adalah pangkal yang menentukan corak hidup manusia.
Dengannya manusia akan mengetahui yang baik dan yang buruk, dapat
membedakan yang patut dan tak patut, yang hak dan yang bathil, boleh
dan tidak boleh dilakukan.
3. Ruang Lingkup Akhlak
Akhlak memiliki karakterisitik yang universal. Artiya ruang
lingkup dalam pandangan Islam sama luasnya dengan ruang lingkup
pola hidup dan tindakan manusia dimana ia berada.29
Akhlak pada
dasarnya melekat dalam diri seseorang, bersatu dengan perilaku dan
perbuatan. Jika perilaku yang melekat itu buruk, maka disebut akhlak
yang buruk atau akhlak mazmumah, dan sebaliknya, apabila perilaku
tersebut baik disebut akhlak mahmudah.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya
sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai
berhadapan dengan baik dan buruk. Maka membedakan halal dan
haram, hak dan batil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun
manusia tersebut bisa melakukan.
28
Ardani, op.cit., h. 64. 29
Sahriansyah, Ibadah dan Akhlak, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014), h. 201.
25
Achmad Gholib, M.Ag dalam buku Pendidikan Akhlak dalam
Tatanan Masyarakat Islami mengatakan setidaknya terdapat 3 poin
mengenai ruang lingkup akhlak, diantaranya:
a. Akhlak terhadap Allah, adalah pengakuan dan kesadaran
bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dengan berperilaku
bersyukur, meyakini, dan taat terhadap perintah Allah SWT.
b. Akhlak terhadap sesama manusia, adalah berbuat baik kepada
sesama, dan tidak melakukan perbuatan negatif yang
merugikan atau mengancam pribadi lain.
c. Akhlak terhadap lingkungan, adalah lingkungan atau segala
sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-
tumbuhan maupun benda-benda tidak bernyawa karena
memelihara alam juga merupakan salah satu tugas khalifah
(manusia) dibumi.30
Muhammad Abdullah Draz dalam bukunya yang berjudul
“Dustur al-Akhlaq fi al-Islam” membagi ruang lingkup akhlaq
menjadi lima bagian, antara lain:
a. Akhlak pribadi (al-akhlaq al-Fardiyah), yang terdiri dari
yang diperintahkan (al-awamir), yang dilarang (al-nawahi),
yang dibolehkan (al-mubahat) dan akhlaq dalam keadaan
darurat (al-mukhalafah bi al-idhthirar).
b. Akhlaq keluarga (al-akhlaq al-usariyah), yang terdiri dari
kewajiban timbal balik orangtua dan anak (wajibat al-ushul
wa al-furu), kewajiban suami isteri (wajibat baina al-azwaj),
dan kewajiban terhadap karib kerabat (wajibat anhwa al-
aqarib).
30
Achmad Gholib, Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat Islami, (Tangerang:
Berkah FC, 2017), h.7-8.
26
c. Akhlak bermasyarakat (al-akhlaq al-ijtimaiyah), yang terdiri
dari yang dilarang (al-mahzhurat), yang diperintahkan (al-
awamir), dan kaidah-kaidah adab (aqwa „id al-adabiyah).
d. Akhlak bernegara (akhlaq ad-daulah), yang terdiri dari
hubungan antara pemimpin dan rakyat (al-alaqat baina ar-
rasi wa as-sya‟b), dan hubungan luar negeri (al-alaqat al-
kharijiyah).
e. Akhlaq beragama (al-ahlaq ad-diniyyah), yaitu kewajiban
kepada Allah (wajibat nahwa Allah).31
C. Pendidikan Akhlak dan Tujuan
Pendidikan dan Akhlak merupakan satu kesatuan yang penting.
keduanya bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain dalam dunia pendidikan Islam. Bahkan undang-undang
sistem pendidikan Nasional pun memandatkan seseorang untuk berkhlak
mulia yang dicantumkan sebagai salah satu dari tujuan pendidikan
Nasional. Pendidikan akhlak bisa disebut sebagai inti dari pendidikan
Islam. Oleh karenanya penulis membahas Pendidikan Islam terlebih
dahulu dalam bahasan awal bab ini dikarenakan memiliki kaitan yang erat.
Dalam buku Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia karangan
Abuddin Nata dikatakan bahwa:
Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara
tantang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat
para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah akhlak.
Muhammad Athiyah alAbrasyi misalnya mengatakan bahwa
pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan
pendidikan Islam, demikian pun pendapat Ahmad D. Marimba
bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan
hidup setiap Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah SWT.32
Masih dalam buku Akhlak Tasawuf dan karakter Mulia Abudin
Nata mengutip dari Ahmad Amin yang mengatakan bahwa:
31
Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Karakter,
(Bandung: Alfabeta, 2013), h. 100. 32
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2015), h. 133.
27
Tujuan mempelajari Ilmu Akhlak dan permasalahnnya
menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya
sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang
buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan bersikap zalim
termasuk perbuatan buruk membayar hutang kepada pemiliknya
termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk
perbuatan buruk.33
Dari pemaparan diatas dipahami bahwa pendidikan akhlak
adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dalam diri
manusia, sehingga akhlakakhlak terpuji dapat masuk kedalam diri
sesorang muslim. Pendidikan akhlak merupakan salah satu tujuan
dari pendidikan Islam. Akhlak dalam Islam memiliki hubungan
yang erat dengan akidah dan syariah. Bilamana remaja sejak dini
sudah diberikan pembelajaran mengenai akhlak, besar
kemungkinan dia dapat menjaga sikap dan perbuatannya
dikemudian hari.
D. Hasil yang Relevan
1. Konsep Pendidikan Akhlak Anak Perspektif Imam Al Ghazali
merupakan jurnal kependidikan, Vol. 5 tahun 2017 karya Eko
Setiawan. Jurnal tersebut menjelaskan tentang konsep pemikiran Imam
Al Ghazali tentang pendidikan akhlak pada anak meliputi akhlak
terhadap Allah, akhlak terhadap orang tua, akhlak kepada diri sendiri,
dan akhlak kepada orang lain. Adapun akhlak bersumber dari dengan
tujuan tertinggi agama dan akhlak ialah mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat, kesempurnaan jiwa bagi individu, dan menciptakan
kebahagiaan, kemajuan, kekuatan, dan keteguhan bagi masyarakat.
Persamaan jurnal tersebut dengan skripsi penulis yaitu sama-sama
membahas pendidikan akhlak. Sedangkan perbedaan jurnal tersebut
dengan skripsi penulis terletak pada tokohnya, jurnal tersebut
membahas konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al Ghazali
sedangkan penulis membahas menurut M. Quraish Shihab.
33
Ibid., h. 11.
28
2. Konsep Pendidikan Akhlak dan Dakwah dalam Perspektif Dr. KH.
Zakky Mubarak, MA merupakan jurnal study Al-Qur’an, Vol. 12 tahun
2016 karya Muchtar, dkk. Jurnal tersebut menjelaskan tentang konsep
pendidikan akhlak dalam perspektif Dr. KH. Zakky Mubarak, MA
yaitu menanamkan pemahaman tentang akhlak terhadap peserta didik,
memberikan keteladanan yang baik, mengembangkan pada akhlak
tingkat tinggi, dan yang terakhir yaitu mengaplikasikan pengetahuan
tentang akhlak dan keteladanan tersebut dalam kehidupan nyata
sehingga dapat mengakar menjadi suatu kebiasaan.
Persamaan jurnal tersebut dengan skripsi penulis yaitu sama-sama
membahas pendidikan akhlak. Sedangkan perbedaan jurnal tersebut
dengan skripsi penulis terletak pada tokohnya. Jurnal tersebut
membahas tentang konsep pendidikan akhlak dan dakwah dalam
perspektif Dr. KH. Zakky Mubarak, MA sedangkan penulis hanya
membahas tentang pendidikan akhlak menurut M. Quraish Shihab.
3. Urgensi pendidikan akhlak dalam Pandangan Imam Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah merupakan jurnal kependidikan Islam, Vol. 8 tahun 2019
karya Mahmudi, dkk. Jurnal tersebut menjelaskan tentang keberhasilan
pendidikan akhlak yaitu, jika jiwa anak sudah mencapai derajat nafs
muthmainnah, yang memiliki tiga ciri pokok yang saling menguatkan
satu sama lainnya, yaitu; (1) jiwa yang beriman kepada Allah, (2) jiwa
yang sabar, (3) jiwa yang berpasrah diri kepada Allah (tawakal).
Dengan begitu, nafs muthmainnah akan selalu melahirkan keimanan
dalam diri manusia, yang menghiasi dalam kehidupannya dengan
perilaku-perilaku yang terpuji, sehingga hidupnya lebih terarah di atas
jalan yang lurus untuk menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai
tujuannya. Jurnal ini pun membahas tentang pendidikan akhlak
menurut Ibnu Qayyim, yaitu menekankan pada lima hal penting,
pentingnya mengenalkan anak tentang tauhid kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, pentingnya mengajarkan anak pokok-pokok ajaran agama,
29
mengajari dan membiasakan anak etika dan akhlak yang baik,
keteladanan, pujian dan hukuman yang mendidik.
Persamaan jurnal tersebut dengan skripsi penulis yaitu sama-sama
membahas tentang pendidikan akhlak. Sedangkan perbedaan jurnal
tersebut dengan skripsi penulis terletak pada tokohnya. Jurnal tersebut
membahas tentang urgensi pendidikan akhlak dalam pandangan Imam
Ibny Qayyim al-Jauziyyah sedangkan penulis membahas tentang
pendidikan akhlak menurut M. Quraish Shihab.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu usaha pencarian fakta-fakta secara jujur,
mendalam dan intelegen untuk mencapai fakta-fakta dan artinya atau implikasi-
implikasi sehubungan dengan problema tertentu. Hasil riset tersebut harus
merupakan suatu kontribusi yang otentik dan murni terhadap pengetahuan dan
yang sedang dipelajari.1
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah mengenai Pendidikan Akhlak
untuk Peserta Didik Menurut M. Quraish Shihab dalam buku Yang
Hilang dari Kita: Akhlak. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa bulan,
yakni terhitung dari bulan Juli sampai dengan bulan Agustus, dengan
rincian kegiatan diantaranya, pengumpulan data sumber-sumber tertulis
yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber yang
mendukung, terutama yang berkaitan dengan pendidikan akhlak untuk
peserta didik menurut M. Quraish Shihab dalam buku yang hilang dari
kita: akhlak dan sumber lainnya sebagai penguat dalam penulisan skripsi
ini. Kemudian menyusun data-data dalam bentuk penelitian (laporan) dari
sumber-sumber yang telah ditemukan.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode
library research atau penulisan berdasarkan literature dan metode studi
dokumentasi. Studi dokumentasi atau teks merupakan kajian yang menitik
beratkan pada analisis atau interpretasi bahan tertulis berdasarkan
konteksnya. Penelitian ini untuk menggali pikiran seseorang yang tertuang
dalam buku atau naskah-naskah yang terpublikasikan.2
Metode studi dokumentasi ini digunakan untuk menggali
pemikiran M. Quraish Shihab yang tertuang dalam buku yang Hilang dari
1 Iskandar. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Jakarta: GP Press, 2009), h. 8.
2 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta,
2015), h. 2.
31
Kita: Akhlak. Beliau sebagai pakar tafsir lulusan Universitas AL-Azhar
Kairo, beliaupun telah mencoba merumuskan konsep pendidikan
berdasarkan perspektif al-Qur’an. M. Quraish Shibab juga dikenal sebagai
penulis dan penceramah yang handal. Lebih lanjut penulis akan meneliti
perihal pendidikan akhlak yang menjadi fokus dalam buku Yang Hilang
dari Kita: Akhlak karangan M. Quraish Shihab.
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian merupakan pemusatan terhadap tujuan penelitian
yang akan dilakukan. Fokus penelitian harus dijabarkan secara jelas untuk
mempermudah proses penelitian, supaya penelitian lebih terarah.
Pada penelitian ini penulis akan memfokuskan terhadap pendidikan
akhlak untuk peserta didik menurut M. Quraish Shihab dalam buku yang
Hilang dari Kita: Akhlak.
D. Prosedur Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu.3 Suatu penelitian mempunyai
rancangan atau prosedur penelitian tertentu sehingga dengan rancangan
atau prosedur tersebut dapat diketahui metode, jenis dan pendekatan apa
yang tepat untuk digunakan dalam penelitian tersebut.
Adapun proses yang ditempuh dalam penelitian ini adalah:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
kualitatif, penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriftif kualitatif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.4
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan dua
kategori, sumber data primer dan sumber data sekunder.
3 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta,
2015), h. 2. 4 Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif: Dalam perspektif Rancangan Penelitian,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.21-22.
32
a. Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku
yang Hilang dari Kita: Akhlak karya M. Quraish
Shihab.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber lain yang masih
berkatan dengan masalah penelitian. Adapun data
sekunder dalam penulisan skripsi ini dalah buku-buku
tentang pendidikan akhlak yang relevan dengan
penelitian.
3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Seperti yang telah dipaparkan, sumber dan jenis data
yang diperoleh pada penelitian ini adalah data tertulis berupa
teks book yang dapat memberikan informasi lebih tentang
seorang M. Quraish Shihab. Setelah data-data tersebut
diperoleh maka peneliti mengelola data tersebut dengan cara
membacanya lalu dianalisis, setelah dianalisis baru dapat
disimpulkan. Analisis data menggunakan analisis isi (content
analysis). Dengan fokus kajian yang dibahas dalam penelitian
ini adalah pendidikan akhlak untuk peserta didik menurut
Muhammad Quraish Shihab dalam buku yang Hilang dari
Kita: Akhlak.
Sebelum data diolah, penulis terlebih dahulu memahami
secara cermat isi dari buku yang Hilang dari Kita: Akhlak
terutama pada bagian yang membahas tentang pendidikan
akhlak untuk peserta didik.
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Biografi M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang,
Sulawesi Selatan. Ayahnya bernaman Abdurrahman Shihab adalah
keluarga keturunan Arab yang terpelajar, dan menjadi ulama sekaligus
guru besar tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang. M.Quraish Shihab
juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Berdasar
pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui
pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan
pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi ligas,
rasional dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai
penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan
masyarakat. Di tengah-tengah berbagai aktivitas sosial, kegamaan
tersebut, M. Quraish Shihab juga tercatat sebagai penulis yang sangat
prolifik. Buku-buku yang ia tulis antara lain berisi kajian di sekitar
epistemologi al-Qur‟an hingga menyentuh permasalahan hidup dan
kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer.1 M.
Qurais Shihab didampingi seorang istri yang bernama Fatmawati, dan
dikaruniai lima orang anak, masing-masing bernama Najeela Shihab,
Najwa Shihab, Nasyawa Shihab, Nahla Sihab dan Ahmad Shihab.
2. Pendidikan M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab menyelesaikan pendidikan dasarnya di kota
Ujung Pandang. Ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang
sambil belajar agama di Pesantren Darul-Hadits al-Fiqhiyah pada
tahun 1958. Pada usia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk
melanjutkan pendidikan, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-
1 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2005), h. 362-365.
34
Azhar. Ia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan
Tafsir dan Hadis di Universitas Al-Azhar. Kemudian ia melanjutkan
pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA
untuk spesialis bidang Tafsir al-Qur‟an dengan tesis berjudul Al-I‟jaz
Al-Tasyri‟iy li al-Qur‟an Al-Karim.2 Setelah menyelesaikan studinya
dengan gelar MA tersebut, untuk sementara ia kembali ke Ujung
Pandang. Dalam kurun waktu kurang lebih sebelas tahun (1969 sampai
1980) ia terjun ke berbagai aktivitas sambil menimba pengalaman
empirik, baik dalam bidang kegiatan akademik di IAIN Alauddin
maupun berbagai instutusi pemerintah setempat. Dalam masa menimba
pengalaman dan karier ini, ia terpilih sebagai Pembantu Rektor III di
IAIN Ujung Pandang.3 Pada 1982 ia meraih gelar doctor di bidang
ilmu-ilmu al-Qur‟an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai
penghargaan Tingkat Pertama di universitas yang sama.4
Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi M. Quraish
Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari
IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini
ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum al-Qur‟an di Program S1, S2
dan S3 sampai tahun 1998. Melaksanakan tugas pokok sebagai dosen,
ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta
selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu dipercaya
menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua
bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk
Negara Republik Arab Mesir menangkap Negara Republik Djibauti
berkedudukan di Kairo. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk
menduduki sejumlah jabatan. Diantaranya adalah sebagai Ketua Majlis
2 M. Quraish Shihab, Membuka al-Qur‟an, Fungsi dan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mirzan, 1994), h. 6. 3 Abuddin Nata, op. cit., h. 363.
4 M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur‟an Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2008), h. 5.
35
Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak 1994, anggota Lajnah Pantashhih
al-Qur‟an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlihat dalam
beberapa organisasi professional, antara lain Asisten Katua Umum
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini
didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan
Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aktivitas lainnya yang ia
lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studi Islamatika: Indonesian
Journal for Islamic Studies, Ulumul Qur‟an, Mimbar Ulama dan
Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini
berada di Jakarta.5
3. Karya-karya M. Quraish Shihab
Disela-sela kesibukannya, dia juga terlibat berbagai kegiatan ilmiah
dalam maupun luar Negeri, yang tidak kalah pentingnya, M. Quraish
Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis menulis dalam rubrik “Pelita
Hati”, dia juga mengasuh rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah
dua mingguan yang terbit di Jakarta. Beberapa buku yang sudah ia
hasilkan antara lain:
a. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung
Pandang, IAIN Alauddin, 1984);
b. Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-
Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1998);
c. Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
d. Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
e. Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999);
f. Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999);
g. Panduan Puasa bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit
Republika, Nopember 2000);
h. Panduan Shalat bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit
Republika, September 2003);
5 Abuddin Nata, op. cit., h. 364.
36
i. Tafsir Al Misbah Volume 11(Jakarta: Lentera Hati, Januari 2016)
j. Yang Hilang dari Kita: Akhlak (Jakarta: Lentera Hati, September
2016).6 Dan masih banyak lagi.
4. Tentang Buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak
Buku karya M.Quraish Shihab ini diterbitkan oleh Lentera Hati
Tangerang cetakan pertama, Agustus 2016. Memiliki 303 halaman
dengan ukuran 15 x 23 cm. Hal itu bermula ketika heboh-hebohnya
kasus yang kemudian dikenal secara bercanda dengan istilah “Mama
minta pulsa,” yakni adanya tuduhan bahwa Ketua Lembaga Negara
yang sangat terhormat dan yang anggota-anggotanya digelari dengan
“Anggota Terhormat” mengatasnamakan Presiden dan Wakil Presiden
meminta saham dari satu perusahaan asing yang berlokasi di
Indonesia. Ketika kasus itu menggelinding, berkembang diskusi
tentang kewajaran hal di atas ditinjau dari segi hukum dan akhlak,
lebih-lebih setelah Majelis Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat
“turun tangan” membahasnya. Ketika itu, banyak yang berkesimpulan
bahwa ada sesuatu yang hilang dari masyarakat kita, termasuk dari
orang-orang yang mestinya menjadi teladan. Yang Hilang itu adalah
Akhlak.
B. Pendidikan Akhlak Menurut M. Quraish Shihab
1. Pendidikan Akhlak Menurut M. Quraish Shihab
Shihab dalam bukunya membagi akhlak menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut :
Manusia memiliki akhlak yang bersumber dari tabiat manusia
dan juga akhlak yang dikaitkan dengan aktivitasnya yang lahir oleh
dorongan kehendaknya. Karena itu, ada yang dinamai akhlak diri
manusia dan juga yang merupakan akhlak kegiatannya, yakni
aktivitas yang lahir dari kehendaknya. Yang pertama (akhlak diri)
lahir bersamaan dengan fithrah/asal kejadian manusia. Ia dinamai
akhlak karena ia merupakan makhluq, yakni sesuatu yang tercipta
sejak kelahiran.
6 https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab Diakses pada tanggal 24 Juli
2019 pukul 17.00 WIB.
37
Dipaparkan bahwa akhlak diri tersebut adalah yang
dinamakan sebagai tempramen. Yakni gejala karakteristik dari sifat
emosi seseorang yang antara lain menjadikannya terbuka atau
tertutup, mudah atau tidak terangsang emosinya (marah). Menurut
Quraish Shihab tempramen tak jarang dipengaruhi oleh faktor
keturunan, juga zat-zat tertentu dalam tubuh seseorang. Jadi,
pendidikan atau lingkungan tidak mempengaruhinya7.
Di samping akhlak diri ada pula yang dinamai akhlak
masyarakat. Masing-masing negara memiliki akhlak tersendiri tak
terkecuali Indonesia. Setiap negara memiliki kebiasaan yang
berbeda dengan masyarakat lain. Ia adalah adat kebiasaan yang
telah diterima dan dianggap baik oleh masyarakat tertentu
walaupun itu tidak diterima
oleh masyarakat lain.8
Menurut Shihab akhlak adalah sifat dasar/kondisi kejiwaan
yang telah terpendam lagi mantap di dalam diri seseorang dan yang
tampak ke permukaan melalui kehendak/kelakuan dan itu
terlaksana dengan sangat mudah, tanpa keterpaksaan oleh satu dan
lain sebab.9 Shihab juga mengatakan bahwa akhlak jika ditinjau
dari tujuannya merupakan sekumpulan nilai yang harus diindahkan
manusia dalam aktivitasnya demi tercipta hubungan harmonis
dengan selainnya, bahkan demi meraih kebahagiaan pribadi dan
masyarakat.10
C. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak untuk Peserta didik Menurut M.
Quraish Shihab dalam Buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak
Pendidikan akhlak sangat diperlukan bagi peserta didik karena
dengan ditanamkannya nilai pendidikan akhlak dalam diri peserta didik
sejak dini akan mempengaruhi bagaimana akhlaknya ketika dewasa nanti.
7 M. Quraish Shihab, Op.Cit. h. 4.
8 Ibid., h. 5.
9 Ibid., h. 123.
10 Ibid., h. 6.
38
Sebelum membahas apa saja pendidikan akhlak untuk peserta didik, kita
perlu mengetahui siapa itu peserta didik. Peserta didik secara umum dapat
diartikan sebagai anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara
fisik maupun psikologis, untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui
lembaga pendidikan. Definisi tersebut memberi arti bahwa anak didik
merupakan anak yang belum dewasa, yang memerlukan orang lain untuk
menjadi dewasa. Atau dengan kata lain, anak didik merupakan mentah
(raw material) dalam proses pendidikan, yang memerlukan arahan-arahan
dan bimbingan.11
Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan
untuk menunjukan pada anak didik. Tiga istilah tersebut adalah murid
ysng secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan
sesuatu, tilmidz (jamaknya) talmidz yang berarti murid, dan thalib al-ilmi
yang menuntut ilmu, pelajar, atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut
seluruhnya mengacu kepada seorang yang tengah menempuh pendidikan.
Perbedaannya hanya terletak pada penggunaannya. Pada sekolah yang
tingkatnya rendah seperti Sekolah Dasar (SD) digunakan istilah murid dan
tilmidz sedangkan pada sekolah yang tingkatnya lebih tinggi seperti SLTP,
SLTA, dan perguruan tinggi digunakan istilah thalib al-ilm.12
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
peserta didik adalah orang yang belum dewasa dan dapat dicirikan sebagai
orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, dan
pengarahan untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana buruk.
Didalam buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak Shihab
menjelaskan bahwa terdapat 8 (delapan) nilai akhlak yang perlu
dimiliki oleh seorang peserta didik. Di antaranya:
1. Toleransi
Toleransi berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan
dan kesabaran. Toleransi harus didukung oleh cakrawala
11
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2014), h. 208. 12
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), h, 131-132.
39
pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan
berpikir dan beragama. Pendek kata toleransi setara dengan sikap
positif, dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan
kebebasan asasi sebagai manusia.13
Toleransi dapat diartikan sebagai sikap membiarkan,
menenggang, dan menghormati pendapat/sikap pihak lain waktu
yang membiarkannya tidak sependapat dengannya. Toleransi
sangat dibutuhkan dalam kehidupan karena keragaman dan
perbedaan adalah keniscayaan. Tanpa toleransi, hidup akan
terganggu. Manusia dianugerahi Allah pikiran, kecenderungan,
bahkan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan aneka perbedaan
dan pertentangan yang jika tidak dikelola dengan baik, akan
mengakibatkan bencana. Dalam QS. Hud: 117-118:
.وما كان ربك لي هلك القرى بظلم وأىلها مصلحون
ة واحدة وال ي زالون متلفي .ولو شاء ربك لعل الناس أم
Allah menegaskan bahwa manusia akan terus berbeda dan
berselisih, kecuali yang dirahmati Allah, yakni yang mampu
mengelola perbedaan itu, antara lain bersikap toleran terhadap
pandangan dan sikap orang lain, baik dalam keberagamaan
maupun selainnya. Allah menciptakan manusia dari satu ayah dan
ibu (Adam dan Hawa as), yang kemudian berkembang biak
menjadi bangsa-bangsa, puak-puak, dan suku-suku. Perbedaan
tersebut dinyatakan oleh QS. Al-Hujurat: 13:
ن ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا يا أي ها الناس إنا خلقناكم م
.وق بائل لت عارفوا إن أكرمكم عند اللو أت قاكم إن اللو عليم خبي
13
Casram, “Membangun Sikap Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Plural”, Jurnal
Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 1 No. 2 2016.
40
Maksud ayat tersebut ialah agar manusia saling mengenal,
pengenalan yang dapat mendorong lahirnya hubungan harmonis,
kerja sama, serta saling mendukung. Sebagai Contoh antara lain
yang tercermin dalam Rukun Iman yang enam, Percaya Kepada
Allah, Malaikat, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari
Kemudian, dan takdir-Nya yang baik atau yang buruk. Rincian
dari masing-masing hal tersebut dapat berbeda-beda karena
argumentasi masing-masing menyangkut rincian itu mengandung
kemungkinan makna lain. Di sinilah peserta didik dituntut untuk
bertoleransi antara sesama Muslim, yakni membiarkan masing-
masing menganut apa yang ia percaya dan pahami walau berbeda
dengan paham dan kepercayaan yang bertoleransi itu.14
Dari penjelasan di atas Shihab menyebutkan bahwa seorang
peserta didik harus memiliki sikap toleransi, peserta didik harus
mempelajari lebih jauh lagi mengenai perbedaan, antara lain
bersikap toleran terhadap pandangan dan sikap orang lain, baik
dalam keberagamaan maupun selainnya.
2. Kedisiplinan
Kedisiplinan berarti kepatuhan untuk menghormati dan
melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk
tunduk pada keputusan, perintah, dan peraturan yang berlaku.
Dengan kata lain, disiplin adalah sikap menaati peraturan dan
ketentuan yang telah ditetapkan. Ini tercipta melalui latihan batin
dan watak agar segala sesuatu terencana dengan baik, tertib, dan
mencapai sasaran.15
Disiplin bertujuan untuk membuat
anak/siswa terlatih, terkontrol, dengan mengajarkan mereka
bentuk-bentuk tingkah laku yang pantas dan yang tidak pantas
atau yang masih asing bagi mereka. Menanamkan disiplin adalah
proses mengajar bagi diri guru atau orang tua dan suatu proses
14
Shihab, Op.Cit., h. 183-184. 15
Shihab, Op.Cit., h. 193-194.
41
belajar bagi anak/siswa. Pembinaan disiplin dan perilaku
merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dalam
kehidupan siswa sehari-hari di sekolah, sehingga diharapkan
menjadi kebiasaan yang baik.16
Dari penjelasan tersebut Shihab menyebutkan bahwa cara
menanamkan disiplin untuk peserta didik yaitu dibuatnya suatu
perintah, peraturan dan hukuman agar peserta didik mempunyai
sikap disiplin.
3. Al-Haya/Malu
Malu berarti suatu akhlak yang bisa mendorong seseorang
untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Seseorang
yang memiliki rasa malu akan memiliki batasan antara dirinya
dengan perbuatan yang tercela. Selain itu dengan rasa malu pula
manusia dapat dibedakan dari makhluk lain seperti hewan.17
Menurut Shihab dalam buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak
kata al-Haya‟ atau malu biasa dipahami dalam arti perasaan
tidak senang atau tidak enak hati, hina, rendah diri karena suatu
sikap atau perbuatan yang tidak/kurang benar atau berbeda
dengan kebiasaan suatu masyarakat. Malu dalam pengertian
tersebut dapat dirasakan oleh manusia, baik dewasa maupun
anak-anak. Adapun pengertian malu menurut agamawan, rasa
malu bersumber dari kesadaran manusia akan terjangkaunya
seluruh kegiatannya oleh Allah dan inilah yang melahirkan rasa
malu yang dimaksud oleh agama. Dari sini sementara pakar
mendefinisikan rasa malu sebagai perangai yang mendorong
pemiliknya melakukan segala yang baik dan menghindari segala
yang buruk, baik dalam pandangan agama maupun budaya
masyarakat yang baik.18
16
Syaeful Maman, “Pembinaan Akhlak Mulia Melalui Keteladanan Dan Pembiasaan”,
Jurnal Pendidikan Agama Islam- Ta‟lim, Vol.15 No. 1 2017. 17
Ibid., h. 104-105. 18
Shihab, Op.Cit., h. 203-204.
42
Shihab juga menjelaskan dalam bukunya bagaimana cara
menanamkan rasa malu yaitu dengan menanamkan sifat-sifat
Allah di dalam diri setiap peserta didik. Sehingga mereka
menyandang kebajikan, kebenaran dan keindahan. Agar peserta
didik percaya bahwa semua perintah Allah mengarah pada ketiga
hal tersebut, dan larangan-Nya bertujuan mencegah lahirnya
lawan dari ketiga hal itu. Lalu karena seorang yang beriman
selalu mendambakan ketiga hal itu, maka tentu saja ia akan malu
melanggar, bahkan malu untuk tidak melakukan hal-hal yang
mengantarnya pada kebajikan, kebenaran dan keindahan.19
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa
menanamkan rasa malu dalam diri peserta didik harus
mendambakan tiga hal, yaitu kebajikan, kebenaran dan
keindahan. Dari hal tersebut, peserta didik bisa disebut sebagai
orang yang beriman dan orang yang memiliki rasa malu.
Selain toleransi, kedisiplinan dan al-Haya‟, Sopan santun
juga perlu dimiliki oleh seorang peserta didik. karena sopan
santun termasuk pada peraturan hidup yang mana peraturan
tersebut timbul dari hasil pergaulan ataupun kelompok sosial.
Sebelum mengetahui apa saja sopan santun yang harus dimiliki
oleh peserta didik, kita harus mengetahui apa yang dimaksud
dengan sopan santun itu sendiri. Sopan santun yaitu sikap jiwa
yang lemah lembut terhadap orang lain, sehingga dalam
perkataan dan perbuatannya selalu mengandung adab kesopanan
yang mulia. Adab kesopanan itu merupakan sifat Tuhan yang
harus dipraktekkan oleh manusia dalam hubungan sosialnya.
Sifat Tuhan tersebut, dapat dilihat di beberapa ayat Al-Qur‟an,
antara lain pada surah Al-Baqarah ayat 225:
ي ؤاخذكم اللو باللغو ف أيانكم ولكن ي ؤاخذكم با كسبت ق لوبكم ال
19 Ibid., h. 204.
43
.واللو غفور حليم
Artinya: “Allah tidak menghukum kamu karena sumpahmu yang
tidak kamu sengaja, tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang
terkandung dalam hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha
Penyantun”.
Al-Hajj ayat 59:
دخال ي رضونو وإن اللو لعليم حليم هم م .ليدخلن
Artinya: “Sungguh. Dia (Allah) pasti akan memasukkan mereka ke
tempat masuk (surga) yang mereka sukai. Dan sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui, Maha Penyantun”.20
Adapun sopan santun untuk peserta didik yang terdapat di
dalam buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak. Diantaranya:
1. Sopan Santun terhadap Allah Swt.
a. Beribadah kepada Allah Swt. Hubungan manusia dengan
Allah Swt diwujudkan dalam bentuk ritualitas peribadatan
seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Beribadah kepada
Allah Swt harus dilakukan dengan niat semata-mata karena
Allah Swt. tidak menduakan-Nya baik dalam hati, melalui
perkataan dan perbuatan.
b. Mencintai Allah Swt di atas segalanya. Mencintai Allah Swt
melebihi cintanya kepada apa dan siapapun dengan jalan
melaksanakan segala perintah dan menjauhi semua larangan-
Nya, mengharapkan ridha-Nya, mensyukuri nikmat dan
karunia-Nya, menerima dengan ikhlas semua qadha dan
qadar-Nya setelah berikhtiar, meminta pertolongan,
memohon ampun, bertawakal, dan berserah diri hanya
20
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf 1, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 26-27.
44
kepada-Nya merupakan salah satu bentuk mencintai Allah
SWT.
c. Berdzikir kepada Allah Swt. Mengingat Allah Swt dalam
berbagai situasi (lapang, sempit, senang, susah) merupakan
salah satu wujud akhlak manusia kepada-Nya. Berdzikir
kepada-Nya dianjurkan dalam kitab-Nya. Dia menyuruh
orang mukmin untuk berdzikir kepada-Nya dengan
sebanyak-banyaknya. Dengan berdzikir manusia akan
mendapat ketenangan.
d. Berdoa, tawaddu‟, dan tawakal. Berdoa atau memohon
kepada Allah Swt sesuai hajat harus dilakukan dengan cara
sebaik mungkin, penuh keikhlasan, penuh keyakinan bahwa
doanya akan dikabulkan Allah Swt. Dalam berdoa, manusia
dianjurkan untuk bersikap tawaddu‟ yaitu sikap rendah hati
dihadapan-Nya, bersimpuh mengakui kelemahan dan
keterbatasan diri serta memohon pertolongan dan
perlindungannya dengan penuh harap.21
Dalam konteks berinteraksi dengan Allah, hal utama yang
ditekankan-Nya adalah keikhlasan dalam kepatuhan kepada-Nya.
Karena itu, harus diyakini dan disadari bahwa Dia bersama
semua makhluk kapan dan di mana pun. Dia mengetahui yang
nyata dan yang tersembunyi, bahkan mengetahui apa yang lebih
rahasia dari segala yang dirahasiakan. Jangan bersangka
buruk/menisbahkan yang buruk kepada Allah. Dosa pertama
manusia yang dibisikan setan kepada Adam dan pasangannya
adalah sangka buruk kepada Allah.
هما من سوءاتما يطان ليبدي لما ما ووري عن ف وسوس لما الش
جرة إال أن تكونا ملكي أو تكونا وقال ما ن هاكما ربكما عن ى ذه الش
21 Rois Mahfud, Al-Islam Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 99-100.
45
.من الالدين Artinya: “Tuhan kamu berdua, tidak melarang kamu
berdua (mendekati) pohon ini, kecuali karena Dia enggan kamu
berdua menjadi malaikat atau kamu berdua termasuk mereka
yang kekal hidup (QS. Al-A‟raf: 20). 22
Dari penjelasan Shihab, penulis menyimpulkan bahwa cara
menanamkan sopan santun terhadap Allah Swt. pada peserta
didik yakni dengan menanamkan rasa ikhlas dalam kepatuhan,
seperti tidak berburuk sangka kepada Allah, mengagungkan
Allah, tidak sering-sering menyebut nama Allah dengan
bersumpah, membenarkan selalu informasi-Nya, melaksanakan
perintah-Nya dengan tulus, dan menerima takdir-Nya dengan
syukur, sabar, bahkan ridha.
2. Sopan Santun terhadap Ibu-Bapak
Peran orang tua sebagai pendidik dalam keluarga sangat
penting, karena anak dalam perhitungan waktu lebih lama berada
di rumah dari pada di sekolah. Ki hajar dewantara menyatakan
bahwa keluarga merupakan “pusat pendidikan“ terutama
bertanggung jawab tentang pendidikan budi pekerti.23
Adapun sopan santun terhadap ibu bapak adalah:
a. Berbuat Baik kepada Ibu dan Ayah, Walaupun Keduanya
Zalim
Seorang anak menurut ajaran Islam diwajibkan berbuat baik
kepada ibu dan ayahnya, dalam keadaan bagaimanapun.
Artinya jangan sampai si anak menyinggung perasaan orang
tuanya, walaupun seandainya orang tua berbuat zalim kepada
anaknya. Seandainya orang tua berbuat zalim kepada
22
Shihab, Op.Cit., h. 220. 23
Didik Wahyudi dan I Made Arsana, “Peran Keluarga Dalam Membina Sopan Santun
Anak Di Desa Galis Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan”, Jurnal Moral dan
Kewarganegaraan, Vol. 2 No. 1 2014.
46
anaknya, dengan melakukan yang tidak semestinya, maka
jangan sekali-kali si anak berbuat yang tidak baik, atau
membalas atau mengimbangi ketidakbaikan orang tua kepada
anaknya. Allah tidak meridhainya sehingga orang tua itu
meridhainya. Sebagaimana diterangkan dalam suatu hadist
yang diriwayatkan oleh Hajjaj dan Ibnu Abbas, beliau
bersabda: Artinya : “Tidak ada seorang muslim yang
mempunyai ayah dan ibu yang keduanya muslim, dia
mengharap kebaikan kedua orang tuanya, kecuali dibukakan
baginya dua pintu surga. Kalau hanya seorang maka satu
pintu surge. Kalau salah seorang kedua ibu bapaknya marah
kepada anaknya, Allah tidak ridha kepada si anak tersebut,
sampai orang tuanya meridhainya. Kemudian ditanyakan:
Bagaimana kalau kedua orang itu zalim. Dijawab oleh Ibnu
Abbas: Walaupun keduanya menganiayanya!24
Perkataan Ibnu Abbas itu memberikan pengertian bahwa
bagaimanapun keadaan si orang tua terhadap anaknya akan
dijadikan ukuran bagaimana keridaan Allah kepadanya.
b. Berkata halus dan Mulia Kepada Ibu dan Ayah
Segala sikap orang tua terutama ibu memberikan refleksi
yang kuat terhadap sikap si anak. Dalam hal berkatapun
demikian. Apabila si ibu sering menggunakan kata-kata halus
kepada anaknya, sianakpun akan berkata halus, begitupun
sebaliknya. Sebab si anak mempunyai insting meniru, yang
lebih mudah ditiru adalah yang paling dekat dengannya, yaitu
orang tuanya, terutama ibunya. Agar si anak lemah lembut
dan sopan santun kepada orang tuanya haruslah dididik dan
diberi contoh sehari-hari oleh orang tuanya bagaimana si
anak harus bersikap, berbuat, dan berbicara. Kewajiban anak
kepada orang tuanya berbicara menurut ajaran Islam harus
24
Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 168-169.
47
berbicara sopan, lemah, lembut, dan mempergunakan kata-
kata mulia. Firman Allah: Artinya: “dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
kepada-Nya dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu
bapak kamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu dari
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaan kamu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah
membentak mereka dn ucapkanlah kepada mereka perkataan
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan
penuh kesayangan dan ucapkan (doa): “Wahai Tuhanku,
kasihanilah mereka kedua, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku di waktu kecil. (QS. Al-Isra: 21-24).25
Dari ayat-ayat tersebut, si anak berkewajiban berbuat baik
kepada ibu dan ayahnya, yaitu dengan menggaulinya dengan
sebaik-baiknya, dan berkata kepadanya tidak boleh dengan
perkataan yang menyinggung hati ibu dan ayah. Jangan
sampai membentak, bahkan jangan menggunakan kata-kata
yang menyinggung perasaannya.
c. Berkata Lemah Lembut Kepada Ibu dan Ayah
Dalam ayat 23 dan 24, surat Al-Isra‟Allah memerintahkan
setiap manusia untuk berkata mulia dan merendahkan diri
terhadap ibu dan ayah, dalam hadist diperjelas lagi oleh
Rasulullah bahwa juga harus berkata lemah lembut kepada
keduanya. Berkata yang menyinggung hati dan melukai ibu
atau ayah adalah perbuatan durhaka kepadanya disebut
“Uquuqul-Qalidain”, durhaka kepada kedua orang tua.
Durhaka kepada ibu dan ayah itu termasuk dosa besar. Dosa
besar dengan Uquuqul Walidain ini dapat dihapuskan dengan
minta maaf kepada ibu dan bapak serta dimaafkan oleh ibu
25
Ibid., h. 170-171.
48
dan bapaknya. Dengan berkata halus dan lemah lembut serta
menanggung makan kepadanya selama tidak berbuat dosa-
dosa besar lainnya, akan masuk surga. Dosa-dosa besar itu
ada Sembilan, dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari Ibnu Umar yaitu “Dosa besar itu ialah: Berbuat
syirik kepada Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran
membela agama Allah, menuduh orang berzina, memakan
riba, memakan harta anak yatim, melanggar kehormatan di
masjid, dan orang yang memaksa orang kerja tanpa
mengupah (menghinakan orang), dan durhaka kepada orang
tua (ibu dan ayah, orang tua menangis karena pendurhakaan
anaknya kepadanya), Ibnu Umar berkata pula: “Apakah
anda ingin lepas dari mereka dan masuk surge?” Jawabku:
“Tentu, demi Allah!”
Ibnu Umar berkata pula:”Apakah anda ingin lepas dari
neraka dan masuk surge?” Jawabku: “Tentu demi Allah!”
Ibnu berkata “Apakah ibumu masih hidup?Jawabku: “betul,
saya masih mempunyai ibu”. Ibnu Umar berkata: “Demi
Allah, kalau anda berbuat lemh lembut kepada ibumu, dan
anda menanggung makannya (memberikan makanan kepada
ibu anda), niscaya anda akan masuk surga selama anda idak
mendekati perbuatan-perbuatan yang menyebabkan dosa
besar”.26
Dalam buku Yang Hilang dari Kita, Akhlak
menjelaskan bahwa tidak ada manusia yang lebih wajib
diperlakukan sebaik mungkin setelah Rasul Saw. melebihi
ibu-bapak. Betapapun Anda mengabdi dan
mempersembahkan aneka kebajikan kepada keduanya, lebih-
lebih ibu, apa yang Anda persembahkan itu belum cukup
membalas budi mereka. Anak tidak hanya dituntut untuk
26
Ibid., h. 172-174.
49
tidak durhaka pada ibu-bapaknya, tetapi ia dituntut untuk
berbakti kepada keduanya.
Ukuran kedurhakaan/ketidaksopanan terhadap
keduanya berbeda dengan ukuran terhadap manusia lain.
Sekedar berkata cis atau menampakkan ketidaksukaan di
hadapan mereka telah nilai pelanggaran, begitu pesan QS. Al-
Isra‟ ayat 23:
لغن ا ي ب وقضى ربك أال ت عبدوا إال إياه وبالوالدين إحسانا إم
هره ما أف وال ت ن اعندك الكب ر أحدها أو كالها فال ت قل ل
ما ق وال كريا .وقل ل
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat
baik kepada Ibu Bapak. Jika salah seorang diantara
keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah
engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang baik.” Karena itu, sekedar tidak durhaka belum cukup!!
Yang dituntut adalah bakti kepada keduanya atau dalam
bahasa al-Qur‟an disebut ihsan.27
Dari penjelasan di atas Shihab menyebutkan bahwa
cara menanamkan sopan santun terhadap Ibu-Bapak untuk
peserta didik yaitu, dengan bersikap sopan santun kepada
keduanya dalam ucapan maupun perbuatan juga hendaknya
mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka sesuai dengan
kemampuannya. Selain itu, sikap anak terhadap orang harus
dapat berdiskusi, apapun hasil diskusi penghormatan kepada
27
Shihab, Op.Cit., h. 234-235.
50
mereka tidak boleh diabaikan karena pada prinsipinya semua
harus sadar bahwa tidak ada orang tua yang tidak
menghendaki kebaikan untuk anak-anaknya.
3. Sopan Santun Murid dan Guru
Hormat dan patuh kepada guru sangatlah ditekankan dalam
agama Islam. Guru adalah orang yang mengajarkan kita dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan dan mendidik kita sehingga
menjadi orang yang mengerti dan dewasa. Walau bagaimanapun
tingginya pangkat atau kedudukan seseorang, dia adalah bekas
seorang pelajar yang tetap berhutang budi kepada gurunya yang
pernah mendidik pada masa dahulu. Guru adalah orang yang
mengetahui ilmu („alim/ulama), guru („alim/ulama) adalah orang
yang takut kepada Allah Swt. Firman Allah swt:
واب والن عام متلف ألوانو ا ومن الناس والد يشى اللو كذلك إن
.من عباده العلماء إن اللو عزيز غفور
“Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk
bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-
hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.
Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (Q.S.
Fathir/35: 28).
Guru adalah pewaris para nabi. Karena lewat seorang guru,
wahyu atau ilmu para nabi diteruskan kepada umat manusia.
Imam Al-Gazali mengkhususkan seorang guru dengan sifat-sifat
kesucian, kehormatan, dan penempatan guru langsung sesudah
kedudukan para nabi. Beliau juga menegaskan bahwa: “Seorang
yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya itu, maka
dialah yang dinamakan besar di bawah kolong langit ini, dia
ibarat matahari yang menyinari orang lain dan mencahayai
51
dirinya sendiri, ibarat minyak kesturi yang baunya dinikmati
orang lain dan dia sendiri pun harum. Siapa yang berkerja di
bidang pendidikan, maka sesungguhnya dia telah memilih
pekerjaan yang terhormat dan yang sangat penting, maka
hendaknya dia memelihara adab dan sopan satun dalam tugasnya
ini.” Penyair Syauki juga mengakui nilainya seorang guru dengan
kata-kata sebagai berikut: “Berdiri dan hormatilah guru dan
berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan
seorang rasul.”28
Sebagai seorang murid kita harus mempunyai sikap atau
rasa tawadlu` terhadap guru kita. Harus bisa menempatkan
seorang guru pada tempatnya. Karena guru adalah pahlawan tanpa
tanda jasa. Setidaknya kita harus belajar sedikit untuk lebih
menghargai guru kita. Guru juga merupakan orang tua kita
disekolah. Percuma saja jika seorang murid itu sangat pandai
tetapi tidak bisa bersikap sopan terhadap guru kita.
Lalu bagaimana cara kita untuk menghormati atau bersikap
sopan kepada seorang guru, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Selalu senyum, salam dan sapa ketika bertemu guru
Sikap ini merupakan sikap yang sederhana dan mudah
dilakukan, akan tetapi mempunyai manfaat yang sangat
banyak.
b. Tidak berjalan didepannya
Maka tidaklah pantas bagi seorang murid berjalan didepan
seorang guru. Jika ingin berjalan didepan seorang guru, maka
kita harus meminta ijin terlebih dahulu. Itu menunkkan
ketawadlu`an seorang murid terhadap guru.
c. Tidak menempati tempat duduk seorang guru
28
http://kisahimuslim.blogspot.com/2014/09/hormat-dan-patuh-kepada-guru.html,
diakses pada tanggal 21 Agustus 2019 pada pukul 22:50.
52
Jika didalam ruang kelas maka tidak sopan pula kita duduk
ditempat duduk guru kita. Hal ini kental dengan sikap orang
jawa yang sangat menjunjung tinggi untuk tidak duduk
ditempat duduk guru.
d. Mentaati perintahnya
Jika diperintah guru harus segera melaksanakannya tanpa
harus menunda-nunda apalagi sampai menolaknya. Demikian
juga ketika kita dipanggil, juga harus segera memenuhi
panggilannya.
e. Menghormati segala sesuatu yang berhubungan dengan guru
Seperti keluarganya, anak-anaknya dan istrinya. Karena itu
termasuk bagian dari diri seorang guru.
f. Tidak banyak bicara ketika bersamanya. Bicaralah yang
penting saja dan jangan berbicara suatu hal tidak disukai oleh
seorang guru.
g. Memperhatikan apa yang dijelaskan oleh guru ketika didalm
kelas. Usahakan fokus ketika guru menerangkan dan tidak
berbicara sendiri
h. Meminta izin ketika akan melakukan sesuatu
Misalnya bila kita ingin ketoilet, maka hendaknya kita
harus meminta izin terlebih dahulu. Jika guru kita tidak
mengizinkan maka terimalah dengan tidak menguirangi rasa
hormat kita.
i. Meminta maaf jika berkata atau bertindak salah kepada guru
Segeralah meminta maaf apabila kita melakukan salah kepada
guru kita.
j. Berupaya menyenangkan hatinya dengan baik. Buatlah guru
kita merasa nyaman ketika didalam kelas maupun dimana saja.
53
k. Berkatalah dengan lembut. Janganlah berbicara dengan suara
yang keras, hingga membuatnya kaget.29
Ilmu adalah milik Allah. Dia yang mengajar manusia dengan
pena, yakni hasil kerja pena (tulisan), yaitu bahan bacaan/pelajaran,
dan Dia juga yang mengajar manusia tanpa alat, tetapi melalui wahyu,
ilham, inspirasi, bahkan mimpi. “Aku adalah hamba bagi yang
mengajarku walau satu huruf,” demikian ungkapan Sayyidina Ali
kw. Adapun guru, maka ia hendaknya memiliki juga budi pekerti
yang mestinya lebih luhur daripada budi pekerti muridnya. Itu bukan
hanya menjadi kewajiban untuk diperagakannya ketika mengajar di
kelas atau lingkungan sekolah, tetapi juga di luar sekolah/di tengah
masyarakat. Ini bukan saja digugu dan ditiru, tetapi juga agar
penghormatan murid yang merupakan kewajiban mutlak terhadap
gurunya dapat diwujudkan.30
Shihab juga menyebutkan bahwa cara
menanamkam sopan santun peserta didik terhadap guru yaitu
menyingkirkan akhlak buruk/ menghiasi diri dengan budi pekerti,
jangan angkuh baik terhadap guru maupun ilmu, mengurangi sedapat
mungkin hal-hal yang dapat menghambat perolehan ilmu agar waktu
dapat lebih banyak digunakan untuk belajar. Selain menanamkan
sopan santun peserta didik terhadap guru, Shihab juga menyebutkan
sopan santun guru terhadap peserta didik bahwa guru berkewajiban
memperlakukan muridnya sebagai anak-anaknya,
menyayangi/menghormati demi melahirkan interaksi positif antar
mereka.
4. Sopan Santun terhadap Sahabat / Teman
Yang dimaksud dengan teman yaitu salah satu dari hidup
kita, dengan ada teman kita bisa saling berinteraksi, berteman dan
saling berbagi. Coba bayangkan bila kalian tidak mempunyai
29
Hayat, https://aladinalhafidz.blogspot.com/2017/07/makalah-sikap-sopan-terhadap-
guru.html, diakses pada tanggal 21 Agustus 2019 pukul 22:00. 30
Shihab, Op.Cit., h. 246-247.
54
teman, apa yang akan kamu lakukan? Mungkin akan mengurung
diri dirumah bukan. Tapi memang benar bila kita memiliki teman
kita harus senantiasa bersikap sopan dan baik terhadap teman,
sehingga dengan kita memberikan sikap sopan terhadap teman,
teman kita pasti akan semakin senang terhadap kita. Berikut 13
cara sopan santun terhadap teman:
a. Bersikap baik terhadap teman dan tidak boleh memilih
teman antara kaya dan miskin, tidak menyombongkan diri.
b. Bersikap jujur dan sopan terhadap teman.
c. Menyapa jika bertemu, baik disekolah maupun diluar
sekolah.
d. Pandai-pandai bergaul dan tidak mengejek sesama teman.
e. Tutur kata yang baik, tidak mudah melampiaskan amarah
dan saling mengerti.
f. Saling menghormati sesama teman.
g. Menjenguk teman yang sakit.
h. Bersikap dan suka menolong terhadap teman serta murah
senyum
i. Ramah tamah terhadap teman.
j. Kita harus bersikap terhadap orang, biar orang tersebut
mau menjadi teman.
k. Menjaga hubungan baik dengan teman.
l. Saling menasehati dalam hal kebaikan dan kesabaran.
m. Menjauhi dengki, dendam dan iri hati kepada teman.31
Adapun sopan santun terhadap sahabat/temen menurut
Shihab yaitu memelihara akhlak persahabatan, antara lain
memberi perhatian kepadanya, menanyakan beritanya jika ia
tidak bertemu, tidak masa bodoh atau menganggap enteng apa
yang terjadi atasnya. Jika sesekali terjadi
31
Panji Ploembond, https://panjiploembond.blogspot.com/2011/12/13-cara-sopan-santun-
terhadap-teman.html, diakses pada tanggal 21 Agustus 2019 pukul 23:00.
55
kesalahpahaman/ketidaksepakatan, bahkan kesalahan dari
sahabat, jangan jadikan itu alasan menjauh. Bukankah
andapun bisa salah? Kalau demikian, mengapa menurut orang
lain kendati sahabatmu untuk selalu benar? Lalu kalau
terpaksa harus menjauh, jangan terlalu jauh, berilah peluang
untuk dirimu dan sahabatmu kembali. Tanpa mengorbankan
air mukanya.32
5. Sopan Santun terhadap Berbicara
Salah satu nikmat Allah yang dinyatakan secara khusus
dalam al-Qur‟an adalah nikmat pengajaran dalam berekspresi. QS.
Ar-Rahman mendampingkan nikmat ini dengan nikmat pengajaran
al-Qur‟an. Memang melalui al-Qur‟an, Allah mengekspresikan
dalam bentuk bahasa yang sangat memesona petunjuk-petunjuk –
Nya. Cara berekspresi paling umum adalah berbicara. Semua
manusia, kecuali yang cacat, dapat menggunakan lidahnya untuk
bercakap-cakap. Sungguh menakjubkan lidah itu dan sungguh
Mahabesar dan Maha agung Allah yang menganugerahkannya dan
mengilhami manusia sekian banyak bahasa guna digunakannya
untuk berkomunikasi dan berekspresi. Adapun pribahasa atau
ungkapan orang bijank menyangkut lidah/pembicaraan. Misalnya :
Anggota tubuh berpesan kepada lidah: “Berhati-hatilah dalam
berucap karena engkau menentukan nasib kami.”33
Berkali-kali al-Qur‟an memberi tuntunan menyangkut cara
dan kandungan pembicaraan, antara lain QS. Al-Isra‟ ayat 53 yang
menyatakan:
ن هم يطان ينزغ ب ي وقل لعبادي ي قولوا الت ىي أحسن إن الش
بينا يطان كان لإلنسان عدوا م .إن الش
32 Shihab, Op.Cit., h. 257-258.
33 Ibid., h. 281.
56
Sampaikanlah kepada hamba-hamba-Ku agar mereka
berbicara yang terbaik. Banyak aspek dari kandungan berbicara
yang baik dalam memilih kata-kata, yakni yang mudah dimengerti
oleh mitra bicara, tidak berat diucapkan lidah dan didengar oleh
telinga, sesuai dengan kaidah kebahasaan dan dengan kondisi
objektif mitra bicara, termasuk statusnya karena ada bahasa kasar
dan halus, apakah sesuai untuk teman sejawat dan orang terhormat
serta ada lagi untuk yang sangat dihormati.
Di samping itu, agama berpesan agar dalam berbicara
jangan bertele-tele sehingga membosankan, tetapi tidak juga sangat
singkat sehingga tidak dipahami.
ر الكالم ما قل ودل خي
“Sebaik-baik pembicara adalah yang sedikit, tetapi yang
mencakup maksud.”34
Adapun etika berbicara dalam Islam, di antaranya:
1. Berkata baik atau diam
Etika berbicara yang pertama adalah bagaimana kita harus
memilih perkataan yang baik atau lebih baik diam ketika kita
tidak menemukan kata – kata yang baik untuk diberikan kepada
lawan bicara. Pemilihan kata bertujuan untuk tidak menyakiti
hati lawan bicara dengan lisan kita.
2. Berbicara yang penting saja
Sering kita temukan sekumpulan teman – teman yang
menghabiskan waktunya dengan saling bercakap – cakap.
Namun, ternyata terkadang pembicaraan menjadi ngelantur dan
tidak bisa kita bedakan baik atau pun buruk. Oleh karena itu
Rasulullah SAW melarang kita banyak bicara.
34
Ibid., h. 285.
57
Di samping itu, agama berpesan agar dalam berbicara
jangan bertele-tele sehingga membosankan, tetapi tidak juga
sangat singkat sehingga tidak dipahami.
ر الكالم ما قل ودل خي
“Sebaik-baik pembicaraan adalah yang sedikit, tetapi
mencakup maksud.”
3. Dilarang membicarakan setiap yang didengar
Banyak sekali informasi yang bertebaran setiap harinya di
dalam kehidupan kita. Dan beberapa informasi tersebut tidak
semua berisi kebenaran dan membawa kebaikan bagi kita. Oleh
karena itu kita harus berhati – hati dalam membicarakn setiap
yang kita dengar dari orang lain. Bahkan Rasulullah SAW
bersabda: „Siapa yang membicarakan setiap apa yang
didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta‟.
4. Jangan berbicara hal – hal kotor
Mengatakan sumpah serapah, sindiran, kritikan tanpa ada
dasar yang jelas merupakan larangan bagi mereka yang ingin
berbicara dengan baik kepada lawan bicara kita. Karena
berbicara seperti itu seperti kita memandang rendah lawan
bicara kita.
5. Jangan memulai debat meskipun kita benar
Debat merupakan pintu terbukanya kesalah pahaman yang
terbuka lebar. Karena satu sama lain saling mempertahankan
pendapat dan argumennya masing – masing. Apalagi ketika
debat di dasari dengan ketidak tahuan dari informasi yang kita
dapat tersebut. Hal ini juga membuat kita membuang – buang
waktu hingga bisa memutuskan silaturahmi dan menciptakan
permusuhan
58
6. Berbicara dengan intonasi rendah namun jelas
Kita dianjurkan untuk berbicara dengan tutur kata yang
lembut, namun tetap terdengar oleh lawan bicara kita. Tulus
dari hati tanpa terkesan dibuat – buat atau dipaksakan.
Sementara itu, perkataan hendaknya berisikan materi yang jujur
dan bermanfaat.
7. tenang dalam berbicara
Aisyah ra telah menuturkan, “Sesungguhnya Nabi apabila
membicarakan sesuatu pembicaraan, sekiranya ada orang
yang menghitungnya, niscaya ia dapat
mengihitungnya.”(Muttafaq „alaih).
8. Jangan berkata Ghibah dan Fitnah
Ghibah atau menggunjingkan orang lain, atau pun mengadu
domba tidak diperkenankan dalam etika berbicara dalam islam.
Allah SWT berfirman:
سواوالي غتبب عضكمب عضا والتس
Artinya, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain.”(QS. Al-Hujarat: 12).35
Dari penjelasan di atas, adapun sopan santun peserta didik terhadap
berbicara menurut Shihab yaitu memilih kata-kata jika hendak berbicara,
mudah dimengerti oleh mitra bicara, tidak berat diucapkan lidah dan
didengar oleh telinga, sesuai dengan kaidah kebahasaan dan dengan
kondisi objektif mitra bicara, termasuk statusnya karena ada bahasa kasar
dan halus, apakah sesuai dengan teman sejawat dan orang terhormat serta
ada lagi untuk dihormati.
35
Khanza Safitra, https://dalamislam.com/dasar-islam/etika-berbicara-dalam-islam.
Diakses pada tanggal 9 Oktober 2019 Pukul 07.00.
59
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulam
Berdasarkan pemaparan dan uraian yang telah disebutkan pada bab-
bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan
akhlak untuk peserta didik menurut M. Quraish Shihab dalam buku Yang
Hilang dari Kita: Akhlak adalah sebagai berikut:
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak untuk peserta didik menurut M. Quraish
Shihab terdapat 8 poin, yaitu : toleransi, kedisiplinan, Al-Haya’/malu,
sopan santun terhadap Allah Swt, sopan santun terhadap ibu-bapak,
sopan santun terhadap murid dan guru, sopan santun terhadap sahabat
dan sopan santun berbicara. Akan tetapi nilai-nilai pendidikan akhlak
belum sepenuhnya berhasil dalam membentuk akhlak mulia (luhur).
Akhlak dinyatakan telah hilang dari individu secara umum umat Islam,
dibuktikan banyaknya perilaku yang jauh dari nilai-nilai Islami.
Kegagalan ilmu akhlak dalam mewujudkan akhlak luhur, ada dua
kemungkinan yaitu dikarenakan kesalahan cara mengajarkannya
ataupun karena mereka tidak memahaminya dengan baik, serta apabila
sudah memahaminya mereka tidak mengunakannya sebagai sebuah
kebiasaan.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan implikasi,
yaitu implikasi terhadap peserta didik, nilai-nilai pendidikan akhlak sangat
diperlukan bagi peserta didik karena dengan ditanamkannya nilai
pendidikan akhlak dalam diri peserta didik sejak dini akan mempengaruhi
bagaimana akhlaknya ketika dewasa nanti.
Hasil penelitian ini juga digunakan sebagai masukan para peserta
didik agar dapat membenahi diri dengan membiasakan memiliki akhlak
yang baik.
60
C. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah penulis laksanakan, maka
dengan itu ada beberapa harapan dan saran, diantaranya sebagai berikut:
1. Masyarakat Indonesia khususnya umat muslim agar lebih mengenal
sosok M. Quraish Shihab yang memiliki butir hikmah dan kekuasaan
ilmu.
2. Untuk generasi intelektual muslim dan civitas akademika diharapkan
dapat melanjutkan dan mengkaji karya-karya M. Quraish Shihab
khususnya buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak, sehingga turut
memberikan sumbangsih peran dalam pendidikan Islam di Indonesia.
3. Bagi para peserta didik agar memiliki akhlak yang baik dengan
menggunakan referensi buku-buku Islami sehingga dapat membenahi
penyimpangan dalam kehidupan masyarakat.
63
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Amzah.
2007.
Abdurrahman, Muhammad. Akhlak: Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia.
Jakarta: Rajawali Pers. 2016.
Al-Abrasyi, M. Athiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan
Bintang. 1984.
Amin, Samsul Munir. Ilmu Akhlak. Jakarta: Amzah. 2016.
Amini, Ibrahim. Agar Tak Salah Mendidik. Jakarta: Al-Huda. 2006.
Anwar, Firdaus. “SIswa Berani Aniaya Guru”, https://health.detik.com/berita-
detikhealth/d-4438455/alasan-kenapa-siswa-yang-berani-aniaya-guru-
harus-dihukum-rehabilitatif?_ga=2.51697450.2014665742.1563031812-
1659631055.1563031812.
Ardani, Moh. Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat &
Tasawuf. Jakarta: Cv. Karya Mulia. 2005.
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara. 2000.
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2010.
Asma’ Umar Hasan Fad’aq, Mengungkap Makna & Hikmah Sabar. Jakarta:
Lentera. 1999.
Basalamah, Rima Nasir. “Al-Hayâ’ Sebagai Solusi Bagi Permasalahan Moral
Bangsa”. Raushan Fikr. Vol. 3 No. 2 2014.
Casram. “Membangun Sikap Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Plural”.
Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya. Vol. 1 No. 2 2016.
Daradjat, Dzakiah. Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang. 1976.
Darmiyati, Zuchdi. Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif .
Yogyakarta : UNY Press. 2010.
Didik Wahyudi dan I Made Arsana. “Peran Keluarga Dalam Membina Sopan
Santun Anak Di Desa Galis Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan”.
Jurnal Moral dan Kewarganegaraan. Vol. 2 No. 1 2014.
66
Djumransjah. Abdul Malik Karim Amrullah. Pendidikan Islam Menggali
“Tradisi”, Meneguhkan Eksistensi. Malang: UIN-Malang Press. 2007.
Djuwita, Puspa. “Pembinaan Etika Sopan Santun Peserta Didik Kelas V Melalui
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Di Sekolah Dasar Nomor 45
Kota Bengkulu”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Vol. 10
No 1 2017.
Gholib, Achmad. Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat Islami.
Tangerang: Berkah FC. 2017.
Gunawan, Heri. Pendidikan Islam Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2014.
Hayat. https://aladinalhafidz.blogspot.com/2017/07/makalah-sikap-sopan-
terhadap-guru.html.
http://kisahimuslim.blogspot.com/2014/09/hormat-dan-patuh-kepada-guru.html.
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab .
Iskandar. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: GP Press. 2009.
Mahfud, Rois. Al-Islam Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga. 2011.
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf 1. Jakarta: Kalam Mulia. 2009.
Maman, Syaeful. “Pembinaan Akhlak Mulia Melalui Keteladanan Dan
Pembiasaan”. Jurnal Pendidikan Agama Islam- Ta’lim. Vol.15 No. 1 2017.
Mappasiara. “Pendidikan Islam (Pengertian, Ruang Lingkup dan
Epistemologinya)”. Jurnal Pendidikan. Vol. 7 No. 1 2018.
Marhamah. “Krisis Moral, Jadi Degradasi Pendidikan”.
https://layarberita.com/2019/04/19/krisis-moral-jadi-degradasi-pendidikan/.
Marzuki. Pendidikan Karekter Islam. Jakarta: Amzah. 2015.
Muhammad Fajar Anwar dan Muhammad A. Salam. Membumikan Pendidikan
Karakter: implementasi Pendidikan Berbobot Nilai dan Moral. Jakarta:
CV. Suri Tatu’w. 2015.
Musfah, Jejen. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Prenadamedia Group. 2015.
Mustofa. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2014.
65
Nata, Abuddin Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2015.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam
di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. 2003.
Nata, Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam & Barat. Jakarta: Rajawali Pers.
2012.
Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
PT RajaGrafindo. 2005.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. 2002.
Ploembond, Panji. https://panjiploembond.blogspot.com/2011/12/13-cara-sopan-
santun-terhadap-teman.html.
Prastowo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif: Dalam perspektif Rancangan
Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2016.
Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2014.
Puspita, Ratna. “Guru DIaniaya Siswa Karena Runtuhnya Moral”,
https://republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/p3mk3z428/mahfud-
md-guru-dianiaya-siswa-karena-runtuhnya-moral.
Ridhani. Transformasi Nilai-nilai Karakter/Akhlak dalam Proses Pembelajaran.
Yogyakarta: Lkis. 2013.
Safitra, Khanza. https://dalamislam.com/dasar-islam/etika-berbicara-dalam-islam.
Sahriansyah. Ibadah dan Akhlak. Banjarmasin: IAIN Antasari Press. 2014.
Shihab, M. Quraish. Lentera al-Qur’an Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung:
PT Mizan Pustaka. 2008.
Shihab, M. Quraish. Membuka al-Qur’an, Fungsi dan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mirzan. 1994.
66
Shihab, M. Quraish. yang Hilang dari Kita Akhlak. Tangerang Selatan: Lentera
Hati. 2016.
Sudja’i, Achmad. “Pemikiran Pendidikan Prof. Dr. Hasan Langgulung”, dalam
Ruswan Thoyib (ed.). Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik
dan Kontemporer. Semarang: Pustaka Fajar. 1999.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV.
Alfabeta. 2015.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2010.
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008.
Trim, Bambang. Meng-instal Akhlak Anak. Jakarta: PT. Grafindo Media Pratama.
2008.
Umar Ibnu Ahmad Baraja’ . Akhlaq Li Al-Banin. Surabaya: Ahmad Nabhan.
Wiyani, Novan Ardy. Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Karakter.
Bandung: Alfabeta. 2013.
Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Malang Press.
2008.