nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al...
TRANSCRIPT
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM AL QUR’AN
SURAH AL BAQARAH AYAT 67 – 73
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam
Ilmu Pendidikan Islam
pp
Oleh:
SETYO UTOMO
NIM : 073111033
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Setyo Utomo
NIM : 073111033
Jurusan / Program Studi : Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa tulisan ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian / karya
saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 21 Februari 2012
Saya yang menyatakan,
Setyo Utomo
NIM : 073111033
iii
PENGESAHAN
Naskah tulisan dengan:
Judul : Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al Qur’an Surah Al
Baqarah Ayat 67-73
Nama : Setyo Utomo
NIM : 073111033
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
telah diujikan dalam sidang Munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo Semarang dan dapat diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam.
Semarang, 7 Juni 2012
DEWAN PENGUJI
Ketua Sekretaris
Nasirudin, M.Ag Fakrur Rozi, M.Ag
NIP. 19691012 1996 1 002 NIP. 19691220 199503 1 003
Penguji I Penguji II
Prof. Dr. Erfan Soebahar, M.Ag Drs. Karnadi, M.Pd
NIP. 19560624 198703 1 002 NIP. 19680317 199403 1 003
Pembimbing I Pembimbing II
Nasirudin, M.Ag H. Mursid, M.Ag
iv
NOTA PEMBIMBING Semarang, 21 Februari 2012
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalāmu’alaikumwr. wb
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah tulisan dengan:
Judul : NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL
QUR’AN SURAH AL BAQARAH AYAT 67-73
Nama : Setyo Utomo
NIM : 073111033
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah tulisan tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah.
Wassalāmu’alaikumwr.wb.
Pembimbing I,
Nasirudin, M.Ag
v
NOTA PEMBIMBING Semarang, 21 Februari 2012
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalāmu’alaikumwr. wb
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah tulisan dengan:
Judul : NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL
QUR’AN SURAH AL BAQARAH AYAT 67-73
Nama : Setyo Utomo
NIM : 073111033
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah tulisan tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah.
Wassalāmu’alaikumwr.wb.
Pembimbing II,
H. Mursid, M.Ag
vi
ABSTRAK
Judul : Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam QS. Al
Baqarah Ayat 67-73
Penulis : Setyo Utomo
NIM : 073111033
Tulisan ini membahas kandungan yang ada dalam QS. Al Baqarah
ayat 67-73. Data yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini adalah
data yang bersifat primer maupun sekunder. Sumber primer adalah data
yang diperoleh dari sumber inti. Dalam melakukan kajian mengenai
suatu ayat, maka jelaslah kalau yang menjadi sumber data primer adalah
berasal dari Al Qur’an, tepatnya pada QS. Al Baqarah ayat 67-73. Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang masih
berkaitan dengan masalah penelitian, dan memberi interpretasi terhadap
sumber primer. Sumber data sekunder dapat berupa kitab-kitab tafsir
maupun buku-buku bacaan yang masih relevan dengan pembahasan
tulisan ini.
Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan metode
library research. Library research adalah penelitian yang dilaksanakan
dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan,
maupun laporan hasil penelitian terdahulu. Setelah data yang dibutuhkan
terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisis dengan metode yang
diinginkan. Metode yang digunakan dalam menganalisis tulisan ini
adalah metode tahlili. Metode ini menguraikan makna yang dikandung
oleh Al Qur’an, ayat demi ayat, dan surat demi surat sesuai dengan
urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut mencakup berbagai aspek
yang dikandung ayat yang ditafsirkan, seperti pengertian kosakata,
konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-
ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya. Dan tidak ketinggalan pula
pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat
tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in, maupun
ahli tafsir lainnya.
Kajian ini menunjukan bahwa dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73
terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak yang meliputi : (1) Akhlak dalam
bertanya. Dalam tulisan ini dibahas mengenai kejelekan Bani Israil yang
tidak memiliki etika dalam bertanya, dimana mereka menanyakan
sesuatu hal yang membuat mereka berada pada permasalahan yang lebih
sulit. (2) Akhlak kepada orang tua. (3) Kesabaran pendidik. (4) Kejujuran
pendidik. (5) Ketaatan peserta didik.
vii
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam tulisan ini
berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
R.I. Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/U/1987. Penyimpangan penulisan kata
sandang [al-] disengaja secara konsisten agar sesuai teks Arabnya.
t ط a ا
z ظ b ب
‘ ع t ت
g غ s ث
f ف j ج
q ق h ح
k ك kh خ
l ل d د
m م ż ذ
n ن r ر
w و z ز
h ه s س
’ ء s ش
y ي s ص
d ض
Bacaan Mad: Bacaan Diftong:
aa = a panjang او = au
ii = I panjang اي = a
uu = u panjang
viii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tulisan yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan Akhlak
Dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah Ayat 67-73. Tulisan ini disusun untuk
memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program sarjana
pendidikan jurusan pendidikan agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
Penulis mengakui bahwa tersusunnya tulisan ini berkat bantuan, dorongan,
dan kerja sama dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Sudja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang yang telah memberikan ijin penulis untuk menyusun tulisan.
2. Nasirudin, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
3. Nasirudin, M.Ag. dan H.Mursid, M.Ag. selaku Pembimbing yang telah
dengan sabar dan tekun serta meluangkan waktunya untuk memberikan
bimbingan dalam pembuatan tulisan ini.
4. Bapak / Ibu dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, yang
telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang sangat
bermanfaat.
5. Dewan penguji ujian Munaqosyah, Prof. Dr. Erfan Soebahar, M.Ag. dan
Drs. Karnadi, M.Pd, Nasirudin, M.Ag, Fakrur Rozi, M.Ag.
6. Ayahanda Misdi dan Ibunda Wagiyah, atas do’a, kasih sayang, perhatian,
dan segala yang telah diberikan untukku.
7. Abah KH. Ali Masykur, atas kesabaran dan bimbingan yang diberikan
untuk menempa diriku di pesantren Al Mabrur yang akan selalu kurindu.
Dan semua dewan assatidz yang telah mengajariku di Pesantren Al
Mabrur.
8. Sahabat-sahabat IKSAMA, Misbachul Munir, Teguh, AniQul, Mas
Recina, Mbak Kholifah, Genk Keluarga Sakinah, dan teman yang lainnya
ix
yang tak bisa kusebut satu persatu, yang telah menjadi bagian dari cerita
hidupku.
9. Rekan-rekan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Mukhlisin, Ahmad
Zaeni, Khanif, pak Dhe (Multazam), Gus Basith, Dayat, Si Kembar (Ridho
dan Rodhi), Mas Agus Prasetyo Handoko, Chocky (Azkar Muzakki), Gus
Acank (Ahksan Zamzami), dan teman-teman seperjuangan yang tidak
mungkin disebutkan satu per satu. Atas segala bantuan dari semua pihak,
penulis hanya dapat memohon kepada Allah Yang Maha Pengasih,
semoga kebaikannya mendapat balasan yang sebaik-baiknya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tulisan ini masih jauh
dari sempurna, meskipun penulis telah mencurahkan seluruh kemampuan penulis.
Apa-apa yang benar dalam tulisan ini adalah datangnya dari Allah SWT,
sedangkan apa yang salah berasal dari diri yang lemah ini. Untuk itu segala kritik
dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati.
Semarang, 19 Juni 2012
Penulis,
Setyo Utomo
x
DAFTAR ISI
hlm
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN .....................................................................
PENGESAHAN ...........................................................................................
NOTA PEMBIMBING ................................................................................
ABSTRAK ...................................................................................................
TRANSLITERASI ......................................................................................
KATA PENGANTAR .................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
B. Penegasan Istilah ....................................................................
C. Rumusan Masalah ..................................................................
D. Tujuan Penelitian ...................................................................
E. Kajian Pustaka ........................................................................
F. Metode Penelitian .................................................................
BAB II : NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL
QUR’AN SURAH AL BAQARAH AYAT 67-73
A. Nilai .......................................................................................
1. Pengertian Nilai…………………………………………
2. Macam-macam Nilai …………………………………...
3. Metode Pendidikan Nilai ………………………………
B. Pendidikan…………………………………………………..
1. Pengertian Pendidikan ………………………………….
2. Faktor-faktor Pendidikan ……………………………..
C. Akhlak ……………………………………………………...
1. Pengertian Akhlak ……………………………………
2. Proses Pembentukan Akhlak …………………………
I
ii
iii
iv
vi
vii
ix
xi
1
9
12
12
13
15
18
18
19
20
22
22
24
29
29
31
xi
D. QS. Al Baqarah ayat 67-73…………………………………
BAB III : ASBABUN NUZUL, MUNASABAH, DAN TAFSIR
AYAT
A. Asbabun Nuzul QS. Al Baqarah Ayat 67-73 ........................
B. Munasabah QS. Al Baqarah Ayat 67-73 ...............................
C. Pendapat Mufasir Mengenai QS. Al Baqarah Ayat 67-73.....
BAB IV : ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM QS. AL BAQARAH AYAT 67-73
A. Akhlak Dalam Bertanya ……………………………………
B. Akhlak Kepada Orang Tua ...................................................
C. Nilai Kesabaran Pendidik …………………………………..
D. Nilai Kejujuran Pendidik …………………………………..
E. Nilai Ketaatan Peserta Didik ……………………………….
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................
B. Saran-saran .............................................................................
C. Penutup ...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
33
37
39
45
61
63
69
71
73
75
76
77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam menjalani kehidupan orang-orang Islam, Allah SWT telah
memberikan pegangan dan tuntunan kepada setiap hambanya agar
nantinya dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, serta tidak
keluar dari tatanan koridor syari‟ah yang telah ditentukan. Pegangan
tersebut adalah kitab suci Al Qur‟an. Al Qur‟an merupakan sumber
hukum yang pertama dan utama bagi setiap orang Islam. Di dalam Al
Qur‟an terdapat banyak sekali pembahasan mengenai aturan kehidupan
bagi manusia. Al-Qur'an adalah mu'jizat terbesar bagi kerasulan Nabi
Muhammad SAW yang merupakan sumber dari seluruh ajaran Islam,
dan juga sebagai wahyu Allah SWT terakhir yang menjadi rahmat,
hidayah dan syifa‟ bagi seluruh manusia. Oleh sebab itu Al-Qur'an
menegaskan bahwa ajarannya selalu sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan serta petunjuk bagi manusia dalam kancah kehidupannya.
Al Qur‟an juga merupakan kitab suci yang sangat komprehensif,
selain berisi tentang perintah dan larangan, Al Qur‟an berisi juga tentang
fakta ilmiah yang bermanfaat bagi manusia. Selain itu, di dalam Al
Qur‟an terdapat pula cerita sejarah mengenai umat sebelum Nabi
Muhammad SAW, dimana dengan adanya cerita tersebut kita dapat
mengambil banyak pelajaran agar kita tidak mengulangi kesalahan-
kesalahan yang dilakukan umat terdahulu.
Al Qur‟an adalah kitab suci yang menjadi sumber dalam ajaran
Islam yang menjadi petunjuk kehidupan umat manusia yang diturunkan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai rahmad yang tak
ada taranya bagi alam semesta.
Setiap mu‟min yakin bahwa membaca Al Qur‟an termasuk amal
yang sangat mulia dan akan mendapat pahala yang berlipat ganda, sebab
2
yang dibacanya adalah kitab suci. Al Qur‟an adalah sebaik-baik bacaan
bagi orang mu‟min, baik dikala senang ataupun susah. Malahan
membaca Al Qur‟an bukan sekedar pahala saja, namun juga menjadi
obat dan penawar bagi orang yang sedang gelisah jiwanya.
Pada suatu ketika datanglah seorang seseorang kepada sahabat
Nabi yang bernama Ibnu Mas‟ud, seseorang tersebut meminta sebuah
nasehat kepada Ibnu Mas‟ud. Orang tersebut berkata : ”wahai Ibnu
Mas‟ud, berilah padaku nasehat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku
yang sedang gelisah, dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tenteram,
jiwaku gelisah, fikiranku kusut, makan tidak enak, tidurpun tak
nyenyak”.
Maka Ibnu Mas‟ud menasehatinya, ia berkata : “kalau penyakit itu
menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke
tempat engkau dapat membaca Al Qur‟an, atau engkau dengar baik-baik
orang yang sedang membaca Al Qur‟an, atau yang kedua, engkau
mengunjungi majlis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah
SWT, atau engkau cari waktu dan tempat yang sunyi agar engkau dapat
berkhalwat dengan Allah SWT, seperti di waktu malam buta. Disaat
orang sedang nyenyak dalam tidurnya, bangunlah untuk mengerjakan
shalat malam, meminta dan memohon kepada Allah SWT ketenangan
jiwa, ketenteraman fikiran, dan ketenangan hati. Seandainya dengan
cara ini jiwamu belum juga terobati, maka mintalah kepada Allah agar
engkau diberi hati yang lain, sebab hati yang engkau pakai bukan lagi
hatimu ”.
Setelah itu orang tersebut kembali ke rumahnya, dan mengamalkan
semua yang dinasehatikan oleh Ibnu Mas‟ud r.a., dia mengambil air
wudlu dan membaca Al Qur‟an dengan khusyu‟. Selesai membaca Al
Qur‟an orang tersebut berubah kembali lagi jiwanya menjadi jiwa yang
tenteram, fikirannya jenih, dan kegelisahnnya hilang sama sekali.1
1Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971),
hlm.102
3
Tentang keutamaan dan kelebihan Al Qur‟an, Rasulullah SAW.
Menyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim yang artinya : ada dua golongan manusia yang sungguh
sungguh dengki kepadanya, yaitu orang yang diberi oleh Allah Al
Qur‟an yang kemudian ia baca di siang dan malam, dan orang yang
diberi kekayaan harta yang ia gunakan untuk segala hal yang diridhai
oleh Allah SWT.
Dalam versi yang berbeda Nabi Muhammad bersabda :
Dari Ibnu Mas‟ud r.a., dari Nabi SAW, beliau bersabda : Tidak
diperbolehkan hasud (iri hati), kecuali dalam dua hal, yaitu
seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah kemudian dibelanjakan
dalam kebenaran dan seseorang yang dikaruniai ilmu oleh Allah
kemudian diamalkan dan diajarkannya. (HR. Al Bukhari)2
Di dalam Islam, bukan hanya membaca saja yang dijanjikan akan
mendapatkan pahala dan rahmad, tetapi orang yang mendengarkan Al
Qur‟an ketika dibacapun juga mendapat pahala. Para ulama‟ sepakat
bahwa mendengarkan Al Qur‟an sama halnya dengan membacanya. Dasar
naqlinya adalah sebagai berikut :
Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik,
dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat
(QS Al A‟raf :204)3.
2Imam Abi Abdillah Muhammad, Shahih Bukhari Juz 1, (Beirut : Darul Kitab Al Alamiyyah,
1992), hlm.. 44 3Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah,
2004), hlm.238
4
Dari hadis riwayat Imam Bukhari di atas, dapat kita simpulkan
bahwa jika ada seseorang membaca Al Quran kita diwajibkan
mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik dalam
sembahyang maupun di luar sembahyang, terkecuali dalam shalat
berjamaah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri waktu imam
membaca ayat-ayat Al Quran.
Dalam uraian diatas, tentunya adalah wajar jika Al Qur‟an
dikatakan sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dan
itulah sebabnya Al Qur‟an dijadikan sebagai petunjuk untuk kita selaku
orang Islam. Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 2 dan
An Nahl ayat 89:
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.(QS Al Baqarah:2 )4
Dan ingatlah akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami
datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat
manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri. ( QS An Nahl : 89)5
Sebagai pedoman hidup, mempelajari dan mengkaji Al Qur‟an
hukumnya adalah wajib. Sebagai perumpamaan, katakanlah Al Qur‟an
adalah sebagai lampu yang digunakan penerangan seseorang ketika
4Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Bandung : J-ART, t.t. ),
hlm. 2 5Departemen agana RI, Al Aliyy, (Bandung : CV Penerbit Dionegoro, 2008), hlm. 221
5
berjalan dalam kegelapan . Dapat kita simpulkan bahwa lampu adalah
sesuatu hal yang wajib dibawa ketika seseorang akan berjalan dalam
kegelapan. Al Qur‟an adalah lampu, dan jalan yang gelap adalah ibarat
kehidupan di dunia yang tidak kita ketahui kelanjutannya. Jika ada
orang mengarungi kehidupan di dunia, dan ia tidak memiliki bekal
berupa pengetahuan tentang Al Qur‟an, maka hidup orang tersebut akan
jauh dari jalan yang lurus (kebenaran).
Pentingnya belajar Al Qur‟an juga pernah disabdakan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam sabdanya, Nabi menjelaskan keutamaan
orang yang mau belajar Al Qur‟an dan mengamalkannya. Nabi
Muhammad SAW. Bersabda :
صلى اهلل عليو وسلم قا ل خير كم اهلل عنو عه النب عه عثمان رض
مه تعلم القرآن وعلمو )رواه البخاري(
Dari Utsman r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda : sebaik-baik
diantaramu yaitu yang belajar Al-Qur‟an dan mengajarkannya.
(HR Al Bukhari)6
Sebagai agama yang senantiasa memberi pedoman kepada
pemeluknya di segala aspek, Islam mengatur manusia untuk
menyembah Tuhan. Namun terkadang masih kita temui diantara saudara
kita yang masih belum tepat dalam menjalankan ritual penyembahan
kepada Tuhan YME (Allah SWT). Banyak dari mereka yang belum
mampu meninggalkan tradisi-tradisi yang sebenarnya merupakan
larangan dalam agama islam itu sendiri. Contohnya adalah : ada saudara
kita yang tinggal di sekitar pantai masih sering melakukan upacara
pemberian sesaji kepada sang penguasa laut (Nyi Roro kidul). Atau
mereka yang kesehariannya adalah sebagai petani, mereka juga masih
melakukan upacara pemberian sesaji kepada dzat yang mereka yakini
mampu memberi keberkahan terhadap hasil panen mereka (Dewi Sri).
6Imam Abi Abdillah Muhammad, Shahih Bukhar Juz 5, (Beirut : Darul Kitab Al Alamiyyah,
1992), hlm. 427
6
Dengan mendalami Al Qur‟an secara baik, diharapkan kita mampu
menjalankan ibadah dengan benar tanpa tercampuri hal-hal yang
mendatangkan kemusyrikan dalam diri kita.
Hidup di dunia tak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita
harapkan, terkadang banyak masalah yang datang tak terduga. Perintah
sabar juga telah ada dalam Al Qur‟an, seperti firman Allah SWT :
Dan bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan
sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran
ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu(QS Ar Rum : 60)7
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya
yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkanoleh Allah.
(QS Luqman : 17)8
Ayat-ayat diatas merupakan perintah untuk kita bersabar dalam
menjalani kehidupan di dunia ini. Tulisan ini merupakan telaah ayat
dalam dunia pendidikan, jadi kesabaran juga diperlukan oleh orang-
orang terlibat dalam dunia pendidikan (termasuk di dalamnya pengajar
dan peserta didik). Seorang pengajar butuh kesabaran dalam
menghadapi segala masalah dalam prosesnya mendidik peserta
didiknya. Begitupun dengan peserta didik, mereka harus memiliki
kesabaran dalam menimba ilmu di sekolahan. Mencari ilmu ibarat
memasukan air kedalam kendi, jadi kita harus bersabar dalam
7Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah,
2004), hlm 579 8Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah,
2004), hlm 582
7
memasukan air tersebut kedalam kendi harus sedikit demi sedikit, tidak
serta merta dituangkan begitu saja.
Dalam masalah di atas, penulis mengkhususkan kajian Al Qur‟an
pada surat Al Baqarah ayat 67-73 yang berbunyi sebagai berikut9 :
67.Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami
buah ejekan?".Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar
tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
68. Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami,
agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa
menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
9Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah,
2004), hlm 13
8
adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara
itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
69. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami
agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa
menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi
menyenangkan orang-orang yang memandangnya."
70. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami
agar Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina
itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan
Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk
memperoleh sapi itu)."
71. Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina
itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak
tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak
ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu
menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian mereka
menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan
perintah itu
72. Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu
kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak
menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan.
73. Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian
anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali
orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-
tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (QS. Al Baqarah : 67-73)
Kemudian yang menjadi latar belakang pada tulisan ini adalah
mengenai aplikasi isi kandungan ayat tersebut dalam kehidupan sehari-
hari, apakah masih relevan atau sudah diabaikan oleh sebagian dari
saudara kita.
Di zaman yang semakin maju ini, kita tidak memungkiri bahwa
kualitas akhlak dalam diri anak semakin mengalami kemerosotan, atau
bahkan sama sekali tidak memiliki tata krama dalam pergaulan. Di
media cetak maupun berita dari televisi sering kita jumpai berita
mengenai pembunuhan oleh anak kandung terhadap orang tuanya
9
sendiri. Baik karena masalah yang sederhana maupun masalah yang
berkaitan dengan harta benda.
Kaitannya dalam dunia pendidikan, ada beberapa hal yang juga
perlu kita perhatikan. Diantaranya yaitu kesabaran seorang pendidik
maupun peserta didik. Dalam menjalankan proses belajar mengajar
diperlukan rasa sabar diantara mereka, guru harus terus bersemangat
dalam mencerdaskan peserta didiknya, dan peserta juga jangan sampai
putus asa dalam menyerap ilmu yang diberikan oleh gurunya. Selain
nilai pendidikan akhlak diatas, dalam skripsi ini juga akan penulis
jelaskan pula mengenai kejujuran pendidik dan ketaatan peserta didik.
Atas dasar beberapa realita yang penulis temukan di atas, adalah
alasan penulis mengapa isi kandungan dari QS. Al Baqarah ayat 67-63
perlu dikaji lebih mendalam lagi. Dan selanjutnya pembahasan masalah
tersebut akan penulis kaji dalam tulisan yang berjudul : “NILAI-
NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM Al QUR’AN SURAH
AL BAQARAH AYAT 67-73”.
B. Penegasan Istilah
Sebelum membahas lebih mendalam mengenai isi dari QS Al
Baqarah ayat 67-73, akan penulis kemukakan lebih dahulu apa arti nilai
dan pendidikan. Nilai yaitu esensi yang melekat pada sesuatu yang
sangat berarti bagi kehidupan. Kata majemuk "nilai-nilai" menurut
Muhaimin berasal dari kata dasar "nilai" diartikan sebagai asumsi-
asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar
dan penting10
. Dalam hal ini, nilai yang dimaksudkan adalah mengenai
surat Al Baqarah ayat 67-73.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memliki kekuatan
10
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 110.
10
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara. Pengertian yang pertama mengacu kepada pendidikan pada
umumnya, yaitu pendididkan yang dilakukan oleh masyarakat umum.
Dan pendidikan adalah pengaruh bimbingan dan arahan dari orang
dewasa kepada orang lain, untuk menuju kearah kedewasaan,
kemandirian, serta kematangan mentalnya. Pekerjaan mendidik
mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan
perkembangan manusia.11
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan
sebagai proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan cara
pengajaran12
. Jalaludin mengartikan pendidikan sebagai proses usaha
dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiannya dalam
membimbing melatih, dan menanamkan nilai dan dasar pandangan
hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar
dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia yang
sesuai dengan sifat hakiki dan ciri kemanusiaannya.13
Akhlak adalah jamak dari tunggal khuluq, sedangkan khuluq itu
sendiri merupakan lawan dari khalq. Khuluq itu dapat dilihat dengan
mata batin, sedangkan khalq dapat dilihat dengan mata lahir. Kedua kata
tersebut berasal dari akar yang sama, yaitu berasal dari kata khalaqa.
Kemudian kata khuluq diartikan sebagai sesuatu yang telah tercipta
atau terbentuk dari suatu proses. Kebiasaaan merupakan tindakan yang
tidak memerlukan pemikiran ataupun pertimbangan. Dari definisi diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa akhlaq adalah kehendak dan tindakan
yang sudah menyatu dengan pribadi seseorang dalam kehidupannya,
11
Made Pidarta, landasan kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007) ,hlm.2 12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka.
2003), hlm. 263 13
Jalaludin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Ar Ruzz, 2009), hlm. 21
11
sehingga tidak dapat dipisahkan dan tidak lagi memerlukan
pertimbangan atau pemikiran untuk menjalankannya.14
Secara etimologi, lafadz Al Qur‟an bersal dari kata alquru’ , yang
berarti mengumpulkan. Dan secara istilah, Al Qur‟an dapat diartikan
firman (perkataan) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang memiliki mu‟jizat dengan surat. Namun ada pula yang
berpendapat jika Al Qur‟an adalah berasal dari kata “qara’a” yang
brarti bacaan.
Dalam buku Mahabis fi ulumil Qur‟an Al Qur‟an juga biasa diartikan
sebagai berikut :
Kalam Allah atau firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang membacanya merupakan ibadah. Definisi
kalam adalah kelompok atau jenis yang meliputi segala kalam, dan
dengan menghubungkannya kepada Allah, berarti tidak termasuk
kalam manusia, jin, dan malaikat. Dan Al Qur‟an adalah wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, jadi kalam Allah
yang dirunkan kepada Nabi-nabi terdahulu sebelum Nabi
Muhammad bukanlah dinamakan Al Qur‟an, seperti Injil yang
diturunkan kepada Nabi Isa AS, Taurat kepada Nabi Musa AS, dan
Zabur kepada Nabi Dawud AS.15
Sedangkan yang diteliti dalam tulisan ini adalah mengenai QS. Al
Baqarah 67-73”. QS. Al Baqarah adalah surat ke dua dari urutan
susunan surat dalam Al Qur‟an, meskipun demikian surat Al Baqarah
adalah surat yang diturunkan ke 87 setelah surat Al Muthaffifin16
. Dan
QS. Al Baqarah terdiri dari 286 ayat dan tergolong surat Madaniyyah
yang sebagian besar turun pada permulaan tahun Hijriyyah (kecuali
pada ayat ke 281 yang turun di Mina ketika nabi Muhammad SAW.
Melakukan haji wada’). QS. Al Baqarah dinamakan juga dengan
sebutan Fustatul Qur’an , artinya puncaknya Al Qur‟an, hal itu
dikarenakan memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam
14
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : Rasail, 2010), hlm.31 15
Manna Khalil Al Qattan, Mahabis fi ulumil Qur’an, terjemah Mudzakir, (Bogor : Pustaka Litera
Antar Nusa, 2001), hlm. 17 16
Abdullah Umar, MushthalichulAttajwid, (Semarang : Karya Toha Putra, t.t.),hlm. 10
12
surat lain. Al Baqarah juga dikenal dengan nama surat “alif-lam-
mim”,karena surat ini dimulai dengan lafadz Alif-laam-miim.
Dinamakan surat Al Baqarah karena didalam surat ini memuat
cerita mengenai penyembelihan sapi betina yang diperintahkan kepada
orang-orang Bani Israil. Dalam cerita tersebut juga digambarkan
mengenai sifat dan watak orang Yahudi pada umumnya.
C. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini, yang penulis jadikan sebagai rumusan masalah
adalah : Nilai-nilai pendidikan akhlak apakah yang terkandung dalam
QS. Al Baqarah 67-73 ?.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, tujuan dilakukan
penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung pada
QS Al Baqarah ayat 67 sampai 73.
Sedangkan manfaat yang dapat kita ambil dari penelitian telaah Al
Qur‟an ini adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan wawasan yang lebih komprehensif terhadap
pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam QS Al Baqarah
ayat 67-73.
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu membantu dalam
usaha penghayatan dan pengamalan terhadap isi kandungan dan
nilai-nilai yang ada pada Al Qur‟an baik yang tersirat ataupun
yang tersurat, lebih khususs lagi pada QS Al Baqarah ayat 67-
73.
c. Penelitian ini dapat memberikan sedikit sumbangan bagi
literatur ilmu pendidikan akhlak dalam beberapa aspek, yaitu
akhlak dalam bertanya, akhlak seorang anak kepada orang tua,
13
kesabaran pendidik, kejujuran pendidik, ketaatan peserta didik
pada gurunya.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan kajian penting dalam sebuah penelitian
yang akan kita lakukan. Kajian pustaka disebut juga kajian literal.
Kajian pustaka merupakan sebuah uraian tetntang literatur yang relevan
dengan bidang atau topik tertentu.17
Penelitian pustaka ini pada dasarnya bukan penelitian yang benar-
benar baru. Sebelum ini banyak yang sudah mengkaji objek penelitian
tentang nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu, penulisan dan penekanan
skripsi ini harus berbeda dengan skripsi yang telah dibuat sebelumnya.
Adapun telaah yang digunakan pada penulisan skripsi ini ialah
menggunakan prior research (penelitian terdahulu). Prior research
yaitu penelitian terdahulu yang telah membahas nilai-nilai pendidikan.
Namun prior research yang digunakan penulis dalam pembuatan
skripsi ini, adalah nilai-nilai pendidikan yang telah dikhususkan objek
kajiannya, seperti nilai-nilai pendidikan akhlak, sosial, dan lain
sebagainya. Diantara prior research yang dimaksudkan diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak menurut Al Qur’an surat At
Taghabun ayat 14. Skripsi tersebut disusun oleh FaiqJauharotul
Huda (NIM : 3101332), isi skripsi tersebut memaparkan nilai-nilai
pendidikan akhlak dalam surat At Taghabun ayat 14. Nilai-nilai
yang ada didalam skripsi tersebut antara lain sikap mau
memaafkan, menahan amarah, dan mau mengampuni. Dengan
demikian skripsi tersebut hanya terfokus pada QS At Taghabun
ayat 14.18
17
Punaji Setyosari, Metode penelitian pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm 72 18
Faiq Jauharotul Huda (3101332), Nilai-nilai pendidikan akhlak menurut Al Qur’an surat At
Taghabun ayat 14, (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td
14
2. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A’raf ayat 199.
Disusun oleh Zaenal Abidin (NIM 3102044), skripsi tersebut berisi
tentang pendidikan akhlak yang meliputi sikap pemaaf, amar
ma‟ruf nahi munkar, dan berpaling dari sifat yang bodoh.19
3. Nilai-nilai pendidikan kesehatan mental dalam qiyamullail.
Disusun oleh Abdul Jalil (NIM 3102307). Skripsi ini berisi
mengenai kesehatan fisik dan mental, ketanangan jiwa, dan upaya
untuk menjauhkan diri dari penyakit hati.20
4. Nilai-nilai pendidikan dalam film children of heaven.Disusun oleh
Solikhul Munthaha (NIM 3100354), berisi tentang berbakti pada
orang tua, sesama, tetangga, dan juga brisi tentang kesehatan
jasmani.21
5. Nilai pendidikan akhlak dalam syairan kitab ta’limul muta’alim.
Disusun oleh Mohamad Mahfudz (NIM 3103246). Skripsi ini
berisi tentang taqwa, zuhud, sabar, takut dosa, cara mencari ilmu
yang bermanfaat, menjaga lisan, serta sikap pemaaf.22
Dari beberapa kajian pustaka diatas, maka jelaslah bahwa
tulisan skripsi yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan akhlak
dalam QS Al Baqarah ayat 67-73 belumlah ada yang membahasnya.
Dari hal inilah, penulis akan mencoba memaparkan dan menganalisis
tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada pada QS Al Baqarah ayat
67-73.
19
Zaenal Abidin (3102044), Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A’raf ayat 199,
(Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2007), td 20
Abdul Jalil (3102307), Nilai-nilai pendidikan kesehatan mental dalam qiyamullail, (Semarang :
Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td 21
Solikhul Munthaha (3100354), Nilai-nilai pendidikan dalam film children of heaven, (Semarang
: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2007), td 22
Mohamad Mahfudz (3103246), Nilai pendidikan akhlak dalam syairan kitab ta’limulmuta’alim, (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td
15
F. Methode Penelitian
1. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mengemukakan fokus
penelitian sebagai berikut : nilai-nilai pendidikan akhlak pada QS.
Al Baqarah ayat 67-73 yang meliputi akhlak kepada orang tua,
akhlak dalam mengajukan pertanyaan, kesabaran pendidik dalam
menempa peserta didiknya, kejujuran pendidik dalam
menyampaikan ilmu yang dimilikinya, dan ketaatan peserta didik
kepada pendidiknya.
Penelitian ini secara tidak langsung juga merupakan studi
sejarah mengenai cerita sapi betina dan watak orang Bani Israil,
karena hal tersebut juga terdapat pada QS Al Baqarah ayat 67-63,
dan yang menjadi fokus penelitian ini adalah mengenai isi dari QS
Al Baqarah ayat 67-63.
2. Sumber Data
Data penelitian ini diperoleh dari kitab suci Al Qur‟an yang
menjadi pedoman hidup orang islam. Selain itu, sumber data
penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau bahan bacaan yang
relevan dengan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini.
Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi dua kelompok,
yang pertama adalah sumber primer, dan yang kedua adalah sumber
sekunder.
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah data yang diperoleh dari sumber inti.
Dalam melakukan kajian mengenai suatu ayat, maka jelaslah
kalau yang menjadi sumber data primer adalah berasal dari Al
Qur‟an.
b. Sumber Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-
sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian,
16
dan memberi interpretasi terhadap sumber primer. Sumber data
sekunder dapat berupa kitab-kitab tafsir maupun buku-buku
bacaan yang masih relevan dengan pembahasan skripsi ini.
Kitab-kitab tafsir yang penulis jadikan sebagai referensi
penulisan skrisi adalah sebagai berikut :
Tafsir Al Maraghi, karya Ahmad Musthafa Al Maraghi.
Tafsir Al Mishbah, karya M.Quraish Shihab.
Tafsir Fi Dzilalil Qur‟an, karya Sayyid Quthb
Kitab Al „Aliyy, terbitan dari Departemen Agama Republik
Indonesia.
Tafsir Al Qur‟an Majid Annur karya Tengku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy.
Tafsir „Aidh Al Qarni, karya Qisthi Press
Tafsir Hasiyat Al Sawi „Ala Tafsir Al Jalalayn, karya Al
Sayh Ahmad ben Muhammad Al Sawi.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka membahas dan memecahkan masalah yang
ada dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode library
research. Library research adalah penelitian yang dilaksanakan
dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku,
catatan, maupun laporan hasil penelitian terdahulu.
Menjadikan perpustakaan sebagai sumber data utama, yang
dimaksud adalah untuk menggali teori dan konsep yang telah
ditentukan oleh para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan
penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang
luas mengenai topik yang dipilih, dan memanfaatkan data sekunder,
serta menghindari duplikasi penelitian.Kemudian ditelaah dan
dikritisi, serta mengadakan interpretasi secara cermat dan mendalam.
17
4. Metode Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, langkah berikutnya
adalah menganalisis dengan metode yang diinginkan. Metode yang
digunakan dalam menganalisis tulisan ini adalah metode tahlili.
Metode Tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat Al Qur‟an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-
ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang
mencakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang mentafsirkan ayat tersebut23
.
Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna
yang dikandung oleh Al Qur‟an, ayat demi ayat, dan surat demi surat
sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut mencakup
berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan, seperti
pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat,
kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya.
Dan tidak ketinggalan pula pendapat yang telah diberikan berkenaan
dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi,
sahabat, para tabi‟in, maupun ahli tafsir lainnya.
23
Nashrudin Baidan, Methodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 31
18
BAB II
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM QS. AL BAQARAH AYAT 67-73
A. Nilai
1. Pengertian Nilai
Nilai disamping juga sebagai produk dari masyarakat, juga merupakan alat atau
media untuk menyelaraskan antara kehidupan pribadi dengan kehidupan
bermasyarakat (dalam arti berhubungandengan orang lain). Menanamkan nilai yang
baik juga merupakan fungsi utama pendidikan. Ada banyak tokoh pendidikan yang
mengartikan apa itu nilai. Nilai menurut Milton Rokeach dan James Bank yang
dikutip oleh Chabib Thoha dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan Islam adalah
sebagai suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan
dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai
sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan.1
Masih dalam buku yang sama Chabib Thoha juga mengutip pendapat J.R.
Fraenkel yang mendefinisikan nilai sebagai berikut: A value is an idea a concept
about what some one thinks isimportant in life 2 . Dari pengertian yag dikemukakan
oleh J.R. Fraenkel, ini menunjukkan bahwa nilai bersifat subyektif, artinya tata nilai
pada masyarakat satu belum tentu tepat diterapkan untuk masyarakat yang lain, hal
tersebut dikarenakan nilai diambil dari suatu hal yang penting bagi masyarakat
tertentu.
Sebagai contoh untuk memahami devinisi nilai dari JR. Fraenkel adalah sebagai
berikut :
1ChabibThoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),hlm. 60.
2ChabibThoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),hlm. 60.
19
Segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di daerah
pedalaman dari pada segenggam emas. Hal tersebut dikarenakan
segenggam garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan.
Sedangkan segenggam emas hanya sebagai perhiasan.
Segenggam emas lebih berarti dari pada sekarung garam bagi
masyarakat perkotaan.
Adanya perbedaan tersebut adalah dikarenakan segi manfaat dari suatu hal.
Nilai sesuatu akan selalu berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain.
Pengertian ketiga yang dikutip oleh Chabib Thoha dalam buku yang sama mengenai
pengertian nilai, dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurut Sidi Gazalba pengertian
nilai adalah sebagai berikut :
Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit,
bukan fakta, tidak hanya persoalan benar atau salah yang menuntut pembuktian
empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki,
disenangi atatu tidak disenangi3.
Pengertian diatas menunjukan adanya hubungan antara subjek penilaian dengan
objek. Seperti halnya garam dikatakan bernilai karena ada subjek yang
menganggapnya penting, jika garam tidak ada yang membutuhkan, maka garam dapat
dikatakan tidak memiliki nilai. Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil satu
kesimpulan tentang definisi nilai yaitu hasil dari pendapat seseorang mengenai suatu
hal.
2. Macam-macam Nilai
Menurut Noeng Muhadjir nilai dibedakan menjadi dua macam, yaitu nilai
Ilahiyahdan nilai Insaniyah4. Nilai Ilahiyah merupakan nilai yang bersumber dari
3ChabibThoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),hlm. 61.
4ChabibThoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)., hlm. 64.
20
agama (wahyu Allah), sedangkan nilai Insaniyah adalah nilai yang diciptakan oleh
manusia atas dasar kriteria yang diciptakan oleh manusia pula.
Nilai Ilahiyah dapat dibagi menjadi dua, pertama nilai ubudiyah yaitu nilai
tentang bagaimana seseorang seharusnya berlaku dan beribadah terhadap Tuhannya.
Nilai uluhiyah sering kita sebut dengan istilah “hablum minallah”. Kedua, nilai
muammalah yaitu nilai yang ditentukan oleh Tuhan bagi manusia untuk dijadikan
pedoman dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Nilai Insaniyah terdiri
dari nilai rasional, nilai sosial, nilai indiviual, nilai biofisik, nilai ekonomik, nilai
poltik dan nilai estetik. Nilai ini juga dapat kita sebut dengan “hablum minannnas”.
Dari kedua jenis nilai di atas maka nilai Ilahiyah merupakan nilai yang tidak
lagi bersifat subyektif melainkan menjadi obyektifpada kalangan agama tertentu. Hal
ini dikarenakan nilai Ilahiyah tentunya didasarkan pada firman Tuhan yang terdapat
dalam kitab suci agama tertentu. Meski nilai pada masyarakat berbeda namun
beragama sama,tentu saja aplikasi beragama pada masyarakat tersebut tetaplah sama.
Begitu juga nilai-nilai Ilahiyah dalam agama Islam tentulah sama walau berada dalam
masyarakat yang memiliki budaya berbeda.
Berdasarkan adanya dua macam nilai di atas, maka penelitian ini diharapkan
dapat menemukan nilai-nilai Ilahiyah maupun Insaniyyah yang ada dalam QS. Al
Baqarah ayat 67-73.
3. Metode Pendidikan Nilai
Menurut Noeng Muhajir yang dikutip oleh Chabib Thoha, setidaknya terdapat
empat macam metode pendidikan nilai, yaitu : nilai dogmatik, nilai deduktif, nilai
induktif, dan nilai reflektif5. Adapun mengenai penjelasannya adalah sebagai berikut :
5ChabibThoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)., hlm. 85
21
1. Metode Dogmatik
Metode dogmatik yaitu metode yang mengajarkan nilai-nilai kepada siswa
dengan jalan menyajikan kebaikan dan kebenaran yang harus diterima apa
adanya dan tidak boleh mempersoalkan hakekat kebenaran tersebut.
Kelemahan dari metode ini yaitu siswa kurang mampu untuk mengembangkan
daya pikir dan rasionalitas dalam menghayati nilai-nilai kebenaran. Dampak
dari penerapan ini sering terjadi adanya penerapan ibadah dengan jalan taqlid
buta tanpa mengetahu dasarnya.
2. Metode Deduktif
Metode deduktif adalah cara menyajikan kebenaran nilai-nilai dengan jalan
menguraikan konsepsi tentang kebenaran itu untuk dipahami oleh siswa.
Metode ini berangkat dari kebenaran sebagai teori yang memiliki nilai-nilai
baik, kemudian ditarik beberapa contoh terapan dalam kehidupan sehari-hari
atau diterik ke dalam nilai-nilai yang lebih sempit ruang lingkupnya.
Kelebihan metode ini bagi anak-anak yang masih belajar pada tahap pemula
akan lebih baik, sebab mereka dikenalkan beberapa teori nilai kemudian
ditarik beberapa rincian yang lebihsempit yang disertakan kasus dalam
masyarakat.
3. Metode Induktif
Metoode ini merupakan kebalikan dari metode deduktif, artinya siswa
dikenalkan beberapa kasus dalam kehidupan sehari-hari, baru kemudian
diajak untuk menganalisa dan mengambil kesimpulan tentang nilai-nilai yang
baik dan benar. Metode ini cocok bagi peserta didik yang sudah mampu
berfikir abstrak. Sehingga mereka mampu melakukan kajian dan analisis dari
kasus konkrit kemudian dibuat kesimpulan yangberisfat abstrak.
4. Metode Reflektif
Metode ini merupakan gabungan dari metode induktif dan metode deduktif.
Yaitu mengajarkan nilai dengan jalan memberikan konsep secara umum
kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, atau melihat kasus
22
kemudian mempelajari sistemnya. Metode ini baik digunakan untuk peserta
didik yang telah memiliki kemampuan berfikir abstrak, sekaligus memiliki
bekal teori tentang nilai yang cukup. Sebagai konsekuensinya, pendidik harus
benar-benar menguasai teori-teori secara umum tentang nilai sekaligus
dituntut memiliki daya penalaran yang tinggi untuk mengembalikan setiap
kasus dalam jajaran konsepsi sistem nilai.
B. Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata dasar didik yang berarti memelihara dan
memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran. Kata didik merupakan kata kerja, ketika mendapat awalan
pe dan akhiran an, maka berubah menjadi pendidikan yang merupakan kata
benda. Jika diartikan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah
laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan6.
Jika kita mengutip dari pendapat Jalaludin dan Abdullah dalam bukunya
yang berjudul Filsafat Pendidikan, maka pendidikan diartikan sebagai proses
usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiannya dalam
membimbing melatih, dan menanamkan nilai dan dasar pandangan hidup
kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan
bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia yang sesuai
dengan sifat hakiki dan ciri kemanusiaannya.7
Untuk mengetahui lebih banyak lagi mengenai pengertian pendidikan,
penulis akan menyebutkan devinisi pendidikan dari beberapa ahli yang
6Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka. 2003),
hlm. 263 7Jalaludin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Ar Ruzz, 2009), hlm. 21
23
penulis kutip dari buku Dasar-dasar Kependidikan karya Fuad Ihsan. Diantara
tokoh yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut8 :
a. Driyarkara mengartikan pendidikan sebagai upaya
memanusiakan manusia muda. Pengertian ini sangat sulit kita
fahami karena devininsi yang diberikan sangatlah sederhana
dan singkat. Namun hemat penulis dalam menanggapi
pendidikan yang diartikan oleh Driyarkara adalah sebagai
pembinaan yang diberikan oleh oleh orang yang lebih tua
kepada yang lebih muda. Dalam konsep Islam, jika berbicara
tentang pendidikan, maka orang dikatakan tua tidak hanya
dilihat dari faktor usianya, namun lebih tertuju pada
pendalaman pengetahuan yang dimilki.
b. Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan
adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan
sikap dan tingkah laku di dalam masyarakat di mana ia hidup.
c. Ki Hadjar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya
upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti, fikiran,
dan tubuh anak.
Dalam undang-undang tersebut No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1
disebutkan bahwa pengertian pendidikan adalah sebagai berikut :
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.
Dari beberapa devinisi yang ada, maka dapat kita simpulkan bahwa
pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah usaha manusia untuk dalam
menyiapkan dirinya untuk kehidupan yang lebih bermakna. Adanya
8Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 4
24
pendidikan sendiri adalah agar terwujudnya manusia yang memiliki kekuatan
spiritual kegamaan, kecerdasan, dan akhlak yang mulia.Hal tersebut sesuai
dengan apa yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1.
2. Faktor-faktor Pendidikan
Dalam pendidikan setidaknya ada enam faktor yang dapat membentuk
pola interaksi dalam pendidikan itu sendiri. Enam faktor tersebut adalah :
tujuan, pendidik, peserta didik, materi pendidikan, method pendidikan, dan
situasi lingkungan9.
a. Tujuan
Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai seseorang atau
sekelompok orang yang melakukan kegiatan10
. Tujuan sangat penting
untuk mengetahui sampai sejauh mana pendidikan yang dilaksanakan
dikatakan berhasil. Hal tersebut dikarenakan, jika pendidikan tidak
memiliki tujuan yang jelas, maka proses pendidikan akan berjalan
tidak beraturan dan terkesan semrawut.
Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1
disebutkan beberapa tujuan pendidikan, diantaranya adalah agar
peserta didik mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya
agar ia memilki memliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
b. Pendidik
Pada hakikatnya pendidika tidak akan lepas dari faktor
pendidik. Pendidik merupakan faktor sentral dalam pndidikan.
9 Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 7
10 Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), hlm.41
25
Pendidik sendiri dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu
pendidik berdasarkan kodrat dan berdasarkan jabatan11
.
Pendidik menurut kodrat adalah orang tua itu sendiri. Orang
tua sebagai pendidik merupakan pendidik yang pertama dan utama,
karena secara kodrati semua manusia dilahirkan dalam keadaan yang
tiada memiliki daya untuk berbuat apa-apa dan tiada memiliki
pengetahuan apa-apa. Dengan pertolongan orang tualah, bayi mampu
tumbuh dan berkembang menjadi dewasa.
Sebagai pendidik, orang tua juga melakukan proses pendidikan
bahkan ketika si bayi masih berada dalam kandungan. Pendidikan
semacam ini dikenal dengan pendidikan prenatal. Dalam tahap ini
perbuatan yang dilakukan ibu ketika mengandung anaknya akan
berdampak kepada pertumbuhan anaknya.
Pendidik yang menurut jabatan adalah seorang guru. Guru
sebagai pendidik menerima tanggung jawab dari tiga pihak, yaitu :
orang tua, masyarakat, dan negara. Namun jika dalam hal ini adalah
guru agama islam, maka pertanggung jawaban guru juga akan
dihadapkan atas nama agama, yaitu kepada Allah SWT.
Ada beberapa syarat untuk menjadi pendidik dalam pendidikan
Islam, diantaranya yaitu : sudah berumur dewasa, sehat jasmani dan
rohani, ahli dalam bidang pelajaran yang diampu, harus berkesusilaan
dan berdedikasi tinggi12
.
c. Peserta Didik
Peserta didik merupakan subjek dari pendidikan yang ada.
Dalam pendidikan yang masih tradisional, peserta didik dipandang
11
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 8 12
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010),
hlm. 80
26
sebagai organisme yang pasif yang hanya menerima informasi dari
orang dewasa.
Seorang peserta didik harus menghormati pendidiknya agar ia
mendapat keberkahan dari ilmu yang ia pelajari. Bahkan dalam
terjemah kitab Ta’limul Muta’alim diterangkan demikian :
Menurutku, hak yang paling utama adalah hak seorang guru.
Dan hak itu wajib bagi setiap orang Islam. Sungguh ia berhak
diberi kemuliaan. Setiap ia mengajar satu huruf, tak cukup
memberinya seribu uang dirham13
.
Ada banyak cara yang harus dilakukan peserta didik untuk
menghormati gurunya. Yang pada intinya seorang peserta didik harus
mendapat ridho seorang guru dan jangan sampai membuat guru marah
dan sakit hati. Menurut Al Zanurji ada beberapa cara yang dapat
dilakukan peserta didik untuk menghormati seorang guru, diantaranya
yaitu:
1. Tidak berjalan di depan guru
2. Tidak duduk ditempat duduk guru
3. Tidak memperbanyak omongan ketika bersama guru
4. Tidak mengetuk pintu rumah atau kamar seorang guru
5. Menghormati pula anak beserta keluarga guru14
Istilah peserta didik dalam dunia pesantren dikenal dengan
istilah santri. Kata santri dalam ejaan arab ditulis dengan huruf sin,
nun, ta’, dan ra. Dimana masing-masing huruf tersebut memiliki arti
tersendiri. Yang pertama yaitu huruf sin, sin berasal dari kata satirul
anil uyub yang berarti orang yang mampu menutup aib. Maksud dari
13
Syekh Al Zanurji, Ta’limul Muta’alim Terjemah Ma’ruf Asrori, (Surabaya : Pelita Dunia, 1996),
hlm. 35 14
Syekh Al Zanurji, Ta’limul Muta’alim Terjemah Ma’ruf Asrori, (Surabaya : Pelita Dunia, 1996),
hlm. 35
27
kata tersebut adalah agar peserta didik itu mampu menjaga dirinya dari
perbuatan yang menyebabkan orang lain malu karena perbuatannya.
Oleh karena itu peserta didik harus bisa menutupi kekurangan yang
dimiliki temannya ataupun siapa saja.
Huruf yang kedua adalah nun, nun berasal dari kata nahyun
anil munkar yang berarti mencegah dari perbuatan munkar.
Maksudnya adalah peserta didik diharapkan memiliki perilaku yang
baik dan bisa mencegah adanya perbuatan buruk, baik dari dirinya
sendiri ataupun perbuatan buruk dari orang lain.
Ta’ berasal dari kata taibun anil dzunub yang berarti bertaubat atas
semua dosa-dosa. Pengertian bertaubat dari dosa kita artikan taubat
kepada Allah SWT. atas dosa yang diperbuat. Namun devinisi taubat
dari dosa bisa kita tafsir sebagai mengetahui kesalahan yang diperbuat.
Dengan adanya kesadaran tersebut, peserta didik diharapkan bisa
memperbaiki kesalahannyadan tidak mengulanginya kembali.
Huruf yang terakhir yaitu ra’. Huruf ra’ merupakan
kepanjangan dari rahmatal lil alamin yang berarti sayang terhadap
semua orang. Sebagai peserta didik diharapkan pula memiliki sifat
mau menyayangi sesama tanpa memikirkan perbedaan yang ada.
d. Materi Pendidikan
Materi yang dimaksudkan disini adalah segala hal yang
diberikan oleh pendidik kepada peserta didik untuk mencapai tujuan
pendidikan yang diinginkan. Dalam memberikan materi kepada
peserta didik harus memenuhi syarat utama, yaitu :
1. Materi harus sesuai dengan tujuan pendidikan.
2. Materi harus sesuai dengan peserta didik15
.
15
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 9
28
Dua hal tersebut setidaknya harus ada dalam pemilihan materi
yang ditawarkan kepada peserta didik. Dapat dikatakan bahwa materi
pendidikan yang berbasis umum akan berbeda dengan yang berbasis
kejuruan. Dan kemudian materi juga harus disesuaikan dengan peserta
didik berdasarkan jenjang tingkat pendidikannya. Hal ini agar peserta
didik mampu berfikir sesuai dengan tingkatannya, jangan sampai
malah terbebani dengan materi yang terlalu berat.
e. Metode Pendidikan
Secara bahasa metodhe berasal dari dua kata, yaitu : meta dan
hodos. Meta berarti ”melalui.” dan hodos berarti ”jalan atau cara”.
Metodhe adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan16
. Penerapan metode harus tepat agar interaksi
antara pendidik dan peserta didik dapat berjalan dengan baik.
Dalam mengajar, seorang guru tidak harus terpaku pada satu
metode saja, namun sebaliknya penggunaan metode haruslah
bervariasi agar proses belajar mengajar tidak berjalan membosankan.
f. Situasi Lingkungan
Situasi lingkungan akan mempengaruhi proses dan hasil
pendidikan. Lingkungan yang ada pada peserta didik yang palng
berpengaruh adalah lingkungan keluarga, hal tersebut dikarenakan
sebagian besar kegiatan peserta didik berada di rumah. Perhatian dan
motivasi dari keluarga harus selalu diberikan kepada peserta didik agar
tercipa suasana yang kondusif dalam belajar.
Jika perhatian tidak ada dari keluarga, maka peserta didik akan
cenderung menghabiskan kegiatannya dilingkungan tempat ia bermain.
16
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), hlm.46
29
Keadaan seperti ini sangant tidak baik untuk pendidikan peserta didik,
karena aktifitas yang ada pada lingkungan ini biasanya hanya sebatas
bermain-main dan mencari kesenangan semata. Dikhawatirkan pada
lingkungan ini akan membawa peerta didik ke dalam kenakalan remaja
yang tidak terkontrol lagi.
Lingkungan yang terakhir adalah lingkungan sekolahan di
mana peerta didik belajar. Kualitas dan mutu sebuah lembaga
pendidikan tentunya juga berpengaruh terhadap perkembangan
pendidikan peerta didik.
Dapat diambil kesimpulan bahwasanya lingkungan keluarga,
teman, dan sekolahan harus semuanya mndukung keadaan belajar pada
peserta didik. Jika ada satu lingkungan yang bermasalah, maka akan
berdampak pula pada keadaan lingkunagn yang lain. Namun yang
perlu lebih mendapat perhatian adalah ligkungan keluarga yang
merupakan pondasi dasar pendidikan seorang anak.
C. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Secara etimologi, akhlak berasal dari bahasa arab akhlaqun yang
berarti budi pekerti, tingkah laku, tabiat. Menurut istilah, mengutip dari
pendapat Nasirudin, akhlak adalah kehendak yang sudah menyatu dengan
pribadi seseorang dalam kehidupannya sehingga sulit untuk dipisahkan17
.
Banyak ulama’ yang mencoba mendefisinikan mengenai akhlak,
diantara mereka yang mengartikan akhlak adalah sebagai berikut :
Imam Ghazali mengartikan akhlak sebagai suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-
17
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : Rasail, 2010), hlm. 32
30
perbuatan dengan mudah dan gampang dan tanpa memerlukan
pemikiraan dan pertimbangan. Jika sifat itu tertanam dalam
jiwa maka menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baik dan
terpuji menurut akal dan syari'at .
Ibnu Miskawaaih, akhlak suatu sikap mental atau keadaan jiwa
yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan
pertimbangan18
.
Abuddin Nata, ahklak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan tersebut
telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat
melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan
pemikiran19
.
Ahmad Amin ahklak adalah kebiasaan kehendak, ini berarti
bahwa kehendak itu apabila telah melalui proses membiasakan
sesuatu, maka kebiasaan itu disebut ahklak20
.
Dari beberapa pengertian akhlak diatas, maka secara sederhana akhlak
dapat diartikan sebagai sesuatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaan
seseorang, dan dalam mewujudkan perbuatan tersebut tidak perlu lagi
memerlukan sebuah pertimbangan. Menurut Nasirudin akhlak dibangun
atas empat unsur, yaitu : tindakan baik dan buruk, kemampuan
melaksanakan, pengetahuan terhadap perbuatan baik dan buruk, adanya
kecenderungan jiwa terhadap salah satu perbuatan baik atau buruk21
.
Sebagai mana kita ketahui akhlak dibedakan menjadi dua, yaitu akhlak
yang terpuji dan akhlak yang tercela. Akhlak yang terpuji sering kita
18 Sirajuddin Zar, Filsfat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta Rja Grafindo Persada, 2004, hlm. 135. 19 Abuddin Nata, Ahlak Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo, 1997), hlm. 5. 20 Ahmad Syadzali, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoove, 1993), hlm. 102. 21
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : Rasail, 2010), hlm. 32
31
sebut dengan istilah akhlakul karimah ataupun akhlakul mahmudah.
Sedangkan akhlak yang tercela sering dikenal dengan istilah akhlakus
sayyiah ataupun akhlakul madzmumah.
Akhlak sendiri memiliki fungsi bagi kehidupan kita. Dengan
mempelajari akhlak, kita dapat membedakan mana perbuatan yang baik,
dan mana perbuatan yang buruk, sehingga kita dapat menjalani kehidupan
sesuai dengan ajaran Islam dengan baik.
2. Proses Pembentukan Akhlak
Mengenai pembentukan akhlak, ada perbedaan pendapat. Ada yang
berpendapat bahwa akhlak tidak dapat dirubah karena sudah merupakan
hal yang melekat pada diri seseorang. Dan adapula yang berpendapat
bahwa akhlak masih dapat dirubah dengan beberapa gemblengan.
Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Tasawuf, Nasirudin
menjelaskan beberapa cara untuk merubah akhlak, diantaranya yaitu :
a) Melalui pemahaman
b) Melalui pembiasaan
c) Melalui teladan yang baik22
Pemahaman seseorang mengenai akhlak dapat diperoleh dari mana
saja, bisa dari teman, guru di sekolah, ataupun ustadz. Pemahaman
tersebut diperoleh dengan proses belajar, sehingga seseorang mampu
mendapat sebuah informasi mengenai dampak akibat akhlak baik maupun
buruk. Akhlak yang baik akan memiliki dampak yang baik pula, entah itu
dari sudut pandang agama maupun masyarakat. Sedangkan akhlak yang
buruk akan berdampak buruk pula.
22
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang : Rasail, 2010), hlm. 36
32
Dengan mengetahui dampak dari akhlak baik dan akhlak yang jelek,
tentunya seseorang akan lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitasnya,
sehingga ia akan lebih cenderung melakukan perbuatan yang baik.
Pembentukan yang kedua yaitu dengan cara pembiasaan. Cara ini biasa
dilakukan di lembaga pendidikan dari PAUD sampai jenjang kuliah.
Dalam lembaga pendidikan, siswa selalu dituntut untuk melakukan
aktifitas yang mencerminkan akhlak terpuji, agar nantinya pembiasaan
yang dilakukan di sekolah akan selalu dilakukan peserta didik ketika ia
tidak berada di sekolah.
Pembiasaan yang tidak kalah pentingnya adalah pembiasaan yang
dilakukan di lingkungan keluarga. Dalam hal ini orang tua memegang
peranan penting dalam pembentukan pembiasaan yang baik bagi anak.
Pembiasaan akhlak terpuji bisa dimulai dari membaca doa sebelum
melakukan kegiatan maupun setelah selesai, melakukan kegiatan ibadah,
bertutur kata yang sopan, dan lain sebagainya.
Yang terakhir yaitu pembentukan melalui teladan yang baik. Akhlak
seseorang akan terbentuk dari teladan orang yang ada di dekatnya, seperti
orang tua, kakak, guru. Jika seseorang ketika di rumah ia selalu
dihadapkan pada perbuatan orang tua yang selalu melakukan perbuatan
baik, maka secara tidak langsung itu merupakan proses pendidikan yang
mampu membentuk kepribadian seorang anak. Hal tersebut juga berlaku
sebaliknya, jika anak ketika di rumah selalu dihadapkan dengan keadaan
orang tua yang suka bertengkar, berkata kotor, maka itu akan menjadi
teladan yang berpotensi akan diikuti oleh anak.
Pembiasan dari seorang guru juga sangat penting. Dalam peribahasa
disebutkan “guru makan berdiri, murid kencing berlari”. Peribahasa
tersebut merupakan gambaran betapa penting guru untuk menjaga
perbuataanya, karena perbuatan guru juga merupakan teladan bagi peserta
didiknya.
33
Semua cara diatas, mulai dari pembentukan melalui pemahaman,
pembiasaan, dan teladan, haruslah dijalankan secara bersamaan. Jangan
sampai dilakukan secara terpisah, karena akan menyebabkan
pembentukan akhlak yang baik tidak akan berjalan maksimal. Sebagai
contoh, seorang anak telah mengetahui bahwasanya sholat adalah
kewajiban bagi setiap muslim, dan di sekolah ia belajar telah dilakukan
kegiatan sholat berjamaah sebagai langkah pembiasaan, namun ketika ia
di rumah, ia dihadapkan dengan keadaan orang tua yang menjadi teladan
di rumah malah tidak melakukan sholat, maka si anak ketika di rumah
juga akan terbiasa untuk tidak sholat.
D. Qs. Al Baqarah Ayat 67-73
Al Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi sumber dalam ajaran
Islam yang menjadi petunjuk kehidupan umat manusia yang diturunkan Allah
SWT kepada nabi Muhammad SAW , sebagai rahmad yang tak ada taranya
bagi alam semesta.Dalam buku Mahabis Fi Ulumil Qur’an Al Qur’an juga biasa
diartikan sebagai berikut :
Kalam Allah atau firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang membacanya merupakan ibadah. Definisi
kalam adalah kelompok atau jenis yang meliputi segala kalam, dan
dengan menghubungkannya kepada Allah, berarti tidak termasuk
kalam manusia, jin, dan malaikat. Dan Al Qur’an adalah wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, jadi kalam Allah SWT
yang dirunkan kepada Nabi-nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad
bukanlah dinamakan Al Qur’an, seperti Injil yang diturunkan kepada
Nabi Isa AS, Taurat kepada Nabi Musa AS, dan Zabur kepada Nabi
Dawud AS.23
Sedangkan yang diteliti dalam tulisan ini adalah mengenai QS. Al
Baqarah 67-73. Adapun bunyi dari ayat tersebut adalah sebagai berikut :
23
Manna Khalil Al Qattan, Mahabis fi ulumil Qur’an, terjemah Mudzakir, (Bogor : Pustaka Litera
Antar Nusa, 2001), hlm. 17
34
67.Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata:
"Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?".Musa menjawab:
"Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari
orang-orang yang jahil".
68. Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami,
agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa
menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
69. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar
Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa menjawab:
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
35
yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang
yang memandangnya."
70. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar
Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena
Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya
Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."
71. Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan
tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya."
mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi
betina yang sebenarnya". kemudian mereka menyembelihnya dan hampir
saja mereka tidak melaksanakan perintah itu
72. Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu
saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa
yang selama ini kamu sembunyikan.
73. Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian
anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali
orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda
kekuasaanNya agar kamu mengerti.
QS. Al Baqarah adalah surat ke dua dari urutan susunan surat dalam Al
Qur’an, meskipun demikian surat Al Baqarah adalah surat yang diturunkan ke
87 setelah surat Al Muthaffifin24
. Dan QS. Al Baqarah terdiri dari 286 ayat
dan tergolong surat Madaniyyah yang sebagian besar turun pada permulaan
tahun Hijriyyah (kecuali pada ayat ke 281 yang turun di Mina ketika nabi
Muhammad SAW Melakukan haji wada’).
QS. Al Baqarah dinamakan juga dengan sebutan Fustatul Qur’an ,
artinya puncaknya Al Qur’an, hal itu dikarenakan memuat beberapa hukum
yang tidak disebutkan dalam surat lain25
. Al Baqarah juga dikenal dengan
24
Abdullah Umar, MushthalichulAttajwid, (Semarang : Karya Toha Putra, t.th.),hlm. 10 25
Wikipedia , Surat Al Baqarah, dalam : http://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Al-Baqarah. diunduh pada
tanggal 12 Desember 2011
36
nama surat “alif-lam-mim”,karena surat ini dimulai dengan lafadz Alif-laam-
miim.
Dinamakan surat Al Baqarah, juga karena didalam surat ini memuat
cerita mengenai penyembelihan sapi betina yang diperintahkan kepada orang-
orang Bani Israil. Cerita tersebut ada dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73, dalam
cerita tersebut juga digambarkan mengenai sifat dan watak orang Yahudi pada
umumnya.
37
BAB III
ASBABUN NUZUL, MUNASABAH, DAN TAFSIR
QUR’AN SURAT AL BAQARAH AYAT 67-73
A. Asbabun Nuzul QS. Al Baqarah Ayat 67-73
Secara bahasa, asbabun nuzul dapat diartikan dengan sebab
turunnya Al Qur’an. Kita tahu bahwa Al Qur’an diturunkan selama 23
tahun secara mutawatir (berangsur-angsur), dan bertujuan untuk
memperbaiki tata cara kehidupan orang yang hidup pada masa zaman
jahiliyyah.
Namun pembahasan sebab diturunkannya Al Qur’an di atas,
bukanlah maksud dari asbabun nuzul dalam tulisan ini.Secara bahasa,
kata asbabun nuzul berasal dari kata asbab dan nuzul. Kata asbab sendiri
merupakan mufrod (bentuk tunggal) dari kata sabab yang artinya alasan
atau sebab. Sebab adalah kejadian atau sesuatu hal yang melatar
belakangi suatu wahyu Al Qur’an diturunkan1.
Sedangkan kata nuzul secara bahasa berarti turun. Jadi, kata
asbabun nuzul dapat diartikan sebagai sebab-sebab turunnya Al Qur’an.
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para
ulama’. Menurut Dr. Shubhi al-Shalih definisi dari asbabun nuzul adalah
Sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang
memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada
masa terjadinya sebab itu2
Mohammad Ali Ash Shabuny mengartikan asbabun nuzul sebagai
sebab atau masalah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat al-
Qur'an.3
1Idhoh Anas, Kaidah-Kaidah Ulumul Qur’an, (Pekalongan : Al Asri, 2008), hlm. 9
2Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an I, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 90
3Mohammad Ali Ash Shabuny, Pengantar Study Al Qur’an Terjemah Moch. Chudlori Umar,
(Bandung : Al Ma’arif, 1987), hlm. 45
38
Dari penjelasan itu dapat diambil pengertian bahwa sebab turunnya
al-Qur'an (turunnya suatu ayat) ada kalanya berbentuk pertanyaan suatu
ayat atau beberapa ayat turun guna menerangkan hal yang berhubungan
denganperistiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan
tertentu.
Anggapan mempelajari asbabun nuzul tidak bermanfaat dan
membuang-buang waktu adalah tidak benar. Karena dengan mempelajari
asbabun nuzul itu sendiri, ada beberapa faedah yang dapat kita ambil,
diantaranya yaitu4 :
a. Mengerti segi rahasia yang mendorong disyariatkannya beberapa
hukum.
b. Jalan yang kuat untuk memahami arti dan makna Al Qur’an, karena
dengan mengetahui sebabnya maka akan tahu pula perkara yang
diakibatkan.
Dilihat dari segi turunnya, Al Qur’an dibedakan ke dalam dua
kelompok, yang pertama adalah ayat yang tidak memiliki sebab dan
hubungan dengan suatu kejadian. Bagian yang kedua adalah ayat yang
memiliki sebab dengan suatu peristiwa5.
QS. Al Baqarah yang menjadi bahan pembuatan skripsi ini, juga
ada ayat yang memiliki asbabun nuzul dan ada juga yang tidak memiliki
asbabun nuzulnya. Ayat dari surat Al Baqarah yang memiliki asbabun
nuzul adalah sebagai berikut :
Ayat 6-7, 19, 26-27, 44, 62, 76, 79, 80-81, 89, 94, 97, 99, 100, 102,
104, 106, 108, 109, 114, 115, 119, 120, 125, 130, 135, 142, 143,
150, 154, 158, 159, 164, 170, 174, 177, 178, 184, 186, 187, 188,
189, 190, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 2001, 204, 207, 208,
4Idhoh Anas, Kaidah-Kaidah Ulumul Qur’an, (Pekalongan : Al Asri, 2008), hlm. 10
5Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu l-Qur’an, (Semarang: Rasail Media Group, 2008), hlm.74
39
214, 215, 217, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 228, 229, 230, 231,
232, 238, 240, 241, 245, 256, 257, 267, 272, 274, 278, 285, 2866
Berdasarkan keterangan mengenai mana-mana ayat dari QS. Al
Baqarah yang memiliki sebab diturunkannya secara khusus, maka QS. Al
Baqarah ayat 67-73 yang menjadi bahan kajian skripsi ini, adalah tidak
memiliki asbabun nuzul. Dengan kata lain, QS. Al Baqarah ayat 67-73
tidak memiliki sebab yang khusus ketika ayat tersebut diturunkan.
B. Munasabah QS. Al Baqarah 67-73
Secara etimologi munasabah berarti al mugharabah yang berarti
mendekati atau menyerupai7. Secara terminologi, Imam Zarkasyi sendiri
memaknai munâsabah sebagai berikut :
Ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan
akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau
hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan
ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya.
Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah
“menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga
penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-
bagiannya tersusun harmonis8.
Selain pengertian di atas, munasabah juga diartikan sebagai sesuatu
yang menerangkan korelasi (hubungan) antara suatu ayat dengan ayat
yang lain, baik yang ada di belakangnya atau yang ada di mukanya. Dari
definisi tersebut, maka ketika kita mencoba mengkaji suatu ayat, maka
tidak dibenarkna jika hanya memperhatikan bagian dari satu
pembicaraan, kecuali jika hanya ingin tahu arti secara mufrodat saja.
6Islam wikipedia, Asbabun Nuzul, dalam http://islamwiki.blogspot.com. diakses pada tanggal 12
septembar 2011 7Kadar M. Yusuf, Studi Al Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 101
7Kadar M. Yusuf, Studi Al Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 101
8Anjar Nugroho Sb, Pengertian munâsabah dalam http://pemikiranislam.wordpress.com, diakses pada
tanggal 12 septembar 2011
40
Munasabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an didasarkan
pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-
bagiannya saling terkait. Sehingga ilmu munasabah
dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan yang
mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain9.
QS. Al Baqarah ayar 67-73 adalah menceritakan tentang sapi
betina, namun secara tidak langsung cerita ini menggambarkan beberapa
sifat-sifat yang jelek maupun kedurhakaan yang dimiliki oleh orang Bani
Israil. Dalam ayat ini, kejelekan yang dimilki oleh orang Bani Israil
adalah sifat ngeyel yang ada dalam diri mereka. Sehingga ketika disuruh
untuk menyembelih seekor sapi betina apa saja, mereka malah
mengajukan pertanyaan yang nantinya membuat mereka rerjebak dalam
kesulitan.
Mengenai munasabah QS. Al Baqarah ayat 67-73, ayat ini
memiliki hubungan dengan ayat sebelumnya. Dimana dalam ayat
sebelumnya juga disebutkan beberapa kedurhakaan orang-orang Bani
Israil. Diantara kedurhakaan mereka antara lain:
1. Mengingkari janji
2. Berlebihan / melampaui batas pada hari sabtu
3. Merubah dan menyembunyikan isi yang ada dalam kitab
Taurat
4. Melakukan permusuhan terhadap nabi dan rasul utusan Allah,
dan bahkan sampai membunuh mereka10
.
Dari hubungan diatas, maka munasabah dari QS. Al Baqarah ayat
67-73 adalah sebagai berikut :
9Anjar Nugroho Sb, Pengertian Munâsabah, dalam http://pemikiranislam.wordpress.com, diakses
pada tanggal 12 septembar 2011 10
Wahibah Zuhaili, Tafsir Munir, (Beirut : Darul Fikri, 2003), hlm. 203
41
1. Munasabah sebelum ayat
a. QS. Al Baqarah ayat 65
Dan Sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar
diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka:
"Jadilah kamu kera yang hina".(QS. Al Baqarah : 65)11
Dalam ayat ini dijelaskan bagaiman perilaku yang juga dimilki
oleh orang Bani Israil. Pada masa Nabi Daud, orang-orang Bani
Israil dilarang keras untuk menangkap ikan di sungai. Hari sabtu
merupakan hari yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk bebas dari
segala macam urusan duniawi.
Adanya larangan tersebut ternyata banyak dari mereka yang
tidak mematuhinya, sebagian dari mereka memakai cara licik untuk
melanggar perintah dari Allah. Mereka tidak mengail ikan pada hari
sabtu, namun mereka membendung ikan dengan menggali kolam
sehingga air bersama ikan masuk ke kolam yang mereka buat.Atas
tindakan mereka itu, Allah mengutuk mereka menjadi kera12
.
Sebagian ahli tafsir memandang bahwa ini sebagai suatu
perumpamaan , artinya hati mereka menyerupai hati kera, karena
sama-sama tidak menerima nasehat dan peringatan. Pendapat jumhur
mufassir ialah mereka betul-betul berubah menjadi kera, hanya tidak
beranak, tidak Makan dan minum, dan hidup tidak lebih dari tiga
hari.
11
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971),
hlm. 20 12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2010), hlm. 265
42
b. QS. Al Baqarah ayat 63 dan 64
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan
Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami
berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan
kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar
kamu bertakwa". (QS. Al Baqarah : 63)13
Ketika datang wahyu berupa kitab Taurat, banyak orang Bani
Israil yang enggan untuk melaksanakan apa yang ada di dalamnya.
Allah SWT. memerintahkan Malaikat untuk mengangkat gunung
Turisin ke atas kepala orang-orang Bani Israil, karena merasa takut
pada akhirnya orang Bani Israil mau bersujud dan bersedia
menjalankan apa yang ada di dalam kitab Taurat.
Namun orang Bani Israil untuk kesekian kalinya mengingkari
janji yang mereka buat, hat tersebut telah dijelaskan pada QS. Al
Baqarah ayat 64, yang berbunyi :
Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu,
Maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmatNya atasmu,
niscaya kamu tergolong orang yang rugi.(QS. Al Baqarah :
64)14
Itulah salah satu sifat buruk Bani Israil, dengan mudah
mengingkari janji yang telah mereka buat. Mereka tidak lagi
13
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971),
hlm. 20 14
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971),
hlm. 20
43
melaksanakan kitab Taurat yang menjadi tuntunan bagi mereka.
Ketika ditinggal Nabi Musa untuk bermunajat di gunung Turisin,
mereka malah menyembah patung berbentuk sapi.15
c. QS. Al Baqarah ayat 61
Serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi)
karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan
membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan.
demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka
dan melampaui batas. (QS. Al Baqarah : 61)16
Ayat ini menerangkan juga salah satu bentuk kedurhakaan
mereka, orang Bani Israil adalah orang yang berani membunuh
utusan Allah SWT tanpa alasan yang benar. Karena tindakan mereka
tersebut, mereka semakin mendapat murka dari Allah. Selain
membunuh nabi, mereka berani merubah ataupun mengurangi isi
kandungan yang ada dalam kiat Taurat. Penjelasan dan ayat
mengenai merubah isi taurat akan dipaparkan pada bab setelah ini.
d. QS. Al Baqarah ayat 42
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang
bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang
kamu mengetahui.(QS Al Baqarah : 42)17
15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2010), hlm. 263 16
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971),
hlm. 19 17
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971),
hlm. 16
44
Kedurhakan yang tampak pada orang Bani Israil pada ayat ini
adalah keberanian mereka menyembunyikan isi kandungan yang ada
dalam kitab Taurat. Sesuatu yang disembunyikan di sini adalah
menyembunyikan keterangan mengenai nabi akhir zaman yang ada
pada kitab Taurat.
Dalam kitan Al Barzanji diterangkan, ada seorang bernama
Ka’ab Al Achbar. Dia menceritakan bahwa ayahnya telah
mengajarinya mengenai kitab Taurat. Namun ternyata ada satu
lampiran yang belum diterangkan oleh ayahnya. Hal itu ia ketahui
setelah ayahnya wafat, ia membuka sebuah kotak yang ternyata di
dalalmnya terdapat satu lembar isi dari Taurat.
Lampiran tersebut menerangkan mengenai nabi akhir zaman.
Ciri nabi yang dimaksudkan dalam lampiran tersebut adalah : nabi
yang lahir di Makkah, hijrah ke Madinah, kerajaannya di kota Syam,
dan lain sebagainya18
. Namun keterangan mengenai Nabi tersebut
sengaja mereka sembunnyikan, dan hal ini merupakan kedurhakaan
yang besar bagi mereka.
2. Munasabah Setelah Ayat
Munasabah ayat pada QS. Al Baqarah 67-73 yang terletak
setelahnya adalah pada QS. Al Baqarah ayat 74. Pada keterangan di atas,
munasabah ayat adalah tertuju pada sifat-sifat yang dimiliki oleh orang
Bani Israil.
Pada ayat QS. Al Baqarah ayat 74 dijelaskan mengenai keadaan
bani Israil secara keseluruhan. Meski memiliki sifat yang jelek, Allah
selalu memberi kemudahan bagi mereka agar hati mereka luluh dan mau
menjalankan segala perintah yang ada. Namun apa yang terjadi, segala
kebaikan yang diberikan Allah SWT tidaklah membuat mereka luluh,
namun hati mereka malah semakin menjadi keras. Allah SWT berfirman
dalam QS. Al Baqarah ayat 74 :
18
Al Barzanji, Majmu’, (Semarang : Pustaka Al Alawiyah, t.th.), hlm. 12
45
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan
lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang
mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada
yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya
sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. dan
Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.(QS.
Al Baqarah : 74)19
Ayat di atas adalah bukti kedurhakan Bani Israil yang semakin
parah, meski telah diberi begitu banyak kemudahan, hati mereka malah
bertambah keras. Dalam ayat di atas malah digambarkan hati mereka
lebih keras dari pada sebilah batu. Batu yang begitu keras saja, jika
terkena air secara terus menerus akan menjadi berlubang, atau bahkan
akan hancur. Namun hati bain Israil yang telah begitu banyak diberi
kenikmatan malah tidak tahu diri dan semakin durhaka.
C. Pendapat Mufasir Mengenai QS. Al Baqarah ayat 67-73
1. Ayat 67
Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami
buah ejekan?". Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah
agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (QS.
Al Baqarah : 67)
19
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG, 1971),
hlm. 22
46
Nabi Musa berkata kepada orang-orang Bani Israil : sesungguhnya
Allah SWT memerintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi
betina. Alasan penyembelihan ini tidak lain karena ada masalah
pembunuhan yang tak kunjung diketahui siapa pelakunya. Orang Bani
Israil saling menuduh satu sama lain, sehingga terjadi kributan diantara
mereka.
Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa orang yang terbunuh
adalah orang tua yang kaya raya. Pembunuhnya sendiri tidak lain adalah
anak-anak pamannya sendiri yang menginginkan warisan dari orang tua
tersebut. Setelah dibunuh, mayat lelaki tua tersebut dibuang ke kampung
lain. Selang beberapa waktu, para pembunuh tadi kembali ke kampung
tersebut dan melakukan tuduhan bahwa pelaku pembunuhan adalah
berasal dari kampung tersebut.
Hasbi ash-Shiddiqiey berpendapat bahwa mayat tersebut memang
dibuang dikampung yang lain, namun dijelaskan pula bahwa tempat
pembuangan mayat adalah di sebuah tanah lapang yang terletak di dusun
lain tersebut.
Pembunuh tadi datang ke kampung lain tersebut juga bermaksud
untuk meminta uang tebusan atas kematian saudaranya. Akhirnya terjadi
pertengkaran diantara mereka, dan pada akhirnya masalah ini dihadapkan
kepada Nabi Musa. Nabi Musa langsung bertanya kepada si tertuduh
tadi, dan tentunya tuduhan tersebut ditolak karena mereka bukanlah
pelaku pembunuhan. Masalah ini akhirnya bertambah sulit karena belum
ada pihak yang mengakui pembunuhan tersebut.
Sebagai solusi paling akhir, orang Bani Israil meminta Nabi Musa
untuk berdoa kepada Allah AWT agar diberi petunjuk siapa sebenarnya
pelaku pembunuhannya. Tidak lama setelah itu turunlah wahyu dari
Allah SWT untuk menyembelih sapi betina.
Dalam Al Qur’an disebutkan kata baqarun, yangsecara bahasa
berarti sapi betina, sementara jantannya disebaut saur yang berarti
47
banteng20
. Perintah penyembelihan terhadap sapi betina sendiri
sebenarnya memiliki alasan, yaitu untuk meremehkan binatang tersebut
(sapi betina), karena sapi betina adalah jenis binatang yang diagung-
agungkan dan disembah oleh orang-orang Bani Israil. Pada bab lain
pemakalah akan menjelaskan sebab-sebab orang Bani Israil menyembah
binatang sapi betina.
Tabiat yang tampak pada diri orang Bani Israil dalam cerita sapi
betina ini adalah terputusnya hati diantara mereka21
. Hal tersebut
disebabkan oleh dangkalnya keimanan mereka. Tidak hanya itu, orang
Bani Israil juga sering enggan untuk melaksanakan printah rasul kepada
mereka dengan mencari berbagai macam alasan.
Dampak yang jelas pada sifat orang Bani Israil juga terlihat pada
cerita ini. Dalam kasus diatas disebutkan bahwa untuk mengungkap
pelaku pembunuhan tersebut, mereka diperintah untuk menyembelih sapi
betina. Namun karena kejelekan yang dimiliki orang bani Israil, mereka
tidak langsung melaksanakan perintah yang diberikan Nabi Musa.
Kemudian pada ayat , perintah dari Nabi Musa
mereka anggap sebagai olokan terhadap mereka, sehingga mereka
meragukan perintah yang diberikan oleh nabi Musa. Dari perbuatan Bani
Israil ini, dapat kita ketahui bagaimana sifat yang mereka miliki. Dengan
kesabaran yang dimiliki Nabi Musa, beliau memberikan jawaban yang
begitu sopan atas apa yang dikatakan oleh orang Bani Israil, Nabi Musa
menjelaskan bahwa tidaklah mungkin seorang utusan menyuruh untuk
melakukan hal yang bodoh. Dan Nabi Musa berkata : “ aku berlindung
kepada Allah SWT agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang
yang bodoh.22
20
Ahmad Musthafa Al Maraghi,Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha
Putra, 1992), hlm. 250 21
Sayyid Quttub, Fi Zhilalil Qur’an terjemah As’ad yasin dkk, (Depok : Gema Insani, 2008), hlm. 93 22
Sayyid Quttub, Fi Zhilalil Qur’an terjemah As’ad yasin dkk, (Depok : Gema Insani, 2008), hlm. 94
48
Sebagaimana yang kita pelajari di tingkat dasar tentang Aqoid yang
berjumlah 50, empat diantaranya adalah membahas mengenai sifat wajib
bagi rasul, yaitu : sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tablig
(menyampaikan wahyu), fatonah (cerdas). Dan empat membahas tentang
sifat muhal bagi para rosul, yaitu : kidzib (berbohong), kiyanah
(ingkarjanji), kitman (menyembunyikan wahyu), baladah (bodoh)23
,
harus dapat kita fahami bahwa sebagai salah satu rasul, tidaklah mungkin
Nabi Musa melakukan tindakan bodoh, karena sifat bodoh itu tidak
mungkin ada pada diri rosul yang memilki sifat cerdas (pandai).
Dalam tafsir Aidh diterangkan bahwa orang Bani Israil ketika
diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mengajukan
pertanyaan kepada nabi Musa, dan mereka berkata, “ Kami bertanya
kepadamu tentang si pembunuh mayat ini, tetapi kamu malah menyuruh
kami menyembelih sapi betina !”.24
Dan ketika mereka mau melaksanakan printah nabi Musa, mereka
malah mempersulit diri mereka sendiri dengan berbagai pertanyaan.
Padahal perintah yang diberikan oleh Nabi Musa adalah perintah untuk
menyembelih sapi betina yang mereka kehendaki seperti apa. Adapun
pertanyaan yang diberikan Bani Israil akan penulis bahas dalam
pembahasan tafsir ayat berikutnya.
2. Ayat 68
Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami,
agar dia menerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu." Musa
menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan
23
Ahmad Almarzuqi, Aqidatul Awam, (Kudus : Menara Kudus, t.th.), hlm. 15 24
Qisthi Press, ‘Aidh Al Qarni, (Jawa Timur : Qisthi Press, 2008), hlm. 53
49
antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". ".
(QS. Al Baqarah : 68)
Seperti yang penulis jelaskan diatas, ketika mereka sudah akan
melakukan perintah nabi Musa, mereka malah menyulitkan diri mereka
sendiri dengan berbagai pertanyaan.
Dengan dalih meminta petunjuk kepada Allah, Bani Israil meminta
Nabi Musa agar berkenan berdoa kepada Allah agar diberi petunjuk
seperti apa sapi yang harus disembelih agar kasus pembunuhan cepat
terselesaikan.
Pada ayat yang berbunyi qoolud’ulana...........dst, Ahmad Mustafa
Al-Maragi berpendapat bahwa setelah orang Bani Israil mendengar
keterangan yang sangat menakjubkan, mereka memohon kepada Nabi
Musa agar diterangkan ciri sapi yang harus disembelih tersebut. Hal
menakjubkan yang dimaksudkan di sini adalah mengenai keajaiban
setelah sapi disembelih dapat menghidupkan orang yang telah meniggal
dunia. Adapun cara menghidupkannnya adalah dengan cara sebagian
anggota badan dari sapi dipukulkan kepada orang yang meninggal
tersebut25
.
Banyak dari mereka yang bertanya mengenai ciri khas sari sapi
betina tersebut, kemudian oleh Allah SWT mereka diperintah untuk
mencari sapi yang sulit dicari. Padahal jika mereka langsung
melaksanakan perintah Nabi Musa, tanpa bertanya banyak mengenai ciri
sapi tersebut, mereka tidak perlu susah-susah mencari sapi yang memiliki
ciri-ciri yang sangat rumit.
Pertanyaaan pertama dari Bani Israil yang mengenai ciri sapi betina
tersebut dijawab oleh Allah bahwa sapi tersebut tidak tua dan tidak
muda. Kemudian orang Bani Israil langsung disuruh untuk melaksankan
perintah yang diberikan, yaitu mencari sapi betina yang tidak tua dan
tidak muda.
25
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha
Putra, 1992), hlm. 254
50
Dalam tafsir Aidh al-Qarni disebutkan bahwa alasan mencari sapi
yang tidak tua dan tidak muda adalah karena pada usia tersebut seekor
sapi sedang berada pada masa pertumbuhan yang baik. Kemudian orang
Bni Israil di ingatkan agar tidak bertanya tentang pertanyaan sepele yang
akan membuat mereka menyulitkan diri merekan sendiri, karena barang
siapa yang mengajukan pertanyaan yang tidak perlu ditanyakan, maka
jawaban yang akan diberikan akan menyulitkan orang yang bertanya.26
3. Ayat 69
Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar
Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa menjawab:
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi
betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan
orang-orang yang memandangnya."(QS. Al Baqarah : 69)
Jawaban dari Allah SWT ternyata belum membuat orang Bani Israil
melaksanakan perintah yang diberikan kepada mereka. Orang Bani Israil
masih saja bertanya lagi tentang ciri-ciri yang lebih mendetail lagi
mengenai sapi tersebut.
Mereka berkata : “mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar
Dia menerangkan kepada kami apa warnanya sapi itu ?” Dari apa yang
mereka tanyakan ini, sudah tentu mereka mempersulit diri mereka sendiri
dengan menunutut jawaban yang lebih terperinci. Nabi Musa menjawab :
“sesungguhnya Allah berfirman, bahwasanya sapi betina itu adalah sapi
yang kuning, yang tua warnanya, dan menyenangkan orang-orang yang
memandangnya”.
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an diterangkan bahwa pertanyaan yang
diajukan bani Israil adalah perbuatan yang mempersempit daerah
26
Qisthi Press, ‘Aidh Al Qarni, (Jawa Timur : Qisthi Press, 2008), hlm.53
51
pemilihannya (memilih sapi betina), pada awalnya masalah ini adalah
lapang, mereka diperintah mencari sapi yang bersifat umum. Namun
karena kebodohan mereka sendiri, mereka terbebani dengan mencari sapi
betina yang lebih spesifik. Dalam ayat 68 telah dijelaskan bahwa mereka
dibebani dengan mencari sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, dan
sekarang pada ayat 69 mereka lebih terbebani lagi dengan sapi yang
berwarna kuning dan dapaat membuat senang orang-orang yang
memandangnya.
Menyenangkan orang yang memandang tidak bisa terjadi kcuali jika
tidak terdapat keindahan, vitalitas, kegesitan, dan warna yang indah.
Sikap mereka ini menunujukan bahwa mereka adalah orang-orang yang
rewel, namun mereka malah bertindak lebih dari itu dengan cara
mempersulit diri sendiri, sehingga Allah SWT mempersulit mereka27
.
Dalam tafsir Aidh al-Qarni dijelaskan pula bahwa warna kuning
merupakan warna terbaik pada binatang, karena membuat terpesona bagi
orang-orang yang memandangnya. Ada yang berpendapat mengenai
warna sapi tersebut adalah warna hitam pekat, namun pendapat yang
paling kuat adalah sesuai dengan makna lahir dalam Al Qur’an, yang
menyebutkan sapi tersebut berwarna kuning tua28
.
4. Ayat 70
Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar
Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina itu,
karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan
Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk
memperoleh sapi itu)."(QS. Al Baqarah :70)
27
Sayyid Quttub, Fi Zhilalil Qur’an terjemah As’ad yasin dkk,(Depok : Gema Insani, 2008), hlm. 95 28
Qisthi Press, ‘Aidh Al Qarni, (Jawa Timur : Qisthi Press, 2008), hlm. 53
52
Mereka (orang-orang Bani Israil) berkata : “mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami hakikat sapi
betina itu, karena sesungguhnya sapi itu masih samar bagi kami dan
sesungguhnya insya Allah kami akan mendapat petunjuk ”. Pertanyaan
ini menunjukan permintaan tambahan keterangan dari keterangan yang
telah diberikan sebelumnya, dan kemudian mereka menjelaskan sebab
dari terulangnya mereka. Mereka beralasan bahwa ciri-ciri sapi betina
masih membingungkan bagi mereka.29
Dalam tafsir Aidh al-Qarni dijelaskan, setelah bertanya yang
kesekian kali untung orang Bani Israil mengucapkan lafadz insya Allah,
karena kalau seandainya mereka tidak mengucapkan kalimat itu mereka
tidak akan mendapat hidayah/petunjuk dari Allah SWT.
Dikutip dari tafsir Al Maraghi, keterangan mengenai penggunaan
kata insya Allah juga seperti apa yang Nabi Muhammad sabdakan, yaitu :
Seandainya mereka masih tetap bertanya tanpa henti, dan tidak
mengatakan insya Allah, tentulah tidak dijelaskan kepada mereka
(sapi bretina tersebut) untuk selama-lamanya. Insya Allah selama-
lamanya mereka tidak akan bisa mendapatkan penjelasan tentang
sapi tersebut30
.
Ketidak tahuan ataupun ketidak pahaman mereka mengenai ciri
sapi betina tidak lain adalah karena kebodohan mereka sendiri, mereka
bertanya tentang hal yang membuat mereka bertambah sulit.
5. Ayat 71
Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina
itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak
29
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’an Majid Annur, (Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2000), hal 132 30
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha
Putra, 1992), hlm. 256
53
tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak
ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu
menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian
mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu. (QS. Al Baqarah : 71)
Jawaban yang diberikan oleh Nabi Musa-pun bertambah sulit, Nabi
Musa menjawab : “sapi tersebut belum pernah dipekerjakan untuk
membajak sawah atau mengairi ladang, tidak ada cacatnya dan tidak ada
warna lain pada tubuhnya kecuali kuning”.
Dari ciri yang diberikan tersebut dapat kita bayangkan betapa sulit
untuk mencari sapi yang sedemikian rupa itu. Sapi yang belum pernah
untuk digunakan untuk membajak sawah ataupun mengairi ladang sangat
sulit dicari, karena pada umumnya sapi yang telah menginjak usia sedang
(tidak tua tidak pula muda) telah digunakan untuk pekerjaan di ladang.
Dan ciri yang belum ada cacatnya, juga membuat pencarian sapi yang
diperintahkan bertambah sulit.
Dalam keterangan diatas disebutkan bahwasanya sapi tersebut
tidaklah memiliki cacat dalam tubuhnya, dalam tafsir Aidh al-Qarni
dijelaskan bahwa maksud dari sapi yang tidak cacat adalah sapi yang
tidah puncang, buta, dan sakit. Sapi dengan keadaan tidak cacat sangat
dimungkinkan adalah sapi yang belum pernah dipekerjakan. Dan sapi
tersebut cuma memiliki satu warna dalam tubuhnya yaitu kuning31
.
Orang-orang bani Israil berkata kepada nabi Musa : sekarang engkau
telah menjelaskan sapi betina yang sebenarnya. Kata “sekarang” yang
mereka gunakan dalam perkataan mereka, adalah bentuk penghinaan
mereka kepada Nabi Musa, mereka menganggap Nabi Musa sangat
lamban untuk memberikan keterangan yang terakhir tadi (sapi tersebut
belum pernah dipekerjakan untuk membajak sawah atau mengairi ladang,
31
Qisthi Press, ‘Aidh Al Qarni, (Jawa Timur : Qisthi Press, 2008), hlm.54
54
tidak ada cacatnya dan tidak ada warna lain pada tubuhnya kecuali
kuning) .
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an diterangkan bahwa ciri yang
sedemikian banyak tersebut menjadikan persoalan yang dimiliki Bani
Israil bertambah sulit, namun orang Bani Israil malah berkata : “sekarang
barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sesungguhnya”.
Dalam perkataan orang Bani Israil tadi, mereka menggunakan kata
“barulah sekarang”, dari kata-kata tersebut seolah-olah mereka
menganggap apa yang dikatakan oleh Nabi Musa tidaklah benar, atau
juga berarti apa yang disampaikan Nabi Musa pada awalnya adalah salah,
kecuali keterangan yang terakhir32
.
Al Maraghi menafsirkan lebih sederhana mengenai ayat ini, beliau
dengan singkat menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan jawaban
dari Bani Israil yang telah merasa cukup dengan apa yang mereka
dapatkan dari Nabi Musa33
.
Setelah mendapat keterangan dari Nabi Musa, mereka lalu mencari
sapi yang telah ditentukan ciri-cirinya. Dengan susah payah akhirnya
mereka berhasil mendapatkan sapi yang dimaksudkan dan kemudian
mereka langsung menyembelihnya.
Ayat tersebut ditafsirkan bahwa mereka (orang-orang Bani Israil)
hampir saja tidak mampu melaksanakan perintah yang diberikan Nabi
Musa untuk menyembelih seekor sapi betina, hal tersebut dikarenakan
mereka mengalami kesulitan dalam mencari sapi yang telah disebutkan
32
Sayyid Quttub, Fi Zhilalil Qur’an terjemah As’ad yasin dkk, (Depok : Gema Insani, 2008) hlm. 95 33
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha
Putra, 1992), hlm. 257
55
ciri-cirinya. Ayat ini dapat diartikan pula orang-orang Bani Israil enggan
untuk melaksanakan perintah yang diberikan34
.
Kesulitan Bani Israil dalam mencari sapi betina tidak akan terjadi
andai saja mereka langsung melaksanakan perintah untuk menyembelih
sapi betina pada saat pertama kali diperintah, namun mereka malah
mengajukan pertanyaan yang malah membuat diri mereka menjadi sulit.
Padahal jika mereka menyembelih sapi apa saja, barang tentu sudah
diterima oleh Nabi Musa.
6. Ayat 72
Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu
saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan
apa yang selama ini kamu sembunyikan. (QS. Al Baqarah : 72)
Dan ketika seseorang diantara kalian membunuh jiwa yang tidak
berdosa, kemudian kalian saling menuduh tentang siapa pembunuhnya,
karena si pembunuh tidak mengakui perbuatannya. Kemudian Allah
SWT berkehendak memperlihatkan tanda kebenaran rasul-Nya. Allah
SWT memerintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi betina, dan
Allah SWT akan menghidupkan kembali mayat yang telah dibunuh tadi
untuk memberi tahu siapa pelaku yang sebenarnya. Melalui mukjizar
tersebut Allah SWT menyingkapkan bukti yang telah disamarkan oleh si
pembunuh dan disembunyikan oleh saksi.
Ayat ini diakhirkan penyebutannya, padahal ayat ini merupakan
sebab adanya perintah menyembelih sapi betina. Ayat ini sengaja tidak
disebutkan pada awal cerita, karena tujuan yang paling utama dalam ayat
34
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’an Majid Annur, (Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2000), hlm.133
56
tersebut adalah menyembelih sapi betina untuk menyingkap misteri
pembunuhan yang terjadi35
.
7. Ayat 73
Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian
anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali
orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-
tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (Al Baqarah : 73)
Pukullah oleh kalian orang yang terbunuh dengan sebagian anggota
sapi yang telah kalian sembelih, anggota tubuh yang dimaksudkan adalah
anggota mana saja yang ada dalam sapi tersebut.
Dalam tafsir Al Maraghi, bagian tubuh yang dimaksud adalah lidah
sapi tersebut. Namun ada juga yang berpendapat bahwa anggota tubuh
yang dimaksudkan adalah pahanya. Dalam tafsir An Nur diterangkan
paha yang dmaksud adalah paha bagian kanan.
Dalam tafsir Al Maraghi diterangkan bahwa setelah si mayyit
dipukul dengan bagian tubuh sapi betina yang disembelih tadi, mayyit
tersebut hidup kembali dan kepalanya masih berlumuran darah segar.
Nabi Musa tidak melakukan pemukulan terhadap si mayit, namun
sebaliknya dilakukan sendiri oleh seorang dari Bani Israil. Hal ini
dikarenakan Nabi Musa kawatir kalau-kalau orang Bani Israil
35
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha
Putra, 1992), hlm. 258
57
menganggap ini sebagai sihir belaka. Dengan cara seperti itulah Allah
SWT menghidupkan si mayyit36
.
Si mayyit pada akhirnya menceritakan siapa yang sebenarnya telah
membunuhnya, dan pelakunya tidak lain adalah anak paman si mayyit
sendiri. Setelah diketahui siapa pelakunya, maka si pelaku dikenai
hukuman mati.
Adapun sapi tersebut dimiliki oleh orang Bani Israil yang salih dan
taat kepada Allah SWT. Dalam kitab tafsir Hasiyat al Sawi ‘ala Tafsir al
Jalalayn diceritakan secara mendetail mengenai siapa pemilik sapi
tersebut.
Terdapatlah seorang dari Bani Israil memiliki sapi yang masih kecil.
Sebelum ia wafat, ia meletakkan sapi tersebut di tengah hutan dan
berpesan kepada istrinya untuk memberikan sapi tersebut kepada
putranya saat dewasa kelak.
Sang anak dari orang Bani Israil yang salih tadi, tumbuh menjadi
anak yang berbakti kepada ibunya. Setiap hari ia pergi ke hutan untuk
mencari kayu bakar dan menjualnya. Hasil penjualan dari kayu bakar
tersebut ia bagi kepada 3 bagian, sepertiga untuk dirinya sendiri,
sepertiga untuk ibunya, dan sepertiga yang terahir ia gunakan untuk
bersedekah.
Sang anak dalam kehidupan kesehariannya, juga membagi waktunya
ke dalam tiga kegiatan. Sepertiga sang anak gunakan waktunya untuk
bekerja dan istirahat, seperiga lagi ia gunakan untuk melayani dan
membantu ibunya, dan sepertiganya lagi, ia gunakan untuk beribadah
kepada Allah SWT.
Pada suatu hari, sang ibu memerintahkan anak untuk pergi ke hutan.
Di hutan tersebut, si ibu berpesan agar si anak mengambil seekor sapi
yang telah ditingglkan ayahnya, karena sang ayah sudah berwasiat agar
ketika si anak sudah besar, sapi tersebut herus diberikan kepadanya.
36
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha
Putra, 1992), hlm. 259
58
Sebelum mengambil sapi, sang ibu menasihati anaknya agar berdoa
mohon perlindungan kepada Tuhannya Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, dan
Ya’qub37
.
Ketika sapi sudah ditemukan, sang anak bergegas pulang, namun
tiba-tiba ada hal yang sangat menkjubkan. Si sapi tadi meminta anak
untuk menaiki punggungnya, karena perjalanan menuju pulang amatlah
jauh. Ketika diminta untuk menaiki punggung si sapi, sang anak berkata
:” sesungguhnya ibuku tidak menyuruhku unuk melakukan hal yang
sedemikian rupa”, dan sapi tersebut berkata : “seandainya kamu ikuti apa
yang aku pinta, maka engkau tak akan kuasa untuk membawaku selama-
lamanya”.
Ketika sampai dirumah, si ibu meminta anaknya untuk membawa
sapi tersebut kepasar dan dijual dengan harga 3 Dinar. Ketika hendak
kepasar, sang anak didatangi seorang malaikat, namun sang anak tidak
tahu kalau yang ia temui adalah malaikat. Malaikat tadi berkata : “berapa
engkau jual sapimu tersebut ?”, sang anak menjawab : “aku menjual sapi
tersebut denagn harga 3 Dinar atas pesan ibuku”. Malaikat tadi menjawab
: “juallah sapi tersebut dengan harga 6 Dinar tanpa sepengetahuan ibumu
”. mendapat tawaran tersebut, sang anak tidak tergiur, ia menolak harga
tersebut karena ibunya tidak menyuruhnya menjual sapi itu dengan harga
6 Dinar.
Sang anak pulang dan menceritakan kejadian tersebut kepada
ibunya. Dan ibunya pun berkata : “jualah sapi tersebut dengan harga 6
Dinar”. Akhirnya sang anak kembali dengan sapinya untuk dijual kepasar
dengan harga 6 Dinar. Namun lagi-lagi malaikat mendatanginya untuk
membeli sapinya dengan harga 12 Dinar dengan syarat sang ibu tidak
tahu. Namum lagi-lagi anak tersebut menolaknya karena harga tersebut
tidak diperintah oleh ibunya dan akhirnya anak tersebut kembali pulang
untuk menceritakan hal yang aneh yang terjadi padanya.
37
Syaih Zainuddin bin Abdul Azizi, Irsyadul Ibad, (Indonesia : Alharamain, t.th.), hlm. 92
59
Mengetahui kejadian yang aneh yang meninpa anaknya tersebut,
sang ibu tahu kalau orang ingin membeli sapi anaknya tersebut adalah
malaikat. Dan sang ibu berkata : “wahai anakku sesungguhnya, orang
tadi adalah malaikat, temui dia dan katakan apakah sapi ini harus dijual
apa tidak”. Setelah anak tadi bertemu dengan Malaikat, Malaikat berkata
: “sesungguhnya ada kasus pembunuhan dikalangan kaum Bani Israil,
juallah sapimu kepada mereka dengan emas yang besarnya sama dengan
sapi yang engkau miliki”.38
Cerita diatas merupakan bagian dari skripsi ini yang menjelaskan
dari mana orang Bani Israil mendapatkan sapi untuk mengetahui kasus
pembunuhan yang terjadi.
Allah SWT memperlihatkan tanda-tanda kebesaranNya, serta
membuktikan kebenaran Al Qur’an dan Muhammad melalui cara mampu
menginformasikan hal-hal ghaib, dalam hal ini berupa cerita umat di
masa yang telah lampau.
Tanda-tanda yang dimaksudkan adalah menghidupkan orang yang
telah meninggal dengan cara yang menakjubkan, yaitu dengan cara
memukul orang yang telah mati dengan sebagian anggota tubuh hewan
yang telah mati pula. Dan kemudian mayyit yang hidup kembali mampu
menceritakan perihal mengenai kematiannya, sehingga hilanglah saling
tuduh menuduh diantara kaum Bani Israil39
.
Tafsir Al Maragi juga mengutarakan hal yang sama pada tafsir An
Nur, dimana tanda-tanda yang dimaksudkan adalah menghidupkan orang
yang telah mati dan orang tersebut mampu menjelaskan penyebab
kematiannya sehingga jelas siapa pelaku pembunuhan atas dirinya.40
38
Al Sayh Ahmad ben Muhammad Al Sawi, Hasiyat Al Sawi ‘Ala Tafsir Al Jalalayn, (Beirut : Dar Al
Kotob Al Ilmiyyah, 2009), hlm. 51 39
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’an Majid Annur, (Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2000), hal 134 40
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaragh Terjemah Anshari dkk, (Semarang : Karya Toha
Putra, 1992), hlm. 259
60
Arti secara sederhana yaitu : supaya kamu memahami. Dalam
pembahasan ini, hal-hal yang perlu dipahani adalah mengenai rahasia-
rahasia agama, peraturan agama, hukum agama, serta manfaat tunduk
dan patuh pada agama. Selain itu, supaya dapat menjauhkan diri dari
hawa nafsu dan menjalankan perintah Allah SWT41
.
41
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’an Majid Annur, (Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2000), hlm. 135
61
BAB IV
ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM QS. AL BAQARAH AYAT 67-73
A. Akhlak Dalam Bertanya
Dapat kita lihat bagaimana Bani Israil datang kepada Nabi Musa dan
bertanya tentang masalah yang mereka hadapi. Tindakan Bani Israil
tersebut harus dapat kita jadikan pelajaran agar kita mengerti adab
bagaimana mengajukan sebuah pertanyaan.
Orang Bani Israil datang kepada Nabi Musa dan bertanya kepada Nabi
Musa mengenai masalah pembunuhan yang terjadi. Setelah memohon
kepada Allah SWT akhirnya Nabi Musa mendapat petunjuk agar orang
Bani Israil menyembelih sapi untuk menghidupkan orang yang telah mati.
Pada awalnya, perintah penyembelihan adalah untuk sapi macam apa
saja yang orang Bani Israil kehendaki, namun pada kenyataanya mereka
malah bertanya tentang pertanyaan yang membuat diri mereka menjadi
bertambah sulit. Disuruh menyembelih apa saja, orang Bani Israil malah
bertanya mengenai jenis kelamin dan usia sapi yang dimaksudkan. Setelah
diberi jawaban, mereka malah kembali bertanya lagi mengenai warna sapi
tersebut. Meski pada akhirnya Nabi Musa memberikan jawaban mengenai
warna sapi yang dimaksudkan, orang Bani Israil masih saja bertanya
tentang hal yang semakin membuat mereka berada dalam kesulitan yang
semestinya tidak terjadi.
Islam sangat melarang pemeluknya untuk bertanya dengan cara yang
dilakukan orang Bani Israil, Islam melarang kita untuk bertanya tentang
hal yang membuat diri kita sendiri bertambah kesulitan karena pertanyaan
yang kita ajukan. Maka dari itu, sebagai orang muslim kita jangan banyak
62
bicara. Karena hal tersebut dilarang oleh Allah SWT. Allah berfirman
dalam QS. Al-Maaidah ayat 101 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan
kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah SWT. memaafkan (kamu)
tentang hal-hal itu. Allah SWT. Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun” (QS. Al-Maaidah : 101)1
Ayat di atas sangatlah jelas, kita sebagai orang Islam dilarang untuk
bertanya yang dengan pertanyaan tersebut membuat diri kita terjerumus ke
dalam hal yang bertambah sulit. Dengan memahami ayat ini, kita
hendaknya tidak melakukan kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang
Bani Israil yang terjebak ke dalam permasalahan yang lebih rumit karena
pertanyaan-pertanyaan mereka yang diajukan kepada Nabi Musa.
Selain hal di atas, sebagai peserta didik perlu diketahui pula ketika di
dalam kelas ada juga etika untuk mengajukan petanyaan kepada seorang
guru. Pertama, jangan bertanya kepada guru ketika guru belum
memberikan kesempatan bertanya. Seandainya kesempatan tersebut tidak
diberikan, maka carilah waktu yang tepat untuk bertanya, jangan sampai
kita memotong pembicaraan dari guru. Karena kita tahu, memotong
pembicaraan adalah akhlak yang tercela. Kedua, ketika hendak
mengajukan pertanyaan, mulailah dengan mengacungkan jari terlebih
dahulu.
1Departemen Agana RI, Al Aliyy, (Bandung : CV Penerbit Dionegoro, 2008), hlm. 66
63
B. Akhlak Anak Kepada Orang Tua
Salah satu karakteristik seorang muslim adalah memperlakukan kedua
orang tuanya dengan baik. Memperlakukan orang tua dengan baik
merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat agung, Al Qur’an dan
Hadis sudah begitu jelas memaparkannya.
Allah SWT mewahyukan banyak ayat yang memperkuat pesan tentang
penegasan bahwa ridha Allah SWT tergantung pada ridha orang tua.
Perintah untuk menghormati orang tua dengan jelas diterangkan dalam Al
Qur’an, salah satunya adalah pada QS. An Nisa ayat 36.
Sembahlah Allah SWT. dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah SWT. tidak menyukai orang-
orang yang sombong dan membangga-banggakan diri
( QS. An Nisa : 36)2
Dalam ayat diatas dapat kita ketahui bersama, bahwa menghormati
orang tua merupakan perintah agama yang harus kita patuhi. Terlepas dari
2Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah,
2004), hlm 109
64
ayat di atas, QS. Al Baqarah yang menjadi bahan skripsi ini juga penulis
temukan tentang nilai pendidikan akhlak terhadap orang tua.
Mungkin jika kita artikan secara bahasa QS. Al Baqarah ayat 67-73,
kita tidak akan menemukan nilai pendidikan akhlak terhadap orang tua.
Nilai pendidikan akhlak terhadap orang tua, penulis temukan pada cerita
pembunuhan yang terjadi pada orang Bani Israil di zaman Nabi Musa.
Ketika terjadi pembunuhan orang-orang Bani Israil berbondong-bondong
mendatangi Nabi Musa untuk meminta petunjuk mengenai siapa pelaku
pembunuhan tersebut.
Ketika ditanya demikian, Nabi Musa meminta orang Bani Israil untuk
menyembelih seekor sapi apapun jenisnya sesuai keinginan mereka.
Namun kenyataannya, orang-orang Bani Israil malah mengajukan
pertanyaan mengenai ciri-ciri sapi yang dimaksudkan. Karena banyak
bertanya, pada akhirnya mereka mendapati kesulitan dalam menemukan
ciri sapi tersebut. Telah kita ketahui bersama, kesulitan yang dialami orang
Bani Israil adalah karena ulah mereka sendiri.
Sapi yang sulit tersebut, ternyata dimiliki seorang dari Bani Israil yang
salih dan taat kepada Allah SWT. Ketika masih hidup, orang Bani Israil
yang salih tersebut meletakkan sapinya ditengah hutan, dan ia berdoa
kepada Allah SWT agar sapinya dijaga dan dapat diberikan kepada
anaknya kelak.
Pada akhirnya Orang Bani Israil yang salih tadi meninggal dunia, dan
singkat cerita anakya telah tumbuh dewasa menjadi anak yang taat
beribadah dan selalu berbakti kepada ibunya. Meski hidup dalam
kekurangan si anak tidak pernah mengeluh, bahkan hasil kerjanya yang
sedikit selalu tak lupa ia sisihkan untuk ibunya.
Pada suatu hari si ibu menceritakan kepada si anak kalau ayahnya dulu
telah mewarisinya seekor sapi yang telah di tinggal ditengah hutan. Ibunya
meminta agar si anak mengambilnya. Perjalanan mengambil sapi
65
merupakan ujian bagi anak, seberapa besar rasa hormat yang dimiliki anak
kepada si ibu. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa sebelum
mengambil sapi tersebut, anak tersebut diajarkan doa oleh ibunya. Doa
tersebut berisi tentang permohonan perlindungan kepda Tuhannya Nabi
Ibrahim, Ismail, Ishaq, dan Ya’qub3.
Ujian yang diterima anak tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sapi tersebut bukanlah sapi sembarangan dan bisa bicara. Sapi
tersebut meminta anak untuk menaikinya karena perjalanan sangat
jauh. Namun si anak menolak dengan alasan ibunya tidak
memerintahkannya untuk berbuat demikian. Dan si sapi pun berkata
: “seandainya engkau melakukan hal tadi (menaiki punggung sapi),
maka selamanya engkau tak akan mampu untuk membawaku
bersamamu, dan seandainya engkau memerintahkan gunung untuk
lepas dari tempat asalnya, maka gunung tersebut akan mengikuti apa
yang engkau perintahkan, hal tersebut adalah karena kebaikan dan
ketaatanmu kepada ibumu.”
2. Setelah sapi tersebut sampai di rumah, sang ibu memerintahkan anak
untuk menjual sapi dengan harga 3 Dinar dan dilarang menjual sapi
tersebut selain dengan harga itu. Maka beranglatlah anak tersebut ke
pasar untuk menjual sapi. Ketika dalam perjalanan menuju pasar,
Allah SWT. mengirim satu malaikat untuk menguji kebaktian anak
kepada ibunya. Meski ada yang menawar harga yang tinggi, si anak
tidak mau menjualnya karena ibunya tidak menyuruh menjual sapi
dengan harga yang ditawarkan meski lebih tinggi harganya.
Dari cerita di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa si anak
memiliki rasa bakti yang luar biasa terhadap ibunya. Hal ini haruslah kita
3Syaih Zainuddin bin Abdul Azizi, Irsyadul Ibad, (Indonesia : Alharamain, t.th.), hlm. 92
66
jadikan sebuah pelajaran, dengan lebih mengkaji QS. Al Baqarah ayat 67-
73 dapat memotivasi diri kita untuk birrul walidain (berbuat baik kepada
kedua orang tua).
Rachmat Djatnika dalam bukunya menerangkan ada beberapa
kewajiban seorang anak kepada orang tuanya ketika masih hidup,
diantaranya yaitu 4:
1. Berbuat baik kepada ayah dan ibu meskipun mereka berbuat
lalim.
2. Berkata halus dan mulia kepada ibu dan ayah.
3. Berkata lemah lembut kepada ibu dan ayah.
Seorang anak menurut Islam dituntut untuk berbuat baik kepada kedua
orang tuanya bagaimanapun keadaannya. Artinya, sebagai seorang muslim
jangan sampai kita menyakiti orang tua, bagaimanapun juga mereka yang
telah membesarkan dan mendidik kita. Terlalu banyak kebaikan yang
orang tua berikan kepada kita, sampai-sampai ada pepatah mengatakan
bahwa kasih anak kepada orang tua adalah sepanjang galah, sedangkan
kasih orang tua kepada anak adalah sepanjang jalan. Apapun yang kita
lakukan terhadap orang tua, tidaklah akan cukup untuk membayar semua
jasa-jasa mereka. Untuk itulah Islam mewajibkan pemeluknya untuk selalu
berbuat baik kepada orang tuanya apapun dan bagaimana keadaan mereka.
Berkata yang baik kepada orang tua telah ditegaskan dalam QS. Al
Isra’ ayat 23-24 :
4Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 204
67
23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara
keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
24. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil".(QS. Al Isra’ : 23-24)5
Mengucapkan kata “Ah” kepada orang tua saja tidak diperbolehkan
oleh agama, apalagi jika kita mengucapkan kata-kata yang menyakitkan
atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada kata “Ah”.
Untuk itu hendaklah kita selalu menjaga setiap ucapan yang kita
keluarkan, jangan sampai kita menyinggung perasaan mereka.
Murka Allah SWT tergantung murka orang tua, itulah gambaran
betapa penting kedudukan orang tua dalam agama Islam. Menghormati
orang tua merupakan keharusan bagi setiap muslim. Untuk meningkatkan
rasa bakti kita, penulis akan mencoba menceritakan juga mengenai
seorang ahli ibadah dengan orang tuanya.
Tersebutlah ada seorang ahli ibadah bernama Juraij, pada suatu hari
ketika ia sedang shalat, ibunya memanggilnya sampai tiga kali. Mendapati
tidak ada jawaban dari anaknya, si ibu langsung marah dan berdoa pada
5Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah,
2004), hlm. 366
68
Allah SWT. agar tidak dicabut nyawa sang anak sebelum ia melihat wajah
seorang pelacur.
Pada saat yang sama ada seorang pelacur yang melakukan zina dengan
seorang penggembala. Ketika hamil, pelacur tersebut berkata jika yang
menghamilinya adalah seorang ahli ibadah bernama Juraij. Mengetahui
kabar tersebut, masyarakat sekitar marah dan merusak tempat ibadah
Juraij. Ketika akan dihukum oleh penguasa setempat, Juraij teringat akan
doa ibunya, dan ia meminta ijin untuk melakukan shalat sunnah dua rakaat
sebelum ia dihukum.
Setelah selesai melakukan shalat, Juraij menghampiri pelacur tersebut
dan bertanya kepada bayi yang ada dalam kandungan tentang siapa
ayahnya yang sebenarnya. Keajaiban terjadi, si bayi yang ada dalam
kandungan menjawab bahwa ayah yang sebenarnya adalah seorang
penggembala. Mengetahui hal tersebut, orang yang hadir
mengumandangkan lafadz tahlil dan takbir, dan mereka berjanji akan
membangun kembali tempat ibadah yang dulu pernah mereka rusak.6
Contoh-contoh diatas merupakan kewajban kita terhadap orang tua
ketika mereka masih hidup. Meskipun kedua orang tua kita telah tiada, kita
tetap memiliki kewajiban terhadap mereka. Adapun bentuk bakti kita
terhadap orang tua ketika mereka telah tiada adalah :
1. Mendoakan orang tua dan memintakan ampunan kepada Allah
SWT.
2. Menepati janji yang pernah dibuat oleh kedua orang tua kita
3. Memuliakan teman-teman kedua orang tua kita
4. Bersilaturrahim kepada kerabat-kerabat orang tua7
6Muhammad Ali Al Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal terjemah Ahmad Baidowi, ( Yogyakarta : Mitra
Pustaka, 2001), hlm. 77 7Umar bin Ahmad Baraja’, Akhlak Al Banin juz 2, (Surabaya : Maktabah Muhammad bin Ahmad
Nabahan, t.th.), hlm. 19
69
C. Kesabaran Pendidik
Dalam kajian mengenai QS. Al Baqarah ayat 67-73, ada nilai tentang
kesabaran yang dapat kita ambil sebagai pelajaran. Dalam kaitannya
dengan dunia pendidikan, kesabaran yang penulis maksudkan adalah
kesabaran yang terfokus terhadap pendidik dan juga peserta didik. Dalam
cerita mengenai sapi betina dalam QS. Al Baqarah tersebut, Nabi Musa
penulis ibaratkan sebagai seorang pendidik, dan orang Bani Israil adalah
sebagai peserta didik.
Kita dapat melihat bagaimana kesabaran yang dimiliki Nabi Musa
ketika menghadapi segala macam hal yang dilakukan oleh orang-orang
Bani Israil. Ketika Nabi Musa memberikan petunjuk mengenai masalah
pembunuhan yang terjadi, orang-orang Bani Israil malah mencemooh Nabi
Musa, mereka menganggap Nabi Musa sebagai pembohong. Meskipun
diperlakukan demikian, Nabi Musa tetap bersabar menghadapi mereka,
ketika dicemooh Nabi Musa tetap memberikan jawaban dengan sopan dan
halus.
Ketika jawaban yang Nabi Musa berikan kepada Bani Israil selalu
dirasa kurang cukup, Nabi Musa tetap sabar dalam memberikan jawaban
yang diperlukan. Semua kesabaran yang dilakukan Nabi Musa adalah
sebuah contoh kepada para tenaga pendidik untuk selalu bersabar dalam
menghadapi peserta didiknya.
Dengan adanya kesabaran yang ada dalam diri tenaga pendidik,
tentunya segala tindak kekerasan dalam lingkungan sekolah tindak akan
terjadi, namun sangat kita sayangkan sampai saat ini masih kita jumpai
beberapa tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya.
Tindakan ini amatlah sangat disayangkan, mengingat guru merupakan
figur sentral dalam membentuk perkembangan peserta didik.
70
Sikap sabarpun tidak hanya harus dimiliki pendidik saja, namun
sikap sabar juga harus ada dalam diri peserta didik. Mencari ilmu bukanlah
hal yang sifatnya instan, butuh proses yang begitu panjang. Mencari ilmu
diibaratkan dengan menuangkan air ke dalam kendi, harus sabar dan tidak
tergesa-gesa. Jika kita memasukkan air kedalam kendi secara tergesa-gesa,
maka air yang masukpun tidak akan banyak.
Sabar sendiri merupakan sikap yang utama dari perangai kejiwaan
yang dapat menahan perilaku tidak baik dan tidak simpati. Pendapat lain
mengatakan bahwa sabar adalah menjauhi larangan, bersikap tenag saat
mendapat cobaan, dan menampakkan sikap tidak membutuhkan walaupun
kemelaratan menimpa kehidupannya.8
Abdul Wahhab Sya’rani membagi sabar ke dalam tiga alamat, yaitu
sabar untuk taat pada Allah SWT, sabar menghadapi musibah, dan sabar
atas segala ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT9.
Sabar dalam taat kepada Allah SWT maksudnya adalah kita tidak
hanya menjalankan perintah Allah SWT saja, namun kita juga harus
menjauhi segala yang menjadi larangannya. Terkadang sebagian dari kita
ada yang sudah menjalankan perintah Allah SWT, seperti shalat, zakat,
puasa, dll., namun terkadang mereka belum mampu untuk meninggalkan
larangan Allah SWT. Atau sebaliknya, ada orang yang tidak melakukan
hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT, seperti tidak mencuri, tidak
meminum minuman keras, tidak berzina, namun disisi lain ia juga enggan
untuk menjalankan sesuatu hal ynag menjadi perintah Allah SWT.
Musibah adalah bentuk rasa sayang Allah SWT kepada hambanya.
Dengan adanya musibah, berarti Allah SWT tengah mengukur seberapa
dalam iman dan taqwa dalam diri kita. Untuk itu Allah SWT meminta kita
8Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah, Sabar Dan Syukur, (Semarang : Pustaka Nun, 2010), hlm. 15
9Abdul Wahhab Sya’roni, Al Minah Al Saniyah, (Indonesia :Dar Al Hya’ Al Kutun Al Arabiyyah, t.th.),
hlm. 16
71
agar kita bersabar dalam menghadapi segala ujian. Kita sebagai orang
Islam harus yakin jika Allah SWT tidak akan menguji kita melebihi batas
kemampuan kita. Allah SWT berfirman :
Allah SWT. tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya(QS. Al Baqarah : 286)10
Ayat diatas haruslah menjadikan motivasi kepada kita jika Allah SWT
tidak akan menguji kita melebihi batas kemampuan kita. Begitu besar rasa
sayang Allah SWT kepada semua hamba-hambanya, maka untuk itu,
bersabar atas ujian yang diberikan oleh Allah SWT adalah merupakan
sebuah keharusan bagi kita. Jangan sampai kita berputus asa dari segala
ujian yang diberikan Allah SWT kepada kita.
D. Kejujuran Pendidik
Dasar dari pengambilan nilai kejujuran pendidik adalah kejujuran
Nabi Musa dalam menyampaikan wahyu yang ia dapat dari Allah SWT
kepada orang-orang Bani Israil. Ketika Nabi Musa didatangi orang-orang
Bani Israil untuk menyelesaikan masalah pembunuhan yang terjadi, Nabi
Musa berdoa kepada Allah SWT untuk diberi petunjuk. Ketika petunjuk
telah diberikan, Nabi Musa menyampaikan petunjuk dari Allah kepada
Bani Israil dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran. Tak ada wahyu
yang dikurangi ataupun ditambahi.
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada.
Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan
10
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang :CV Al Waah,
2004), hlm. 61
72
benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada
pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang
melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya.
Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah SWT menyanjung orang-
orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah
untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah kejujuran seorang pendidik
dalam menyampaikan ilmu yang ia miliki kepada peserta didiknya.
Sebagai pendidik, guru dituntut untuk menyampaikan pelajaran
kepada peserta didiknya dengan penuh kejujuran. Apalagi kaitannya
dengan pelajaran tentang Islam, tanggung jawab yang dipikul sangantlah
besar. Hal tersebut dikarenakan terdapat hubungannya dengan keimanan
kepada Allah SWT. Pelajaran Agama Islam harus disajikan dengan pas,
tidak boleh menambah materi ataupun mengurangi yang ada.
Menambah sesuatu yang tidak ada pada pelajaran Agama Islam, akan
berpotensi menimbulkan bid’ah. Begitupun sebaliknya, mengurangi
sesuatu yang telah ada pada Islam akan membuat peserta didik menerima
Islam tidak secara kaffah (menyeluruh).
Allah SWT berfirman dalam QS. Al Baqarah ayat 42 :
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil
dan janganlah kamu sembunyikan yang hak sedangkan kamu
Mengetahui. ( QS. Al Baqarah : 42)
Ayat di atas sebenarnya mengandung arti bahwa maksud dari sesuatu
yang disembunyikan adalah adanya Nabi akhir zaman. Namun, Al Qur’an
adalah wahyu yang sangat kompleks, sehingga ayat tersebut penulis jadikan
dasar larangan seseorang terlebih lagi guru untuk menyembunyikan ilmu
yang ia miliki.
73
E. Ketaatan Peserta Didik
Dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73, terdapat cerita yang menerangkan
sifat ngeyel yang dimiliki oleh orang Bani Israil. Ketika mereka meminta
petunjuk kepada Nabi Musa tentang sebuah masalah, mereka malah
membangkang dan tidak mau mentaati apa yang diperintahkan oleh Nabi
Musa. Sehingga pada akhirnya mereka malah terjebak kedalam
permasalahan yang lebih besar.
Cerita di atas seharusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu
mentaati apa yang diperintahkan oleh guru. Dalam kitab ta’limul
muta’alim diterangkan ada dua orang yang jika memberi nasehat kita tidak
mentaatinya, maka hidup kita akan hancur. Dua orang tersebut adalah guru
dan dokter.
Sebagai seorang murid sudah seharusnya kita mentaati apa yang
diperintahkan oleh guru kita. Seorang guru selalu mengarahkan peserta
didiknya ke arah yang lurus, tidak mungkin guru menyesatkan muridnya.
Dalam kitab ta’limul muta’alim sahabat Ali berkata : “aku adalah budak
dari seseorang yang telah mengajariku sebuah ilmu walaupun hanya
sekedar satu huruf”. Perkataan sahabat Ali tersebut merupakan sebuah
pelajaran bahwa guru merupakan seseorang yang harus kita taati.
Dalam pesantren, seorang santri tidak hanya dituntut untuk mentaati
gurunya, namun juga dituntut untuk menanamkan rasa ta’dzim di hatinya
kepada seorang guru. Ta’dzim disini berarti bahwa murid itu harus selalu
taat pada gurunya kapan saja dan di mana saja.
Ada banyak cara yang harus dilakukan peserta didik untuk
menghormati gurunya. Yang pada intinya seorang peserta didik harus
mendapat ridha seorang guru dan jangan sampai membuat guru marah dan
sakit hati. Menurut Al Zanurji ada beberapa cara yang dapat dilakukan
peserta didik untuk menghormati seorang guru, diantaranya yaitu : tidak
74
berjalan di depan guru, tidak duduk ditempat duduk guru, tidak
memperbanyak omongan ketika bersama guru, tidak mengetuk pintu
rumah atau kamar seorang guru, menghormati pula anak beserta keluarga
guru11
.
Belajar dari kejadian yang dialami oleh orang Bani Israil, tentunya
kita jangan sampai melanggar apa yang guru perintahkan kepada kita.
Dengan harapan, kita mendapat ridha dari Allah SWT karena kita telah
mendapat ridha dari guru. Bagaimanapun juga guru adalah orang tua yang
member kehidupan untuk hati kita.
Ingatlah kata-kata yang disampaikan oleh nenek moyang kita, guru itu
berarti digugu lan ditiru. Digugu lan ditiru adalah berasal dari bahasa
jawa, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah dipatuhi dan
dijadikan sebagai panutan. Jadi sebagai murid, kita harus selalu taat pada
guru kita. Jangan sampai kita melukai hati dan perasaan guru, karena hal
tersebut dapat menjadikan ilmu kita tidak barakah dan manfaat. Ditiru
bermakna bahwasanya guru haruslah menjadi teladan yang baik bagi
peserta didiknya.
11
Syekh Al Zanurji, Ta’limul Muta’alim Terjemah Ma’ruf Asrori, (Surabaya : Pelita Dunia, 1996), hlm.
35
75
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari kajian yang telah dilakukan dalam bab sebelumnya, dapat diambil
beberapa kesimpulan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam QS. Al
Baqarah ayat 67-73 adalah sebagai berikut :
1. Akhlak dalam bertanya
Sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk mengajukan
pertanyaan yang penting saja. Selain itu kita juga dilarang
bertanya tentang hal yang menyebabkan kita berada permasalahan
yang lebih rumit.
2. Akhlak kepada orang tua
Menghormati dan berbuat baik kepada orang tua adalah sebuah
kewajiban. Karena ridha Allah SWT itu tergantung pada ridha
orang tua. Dan sebaliknya, murka Allah SWT juga tergantung
pada murka orang tua.
3. Nilai kesabaran seorang pendidik
Seorang pendidik harus memiliki kesabaran dalam mengajarkan
ilmu yang dimilikinya. Lihatlah bagaimana Nabi Musa tetap
bersabar dan tenang ketika mendapat berbagai macam pertanyaan
dari orang Bani Israil, padahal sebelumnya Nabi Musa sudah
memberikan keterangan kepada mereka mengenai permasalahan
yang mereka hadapi.
4. Nilai kejujuran seorang pendidik
Dalam menyampaikan sebuah ilmu, seorang pendidik harus
memiliki kejujuran atas ilmu yang ia sampaikan kepada peserta
didiknya. Berkaca pada apa yang ada dalam QS. Al Baqarah ayat
67-73, kejujuran Nabi Musa dalam menyampaikan berita ataupun
76
informasi dari Allah SWT kepada Bani Israil, haruslah menjadi
pelajaran bagi kita.
5. Nilai ketaatan seorang peserta didik
Kaitannya dengan apa yang ada dalam QS. Al Baqarah ayat 67-
73, peserta didik harus mau dan patuh terhadap apa saja yang
disampaikan guru mereka. Bagaimanapun juga, apa yang
disampaikan guru kepada peserta didiknya adalah untuk kebaikan
peserta didiknya sendiri. Akibat dari ketidak mauan untuk
mendengarkan perkataan seorang guru dapat kita lihat pada apa
yang dialami oleh orang Bani Israil yang terjebak ke dalam
permasalahan yang lebih rumit karena tidak langsung mematuhi
apa yang diperintahkan oleh Nabi Musa.
B. SARAN-SARAN
1. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk pribadi yang cerdas,
ulet, kreatif, mandiri dan bertanggung jawab, namun hal yang lebih penting
saat ini adalah pendidikan budi pekerti. Pendidikan akhlak/budi pekerti
hendaknya juga ditekankan dalam proses belajar mengajar, bagaimanapun
pintarnya seseorang, cerdas dan cerdiknya seseorang tapi tanpa dilandasi
akhlak yang baik, maka akan sia-sialah ilmu yang didapat. Justru ilmu yang
didapat akan dimanfaatkan untuk kepentingan terhadap hal-hal negatif. Tanpa
budi pekerti yang baik, niscaya dunia ini akan rusak.
2. Untuk memajukan dunia pendidikan Islam, penggalian terhadap nilai-nilai
dalam Al-Qur'an harus terus dilakukan. Karena pada dasarnya semua ilmu itu
bersumber dari Al-Qur'an, selain itu hal ini juga bertujuan untuk memberi
keseimbangan (balance) terhadap kemajuan IPTEK di dunia barat yang telah
berkembang pesat dengan berbagai dampak positif dan negatif di dalamnya.
3. Penanaman nilai yang ada QS. Al Baqarah ayat 67-73 dalam pendidikan
Islam adalah hal yang sangat penting, hal ini dikarenakan banyak generasi
muda yang sudah tidak lagi memiliki adab sopan santun terhadap orang
tuanya sendiri. Selain itu juga banyak di antara mereka yang tidak memiliki
77
kesopanan dalam bertutur kata dan bertanya, seperti orang Bani Israil saja.
Penanaman QS. Al Baqarah pada ayat 67-73 juga perlu ditekankan untuk
mendongkrak dan meningkatkan iman kita kepada Allah SWT.
4. Penanaman nilai-nilai akhlak dalam QS. Al Baqarah ayat 67-73 haruslah
dilakukan sedini mungkin, karena kerusakan aqidah dan moral bangsa sudah
sedemikian parah, diharapkan dengan dilakukannya hal tersebut, moral
bangsa khususnya generasi muda dapat semakin baik. Karena generasi muda
merupakan kunci bagi kehidupan bangsa. Baiknya moral generasi muda suatu
bangsa maka selamatlah bangsa itu dan hancurnya moral generasi muda suatu
bangsa maka hancurlah bangsa itu.
C. PENUTUP
Demikianlah serangkaian uraian singkat dalam penjabaran tulisan
ini.Dengan penuh semangat akhirnya skripsi ini telah selesai ditulis. Semua
kata yang tertuang dan ditulis dalam skripsi ini dikerjakan secara serius dan
bertanggung jawab, namun harus diakui semua yang di dunia ini tidak ada
yang sempurna termasuk dalam hal ini tulisan ini. Sudah semestinya tulisan
ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan yang melekat dari awal sampai
akhir penulisan. Untuk itu tidak ada usaha yang lebih berharga kecuali
melakukan kritik terhadap apa yang ada dalam tulisan ini, baik dari segi isi
maupun pemilihan kosakata.
Kritik konstruktif sangat diharapkan untuk memperbaiki skripsi ini.
Namun penulis berharap, walaupun masih terdapat kekurangan dan
kesalahan, skripsi ini dapat memberikan manfaat (walaupun sedikit)
pengetahuan yang telah dikaji di dalamnya dan memberikan sumbangsih
dalam pendidikan Islam, serta pengayaan khasanah Islam pada umumnya,
atau paling tidak dapat memenuhi standar minimal dari criteria kegunaan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Abi Muhammad, Shahih Bukhari Juz 1, Beirut : Darul Kitab Al
Alamiyyah, 1992
Abdillah, Abi Muhammad, Shahih Bukhari Juz 5, Beirut : Darul Kitab Al
Alamiyyah, 1992
Abidin, Munirul, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, Jakarta : Darul
Falah, 2005
Ahmad, Al Sayh ben Muhammad Al Sawi, Hasiyat Al Sawi ‘Ala Tafsir Al
Jalalayn, Beirut : Dar Al Kotob Al Ilmiyyah, 2009
Anas, Idhoh, Kaidah-Kaidah Ulumul Qur’an, Pekalongan : Al Asri, 2008
Anjar Nugroho Sb, Pengertian munâsabah dalam
http://pemikiranislam.wordpress.com diakses pada tanggal 12 septembar
2011
Baidan, Nashrudin, Methodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2005
Bahri, Syaiful Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2006
Barzanji, Al Majmu’, Semarang : Pustaka Al Alawiyah, t.th
Baidowi, Ahmad, Menjadi Muslim Ideal terjemah, Yogyakarta : Mitra Pustaka,
2001
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta :
DEPAG, 1971
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang:
CV Al Waah, 2004
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, Bandung :
J-ART, t.t.
Departemen Agana RI, Al Aliyy, Bandung : CV Penerbit Dionegoro, 2008
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka 2003
Djatnika, Rachmat, Sistem Ethika Islami, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996
Hasan, Iqbal, pokok-pokok materi methodology penelitian & aplikasinya, Jakarta :
Graha Indonesia, 2002
Ichwan, Nor Mohammad, Studi Ilmu-Ilmu l-Qur’an, Semarang: Rasail Media
Group, 2008
Ihsan, Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2008
Islam wikipedia, asbabun nuzul, dalam http://islamwiki.blogspot.com. diakses
pada tanggal 12 septembar 2011
Jalaludin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Ar Ruzz, 2009
Khalil, Manna Al Qattan, Mahabis fi ulumil Qur’an, terjemah Mudzakir, Bogor :
Pustaka Litera Antar Nusa, 2001
Mahsun, Taha, Qishah Al Anbiya’, Surayabaya : Maktabah ahmad Nabahan, t.th.
Marzuqi, Ahmad, Aqidatul Awam, Kudus : Menara Kudus, t.th.
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993
Muhammad, Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’an Majid Annur,
Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2000
Musthafa, Ahmad Al Maraghi,Tafsir Almaragh TerjemahAnshari dkk, Semarang :
Karya Toha Putra, 1992
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, Semarang : Rasail, 2010
Nata, Abuddin, Ahlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo, 1997
Pidarta, Made, landasan kependidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2007
Press, Qisthi, ‘Aidh Al Qarni, Jawa Timur : Qisthi Press, 2008
Quttub, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’anAs’ad yasin dkk, Depok : Gema Insani, 2008
Quraish, M. Shihab, Tafsir Al Mishbah, Jakarta : Lentera Hati, 2010
Setyosari, Punaji, Metode penelitian pendidikan, Jakarta : Kencana, 2010
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2010
Sunarto, Ahmad, Sabar Dan Syukur, Semarang : Pustaka Nun, 2010
Syadali, Ahmad, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoove, 1993
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung : Remaja
Rosda Karya, 2010
Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996
Umar, Abdullah, MushthalichulAttajwid, Semarang : Karya Toha Putra, t.th.
Umar, bin Ahmad Baraja’, Akhlak Al Banin juz 2, Surabaya : Maktabah
Muhammad bin Ahmad Nabahan, t.th.
Wahhab, Abdul Sya’roni, Al Minah Al Saniyah, Indonesia : Dar Al Hya’ Al Kutun
Al Arabiyyah, t.th.
Wikipedia , Surat Al Baqarah, dalam : http://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Al-
Baqarah. diunduh pada tanggal 12 Desember 2011
Yusuf, Kadar, Study Ak Qur’an, Jakarta : Amzah, 2009
Zainuddin, Syaih bin Abdul Azizi, Irsyadul Ibad, Indonesia : Alharamain, t.th.
Zanurji, Ta’limul Muta’alim Terjemah Ma’ruf Asrori, Surabaya : Pelita Dunia,
1996
Zar, Sirajuddin, Filsfat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta Rja Grafindo
Persada, 2004
Zuhaili, Wahbah, Tafsir Munir, Damasyik : Darul Fikri, 2003
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
1. Nama lengkap : Setyo Utomo
2. Tempat & Tgl. Lahir : Wonogiri, 21 Februari 1989
3. NIM : 073111033
4. Alamat Rumah : Desa Singorojo, RT.07 RW.01, Kecamatan
Singorojo, Kabupaten Kendal
5. HP : 081 90 18 17 17 5
6. E-mail : [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. SDN 01 SINGOROJO, Lulus Tahun 2001
b. SMPN 02 SINGOROJO , Lulus Tahun 2004
c. MA NU 04 AL MA’ARIF BOJA, Lulus Tahun 2007
d. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Lulus Tahun
2012
2. Pendidikan Non-Formal
a. MDA 01Tarbiyatul Athfal Singorojo
b. Pondok Pesantren Al Islah Al Mardhiyah, Singorojo
c. Pondok Pesantren Al-Mabrur, Jl. Seroja No. 39, Sapen, Boja,
Kendal
Semarang, 21 Februari 2012
Setyo Utomo
NIM: 073111033