nama megawati soekarnoputri diabadikan universitas negeri islam

80
Nama Megawati Soekarnoputri Diabadikan Universitas Negeri Islam Rabu, 19 Oktober 2011 14:50 Array Cetak Ar ray E- mail UIN Maliki Malang Me gawati Soekarnoputri mengaku bangga mendapat kehormatan nama dirinya dan orang tuanya dipercaya sebagai nama gedung di kampus Universitas Negeri Islam Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki), Malang. "Kehormatan luar biasa dalam satu waktu meresmikan dua gedung. Atas nama keluarga besar Soekarno, saya mengucapkan terima kasih atas pemberian nama ini. Mudah-mudahan dapat memacu semangat untuk lebih berkiprah dalam membesarkan Indonesia," kata Presiden ke 5 RI saat meresmikan Gedung Megawati Soekarnoputri di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, Jawa Timur, Rabu (19/10). Presiden ke 5 RI tersebut mengatakan, semula tak menyangka nama

Upload: diana-av-sasa

Post on 02-Dec-2015

71 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Nama Megawati Soekarnoputri Diabadikan Universitas Negeri IslamRabu, 19 Oktober 2011 14:50    Array   Cetak   Array   E-mail UIN Maliki Malang

Megawati Soekarnoputri mengaku bangga mendapat kehormatan nama dirinya dan orang tuanya dipercaya sebagai nama gedung di kampus Universitas Negeri Islam Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki), Malang. "Kehormatan luar biasa dalam satu waktu meresmikan dua gedung. Atas nama keluarga besar Soekarno, saya mengucapkan terima kasih atas pemberian nama ini. Mudah-mudahan dapat memacu semangat untuk lebih berkiprah dalam membesarkan Indonesia," kata Presiden ke 5 RI saat meresmikan Gedung Megawati Soekarnoputri di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, Jawa Timur, Rabu (19/10).

Presiden ke 5 RI tersebut mengatakan, semula tak menyangka nama diabadikan menjadi nama gedung di lingkungan kampus Islam.  Karena itu, beliau berharap adanya gedung ini bisa menjadi dukungan bagi kaum perempuan dalam meraih pendidikan yang lebih tinggi. "Saya tidak menyangka nama saya akan diabadikan di UIN Malang ini. Semoga bisa menjadi dukungan bagi kaum perempuan di sini," ujar Hj. Megawati Soekarnoputri.

Menurut Hj. Megawati Soekarnoputri, takdir sebagai perempuan bukan menjadi halangan untuk menempuh pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Bahkan, lanjut beliau, seorang

perempuan bisa menjadi seorang pemimpin.

Masih menurut Ketua Umum PDI Perjuangan, dirinya berharap UIN Maliki terus meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar lebih baik lagi. "Yang jelas kita jangan kalah dengan negara lain di dunia," harap beliau seraya mengaku bangga melihat perkembangan UIN, yang awalnya hanya sekolah tinggi sudah bisa menjadi universitas.

Untuk diketahui , gedung Megawati Soekarnoputri oleh UIN Maliki nantinya akan dijadikan sebagai ruang kuliah bagi Ilmu-Ilmu Sosial, yakni ilmu tarbiyah, ekonomi, syariah, dan psikologi.  Sementara itu, gedung Dr. Ir. Soekarno akan dijadikan ruang lobi rektorat.

Rektor UIN Malang Imam Suprayogo mengatakan pihaknya mengucapkan  berterima kasih kepada Megawati yang bersedia namanya diabadikan untuk gedung pendidikan di UIN Malang. "Terima kasih kepada ibu Megawati, yang telah bersedia namanya diabadikan untuk gedung di UIN Maliki Malang. Kami akan menauladani sosok ibu Megawati untuk kami dan mahasiswa di UIN ini.” \

Pemberdayaan Perempuan dan Anak Jumat, 12 November 2010 21:00   

                 

                                                                

 

“Soal perempuan bukanlah soal buat perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh soal masyarakat  dan negara  yang amat penting.” Ir. Soekarno dalam Sarinah.

Kondisi dan posisi perempuan di Indonesia masih jauh tertinggal di banding laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan tidak diberdayakan, tidak diperdulikan, dan malahan dianggap menjadi beban pembangunan, terutama di kalangan masyarakat miskin pedesaan. Selain itu, partisipasi kaum perempuan masih perlu ditingkatkan dalam rangka posisi tawar menawar menuju kesetaraan gender.

PDI Perjuangan memandang pemberdayaan perempuan tidak boleh ditunda-tunda lagi karena kaum perempuan adalah aset dan potensi pembangunan nasional. Pemberdayaan yang dilaksanakan oleh PDI Perjuangan bersifat gerakan, yaitu mendorong untuk memberi kesempatan dan membuka peluang bagi masyarakat guna berpartisipasi aktif  dalam kegiatan Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Pemberdayaan tersebut adalah menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan sehingga mereka berdaya dan mampu berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) seperti yang ditekankan oleh Ir. Soekarno.

Pemberdayaan Ekonomi untuk Wong Cilik.Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Anak merancang pelbagai program kerja yang memberikan tekanan khusus kepada masalah ekonomi. Pemberdayaan ekonomi untuk wong cilik. Pasalnya, kaum perempuan dan anak merupakan korban utama kesulitan ekonomi.

Menurut Dra. SB. Wiryanti Sukamdani, selama ini wong cilik kesulitan untuk mendapatkan modal dan tambahan pembiayaan sebab mereka tidak mempunyai agunan. Oleh karena itu, departemen yang dipimpinnya akan mendirikan lembaga pembiayaan, koperasi kredit tanpa agunan.

“Dalam waktu dekat ini kami akan berusaha mendirikan lembaga pembiayaan dengan sistem Grameen Bank, yang mirip koperasi dengan memberikan kredit tanpa agunan. Targetnya adalah orang-orang miskin, yang dinamakan Bung Karno sebagai kaum marhaen seperti, buruh, nelayan, petani, dan pedagang kecil,” jelas Wiryanti.

“Mbok-mbok jamu gendong, pemilik salon rumahan dan usaha skala kecil lainnya merupakan prioritas pertama kami. Kami juga melakukan pelatihan ketrampilan, pelatihan manajemen dan distribusi guna meningkatkan taraf hidup wong cilik,” lanjut Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Anak ini.

Selain mendirikan lembaga pembiayaan ekonomi untuk wong cilik, Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Anak juga merencanakan memberikan pendidikan dan pelatihan, baik melalui jalur formal dan non formal bagi kaum perempuan guna meningkatkan kesetaraan gender.

PIDATO IBU

AMANAT 1 JUNI IBU MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air.

Pada 1 Juni 1945 Bung Karno mengumandangkan sebuah pidato maha penting di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pidato yang kemudian dirumuskan dalam alinea 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan nilai-nilai Pancasila yang digali Bung Karno dari persada Indonesia.

Pidato ini maha penting bagi kita sebagai bangsa karena dua alasan mendasar:

pertama, Pancasila telah menjadi norma fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, serta hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Dasar yang diperlukan sebagai syarat agar kita bisa mengklaim diri sebagai sebuah negara merdeka.

Dalam kedudukan yang demikian, Pancasila telah menjadi roh yang membimbing arah perjuangan mencapai Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh. Tapi lebih dari itu, Pancasila telah menjadi bintang penuntun bagi bangsa ini dalam mengarungi masa depan yang masih jauh membentang di hadapan berlapis-lapis generasi yang akan datang.

Kedua, Pancasila sekaligus telah berfungsi sebagai alat efektif yang mempertautkan bangsa yang bhinneka ini ke dalam keikaan yang kokoh. Pancasila telah menjadi magnet yang memberikan alasan bagi kita untuk menerima kemajemukan sebagai anugrah. Sebuah fungsi instrumentalistik yang efektif dalam menghindarkan bangsa ini dari kemungkinan terjadi sengketa ideologis berkepanjangan yang bagi cukup banyak bangsa baru telah memakan korban anak-anaknya sendiri.

Namun dalam beberapa dekade usaha mengisi kemerdekaan kita menyaksikan, di satu sisi Pancasila telah dipisahkan keterkaitannya dengan penggalinya, dikaburkan pengertian-pengertiannya, diselewengkan, dan akhirnya secara perlahan-lahan ditinggalkan dalam prakteknya. Di sisi lain, keteguhan kita sebagai kekuatan Pancasilais dalam memperjuangkan Pancasila agar menjadi ideologi yang hidup, mengalami perapuhan.  

Untuk itu saudara-saudara, dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila saya amanatkan kepada semua pejuang-pejuang Pancasilais:

Pertama, satukan hati, pikiran, ucapan dan tindakanmu ke dalam satu tarikan nafas perjuangan

mewujudkan Pancasila. Jangan pernah biarkan tindakanmu mengkhianati ucapanmu. Jangan pernah biarkan ucapanmu mengkhianati pikiranmu. Dan jangan pernah biarkan pikiranmu mengkhianati hati nuranimu. Di dalam kesatuan dan keteguhan hati, pikiran, ucapan dan tindakanmu Pancasila akan menampakan kewibawaaannya.

Kedua, jadikanlah gotong royong sebagai intisari Pancasila menjadi cara pikirmu, menjadi cara tuturmu, dan menjadi cara kerjamu dimanapun dan kapanpun. Jangan pernah lelah untuk berpikir dan bertindak secara gotong royong. Hanya dengan cara itu, Pancasila akan menjadi ideologi dinamis yang hidup dan berdialektika di tengah-tengah bangsa yang bhineka ini.

Ketiga, sebagai bangsa yang sedang menjadi – a nation in the making – ingatlah akan pesan Bung Karno, “Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan...”.

Karenanya, berjuang, berjuang dan sekali lagi berjuang di jalan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 harus menjadi elan hidup setiap pejuang pancasilais. Hanya dengan cara itu, kita dapat mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita didirikannya Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Terima kasih.

Merdeka!

Jakarta, 1 Juni 2010

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Pidato Pembukaan Kongres III PDI Perjuangan, Bali, April 2010 Rabu, 12 Januari 2011 11:56    Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam Sejahtera bagi kita semuaOm Swastiastu

 

Sebelumnya, marilah kita lebih dahulu bersama-sama memekikkan salam perjuangan kita,

Merdeka!!!

 

Saudara-saudara Utusan Kongres III PDI Perjuangan, tamu undangan, dan segenap bangsa Indonesia yang saya hormati, cintai dan banggakan,

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah menjaga dan mengantarkan kita kembali ke Bali, tempat dimana kesejarahan PDI Perjuangan ditoreh, dan sekaligus tempat dimana spirit ‘merah’ tetap terjaga.

Kongres PDI Perjuangan III ini diselimuti oleh rasa bela sungkawa mendalam dimana dua tokoh bangsa telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa: yaitu bapak K.H. Abdur Rahman Wahid yang akrab disapa oleh mereka, Gus Dur serta yaitu seorang kader nasionalis yang hidup di tiga zaman yaitu Bapak Frans Seda. Beberapa waktu lalu kita juga kehilangan seorang tokoh PDI Perjuangan yaitu Bapak Subagyo Anam yang hingga akhir hayat terus memberikan sumbangsih bagi Partai. Saya mengajak warga kita semua untuk mendoakan, dan lebih lagi meneladani pikiran dan tindakan mereka dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara khusus saya juga ingin mengucapkan selamat kepada KH Sahal Mahfudz dan KH Said Agil Siraj yang telah terpilih sebagai Rais Aam dan Ketua Tandfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Muktamar ke-32 NU di Makassar beberapa waktu lalu. Saya berkeyakinan, di tangan beliau-beliau ini berdua peran sentral Nahdlatul Ulama sebagai pengawal ke-bhinneka-an Indonesia akan terus dan dapat terjaga.

 

Saudara-saudara utusan peserta Kongres III,Hari ini kita berkongres bukan sekadar untuk memenuhi kalender 5 tahunan partai, bukan pula

sekadar untuk memilih ketua umum atau membagi-bagikan posisi. Tetapi untuk menyalakan kembali suluh perjuangan dan menyatukan diri dalam lengan-lengan perjuangan untuk membangun jiwa dan raga Indonesia merdeka. Mengapa hal ini saya katakan Saudara-saudara? Karena Kongres kali ini dilaksanakan di tengah ingar-bingar politik nasional. Ingar bingar yang sedang menguji apakah jalan demokrasi yang kini kita jalani mampu mengantarkan ke kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik atau justru menjerumuskan kita pada suatu kekelaman sejarah bagi suatua bangsa.

 

Saudara-saudara,Sebagai partai kita boleh berbangga karena di tengah-tengah  ingar-bingar politik nasional, konsolidasi internal tetap berjalan baik. Pelaksanaan konsolidasi Partai yang telah dipandu oleh SK 435 telah mengantarkan utusan-utusan kita ke Kongres III ini.

Harapan saya, pasca Kongres III, energi partai tidak lagi terserap hanya untuk konsolidasi internal. Pembentukan PAC, Ranting, dan Anak Ranting harus bisa diselesaikan tanpa proses yang berlarut-larut. Kita mesti menyediakan lebih besar lagi energi untuk bekerja, bekerja, dan bekerja bersama rakyat.

 

Saudara-saudara para kader Partai yang saya cintai dan banggakan,

Sebagai kekuatan politik PDI Perjuangan sedang dihadapkan pada suatu ujian sejarah yang tidak mudah. Kita disodorkan pada suatu pilihan pragmatis antara koalisi dan oposisi. Saya sungguh berduka karena politik telah direduksi tidak lebih dari sekadar urusan perebutan dan pembagian kekuasaan antar kekuatan politik, antar elit politik. Saya berduka karena pemahaman di atas meninggalkan inti etis dan ideologis dari politik sebagai suatu seni dan sarana kebudayaan rakyat untuk mewujudkan suatu kedaulatan politik, keberdikarian ekonomi, dan jati-diri kebudayaan kita sebagai bangsa merdeka.

 

Dalam kesempatan ini saya perlu tegaskan bahwa cita-cita yang melekat dalam sejarah Partai kita jauh lebih besar dari sekadar urusan kursi di parlemen, atau sejumlah menteri, ataupun juga sampai melangkah ke istana merdeka, saudara-saudara. Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik seperti yang dilakukan Bung Karno adalah lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Saya ingin tegaskan bahwa dalam dialektika dengan rakyat tugas sejarah setiap kader akan dinilai dan tugas sejarah dari partai akan ditimbang. Saya berkeyakinan, dalam kegotong-royongan dan permusyawaratan dengan rakyat, masa depan PDI Perjuangan akan menemukan kembali puncak keemasannya. Karenanya, karenanya saudara-saudara sebagai kader, kita harus berbangga bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan, tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama-sama tertawa dengan

rakyat, saudara-saudara.

 

Sebagai partai ideologis posisi kita sangat jelas: kita tidak akan pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada wong cilik. Apalagi dari sudut ketata-negaraan yang kita anut, diskursus mengenai oposisi-koalisi tidak punya pondasi untuk diperdebatkan. Kita tidak perlu terjebak dalam diskursus semacam ini.

 

Penegasan di atas tidak berarti PDI Perjuangan anti kekuasaan. Tetapi ini untuk menegaskan bahwa jika kita harus memegang tampuk pemerintahan, biarkan itu terjadi karena kehendak rakyat, saudara-saudara. Dan sebaliknya, jika rakyat menghendaki kita menjadi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks and balances bisa berjalan, biarkan pula itu atas kehendak rakyat yang kita cintai, saudara-saudara.

 

Sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang, kita bukan saja diwajibkan untuk mengkritik. Tapi juga untuk mengajukan berbagai alternatif kebijakan. Bagi kepentingan bangsa ini, hal ini sangat strategis karena akan tersedia pilihan-pilihan yang semakin beragam bagi masyarakat  sendiri untuk memilih.

 

Saudara-saudara utusan kongres yang saya cintai,Posisi di atas adalah wujud tanggung-jawab kita sebagai kekuatan politik; tanggung-jawab kita untuk menjaga agar demokrasi yang sehat dapat tetap bekerja dengan sebaik-baiknya. Tanggung-jawab untuk memberikan pendidikan politik bahwa moral politik yang paling sederhana yang dituntut dari seorang pemimpin yang betul-betul revolusioner adalah satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan. Posisi di atas sekaligus adalah wujud penghormatan kita pada pilihan rakyat. Saya sangat berharap, agar pilihan PDI Perjuangan ini bisa dihormati oleh semua pihak.

Rakyat memilih ketika pemilu, karena visi dan misi. Karenanya, menurut saya adalah suatu hal yang aneh, kalau yang namanya saya itu kok terus menerus disuruh bergabung, saya punya misi dan visi sendiri bagi rakyat ini

 

Saudara-saudara sekalian,Jika kita mau sedikit merenung, maka kita pasti akan sampai pada keyakinan bahwa kegagalan kita dalam memaknai garis sejarah sebagaimana saya sampaikan di atas merupakan inti sebab dari ditinggalkannya PDI Perjuangan dalam dua pemilu yang lalu. Kemerosotan suara, ingat!

adalah teguran rakyat agar kita kembali ke takdir sebagai sarana dan wadah perjuangan rakyat. Saudara-saudara-ku, ingatlah akan hal ini: rakyat tidak akan pernah ragu-ragu untuk kembali menegur dengan cara lebih keras di tahun 2014 nanti, jika kita gagal kembali ke jalan ideologis kita.

Sudah saatnya kita menyadari untuk kemudian bangkit membenahi segala kekurangan dan kelengahan kita selama ini. Sudah saatnya kita menata ulang seluruh perangkat perjuangan untuk kemudian menatap dengan penuh optimisme bahwa partai ini adalah partainya wong cilik dan dipersembahkan bagi mereka. Sudah saatnya PDI Perjuangan kembali aktif dalam membangun solidaritas horizontal bersama rakyat untuk membuat lompatan kualitatif. Sudah saatnya PDI Perjuangan kembali menjadi kekuatan yang merajut keaneka-ragaman kita ke dalam satu kesatuan tekad, satu kesatuan jiwa, dan satu kesatuan gerak.

Saya mengajak setiap warga partai dimanapun mereka berada mari kita jadikan lima tahun kemarin sebagai pelajaran berharga, dan kita jadikan lima tahun ke depan sebagai tahun-tahun PERUBAHAN & KEBANGKITAN KEMBALI, saudara-saudara.

Ini mengingatkan saya, pada tahun tahun sulit yang pernah dilewati oleh Bung Karno, dan hingga hari ini masih terngiang di telinga saya, kata-kata Beliau:  “Majulah terus, jangan mundur, mundur-hancur, mandeg ambleg; bongkar, maju terus, kita tak bisa dan tak boleh berbalik lagi. Kita telah mencapai suatu point of no return !!!”, saudara-saudara.

Untuk itu, kita tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke jati diri sebagai partai yang mempunyai ideologis.

 

Saudara-saudara,Menjadi partai ideologis bukanlah suatu pilihan yang mudah. Perkembangan sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan besarnya tantangan yang harus kita jawab. Kita dihadapkan pada rendahnya kecakapan dan tidak tersedianya media bagi partai dalam mengelola opini dan membangun komunikasi. Kita bahkan belum memiliki sistem data base yang handal sebagai dasar pengambilan keputusan.

Kita dihadapkan pada keterbatasan sumber pembiayaan di tengah-tengah kebutuhan anggaran pengelolaan partai yang semakin besar. Kita dihadapkan pada kelangkaan kepemimpinan baik secara kualitas maupun kuantitas. Pengaturan kelembagaan partai kita masih terpusat pada satu tiang penyanggah, yakni organisasi partai dari DPP hingga anak ranting saja. Kita membiarkan tangan-tangan partai yang mengelola kekuasaan dan pemerintahan tidak diatur dalam AD/ART partai. Ini menimbulkan kesulitan dalam membangun koordinasi dan sinergi lintas pilar penyangga partai. Kita akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan, meluasnya kecenderungan fraksi berjalan sendiri-sendiri atau sebaliknya kegagalan struktural partai dalam memberikan arahan bagi fraksi dan dalam membangun komunikasi dan sinergitas dengan kepala daerah.

Kita dihadapkan pada persoalan kaderisasi dan penataan jenjang karier yang belum terlembaga dengan baik. Kita juga dihadapkan pada belum terlembaganya sistem dan mekanisme rekrutmen yang membuat proses regenerasi berjalan lamban dan kesulitan mendatangkan tunas-tunas harapan bangsa yang dipersiapkan untuk menjadi calon pemimpin partai dan bangsa ke depan.

 

Regenerasi memang tidak secepat yang kita harapkan. Tetapi kita jangan salah kaprah seakan proses regenerasi tidak terjadi. Cobalah tengoklah ke daerah-daerah, cukup banyak tunas-tunas baru yang tumbuh. Tengoklah di parlemen kita, semakin banyak generasi muda berkiprah. Merekalah yang telah siap menyatakan diri memimpin bukan saja PDI Perjuangan, tetapi  juga  menjadi pemimpin bangsa yang di masa datang yang saya yakin tidak terlalu lama lagi.  Saudara-saudara.Melihat semua ini saya sering merenung dan berkata pada diri saya sambil menertawakan diri saya; “Bagaimana Saya bisa belajar pada suatu partai yang dalam waktu begitu cepat bisa naik sampai 300%.”

 

Saudara-saudara,Saya ingin belajar kiatnya karena PDI Perjuangan juga berkeinginan seperti itu saudara-saudara.PDI Perjuangan juga dihadapkan pada rendahnya disiplin warga partai sebagai salah satu tulang punggung tegaknya partai ideologis. Kita dihadapkan pada kemerosotan militansi anggota. Voluntarisme dan aktivisme memudar sebagai elan berpolitik digantikan dengan pertimbangan “untung-rugi”. Ditinggalkannya TPS oleh saksi Partai pada pemilu legislatif dan pilpres adalah suatu contoh kecil, saudara-saudara.

 

Dari sisi eksternal, tantangan bagi PDI Perjuangan untuk kembali ke jalan ideologis juga tidak ringan.PDI Perjuangan harus bekerja dalam situasi psiko-politik “anti-partai” dan “anti-ideologi”. PDI Perjuangan harus bekerja dalam suatu masyarakat yang semakin pragmatis, transaksional, dan berpikir instant untuk kepentingan individual berjangka pendek. Kita harus bekerja dalam situasi dimana sebagian pihak menganggap bahwa menduduki jabatan publik melalui jalan partai adalah jalan baru bagi keamanan ekonomi. Partai bukan lagi sebagai alat ideologi, alat perjuangan tapi alat akumulasi ekonomi. Partai menjadi sarana transportasi cepat untuk keuntungan ekonomi individual, bukan lagi sarana untuk mewujudkan kepentingan rakyat, saudara-saudara.Kita juga harus bekerja di dalam situasi ”citra” menjadi daya tarik baru yang jauh lebih kuat ketimbang ideologi. Kita harus berhadapan dengan sebuah rezim politik yang cenderung menggunakan metode menghalalkan cara dalam mencapai tujuan politiknya sebagaimana digambarkan oleh kekacauan luar biasa pada pemilu legislatif dan presiden yang baru lalu.Saya banyak keliling ke daerah-daerah saudara-saudara, saya bukanlah orang yang hanya menunjuk jari, di daerah-daerah saya melihat bagaimana banyak orang tidak diberi kesempatan

untuk bisa ikut memilih.Menjadi kader-kader yang menempatkan keutamaan keuntungan diri sendiri ketimbang bagi rakyat. Kesemua tantangan di atas, baik internal maupun eksternal perlu disikapi oleh Kongres III kali ini. Hanya dengan cara itu, partai bisa melangkah dengan lebih meyakinkan lagi. Tetapi saya perlu garis-bawahi, Kongres bukan saja perlu menegaskan kembali Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi partai yang bersifat final. Tetapi juga harus mengembangkan instrumen agar Pancasila dapat bekerja dalam partai, dapat menjiwai keseluruhan program dan sikap Partai, serta dapat menjadi karakter politisi partai.Saya ingin mengucapkan terimakasih yang setinggi-tinggi pada Pimpinan MPR yang telah dengan sekuat tenaga mendorong pemerintah untuk menetapkan 1 Juni, Pancasila  1 Juni 1945 untuk bisa disosialisasikan bagi seluruh bangsa dan negara, saudara-saudara.

 

Saya juga perlu menegaskan bahwa kemerosotan suara kita dalam pemilu lalu adalah juga produk dari penyelenggaraan demokrasi yang manipulatif. Pemilu Legislatif dan Presiden 2009 secara terang benderang telah mendemonstrasikan watak manipulatif dari proses berdemokrasi kita. Kita menyaksikan, karut-marutnya Daftar Pemilih Tetap  atau DPT yang telah menghilangkan secara paksa dan sistematis hak politik warga negara. Bahkan lebih lagi, merupakan perampasan secara paksa atas hak konstitusional warga-negara. Kita seharusnya bersedih karena keseluruhan proses Pemilu 2009 yang memakan biaya yang sangat besar justru meninggalkan begitu banyak catatan hitam dalam sejarah politik Indonesia.

 

Saudara-saudara,Sebagai Presiden pada tahun 2004, saya telah mencoba dengan susah payah membangun sistem demokrasi yang dikehendaki dalam alam reformasi agar Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada saat itu, tidak terpikirkan sedikitpun oleh saya untuk menciderai jalannya demokrasi. Karena saya berkeyakinan, rakyat adalah yang berhak untuk mendapatkan kembali kedaulatannya sebagai penentu kehidupan politik, setelah sekian lama dibungkam. Meski saat itu saya dikalahkan tetapi saya berbangga dan berkeyakinan bahwa dalam jangka panjang demokrasi yang telah diletakkan akan menjadi jalan keluar bagi kesejahteraan rakyat serta bagi terpeliharanya kemajemukan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, saudara-saudara. Ternyata keyakinan saya di atas tidak sepenuhnya benar.

 

Pemilu 2009 menunjukkan, politik kehilangan watak aktivisme dan voluntarismenya. Yang kita saksikan justru politik sebagai melodrama, berpola seperti sinetron yang sarat dengan belas-kasihan dan kepura-puraan. Politik juga menjadi kehilangan ‘keutamaan’ dan ‘moralitas’ karena hampir sepenuhnya hanya dipersembahkan untuk kekuasaan.

Sebagai pilar negara demokrasi, partai berubah fungsi menjadi sekedar “penjual tiket” kekuasaan. Yang terjadi kemudian, hubungan politik antara rakyat dan partai, dan rakyat dan elit menjadi

pola hubungan transaksional, hubungan “untung-rugi”. Pola hubungan yang mendewakan hanya “materi”. Pola hubungan yang mendewakan materi di atas memang tampak menguntungkan hanya untuk jangka pendek, saudara-saudara. Ada hal yang jangan dilupakan, yakni berapa lama hal itu bisa berlangsung sementara tujuan masyarakat adil dan makmur semakin jauh dari kenyataan? Bukankah proses ini hanya akan berakhir dengan kaum papa yang akan semakin papa dan terus termarjinalkan? Itukah yang kita inginkan dan bangsa Indonesia perjuangkan selama ini?

Hal-hal di atas mencemaskan karena moralitas negara demokrasi yang dibangun melalui partai, idealnya dimaksudkan agar pendidikan politik kewarganegaraan dapat diwujudkan. Partai adalah “taman sari” untuk menyiapkan kader-kader pemimpin bangsa dan negara guna mengisi sirkulasi kekuasaan secara damai. Tugas etis partai di atas dalam kenyataannya di-subkontrakkan kepada segelintir konsultan politik yang menghasilkan deretan angka yang menghegemoni masyarakat. Akibatnya,  prinsip dikalahkan oleh citra dan pendidikan politik digantikan dengan indeks kepuasan publik belaka.

Inilah hal-hal yang perlu kita semua renungkan kembali. Apakah realitas seperti ini yang kita kehendaki bagi masa depan Indonesia kita? Realitas dimana survei dan indeks kepuasaan menjadi lembaga dan instrumen baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Realitas dimana citra dikedepankan tetapi di saat yang sama, membiarkan tugas sejarah mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum serta melahirkan Indonesia yang bermartabat, menjadi sekadar pekerjaan seolah-olah.

 

Akhirnya secara realita hanya kaum berpunya yang bisa memiliki akses ke politik dan membiarkan rakyat kebanyakan sekadar sebagai penonton yang hanya menikmati sekadar keuntungan ribuan rupiah dalam setiap siklus pemilihan umum. Realitas dimana rakyat kehilangan kemandiriannya dalam politik.

Saya sering bertanya-tanya, apa salahnya kalau rakyat ingin mandiri? Apa salahnya kalau ingin mewujudkan rakyat berdikari? Bukankah suatu bangsa yang berdikari harus ditopang oleh rakyat yang dapat berdiri di atas kakinya sendiri, saudara-saudara. Karena melihat pada hal-hal di atas, kita bukan saja dituntut untuk bergotong-royong dan bermusyawarah dengan rakyat sebagai inti berpolitik PDI Perjuangan, partai kita. Tetapi juga, harus dapat mengorganisir kekuatan rakyat untuk menjaga agar watak manipulatif di atas tidak akan pernah berulang di 2014 nanti. Rakyat perlu sekali lagi diorganisir agar keutamaan dan moralitas kembali menjadi prinsip-prinsip dasar dalam berpolitik. Lebih lanjut rakyat perlu diorganisir agar terbangun kesadarannya untuk melawan citra bahwa bukan sebagai satu-satunya ukuran berpolitik.

Semua di atas harus semua kita tata kembali. Hal ini bukan saja untuk menjamin prinsip-prinsip jujur dan adil langsung umum bebas dan rahasia  bisa ditegakan sehingga kita boleh bertepuk

dada sebagai suatu negara demokrasi terbesar nomor 3 di dunia. Tetapi, juga agar kita boleh meletakkan budaya politik baru: menang secara terhormat, kalah secara bermartabat.

 

Saudara-saudara yang saya cintai,Penegasan jalan ideologis yang memihak pada rakyat kecil di atas bukan saja penting bagi masa depan PDI Perjuangan. Tetapi sangat fundamental bagi masa depan bangsa ini. Mengapa? Jawabannya sederhana: sebuah bangsa yang tidak dibangun di atas fondasi ideologi, ibarat membangun rumah di atas pasir; terkena angin sedikit sirnalah dia. Ia bukan saja akan terombang-ambing, akan tetapi mudah tersapu oleh zaman. Tanda-tanda zaman yang akan menyapu bangsa ini kini berada di hadapan mata kita: sebagai bangsa kita kehilangan kedaulatan dalam bidang politik, kita kehilangan kemandirian dalam bidang ekonomi, dan kita kehilangan identitas dalam kebudayaan. Inikah Indonesia yang dibayangkan oleh para pejuangan dan Proklamator Bangsa?

Apakah salah jika kita mencita-citakan ingin berdaulat dalam bidang politik? Kemandirian di bidang ekonomi? Identitas budaya kita jelas.

Pengalaman sejumlah negara adidaya akhir-akhir ini menunjukkan sebuah bangsa bukan saja membutuhkan ideologi, tapi ideologi yang didedikasikan bagi mayoritas rakyat. 100 tahun lalu tidak terpikirkan bahwa jalan kapitalisme dari negara-negara di atas akan membawa mereka ke suatu krisis yang mendalam. Sebagai seorang pemikir, Bung Karno telah memprediksi sejak tahun 1930: saya sitir, beliau mengatakan kapitalisme mengandung kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Ia pasti akan memakan anaknya sendiri. Dan inilah yang sedang kita saksikan. Sebagai bangsa, sudah tentu kita tidak ingin berjalan di rel yang keliru. Kita sudah memiliki Pancasila 1 Juni 1945. Itulah jalan yang telah kita pilih sebagai suatu keyakinan tanpa ragu, saudara-saudara.

 

Berbagai kehilangan di atas disebabkan karena kita tidak waspada. Kita mengira era pertarungan ideologi telah berakhir. Padahal realitas di sekitar kita mengatakan dengan jelas: inilah era puncak pertarungan ideologi dalam berbagai bentuk baru dan menjangkau setiap sendi kehidupan. Saya akan memberikan 2 contoh, yakni demokrasi dan pengelolaan pemerintahan guna menjelaskan hal ini.

 

Demokrasi Indonesia yang telah lama kita perjuangkan bukanlah suatu ruang kosong yang bekerja secara metafisis ataupun mekanis. Ia adalah medan peperangan ideologi. Demokrasi prosedural yang kini kita jalani berangkat dari kutub ideologi liberal-individual. Sebagai ideologi ia memberikan mekanisme dan jaminan berkompetisi dan melahirkan pemenang dan pecundang. Demokrasi liberal tak akan pernah menjadi bentangan karpet merah menuju keadilan sosial bagi segenap tumpah darah Indonesia. Ia bukan pula jalan bagi penguatan partisipasi rakyat.

Demokrasi semacam ini bisa jauh lebih buruk lagi, ketika dia dibangun di atas politik pencitraan dan bekerja untuk melindungi citra itu semata-mata. Demokrasi Indonesia mestinya dibangun di atas keutamaan kolektivitas, dijalankan melalui musyawarah untuk mufakat, dan bekerja di tengah-tengah keyakinan akan kebhinnekaan sebagai anugrah Alllah  Subhana wa ta’ala.  Ia adalah demokrasi yang konon kata para ahli adalah demokrasi deliberatif.

Saudara-saudara utusan Kongres ke III,Pengelolaan pemerintahan kita akhir-akhir ini juga menunjukkan wataknya yang semakin menjauhi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa? Kecenderungan menciptakan semakin banyak lembaga menyebabkan fragmentasi pemerintahan yang serius. Setiap hari media massa menyajikan betapa kronisnya fragmentasi yang terjadi akibat dari tidak adanya tuntunan ideologis yang jelas. Akhirnya sangat jelas: suatu kekacauan pengelolaan pemerintahan.

Salah satu bukti dari terjadinya kekacauan pengelolaan pemerintahan yang masih up to date dewasa ini adalah kasus Bank Century. Kasus ini adalah merupakan hanya salah satu puncak gunung es dari kekacauan tata-kelola pemerintahan. Kita sudah menyatakan sikap dengan jelas melalui Fraksi PDI Perjuangan: kebijakan pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek  atau FPJP dan Penyertaan Modal Sementara atau PMS adalah salah. Karenanya, kepada Fraksi sudah saya perintahkan untuk memilih opsi C dan terus mengawasi proses penyelesaian kasus ini dalam batas-batas kewenangannya.

Dengan kesepakatan DPR telah menunaikan kewajiban konstitusional-nya untuk menuntaskan kasus Bank Century ini. Kini giliran pemerintah dan terutama presiden untuk menindak-lanjuti dan menuntaskannya melalui saluran hukum.

Perlu saya tegaskan, rakyat sendiri harus aktif terlibat dalam mengawasi. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi, juga perlu melalukan fungsi pengawasannya. Kita tidak bisa membiarkan proses yang ada hanya diawasi oleh lembaga-lembaga formal saja. Mengapa? Karena  pengalaman masa lalu telah mengajarkan kepada kita, sejumlah keputusan DPR yang perlu ditindak-lanjuti pemerintah justru menguap tanpa jejak.

 

Saudara-saudara utusan Kongres yang saya cintai dan banggakan,Saya menyadari sepenuhnya bahwa perjuangan tidak akan pernah sampai ke akhir tujuannya hanya dengan ideologi. Perjuangan tak akan pernah mencapai terminalnya hanya dengan retorika belaka. Untuk bisa bekerja efektif, ideologi membutuhkan kader. Ideologi membutuhkan pemimpin. Ideologi membutuh organisasi dan manajemen yang baik. Ideologi membutuhkan aturan bermain. Ideologi membutuhkan kebijakan. Ideologi membutuhkan program yang merakyat. Ideologi membutuhkan sumber-daya.

Saya berharap, hal-hal strategis di atas bisa diputuskan oleh Kongres sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam partai. Karenanya, saya minta pada setiap utusan Kongres III kali ini untuk menyadari dengan sepenuh-penuhnya, sejarah sedang memberikan kesempatan bagi kita,

kesempatan emas untuk bangkit. Gunakanlah kesempatan sejarah ini untuk menghasilkan keputusan yang sebaik-baiknya bagi partai, bangsa dan negara.

 

Untuk itu, mari kita kembali ingat akan kata-kata Proklamator kita, Bung Karno, beliau mengatakan, mengambil kata-kata ini dari bahasa Sansekerta:

“KARMA NEVAD NI ADIKARASTE MA PHALESHU KADA CHANA”,

“Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitungkan akibatnya!”.

Kata-kata di atas, adalah tulisan tangan Bung Karno yang dikutip dari Percakapan Kedua, Kitab Baghawad Gita. Kata-kata di atas adalah sebagian dari nasihat Kresna pada Arjuna di medan perang Kurusetra. Nasihat yang disampaikan setelah Arjuna nampak bimbang menghadapi lawan-lawannya yang adalah para guru dan sanak-saudara sendiri.

Tuhan pasti memberikan jalan bagi kita semua.

Kader Partai yang saya cintai dan banggakan, saudara sebangsa dan setanah air

 

Mengakhiri pidato ini, ijinkan saya dan seluruh jajaran DPP PDI Perjuangan yang nanti akan segera demisioner, menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kepercayaan warga PDl perjuangan terhadap saya dalam memimpin partai ini selama lima tahun.

 

Terimakasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada daerah-daerah yang dengan keras telah mampu mempertahankan, bahkan menaikkan jumlah perolehan suaranya dalam Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden.

Silahkan berdiri daerah-daerah yang telah memenangkan PDI Perjuangan, Bali, Kalbar....

Terimakasih dan penghargaan saya sampaikan kepada sesepuh partai yang telah banyak membantu kerja partai melewati masa-masa yang tidak mudah.

Kepada Panitia Kongres yang telah bekerja dengan sangat keras selama berbulan-bulan dalam mempersiapkan Kongres ini supaya sukses, terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada pemerintah Provinsi dan warga Bali, ucapan terimakasih atas bantuan dan sambutannya yang selalu meriah bagi PDI Perjuangan.

Pada aparat keamanan, terimalah rasa terimakasih dan hormat kami atas segala kerja keras sehingga penyelenggaraan Kongres III ini bisa berjalan tanpa gangguan.

Terimakasih juga saya sampaikan pada para pengamat yang telah berkeinginan meluangkan waktu untuk hadir di arena Kongres III kali ini. Mudah-mudahan apa yang telah dilihat menjadi bermanfaat.

Dan terakhir, terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada rekan-rekan wartawan yang telah menjadi sahabat PDI Perjuangan bukan pada saat ini belaka, tetapi dari sejak dulu ketika PDI Perjuangan dibentuk.

 

Saudara-saudara,

Jalan Pancasila 1 Juni 1945 yang ditopang oleh 3 pilar bernegara lainnya, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika yang kita pilih adalah jalan tunggal bagi PDI Perjuangan dalam “Berjuang untuk kesejahteraan rakyat” yang menjadi tema Kongres III kali ini.

 

Akhirnya, dengan rasa gembira mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Kongres ke-III PDI Perjuangan secara resmi saya buka.

 

Terima kasih,

Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam Sejahtera bagi kita semua,

Om Santi Santi Om.

 

Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!

 

 

Megawati Soekarnoputri

KETUA UMUM PDI PERJUANGAN

  Pidato Politik Ketua Umum PDI Perjuangan pada HUT XXXVIII PDI Perjuan

Pidato Politik Ketua Umum PDI Perjuangan pada HUT XXXVIII PDI Perjuangan Rabu, 12 Januari 2011 11:29   

Assalamualaikum Warahmatullahi WabarakatuhSalam Sejahtera bagi kita semuaOm Swastiastu

Sebelumnya, marilah kita terlebih dahulu bersama-sama memekikkan salam perjuangan kita,Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!

 

Saudara-saudara se-bangsa dan se-tanah air, tamu undangan yang saya hormati, serta kader dan simpatisan PDI Perjuangan yang saya cintai dan banggakan.Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa,  atas segala rahmat dan hidayahNya yang telah menjaga kita selama tahun 2010, serta mengantarkan kita memasuki tahun 2011 dengan selamat sentosa. Secara khusus kita bersyukur karena atas rahmatNya, PDI Perjuangan tetap bertahan melewati tahun-tahun perubahan politik yang sangat dinamis dan sulit. Dengan bertambah usianya PDI Perjuangan, semakin memberikan kesempatan untuk mengabdi pada ibu pertiwi dalam perjuangan mencapai cita-cita Indonesia merdeka, yakni Indonesia yang berdaulat secara politik; Indonesia yang berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) di bidang ekonomi; dan Indonesia yang tetap mampu

menjaga karakter dan kepribadian budayanya sebagai sebuah bangsa yang bermartabat.

Kita harus bersyukur karena rentang panjang sejarah kepartaian di bumi tercinta ini telah membuktikan: tidak banyak kekuatan politik yang bisa terus bertahan dan memberikan sumbangsihnya bagi rakyat, bangsa dan negara untuk waktu yang panjang. Sejarah membuktikan, banyak partai-partai lahir dan mati, bukan saja wadahnya, tapi juga ruhnya, ideologinya. Bahkan sejak memasuki era reformasi, kita menyaksikan begitu banyaknya partai politik yang hanya bisa bertahan seumur jagung, kemudian musnah dan akhirnya dilupakan sejarah. Sementara PDI Perjuangan tetap diberi anugerah panjang usia yang memungkinkan kita berkumpul hari ini untuk merayakan Ulang Tahun yang 38.

 

Saudara-saudara,Ulang tahun adalah peristiwa istimewa. Tetapi ia menjadi istimewa bukan saja karena pertambahan usia semata. Ulang tahun menjadi istimewa karena ia memberikan alasan etis dan menjadi momentum yang bersifat spiritual untuk merenungi, berkontemplasi dan memetik pelajaran dari satu tahun perjalanan yang baru saja kita lewati bersama. Tanpa itu, ulang tahun tak akan memiliki makna apapun, tapi hanya sekadar sebagai kelebatan waktu yang tak menyisakan arti, lewat begitu saja.

Sebelum saya menyampaikan hal-hal pokok yang perlu kita renungkan bersama, ijinkanlah saya pada kesempatan ini menyampaikan selamat Natal bagi umat Kristiani dimanapun saudara-saudara berada. Kiranya “kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi” beserta saudara-saudara sekalian. Dan selamat tahun baru bagi setiap warga bangsa disertai doa, semoga tahun 2011 dapat memberikan harapan dan semangat baru untuk kehidupan yang lebih baik bagi kita semua. Amin.

Saudara-saudara,Pada momentum Ulang tahun PDI Perjuangan di tahun 2007 yang lalu, saya mengawali pidato dengan mengangkat problema dasar salah satu kegagalan negara di dalam meletakkan dasar-dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Dan hari ini, saya harus kembali mengungkapkan sejumlah  tragedi yang sama di hadapan saudara-saudara. Mengapa? Sebab fakta menunjukkan bahwa negara masih tetap jauh dari kemampuannya untuk meletakkan pondasi dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.

Persoalan ini perlu digarisbawahi kembali, karena seperti yang saya sampaikan dalam pidato Pembukaan Kongres III di Bali, bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik adalah pilihan ideologis dan sekaligus takdir sejarah kita sebagai partai politik. Pilihan ideologis dan takdir sejarah ini melampaui jabatan apapun. Karena itulah kita tidak boleh lelah memperjuangkan dan menyuarakan hal tersebut. Apalagi, fakta-fakta dalam beberapa tahun ini menunjukkan bahwa harapan wong cilik untuk merasakan kesejahteraan yang berkeadilan sosial

semakin jauh dari kenyataan.

 

Saudara-saudara yang saya cintai,Bagi PDI Perjuangan Pancasila 1 Juni 1945 adalah ideologi dan sekaligus metode berpikir. Dengan Pancasila, kita bisa membedah dengan lebih cermat berbagai kontradiksi dalam pengelolaan negara saat ini. Kita bisa menyaksikan bagaimana gambaran sukses pembangunan lebih sering ditampilkan melalui keberhasilan statistik makro ekonomi. Kita juga bisa menyaksikan bagaimana lambannya penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan di tengah-tengah peningkatan secara dramatis anggaran yang disediakan untuk itu. Itukah yang dimaksudkan dengan keberhasilan?

 

Mereka lupa adanya fakta sederhana bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan secara statistikal tidak berbanding lurus dengan peningkatan tingkat kesejahteraan rakyat. Pada saat bersamaan, pemerintah seharusnya mendengar jeritan rakyat atas kenaikan harga berbagai kebutuhan dasar, yang sudah melebihi daya beli rakyat. Bahkan, untuk kesekian kalinya, rakyat menjadi korban hanya untuk sekedar mendapatkan makan. Oleh karena itu, tidak boleh terjadi lagi, rakyat kecil bunuh diri hanya karena tidak mampu menanggung beban hidup yang semakin berat sebagaimana telah terjadi di Cirebon, Kebumen, dan beberapa daerah lainnya. Inilah gambaran, betapa sulitnya rakyat berjuang hidup-mati hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Bukankah konstitusi menjamin penghidupan yang layak bagi warga negaranya? Kemana alokasi anggaran yang ribuan trilyun rupiah tersebut? Sudah saatnya kita hentikan pameran keberhasilan indikasi makro ekonomi, dan menggantikannya dengan gerakan ekonomi kerakyatan, yang bertumpu pada kekuatan rakyat, agar terjaminlah kebutuhan dasar rakyat.

 

Saudara-saudara,Kita juga menyaksikan terjadi pengurangan sistematis subsidi untuk rakyat atas nama kepentingan publik. Pada saat bersamaan, pemborosan anggaran belanja aparatur negara terus berlangsung tanpa keberanian untuk melakukan koreksi. Kita juga menyaksikan bagaimana pemerintah terus mendewakan impor barang sebagai penyelamat, dan membiarkan ketergantungan atas sumber pembiayaan APBN dari pinjaman luar negeri yang berdampak pada melunturnya ketahanan dan kemandirian kita sebagai sebuah bangsa. Kita juga melihat bahwa keberhasilan Bursa Efek Indonesia sebagai bursa terbaik di Asia Pasifik lebih ditonjolkan, sementara kerawanan pelarian modal asing yang spekulatif terus saja mengancam. Apabila kebijakan ini tidak berubah, maka stabilisasi mata uang rupiah akan terus menjadi pekerjaan berat kita. Membengkaknya defisit neraca Bank Indonesia harus dicermati sebagai mahalnya ongkos stabilisasi dan lemahnya daya dukung sektor riil. Karena itulah, hentikan pengungkapan keberhasilan statistikal tersebut. Tidak ada salahnya, apabila kita memperkuat peran negara, sehingga Indonesia tidak menjadi korban dari pertarungan berbagai mata uang dunia seperti

Euro, Yen, dan Yuan.

 

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,Hal-hal itulah yang membuat saya terus khawatir bahwa sistem ekonomi yang kita bangun semakin jauh dari sistem ekonomi yang menjadi amanat konstitusi. Karena itulah, wajar kalau kita bertanya, inikah arah pengelolaan ekonomi yang akan menuntun ke arah keberdikarian dalam bidang ekonomi? Ataukah sebaliknya, justru menjadi jalan cepat menuju ketergantungan ekonomi yang bersifat permanen pada kekuatan asing. Saya berpendapat, bahwa kita tidak bisa menunda lagi untuk mewujudkan keberdikarian ekonomi kita. Lebih-lebih kalau kita melihat resesi yang kini terjadi di Amerika Serikat, dan krisis ekonomi di beberapa negara di Eropa. Krisis yang terjadi di kedua kawasan tersebut pada akhirnya tetap memerlukan campur tangan negara. Bahkan di kawasan itulah kembali terbukti, bahwa kepentingan nasional suatu negara akhirnya menjadi hukum tertinggi di dalam membangun kedaulatan ekonomi setiap bangsa. Inilah yang seharusnya kita lakukan guna membangun kepercayaan diri kita, untuk berani menyatakan bahwa pengolahan sumber daya alam, harus kita prioritaskan pada kemampuan nasional. Pling tidak, kita harus mampu mencukupi kebutuhan pokok secara mandiri untuk pasar dalam negeri kita. Inilah yang saya maksudkan sebagai prinsip berdiri di atas kaki sendiri. Saya tidak anti asing, namun marilah kita letakkan skala prioritas pengabdian pada kepentingan nasional. Setidak-tidaknya dalam bidang pangan, energi, keuangan dan pertahanan, pilar-pilar ekonomi berdikari dapat diletakkan. Percayalah, bahwa kita bisa bangkit. Kita bisa menjadi bangsa besar. Kita bisa berdikari. Sebab kita memiliki modal, berupa keanekaragaman kekayaan alam, tanah air yang subur, keindahan alamnya, keanekaragaman suku, agama, budaya, yang semua terangkai bagaikan zamrud katulistiwa. Inilah modal besar yang harus terus menerus kita syukuri dan kembangkan. 

 

Saudara-saudara yang saya cintai,Dari sudut pandang Pancasila, tujuan pembangunan ekonomi sangat sederhana dan jelas, yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan azas kemanusiaan dan kekeluargaan. Hal ini diamanatkan dalam konstitusi utamanya Pasal 23, Pasal 27, Pasal 33 UUD 1945. Amanat yang menekankan bahwa kedaulatan rakyat dan negara di ranah ekonomi tidak boleh digusur atau dipertukarkan dengan kedaulatan pasar dan korporasi. Mengapa? Karena kita berkeyakinan, bahwa berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dalam bidang ekonomi tidak bisa tidak mengharuskan kita untuk memberikan peran yang lebih besar bagi rakyat sebagai kekuatan produktif bangsa, dan mewajibkan negara untuk bertanggungjawab dalam ranah ekonomi. Dan inilah masalah kita dalam  lima tahun terakhir ini: kita mengkhayalkan keberdikarian ekonomi, sambil mengurangi kewenangan dan tanggung-jawab negara, serta membiarkan kekuatan produktif rakyat mati dalam persaingan yang tidak sehat.

 

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang saya banggakan,

Di tengah-tengah keterpurukan sosial ekonomi dan bencana alam yang terus mengintai, muncul ancaman bencana lain yang menyangkut  karakter dan kepribadian bangsa kita. Bencana ini mempunyai implikasi lebih serius karena ia mengancam secara simultan dasar mental dan pikiran rakyat. Lihat saja proses hukum kasus Bank Century. Nampak jelas, bagaimana keputusan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penggunaan hak angket DPR RI dimandulkan oleh mekanisme hukum dan campur tangan kekuasaan.

 Kasus lain yang tidak kalah menariknya, bagaimana Gayus Tambunan  dengan berbagai variasi dan keleluasaannya,  mempertontonkan betapa kekuatan uang sedemikian berjaya dalam mengharu-biru sistem hukum secara keseluruhan. Hal ini akhirnya membuat rakyat percaya bahwa “faktor uang adalah segala-galanya”. Kasus yang sama juga mengungkapkan rendahnya kedaulatan negara. Negara yang berdaulat adalah negara yang mampu menegakan hukum atas warganya. Dalam kasus Gayus, dan masih banyak kasus sejenis lainnya, nampaknya hukum tidak bisa ditegakkan, negara jauh dari berdaulat.Bencana mental di atas juga tampak dari cara penguasa memaknai reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dikecilkan maknanya sebatas sebagai remunerasi. Sebuah bentuk pemujaan pada materi yang semakin meyakinkan rakyat bahwa “materi adalah segala-galanya”. Padahal kita tahu bahwa pembenahan sistem remunerasi hanyalah salah satu bagian kecil dan merupakan konsekuensi dari sebuah perubahan yang lebih besar dan menyeluruh.

 

Saudara-saudara yang saya hormati,Penyakit kronis lainnya yang menonjol dalam beberapa saat terakhir ini adalah sikap elit yang lebih meributkan soal koalisi, sekretariat gabungan (setgab), wacana pemilihan gubernur oleh DPRD, atau apapun namanya dibanding mengurus rakyat. Hal ini menegaskan semakin meluasnya cakupan bencana mental yang melanda negeri ini. Fenomena ini menggambarkan bagaimana penggalangan kekuasaan ditempatkan sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang mengurusi kepentingan rakyat. Bahkan kita semua menikmati sedemikian pentingnya “penggalangan kekuasaan” tanpa peduli terhadap akibat-akibat negatifnya bagi perkembangan demokrasi politik di Indonesia.

 Dalam pidato pembukaan Kongres III di Bali ancaman mentalitas bangsa ini sudah saya ingatkan. Saya tegaskan bahwa “cita-cita yang melekat dalam sejarah Partai kita jauh lebih besar dari sekadar urusan kursi di parlemen, sejumlah menteri, ataupun istana merdeka”. Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik seperti yang dilakukan Bung Karno adalah lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Saya juga tegaskan pada waktu itu bahwa dalam dialektika dengan rakyat, tugas sejarah setiap kader akan dinilai dan tugas sejarah dari partai akan ditimbang. Pada saat itu dan hingga hari ini saya berkeyakinan bahwa dalam kegotong-royongan dan permusyawaratan dengan rakyat, masa depan PDI Perjuangan akan menemukan puncak keemasannya. Karena itulah, sekali lagi saya tegaskan kepada kader partai, kita harus berbangga bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan, tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama-sama tertawa dengan rakyat.

Kita, seperti yang saya katakan di Bali, tidak akan pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada wong cilik.

 Hal-hal di atas baru sebagian kecil dari persoalan yang kita hadapi. Di lahan kepemimpinan, kontradiksi juga dengan mudah kita temukan. “Satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan” sebagai adagium politik yang diajarkan Bung Karno, bahwa penanda dari kepemimpinan yang berkualitas, praktis tidak kita temukan dalam diri pemimpin bangsa saat sekarang. Ada selisih yang sangat jauh antara “citra” dan “realitas”. Lebih lagi, hampir setiap pemimpin berlomba membangun citra diri. Lihatlah di televisi dan di berbagai media, semakin banyak menteri dan kementerian yang lebih sibuk “mengiklankan diri”, ketimbang bekerja untuk mensejahterakan rakyat. Hal ini juga berlaku bagi sejumlah kepala daerah.

 

Saudara-saudara,Di lahan demokrasi kita juga menghadapi masalah. Kerakyatan yang  dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan merupakan garis yang jelas dalam membangun tatanan demokrasi di Indonesia. Tetapi yang kita saksikan adalah sebaliknya: kita berdemokrasi dengan sepenuhnya percaya pada keajaiban angka dan pencitraan belaka. Demikian pula, integritas kebangsaan yang terjelmakan dalam sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”, akhir-akhir ini dihadapkan pada kondisi sulit. Kondisi ini semakin dipersulit oleh kecenderungan kepemimpinan nasional yang lebih produktif menciptakan polemik, ketimbang menjadi rujukan integritas kebangsaan kita. Lihatlah kasus debat tanpa kesudahan atas status keistimewaan Yogyakarta. Rakyat akhirnya dipaksa untuk memilih antara kesetiaan kebangsaan atau kedaerahan. Sebuah ironi dalam pengelolaan kekuasaan negara karena lunturnya pemahaman terhadap sejarah.

Hal di atas sangat disayangkan karena sejarah telah mencatatkan tinta emas bahwa Indonesia mampu berdiri ditengah pluralisme dalam persatuan. Bhinneka Tunggal Ika bukan sebuah jargon kebetulan. Ia juga bukan hasil temuan yang baru. Bhinneka Tunggal Ika telah mengakar panjang dalam sejarah bangsa yang majemuk ini. Ia adalah rumusan yang merupakan kristalisasi dari pengalaman empirik kita hidup sebagai bangsa majemuk dalam sebuah kesatuan yang harmonis. Demikian pula dengan gotong royong yang oleh para pendiri bangsa dijadikan sebagai spirit dasar dalam merancang Indonesia yang ideal, kini tenggelam di bawah persaingan bebas sebagai metode politik dominan. Kita akhirnya terjebak dalam mobilisasi dan konflik, gagal berdialog dan membangun konsensus yang sesuai dengan nalar publik.

Saudara-saudara warga PDI Perjuangan yang saya banggakan,Dalam konstruksi konstitusi kita, partai politik merupakan aktor strategis dalam menggerak perubahan. Peran yang sama juga kita temukan dari perjalanan kita membentuk bangsa dan negara: partai adalah organisasi modern paling awal yang menuntun massa rakyat ke arah perubahan yang lebih baik. Tengok saja sejarah Sarekat Islam, PNI, dan masih banyak lainnya. 

Semuanya menjadi pelopor bagi perubahan.

 Bagi kita posisi strategis partai di atas sudah sangat jelas. Bahkan keputusan Kongres III Bali telah memberikan arah yang sangat jelas, yakni keharusan bagi PDI Perjuangan untuk menjadi ujung tombak bagi pencapaian Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya. Hal di atas dimandatkan Kongres untuk diwujudkan melalui fungsionalisasi secara sinergis dan efektif 3 pilar partai -- struktural, legislatif dan eksekutif. Lebih lagi, arah perubahannya harus dituntun oleh Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi Partai. Kita memilih jalan ideologi dalam membangun Partai

.Rangkaian rumusan sikap dan program-program partai, berikut perubahan-perubahan penting dalam AD/ART Partai yang dihasilkan oleh Kongres III telah memberikan pijakan yang sangat memadai. Beberapa keputusan strategis Kongres seperti konsolidasi partai telah berhasil dijalankan. Kita tak lagi dihadapkan pada persoalan serius yang terkait dengan konsolidasi organisasi dan program, kecuali untuk sejumlah kecil daerah. Sekalipun demikian, dalam sejumlah bidang masih banyak pekerjaan rumah yang membutuhkan perhatian kita sebagai warga partai.

Pada kesempatan ulang tahun kali ini saya hanya akan menyoroti tiga perintah Kongres III yang paling strategis yang masih membutuhkan kerja ekstra kita semua. Yang pertama adalah soal keharusan kita untuk menghasilkan kader-kader politik dengan kualitas yang diperlukan untuk berbagai jabatan publik, termasuk untuk mengelola partai. Saya mengamati persoalan ini masih menjadi persoalan serius di banyak daerah. Saya menyaksikan setelah berlalunya generasi pertama, banyak daerah mengalami kesulitan untuk memunculkan figur baru yang secara ideologis baik, secara politik diterima, dan secara teknokratis mumpuni. Dalam proses pencalonan kepala daerah misalnya, kita akhirnya terjebak pada dua kecenderungan esktrim, yakni mengusung calon non-kader partai yang kadang melahirkan masalah serius dalam partai, atau sebaliknya, mengambil jalan pintas dengan mencalonkan orang-orang disekitarnya.

 Sebagai kekuatan politik yang merupakan ujung tombak dari kemajuan dan kemunduran bangsa, kecenderungan di atas sangat tidak sehat. Karenanya, perhatian ekstra harus kita berikan pada proses kaderisasi dan regenerasi. Hal ini bukan saja penting bagi kelangsungan hidup partai. Bukan saja bermanfaat bagi bangsa dan rakyat. Tapi di atas segalanya, pengembangan sistem kaderisasi dan regenerasi, yang di satu sisi tetap mengedepankan ideologi, dan di sisi lain mengedepankan penjenjangan kualitas kader, harus terus-menerus dilakukan guna membendung politik jalan pintas untuk meraih pucuk pimpinan kekuasaan.

 

Hal kedua yang ingin saya sampaikan adalah keharusan bagi Partai untuk menginstrumentasikan nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945 yang memungkinkan Pancasila menjadi ideologi yang hidup.

Salah satu arena paling pokok untuk melaksanakan hal tersebut berada pada arena pengambilan keputusan. Dalam konteksi inilah sinergi tiga pilar partai ---struktural, eksekutif, dan legislatif --- menjadi kekuatan penting, tidak hanya di dalam merumuskan kebijakan, namun  untuk menentukan apa yang saya sebut sebagai agenda setting. Kita harusnya bisa lebih berfungsi dalam menentukan kebijakan apa saja yang harus diprioritas dan harus dihasilkan oleh negara. Tetapi hingga saat inil, fraksi kita di semua jajaran legislatif masih sebatas sebagai kekuatan yang aktif dalam membahas berbagai regulasi. Kita belum mampu untuk menjadi penentu agenda setting.

 

Karenanya, dengan tegas saya perintahkan kepada jajaran fraksi di seluruh tingkatan untuk lebih pro-aktif dalam mengajukan agenda-agenda kebijakan yang harus diprioritaskan. Manfaatkanlah semua sumber-daya dan kelembagaan yang dimiliki partai, mulai dari Litbang hingga individu-individu yang matang secara ideologis dan mumpuni secara teknokratis untuk bisa saling membantu. Manfaatkan juga semua sumber daya intelektual dan kelembagaan yang berada di negeri ini, termasuk pusat-pusat riset dan perguruan tinggi serta lembaga swadaya masyarakat yang sungguh-sungguh bekerja bersama di tengah-tengah rakyat. Dan yang sama pentingnya, sinergikan struktural, eksekutif dan legislatif partai di semua tingkatan guna menghasilkan kebijakan yang secara ideologi benar, secara teknokratis layak, dan secara politik bisa diterima, serta didukung semakin banyak pihak yang berkepentingan.

 

Hal terakhir yang ingin saya garis bawahi adalah perintah Kongres agar setiap warga partai menjadi contoh hidup dari Pancasila sebagai ideologi. Kita masih mengalami kesulitan di sana-sini. Masih banyak perilaku elit PDI Perjuangan yang jauh dari standar norma Pancasila. Karenanya, saya serukan agar setiap kader partai menyadari hal ini. Dan untuk itu, tuntunannya sangat sederhana, yakni setiap kita harus “menyatukan perkataan dengan perbuatan, menyamakan mulut dengan tindakan”. Ajaran dasar yang berulang-kali disuarakan Bung Karno untuk diikuti oleh setiap pengikutnya. Ingatlah, setiap kader partai adalah ibarat guru. Bahkan oleh Bung Karno, kader partai harus menjadi bintang pengarah yang memberikan gerak hidup. Ia harus menjadi teladan, dan terus mengobarkan semangat “karma nevad ni adikaraste ma phalesu kada cana”, yang artinya kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitungkan akibatnya.  Inilah keteguhan sebagai kader partai dan sebagai antitesa terhadap maraknya pragmatisme politik yang sangat transaksional tersebut.

 

Saudara-saudara,Kesemua hal yang saya sampaikan di atas mengarah pada satu hal, yakni agar PDI Perjuangan sebagai kekuatan politik bisa berfungsi sebagai penyambung lidah-rakyat yang bukan saja efektif, tapi juga dipercaya. Problema ini menjadi problema partai di banyak negara. Para ahli menyebutnya sebagai problema “rooting”, problema mengakarkan partai. Dan di pundak kita

semua persoalan ini harus bisa diselesaikan.

 

Saudara-saudara,Mengakhiri pidato politik ini, ijinkan saya dan seluruh jajaran DPP PDI Perjuangan menyampaikan Selamat Ulang Tahun ke 38 bagi kita semua. Semoga pertambahan usia ini memberikan kekuatan baru bagi kita untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas dalam mewujudkan cita-cita Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.Kepada para pimpinan partai politik, para tokoh masyarakat, dan para Senior Partai serta undangan yang tidak bisa saya sebut satu-persatu, terimakasih atas kehadirannya.Kepada Panitia yang telah bekerja dengan sangat keras terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan.Pada aparat keamanan, terimalah rasa terimakasih dan hormat kami atas segala kerja keras sehingga penyelenggaraan Ulang Tahun kali ini bisa berjalan tanpa gangguan.Terimakasih juga saya sampaikan pada para pengamat politik yang telah meluangkan waktu untuk hadir pada kesempatan kali ini.Dan terakhir, terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada rekan-rekan wartawan yang telah menjadi sahabat PDI Perjuangan selama ini.

 

Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

 

Salam Sejahtera bagi kita semua,Om Santi Santi Om.

 

Merdeka!!!

Megawati Soekarnoputri

  .

Maintenance © [email protected] | All rights reserved.

15:14 - Ditemukan Penderita Gizi Buruk di Ketapang - http://t.co/Q2XAFMtv http://t.co/KwZfbHIP via

@tribunnews

Pidato Politik Ketua Umum PDI Perjuangan pada HUT XXXVIII PDI Perjuangan Rabu, 12 Januari 2011 11:29   

Assalamualaikum Warahmatullahi WabarakatuhSalam Sejahtera bagi kita semuaOm Swastiastu

Sebelumnya, marilah kita terlebih dahulu bersama-sama memekikkan salam perjuangan kita,Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!

 

Saudara-saudara se-bangsa dan se-tanah air, tamu undangan yang saya hormati, serta kader dan simpatisan PDI Perjuangan yang saya cintai dan banggakan.Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa,  atas segala rahmat dan hidayahNya yang telah menjaga kita selama tahun 2010, serta mengantarkan kita memasuki tahun 2011 dengan selamat sentosa. Secara khusus kita bersyukur karena atas rahmatNya, PDI Perjuangan tetap bertahan melewati tahun-tahun perubahan politik yang sangat dinamis dan sulit. Dengan bertambah usianya PDI Perjuangan, semakin memberikan kesempatan untuk mengabdi pada ibu pertiwi dalam perjuangan mencapai cita-cita Indonesia merdeka, yakni Indonesia yang berdaulat secara politik; Indonesia yang berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) di bidang ekonomi; dan Indonesia yang tetap mampu menjaga karakter dan kepribadian budayanya sebagai sebuah bangsa yang bermartabat.

Kita harus bersyukur karena rentang panjang sejarah kepartaian di bumi tercinta ini telah membuktikan: tidak banyak kekuatan politik yang bisa terus bertahan dan memberikan sumbangsihnya bagi rakyat, bangsa dan negara untuk waktu yang panjang. Sejarah membuktikan, banyak partai-partai lahir dan mati, bukan saja wadahnya, tapi juga ruhnya, ideologinya. Bahkan sejak memasuki era reformasi, kita menyaksikan begitu banyaknya partai politik yang hanya bisa bertahan seumur jagung, kemudian musnah dan akhirnya dilupakan sejarah. Sementara PDI Perjuangan tetap diberi anugerah panjang usia yang memungkinkan kita berkumpul hari ini untuk merayakan Ulang Tahun yang 38.

 

Saudara-saudara,Ulang tahun adalah peristiwa istimewa. Tetapi ia menjadi istimewa bukan saja karena pertambahan usia semata. Ulang tahun menjadi istimewa karena ia memberikan alasan etis dan menjadi momentum yang bersifat spiritual untuk merenungi, berkontemplasi dan memetik pelajaran dari satu tahun perjalanan yang baru saja kita lewati bersama. Tanpa itu, ulang tahun tak akan memiliki makna apapun, tapi hanya sekadar sebagai kelebatan waktu yang tak menyisakan arti, lewat begitu saja.

Sebelum saya menyampaikan hal-hal pokok yang perlu kita renungkan bersama, ijinkanlah saya pada kesempatan ini menyampaikan selamat Natal bagi umat Kristiani dimanapun saudara-saudara berada. Kiranya “kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi” beserta saudara-saudara sekalian. Dan selamat tahun baru bagi setiap warga bangsa disertai doa, semoga tahun 2011 dapat memberikan harapan dan semangat baru untuk kehidupan yang lebih baik bagi kita semua. Amin.

Saudara-saudara,Pada momentum Ulang tahun PDI Perjuangan di tahun 2007 yang lalu, saya mengawali pidato dengan mengangkat problema dasar salah satu kegagalan negara di dalam meletakkan dasar-dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Dan hari ini, saya harus kembali mengungkapkan sejumlah  tragedi yang sama di hadapan saudara-saudara. Mengapa? Sebab

fakta menunjukkan bahwa negara masih tetap jauh dari kemampuannya untuk meletakkan pondasi dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.

Persoalan ini perlu digarisbawahi kembali, karena seperti yang saya sampaikan dalam pidato Pembukaan Kongres III di Bali, bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik adalah pilihan ideologis dan sekaligus takdir sejarah kita sebagai partai politik. Pilihan ideologis dan takdir sejarah ini melampaui jabatan apapun. Karena itulah kita tidak boleh lelah memperjuangkan dan menyuarakan hal tersebut. Apalagi, fakta-fakta dalam beberapa tahun ini menunjukkan bahwa harapan wong cilik untuk merasakan kesejahteraan yang berkeadilan sosial semakin jauh dari kenyataan.

 

Saudara-saudara yang saya cintai,Bagi PDI Perjuangan Pancasila 1 Juni 1945 adalah ideologi dan sekaligus metode berpikir. Dengan Pancasila, kita bisa membedah dengan lebih cermat berbagai kontradiksi dalam pengelolaan negara saat ini. Kita bisa menyaksikan bagaimana gambaran sukses pembangunan lebih sering ditampilkan melalui keberhasilan statistik makro ekonomi. Kita juga bisa menyaksikan bagaimana lambannya penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan di tengah-tengah peningkatan secara dramatis anggaran yang disediakan untuk itu. Itukah yang dimaksudkan dengan keberhasilan?

 

Mereka lupa adanya fakta sederhana bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan secara statistikal tidak berbanding lurus dengan peningkatan tingkat kesejahteraan rakyat. Pada saat bersamaan, pemerintah seharusnya mendengar jeritan rakyat atas kenaikan harga berbagai kebutuhan dasar, yang sudah melebihi daya beli rakyat. Bahkan, untuk kesekian kalinya, rakyat menjadi korban hanya untuk sekedar mendapatkan makan. Oleh karena itu, tidak boleh terjadi lagi, rakyat kecil bunuh diri hanya karena tidak mampu menanggung beban hidup yang semakin berat sebagaimana telah terjadi di Cirebon, Kebumen, dan beberapa daerah lainnya. Inilah gambaran, betapa sulitnya rakyat berjuang hidup-mati hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Bukankah konstitusi menjamin penghidupan yang layak bagi warga negaranya? Kemana alokasi anggaran yang ribuan trilyun rupiah tersebut? Sudah saatnya kita hentikan pameran keberhasilan indikasi makro ekonomi, dan menggantikannya dengan gerakan ekonomi kerakyatan, yang bertumpu pada kekuatan rakyat, agar terjaminlah kebutuhan dasar rakyat.

 

Saudara-saudara,Kita juga menyaksikan terjadi pengurangan sistematis subsidi untuk rakyat atas nama kepentingan publik. Pada saat bersamaan, pemborosan anggaran belanja aparatur negara terus berlangsung tanpa keberanian untuk melakukan koreksi. Kita juga menyaksikan bagaimana pemerintah terus mendewakan impor barang sebagai penyelamat, dan membiarkan

ketergantungan atas sumber pembiayaan APBN dari pinjaman luar negeri yang berdampak pada melunturnya ketahanan dan kemandirian kita sebagai sebuah bangsa. Kita juga melihat bahwa keberhasilan Bursa Efek Indonesia sebagai bursa terbaik di Asia Pasifik lebih ditonjolkan, sementara kerawanan pelarian modal asing yang spekulatif terus saja mengancam. Apabila kebijakan ini tidak berubah, maka stabilisasi mata uang rupiah akan terus menjadi pekerjaan berat kita. Membengkaknya defisit neraca Bank Indonesia harus dicermati sebagai mahalnya ongkos stabilisasi dan lemahnya daya dukung sektor riil. Karena itulah, hentikan pengungkapan keberhasilan statistikal tersebut. Tidak ada salahnya, apabila kita memperkuat peran negara, sehingga Indonesia tidak menjadi korban dari pertarungan berbagai mata uang dunia seperti Euro, Yen, dan Yuan.

 

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,Hal-hal itulah yang membuat saya terus khawatir bahwa sistem ekonomi yang kita bangun semakin jauh dari sistem ekonomi yang menjadi amanat konstitusi. Karena itulah, wajar kalau kita bertanya, inikah arah pengelolaan ekonomi yang akan menuntun ke arah keberdikarian dalam bidang ekonomi? Ataukah sebaliknya, justru menjadi jalan cepat menuju ketergantungan ekonomi yang bersifat permanen pada kekuatan asing. Saya berpendapat, bahwa kita tidak bisa menunda lagi untuk mewujudkan keberdikarian ekonomi kita. Lebih-lebih kalau kita melihat resesi yang kini terjadi di Amerika Serikat, dan krisis ekonomi di beberapa negara di Eropa. Krisis yang terjadi di kedua kawasan tersebut pada akhirnya tetap memerlukan campur tangan negara. Bahkan di kawasan itulah kembali terbukti, bahwa kepentingan nasional suatu negara akhirnya menjadi hukum tertinggi di dalam membangun kedaulatan ekonomi setiap bangsa. Inilah yang seharusnya kita lakukan guna membangun kepercayaan diri kita, untuk berani menyatakan bahwa pengolahan sumber daya alam, harus kita prioritaskan pada kemampuan nasional. Pling tidak, kita harus mampu mencukupi kebutuhan pokok secara mandiri untuk pasar dalam negeri kita. Inilah yang saya maksudkan sebagai prinsip berdiri di atas kaki sendiri. Saya tidak anti asing, namun marilah kita letakkan skala prioritas pengabdian pada kepentingan nasional. Setidak-tidaknya dalam bidang pangan, energi, keuangan dan pertahanan, pilar-pilar ekonomi berdikari dapat diletakkan. Percayalah, bahwa kita bisa bangkit. Kita bisa menjadi bangsa besar. Kita bisa berdikari. Sebab kita memiliki modal, berupa keanekaragaman kekayaan alam, tanah air yang subur, keindahan alamnya, keanekaragaman suku, agama, budaya, yang semua terangkai bagaikan zamrud katulistiwa. Inilah modal besar yang harus terus menerus kita syukuri dan kembangkan. 

 

Saudara-saudara yang saya cintai,Dari sudut pandang Pancasila, tujuan pembangunan ekonomi sangat sederhana dan jelas, yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan azas kemanusiaan dan kekeluargaan. Hal ini diamanatkan dalam konstitusi utamanya Pasal 23, Pasal 27, Pasal 33 UUD 1945. Amanat yang menekankan bahwa kedaulatan rakyat dan negara di ranah ekonomi tidak boleh digusur atau dipertukarkan dengan kedaulatan pasar dan korporasi. Mengapa? Karena kita berkeyakinan, bahwa berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dalam bidang ekonomi tidak bisa

tidak mengharuskan kita untuk memberikan peran yang lebih besar bagi rakyat sebagai kekuatan produktif bangsa, dan mewajibkan negara untuk bertanggungjawab dalam ranah ekonomi. Dan inilah masalah kita dalam  lima tahun terakhir ini: kita mengkhayalkan keberdikarian ekonomi, sambil mengurangi kewenangan dan tanggung-jawab negara, serta membiarkan kekuatan produktif rakyat mati dalam persaingan yang tidak sehat.

 

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang saya banggakan,Di tengah-tengah keterpurukan sosial ekonomi dan bencana alam yang terus mengintai, muncul ancaman bencana lain yang menyangkut  karakter dan kepribadian bangsa kita. Bencana ini mempunyai implikasi lebih serius karena ia mengancam secara simultan dasar mental dan pikiran rakyat. Lihat saja proses hukum kasus Bank Century. Nampak jelas, bagaimana keputusan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penggunaan hak angket DPR RI dimandulkan oleh mekanisme hukum dan campur tangan kekuasaan.

 Kasus lain yang tidak kalah menariknya, bagaimana Gayus Tambunan  dengan berbagai variasi dan keleluasaannya,  mempertontonkan betapa kekuatan uang sedemikian berjaya dalam mengharu-biru sistem hukum secara keseluruhan. Hal ini akhirnya membuat rakyat percaya bahwa “faktor uang adalah segala-galanya”. Kasus yang sama juga mengungkapkan rendahnya kedaulatan negara. Negara yang berdaulat adalah negara yang mampu menegakan hukum atas warganya. Dalam kasus Gayus, dan masih banyak kasus sejenis lainnya, nampaknya hukum tidak bisa ditegakkan, negara jauh dari berdaulat.Bencana mental di atas juga tampak dari cara penguasa memaknai reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dikecilkan maknanya sebatas sebagai remunerasi. Sebuah bentuk pemujaan pada materi yang semakin meyakinkan rakyat bahwa “materi adalah segala-galanya”. Padahal kita tahu bahwa pembenahan sistem remunerasi hanyalah salah satu bagian kecil dan merupakan konsekuensi dari sebuah perubahan yang lebih besar dan menyeluruh.

 

Saudara-saudara yang saya hormati,Penyakit kronis lainnya yang menonjol dalam beberapa saat terakhir ini adalah sikap elit yang lebih meributkan soal koalisi, sekretariat gabungan (setgab), wacana pemilihan gubernur oleh DPRD, atau apapun namanya dibanding mengurus rakyat. Hal ini menegaskan semakin meluasnya cakupan bencana mental yang melanda negeri ini. Fenomena ini menggambarkan bagaimana penggalangan kekuasaan ditempatkan sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang mengurusi kepentingan rakyat. Bahkan kita semua menikmati sedemikian pentingnya “penggalangan kekuasaan” tanpa peduli terhadap akibat-akibat negatifnya bagi perkembangan demokrasi politik di Indonesia.

 Dalam pidato pembukaan Kongres III di Bali ancaman mentalitas bangsa ini sudah saya ingatkan. Saya tegaskan bahwa “cita-cita yang melekat dalam sejarah Partai kita jauh lebih besar

dari sekadar urusan kursi di parlemen, sejumlah menteri, ataupun istana merdeka”. Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik seperti yang dilakukan Bung Karno adalah lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Saya juga tegaskan pada waktu itu bahwa dalam dialektika dengan rakyat, tugas sejarah setiap kader akan dinilai dan tugas sejarah dari partai akan ditimbang. Pada saat itu dan hingga hari ini saya berkeyakinan bahwa dalam kegotong-royongan dan permusyawaratan dengan rakyat, masa depan PDI Perjuangan akan menemukan puncak keemasannya. Karena itulah, sekali lagi saya tegaskan kepada kader partai, kita harus berbangga bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan, tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama-sama tertawa dengan rakyat. Kita, seperti yang saya katakan di Bali, tidak akan pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada wong cilik.

 Hal-hal di atas baru sebagian kecil dari persoalan yang kita hadapi. Di lahan kepemimpinan, kontradiksi juga dengan mudah kita temukan. “Satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan” sebagai adagium politik yang diajarkan Bung Karno, bahwa penanda dari kepemimpinan yang berkualitas, praktis tidak kita temukan dalam diri pemimpin bangsa saat sekarang. Ada selisih yang sangat jauh antara “citra” dan “realitas”. Lebih lagi, hampir setiap pemimpin berlomba membangun citra diri. Lihatlah di televisi dan di berbagai media, semakin banyak menteri dan kementerian yang lebih sibuk “mengiklankan diri”, ketimbang bekerja untuk mensejahterakan rakyat. Hal ini juga berlaku bagi sejumlah kepala daerah.

 

Saudara-saudara,Di lahan demokrasi kita juga menghadapi masalah. Kerakyatan yang  dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan merupakan garis yang jelas dalam membangun tatanan demokrasi di Indonesia. Tetapi yang kita saksikan adalah sebaliknya: kita berdemokrasi dengan sepenuhnya percaya pada keajaiban angka dan pencitraan belaka. Demikian pula, integritas kebangsaan yang terjelmakan dalam sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”, akhir-akhir ini dihadapkan pada kondisi sulit. Kondisi ini semakin dipersulit oleh kecenderungan kepemimpinan nasional yang lebih produktif menciptakan polemik, ketimbang menjadi rujukan integritas kebangsaan kita. Lihatlah kasus debat tanpa kesudahan atas status keistimewaan Yogyakarta. Rakyat akhirnya dipaksa untuk memilih antara kesetiaan kebangsaan atau kedaerahan. Sebuah ironi dalam pengelolaan kekuasaan negara karena lunturnya pemahaman terhadap sejarah.

Hal di atas sangat disayangkan karena sejarah telah mencatatkan tinta emas bahwa Indonesia mampu berdiri ditengah pluralisme dalam persatuan. Bhinneka Tunggal Ika bukan sebuah jargon kebetulan. Ia juga bukan hasil temuan yang baru. Bhinneka Tunggal Ika telah mengakar panjang dalam sejarah bangsa yang majemuk ini. Ia adalah rumusan yang merupakan kristalisasi dari pengalaman empirik kita hidup sebagai bangsa majemuk dalam sebuah kesatuan yang harmonis. Demikian pula dengan gotong royong yang oleh para pendiri bangsa dijadikan sebagai spirit dasar dalam merancang Indonesia yang ideal, kini tenggelam di bawah persaingan bebas sebagai

metode politik dominan. Kita akhirnya terjebak dalam mobilisasi dan konflik, gagal berdialog dan membangun konsensus yang sesuai dengan nalar publik.

Saudara-saudara warga PDI Perjuangan yang saya banggakan,Dalam konstruksi konstitusi kita, partai politik merupakan aktor strategis dalam menggerak perubahan. Peran yang sama juga kita temukan dari perjalanan kita membentuk bangsa dan negara: partai adalah organisasi modern paling awal yang menuntun massa rakyat ke arah perubahan yang lebih baik. Tengok saja sejarah Sarekat Islam, PNI, dan masih banyak lainnya.  Semuanya menjadi pelopor bagi perubahan.

 Bagi kita posisi strategis partai di atas sudah sangat jelas. Bahkan keputusan Kongres III Bali telah memberikan arah yang sangat jelas, yakni keharusan bagi PDI Perjuangan untuk menjadi ujung tombak bagi pencapaian Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya. Hal di atas dimandatkan Kongres untuk diwujudkan melalui fungsionalisasi secara sinergis dan efektif 3 pilar partai -- struktural, legislatif dan eksekutif. Lebih lagi, arah perubahannya harus dituntun oleh Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi Partai. Kita memilih jalan ideologi dalam membangun Partai

.Rangkaian rumusan sikap dan program-program partai, berikut perubahan-perubahan penting dalam AD/ART Partai yang dihasilkan oleh Kongres III telah memberikan pijakan yang sangat memadai. Beberapa keputusan strategis Kongres seperti konsolidasi partai telah berhasil dijalankan. Kita tak lagi dihadapkan pada persoalan serius yang terkait dengan konsolidasi organisasi dan program, kecuali untuk sejumlah kecil daerah. Sekalipun demikian, dalam sejumlah bidang masih banyak pekerjaan rumah yang membutuhkan perhatian kita sebagai warga partai.

Pada kesempatan ulang tahun kali ini saya hanya akan menyoroti tiga perintah Kongres III yang paling strategis yang masih membutuhkan kerja ekstra kita semua. Yang pertama adalah soal keharusan kita untuk menghasilkan kader-kader politik dengan kualitas yang diperlukan untuk berbagai jabatan publik, termasuk untuk mengelola partai. Saya mengamati persoalan ini masih menjadi persoalan serius di banyak daerah. Saya menyaksikan setelah berlalunya generasi pertama, banyak daerah mengalami kesulitan untuk memunculkan figur baru yang secara ideologis baik, secara politik diterima, dan secara teknokratis mumpuni. Dalam proses pencalonan kepala daerah misalnya, kita akhirnya terjebak pada dua kecenderungan esktrim, yakni mengusung calon non-kader partai yang kadang melahirkan masalah serius dalam partai, atau sebaliknya, mengambil jalan pintas dengan mencalonkan orang-orang disekitarnya.

 Sebagai kekuatan politik yang merupakan ujung tombak dari kemajuan dan kemunduran bangsa, kecenderungan di atas sangat tidak sehat. Karenanya, perhatian ekstra harus kita berikan pada proses kaderisasi dan regenerasi. Hal ini bukan saja penting bagi kelangsungan hidup partai. Bukan saja bermanfaat bagi bangsa dan rakyat. Tapi di atas segalanya, pengembangan sistem

kaderisasi dan regenerasi, yang di satu sisi tetap mengedepankan ideologi, dan di sisi lain mengedepankan penjenjangan kualitas kader, harus terus-menerus dilakukan guna membendung politik jalan pintas untuk meraih pucuk pimpinan kekuasaan.

 

Hal kedua yang ingin saya sampaikan adalah keharusan bagi Partai untuk menginstrumentasikan nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945 yang memungkinkan Pancasila menjadi ideologi yang hidup. Salah satu arena paling pokok untuk melaksanakan hal tersebut berada pada arena pengambilan keputusan. Dalam konteksi inilah sinergi tiga pilar partai ---struktural, eksekutif, dan legislatif --- menjadi kekuatan penting, tidak hanya di dalam merumuskan kebijakan, namun  untuk menentukan apa yang saya sebut sebagai agenda setting. Kita harusnya bisa lebih berfungsi dalam menentukan kebijakan apa saja yang harus diprioritas dan harus dihasilkan oleh negara. Tetapi hingga saat inil, fraksi kita di semua jajaran legislatif masih sebatas sebagai kekuatan yang aktif dalam membahas berbagai regulasi. Kita belum mampu untuk menjadi penentu agenda setting.

 

Karenanya, dengan tegas saya perintahkan kepada jajaran fraksi di seluruh tingkatan untuk lebih pro-aktif dalam mengajukan agenda-agenda kebijakan yang harus diprioritaskan. Manfaatkanlah semua sumber-daya dan kelembagaan yang dimiliki partai, mulai dari Litbang hingga individu-individu yang matang secara ideologis dan mumpuni secara teknokratis untuk bisa saling membantu. Manfaatkan juga semua sumber daya intelektual dan kelembagaan yang berada di negeri ini, termasuk pusat-pusat riset dan perguruan tinggi serta lembaga swadaya masyarakat yang sungguh-sungguh bekerja bersama di tengah-tengah rakyat. Dan yang sama pentingnya, sinergikan struktural, eksekutif dan legislatif partai di semua tingkatan guna menghasilkan kebijakan yang secara ideologi benar, secara teknokratis layak, dan secara politik bisa diterima, serta didukung semakin banyak pihak yang berkepentingan.

 

Hal terakhir yang ingin saya garis bawahi adalah perintah Kongres agar setiap warga partai menjadi contoh hidup dari Pancasila sebagai ideologi. Kita masih mengalami kesulitan di sana-sini. Masih banyak perilaku elit PDI Perjuangan yang jauh dari standar norma Pancasila. Karenanya, saya serukan agar setiap kader partai menyadari hal ini. Dan untuk itu, tuntunannya sangat sederhana, yakni setiap kita harus “menyatukan perkataan dengan perbuatan, menyamakan mulut dengan tindakan”. Ajaran dasar yang berulang-kali disuarakan Bung Karno untuk diikuti oleh setiap pengikutnya. Ingatlah, setiap kader partai adalah ibarat guru. Bahkan oleh Bung Karno, kader partai harus menjadi bintang pengarah yang memberikan gerak hidup. Ia harus menjadi teladan, dan terus mengobarkan semangat “karma nevad ni adikaraste ma phalesu kada cana”, yang artinya kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitungkan akibatnya.  Inilah keteguhan sebagai kader partai dan sebagai antitesa terhadap maraknya pragmatisme politik yang sangat transaksional tersebut.

 

Saudara-saudara,Kesemua hal yang saya sampaikan di atas mengarah pada satu hal, yakni agar PDI Perjuangan sebagai kekuatan politik bisa berfungsi sebagai penyambung lidah-rakyat yang bukan saja efektif, tapi juga dipercaya. Problema ini menjadi problema partai di banyak negara. Para ahli menyebutnya sebagai problema “rooting”, problema mengakarkan partai. Dan di pundak kita semua persoalan ini harus bisa diselesaikan.

 

Saudara-saudara,Mengakhiri pidato politik ini, ijinkan saya dan seluruh jajaran DPP PDI Perjuangan menyampaikan Selamat Ulang Tahun ke 38 bagi kita semua. Semoga pertambahan usia ini memberikan kekuatan baru bagi kita untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas dalam mewujudkan cita-cita Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.Kepada para pimpinan partai politik, para tokoh masyarakat, dan para Senior Partai serta undangan yang tidak bisa saya sebut satu-persatu, terimakasih atas kehadirannya.Kepada Panitia yang telah bekerja dengan sangat keras terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan.Pada aparat keamanan, terimalah rasa terimakasih dan hormat kami atas segala kerja keras sehingga penyelenggaraan Ulang Tahun kali ini bisa berjalan tanpa gangguan.Terimakasih juga saya sampaikan pada para pengamat politik yang telah meluangkan waktu untuk hadir pada kesempatan kali ini.Dan terakhir, terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada rekan-rekan wartawan yang telah menjadi sahabat PDI Perjuangan selama ini.

 

Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

 

Salam Sejahtera bagi kita semua,Om Santi Santi Om.

 

Merdeka!!!

Megawati Soekarnoputri

  .

Maintenance © [email protected] | All rights reserved.

15:14 - Ditemukan Penderita Gizi Buruk di Ketapang - http://t.co/Q2XAFMtv http://t.co/KwZfbHIP via

@tribunnews

enin, 13 Januari 2003

Megawati: Saya Pilih Kebijakan Tidak Populis

Agar Tak Menjerumuskan Bangsa

Badung, Kompas - Presiden Megawati Soekarnoputri mengakui, kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan telepon merupakan kebijakan yang sangat tidak populis (tidak memihak rakyat). Namun, untuk jangka panjang, kebijakan itu bersifat konstruktif jika dibandingkan dengan kebijakan yang populis, tetapi semakin menjerumuskan bangsa ini lebih dalam lagi ke kubangan krisis. Hal itu diutarakan presiden dalam pidato politiknya pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-30 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), di Lapangan Umum Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, Minggu (12/1).

Presiden Megawati, yang juga Ketua Umum DPP PDI-P, mengatakan, pemerintah tidak memiliki pilihan lain untuk segera membawa bangsa ini keluar dari krisis. "Masyarakat selalu dininabobokan dengan subsidi dimana dana subsidi tersebut didapatkan dengan jalan mengeruk sumber daya alam secara berlebihan dan melakukan pinjaman utang luar negeri. Akibat kebijakan subsidi yang populis tersebut, yang selalu ditempuh pemerintah untuk mendapatkan dukungan politis dari rakyat, pada akhirnya menyebabkan runtuhnya fondasi perekonomian kita di waktu yang lalu," ujarnya lantang.

Sebelum membuka acara HUT tersebut, Megawati bersama suaminya, Taufik Kiemas, dan beberapa anggota rombongannya sempat melakukan acara simbolis penanaman padi dan pohon nangka tempel unggul di Desa Beraban, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan. Usai acara tersebut, sebelum menuju ke tempat perayaan HUT PDI-P, rombongan Megawati makan siang di

Hotel Le Meridien di kawasan Bali Nirwana Resort, yang pada pembangunannya mendapatkan protes keras masyarakat lokal.

Hadir dalam perayaan tersebut antara lain sejumlah Duta Besar dari negara-negara di Asia Tenggara, Eropa, dan Afrika di Jakarta, serta belasan menteri dan menteri negara Kabinet Gotong Royong, misalnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Rini M Suwandi, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) Jacob Nuwa Wea, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Hatta Radjasa, Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) Nabiel Makarim, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) Sri Redjeki Sumaryoto. Acara ini merupakan acara utama dalam rangkaian HUT PDI-P ke-30 yang seluruhnya menelan biaya sekitar Rp 1,2 milyar.

Kerja keras

Presiden mengakui, kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif BBM, TDL, dan tarif telepon memang bukan keputusan mudah. Untuk memahami pilihan tersebut, lanjutnya, dibutuhkan pengertian dan kerja keras dari masyarakat.

"Hal ini dilakukan untuk jangka panjang. Nanti kita akan bisa mulai mengurangi utang kita. Dengan demikian, kita tidak akan selalu dililit utang berkepanjangan yang selama ini sudah terjadi," ujarnya.

Menurut dia, pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Megawati pun mengerti benar bahwa mengubah paradigma masyarakat yang selama lebih dari 30 tahun sudah terbiasa dibuai dengan kebijakan harga murah, tidaklah mudah.

"Dibutuhkan sebuah pengertian dan kerja keras. Sekali lagi kerja keras, untuk memberikan pemahaman kepada seluruh masyarakat bahwa inilah pilihan yang terbaik dan tidak ada pilihan lain," tegasnya.

Kendati belum memberikan hasil yang terlalu menggembirakan, namun ia yakin pilihan tersebut akan membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik. Indikasinya dapat dilihat dengan adanya perbaikan pada sektor makro ekonomi dan pada rasio utang luar negeri kita terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang menjadi lebih kecil. "Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya kemandirian kita di dalam menjalankan roda ekonomi," katanya.

"Indonesia yang kaya raya tidak bisa lagi menjalankan satu politik ekonomi yang hanya menggantungkan pada pinjaman luar negeri belaka. Apakah saudara-saudara sanggup untuk bisa hidup sederhana, tetapi... tetapi akhirnya akan mendatangkan kemandirian," ujarnya beretorika yang

disambut teriakan hangat massa.

"Maka untuk itu, dengan ketulusan hati saya meminta pengertian seluruh warga PDI Perjuangan dan bangsa Indonesia agar pilihan untuk membangun fondasi ekonomi bangsa yang lebih kokoh ini dapat dipahami dan didukung walaupun sungguh terasa sangat berat," ujarnya.

"Semua itu akan terasa lebih ringan bila semua pihak baik pejabat negara maupun para elite politik maupun para ketua umum ataupun partai-partai politik dapat memberikan keteladanan dengan gaya hidup sederhana, jujur, dan penuh dedikasi kepada bangsa. Saya selalu yakin bahwa bangsa Indonesia tercinta ini masih tetap memiliki semangat kebersamaan dan akan selalu mampu mengatasi setiap tantangan. Mari kita bangun semangat kebersamaan sosial melalui gerakan kesetiakawanan sosial," ujar Megawati.

Kritik MA

Pada kesempatan itu, Presiden juga mengajak pihak Mahkamah Agung untuk turut juga mengikuti alam reformasi karena berbagai masalah hukum yang diajukan pihak kepolisian dan kejaksaan ternyata malahan banyak yang dibebaskan. Dari tiga pilar penyelenggara pemerintahan di Indonesia yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tinggal yudikatif saja yang belum ikut melakukan reformasi.

Presiden melihat bahwa proses di legislatif telah mengalami reformasi, malah kadang-kadang kebablasan. Eksekutif pun dinilainya telah berupaya untuk memperbaiki persoalan-persoalan mereka dan saya kira dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka mampu menata dirinya kembali.

"Sekarang yang masih tinggal adalah masalah yudikatif. Kita bisa melihat suatu proses pengadilan ketika dengan susah payah kepolisian dan kejaksaan memberikan bukti-bukti yang mereka dapatkan untuk bisa dibawa ke pengadilan. Dalam proses pengadilan itu, oleh Mahkamah Agung itu dibebaskan. Untuk itu, tentunya kita meminta Mahkamah Agung pun ikut mengikuti alam reformasi ini," ujarnya, yang disambut teriakan riuh dari warga PDI-P.

Presiden Megawati juga menegaskan perlunya PDI-P menjadi partai yang bersih dari politik uang (money politics). Dia menyoroti masalah politik uang yang banyak terjadi di negeri ini, termasuk di antaranya yang terlibat adalah sebagian warga PDI-P. Karenanya, Megawati berpesan, agar mulai sekarang warga PDI-P pandai-pandai memilih calon-calon yang akan dipilihnya nanti pada Pemilu 2004, pemilu yang pertama kalinya akan memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.

"Untuk memilih kepala desa, untuk memilih bupati, untuk memilih camat, untuk memilih lurah, untuk memilih gubernur, sekarang ini uang pating sliwer (lalu lalang-Red). Terima apa ndak?" Megawati melontarkan retorika yang disambut teriakan riuh. "Kok saya dengar katanya terima," ujarnya sambil tersenyum. Pada kesempatan ini Megawati juga menegaskan komitmen PDI-P untuk mempertahankan Pancasila yang selama ini telah menjadi perekat persatuan bangsa. Dia juga mengingatkan kembali unsur persatuan lain yang telah ditanamkan oleh pendiri bangsa Indonesia, Bung Karno, dengan falsafah tat twam asi. "Tat twam asi, tat twam asi, tat twam asi. Aku adalah engkau, engkau adalah aku. Demikian kebudayaan bangsa ini yaitu selalu dalam kebersamaan selalu dalam kegotongroyongan. Dan untuk itu, kami berterima kasih kepada masyarakat Bali yang telah mengalami keprihatinan (akibat bom di Kuta, 12 Oktober 2002-Red) tetapi tidak melakukan balas dendam apa pun," ujarnya.

"Srikandi Sraya"

Dalam perayaan HUT PDI Perjuangan kemarin, beragam pergelaran dipentaskan, antara lain band, drama tari bertajuk Srikandi Sraya yang ceritanya telah digarap lagi oleh adik Megawati, Guruh Soekarnoputra, sehingga berbeda dari pakem yang ada di Indonesia, sementara tariannya adalah garapan seniman asal Gianyar, Made Sidia. Drama ini mengisahkan kiprah Srikandi yang berada di pihak Pandawa yang berhasil menewaskan Resi Bhisma yang menjadi panglima perang pasukan Kurawa dalam besutan kisah Mahabharata.

Mendahului hari ulang tahun Megawati yang jatuh tanggal 23 Januari mendatang, paduan suara AMI memperesembahkan lagu kesayangan Megawati dari penyanyi Frank Sinatra, My Way. Juga ditampilkan drama lokal Petruk dan Dolar, serta dua pergelaran gerak tari dari Kinarya GSP sebagai pembuka dan penutup acara. Di bagian pembuka, tari Laskar Merah Putih yang diiringi musik kontemporer itu gagal masuk ke khasanah jiwa laskar yang heroik. Sementara para tarian penutup, hanya segelintir warga PDI-P yang masih bertahan.

Perhelatan tersebut dilengkapi dengan sejumlah sistem pengamanan. Selain mengandalkan ratusan petugas dari Kepolisian Daerah (Polda) Bali dan prajurit Kodam IX/Udayana, pengamanan perayaan HUT PDI Perjuangan ke-30 tersebut juga melibatkan sekitar 2.000 pecalang (satuan pengaman adat) dan Satuan Tugas (Satgas) PDI Perjuangan Bali serta satgas dari masing-masing Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) luar Bali.(COK/ISW)

 

Megawati Tantang Perempuan Jadi Presiden

Presiden ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri menantang seluruh kaum perempuan Indonesia untuk bisa menduduki jabatan pemerintahan tertinggi, yaitu presiden.

“Saya bertanya, apakah akan ada perempuan yang bisa menggantikan saya sebagai presiden. Hingga saat ini, saya adalah satu-satunya perempuan di Indonesia yang menjadi presiden,” kata Megawati saat memberikan “Kuliah Presiden” memperingati Hari Lahir Pancasila di Universitas Janabadra (UJB), di Yogyakarta, Kamis.

Menurut Megawati, bila dalam waktu kurang dari 25 tahun mendatang sudah ada perempuan yang menjadi Presiden Republik Indonesia, maka ia akan memberikan apresiasi yang sangat besar.

Perempuan, lanjut dia, tidak berbeda dengan kaum laki-laki, dan satu-satunya yang bisa dilakukan perempuan untuk lebih mengungguli kaum laki-laki adalah di kepandaiannya.

“Ayah saya (Presiden I Republik Indonesia Soekarno-red) memberikan dorongan dan semangat agar perempuan tidak merasa kalah dari kaum laki-laki,” katanya.

Ia juga berpesan kepada generasi muda agar memiliki keyakinan dan kepercayaan diri agar tidak kalah dengan bangsa lain di dunia, karena kurangnya kepercayaan diri tersebut bisa berakibat pada kalahnya bangsa Indonesia saat bersaing dengan bangsa lain di dunia.

Untuk menumbuhkan kepercayaan diri itu, lanjut dia, adalah selalu berpegang pada Pancasila sebagai ideologi negara, karena sebenarnya Pancasila itu sudah berada dalam sanubari masyarakat Indonesia.

“Pancasila harus diimplementasikan secara konsekuen agar seluruh sendi kehidupan bangsa bisa berjalan secara berdaulat termasuk politik dan ekonomi,” katanya.

Sementara itu, Kepala Biro Kesra Pemerintah Provinsi DIY RM Wijoseno Haryo Bimo yang

membacakan sambutan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengatakan, perlu adanya penghayatan dan pengamalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya pengenalan karena keampuhan Pancasila sudah terbukti.

“Saya merasa prihatin seolah Pancasila dilupakan. Dalam kurikulum juga ditiadakan sehingga banyak siswa melanggar norma pendidikan, agama, dan sosial kemasyarakatan, termasuk para pejabat negeri,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, Pancasila harus “diuri-uri” dalam kehidupan sehari-hari, termasuk memasukkan Pancasila dalam kurikulum.

Sementara itu, Rektor UJB Suharjanto mengatakan, kaum akademisi memiliki tugas untuk mengartikulasikan keinginan rakyat untuk maju dengan berdasar pada Pancasila sebagai jawaban terhadap tantangan yang dihadapi bangsa dan negara.

“Sejak awal reformasi hingga sekarang terjadi kemunduran pamor ideologi Pancasila seiring meningkatnya liberalisasi dan demokratisasi di dunia,” katanya.

UJB, lanjut dia, yang telah memposisikan diri sebagai Kampus Kebangsaan yang siap menggembleng mahasiswa untuk menjadi sumber daya manusia Indonesia yang berpengatahuan tinggi dan berazaskan nasionalisme serta patriotisme.

Dalam kuliah tersebut, turut hadir sejumlah pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) seperti Tjahjo Kumolo, Ganjar Pranowo, Idham Samawi, juga keluarga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH Prabukusumo.

Megawati Tantang Perempuan Jadi Presiden

Presiden ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri menantang seluruh kaum perempuan Indonesia untuk bisa menduduki jabatan pemerintahan tertinggi, yaitu presiden.

“Saya bertanya, apakah akan ada perempuan yang bisa menggantikan saya sebagai presiden. Hingga saat ini, saya adalah satu-satunya perempuan di Indonesia yang menjadi presiden,” kata Megawati saat memberikan “Kuliah Presiden” memperingati Hari Lahir Pancasila di Universitas Janabadra (UJB), di Yogyakarta, Kamis.

Menurut Megawati, bila dalam waktu kurang dari 25 tahun mendatang sudah ada perempuan yang menjadi Presiden Republik Indonesia, maka ia akan memberikan apresiasi yang sangat besar.

Perempuan, lanjut dia, tidak berbeda dengan kaum laki-laki, dan satu-satunya yang bisa dilakukan perempuan untuk lebih mengungguli kaum laki-laki adalah di kepandaiannya.

“Ayah saya (Presiden I Republik Indonesia Soekarno-red) memberikan dorongan dan semangat agar perempuan tidak merasa kalah dari kaum laki-laki,” katanya.

Ia juga berpesan kepada generasi muda agar memiliki keyakinan dan kepercayaan diri agar tidak kalah dengan bangsa lain di dunia, karena kurangnya kepercayaan diri tersebut bisa berakibat pada kalahnya bangsa Indonesia saat bersaing dengan bangsa lain di dunia.

Untuk menumbuhkan kepercayaan diri itu, lanjut dia, adalah selalu berpegang pada Pancasila sebagai ideologi negara, karena sebenarnya Pancasila itu sudah berada dalam sanubari masyarakat Indonesia.

“Pancasila harus diimplementasikan secara konsekuen agar seluruh sendi kehidupan bangsa bisa berjalan secara berdaulat termasuk politik dan ekonomi,” katanya.

Sementara itu, Kepala Biro Kesra Pemerintah Provinsi DIY RM Wijoseno Haryo Bimo yang membacakan sambutan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengatakan, perlu adanya penghayatan dan pengamalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya

pengenalan karena keampuhan Pancasila sudah terbukti.

“Saya merasa prihatin seolah Pancasila dilupakan. Dalam kurikulum juga ditiadakan sehingga banyak siswa melanggar norma pendidikan, agama, dan sosial kemasyarakatan, termasuk para pejabat negeri,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, Pancasila harus “diuri-uri” dalam kehidupan sehari-hari, termasuk memasukkan Pancasila dalam kurikulum.

Sementara itu, Rektor UJB Suharjanto mengatakan, kaum akademisi memiliki tugas untuk mengartikulasikan keinginan rakyat untuk maju dengan berdasar pada Pancasila sebagai jawaban terhadap tantangan yang dihadapi bangsa dan negara.

“Sejak awal reformasi hingga sekarang terjadi kemunduran pamor ideologi Pancasila seiring meningkatnya liberalisasi dan demokratisasi di dunia,” katanya.

UJB, lanjut dia, yang telah memposisikan diri sebagai Kampus Kebangsaan yang siap menggembleng mahasiswa untuk menjadi sumber daya manusia Indonesia yang berpengatahuan tinggi dan berazaskan nasionalisme serta patriotisme.

Dalam kuliah tersebut, turut hadir sejumlah pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) seperti Tjahjo Kumolo, Ganjar Pranowo, Idham Samawi, juga keluarga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH Prabukusumo.

Popularity: 1% [?]

Pilpres 2009

Megawati Ajak Pemilih Perempuanndosiar.com, Garut - Calon Presiden Megawati Soekarnoputri Minggu (21/06/09) kemarin, melakukan kampanye secara terutup di Garut, Jawa Barat. Dalam orasi politiknya Megawati kembali menyinggung kekisruhan DPT (daftar pemilih tetap) yang terjadi pada pemilihan legislatif dan mengajak kaum perempuan untuk memilihnya.

Kedatangan calon presiden Megawati Soekarnoputri bersama tim suksesnya ke Gedung Intan Balarea, Garut, Jawa Barat langsung disambut para pendukungnya. Dalam orasinya, Megawati menyinggung kembali kekisruhan DPT yang terjadi pada pemilu legislatif beberapa waktu lalu. Megawati menegaskan kepada pendukungnya agar hak pilih mereka disalurkan secara baik dan tidak terjadi kecurangan saat pilpres pada tanggal 8 Juli mendatang, sebaiknya diungkap dan jangan takut bila ada tekanan dari pihak manapun termasuk dari pihak aparat.

Selain itu Megawati juga mengajak kepada kaum perempuan untuk memilihnya karena dirinya satu-satunya capres perempuan yang akan mengerti dan akan memperhatikan kaum perempuan.

Sementara diluar jadwal kampanye, calon wakil presiden Prabowo Subianto mengunjungi acara sedekah laut di Pelabuhan Kluwut Brebes, Jawa Tengah. Suasana sempat ricuh saat terjadi saling dorong antara petugas pengawal dengan warga yang berebut ingin menyalami Prabowo. Meski menolak dikatakan berkampanye, namun kehadiran Prabowo ini didukung atribut-atribut Mega Pro dan dihadiri sejumlah politisi PDIP dan Gerindra. (Deni Muhammad Arif/Kuncoro Wijayanto/Sup)

Di Bawah Bunda MegawatiSenyum empat perempuan menteri pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terkembang. Tanpa sungkan, entah atas inisiatif mereka ataukah juru foto Istana, keempatnya berpose membelakangkan foto mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Megawati dibelakangkan, menandakan bahwa putri Bung Karno itu adalah bagian masa lalu. Kendati dibelakangkan, foto Alif Ichwan itu justru memberikan perspektif lain bila dilihat dari depan. Keempat perempuan itu justru berada tepat di bawah foto besar Megawati. Kebesaran dan kemegahan foto Megawati tampak superior bahkan ketika keempat perempuan menteri itu bersanding satu.

Dominasi Megawati di bagian atas seolah ingin memberikan pesan bahwa cita-cita dirinya tentang kemajuan perempuan berpolitik tidak terlepas dari perjuangannya yang masih dilakukannya hingga kini (semisal pidato peresmian gedung atas nama diri dan bapaknya di sebuah kampus negeri di Malang). Senyum merekah Megawati nan tulus, agak malu-malu namun menyimpan hasrat terpendam, terbingkai estetik dalam lis berwarna keemasan.

Keemasan andil Megawati itulah yang seolah hendak diterimakasihi keempat perempuan menteri. Seolah mereka tak lupa jasa Megawati soal andil perempuan dalam kancah politik dan kemajuan bangsa.

Bayang-bayang Megawati tampil dominan dengan konstruksi foto yang mengambil momentum parsial seperti itu. Boleh jadi, keempat perempuan menteri itu berjejer pula di bawah mantan kepala negara yang lain. Pilihan di bawah Megawati untuk dipilih jadi foto ilustrasi Kompas, tidak terlepas dari preferensi ideologi gender dan kedekatan politik sebagian elit redaksi dengan subjek tertampil.

Tajuk ‘Berfoto Bersama’ yang galibnya dilakukan orang-orang terhadap subjek terpandang, tenar atau selebritas dalam kasus empat menteri merelasikan siapa dominan (tenar) dan siapa

butuh cantelan untuk tenar atau dianggap sesuai garis perjuangannya. Kesan ndeso berfoto bareng dihilangkan untuk diganti menjadi pemaknaan kesertaan ideologis.

Timbul tanya, dari foto itu siapa sesungguhnya pemimpin mereka? Jepretan Ichwan semacam sindiran, ironi, sekaligus kritik terhadap pemimpin keempatnya. Bahwa boleh saja ketaatan formal ada pada sang Presiden sekarang, namun soal kedekatan emosi dan selaku manusia biasa… ya dengan Megawati. (Apalagi satu di antara perempuan menteri itu suaminya pernah mendampingi Megawati dalam pemilihan calon presiden).

Menyadari akan hal itu, mungkin itu sebabnya senyum merekah dua di antara empat perempuan itu berkesan canggung. Lihat bagaimana Mari tampak gamang di balik senyum iritnya (mungkin juga gamang dengan posisi barunya di kabinet), demikian pula Armida Alisjahbana, yang tampak malu-malu-ditambah dia memakai busana seragam dengan Megawati pula.[]

BELAJAR DARI SANG AYAH

Nama lengkapnya : Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri. Terlahir pada tanggal 23 Januari 1947 di Yogyakarta, sebagai anak kedua dari Bapak Proklamator negara kita, Ir. Soekarno, dan ibunya adalah Ibu Fatmawati.

Terlahir sebagai anak pemimpin, Ibu Megawati banyak belajar untuk hidup dan berperilaku layaknya anak seorang pemimpin, serta bagaimana bertindak layaknya seorang pemimpin. Apalagi masa kecil Ibu Mega beserta saudara-saudaranya banyak dihabiskan di lingkungan istana.

Hidup sebagai anak pemimpin bangsa, membuat Ibu Megawati mengenal banyak pemimpin dunia, terutama yang singgah ke istana, atau pada saat Ibu Megawati mengikuti kegiatan kunjungan kerja Bung Karno keluar negeri.

Kedekatan diri Ibu Megawati dengan Bung Karno, membuat dirinya dapat belajar langsung bagaimana hidup serta bertindak layaknya seorang pemimpin dari ayahanda tercinta. Adanya pola pembelajaran langsung dari "sang pemimpin" inilah yang membuat kharisma Ibu Megawati sangat menyerupai kharisma dari Bung Karno.

Proses pembelajaran langsung kepada "sang pemimpin" ini pula yang kelak membuat Ibu Megawati menerapkan suatu konsepsi kepemimpinan yang semangat membela kepentingan serta kemajuan bangsa dan negara. Tak diragukan lagi, jiwa nasionalisme yang mengalir dalam diri Ibu Megawati memang berasal dari pola pembelajaran yang Ibu Megawati dapatkan dari ayah dan ibunya.

Megawati Sukarno Putri, Perempuan Pemimpin, Pemimpin

Perempuan

SOSOK PEREMPUAN PEMIMPIN, PEMIMPIN PEREMPUAN

Ibu Megawati adalah sosok pemimpin perempuan yang telah membawa arus perubahan kearah yang lebih baik pada bangsa kita. Mereka yang tidak sependapat, cenderung lebih mengangkat sisi fenimisme pada gaya kepemimpinan Ibu Megawati, yang memang selalu membawa sifat keibuan pada saat dirinya bertindak sebagai seorang pemimpin.

Terlihat jelas kalau mereka yang tidak sependapat itu, telah mengungkapkan sebuah kalimat deskriptif yang hanya didasarkan pada omongan atau bisikan dari orang-orang yang terlalu lama tertidur lelap dan bermimpi untuk berkuasa pada saat Ibu Megawati bertindak sebagai Wakil Presiden dan Presiden RI.

Benarkah Ibu Megawati Soekarnoputri tidak menghadirkan pembaharuan hidup pada saat menjadi Wakil Presiden dan Presiden RI, sehingga sejumlah orang berani menghadirkan anggapan kalau Ibu Megawati tidak layak untuk dipilih lagi sebagai kepala negara kita untuk periode 5 tahun mendatang?

Ibu Megawati adalah sosok perempuan pemimpin yang dedikasi, kemampuan dan kredibilitasnya, sudah diketahui oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, bahkan oleh negara-negara sahabat. Bahkan majalah Forbes Edisi 4 September 2004 telah menempatkan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai perempuan kedelapan terkuat di dunia.

Jadi, pengakuan atas keberadaan Ibu Megawati ini telah ada semenjak Ibu Megawati menjadii pimpinan partai politik, dan semakin menonjol ketika Ibu Mega dipercaya untuk menjadi pemimpin bangsa.

Meskipun sering kali mendapatkan tekanan agar mundur dari panggung politik, namun Ibu Megawati tetap sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (PDI-P), bahkan semenjak partai ini masih bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Perlu diketahui bahwa Ibu Megawati sudah aktif sebagai pimpinan partai (dalam hal ini PDI) sejak tahun 1986, pada saat Ibu Megawati diangkat sebagai Wakil Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.

Bisa dibilang, sampai saat ini, Ibu Megawati masih tercatat sebagai perempuan pemimpin partai yang paling lama duduk menjabat sebagai Ketua Umum Partai. Mungkin, diantara kaum laki-laki yang pernah atau sedang memimpin partai politik, Ibu Mega masih tetap lebih lama menjabat.

Adakah pribadi lain di negara kita yang mampu menjaga segenap kepercayaan kader, simpatisan dan massa konstituen lainnya, sehingga dapat tetap ditunjuk sebagai seorang Ketua Umum Partai, seperti yang telah dilalui oleh Ibu Megawati? Seperti tidak ada.

Mungkin, nama Ibu Megawati layak untuk dicatatkan kedalam buku Rekor MURI, karena telah menjadi pemimpin partai terlama di Indonesia.

Upaya memecah belah partai yang dipimpinnya, ternyata tidak mampu atau tidak cukup kuat untuk menggoyahkan Ibu Megawati Soekarnoputri dari tampuk kursi pimpinan partai, bahkan juga dari pentas panggung politik nasional. Mereka yang membelot atau mereka yang bersekutu untuk menjatuhkan Ibu Megawati, justru tidak mampu bertahan lama. Nama mereka memudar seiring waktu.

Tidak demikian halnya dengan Ibu Megawati. Kuatnya karisma Ibu Mega di mata massa pendukungnya, membuat dirinya tetap dipercaya sebagai pemimpin partai. Meskipun banyak aral yang melintang dan menghadang, namun Ibu Mega tetap mendapatkan dukungan serta berhasil membesarkan partai.

Itu fakta, itu realita. Adakah yang ingin memungkirinya?

Pada sisi yang lain, Ibu Megawati juga pernah menjadi pemimpin bangsa, baik sebagai Wakil Presiden, juga sebagai Presiden RI. Hanya Bapak BJ. Habibie yang pernah mempunyai prestasi sama seperti yang Ibu Megawati telah jalani.

Melihat kedua hal itu saja (lama bertindak sebagai Ketua Umum Partai dan pernah diangkat sebagai Wakil Presiden serta Presiden RI), sudah cukup menunjukkan bahwa Ibu Megawati adalah sosok pribadi pemimpin yang berhasil.

Ketika Ibu Megawati menjadi diangkat sebagai Ketua Umum Partai dan pemimpin bangsa, Ibu Megawati menerapkan konsepsi kepemimpinan yang menempatkan dirinya sebagai ibu bangsa. Dalam hal ini, Ibu Megawati membangun citra dirinya sebagai pribadi yang mengayomi rakyat.

Bukti dari pernyataan itu adalah : Ibu Megawati tidak segera merespon dengan cara mencari-cari alasan untuk maksud membantah, terhadap sejumlah opini yang berupaya untuk memojokkan Ibu Megawati, atau opini yang aktif mengatakan bahwa sikap diam yang diambil oleh Ibu Megawati sebagai sebuah sikap seorang pemimpin yang tak mampu menjawab kegelisahan masyarakat.

Diam bukan berarti tak tahu. Diam bukan berarti tidak punya alasan. Akan tetapi pilihan untuk diam, adalah sebuah sikap agar tidak ada pihak yang mencari kesempatan dalam kekeruhan suasana. Sesuatu yang liar tidak perlu ditanggapi dengan hal-hal yang liar pula.

Jelas, siap diam Ibu Megawati terhadap opini-opini yang tidak bertujuan baik itu adalah pilihan sikap yang bijaksana.

Tanda kebijaksanaan dari Ibu Megawati juga terlihat ketika SBY aktif memanfaatkan media massa untuk mencari simpatik masyarakat (gaya melankolis agar rajukannya di media massa bisa mencuri perhatian banyak orang) karena merasa keberadaannya sebagai Menko Polkam seakan-akan tidak dianggap oleh Ibu Megawati.

Pada saat itu, Ibu Megawati tidak mencoba untuk menggunakan hak jawabnya atas pilihan sikap SBY itu, karena Ibu Mega lebih memilih bersikap sebagai seorang negarawan, bukan pribadi seseorang yang suka mencari perhatian saja.

Oleh sebab itu, pola kepemimpinan yang diterapkan oleh Ibu Megawati tersebut, tidak perlu membuat para kaum perempuan untuk mengajukan suatu sentimen negatif yang dapat menimbulkan reaksi atau gejolak penolakan dari kaum laki-laki, terutama kepada mereka yang merasa kalau kaum perempuan itu adalah kelompok masyarakat "kelas dua" di negeri ini.

Jadi, nilai lebih Ibu Megawati sudah dua.

Apabila ditambah dengan keberanian Ibu Megawati untuk turut andil dalam mereformasi kehidupan berpolitik di negara kita, meruntuhkan kuasa besar yang ada pada Presiden Soeharto pada masa Orde Baru bersama-sama dengan tokoh reformis lainnya (Abdurahman Wahid, Amien Rais, Sultan HB X), maka nilai Ibu Megawati sudah bertambah menjadi tiga.

IBU MEGAWATI, SANG PEMIMPIN

Kharisma Ibu Megawati memang sangat kuat sehingga pengaruh yang dihadirkan Ibu Megawati, turut pula mendorong hadirnya demokratisasi di negara kita secara konsisten.

Hal ini semakin terbukti saat Ibu Megawati menjadi Presiden RI, pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2004, adalah pemilu yang paling demokratis, meskipun pada akhirnya Ibu Megawati kalah secara terhormat pada tahap kedua pemilihan presiden.

Bisa dibilang, Ibu Megawati adalah simbol kebangkitan kehidupan berdemokrasi di Indonesia, sebab oleh karena konsistensi perjuangannya yang teramat luar biasa semenjak menjadi ketua umum partai dan mulai mengalami tekanan serta tindakan represif dari pemerintah Orde Baru semenjak tahun 1993 (pada saat pelaksanaan Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya), negara kita akhirnya dapat merasakan kehidupan demokrasi, bebas mengeluarkan pendapat, bebas menentukan sikap (asal tetap bersikap dalam koridor aturan hukum yang berlaku).

Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tak gentar meskipun badai keras menghantam, tetap maju dengan semangat dan kerja keras untuk membangun masyarakat atau orang-orang yang dipimpinnya agar dapat hidup lebih baik, atau merasakan kebaikan hidup. Itulah sosok Ibu Megawati Soekarnoputri, sang perempuan pemimpin, pemimpin perempuan. Kata kunci: articleSebelumnya: Ibu Mega : Kesejahteraan Prajurit, Modernisasi Alutsista, Peningkatan Kemampuan Aparat KepolisianSelanjutnya : Memilih dengan Menggunakan KTP atau Pasport

http://sarlen.multiply.com/journal/item/381/Megawati_Soekarnoputri_Perempuan_Pemimpin_Pemimpin_Perempuan

Megawati bangga namanya diabadikan menjadi gedung kampus Rabu, 19 Oktober 2011 18:41 WIB | 1366 Views

Megawati Soekarnoputri (FOTO ANTARA)

Berita Terkait

Pimpinan FH se-Jatim bahas martabat hakim Megawati: penambahan wakil menteri bebankan APBN Boediono datangi Megawati Guatemala sepakat ekstradisi mantan presiden ke AS UIN Malang wajibkan asing pelajari Pancasila

Malang (ANTARA News) - Megawati Soekarnoputri mengaku bangga namanya diabadikan menjadi nama sebuah gedung di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Jawa Timur, dekat dengan ayahnya, Ir Soekarno yang juga diabadikan menjadi nama gedung di tempat itu.

"Ini adalah suatu kebanggaan, sebab nama ayah dan anak bisa diabadikan menjadi nama gedung di sini dan saling berdekatan dalam satu kampus, yakni UIN Malang," kata presiden ke-5 RI itu, dalam peresmian gedung itu, Rabu.

Megawati yang juga menjabat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu berharap, dengan diabadikannamanya menjadi nama sebuah gedung, bisa menginspirasi dan memberikan pelajaran bagi kaum perempuan.

"Nama gedung Megawati ini harus menjadi inspirasi bagi mahasiswa khususnya perempuan, sebab dengan adanya nama gedung dari seorang perempuan maka perempuan juga bisa jadi pemimpin," katanya saat memberi sambutan kepada mahasiswa UIN Malang.

Dikatakannya, sejak kecil dirinya mengaku mempunyai cita-cita menjadi seorang pemimpin meski perempuan. Oleh karena itu, Megawati berharap, perempuan bisa diberi peluang sama dengan laki-laki dalam pemerintahan.

Sementara itu, Rektor UIN Malang Prof Imam Suprayogo mengatakan, nama Megawati dan Soekarno dipakai menjadi nama sebuah gedung dalam kampus itu, karena pihaknya sangat meneladani kedua sosok mantan presiden yang paling berjasa bagi bangsa Indonesia itu.

Imam mengaku, pihaknya sangat berterimakasih kepada Megawati, karena ketika UIN Maliki masih menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, bisa berubah menjadi universitas dan berkembang pesat atas dukungan jajaran kabinet yang dipimpin Presiden Megawati.

"Megawati memberikan kontribusi yang cukup besar kepada UIN Maliki yang awalnya dipandang sebelah mata sebagai kampus mirip SD Inpres, namun di era Megawati upaya UIN yang kala itu masih IAIN Sunan Ampel didukung menjadi universitas," ujarnya.

Imam menambahkan, penggunaan nama Megawati menjadi nama gedung di kampus UIN itu juga dikarenakan bangga, sebab Megawati merupakan presiden wanita pertama di Indonesia yang juga merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.

"Kini UIN Maliki telah berkembang pesat, dan banyak mahasiswa asing yang belajar di UIN, mulai dari Yaman, Jordania, Filipina, hingga Rusia. Bahkan saat ini 26 mahasiswa asal Moskow, Rusia, menempuh pendidikan di UIN," katanya.

(T.KR-MSW/C004)

Editor: Ruslan Burhani

COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

http://www.antaranews.com/berita/280587/megawati-bangga-namanya-diabadikan-menjadi-gedung-kampus

Megawati, PEREMPUAN PENGUASA DI SARANG PRIA

Inilah petikan tanya jawab Soekarno dan Megawati pada Desember 1964 di Istana Merdeka." Nak, apa cita - citamu ? " Tanya Soekarno pada putrinya yang kala itu berumur 18 tahun." Saya ingin menjadi insinyur pertanian "" Apakah kamu siap bekerja dilapangan, seperti kebanyakan para insinyur ? "" Tidak. Saya ingin menjadi insinyur yang bekerja di laboratorium. Saya ingin menggunakan kepintaran saya untuk bekerja sebagai peneliti pertanian. Biar rakyat Indonesia tak kekurangan pangan "" Oh, kamu sungguh anak yang baik dan cerdas ", Soekarno membelai rambut panjang anaknya. Begitu, Bulletin of Concerned Asian Scholars mengutip percakapan ayah anak itu.

Keinginan menjadi Insinyur pertanian bermula dari keprihatinan Megawati pada saat Indonesia dilanda paceklik pada tahun 1963. negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi ini, harus bergantung kepada impor beras. mega akhirnya masuk Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Namun nasib berbicara lain. Dia tidak bisa menyelesaikan pendidikannya. Begitu juga pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, tak ia jalani sampai tuntas.

Tetapi kemudian sejarah berkata lain. Megawati terseret ke dunia politik. Bahkan mencapai puncak kejayaan saat dirinya terpilih sebagai Presiden ke lima di Republik ini. Meski sering sekali dia menyindir dalam setiap pidato politiknya bahwa dirinya hanya presiden SETENGAH.

Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputeri. Ibu rumah tangga penggemar bunga yang kemudian serius menggeluti dunia politik saat usianya mendekati 40 tahun. Lewat Partai Demokrasi Indonesia dia mulai berkiprah sebagai politikus yang kemudian membidani tumbuh kembangnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Sifatnya yang pemalu dan konservatif. Membuat dia terkesan Pendiam saat menjabat Presiden. Bahkan sifat diamnya terasa ekstrim. Sehingga banyak menimbulkan tanya bagi orang awam yang tidak memahaminya. Tetapi sikap diamnya itu merupakan sentral dari bandul pendulum banyak Politisi.

Tetapi kini si pendiam itu mulai sedikit berubah. Dalam setiap pidato politiknya selalu terdengar satire - satire halus yang membuat setiap orang yang mendengarnya tersenyum simpul. Atau bahkan ada yang tersindir ?. Siapa tahu dengan mulai berubahnya sikap Megawati, Negeri ini akan mulai berubah pula karena tersentil sosok seorang IBU yang sudah gerah dengan sepak terjang anak - anaknya.

Bagaimana pendapat anda ?

Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/gender/2180282-megawati-perempuan-penguasa-di-sarang/#ixzz1brY4PlTy

Sumber PDF: http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/biography/?box=detail&presiden=megawati&presiden_id=5

Megawati, Kartini Modern dan Ratu Demokrasi IndonesiaOPINI | 29 July 2009 | 15:30 882 22 Nihil

Figur Megawati di mata saya sangat fenomenal. Sebagai perempuan satu-satunya dan yang pertama menduduki pucuk pimpinan parpol besar, menjabat wakil presiden lalu mejadi presiden RI. Juga satu-satunya pimpinan parpol yang mampu mengangkat partainya PDIP meraih 34% sejak jaman reformasi persisnya pada pemilu 1999. Bukan saja karir politiknya yang cemerlang tapi juga gigih dalam perjuangannya melawan diktatorisme dan militerisme Orde Baru sejak 1987 sekaligus memiliki ketahanan fisik dan mental menghadapi penindasan oleh penguasa Order Baru selama 12 tahun.

Tak ayal lagi Megawati bukan politisi kacangan dan bukan pula penumpang gelap reformasi yang tiba-tiba bancakan sejak Orde Baru runtuh seperti kebanyakan politisi jaman kini, tapi lama berjuang menegakkan demokrasi di Indonesia sehingga kita semua layak berterima kasih kepadanya yang turut andil besar menjadikan kita semua kini meraih kebebasan berbicara, berpikir dan berpendapat sehingga dihormati di dalam pergaulan internasional yang bermartabat dan beradab.

Sungguh kalo mau jujur hanya segelintir manusia yang memiliki nyali seperti Megawati di Indonesia, yang tidak hanya berani mengkritik penindasan Orde Baru tapi juga berani pidato Menyatakan Menolak Pemilu terakhir Orde Baru pada tahun 1998. Suatu kebranian luar biasa yang pada jaman itu setara dengan menyatakan siap dipenjara dan siap ditembak mati. Dan anehnya Megawati pula yang kemudian berani menyerukan untuk Jangan Menghujat Soeharto setelah Orde Baru tumbang dan ketika publik lagi seneng-senengnya menghukum dan menelanjangi dosa-dosa pejabat Orde Baru beserta kroni-kroninya.

Sekedar mengingatkan berikut ini Profil Megawati Soekarnoputri seperti yg ditulis oleh Tempointeraktif.com:Nama : MegawatiNama Lengkap : Dyah Permata Megawati Setyawati SukarnoputriTempat/Tgl. Lahir: Yogyakarta, 23 Januari 1947Suami : Taufik Kiemas

Karir:- Presiden RI (2001 - 2004)- Wakil Presiden RI (1999- 2004)- Anggota DPR/MPR RI (1999 - 2004)- Anggota DPR/MPR RI (1987-1992)

Pendidikan:- SD s/d SMA Perguruan Cikini- Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran (1965-1967)- Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972).

Organisasi:- Ketua PDI Cabang Jakarta Pusat (1987-1992)- Ketua Umum DPP PDI (1993 - 1998)- Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (1998-2003)- Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (2003-2009)

Oleh karena itu saya secara pribadi tak ragu-ragu untuk menobatkan Megawati Soekarnoputri sebagai Kartini Modern dan sekaligus Ratu Demokrasi Indonesia. Kartini Modern karena dia telah banyak mengilhami kaum perempuan Indonesia untuk maju, meraih pendidikan tinggi dan meraih cita-cita tertinggi. Megawati berbuat, memberi contoh dan bukti. Suatu perjuangan yg sangat sulit, sebagaimana dialami RA Kartini (1880-1934), di negeri yang baru berkembang dan banyak yang menginginkan perempuan tetap menjadi warga kelas dua di bawah kekuasaan absolut kaum lelaki.

Ratu Demokrasi Indonesia karena dia berjuang tanpa kenal lelah untuk menegakkan kehidupan yang demokratis di negeri tercinta Indonesia dg terjun langsung memimpin partai politik, menjadi parlemen hingga akhirnya meraih pucuk pimpinan negara RI. Dia pula yang konsisten membawa PDIP menjadi partai oposisi sejak 2004 guna menjaga tegaknya demokrasi sementara parpol lain mengemis-ngemis kekuasaan kepada kubu pemerintah. Dua kali ikut Pilpres juga memperoleh suara yang membanggakan untuk ukuran perempuan yang belum sempat meraih

galar sarjana dan tidak lihai bicara. Maka dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia Megawati layak memeperoleh gelar-gelar tersebut.

Saya tidak sependapat dengan kalangan yang sinis bahwa sukses Megawati semata-mata karena menyandang nama besar Bung Karno Bapak Proklamator RI. Buktinya putri Bung Karno yang lain yaitu Sukmawati dan Rachmawati yang masing-masing mendirikan partai nasionalis sendiri-sindiri gagal total, bahkan Rachmawati sekarang berkoalisi dengan kubu SBY untuk pilpres 2009. Terbukti ketika Megawati menjadi presiden RI relatif perekonomian Indonesia secara umum mengalami masa terbaik sejak era reformasi, terutama dirasakan oleh para pedagang menengah ke bawah yg mengalami penurunan omzet dan penurunan daya beli 40% sejak 2005 hingga sekarang.

Yang jelas belum ada satu perempuan Indonesiapun di jaman modern ini yang punya nyali dan ketahanan mental sekuat dia, walaupun mereka telah meraih gelar doktor, profesor, pandai bicara dan lihai berdebat. Yang jelas Megawati telah memberi contoh nyata kepada seluruh perempuan Indonesia, memberi kebanggan tersendiri kepada kaum wanita Indonesia bahwa kaum hawa sudah sederajat dengan kaum lelaki: bisa tegar, bisa maju, bisa kuat, bisa perkasa, dan bisa meraih sukses setinggi langit.

http://umum.kompasiana.com/2009/07/29/megawati-kartini-modern-dan-ratu-demokrasi-indonesia/

Megawati Soekarnoputri

Masa Bakti 2001 -- 2004

 

Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.

Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.

Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.

Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak

bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.

Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.

Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.

Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.

Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas.

Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan

PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.

Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6. (Dari Berbagai Sumber)