100406035 - megawati (2).pdf

27
PERENCANAAN KOTA UNDANG-UNDANG PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA MEGAWATI 100406035 [email protected] Departemen Teknik Arsitektur S-1 Universitas Sumatera Utara

Upload: abdul-joshua-oh-mandai

Post on 07-Aug-2015

49 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 100406035 - Megawati (2).pdf

PERENCANAAN KOTA

UNDANG-UNDANG PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA

MEGAWATI 100406035

[email protected]

Departemen Teknik Arsitektur S-1 Universitas Sumatera Utara

Page 2: 100406035 - Megawati (2).pdf

I. UNDANG-UNDANG PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA Di Indonesia, suatu rencana kota tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, yang tentunya dimiliki oleh setiap kawasan dari tingkat kecamatan sampai nasional. Berikut prosedur perencanaan kota di Indonesia berdasarkan UU No. 24 tahun 1992 :

Rencana tata ruang biasanya diperbaharui setiap 5 tahun sekali untuk kawasan setingkat kecamatan. Semakin luas kawasan yang ditangani, semakin panjang jangka waktu yang diperlukan untuk menyusun rencana baru, namun tetap diadakan evaluasi dalam jangka waktu yang ditentukan.

Adapun penggolongan rencana menurut RTRW membagi skala kota menjadi 2 jenis, yaitu Perencananan Kota Nasional (PKN) dan Perencananan Kota Wilayah (PKW).

Page 3: 100406035 - Megawati (2).pdf

Perencanaan Kota Nasional berlaku bagi kota yang memiliki ciri sebagai berikut:

• Pusat yg mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional dan mempunyai potensi untuk mendorong daerah sekitarnya

• Pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yang melayani nasional atau beberapa propinsi

• Pusat pengolahan/pengumpul barang secara nasional atau meliputi beberapa propinsi

• Simpul transportasi secara nasional atau meliputi beberapa propinsi • Pusat jasa pemerintahan untuk nasional atau meliputi beberapa

propinsi • Pusat jasa-jasa kemasyarakatan yang lain untuk nasional atau

meliputi beberapa propinsi

Perencananan PKW berlaku bagi kota yang memiliki ciri sebagai berikut

• Pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yg melayani propinsi atau beberapa kabupaten

• Pusat pengolahan/pengumpul barang untuk satu propinsi atau meliputi beberapa kabupaten

• Simpul transportasi untuk satu propinsi atau meliputi beberapa kabupaten

• Pusat jasa pemerintahan untuk satu propinsi atau meliputi beberapa kabupaten

• Pusat jasa-jasa kemasyarakatan yang lain untuk untuk satu propinsi atau meliputi beberapa kabupaten Sebagai contoh perencanaan kota di Jakarta, rencana struktur ruang sendiri terdiri atas, sistem pusat kegiatan, sistem dan jaringan transportasi, sistem prasarana sumber daya air dan sistem serta jaringan utilitas perkotaan. Rencana struktur ruang Provinsi DKI Jakarta merupakan perwujudan dan penjabaran dari rencana struktur

Page 4: 100406035 - Megawati (2).pdf

ruang kawasan perkotaan. Perencanaan kota-kota di Indonesia perlu dilakukan secara matang dan terpola. Maka dari itu diperlukan perencanaan yang memperhatikan kondisi fisik dan kondisi masyarakat yang ada. Kondisi fisik seperti fasilitas dan utilitas yang memadai, hunian yang sehat, dan sistem transportasi yang efisien dapat mendukung aktifitas masyarakat sehingga dapat menciptakan kota yang produktif.

Selain itu, pembangunan kota-kota di Indonesia harus sesuai prosedur yang diatur dalam RTRW. Diharapkan dengan adanya kejelasan hukum dan tata guna lahan yang ada pada RTRW dapat diterapkan pelaksanaannya di berbagai daerah di Indonesia sehingga mendukung pertumbuhan kota-kota yang ada menjadi lebih cepat, tepat, dan optimal.

Indeks Istilah PWK - UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

Page 5: 100406035 - Megawati (2).pdf

4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. 5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. 7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. 10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar

Page 6: 100406035 - Megawati (2).pdf

penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. 14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. 16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah. 19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan. 20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. 21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan

Page 7: 100406035 - Megawati (2).pdf

fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. 23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. 25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa. 27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem. 28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan/atau

Page 8: 100406035 - Megawati (2).pdf

lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. 29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 32. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Page 9: 100406035 - Megawati (2).pdf

II. HIERARKI PERENCANAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang. Konsep dasar hukum penataan ruang terdapat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 aliniea ke-4, yang menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”. Selanjutnya, dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada Negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki. Untuk dapat mewujudkan tujuan Negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tersebut dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah.

Apabila kita cermati secara seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh Negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan dalam lingkungan hidup. Upaya perencanaan pelaksanaan tata ruang yang bijaksana adalah kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks penguasaan Negara atas dasar sumber daya alam, melekat di dalam kewajiban Negara untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang pada

Page 10: 100406035 - Megawati (2).pdf

umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.

Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana pembangunan. Disini berarti hukum harus mendorong proses modernisasi. Artinya bahwa hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejalan dengan fungsi tersebut, maka pembentuk undang-undang mengenai penataan ruang. Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah, dimana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang adalah Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang.

Sejarah Pengaturan Tata Ruang Di Indonesia

Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) modern di Indonesia telah diperhatikan ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut baru dikembangkan secara insentif pada awal abad ke-20. Peraturan pertama yang dapat dicatat disini adalah De Statuen Van 1642 yang dikeluarkan oleh VOC khusus untuk Kota Batavia.

Peraturan ini tidak hanya membangun pengaturan jalan, jembatan dan bangunan lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung jawab pemerintah kota. Pembangunan peraturan kota mulai diperhatikan lagi setelah Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 yang mengatur pembentukan pemerintah kota dan daerah. Dimana undang-undang ini memberikan hak kepada kota-kota untuk mempunyai pemerintahan, administrasi dan keuangan kota sendiri.

Tugas pemerintahan kota diantaranya adalah pembangunan dan pemeliharaan jalan dan saluran air, pemeriksaan bangunan dan perumahan, perbaikan perumahan dan perluasan kota. Berdasarkan

Page 11: 100406035 - Megawati (2).pdf

undang-undang ini dibentuklah pemerintahan otonom yang disebut Gemeente, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tak lama kemudian, pada tahun 1905 diterbitkan Localen-Raden Ordonantie, Stb 1905/191 Tahun 1905 yang antara lain berisi pemberian wewenang pada pemerintahan kota untuk menentukan prasyarat persoalan pembangunan kota.

Karena mengalami beberapa persoalan mengenai pembentukan kota, pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya perencanaan kota yang menyeluruh. Hal inilah yang memicu dimulainya pengembangan perencanaan kota di Indonesia, meskipun pada saat itu belum ada peraturan pemerintah yang seragam.

Peraturan pembangunan kota tidak dapat dipisahkan dengan usaha-usaha Thomas Karsten, yang dalam kegiatannya dari tahun 1902 sampai dengan 1940 telah menghasilkan dasar-dasar yang kokoh bagi perkembangan peraturan pembangunan kota yang menyeluruh, antara lain untuk penyusunan rencana umum, rencana detail, dan peraturan bangunan. Laporan Thomas Karsten mengenai pembangunan kota Hindia Belanda yang diajukan pada kongres desentralisasi pada tahun 1920 tidak hanya berisikan konsep dasar pembangunan kota dan peran pemerintah kota, tetapi juga merupakan petunjuk praktis yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk penyusunan berbagai jenis rencana.

Peraturan yang penting bagi perencanaan kota yang disahkan pada tahun 1926 adalah Bijblad, di mana peraturan ini yang menjadi dasar kegiatan perencanaan kota sebelum perang kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1933, kongres desentralisasi di Indonesia meminta pemerintahan Hindia Belanda untuk memusatkan persiapan peraturan perencanaan kota tingkat pusat. Menyusul permintaan ini, dibentuklah suatu Panitia Perencanaan Kota pada tahun 1934 untuk menyiapkan peraturan perencanaan kota sebagai pengganti Bijblad.

Pada tahun 1939 pemerintah Hindia Belanda menyusun RUU Perencanaan Wilayah perkotaan di Jawa yang berisikan persyaratan pembangunan kota untuk mengatur kawasan-kawasan perumahan, transportasi, tempat kerja dan rekreasi.

Page 12: 100406035 - Megawati (2).pdf

Masuknya Jepang ke Indonesia dan adanya perang kemerdekaan Indonesia menyebabkan RUU Perencanaan Wilayah Perkotaan di Jawa baru disahkan pada tahun 1948 dengan nama Stadsvorming Ordonantie, Stb 1948/168 (SVO, atau Ordonansi Pembentukan Kota), yang kemudian diikuti dengan peraturan pelaksanaanya yaitu Stadsvormingverordening, Stb 1949/40 (SVV atau Peraturan Pembentukan Kota).

SVO dan SVV diterbitkan untuk mempercepat pembangunan kembali wilayah-wilayah yang hancur akibat peperangan dan pada mulanya hanya diperuntukan bagi 15 kota, yakni Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang, Banjarmasin, Cilacap, Tanggerang, Bekasi, Kebayoran dan Pasar Minggu.

Pesatnya perkembangan kota dan berubahnya karakteristik kota menyebabkan SVO tidak sesuai lagi untuk mengatur penataan ruang di Indonesia, selain hanya diperuntukan bagi 15 kota, Ordonansi ini hanya menciptakan dan mengatur kawasan-kawasan elit serta tidak mampu mengikuti perkembangan yang ada. Karena itulah pemerintah Indonesia mengajukan RUU Bina Kota pada tahun 1970 yang dipersiapkan oleh Departemen PUTL.

RUU ini mencakup ketentuan-ketentuan antara lain tahapan pembangunan, pembiayaan pembangunan, peraturan bangunan, dan peremajaan kota. Namun, usulan tersebut tidak pernah disetujui.

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Indonesia menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut disahkan dan berlaku. Namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma otonomi daerah melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Page 13: 100406035 - Megawati (2).pdf

Kriteria Kota

Untuk menetapkan apakah sesuatu konsentrasi permukiman itu sudah dapat dikategorikan sebagai kota atau belum, maka perlu ada kriteria yang jelas untuk membedakannya. Salah satu kriteria yang umum digunakan adalah jumlah dan kepadatan penduduk. Bagi kota yang sebelumnya sudah berstatus kotamadya atau sudah dikenal luas sebagai kota, maka permasalahannya adalah berapa besar sebetulnya kota tersebut, misalnya ditinjau dari sudut jumlah penduduk ataupun luas wilayah yang termasuk dalam kesatuan kota. Menggunakan jumlah penduduk berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, seringkali hasilnya tidak tepat untuk menggam-barkan besarnya sebuah kota, karena belum memenuhi persyaratan sebagai wilayah kota.

Pada kondisi lain, kota itu sebetulnya sudah melebar melampaui batas administrasinya, artinya kota itu telah menyatu dengan wilayah tetangga yang bukan berada pada wilayah administrasi tersebut. Dalam menganalisa fungsi dan menetapkan orde perkotaan, maka luas dan penduduk didasarkan atas wilayah kota yang benar-benar telah memiliki cirri-ciri perkotaan. Permasalahan bagi konsentrasi pemu-kiman atau bagi kota kecil (ibukota kecamatan) adalah apakah konsentrasi itu dapat dikategorikan sebagai kota atau masih sebagai desa. Jadi, perlu menetapkan kriteria apakah suatu lokasi konsentrasi itu sudah memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai kota atau belum.

Badan Pusat Statistik (BPS), dalam pelaksanaan survei status desa/kelurahan yang dilakukan pada tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah suatu desa/kelurahan dikategorikan sebagai berikut :

a.Kepadatan penduduk per kilometer persegi;

b.Persentase rumah tangga yang mata pencaharian utamanya adalah pertanian atau non pertanian;

c.Persentase rumah tangga yang memilki telepon;

d.Persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik;

Page 14: 100406035 - Megawati (2).pdf

e.Fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan, seperti fasilitas pendidikan, pasar, tempat hiburan, komplek pertokoan, dan fasilitas lain seperti hotel, billiard, diskotek, karaoke dan lain-lain. Masing-masing fasilitas diberi skor (nilai). Atas dasar skor yang dimiliki desa/kelurahan maka dapat ditetapkan desa/kelurahan tersebut masuk dalam salah satu kategori berikut, yaitu perkotaan besar, perkotaan sedang, perkotaan kecil dan pedesaan.

Kriteria BPS diatas, hanya didasarkan atas kondisi (besaran) fisik dan mestinya dilengkapi dengan melihat apakah tempat konsentrasi itu menjalankan fungsi perkotaan, misalnya mata pencaharian penduduk perlu dibuat ketentuan bahwa mata pencaharian penduduknya adalah bervariasi dan tidak tergantung hanya pada satu sektor yang dominan (walaupun itu bukan pertanian).

Dengan demikian, terdapat transaksi antar berbagai kegiatan/sektor yang bernilai ekonomi. Selain itu, perlu ditambah dengan kriteria bahwa konsentrasi itu berfungsi melayani daerah belakangnya. Artinya, berbagai fasilitas yang ada ditempat itu, seperti tempat perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, tidak hanya melayani/dimanfaatkan oleh penduduk kota itu sendiri, tetapi juga melayani masyarakat yang datang dari luar kota yang sering disebut sebagai daerah belakangnya.

Direktorat Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (PU) secara implisit menganggap bahwa : Suatu konsentrasi pemukiman dengan kepadatan 50 jiwa atau lebih per hektar berhak mendapat pelayanan fasilitas perkotaan, seperti pelayanan sampah dan air minum. Juga ada kriteria bahwa jaringan jalannya berlapis (berbentuk Grid, bukan ribbon type). Kriteria di atas masih perlu dipertegas tentang berapa luas wilayah minimal yang kepadatannya 50 jiwa atau lebih per hektar dalam satu kesatuan wilayah yang utuh, artinya tidak terputus-putus. Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau tidak, adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Adapun fasilitas/fungsi perkotaan, antara lain sebagai berikut :

a.Pusat perdagangan;

b.Pusat pelayanan jasa;

Page 15: 100406035 - Megawati (2).pdf

c.Tersedianya prasarana perkotaan;

d.Pusat penyediaan fasilitas sosial;

e.Pusat pemerintahan;

f.Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi; dan

g.Lokasi pemukiman yang tertata.

Dapat disimpulkan bahwa semakin banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, makin menyakinkan bahwa lokasi konsentrasi itu adalah sebuah kota.

Kebijaksanaan Pertanahan Terhadap Perencanaan Kota

Pengertian tanah menurut pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). “tanah adalah permukaan bumi atau kulit bumi”. Selanjutnya pasal 4 ayat (2) menjelaskan pengertian hak atas tanah, yang menyatakan : “Hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan tanah sampai batas-batas tertentu meliputi tubuh bumi, air, dan ruang angkasa diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah”. Hal ini, dipertegas kembali dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.

Selanjutnya dalam Penjelasan Umum angka II (4) dikemukakan, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan digunakan (atau tidak digunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apabila kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah atau lahan harus disesuaikan dengan keadaaan dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai dan juga bagi masyarakat dan negara.

Pasal 16 UUPA mewajibkan pemerintah untuk menyusun rancangan umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai macam keperluan pembangunan. Dalam UUPA sendiri tidak ada penegasan arti dari persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah tersebut. Namun, nampak dari tujuan dari setiap rencana itu tidak lain

Page 16: 100406035 - Megawati (2).pdf

adalah untuk mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yakni untuk kemakmuran rakyat.

Rencana umum peruntukan tanah harus sepenuhnya didasarkan pada kondisi objektif tanah dan keadaan lingkungan, oleh karena itu rencana umum peruntukan tanah di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota seharusnya memiliki kesamaan. Rencana umum persediaan tanah adalah suatu usaha pemenuhan kebutuhan tanah untuk berbagai pembangunan, yang dikaitkan dengan rencana umum peruntukan tanah. Persediaan tanah untuk pembangunan yang baik adalah persediaan tanah yang didasarkan pada kondisi obyektif fisik tanah .

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dapat dirumuskan bahwa yang di maksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan pengadaan tanah dalam kontek ini adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

Kaitannya antara pengadaan tanah bagi kepentingan umum dengan rencana tata ruang disebutkan, bahwa pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila penetapan rencana pambangunan untuk kepentingan umum tersebut sesuai dan berdasarkan pada Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

Sejumlah Masalah Tata Ruang

Page 17: 100406035 - Megawati (2).pdf

KOTA dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya. Tom Turner (1996) menyebutnya dengan cultural-landscape, sebagai mosaik yang sarat dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, dan kepribadian. Karenanya, memahami sebuah kota atau daerah, pertama-tama yang harus dilakukan adalah memahami budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut. Jelas, yang paling rumit dan kompleks adalah memahami perkotaan. Mengapa? Sebab, dalam setiap kota yang merupakan melting-pot selalu terdapat pluralisme budaya. Dalam kondisi demikian, sulit dihindari benturan budaya yang rentan menciptakan kompleksitas dan kontradiksi. Akibatnya, tata ruang kota juga terentang antara homogenitas yang kaku dengan heterogenitas yang kenyal. Suatu bentuk yang gampang pemeriannya, tapi sulit pengejawantahannya. Kerumitan lain, khususnya di perkotaan, berkaitan dengan dinamika perkembangan kota. Penduduk kota selalu berubah dan bergerak yang seringkali susah ditebak. Karena itu pola tata ruang kota yang terlalu ketat dan kaku, tidak akan bisa tanggap terhadap perubahan. Mengatasi masalah semacam itu, suatu bentuk perencanaan yang open-ended akan dibutuhkan. Perencanaan model ini akan menentukan bagian-bagian tertentu dari sistem kota yang memberikan peluang bagi bagian lain, termasuk yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, untuk bergerak

Page 18: 100406035 - Megawati (2).pdf

spontan. Perencanaan kota seperti itu juga akan memungkinkan penjabaran nilai, kebutuhan dan gaya hidup yang berbeda dapat berdampingan dalam satu lingkungan yang dinamik. Pengaruhnya, kelompok-kelompok penghuni kota yang berdatangan dengan mudah bisa menyesuaikan diri dan membentuk kembali secara kreatif organisasi ruang, waktu, makna, dan komunikasinya. Namun sulit dibantah, para perencana kota yang menganut paham bahwa segala sesuatu harus direncanakan, dikontrol dan dipantau secara tegar, pasti akan menentang pola tersebut. Mereka beranggapan bahwa ekspresi individual atau kelompok yang dimungkinkan melalui perencanaan yang open-ended, bila dibiarkan akan menciptakan lingkungan yang kacau balau, berantakan, tidak teratur. Atau, dengan satu kata: jelek. ”We must get away from our haphazard way of doing things and sure that everything is planned down to the last detail,” begitulah kira-kira coleteh mereka. (Tapi saya setuju bahwa detail tetap diperlukan--Iftirar) Padahal, pada kenyataannya, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sebuah kota yang ”down to the last detail” tidak hanya tidak mungkin, akan tetapi bahkan juga tidak diinginkan. Soalnya, banyak hal yang di luar dugaan muncul dengan tiba-tiba. Kejadian dan perubahan, ekspresi dan improvisasi, merupakan faktor yang justru memanusiawikan lingkungan dan layak disalurkan perlu diberi wadah dan dikembangkan. Tentu saja, dengan catatan bahwa semua perubahan itu mesti dilandasi oleh itikad untuk menyejahterakan masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah yang berada di perkotaan. Perencanaan kota yang open-ended akan menciptakan lingkungan yang memberikan tingkat kebebasan dan tindakan yang lebih bervariasi, di samping pelibatan masyarakat yang lebih besar, dan peluang untuk penyesuaian secara kreatif, bahkan modifikasi.

Page 19: 100406035 - Megawati (2).pdf

Di negara semaju Jepang pun tenda-tenda penjual bakso, bakmi, dan wedang ronde masih selalu didambakan keberadaannya karena konon berhasil menumbuhkan suasana akrab berskala manusia. Munculnya pun hanya pada saat-saat tertentu saja, biasanya malam hari. Lantas, kondisi seperti itu mereka sebut instant city alias kota dadakan. (Di Jakarta, warga bisa memberikan masukan untuk perencaan kota melalui Musrembang dan melihat RTRW di tiap kecamatan--Iftirar) Sejumlah masalah Perencanaan tata ruang selama ini masih cenderung berorientasi pada pencapaian tujuan ideal jangka panjang yang sering meleset akibat banyaknya ketidakpastian. Di sisi lain, masih banyak pula rencana yang disusun dengan pendekatan pemikiran sekadar untuk memecahkan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek dan kurang berwawasan luas. Sering dilupakan bahwa short term gain akan berakibat pada long term pain. Seyogyanya pendekatan yang diambil mencakup keduanya. Ibarat melihat hutan sekaligus mengkaji pohon-pohonnya. Atau sebaliknya, melihat keunikan setiap jenis pohon, ditilik dalam konteks hutannya. Rencana tata ruang yang baik tidak selalu menghasilkan penataan ruang yang baik pula bila tanpa didukung para pengelola perkotaan dan daerah yang handal, serta mekanisme pengawasan dan pengendalian pembangunannya pun kurang jelas. Kecenderungan yang terjadi kini adalah perencanaan tata ruang terlalu ditekankan pada aspek penataan ruang dalam arti fisik dan visual, biasanya menyangkut tata guna lahan, sistem jaringan jalan dan infrastruktur atau prasarana lingkungan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan perencanaan komunitas (sosial-budaya) dan perencanaan sumber daya masih belum diperhatiankan sesuai porsinya. Demikian halnya dengan keterpaduan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang masih terkesan sebagai slogan atau hiasan bibir belaka, belum mengejawantah dalam kenyataan. Kota dan daerah masih hampir selalu dilihat dalam bentuk hirarki pohon

Page 20: 100406035 - Megawati (2).pdf

yang tampaknya saja sederhana, padahal dalam kehidupan sesungguhnya berbentuk hirarki-jaring yang sangat kompleks. Bisa jadi, hal tersebut disebabkan karena masih adanya arogansi sektoral dan egosentrisme wilayah yang cenderung menggunakan ’kacamata kuda’. Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup pun masih sangat terbatas. Grey areas, yaitu berupa rencana kawasan urban-design, yang sesungguhnya merupakan titik temu antara perencanaan kota yang berdimensi dua dengan perancangan arsitektur yang berdimensi tiga masih terjadi. Dengan kata lain, sesudah tersusunnya rencana kota mulai dari Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK), biasanya langsung meloncat ke perancangan arsitektur secara individual.Bahkan bila dirunut lebih lanjut, seringkali RUTRK dibuat lebih dulu ketimbang Rencana Tata Ruang Wilayah. Yang cukup merisaukan adalah kekurangpekaan para penentu kebijakan, dan juga beberapa kalangan profesional, terhadap warisan peninggalan kuno yang pada hakikatnya merupakan bagian tak terpisahkan dalam sejarah perkotaan. Tergusur dan lenyapnya karya arsitektur langka yang estetis dan bernilai sejarah, berarti lenyapnya suatu babakan dari kisah perkembangan kota. Kota tanpa peninggalan arsitektur bersejarah, serupa saja dengan manusia tanpa ingatan. Jalan keluarnya nampaknya perlu revitalisasi kawasan bersejarah yang perlu lebih digalakkan. Penekanan perencanaan kota dan daerah pun perlu seimbang dengan memperhatikan aspek lingkungan binaan dan pendayagunaan lingkungan alamiah. Demikian halnya dengan tipisnya wibawa dan kekuatan hukum produk rencana tata ruang, cukup merisaukan. Tata ruang yang sudah tersusun dengan begitu saja dijungkirbalikkan karena adanya kehendak sesaat yang tidak konseptual. Nampaknya dimasa datang perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup perlu dilihat sebagai management of

Page 21: 100406035 - Megawati (2).pdf

conflicts, tidak sekadar management of growth atau management of changes. Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat inkremental. Mekanisme development control yang ketat juga perlu ditegakkan, lengkap dengan sanksi bagi si pelanggar dan penghargaan bagi mereka yang taat pada peraturan. Hal lainnya, penataan ruang perlu dilakaukan secara total, menyeluruh dan terpadu. Model-model participatory planning dan over-the-board planning atau perencanaan lintas sektoral selayaknya dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan. Demikian halnya dengan kepekaan sosiokultural para penentu kebijakkan dan para perencana seyogyanya lebih ditingkatkan. Sedangkan, kekayaan khasanah lingkungan alam mesti jadi perhatian dalam setiap setiap perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pengenaan Sanksi Pidana Bagi Pelanggar Tata Ruang

Salah satu hal terpenting yang dimiliki oleh Undang-undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun 2007 dan tidak ditemukan dalam UUPR sebelumnya adalah pemberian sanksi terhadap pelanggar tata ruang. Sanksi akan diberikan kepada pengguna ruang yang melanggar peruntukan tata ruang Selama ini penerapan tata ruang di daerah banyak mengalami kendala Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengguna ruang yang melanggar Peraturan Daerah (Perda) yang berlaku di wilayah tersebut. Oleh karena itu, dengan pemuatan pasal-pasal tentang sanksi dan denda tersebut, kini baik pejabat maupun anggota masyarakat yang melanggar amanat tata ruang harus bersiap-siap berhadapan dengan hukum,imbuhnya. Pemberian sanksi bagi pelanggar tata ruang dapat diberikan melalui tiga tingkatan. Yakni hukuman pidana tiga tahun dan denda 500 juta bagi pengguna yang sengaja merubah peruntukan ruang, pidana 8 tahun dan

Page 22: 100406035 - Megawati (2).pdf

denda 1,5 Milyar bagi pengguna yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan pelanggaran yang menimbulkan korban jiwa akan dikenakan hukuman pidana sampai 15 tahun dan denda 5 Milyar. “Sanksi-sanksi pidana dan administratif tersebut telah tertuang dalam UU Penataan Ruang, khususnya Pasal 69-70 ,” Berikut ini adalah bunyi Pasal yang dimaksud Pasal 69Ayat (1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).ayat (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).ayat (3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).Pasal 70 Ayat (1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Ayat (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Ayat (3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).Ayat (4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 75 Ayat (1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan

Page 23: 100406035 - Megawati (2).pdf

Pasal 72, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana. Ayat (2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana. Aplikasi tata ruang di daerah umumnya sudah sesuai dengan peruntukan, namun mayoritas belum disertai dengan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Secara implementatif, siapapun masyarakat yang hendak melakukan pemanfaatan ruang atau mendirikan bangunan di atas sebuah lahan harus memiliki izin dari Pemerintah Daerah. Kondisi yang berkembang saat ini tidak sedikit IMB yang sesungguhnya “cacat” karena berisikan izin pendirian untuk satu atau lebih bangunan dengan peruntukan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.Perlu segera dilakukan pengembalian fungsi sesuai peruntukan ruang karena tidak ada istilah “pemutihan” dalam rencana tata ruang, Seiring upaya untuk menciptakan ruang yang nyaman dan menumbuhkan awareness dari masyarakat terhadap aturan-aturan yang terdapat UUPR, maka diharapkan penyelenggaraan penataan ruang harus sesuai dengan aturan teknis yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak yang besar dari pelanggaran penataan ruang, seperti halnya kasus Situ Gintung, Kasus Situ Gintung yang terjadi pada tanggal 27 Maret 2009 menyita perhatian masyarakat Indonesia yang cukup luar biasa. Situ Gintung dikenal sebagai kawasan yang asri dan menjadi salah satu alternatif tujuan wisata. Tepi Situ Gintung berkembang menjadi tempat wisata yang memanfaatkan keindahan situ tersebut, serta menjadi alternatif bagi yang ingin menikmati makan siang yang nyaman karena di tepi situ tersebut juga berkembang beberapa restoran. Namun tanpa diduga bencana itu terjadi, dan keindahan situpun menjadi hilang. Namun yang paling menyedihkan adalah akibat jebolnya tanggul situ tersebut kawasan perumahan di bagian hilir Situ Gintung disapu oleh air bah dan mengakibatkan 99 korban jiwa, ratusan rumah hancur, dan sekitar 1000 orang harus mengungsi. Bencana tersebut walaupun tidak sebesar bencana tsunami di Aceh, namun tetap membuat kita terharu, sedih dan tentunya juga bertanya-tanya, kenapa bencana tersebut bisa terjadi dan

Page 24: 100406035 - Megawati (2).pdf

kenapa begitu besar kerugian yang ditimbulkannya, baik kerugian jiwa maupun materil.Tingginya curah hujan yang terjadi sejak sehari sebelum jebolnya tanggul yang mengakibatkan terjadinya limpasan air di atas tanggul (overtopping) dilaporkan sebagai salah satu penyebab jebolnya tanggul situ tersebut. Namun demikian, yang perlu menjadi perhatian kita adalah kenapa begitu banyak korban jiwa dan kerugian material lainnya. Kenapa di bagian hilir situ berkembang kawasan perumahan yang padat ?Bagaimana bisa kawasan yang seharusnya adalah daerah tangkapan air malah berkembang menjadi kawasan pemukiman yang padat penduduk. Konsekuensi pelanggaran tata ruang yang serius ini telah menyebabkan kehancuran infrastruktur akibat tidak mampu menyangga beban limpasan air.

Bencana Situ Gintung, Tangerang 27 Maret 2009

Oleh karena itu penegakan hukum bagi pelanggaran peruntukan ruang yang bisa mengakibatkan bencana bagi daerah sekitarnya harus terus dilakukan. Sehingga adanya kesan publik dimana peraturan hanya sebatas kebijakan yang dalam aplikasinya sering tidak sesuai, dapat diminimalisir.

Page 25: 100406035 - Megawati (2).pdf

III. KONTEN DAN TEKNIS MASING-MASING JENIS PERENCANAAN

Perencanaan Tata Ruang Perkotaan

Penataan ruang khusus untuk perkotaan sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Belanda. Setelah kemerdekaan, ada pengaturan baru sejak tahun 1985 berupa Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum dalam perencanaan kota. Sesuai dengan Surat Keputusan Bersama tersebut Departemen Dalam Negeri bertangggung jawab di bidang administrasi perencanaan kota, sedangkan Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab di bidang teknik (tata ruang) kota.

Atas dasar pembagian wewenang itu, Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.

Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) adalah suatu rencana pemanfaatan ruang kota, yang berisikan rencana pembangunan kota yang terkait dengan ruang, sehingga tercapai tata ruang kota yang dituju dalam kurun waktu tertentu dimasa yang akan datang. Rencana program pembangunan kota disusun untuk 20 tahun ke depan dan dibagi dalam tahapan lima tahanan.

Dalam hal ini, harus dipadukan pendekatan sektoral dan pendekatan regional (ruang), sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, terdapat 4 (empat) tingkatan rencana tata ruang kota, yaitu sebagai berikut :

a.Rencana umum tata ruang perkotaan, yaitu menggambarkan posisi kota yang direncanakan terhadap kota lain secara nasional dan hubungannya dengan wilayah belakangnya;

b.Rencana umum tata ruang kota, yaitu menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara keseluruhan;

Page 26: 100406035 - Megawati (2).pdf

c.Rencana detail tata ruang kota, yaitu menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara lebih rinci; dan

d.Rencana teknik ruang kota, yaitu menggambarkan rencana geometri pemanfaatan ruang kota sehingga sudah bisa menjadi pedoman dalam penentuan sait (site) pembangunan/konstruksi kota.

Selanjutnya, sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) setidaknya harus berisikan hal-hal sebagai berikut :

a.Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota;

b.Rencana pemanfaatan ruang kota;

c.Rencana struktur pelayanan kegiatan kota;

d.Rencana sistem transportasi;

e.Rencana sistem jaringan utilitas kota;

f.Rencana kepadatan bangunan;

g.Rencana ketinggian bangunan;

h.Rencana pemanfaatan air baku;

i.Rencana penanganan lingkungan kota;

j.Tahapan pelaksanaan bangunan; dan

k.Indikasi unit pelayanan kota

Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota berkaitan dengan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk pada setiap bagian wilayah kota. Jumlah penduduk untuk keseluruhan kota harus diproyeksikan dengan memperhatikan trend masa lalu dan adanya berbagai perubahan ataupun usaha/kegiatan yang dapat membuat laju pertambahan penduduk dapat lebih cepat atau lebih lambat dari masa lalu.

Rencana struktur/pemanfaatan kota adalah perencanaan bentuk kota dan penentuan berbagai kawasan di dalam kota serta hubungan hierarki antara berbagai kawasan tersebut. Bentuk kota tidak terlepas dari sejarah

Page 27: 100406035 - Megawati (2).pdf

perkembangan kota, namun sedikit banyak dapat diarahkan melalui penyediaan fasilitas/prasarana dan penetapan berbagai ketentuan yang berkaitan dengan tata guna lahan, sedangkan Rencana struktur pelayanan kegiatan kota menggambarkan hierarki fungsi kegiatan sejenis di perkotaan.