nilai nilai pada cerpen
DESCRIPTION
nilai dalam cerpenTRANSCRIPT
Nilai nilai pada cerpen
Menemukan Nilai-Nilai Sebuah Cerita
Jika ingin menceritakan sebuah cerpen kepada orang lain, hal yang perlu kamu perhatikan adalah unsur-unsur cerita itu, di antaranya tema, tokoh, alur, dan latar. Tentunya, kamu sudah paham maksud keempat tersebut.Cerita adalah cermin kehidupan. Dengan demikian, tentulah di dalam cerpen kamu dapatmenemukan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan, misalnya :
1. Nilai Sosial 2. Nilai Budaya 3. Nilai Religi (agama), 4. dan Nilai Moral
Setiap pengarang memiliki sudut pandang penceritaan yang berbeda. Ada yangmenggunakan sudut pandang penceritaan orang pertama (aku dan saya); ada yang menggunakansudut pandang kedua (kamu atau kau). Namun, tidak jarang orang menggunakan sudut pandangorang ketiga (ia, dia, atau nama orang
Contoh Nilai-nilai dalam Cerpen :
1. Nilai AgamaContoh:
Waktu adzan kau tak melakukan apa-apa tapi mematung menatap cermin. Kadang kaukencangkan suara tape karena tahu tak ingin sembahyang atau menangis. Jika melintas bayangan penghuni rumah yang lain di jendela kamarmu engkau mengambil sebuah buku besar dan berpura-pura telah membacanya sejak lama.
Agoni Pengantin, oleh Dina Oktaviani
Nilai agama yang terkandung dalam kutipan cerpen di atas adalah tokoh ‘engkau’ yang tidak baik dan tidak patut dicontoh. Ia tak peduli dengan suara adzan, lebih senang mengencangkan suara tape agar tak terdengar suara adzan, padahal seharusnya ia mendengar dan menjawab adzan dan segera menunaikan ibadah salat.
2. Nilai Sosial Contoh:
Maka, begitu ia turun dari tempatnya, aku ikutan menghambur untuk menyalaminya, mengucapkan selamat atas kesuksesannya sebagai pembicara, dan yang paling penting adalah memuaskan diri, menghisap aroma keringatnya yang tak jadi soal lagi walau berbaur dengan bau kerak nikotin yang sangat menyengat itu.
Cincin Bernama, oleh Rini T. S
Nilai sosial yang terkandung dalam kutipan cerpen di atas adalah ketika tokoh ‘aku’ mengucapkan selamat atas kesuksesan seseorang. Secara sosial, kita dianjurkan untuk mengucapkan selamat atas keberhasilan seseorang dalam meraih prestasi.
3. Nilai EstetikaContoh:
Lebaran. Tanah boleh basah. Udara boleh lembap. Angin menyelusup di sela-sela daun gugur. Awan kelabu. Matahari sembunyi di baliknya. Hujan tiba-tiba rajin membasahi bumi. Kota menjadi basah. Terus-menerus basah. Juga jalan-jalan dan halaman rumah. Orang-orang bergegas menghindarinya. Genteng-genteng coklat di perumahan yang tumbuh merapat, berubah warna menjadi lebih tua dari biasanya.
Tamu yang Datang Menjelang Lebaran, oleh Rahmat H. Cahyono
Nilai estetika yang terkandung dalam kutipan cerpen di atas adalah penjelasan secara fisik bagaimana struktur tanah, suhu udara, angin yang berhembus, warna awan, keadaan matahari, dan turunnya hujan 4. Nilai PendidikanContoh:
Jakarta terkurung dalam kutukan karena kejahatan kemanusiaan yang didewakannya selama lebih dari tiga dasawarsa menjelang akhir abad keduapuluh. Ingatan kolektif penduduknya bisa lenyap.
Tetapi, zaman tak pernah akan lupa bahwa pada waktu itu ratusan ribu orang dibunuh seperti tikus comberan. Anak-anak muda yang ganteng dan manis-manis, yang bercita-cita sangat sederhana, hanya sekedar untuk bisa meludah karena tak tahan mencium bau amis para penguasa yang durjana, diculik dan dilenyapkan rezim bersenjata.
Jakarta 3030, oleh Martin Aleida
Nilai pendidikan yang terkandung pada kutipan cerpen di atas adalah pada zaman penjajahan, para pemuda benar-benar bersemangat melawan para penjajah. Hal ini merupakan nilai pendidikan yang perlu diteladani. Sebagai para pemuda yang kini telah bebas dari penjajahan, kita harus lebih bersemangat dari para pemuda yang dulu berjuang keras untuk kita.
2. Nilai BudayaContoh:
Malam itu warga Ibu Kota digemparkan oleh tidak bundarnya lagi Bulan di atas langit Jakarta. "Pasti aksi teroris!" kata seorang bapak RT. "Kali ntu ade ubungannye ama tukang nasgor nyang ilang di depan rume Pondok Indah!" kata seorang abang ojek yang konon pernah mencoba minta nomer togel di rumah hantu itu.
Bulan Setengah, oleh Eve
Nilai budaya yang terkandung dalam kutipan cerpen di atas terlihat pada penggunaan kalimat "Kali ntu ade ubungannye ama tukang nasgor nyang ilang di depan rume Pondok Indah!". Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Betawi, yang merupakan cirri khas dari budaya Jakarta.
6. Nilai Moral Contoh:
Dengan cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang saudara atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa ketika ia menyaksikan beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut kedatangannya oleh orang tua, anak atau suami mereka. Namun dengan segera ia membuang jauh – jauh pikiran tersebut. Ia tidak ingin suuzon dengan suaminya.
Percayalah Pada Niat Baikmu, Martini oleh Kurniawan Lastanto
Nilai moral yang terkandung dalam kutipan cerpen di atas adalah ketika Martini membuang jauh-jauh prasangka buruk terhadap suaminya. Ia tidak ingin suuzon pada suaminya karena suuzon merupakan perbuatan tidak baik.
3. Nilai PolitikContoh:
“Hai, pendeta yang bijaksana,” kata Raja Dabsyalim. “Kalau benar yang dimaksud tak akan tercapai, melainkan dengan akal pikiran yang sempurna,mengapakah kerap kali kelihatan orang yang bodoh beroleh ketinggian dan kemuliaan, lebih daripada orang yang pandai?”“Ampun Tuanku,” Jawab Baidaba.
Hikayat Anak Raja dan Teman-temannya
Nilai politik yang terkandung dalam kutipan hikayat tersebut adalah ketika Sang Raja berbicara pada seorang pendeta. Apapun yang ditanyakan Raja, pasti akan dijawab oleh pendeta, karena Raja lah yang paling berkuasa di suatu daerah tersebut.
Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cerita pendek merupakan salah satu jenis karya sastra yang dapat memberikan manfaat kepada
pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan imajinasi,
mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang
universal. Pengalaman-pengalaman yang didapat tersebut tentunya sangat berkaitan dengan kehidupan
manusia. Contohnya seperti masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial,
politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi seorang pembaca cerpen, seperti sedang melihat miniatur
kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Hal ini
berakibat, seorang pembaca tersebut ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Sehingga seorang
pembaca itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah, dan mungkin saja akan memuja sang tokoh
atau membencinya.
Oleh karena itu, cerita yang ada di dalam cerpen yang penuh dengan segala permasalahan yang
universal tersebut ternyata menarik untuk dianalisis. Bahkan banyak orang yang tertarik untuk
mengkajinya, apalagi jika cerpen tersebut dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti
halnya kelompok kami mencoba untuk menganalisis cerpen yang dikaitkan dengan kegiatan
pembelajaran di kelas. Cerpen yang kami analisis itu adalah sebuah cerpen karya A.A. Navis yang
berjudul Robohnya Surau Kami.
Kami memilih cerpen karya A.A. Navis ini berdasarkan pertimbangan bahwa cerpen ini memiliki
keunggulan dibandingkan dengan cerpen-cerpen yang lainnya. Keunggulannya yaitu terletak pada
teknik penceritaan yang tidak biasa pada saat itu, karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang
terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta.
Dengan menganalisis cerpen berarti kami diajak untuk mempelajari manusia dan lingkungan. Jadi,
berangkat dari permasalahan yang sudah diuraikan di atas, kami mencoba menganalisis isi cerpen
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Landasan Teoristis
a. Nilai-nilai kehidupan apa saja yang terkandung dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”? Jelaskan!
2. Pembahasan
a. Apa saja unsur-unsur instrinsik yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”?
C. Tujuan
1. Landasan teoristis
a. Untuk mengkaji dan menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam cerpen “Robohnya
Surau Kami”.
2. Pembahasan
a. Untuk menganalisis unsur-unsur instrinsik yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”
D. Kegunaan
1. Bagi penyusun
a. Dapat mendalami hubungan antara manusia dengan lingkungan dalam cerpen “Robohnya Surau
Kami”
b. Dapat menerapkan nilai-nilai pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Bagi pembaca
a. Dapat dijadikan referensi untuk penulisan makalah dengan tema yang sama.
b. Dapat menambah wawasan yang baru tentang analisis cerpen.
E. Prosedur
1. Mencari dan menentukan tema cerpen
2. Mengkaji landasan teoristis dari isi cerpen “Robohnya Surau Kami” berdasarkan referensi yang ada.
3. Menganalisis unsur-unsur intrinsic yang terkandung di dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”.
4. Menyimpulkan hasil keseluruhan analisis cerpen “Robohnya Surau Kami”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
1. Analisis Nilai Ketuhanan Dalam Cerpen
Dalam Karya ”Robohnya Surau Kami” pengarang juga mencerminkan
perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik tapi tata
nilai. Pada kenyataannya, judul kisah ini hanya bersifat simbolis, karen amemang
tidak ada surau yang dikisahkan roboh, tetapi roboh di sini adalah nilai-nilai agama
yang disalah artikan oleh beberapa orang, terutama di Indonesia.
Cerpen ini mengisahkan bahwa adanya sekelompok orang yang menghadap
Tuhan dan ingin mengajukan protes kepada Tuhan karena telah memasukkan
mereka ke dalam neraka, padahal selama di dunia mereka selalu taat beribadah
kepada Yang Maha Kuasa. Setelah mereka melakukan protes, teenyata Tuhan
tetap memasukkan mereka ke dalam neraka. Dalam kutipan ini pengarang
menggambarkan bahwa latar belakang suasana yang sedang berlangsung,
kemudian menunjukkan bahwa mereka berjumpa dengan Tuhan bahkan mereka
berdialog dengan Tuhan, sementara berbicara dengan Tuhan itu adalah suatu hal
yang sangat luar bisa dan tidak biasanya ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun semmua ini dilatar belakangi oleh kehidupan akhirat pada saat manusia
akan menghadap Tuhan dan menerima keputusanNya, berdasarkan apa yang
diperbuat selama di dunia. Walaupun sang pengarang belum prnah berada dalam
situasi yang sama.
Dalam kisah ini pengarang menyampaikan pesan dan moral melalui dialog
antara Tuhan dan manusia, seperti halnya Tuhan bertanya kepada mereka tentang
apa yang mereka lakukan di dunia, kemudian Tuhan menjatuhkan keputusanNya
untuk memasukkan mereka ke dalam neraka. Tentu hal itu mempunyai alasan,
mengapa sampai dimasukkan ke neraka,dan alasan-alasan itu tersirat dalam
dialog yang mereka lakukan.
Selanjutnya, dari segi pemilihan nama pemimpim kelompok yang melakukan
protes kepada Tuhan, menurut saya pengarang menunjukkan bahwa nama yang
agamis sekalipun seperti Haji Saleh tidak mejamin akan kebaikan akhlak yang
akhirnya dapat mengantarkan dia ke dalam surga. Karena kata Haji berarti orang
yabg sudah pernah melakukan ibadah ke Mekkah, sedangkan Saleh berarti
seseorang yang taat dan patuh beribadah serta beriman dan bertakwa kepadaNya.
Sehingga betapa ironisnya jika seorang Haji Saleh dimasukkan ke dalam neraka.
Kemudian Tuhan pun menanyakan keberadaan atau asal mereka, dan
keadaan penduduk serta hasil atau kekayaan alam asal mereka yakni Indonesia. Di
sini pengarang menggambarkan bahwa ketaatan beribadah yang dilakukan oleh
Haji Saleh dari kelompoknya sudah mengesampingkan urusan duniawi seperti
halnya terlihat pada dialog antara mereka yang menyatakan bahwa walaupun
negerinya sudah melarat dan hasil kekayaan alamnya telah dikeruk oleh negara
lain, maka mereka tidak peduli, yang penting mereka terus beribadah kepada
Tuhan.
Dalam kisah ini, melalui perkataan Tuhan yang terakhir bahwa mereka
diputuskan untuk masuk neraka karena Tuhan menjelaskan ”jika memang benar
mereka telah membaca kitab suciNya, maka tentulah mereka tidak hanya akan
beribadah tapi juga beramal, bekerja sehingga nasib mereka bisa membaik. Maka
di sini sang pengarang mencoba menyindir presepsi bahwa agama itu hanya
tentang menyembah dan memuji Tuhan saja. Padahal ada keseimbangan antara
kehidupan duniawi dan kehidupan rohani yang harus di jaga.
Di akhir cerita, dikisahkan bahwa Tuhanpun akhirnya menjelaskan mengapa
dia memutuskan untuk melemparkan mereka ke dalam neraka. Tuhan
mengatakan bahwa mereka lebih suka beribadat saja karena beribadah tidak
mengeluarkan pelkuh dan tidak perlu membanting tulang. Tuhan juga mengatakan
bahwa mereka hanya bisa membaca kitabNya tanpa menjelaskan isinya. Melalui
kutipan ini, pengarang meminjam kacamata Tuhan untuk untuk menyampaikan
idenya.
Dalam cerita ini, pengarang menyampaikan beberapa pesan dan moral sebagai
berikut. :
• Amal ibadah kita harus berdasar pada keinginan untuk menjalankan agama
Tuhan bukan hanya untuk menghindari kehidupan dunia yang jauh lebih
melelahkan
• Jika kita telah mengaku menjadi hambaNya, tentu kita tidak akan saling
menipu dan saling memeras
• Pembacaan kitab suci tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada aplikasi lebih
lanjut dalam kehidupan sehari-hari.
• Tuhan telah menciptakan manusia bukan untuk menyembahNya sajakarena
seperti yang Tuhan katakan. Dia tidak mabuk pujian dan sembahandari manusia.
Dia memang seharusnya Yang Maha Agung walaupun tak ada yang
menyembahnya. Oleh karena itu,manusialah yang seharusnya sensitif ke keadaan
sekitarnya dan berusaha untuk menjadi lebih efektif dalam merubah keadaan
dirinya.
• Dari teknik penceritaan pengarang, tidak biasanya terjadi pada kehidupan
sehari-hari karena A.A. Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam
lain dengan menampilkantokoh Tuhan, bahklan dalam peristiws ini terjadi dialog
antara tokoh manusia dengan Tuhan Yang maha Tinggi, Maha Pencipta, sehingga
teknik penceritaannya terkesan unik. Dan cerpen ini lahir dalam atmosfer so – an
yang kembali lagi memunculkan karakter Tuhan, di mana hal semacam ini pernah
tercantum pada cerpen sebelum ” Robohnya Surau Kami ” karya A.A. Navis yaitu
cerpen ” Langit Semakin Mendung ” karya Kipanjikorsim.
2. Analisis Nilai Sosial Dalam Cerpen
Nilai social yang terkandung dalam kumpulan cerepen Robohnya Surau Kami
dikelompokkan ke dalam dua sifat, yaitu nilai sosial positif dan negatif. Nilai social
positif meliputi nilai tolong menolong, nilai menasihati, nilai kasih sayang, nilai
meminta maaf, nilai kasih sayang, nilai keikhlasan, nilai bekerja keras, nilai
tanggungjawab, nilai bijaksana, nilai saling menghormati, nilai berbakti, nilai
kesabaran, nilai belas kasihan, dan nilai tabah.Nilai social negative meliputi egois,
prasangka, kekerasan keluarga, sombong,ach tak acuh, tidak menghargai orang
lain, memaki, merasa paling tahu, licik, berbohong, dan dendam.
B. Pembahasan
a. Sinopsis Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis
Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang
meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar
cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun
yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar
kajian ini, khususnya bab ini mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan
sinopsis cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang
dipaparkan di bawah ini.
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena
seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari
masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang
merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang
paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja
sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki,
apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima
imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya
untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri.
Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak
pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga
surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi,
sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia
merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk
dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak
memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah.
Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak
berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia
senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah
semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini
sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan
dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu
begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat
memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput
kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang
berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang
tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang
mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
b. Tinjauan atas Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra.
Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya.
Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai
berikut:
Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya.
Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita
yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa
pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya
terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi.
Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya
keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak
ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada
Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor
enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan
neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan
pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud
kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca
KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah”
kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya
pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu
sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau
melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga
mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu
egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema
cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya
itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata
bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini
diteima oleh setiap orang.
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian
rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan
yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi
bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan
pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang
didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah
yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan
keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada
pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya
A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang
kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang
terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam
ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat
utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita
karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini
dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan
ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak
karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik,
beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…”
dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita
pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini
bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu.
Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang
di akhirat sana:
“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-
temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak
mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya
di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang
yang telah sampai 14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 – 13 ).
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan
mencelakakan diri pemakainya.
(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda
Tuhan dalam cerpen ini:
“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya
semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak
cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,
saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping
beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…” (hlm. 15).
(e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam
cerpen ini halaman 16.
”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri.
Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau
melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri,
sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar,
terlalu egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi
engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dan akhirnya amanat (d) dan (e) menjadi kunci amanat yang diinginkan
pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti
yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.
Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk,
pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu
peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar
sosial.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah,
bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada
dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di
surau, dan sebagainya :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan
raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di
jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima,
membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui
sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui
empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan
latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh
yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah
memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu,
misalnya:
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang
mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 8)
“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)
Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-
kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam
cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya
duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat.
Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang
memanggilnya kakek (hlm. 7)
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan
atau cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang
lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara
melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita
peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang
terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis,
vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap
enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini
menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum
ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.
Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan
suara yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan
kami yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling
taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-
Mu, dan lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun
hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah
satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya
seperti ini.
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa
oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang
ke mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.
“ya.Dia pergi kerja.”
Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan
berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu
terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.
Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut.
Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua
bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang
diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen
ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di
sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data
berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan
temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah
yang dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat
dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal
sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-
orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-
apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting,
memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian
yang didalamnya terdapat keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala
permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan
tinggallah surau itu tanpa penjaganya ….
Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang
mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian
cepat berlangsungnya …. (hlm. 8)
Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak
dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan
pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga
ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.
Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan
cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian
tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang
disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu
konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat
disangkal kebenarannya. (hlm . 8)
Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang
berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu
dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.
… Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak
menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada
sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa
sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar
kaki Kakek. (hlm. 8)
Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik
Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan
sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini
bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek
menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.
“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.
“ Kenapa ? “
“ Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok
tenggorokannya.” (hlm. 9)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan
kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di
hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk
menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang
diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan
mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks
kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh
dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan
(surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-
orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara
mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha
untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data
berikut menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku
tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh
lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa
oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang
ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 16-17).
Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan,
benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi
yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu
bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke
dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena
benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu
diceritakan.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau
tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang
memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah
meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang
tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya,
ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.16).
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan
perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-
tokohnya sebagai berikut.
a. Tokoh Aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar
kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan
pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu
perkara orang lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya.
Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang
mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa
ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak.
Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan
istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa
sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).
b. Ajo Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat
menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si
tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku,
Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang
mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini
seperti berikut.
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan
aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa
mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini
jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual,
sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya
menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok
dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)
.
Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta
kerja.
c. Si Kakek
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si
pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan
gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita
Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si
kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang
akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita
Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa
membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi
sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih
besar.
Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri
sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak,
punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…
(hlm.10).
d. Haji Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau
menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh
penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara
jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu
mementingkan diri sendiri.
Titik Pengisahan
Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang
dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam
cerita iu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam cerpen Robonya Surau Kami agaknya A.A. Navis memposisikan
dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara
langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….(hlm.7).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira
menerimaku, karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).
Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku,
dan cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan
dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam
cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau
berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap
mengunakan kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti
orang pertama pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo
Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal
cerita.
Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan
sinisme.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik
dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran.
Adapun hasil analisisnya sebagai berikut.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
b. Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
c. Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
d. Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu
yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir.
Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e. Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
f. Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab
secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh
bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
g. Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan
sinisme.
B. SARAN
Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok jika dijadikan
bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh
siswa SMU. Konflik psikologis, tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari. Selain itu
konflik-konflik psikologis yang dimunculkan masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan
pemikiran siswa SMU. Latar budaya yang ditampilkannya pun masih tampak umum, sehinga siswa yang
berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria ini,
guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu pula dengan siswanya.
Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen tersebut tanpa pernah membaca cerita itu
seluruhnya. Juga, guru harus kreatif ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus
mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode Penelitian Seni Budaya Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI
Jakarta.
Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang.
Hoerip, Satyagraha.1984. Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Prima.
Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.
Sukada, Made.1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi.
Bandung : Angkasa.
Suroto.1989. Teori dan Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta : Erlangga.
Tarigan, Henri Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Menentukan Nilai-nilai dalam Cerpen "Sandal Jepit Merah" Karya S.Rais
Selain dapat dijadikan sebagai salah satu media hiburan, kegiatan membaca cerpen pun dapat memberikan pelajaran berharga bagi kita. Hal tersebut dapat kita petik melalui nilai-nilai yang disampaikan oleh pengarang.Dalam sebuah karya sastra, pengarang seringkali mengekspresikanberbagai fenomena kehidupan. Melalui karya sastra, pengarang dapat mengemukakan pandangan-pandangannya tentang suatu hal dan menyampaikan berbagai nilai kehidupan, seperti nilai moral, nilai budaya, dan nilai sosial.
Berikut nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen "Sandal Jepit Merah" Karya S.Rais:
1. Nilai MoralDalam cerpen tersebut dikisahkan tentang seorang perempuan tua yang memiliki masa lalu yang sangat menyedihkan. Awalnya, perempuan itu hidup bahagia. Akan tetapi, setelah kematian anak semata wayangnya, hidupnya berubah menjadi sebuah kesedihan yang berkepanjangan. Akan tetapi, perempuan itu tidak pernah putus asa. Dia terus berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Bahkan, perempuan tersebut tetap tegar dengan pendiriannya saat dirinya hampir terjerumus ke dalam lembah hitam. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
"Berkali-kali majikannya, seorang bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya sangat kecil. Ia tidak tertarik sedikit pun pada penghasilan yang lumayan besar seperti yang didapat oleh perempuan-perempuan cantik yang sering berkumpul di rumah majikannya itu.Lama-lama ia tidak tahan juga, apalagi setelah sang majikan memaksanya untuk mengikuti keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita tunasusila. Ia bertahan pada pendiriannya dan pergi meninggalkan istana penuh dosa itu."
Dari kutipan tersebut, ada sebuah nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengarang hendak mengemukakan bahwa meskipun kita didera kesulitan hidup, kita tidak boleh terjebak oleh nafsu dunia. Kita harus berpegang teguh pada pendirian kita dan pada ajaran agama.
2. Nilai BudayaNilai budaya merupakan nilai-nilai yang bertolak dari perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Nilai budaya tersebut dapat mencakup berbagai masalah, di antaranya kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap.Dalam cerpen "Sandal Jepit Merah" tersebut, masyarakat yang digambarkan adalah sekelompok orang yang tinggal di kawasan pinggiran kota. Mereka tergolong ke dalam strata sosial menengah ke bawah. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
"Dengan berbekal keterampilan di bidang bangunan, Mamat mampu membiayai hidupnya dan menyewa sepetak kamar di pinggiran kota. Kebahagiaannya makin lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang anak sehat walaupun saat itu usianya baru enam belas."
3. Nilai SosialDalam cerpen tersebut terdapat beberapa nilai sosial yang dikemukakan oleh pengarang. Di antaranya adalah mengenai sulitnya menjalani kehidupan sebagai seseorang yang miskin. Hal tersebut dapat diamati dalam kutipan berikut.
"Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa ijazah pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki."
Dalam cerpen ini, juga ditampilkan gambaran sosial kehidupan perkotaan yang suram. Dalam cerpen tersebut diceritakan mengenai kehidupan tokoh utama yang menyambung hidup di tengah-tengah kezaliman. Ia terpaksa menjadi seorang pembantu rumah tangga di sebuah tempat jual beli narkoba dan tempat lokalisasi wanita tunasusila. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
"Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam yang dikutukinya dalam hati. Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa ijazah pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki. Mungkin keajaiban Tuhan pulalah yang telah menghantarkannya pada pekerjaannya saat ini. Berkali-kali majikannya, seorang bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tunasusila."