abstrak wa de megawati (g2 b1 14 015). - sitedi...
TRANSCRIPT
ABSTRAK
WA DE MEGAWATI (G2 B1 14 015). Strategi Pemberdayaan
Masyarakat Pedagang Sayur Keliling di Kota Kendari, Propinsi Sulawesi
Tenggara. Dibimbing oleh Dasmin Sidu sebagai Pembimbing I dan Mukhtar
sebagai Pembimbing II.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tingkat keberdayaaan
masyarakat pedagang sayur keliling di Kota Kendari dan untuk mengetahui
strategi pemberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling di Kota Kendari.
Populasi dalam penelitian ini adalah para petani/masyarakat tani yang diberikan
modal usaha oleh pemerintah yang penyalurannya melalui Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan) sebanyak 51 Gapoktan. Pengambilan sampel dilakukan dengan
cara purposive (Sengaja) yakni mengambil 10 % sehingga jumlahnya menjadi 5
Gapoktan. Dimana dari 5 Gapoktan ini terdiri dari 18 kelompok tani. Sehingga,
jumlah sampel yang diperoleh adalah 18 orang. Data yang diperoleh dari hasil
analisis ditabulasi sesuai kebutuhan kemudian dihitung secara perentase sebagai
acuan untuk menjelaskan secara deskriptif masing-masing komponen dari kedua
variabel diatas. Untuk menggolongkan tinggi,sedang,dan rendahnya tingkat
keberdayaan masyarakat melalui penguatan modal usaha digunakan rumus
interval (Burhan,dkk,2000). Hasil penelitian ini menunjukkan (1) para pedagang
sayur keliling yang telah diberikan modal dari Program PUAP yang
penyalurannya melalui Gapoktan belum berjalan dengan efektif yang disebabkan
oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dari para anggotanya. (2) Strategi yang
dilakukan para pedagang sayur keliling agar sayurannya laris adalah dengn
membersihkan dan memisahkan sayuran dari tangkainya (agar siap dimasak) oleh
konsumen atau pelanggannya.
Kata Kunci : Strategi, pemberdayaan masyarakat, pedagang sayur keliling.
ABSTRACT
Wa De Megawati (G2B1 14015). Strategies forEmpowering Mobile
Greengrocers in Kendari City, Southeast Sulawesi. Supervised by Dasmin Sidu
as supervisor I and Mukhtar as supervisor II.
The purpose of this study to analyze the extent to which mobile
greengrocers in Kendary City have been empowered and to identity strategiesfor
empowering the mobile greengrocers in Kendari City. Population of the study
included farmers receiving business capital granted by the local government,
which distributed the aids via 51 Gapoktan or associations of farmers groups.
Samples were determined purposively to take 10% of the associations. Five
associations of farmers groups comprising of 18 groups were selected, so there
were 18 farmers in total. Data were acquired from results of analysis which were
tabulated as necessary, and then calculated to obtained percentages which were
used as a reference for a qualitative description of each component of both
variables above. To classify the empowering level of subjects of the study, an
interval formula (Burhan at.al.,2000). The results of (1) the mobile greengrocers
who have been provided with capital from the PUAP Program whose distribution
through Gapoktan has not been effectively implemented due to the knowledge,
attitudes and skills of its members. (2) The strategy of greengrocers to sell their
vegetables is to clean and separate vegetables from stalks (ready for cooking) by
consumers or customers.
Keywords: strategy, social empowerment, mobile greengrocers
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PEDAGANG SAYUR KELILING DI KOTA KENDARI
TESIS
OLEH:
WA DE MEGAWATI
NIM : G2B1 14 015
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
2
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PEDAGANG SAYUR KELILING DI KOTA KENDARI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Magister Pertanian Pada Program Studi Agribisnis
Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo
OLEH:
WA DE MEGAWATI
NIM : G2B1 14 015
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
3
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pedagang Sayur
Keliling di Kota Kendari.
Nama : Wa De Megawati
NIM : G2B1 14 015
Program Studi : Agribisnis
Menyetujui,
Ketua Anggota
Dr. Dasmin Sidu, S.P.,M.P Dr. Ir. Mukhtar, M.S
Mengetahui,
Direktur Pascasarjana Ketua Program Studi
Universitas Halu Oleo Agribisnis
Prof. Ir. H. Sahta Ginting,M.Sgr.Sc.,Ph.D Dr. Ine Fausayana, SE.,M.Si.
NIP: 19550801 198403 1 004 NIP: 19670528 199903 2 00004
4
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : WA DE MEGAWATI
NIM : G2BI 14015
PRODI : Agribisnis
Kosentrasi : Pengembangan Masyarakat
Universitas : Halu Oleo
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis adalah hasil
karya sendiri, bukan hasil jiplakan tulisan atau pikiran orang lain sebagian atau
seluruhnya, yang kemudian saya akui sebagai hasil tulisan atau fikiran saya
sendiri. Apabila kemudian hari terbukti bahwa tesis ini adalah hasil jiplakan
sebagian atau keseluruhan maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Kendari, April 2017
Wa De Megawati
5
ABSTRAK
WA DE MEGAWATI (G2 B1 14 015). Strategi Pemberdayaan
Masyarakat Pedagang Sayur Keliling di Kota Kendari, Propinsi Sulawesi
Tenggara. Dibimbing oleh Dasmin Sidu sebagai Pembimbing I dan Mukhtar
sebagai Pembimbing II.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tingkat keberdayaaan
masyarakat pedagang sayur keliling di Kota Kendari dan untuk mengetahui
strategi pemberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling di Kota Kendari.
Populasi dalam penelitian ini adalah para petani/masyarakat tani yang diberikan
modal usaha oleh pemerintah yang penyalurannya melalui Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan) sebanyak 51 Gapoktan. Pengambilan sampel dilakukan dengan
cara purposive (Sengaja) yakni mengambil 10 % sehingga jumlahnya menjadi 5
Gapoktan. Dimana dari 5 Gapoktan ini terdiri dari 18 kelompok tani. Sehingga,
jumlah sampel yang diperoleh adalah 18 orang. Data yang diperoleh dari hasil
analisis ditabulasi sesuai kebutuhan kemudian dihitung secara perentase sebagai
acuan untuk menjelaskan secara deskriptif masing-masing komponen dari kedua
variabel diatas. Untuk menggolongkan tinggi,sedang,dan rendahnya tingkat
keberdayaan masyarakat melalui penguatan modal usaha digunakan rumus
interval (Burhan,dkk,2000). Hasil penelitian ini menunjukkan (1) para pedagang
sayur keliling yang telah diberikan modal dari Program PUAP yang
penyalurannya melalui Gapoktan belum berjalan dengan efektif yang disebabkan
oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dari para anggotanya. (2) Strategi yang
dilakukan para pedagang sayur keliling agar sayurannya laris adalah dengn
membersihkan dan memisahkan sayuran dari tangkainya (agar siap dimasak) oleh
konsumen atau pelanggannya.
Kata Kunci : Strategi, pemberdayaan masyarakat, pedagang sayur keliling.
6
ABSTRACT
Wa De Megawati (G2B1 14015). Strategies forEmpowering Mobile
Greengrocers in Kendari City, Southeast Sulawesi. Supervised by Dasmin Sidu
as supervisor I and Mukhtar as supervisor II.
The purpose of this study to analyze the extent to which mobile
greengrocers in Kendary City have been empowered and to identity strategiesfor
empowering the mobile greengrocers in Kendari City. Population of the study
included farmers receiving business capital granted by the local government,
which distributed the aids via 51 Gapoktan or associations of farmers groups.
Samples were determined purposively to take 10% of the associations. Five
associations of farmers groups comprising of 18 groups were selected, so there
were 18 farmers in total. Data were acquired from results of analysis which were
tabulated as necessary, and then calculated to obtained percentages which were
used as a reference for a qualitative description of each component of both
variables above. To classify the empowering level of subjects of the study, an
interval formula (Burhan at.al.,2000). The results of (1) the mobile greengrocers
who have been provided with capital from the PUAP Program whose distribution
through Gapoktan has not been effectively implemented due to the knowledge,
attitudes and skills of its members. (2) The strategy of greengrocers to sell their
vegetables is to clean and separate vegetables from stalks (ready for cooking) by
consumers or customers.
Keywords: strategy, social empowerment, mobile greengrocers
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1990, di Kosundano,
Kecamatan Parigi, Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara. Penulis adalah
anak ketujuh dari sembilan bersaudara, putri dari pasangan Ibunda Zainab
Dingkana dan Ayahanda La Ngkalina, S.Pd.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 12 Parigi pada
tahun 2003. Tamat di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Parigi pada tahun
2005, dan Sekolah Menengah Atas 1 Parigi pada tahun 2008. Pada tahun itu juga
penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan/Program Studi Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Halu Oleo melalui SNMPTN dan lulus pada Tahun 2013.
Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) pada Program
Pascasarjana Universitas Haluoleo di Jurusan/Program Studi Agribisnis minat
Pengembangan Masyarakat (PM) sampai sekarang.
8
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Master
Pertanian Program Studi Agribisnis Universitas Halu Oleo. Saya menyadari
bahwa dari awal penyusunan tesis ini tidak sedikit mengalami kesulitan dan
hambatan, namun atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, terutama dari
kedua pembimbing sehingga tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana adanya.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang
setulus-tulusnya kepada semua pihak terutama Bapak Dr. Dasmin Sidu, SP.MP,
selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Mukhtar, M.S., selaku Pembimbing II
yang telah ikhlas meluangkan waktunya dan mengarahkan penulisan tesis ini,
rasanya sangatlah sulit untuk membalasnya.
Terkhusus penulis menyampaikan rasa hormat, cinta dan terima kasih yang
tak ternilai kepada kedua orangtua tercinta yakni Ibunda Zainab Dingkana dan
Ayahanda La Ngkalina,S.Pd yang telah merawat dan membesarkan ananda
dengan segala kasih sayang dan doa yang tak terhingga serta dukungan moril dan
material atas segala yang tak ternilai dalam mendidik sejak kecil hingga
menyelesaikan pendidikan yang tidak dapat penulis balas sampai kapanpun.
Ucapan terima kasih dan penghargaan ini tidak lupa penulis sampaikan
kepada:
1. Rektor Universitas Halu Oleo yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menempuh pendidikan di Universitas Halu Oleo.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo yang telah memberikan
fasilitas selama menjalani proses perkuliahan.
3. Ketua Program Studi Magister Agribisnis yang selalu memberikan bimbingan
kepada penulis untuk selalu mengemban ilmu yang bermanfaat.
4. Bapak Kepala Dinas Pertanian Kota Kendari yang telah memberikan ijin dalam
pengambilan data yang terkait dengan penelitian ini.
9
5. Bapak penguji saya Prof. Dr. Ir. H. Taane La Ola.,M.Si, Dr. Ir. La Nalefo,M.Si,
Dr. Ine Fausayana,SE.,M.Si. yang telah memberikan banyak masukan dan
ilmu-ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
6. Pengurus Gapoktan yang telah mengijinkan saya melakukan penelitian,
memberikan informasi, dan data-data yang dibutuhkan dalam penyusunan tesis
ini.
7. Saudara-saudaraku Nurzaeni Kalza & Dr. La Ode Alwi,SP.,MP, KOPDA Ali
Mumin Kalza & Sitti Marlina, SERDA Suwarto La Kalza, Lade Sirjon,
SH.,LLM & Aan Whina Eri Sartika,SH, Wade Nur Ade Wijaya Kalza,
Amd.Keb & La Sahi,S.Pd, Lade Albar Kalza,S.Km.,M.P.H, Wade Boby Surya
Ningsih Kalza, S.ST, Minggu Lestari Ningsih,S.P, Lade Ahmad Maulida, Sitti
Salmiati Arni,S.Kom, Lade Ahma Liun dan Lili Sarlis serta keponakanku
Daud, Ima, Sawal, Muti, Zayan, Radhwa, Nabil, dan Isra.
8. Teman-teman Agribisnis angkatan 2014, atas kerjasama, dukungan dan
bantuan, sehingga saya dapat menjalani masa perkuliahan dan menyelesaikan
tesis ini dengan baik.
9. Sahabatku Sumartono yang selalu memberikan nasehat, dorongan semangat,
motivasi, serta masukan-masukan kepada penulis.
Meskipun telah melalui perubahan-perubahan didalam penyusunannya, tesis
ini tentu saja masih memiliki banyak kekurangan sehingga bantuan pemikiran dan
kritik yang membangun atas penyusunannya akan menjadi sumbangan yang
berharga.
Kendari, April 2017
Penulis
WA DE MEGAWATI
10
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................ i
HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................. iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................. vi
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... vii
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 7
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Teori................................................................................ 9
2.1.1 Konsep Strategi ..................................................................... 9
2.1.2 Konsep Pemberdayaan Masyarakat ...................................... 11
2.1.3 Proses Pemberdayaan ............................................................ 22
2.1.4 Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat .................. 24
2.1.5 Kemampuan Pelaku Pemberdayaan ...................................... 29
2.1.6 Pedagang ............................................................................... 31
2.1.7 Pedagang Kaki Lima ............................................................. 35
2.1.8 Penyuluh Pendamping ........................................................... 35
2.1.9 Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)........... 37
2.10. Penelitian Terdahulu ............................................................. 41
III. KERANGKA PIKIR
3.1.Kerangka Pikir .......................................................................... 47
11
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian ............................................................................... 50
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 50
4.3. Populasi dan Penentuan Sampel ..................................................... 51
4.4. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data .............................................. 53
4.5. Obyek Penelitian ............................................................................. 54
4.6. Tehnik Analisis Data....................................................................... 54
4.7. Konsep Operasional ........................................................................ 57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Umum Wilayah ............................................................. 60
5.1.1. Letak Geografis dan Luas Wilayah.................................... 60
5.1.2. Keadaan Tanah dan Iklim ................................................... 60
5.2. Keadaan Penduduk ......................................................................... 61
5.2.1. Keadaan Penduduk menurut umur dan Jenis Kelamin ....... 61
5.2.2. Tingkat Pendidikan ............................................................. 63
5.3. Identitas Responden ....................................................................... 64
5.3.1. Tingkat Pendidikan ............................................................ 64
5.3.2. Jumlah Tanggungan Keluarga ........................................... 66
5.4. Tingkat Keberdayaan Masyarakat Pedagang Sayur Keliling ........ 67
a. Pengetahuan ............................................................................... 67
b. Sikap ......................................................................................... 68
c. Keterampilan ............................................................................. 70
5.5. Tingkat Keberdayaan Masyarakat Pedagang Sayur Keliling ....... 71
5.6. Analisis SWOT .............................................................................. 73
5.6.1. Identifikasi Faktor Internal Strategi Pemberdayaan
Masyarakat Pedagang Sayur Keliling Tahun, 2016 ............ 74
5.6.2. Identifikasi Faktor Eksternal Strategi Pemberdayaan
Masyarakat Pedagang Sayur Keliling Tahun, 2016 ............ 77
5.6.3. Pemilihan Alternatif Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pedagang Sayur Keliling di Kota Kendari, Tahun 2016..... 82
VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 86
6.2. Saran ............................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 88
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... 92
12
DAFTAR TABEL
1. Nama-nama Kecamatan, Desa, Gapoktan, serta Jenis Usaha yang
diusahakan oleh Penerima Dana BLM-PUAP di Kota Kendari .......... 52
2. Indikator dan Parameter tingkat keberdayaan masyarakat .................. 59
3. Jumlah Penduduk dan rasio Jenis Kelamin Menurut Kecamatan di
Kota Kendari, 2015 .............................................................................. 62
4. Penduduk Kota Kendari menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin, Tahun 2016 .......................................................................... 63
5. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal. .............. 65
6. Sebaran responden berdasarkan tanggungan keluarga. ....................... 66
7. Pengetahuan Masyarakat pedagang sayur keliling di
Kota Kendari, 2016 .............................................................................. 67
8. Sikap Masyarakat pedagang sayur keliling Kota Kendari, 2016 ......... 69
9. Keterampilan Masyarakat pedagang sayur keliling di
Kota Kendari, 2016. ............................................................................. 70
10. Persentase tingkat keberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling
di Kota Kendari Tahun 2016. ............................................................. 72
11. Identifikasi Faktor Internal Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pedagang sayur keliling ,Tahun 2016 .................................................. 74
12. Penilaian Faktor Eksternal Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pedagang sayur keliling, Tahun 2016 .................................................. 77
13. Pemilihan Alternatif Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pedagang sayur keliling di Kota Kendari, Tahun 2016 ....................... 82
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks. Jika dilihat dari faktor
penyebabnya kemiskinan dapat dirunut dari luar maupun dari dalam masyarakat
sendiri. Dari luar, misalnya oleh kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan
orang miskin, dan/atau sikap serakah pebisnis dalam memaksimalkan keuntungan
secara monopolis yang tidak terkontrol oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini
menyebabkan kesenjangan sosial yang cukup jauh antara orang kaya dan miskin,
dimana pendapatan dan status sosial orang miskin menjadi sangat rendah. Sedangkan
dari dalam, diakibatkan karena masih rendahnya kemampuan dan kualitas sumber
daya manusia (SDM) yang ada di masyarakat itu sendiri termasuk juga kelembagaan
yang dimiliki belum di desain untuk menjadi wadah pengembangan ekonomi
masyarakat. Sehingga dengan demikian, betapa lemah posisi tawar orang miskin
ketika berhadapan dengan mitra usaha yang lebih mampu, akibat rendahnya teknologi
yang dikuasai serta lemahnya organisasi dan permodalan untuk itulah dibutuhkan
suatu strategi dalam memberdayakan petani yang masih dalam taraf kemiskinan
(Ismawan, 2002)
Kebijakan disektor pertanian selama ini juga belum benar-benar
memberdayakan petani tetapi masih dijadikan program untuk melaksanakan proyek
demi kepentingan dikalangan tertentu, belum untuk kepentingan petani itu sendiri
artinya petani masih menjadi objek dari sebuah program. Untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi masyarakat petani diperlukan beberapa strategi menyeluruh,
baik itu kebijakan, petani, dan pertanian itu sendiri.
Konsep “pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep
pembangunan dan sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya
di pedesaan. Dengan adanya strategi pemberdayaan masyarakat desa khususnya bagi
masyarakat Agribisnis melalui menguatan modal usaha kelompok tani, diharapkan
dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada pada masyarakat petani (Ridwan,
2013)
Pemberdayaan merupakan salah satu strategi dalam mengentaskan kemiskinan
di pedesaan maupun di perkotaan karena dalam perspektif pemberdayaan masyarakat
menyadari betapa pentingnya kapasitas manusia dalam rangka meningkatkan
kemandirian dan kekuatan internal atas sumberdaya materi dan nonmaterial melalui
redistribusi modal atau kepemilikan. Salah satu program pemerintah untuk
mempercepat tumbuh dan berkembangnya usaha agribisnis sekaligus mengurangi
kemiskinan dan pengangguran di perdesaan dengan meluncurkan Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP).
Program PUAP yang dilaksanakan oleh Departemen Pertanian pada tahun 2008
yang merupakan bentuk fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik
petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani yang
dikoordinasikan oleh Gapoktan. Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) merupakan
kelembagaan tani pelaksana PUAP untuk penyaluran bantuan modal usaha bagi
anggota. Untuk mencapai hasil maksimal dalam pelaksanaan PUAP, Gapoktan
didampingi oleh tenaga Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani (PMT).
Melalui pelaksanaan PUAP diharapkan Gapoktan dapat menjadi kelembagaan
ekonomi yang dimiliki dan dikelola petani. ( Departemen Pertanian, 2009)
Program PUAP merupakan strategi penanggulangan kemiskinan dan penciptaan
lapangan kerja di perdesaan, sekaligus mengurangi kesenjangan pembangunan antar
wilayah pusat dan daerah serta antar sub sektor. Perkembangan usaha agribisnis
sebagai penggerak ekonomi perdesaan dinilai sangat lambat, hal ini disebabkan oleh
terbatasnya akses petani terhadap permodalan, sarana produksi, ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) serta pasar, serta kelembagaan agribisnis di perdesaan belum
dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Tujuan digulirkannya Program PUAP ini
adalah untuk menumbuh kembangkan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai
dengan potensi wilayah, melalui koordinasi Gapoktan sebagai organisasi petani.
Meningkatkan fungsi Gapoktan sebagai lembaga ekonomi petani menjadi jejaring
atau mitra lembaga keuangan dan akses pasar. Meningkatkan kinerja program-
program Departemen Pertanian yang telah ada sebelumnya utamanya dalam
menfasilitasi akses permodalan petani untuk mendukung usaha agribisnis perdesaan
dan serta mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan. (Departemen
Pertanian, 2009)
PUAP bukanlah BLT (Bantuan Langsung Tunai) akan tetapi PUAP merupakan
bentuk fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani anggota Poktan/Gapoktan baik
petani pemilik,petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga petani. Oleh
karena itu bantuan modal tersebut harus dapat berkembang dan dimanfaatkan dengan
sebaik-sebaiknya. Gapoktan merupakan kelembagaan petani pelaksana PUAP untuk
penyaluran bantuan modal bagi anggota. Untuk mencapai hasil yang maksimal
dalam pelaksanaan PUAP, Gapoktan akan didampingi oleh Penyuluh Pendamping
dan Penyelia Mitra Tani (PMT) dan diharapkan dapat menjadi Kelembagaan
Ekonomi (LKMA) yang dimiliki dan dikelola oleh petani. (Departemen Pertanian,
2009)
Kota kendari sebagai ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai luas
Wilayah 295,89 Km² atau 29,589 Ha dari luas tersebut 13,276 Ha merupakan lahan
pertanian potensial dan terolah, sedangkan kurang lebih 5,200 Ha areal Hutan dan
Hutan Tanaman Rakyat kurang lebih 405 Ha.
Secara administrasi Kota Kendari terdiri dari 10 Kecamatan dan
64 (enam puluh empat) kelurahan, dengan Potensi Pertanian dalam arti luas terdapat
secara merata di 64 (enam puluh empat) Kelurahan. Jumlah Kelompok Tani di Kota
Kendari seluruhnya berjumlah 213 kelompok dengan jumlah Kepala Keluarga (KK)
6.660. Gapoktan yang sudah terbentuk hingga periode Desember 2012 sebanyak 60
Gapoktan, Jumlah penduduk miskin di Kota Kendari sebanyak 23.300 Orang (BPS-
Sulawesi Tenggara 2011).
Salah satu Program Pembangunan Pertanian yang dikembangkan di Kota
Kendari adalah Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP
merupakan Program Pemberdayaan yang dilaksanakan oleh Kementrian Pertanian
dan telah memasuki tahun kelima. Di Kota Kendari Program PUAP baru memasuki
tahun keempat yaitu mulai tahun 2009, tahun 2010, tahun 2011, dan tahun 2012
yang dialokasikan di 43 Gapoktan/Kelurahan dan tersebar di 10 Kecamatan se-Kota
Kendari dan pada tahun 2014 meliputi 51 Gapoktan. ( BP4K Kota Kendari)
Program PUAP dimaksudkan untuk memfasilitasi Petani dalam bentuk modal
usaha untuk Petani anggota baik Petani Pemilik, Petani Penggarap, Buruh Tani
maupun Rumah Tangga Tani yang dikoordinasikan oleh Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) sebesar Rp. 100,000,000 (Seratus Juta Rupiah) untuk setiap Gapoktan.
Bantuan Modal Usaha Tani tersebut untuk membiayai usaha berbasis Pertanian yaitu
Tanaman Pangan, Hortikultura, Peternakan dan Perkebunan. Adapun usaha
Produktifnya meliputi budidaya (On Farm) dan Non budidaya (Of Farm) terdiri dari
Industri Rumah Tangga Pertanian, Pemasaran Hasil Pertanian skala mikro
(bakulan dll) serta usaha lain berbasis pertanian.
Program PUAP di Kota Kendari dilaksanakan mulai tahun 2009 dengan jumlah
Kelurahan Penerima sebanyak 15 Kelurahan dan tersebar di 5 (Lima) Kecamatan,
pada tahun 2010 Kota Kendari kembali memperoleh Program PUAP yang
dialokasikan pada 10 Kelurahan dan 7 (Tujuh) Kecamatan, pada Tahun 2011 jumlah
Kelurahan Penerima Program PUAP di Kota Kendari sebanyak 8 (delapan)
kelurahan di 6 (Enam) Kecamatan dan pada Tahun 2012 Jumlah Kelurahan
Penerima Dana BLM-PUAP di Kota Kendari sebanyak 10 (Sepuluh) Kelurahan di
2 (Dua) Kecamatan, serta pada Tahun 2013 Jumlah Kelurahan Penerima Dana
BLM-PUAP di Kota Kendari sebanyak 8 (delapan) Kelurahan di 5 (lima) Kecamatan.
Selanjutnya, pada tahun 2014 jumlah Kelurahan Penerima Dana BLM-PUAP
bertambah 51 (lima puluh satu) Kelurahan di 8 (delapan) Kecamatan dengan jumlah
Gapoktan sebanyak 51 yang tersebar di berbagai Kelurahan. ( PMT Kota Kendari)
Melalui pembinaan, pendampingan dan pengawalan intensif dan berkelanjutan
yang dilaksanakan oleh Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani, maka
diharapkan Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap (PKS) atau SDM petani dapat
ditingkatkan dalam upaya meningkatkan produktivitas usaha tani, pendapatan dan
kesejahteraan petani beserta Keluarganya. Adapun permasalahan yang mendasar
dihadapi oleh Petani dalam mengembangkan usahataninya antara lain, modal
dan SDM petani yang masih terbatas.
Fenomena dilapangan menunjukkan bahwa semakin berkembangnya teknologi
yang berkembang dalam masyarakat saat ini, namun masih ada juga pedagang sayur
keliling yang masih menggunakan cara tradisional yaitu dengan berjalan kaki dalam
menjalankan usahanya padahal jika dibandingkan dengan menggunakan kendaraan
motor atau mobil bisa berjalan lebih efektif dibandingkan dengan berjalan kaki yang
membutuhkan waktu lama untuk berkeliling dari rumah ke rumah. Sehingga dengan
adanya fakta ini, maka saya tertarik ingin mengetahui apa sebenarnya yang
melatarbelakangi para pedagang sayur keliling ini sehingga mereka memasarkan
sayurnya dengan cara berjalan kaki. Selain itu,saya juga ingin mengetahui apakah
para pedagang sayur yang sudah diberikan bantuan tersebut sudah berdaya atau
bagaimana. Mengingat persaingan diantara para penjual sayur keliling yang makin
meningkat, hal ini didukung oleh data dari BPS dimana pada tahun 2014 jumlah
pedagang sayur keliling sebanyak 234 orang dan pada tahun 2015 meningkat
jumlahnya menjadi 342 orang, namun hal ini masih dianggap kurang mengingat
wilayah jangkauan konsumen sangat luas. Sehingga penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan menetapkan judul : “Strategi Pemberdayaan
Masyarakat Pedagang Sayur Keliling di Kota Kendari”.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini :
1. Bagaimana tingkat keberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling di Kota
Kendari?
2. Bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling di Kota
Kendari?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis tingkat keberdayaaan masyarakat pedagang sayur keliling di Kota
Kendari.
2. Menganalisis strategi pemberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling di Kota
Kendari.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis diharapkan akan menambah khasanah ilmu pengetahuan,
khususnya mengenai strategi pemberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling.
2. Sebagai masukan bagi instansi terkait dalam strategi pemberdayaan masyarakat
pedagang sayur keliling.
3. Sebagai rujukan bagi peneliti selanjutnya
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Strategi
Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen
( management) untuk mencapai suatu tujuan. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan
tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukan arah saja,
melainkan harus mampu menunjukan bagaimana taktik operasionalnya. Demikian
pula dengan strategi komunikasi yang merupakan paduan perencanaan komunikasi
(communication planning) dengan manajemen komunikasi (communication
management) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Strategi komunikasi ini
harus mampu menunjukan bagaimana operasionalnya secara praktis harus dilakukan,
dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu
bergantung pada situasi dan kondisi. ( Effendy,2006).
Keberhasilan kegiatan komunikasi secara efektif banyak ditentukan oleh
penentuan strategi komunikasi. Di lain pihak jika tidak ada strategi komunikasi yang
baik efek dari proses komunikasi (terutama komunikasi media massa) bukan tidak
mungkin akan menimbulkan pengaruh negatif. Sedangkan untuk menilai proses
komunikasi dapat ditelaah dengan menggunakan model-model komunikasi. Dalam
proses kegiatan komunikasi yang sedang berlangsung atau sudah selesai prosesnya
maka untuk menilai keberhasilan proses komunikasi tersebut terutama efek dari
proses komunikasi tersebut digunakan menelaah model komunikasi.
Effendi (1981) dalam buku berjudul “Dimensi-dimensi Komunikasi”
menyatakan bahwa : “.... strategi komunikasi merupakan panduan dari perencanaan
komunikasi (communication planning) dan manajemen (communications
management) untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut strategi
komunikasi harus dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya secara taktis harus
dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu
tergantung dari situasi dan kondisi”. Selanjutnya, Effendi mengatakan bahwa strategi
komunikasi terdiri dari dua aspek, yaitu : Secara makro (Planned multi-media
strategy). Secara mikro (single communication medium strategy). Kedua aspek
tersebut mempunyai fungsi ganda, yaitu : Menyebarluaskan pesan komunikasi yang
bersifat informatif, persuasif dan instruktif secara sistematis kepada sasaran untuk
memperoleh hasil yang optimal. Menjembatani “cultural gap” , misalnya suatu
program yang berasal dari suatu produk kebudayaan lain yang dianggap baik untuk
diterapkan dan dijadikan milik kebudayaan sendiri sangat tergantung bagaimana
strategi mengemas informasi itu dalam dikomunikasikannya.
Anwar Arifin (1984) dalam buku „Strategi Komunikasi‟ menyatakan bahwa :
Sesungguhnya suatu strategi adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang
tindakan yang akan dijalankan, guna mencapai tujuan. Jadi merumuskan strategi
komunikasi, berarti memperhitungkan kondisi dan situasi (ruang dan waktu) yang
dihadapi dan yang akan mungkin dihadapi di masa depan, guna mencapai efektivitas.
Dengan strategi komunikasi ini, berarti dapat ditempuh beberapa cara memakai
komunikasi secara sadar untuk menciptakan perubahan pada diri khalayak dengan
mudah dan cepat.
2.2. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Ridwan (2013) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebuah
konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini
mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered,
participatory, empowering, and sustainable”. Konsep ini lebih luas dari hanya
semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme
untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya
belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap
konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu.
Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan,
menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah
terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro
Eko, 2002). Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan
dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan
posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat
(beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah,
melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang
berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggung
jawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan,
transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban)
negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya
ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan
sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan
proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses
pembangunan dan pemerintahan (Cholisin, 2011).
Pemberdayaan masyarakat (community emporwerment) adalah perwujudan dari
pengembangan kapasitas masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan
sumberdaya manusia agar paham dengan hak dan kewajibannya sesuai dengan status
dan peran di masyarakat (Vitayala).
Pemberdayaan terkait erat dengan konsep alternatif pembangunan. Konsep ini
menekankan otonomi pengambilan keputusan suatu kelompok masyarakat yang
berlandaskan pada sumber daya pribadi, partisipasi, demokrasi, dan pembelajaran
sosial melalui pengalaman langsung. Fokusnya adalah lokalitas, karena civil society
lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal. Karena itu, pemberdayaan masyarakat
tidak hanya sebatas ekonomi, tapi juga politik, sehingga masyarakat memiliki posisi
tawar secara nasional maupun internasional. (Sumodiningrat, 2007).
Dalam berbagai literatur pembangunan, konsep pemberdayaan memiliki
pengertian yang lebih luas. Andrew Pears dan Michael Stiefel mengatakan bahwa
menghormati kebhinekaan, kekhasan lokal, dan peningkatan kemandirian merupakan
bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif. Sedangkan Samuel Paul menyatakan
bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan
kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh
mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Sedangkan dari perspektif
lingkungan, Borrini mengatakan bahwa pemberdayaan merupakan suatu konsep yang
mengacu pada pengamanan akses terhadap sumber daya alami dan pengelolaannya
secara berkelanjutan (Suparjan dan Suyatno, 2003). Konsep pemberdayaan juga
mengandung konteks pemihakan kepada masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan (Sumodiningrat, 2007).
Istilah pemberdayaan merupakan penerjemahan dari istilah empowerment yang
berasal dari kata dasar power. Korten (1987) merumuskan pengertian power sebagai
kemampuan untuk mengubah kondisi masa depan melalui tindakan dan pengambilan
keputusan. Dengan demikian, power dalam proses pembangunan dapat diartikan
sebagai penguasaan atau kontrol terhadap sumber daya, pengelolaan sumber daya dan
hasil serta manfaat yang diperoleh ( Soetomo,2006). Istilah lain untuk pemberdayaan
adalah penguatan, dimana kekuatan tersebut berasal dari diri sendiri yang digunakan
untuk mendorong terjadinya perubahan. Oleh karena itu pemberdayaan sangat jauh
dari konotasi ketergantungan. Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan,
dalam artian mendorong dengan menampilkan dan merasakan hak-haknya.
Pemberdayaan menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary,
dimana kata empower mengandung dua arti, yaitu: pertama, ”to give power or
authorithy” (memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan
otoritas ke pihak lain; kedua ”to give ability to or enable” (upaya untuk memberikan
kemampuan atau keberdayaan). Jadi esensi dari pemberdayaan adalah memberikan
kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain dalam
berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, dsb. (Nurhadi, 2007).
Huntington dan Nelson 1994, pemberdayaan dimaknai sebagai suatu strategi
dan usaha untuk mengembangkan peran rakyat dalam kegiatan pembangunan lewat
kegiatan-kegiatan yang bersifat partisipatif dan demokratis. Disini, makna partisipasi
dapat bersifat mobilisasi dan dapat pula bersifat otonom atau mandiri. Selain itu
menurut David Korten 1981, pemberdayaan dapat juga bermakna bahwa
pembangunan harus didasarkan kepada kebutuhan, keinginan, perencanaan, dan
kemampuan rakyat yang akan melaksanakan pembangunan. Robert Chambers
menambahkan bahwa apa yang disebut sebagai ”people centered development” atau
pembangunan mulai dari belakang (bottom up development) merupakan salah satu
model pembangunan yang mendasarkan diri pada pemaknaan pemberdayaan.
Sedangkan, Sarah Cook dan Macaulay (1996) mendefinisikan pemberdayaan sebagai
suatu strategi mengembangkan rakyat dan memulainya lewat penyadaran,
pencerahan, pemberdayaan pada para pelaksana, atau lewat kelompok elite pemimpin
rakyat, ataupun dimulai dengan memberdayakan institusi yang ada di sebelah atas.
(Suwondo, 2002).
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
pemberdayaan merupakan sebuah usaha untuk memberikan kekuatan, tenaga, dan
kemampuan dengan akal atau cara kepada masyarakat, dalam hal ini berkaitan erat
dengan pelaksanaan pembangunan yang berlangsung. Dalam konteks ini manusia
bukan sebagai obyek dalam pembangunan, melainkan mampu berperan sebagai
subyek atau pelaku yang menentukan tujuan, mengontrol sumber daya, dan
mengarahkan proses yang mempengaruhi hidupnya sendiri. Dengan demikian, tujuan
dalam pemberdayaan ini adalah tercapainya kekuatan masyarakat yang mandiri dan
berkeadilan sosial.
Menurut Korten, ciri-ciri pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka
pemberdayaan antara lain:
a. Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhannya
harus diletakkan pada masyarakat atau komunitas itu sendiri.
b. Meningkatkan kemampuan masyarakat atau komunitas untuk mengelola dan
memobilisasikan sumber-sumber yang ada untuk mencukupi kebutuhannya.
c. Mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifatnya amat fleksibel menyesuiakan
dengan kondisi lokal.
d. Menekankan ada proses social learning yang di dalamnya terdapat interaksi
kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai
evaluasi proyek.
e. Proses pembentukan jaringan antara birokrasi lembaga swadaya masyarakat dan
satuan-satuan organsasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian integral dari
pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi
dan mengelola berbagai sumber maupun untuk menjaga keseimbangan antara
struktur vertikal dan horisontal. (Moeljarto T., 1995).
Berdasarkan ciri pendekatan tersebut maka pemberdayaan masyarakat harus
melakukan pendekatan berikut:
1. Upaya itu harus terarah. Ini secara populer disebut pemihakan dan ditujukan
langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk
mengatasi masalahnya sesuai dengan kebutuhannya.
2. Program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh
masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan
dibantu mempunyai beberapa tujuan, yaitu supaya bantuan tersebut efektif sesuai
dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka.
3. Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat
miskin sulit untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya, dan
juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara
individu. Karena itu pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dilihat dari
penggunaan sumber daya juga lebih efisien. (Tri Winarni dalam Laporan
Penelitian IS Hadri Utomo dkk, 2000).
Suparjan dan Suyatno (2003) mengemukakan bahwa: ”Pendekatan utama
dalam konsep pemberdayaan adalah menempatkan masyarakat tidak sekedar sebagai
obyek tapi juga sebagi subyek. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses yang
tidak dapat diukur secara sistematis, apalagi dengan sebuah pembatasan waktu dan
dana. Indikator keberhasilan pemberdayaan masyarakat hanya dapat dilihat dengan
community awareness, yaitu adanya kesadaran komunitas, dan diharapkan dapat
mengubah pemberdayaan yang bersifat penguasaan menjadi bentuk kemitraan serta
mengeliminir terbentuknya solidaritas komunal semu pada masyarakat.”
Kutut Suwondo (2002) mengemukakan bahwa dalam pemberdayaan atau
empowerment terdapat tujuan, yaitu: Pertama, meningkatkan kemampuan sumber
daya masyarakat dalam penguatan kelembagaan, organisasi sosial ekonomi melalui
sosialisasi, pembinaan, pelatihan keterampilan. Kedua, mewujudkan masyarakat
dengan peran keswadayaan dari masyarakat sebagai pelaku pembangunan. Ketiga,
meningkatkan kesejahteraan, mengurangi masyarakat miskin dengan
mengembangkan sistem perlindungan sosial dan dukungan bantuan sebagai upaya
stimulan.
Sumodinigrat (1999) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat
kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian,
dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan. Untuk itu upaya
pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat
lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan
adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Drajat Tri Kartono (Arbi Sanit, 2001), gagasan pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya mendorong dan melindungi tumbuh berkembangnya kekuatan
daerah termasuk juga penguatan IPTEK yang berbasiskan pada kekuatan masyarakat
setempat. Dalam kerangka tersebut keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat
tidak hanya dapat dilihat dari meningkatnya pendapatan masyarakat melainkan juga
aspek-aspek penting dan mendasar lainnya. Di samping itu pemberdayaan masyarakat
harus mampu diarahkan pada proses-proses pemerintahan yang lebih demokratis dan
berkeadilan serta menjamin terciptanya kemandirian dan keberlanjutan. Hal-hal
mendasar dan penting yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat
antara lain:
a. Pengembangan organisasi atau kelompok masyarakat yang dikembangkan dan
berfungsi dalam mendinamisasi kegiatan masyarakat.
b. Pengembangan jaringan strategis antar kelompok atau organisasi masyarakat
yang terbentuk dan berperan dalam masyarakat.
c. Kemampuan kelompok masyarakat dalam mengakses sumber-sumber lain yang
dapat mendukung pengembangan kegiatan.
d. Jaminan atas hak-hak masyarakat dalam mengelola sumber daya lokal.
e. Pengembangan kemampuan-kemampuan teknis dan manajerial kelompok-
kelompok masyarakat sehingga berbagai masalah teknis dan organisasi dapat
dipecahkan dengan baik.
f. Terpenuhinya kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka
serta mampu menjamin kelestarian daya dukung lingkungan bagi pembangunan.
(Arbi Sanit, 2001).
Konsep pemberdayaan masyarakat menurut Loekman Soetrisno adalah sebagai
berikut:
”Pemberdayaan masyarakat berdiri pada satu pemikiran bahwa pembangunan
akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat diberi hak untuk mengelola
sumber daya alam yang mereka miliki dan mengentaskannya untuk pembangunan
masyarakatnya”. (Abimanyu, 1995).
Hal senada juga diungkapkan oleh Goulet bahwa:
”Dilihat dari aspek manusia sebagai aktor utama proses pembangunan, maka
pemberdayaan juga dapat berarti proses untuk mengaktualisasikan potensi manusia.
Dalam kaitan dengan potensi manusia yang perlu diaktualisasikan agar dapat
terpenuhi kehidupan sesuai harkat dan martabat manusia, di dalamnya terkandung
tiga nilai yaitu kelestarian hidup, harga diri dan kebebasan”. (Soetomo, 2006).
Dalam konteks pemberdayaan sebenarnya terkandung unsur partisipasi yaitu
bagaimana masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, dan hak untuk
menikmati hasil pembangunan. Pemberdayaan mementingkan adanya pengakuan
subyek akan kemampuan atau daya yang dimiliki obyek. Maka dapat disimpulkan
bahwa konsep pemberdayan sebenarnya merupakan proses belajar yang menekankan
orientasi pada proses serta pelibatan masyarakat (partisipasi).
Loekman Soetrisno (Soetomo, 2006) mengemukakan adanya dua versi yang
berbeda dalam pendekatan pemberdayaan, yaitu versi Paulo Freire dan versi
Schumacher. Menurut versi Paulo Freire pemberdayaan bukan sekedar memberi
kesempatan kepada rakyat untuk menggunakan sumber daya alam dan dana
pembengunan saja, tetapi lebih dari itu pemberdayaan juga merupakan upaya
mendorong masyarakat untuk melakukan peubahan sosial, yang hanya mungkin
dilakukan melalui partisipasi politik. Di lain pihak, dalam versi Schumacher nuansa
partisipasi politik ini kurang kental. Schumacher percaya bahwa manusia itu mampu
membangun diri mereka sendiri tanpa harus terlebih dahulu menghilangkan
ketimpangan struktural yang ada dalam masyarakat, asalkan mereka diberikan kail,
bukan ikan. Loekman Soetrisno (Anggito Abimanyu, 1995) menambahkan bahwa
menurut Schumacher ”lebih baik memberi kail daripada memberi ikan” dengan
demikian akan dapat menumbuhkan kemandirian. Tetapi Schumacher dalam usaha
membentuk kelompok mandiri juga sangat memerlukan dukungan politik, artinya
bahwa apabila membantu orang dengan memberi kail tapi orang tersebut tidak diberi
hak untuk mengail di sungai maka pastilah mereka tidak akan dapat hidup dengan
baik.
Dari berbagai konsep pemberdayaan secara luas di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pemberdayaan merupakan suatu upaya untuk memandirikan masyarakat
dengan cara menggali potensi yang dimilikinya, kemudian memperkuat potensi
tersebut dengan memberi masukan atau input dan kesempatan untuk mengembangkan
potensi tersebut. Pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengentasan kemisknan
perlu mendapat perhatian khusus, karena pembangunan dari dalam diri masyarakat
miskin itu sendiri yang sebenarnya diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Maksudnya yakni membangun potensi-potensi yang ada dalam diri masyarakat
miskin dengan menggunakan strategi dan pendekatan yang efektif sehingga
menimbulkan kepercayaan diri dan membangkitkan kekuatan baru untuk bisa
meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Tujuan pemberdayaan menurut Tjokowinoto dalam Christie S (2005) yang
dirumuskan dalam 3 (tiga) bidang yaitu ekonomi, politik, dan sosial budaya ;
“Kegiatan pemberdayaan harus dilaksanakan secara menyeluruh mencakup
segala aspek kehidupan masyarakat untuk membebaskan kelompok masyarakat dari
dominasi kekuasan yang meliputi bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Konsep pemberdayaan dibidang ekonomi adalah usaha menjadikan ekonomi yang
kuat, besar, mandiri, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang besar
dimana terdapat proses penguatan golongan ekonomi lemah. Sedang pemberdayaan
dibidang politik merupakan upaya penguatan rakyat kecil dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya atau
kehidupan mereka sendiri. Konsep pemberdayaan masyarakat di bidang sosial budaya
merupakan upaya penguatan rakyat kecil melalui peningkatan, penguatan, dan
penegakan nilai-nilai, gagasan, dan norma-norma, serta mendorong terwujudnya
organisasi sosial yang mampu memberi kontrol terhadap perlakuan-perlakuan politik
dan ekonomi yang jauh dari moralitas”.
Dari paparan tersebut dapat kita simpulkan bahwa tujuan pemberdayaan adalah
memampukan dan memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan,
keterbelakangan, kesenjangan, dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari
indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak. Kebutuhan
dasar itu, mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi.
Sedangkan keterbelakangan, misalnya produktivitas yang rendah, sumberdaya
manusia yang lemah, kesempatan pengambilan keputusan yang terbatas.
2.3. Proses Pemberdayaan
Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan
mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan
pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau
kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan
pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna
pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi
pilihan hidupnya melalui proses dialog”.
Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan
masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkamampuan. Kaitannya
dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga
masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, mampu
merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu
mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memiliki
bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling
menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab atas tindakannya.
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,
berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu
berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu
mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi.
Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang
diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan
partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.
Adi (2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu
masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam
implementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam
pelaksanaannya. Tak jarang ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang
melakukan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul.
Watson (Adi, 2003) menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam
pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu maupun
berasal dari sistem sosial:
a. Berasal dari Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit),
seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention),
ketergantungan (Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat
seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (self-
Distrust)
b. Berasal dari Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to
Norms), yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas
tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural
Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sacral
(The Sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (Rejection of
Outsiders).
2.4. Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan masyarakat
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama
dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat
berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud
dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama,
kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip
pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama dengan
kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk meraihnya adalah dengan membuka
kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat dalam tahapan program
pembangunan. Setiap komponen masyarakat selalu memiliki kemampuan atau yang
disebut potensi. Keutuhan potensi ini akan dapat dilihat apabila di antara mereka
mengintegrasikan diri dan bekerja sama untuk dapat berdaya dan mandiri.
Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa
tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk
individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi
kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat
yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu
yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi
dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.
Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif,
psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.
Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi
oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas
permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku
masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-
nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang
dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai
keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan
kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung
masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan.
Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, afektif
dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian
masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam masyarakat akan
terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapanketerampilan yang
memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan
kebutuhannya.
Kemandirian masyarakat dapat dicapai tentu memerlukan sebuah proses
belajar. Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap akan
memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses
pengambilan keputusan secara mandiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu &
Matson (dalam Suprijatna, 2000) yang mengusulkan konsep The Good Community
and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas yang baik dan empat
komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency itu
adalah; (1) setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan
hubungan pribadi atau kelompok; (2) komunitas memiliki kebebasan atau otonomi,
yaitu memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri
secara mandiri dan bertanggung jawab; (3) memiliki vialibilitas yaitu kemampuan
memecahkan masalah sendiri; (4) distribusi kekuasaan secara adil dan merata
sehingga setiap orang mempunyai berkesempatan dan bebas memiliki serta
menyatakan kehendaknya; (5) kesempatan setiap anggota masyarakat untuk
berpartsipasi aktif untuk kepentingan bersama; (6) komunitas member makna kepada
anggota; (7) adanya heterogenitas/beda pendapat; (8) pelayanan masyarakat
ditempatkan sedekat dan secepat mungkin kepada yang berkepentingan; dan (9)
adanya konflik dan manajemen konflik.
Melengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi yang
harus dimiliki masyarakat yaitu, sebagai berikut: (1) mampu mengidentifikasi
masalah dan kebutuhan komunitas, (2) mampu mencapai kesempatan tentang sasaran
yang hendak dicapai dalam skala prioritas, (3) mampu menemukan dan menyepakati
cara dan alat mencapai sasaran yang telah disetujui, dan (4) mampu bekerjasama
dalam bertindak mencapai tujuan. Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan
kompetensi pendukung untuk mengantarkan masyarakat agar mampu memikirkan,
mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial.
Pembentukan masyarakat yang memiliki kemampuan yang memadai untuk
memikirkan dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan tentunya tidak
selamanya harus dibimbing, diarahkan dan difasilitasi. Berkaitan dengan hal ini,
Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa pemberdayaan tidak bersifat selamanya,
melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas
untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. Berdasarkan
pendapat Sumodiningrat berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar,
hingga mencapai status mandiri.
Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung secara
bertahap, yaitu: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku
sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan peningkatan
kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan berpikir atau
pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar dapat mengambil peran di dalam
pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-
keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan inovatif untuk
mengantarkan pada kemandirian (Sulistiyani, 2004).
Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan
tahap persiapan dalam proses pemberdayaan. Pada tahap ini pelaku pemberdayaan
berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses
pemberdayaan yang efektif. Apa yang diintervensi dalam masyarakat sesungguhnya
lebih pada kemampuan afektifnya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan
agar masyarakat semakin terbuka dan merasa membutuhkan pengetahuan dan
keterampilan untuk memperbaiki kondisinya.
Pada tahap kedua yaitu proses transformasi pengetahuan, pengalaman dan
keterampilan dapat berlangsung baik, demokratis, efektif dan efisien, jika tahap
pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang
pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang
menjadi tuntutan kebutuhan jika telah menyadari akan pentingnya pening katan
kapasitas. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan
penguasaan keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini masyarakat
hanya dapat berpartisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadi
pengikut/obyek pembangunan saja, belum menjadi subyek pembangunan.
Tahap ketiga adalah merupakan tahap pengayaan atau peningkatan
intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan, supaya mereka dapat
membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian tersebut ditandai oleh
kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan
melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah
mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan
pembangunan. Dalam konsep pembangunan masyarakat pada kondisi seperti ini
seringkali didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama.
Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja.
2.5. Kemampuan Pelaku Pemberdayaan
Tjokrowinoto (2001) menawarkan lima bentuk kemampuan yang dianggapnya
sangat relevan dengan kualitas pelaku pemberdayaan, yakni: (1) kemampuan untuk
melihat peluang- peluang yang ada, (2) kemampuan untuk mengambil keputusan dan
langkah-langkah yang dianggap prioritas dengan mengacu pada visi, misi dan tujuan
yang ingin dicapai, (3) kemampuan mengidentifikasikan subjek- subjek yang
mempunyai potensi memberikan input dan sumber bagi proses pembangunan, (4)
kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan program-program
yang diperuntukkan bagi kaum miskin; dan (5) kemampuan memainkan peranan
sebagai fasilitator atau mening-katkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh
berkembang dengan kekuatan sendiri.
Keterpaduan kelima kemampuan pelaku pemberdayaan tersebut patut dijadikan
rujukan atau pedoman oleh seluruh unsur stakeholders, terutama yang mempunyai
tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan pembangunan dan penanggulangan
kemiskinan. Jamasy (2004) menambahkan bahwa ada tujuh syarat kemampuan
umum yang harus dimiliki pelaku pemberdayaan dan kesemuanya harus terefleksi
dalam kegiatan aksi program, yakni kemampuan untuk: (1) mempertahankan
keadilan, (2) mempertahankan kejujuran, (3) melakukan problem solving, (4)
mempertahankan misi, (5) memfasilitasi, (6) menjual inovasi, dan (7) fasilitasi yang
bertumpu pada kekuatan masyarakat sendiri.
Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa, pemberdayaan tidak bersifat
selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu mandiri, dan kemudian
dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi.
Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan
pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak
mengalami kemunduran.
Sebagai tenaga ahli, fasilitator sudah pasti dituntut untuk selalu trampil
melakukan fasilitasi, aktif menciptakan media konsultasi, aktif menjadi mediator,
aktif memberikan animasi dan advokasi, dan trampil memfasilitasi proses problem
solving (pemecahan masalah). Persoalan yang diungkapkan masyarakat saat problem
solving tidak secara otomatis harus dijawab oleh fasilitator tetapi bagaimana
fasilitator mendistribusikan dan mengembalikan persoalan dan pertanyaan tersebut
kepada semua pihak (peserta atau masyarakat.
Berkaitan dengan tugas pelaku pemberdayaan sebagai fasilitator oleh Parsons,
Jorgensen dan Hernandez (1994) memberikan kerangka acuan mengenai tugas
sebagai berikut; (1) mendefenisikan siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan
kegiatan, (2) mendefenisikan tujuan keterlibatan, (3) mendorong komunikasi dan
relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan, (4) memfasilitasi
keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem: menemukan kesamaan dan perbedaan,
(5) memfasilitasi pendidikan membangun pengetahuan dan keterampilan, (6)
memberikan contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah.
2.6. Pedagang
Pedagang secara etimologi adalah orang yang berdagang atau bisa juga disebut
saudagar. Jadi pedagang adalah orang-orang yang melakukan kegiatankegiatan
perdagangan sehari-hari sebagai mata pencaharian mereka. Damsar (1997)
mendefinisikan pedagang sebagai berikut:
“Pedagang adalah orang atau instansi yang memperjual belikan produk atau
barang kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung”
Manning dan Effendi (1991) menggolongkan para pedagang dalam tiga
kategori, yaitu:
1. Penjual Borongan (Punggawa)
Penjual borongan (punggawa) adalah istilah umum yang digunakan diseluruh
Sulawesi selatan untuk menggambarkan perihal yang mempunyai cadangan
penguasaan modal lebih besar dalam hubungan perekonomian. Istilah ini digunakan
untuk menggambarkan para wiraswasta yang memodali dan mengorganisir sendiri
distribusi barang-barang dagangannya.
2. Pengecer Besar
Pengecer besar dibedakan dalam dua kelompok, yaitu pedagang besar yang
termasuk pengusaha warung di tepi jalan atau pojok depan sebuah halaman rumah,
dan pedagang pasar yaitu mereka yang memiliki hak atas tempat yang tetap dalam
jaringan pasar resmi.
3. Pengecer Kecil
Pengecer kecil termasuk katergori pedagang kecil sektor informal mencakup
pedagang pasar yang berjualan dipasar, ditepi jalan, maupun mereka yang menempati
kios-kios dipinggiran pasar yang besar.
Damsar (1997) membedakan pedagang menurut jalur distribusi barang yang
dilakukan, yaitu:
1. Pedagang distributor (tunggal), yaitu pedagang yang memegang hak distribusi
satu produk dari perusahaan tertentu.
2. Pedagang partai (besar), yaitu pedagang yang membeli produk dalam jumlah
besar yang dimaksudkan untuk dijual kepada pedagang lainnya seperti grosir.
3. Pedagang eceran, yaitu pedagang yang menjual produk langsung kepada
konsumen.
Menurut Yasrin (2011) dalam http://id.shvoong.com/216242-definisi-
perdagangan-dan-jenis-pedagang/, bahwa berdasarkan pada cara menawarkan barang
dagangan, terdapat beberapa jenis pedagang, yaitu :
1. Pedagang Keliling merupakan pedagang yang menawarkan barang dagangannya
dengan cara berkeliling. Barang yang dijual biasanya dibawa dengan dipikul,
dijinjing, didorong dengan gerobak, atau diangkut dengan menggunakan sepeda
atau kendaraan bermotor. Contohnya seperti pedagang baso, pedagang jamu
gendong, pedagang es krim dan lain -lain.
2. Pedagang Asongan merupakan pedagang yang menawarkan barang dagangannya
dengan cara menempatkannya di kotak-kotak kecil yang mudah dibawa dan
dipindah-pindahkan. Kotak tersebut biasanya dikalungkan di leher seperti tas,
dan barang-barang yang mereka tawarkan biasanya berupa rokok, korek api,
kembang gula, tisu, dan barang- barang ringan lainnya.
3. Pedagang Kaki Lima merupakan pedagang yang menawarkan barang
dagangannya dengan cara menggelar barang dagangannya di trotoar atau di tepi
jalan yang ramai dengan menggunakan tikar, terpal atau semacam balai -balai.
Barang - barang yang biasa ditawarkan seperti sepatu, makanan, pakaian, dan
sebagainya.
4. Pedagang Grosir Merupakan pedagang yang dalam menawarkan barang tidak
langsung berhadapan dengan calon pembeli. Pedagang grosir tidak langsung
menawarkan barang kepada calon pembeli sebagaimana pedagang eceran,
melainkan calon pembelilah yang mendatangi pedagang grosir.
Kegiatan Perdagangan dapat menciptakan kesempatan kerja melalui dua
cara. Pertama ,secara langsung yaitu dengan kapasitas penyerapan tenaga
kerja yang benar . Kedua , secara tidak langsung yaitu dengan perluasan pasar
yang diciptakan oleh kegiatan perdagangan disatu pihak dan pihak lain dengan
memperlancar penyaluran dan pengadaan bahan baku (Kurniadi dan
Tangkilisan , 2002).
Pedagang adalah perantara yang kegiatannya membeli barang dan
menjualnya kembali tanpa merubah bentuk atas inisiatif dan tanggung jawab
sendiri dengan konsumen untuk membeli dan menjualnya dalam partai kecil
atau per satuan (Sugiharsono,2000)
Pedagang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dibagi atas dua yaitu :
pedagang besar dan pedagang kecil. Pedagang kecil adalah pedagang yang
menjual barang dagangan dengan modal yang kecil (KBBI,2002:230).
Menurut UU Nomor 29 Tahun 1948 , Pedagang adalah orang atau badan
membeli , menerima atau menyimpan barang penting dengan maksud untuk
dijual diserahkan , atau dikirim kepada orang atau badan lain , baik yang masih
berwujud barang penting asli, maupun yang sudah dijadikan barang lain
(Widodo,2008)
2.7. Pedagang Kaki Lima
Pena (1999), terdapat tiga pilihan mengatasi PKL, pertama, negara harus
menjadi kunci dalam mengatur PKL, karena keberadaan Negara sangat penting dalam
proses pembangunan, kedua, organisasi PKL dibiarkan untuk terus mengatur kegiatan
mereka sendiri, ketiga, menyarankan pemerintah dan PKL untuk menegosiasikan
ruang-ruang aksinya (lokasi usaha).
Pedagang kaki lima ialah orang-orang dengan modal relatif
kecil/sedikit berusaha (produksi-penjualan barang-barang/jasa-jasa) untuk
memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu dalam masyarakat”. Usaha itu
dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana informal.
Eridian (Sudaryanti, 2000).
Pedagang kaki lima ialah pedagang golongan ekonomi lemah yang
berjualan kebutuhan sehari-hari, makanan atau jasa relatif kecil, modal sendiri
atau modal lain, baik mempunyai tempat berdagang tetap atau tidak tetap
(berpindah-pindah) di tempat-tempat yang terlarang berjualan (Sudaryanti, 2000).
2.8. Penyuluh Pendamping
Supadi (2007) mengatakan bahwa paradigma baru manajemen pembangunan
pertanian adalah menempatkan pemerintah dalam hal ini aparatur pertanian sebagai
fasilitator, akselerator, dan regulator. Seorang pekerja masyarakat
(fasilitator/pendamping) harus berurusan dengan berbagai isu seperti penilaian
penampilan staf,membangun sebuah tim yang efektif, membantu sebuah organisasi
untuk menetapkan berbagai tujuan dan sasarannya, memutuskan suatu alokasi yang
memadai mengenai tanggung jawab dalam sebuah organisasi, memastikan adanya
sebuah komunikasi yang baik antara orang-orang yang berbeda, mengurusi berbagai
keputusan pasti diambil. Penyuluh pertanian kedepan adalah penyuluh pertanian
yang dapat menciptakan dirinya sebagai mitra dan fasilitator petani dengan
melakukan peranan yang sesuai antara lain sebagai 1. Penyedia jasa pendidikan, 2.
Motivator, 3. Konsultan Pembimbing, 4. Pendamping Petani.
Mardikanto (2002) menyatakan bahwa dalam melaksanakan kegiatan
penyuluhan, sasaran penyuluh tidak hanya terhadap satu orang yakni ketua kelompok
atau pemimpin tertentu, tetapi juga harus menjangkau seluruh anggota kelompok tani
tersebut agar mereka juga mendapatkan bimbingan dan informasi yang sama.
Strategi penyuluhan dilaksanakan selalu mengacu pada teori difusi, yakni
menggunakan petani lapisan atas sebagai sasaran utama penyuluhan yang diharapkan
dapat menyebarkan informasi yang dimilikinya kepada petani dibawahnya. Akan
tetapi, strategi ini ternyata berakibat pada semakin lebarnya kesenjangan keadaan
sosial-ekonomi antar kelompok petani, hal ini terjadi karena:
1. Keengganan kelompok perintis untuk menyebarluaskan keberhasilannya kepada
kelompok petani yang lain.
2. Keengganan kelompok petani yang lain untuk meniru keberhasilan petani
perintis, baik karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhi persyaratan
teknis (karena tidak cukup memiliki pengetahuan, keterampilan, dan dana.)
maupun ketidak beranian mereka untuk menghadapi kegagalan.
Secara instruknional, penyuluh pendamping PUAP memegang mandate untuk
menfasilitasi proses pembelajaran, pembinaan, mengupayakan kemudahan akses
informasi, teknologi, dan sumber dara lainnya meningkatkankemampuan manajerial,
dan kewirausahaan Gapoktan maupun Poktan dalam menumbuhkembangkan
organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif,
menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan. Dengan adanya
prioritas program PUAP, bukan berarti penyuluh meninggalkan tugas fungsionalnya
dalam memberikan pembinaan kepada petani,Poktan dan Gapoktan lain di desa
binaannya. ( Deptan,2008)
2.7. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)
Penguatan modal yang ditujukkan bagi para pelaku usaha khususnya usaha
kecil dibidang pertanian memang sudah dilakukan sejak lama, baik penguatan modal
dari pihak pemerintah maupun non pemerintah. Program pemerintah yang berkenaan
dengan pemberian pinjaman ataupun pemberian modal untuk para pelaku usaha kecil
menengah sudah banyak yang berjalan, seperti yang telah dilakukan oleh
Kementerian Pertanian seperti program PUAP, Kredit Ketahanan Pangan, Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi dan Bantuan Langsung Masyarakat. Kebijakan
penguatan modal untuk pertanian akan terus diperbaiki oleh pemerintah karena
pertanian memiliki peran yang penting untuk sebuah pembangunan bangsa.
Pada tahun 2008, pemerintah melalui Kementerian Pertanian RI membuat suatu
program baru yang diperuntukkan sebagai penguatan modal para pelaku usaha
agribisnis. Program tersebut diberi nama Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan
(PUAP). Di dalam buku Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014
dikatakan bahwa melalui kegiatan Bantuan langsung Masyarakat-Pengembangan
Usaha Agribisnis Pedesaan (BLM-PUAP), satu unit Gapoktan dapat menerima
bantuan penguatan modal sebesar Rp 100 juta. Sampai tahun 2008 telah diberikan
bantuan penguatan modal kepada 10.542 Gapoktan dan untuk tahun 2009, sebanyak
10.000 Gapoktan ditargetkan akan menerima bantuan BLM-PUAP. PUAP juga
merupakan bagian dari pelaksanaan program PNPM-Mandiri melalui bant uan modal
usaha dalam menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai dengan potensi pertanian
desa sasaran. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri adalah program
pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan kesempatan kerja.
BLM atau Bantuan Langsung Masyarakat merupakan bantuan pinjaman dana
yang diberikan kepada individu atau anggota sebuah kelompok tertentu sebagai
tambahan modal. Menurut Manurung pada skripsi Analisis Dampak dan Efektivitas
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Lumbung Pangan mengatakan bahwa
program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Lumbung pangan merupakan
program berupa bantuan pinjaman dana yang disalurkan dari Dewan ketahanan
Pangan, Kementerian Pertanian. Bantuan tersebut diberikan kepada kelompok tani
sebagai penerima BLM Lumbung Pangan yang selektif telah dipilihkan dari instansi
bersangkutan sesuai dengan tingkat kesiapan petani untuk mengembangkan lumbung
pangan sehingga menjadi unit usaha distribusi hasil pertanian/pengolahan serta
pengelolaan cadangan pangan yang baik (Manurung, 2009).
Modal pertanian dalam arti luas adalah faktor produksi modal yang disalurkan,
dikelola dan dikontrol di dalam kegiatan ekonomi di sektor pertanian dan merupakan
salah satu sektor ekonomi nasional. Modal pertanian dapat berbentuk uang tunai
atau dalam bentuk barang yang dipakai di dalam kegiatan produksi di bidang
pertanian, seperti benih dan alsintan. Modal usahatani memiliki makna faktor
produksi modal yang disediakan, diolah dan dikontrol di dalam suatu usahatani
dengan skala yang besar maupun usahatani dalam skala kecil atau masih sederhana.
Pengertian modal bisa dibedakan berdasarkan beberapa pendekatan, seperti
modal berdasarkan hak milik, berdasarkan arah pemakaian, berdasarkan tujuan,
berdasarkan pemakaian modal dan berdasarkan sumber modal (Kadarsan, 1992).
Lebih lanjut oleh Kardasan, pengertian modal perusahaan berdasarkan hak milik bisa
dibedakan antara modal pribadi perusahaan, modal luar perusahaan, modal swasta
perseorangan atau kelembagaan dan modal pemerintah. Bentuk bantuan modal dari
pemerintah yang telah dilakukan untuk membantu para pelaku usahatani dalam
mengatasi ketersediaan modalnya. Menurut Prihartono (2009) dengan adanya
program PUAP diharapkan dapat memfasilitasi para anggota kelompok tani, baik
petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani. Menurut
Sagala 2010, PUAP merupakan bagian dari pelaksanaan program PNPM-Mandiri
melalui bantuan modal usaha dalam menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai
dengan potensi pertanian desa sasaran. Bantuan modal tersebut selanjutnya akan
dikelola oleh para lembaga atau seseorang yang terkait yang kemudian digunakan
sebagai modal untuk usahatani. Pada akhirnya keberhasilan sebuah usahatani akan
dilihat dari pendapatan usahatani yang didapatkannya. Sagala (2010) menyebutkan
bahwa Analisis pendapatan merupakan gambaran keadaan sekarang suatu kegiatan
usaha dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau
tindakan. Bantuan modal tersebut akan digunakan oleh para pelaku usahatani demi
memenuhi kebutuhannya selama menjalankan usaha. Pemakaian modal tersebut akan
dihitung sebagai pengeluaran atau biaya yakni semua pengorbanan sumberdaya
ekonomi dalam satuan yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output dalam suatu
periode produksi. Sedangkan penerimaan merupakan total nilai produk yang
dihasilkan yang diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah output atau produk yang
dihasilkan dengan harga produk tersebut. Indikator keberhasilan dari suatu program
pemberian bantuan modal seperti PUAP dan LM3 ini dilihat dari 3 komponen yang
memberikan gambaran atas pelaksanaa program tersebut, meliputi keluaran (output ),
hasil (outcome), dan dampak setelah pemakaian modal tersebut untuk kegiatan
usahatani. Dampak program bantuan modal tersebut terhadap pendapatan usahatani
mereka dapat dilihat dengan membandingkan pendapatan petani atau pelaku usaha
sebelum bantuan modal itu sampai ke tangan mereka dengan pendapatan yang
mereka terima setelah diberikan bantuan modal oleh program tersebut. Untuk
menganalisis pendapatan usahatani pun ada berbagai alat analisis yang digunakan.
2.8. Penelitian Terdahulu
Pada sub bab ini akan diuraikan secara ringkas beberapa beberapa
penelitian nasional terdahulu mengenai pemberdayaan masyarakat melalui program
BLM-PUAP.
M. Ridwan. (2013). Evaluasi Strategi Pemberdayaan Masyarakat Agribisnis
Melalui Penguatan Modal Usaha Kelompok Tani. Hasil penelitiannya menunjukan
bahwa masih rendahnya manfaat yang dirasakan oleh petani di desa-desa yang
mendapatkan dana bantuan dalam Program Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP) dikarenakan dikarenakan: (1) kurang baiknya Efektivitas Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) (2) rendahnya efisiensi Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) khususnya kurangnya Sumber
Daya Manusia, (3) sedikitnya kecukupan informasi terhadap Program Pengembangan
Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) khususnya informasi awal atau identifikasi awal
potensi pertanian masyarakat (4) kurang terlaksananya aspek kesamaan atau perataan
pada Program Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP)Perdesaan khususnya masih
adanya kausus adanya pendekatan khusus anatar petani dan petugas untuk
mendapatkan bantuan dari Program Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) (5)
terkait dengan responsivitas Program Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP)
sudah mengarah kepada cukup baik 6) rendahnya ketepatan sasaran dan tujuan
Program Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) dapat dilihat dari penyalahgunaan
dana bantuan program oleh petani yang dimanfaatkan ke persoalan lain.
Andi Sopandi (2010) Strategi Pemberdayaan Masyarakat: Studi Kasus Strategi
dan Kebijakan pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Bekasi. Berdasarkan hasil
penelitian berkaitan dengan potensi dan permasalahan masyarakat di Kabupaten
Bekasi, maka dapat dirumuskan beberapa strategi dan kebijakan program
pembangunan di bidang pemberdayaan masyarakat, sebagai berikut:
a. KEKUATAN (STRENGTH)
- Letak Wilayah Kabupaten Bekasi Yang Strategis
- Pertumbuhan dan Perekonomian Kab. Bekasi yang cukup tinggi
- Sumber Daya Alam yang Potensial
- Sumberdaya financial
b. KELEMAHAN (WEAKNESS)
- Angka Pengangguran dan kemiskinan cukup tinggi serta Indeks Kesehatan
yang belum memadai
- Kekuatan ekonomi rakyat belum berkembang dan Indeks Daya Beli
Masyarakat masih rendah
- fasilitas infrastruktur perkotaan belum optimal
- Manajemen pemerintah dan Keterkaitanantar sector belum optimal
c. PELUANG (OPPORTUNITIES)
- Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Nasional dan Daerah
- Aksesibilitas yang tinggi terhadap pusat Kawasan Industri
- Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi dalam Perencanaan daerah
(RKPD, RPJMD, Visi dan Misi Kabupaten Bekasi)
- Perkembangan ekonomi nasional
d. ANCAMAN(THREAT)
- Konsistensi Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat di Daerah dan Nasional
- Kerjasama regional belum optimal
- Angka migrasi penduduk yang tidak terampil tinggi
- Meningkatnya persaingan regional
Purbayu Budi Santoso, Darwanto (2015). Strategi Penguatan Kelompok Tani
dengan Penguatan Kelembagaan. Studi ini menghasilkan beberapa kesimpulan antara
lain sebagai berikut:
(1) Aspek yang menjadi prioritas dalam penguatan kelembagaan kelompok tani di
Kabupaten Demak yaitu aspek kelembagaan.
(2) Prioritas permasalahan dalam penguatan kelembagaan kelompok tani di
Kabupaten Demak dibagi berdasarkan aspek. Permasalahan aspek kelembagaan
yaitu norma yang tidak sesuai dengan AD/ART. Permasalahan aspek tata niaga
adalah masalah pengadaan pupuk dan obat hama. Permasalahan aspek teknologi
yaitu kurang optimalnya dalam penerapan teknologi dalam sapta usaha tani.
Permasalah-an aspek infrastruktur yaitu jumlah sarpras yang masih kurang dalam
mendukung kegiatan atau usaha pertanian. Permasalahan aspek kemitraan yaitu
koordinasi antar stakeholders yang masih lemah dan kurang intensitasnya.
(3) Prioritas solusi dalam penguatan kelembagaan kelompok tani di Kabupaten
Demak juga dibagi berdasarkan aspek. Prioritas solusi kelembagaan yaitu
optimalisasi fungsi dan peran sesuai AD/ART. Prioritas solusi tata niaga yaitu
manajemen pengadaan input. Prioritas solusi teknologi yaitu meningkatkan
teknologi guna meningkatkan mutu produk yang akan dihasilkan oleh petani.
Prioritas solusi infrastruktur yaitu perbaikan sarana dan prasarana yang rusak dan
tidak layak. Prioritas solusi kemitraan yaitu memantapkan kemitraan yang sudah
ada yang meliputi pasar, teknologi dan permodalan.
(4) Strategi yang menjadi prioritas dalam penguatan kelembagaan kelompok tani di
Kabupaten Demak yaitu penerapan teknologi yang tepat guna sebagai langkah
untuk menambah nilai tambah produk yang dihasilkan oleh petani.
Anu Kasmel and Pernille Tanggaard Andersen (2011) Pengukuran
Pemberdayaan Masyarakat dalam Tiga Program Masyarakat di Rapla (Estonia). Hasil
penelitiannya adalah Penggunaan model ekspansi pemberdayaan dalam program
masyarakat yang berbeda menunjukkan perkembangan ODCE dalam semua program
promosi kesehatan tiga masyarakat. Studi saat ini menunjukkan bahwa, setidaknya di
bawah beberapa kondisi, kelompok kerja Program masyarakat dapat memberdayakan
diri menggunakan ODCE kontekstual diklarifikasi dan mengevaluasi proses
pelaksanaannya. Para anggota kelompok kerja masyarakat setuju bahwa jenis
evaluasi adalah cara yang berguna dan fleksibel memahami dan mengukur proses
pemberdayaan masyarakat. Ini juga merupakan yang berlaku, cepat,alat sederhana
dan murah yang dapat digunakan dalam pengukuran domain organisasi
pemberdayaan masyarakat. Namun, ada kebutuhan untuk menguji alat yang sama di
antara kelompok kerja dan masyarakat.
Amy Trauger, Carolyn Sachs, Mary Barbercheck (2010) pasar kami adalah
masyarakat kita‟‟: petani perempuan dan pertanian sipil di Pennsylvania, Amerika
Serikat. Hasil penelitiannya adalah Kami bertujuan untuk memahami strategi
operator perempuan kecil, menengah peternakan di Pennsylvania digunakan untuk
menjadi sukses dalam lingkungan ekonomi fi kultus dif bagi petani. Kami
menemukan bahwa petani perempuan yang kami wawancarai merespon kebutuhan
sosial dan budaya dalam masyarakat mereka sebagai cara untuk menjadi sukses.
Strategi ini jatuh di bawah kategori dari gerakan yang lebih besar di bidang pertanian
yang telah diidentifikasi sebagai pertanian sipil (Lyson 2004). Para petani yang kami
wawancarai menggunakan kegiatan berbasis pasar mereka untuk memenuhi
kebutuhan sosial, seperti ruang yang aman untuk anak-anak; dan koneksi spiritual
dengan alam, makanan sehat, dan budaya tertentu makanan fi c. DeLind (2002)
menunjukkan, perempuan juga mempraktekkan pertanian masyarakat dalam cara-
cara yang baik dan diwujudkan publik. Masyarakat dalam pekerjaan sipil ini adalah
multi-tier. Pada satu tingkat, masyarakat yang menerima manfaat adalah konsumen
primer dan kerabat dekat mereka. Sementara banyak petani perempuan yang kami
wawancarai terlibat dengan masyarakat sebagai praktek bisnis yang baik, mereka juga
melihat pekerjaan mereka (2002) kata-kata Delind sebagai „„kewajiban publik
dengan tujuan mencerahkan dirinya sendiri‟‟ (hlm. 219). Pada tingkat lain, manfaat
tted dari peningkatan kesehatan masyarakat, keamanan, dan hubungan sosial. Banyak
dari para petani ini juga berusaha untuk memberikan pendidikan publik melalui
menyediakan orang dengan keterlibatan fisik langsung dengan praktek pertanian. ts
diwujudkan atau bahan manfaat dan konsekuensi (misalnya, aman, makanan sehat)
pertanian sipil adalah produk pekerjaan fisik petani dan pertukaran materi antara
petani dan konsumen. Bermanfaat bagi kesehatan tubuh, ruang aman dan
pemberdayaan, seperti dibahas di koran, diarahkan untuk berbagai macam orang
dalam berbagai konteks termasuk berisiko muda pedesaan, etnoreligius minoritas di
masyarakat pinggiran kota, dan masyarakat perkotaan berpenghasilan rendah.
Surni dan Murdjani Kamaludin (2014). Nilai Tambah dan Penguatan Ekonomi
Kelompok Usaha Bajo Indah Lapulu Kendari Melalui Segmentasi Pasar Pada Desain
Terasi Instant. Hasil penelitiannya adalah pengolahan terasi instant memberikan nilai
tambah sebesar Rp. 68.630/kg bahan baku terasi basah, rasio nilai tambah terhadap
nilai produksi sebesar 34% artinya untuk setiap Rp.10.000 nilai produk akan
diperoleh nilai tambah sebesar Rp.3.400. Imbalan tenaga kerja sebesar 43,71%,
keuntungan yang diperoleh 19,11% dan keuntungan yang diperoleh sebesar
Rp.38.630/kg.
III. KERANGKA PIKIR
3.1. Kerangka Pikir Penelitian
Masalah umum yang dihadapi oleh para petani adalah masih rendahnya
pendapatan keluarga sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Untuk
mengatasi dan menyelesaikan permasalahan kemiskinan pemerintah menetapkan
Program Jangka Menengah yang fokus pada pembangunan pertanian perdesaan.
Salah satunya ditempuh melalui pendekatan usaha agribisnis dan memperkuat
kelembagaan pertanian di perdesaan.
Strategi pemberdayaan masyarakat merupakan perencanaan dan manajemen
dalam melakukan suatu upaya untuk memandirikan masyarakat dengan cara menggali
potensi yang dimilikinya, kemudian memperkuat potensi tersebut dengan memberi
masukan atau input serta kesempatan untuk mengembangkan potensi tersebut.
Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung secara
bertahap, yaitu: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku
sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan peningkatan
kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan berpikir atau
pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar dapat mengambil peran di dalam
pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-
keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan inovatif untuk
mengantarkan pada kemandirian.
Program BLM-PUAP dimaksudkan untuk memfasilitasi petani dalam bentuk
modal usaha untuk petani anggota baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani
maupun rumah tangga tani yang dikoordinasikan oleh Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan). Program ini pada sebagian daerah tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkan karena ada sebagian masyarakat menganggap bahwa dana dari program
ini merupakan dana hibah yang tidak perlu untuk dikembalikan. Oleh karena itu,
pemahaman masyarakat petani tentang dana dari program ini sangat diperlukan agar
program ini kedepan bisa berjalan sebagaimana mestinya, strategi pemberdayaan
masyarakat agar program yang sudah dilaksanakan dapat berjalan sebagaimana
mestinya, dimana dalam strategi pemberdayaan masyarakat itu sendiri meliputi faktor
internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman).
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Strategi Pemberdayaan Masyarakat Petani Melalui
Penguatan Modal Usaha Tani.
Meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat
Pemberdayaan
Masyarakat Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Tingkat keberdayaan masyarakat
Pengetahuan:
pengetahuan dalam
rangka mencari
solusi atas suatu
permasalahan yang
dihadapi
Sikap: perasaan
yang diharapkan
dapat diintervensi
untuk mencapai
keberdayaan dalam
sikap dan perilaku
Keterampilan: upaya
mendukung
masyarakat dalam
rangka melakukan
aktivitas
pembangunan.
Masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan serta kemampuan.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian positivisme. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kuantitatif yang didukung oleh penelitian kualitatif.
Dengan didukung pendekatan kualitatif tersebut maka deskripsi mengenai strategi
pemberdayaan masyarakat didekati secara kualitatif.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian yaitu di Kota Kendari. Penentuan lokasi penelitian ini
dilakukan dengan purposive yaitu suatu metode penentuan daerah penelitian secara
sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa Kota Kendari merupakan salah satu Kota
yang masyarakat taninya mendapatkan bantuan berupa modal usaha tani yang berasal
dari Program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)- Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan hampir secara keseluruhan daerahnya menerima
bantuan dari dana program tersebut. Sedangkan Waktu Pelaksanaan penelitian ini
berlangsung pada bulan September sampai bulan Desember 2016.
4.3. Populasi dan Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah para petani/masyarakat tani yang diberikan
modal usaha oleh pemerintah yang penyalurannya melalui Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan) sebanyak 51 Gapoktan dan penyuluh pendamping sebanyak 10
orang. Penentuan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh Gapoktan yang
berjumlah 51 Gapoktan yang dijadikan objek penelitian dan sampel diambil secara
merata dari setiap Gapoktan. Sedangkan tehnik penentuan sampel dalam penelitian
ini dilakukan secara purposive (Sengaja). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
Arikunto (2002), bahwa jika subyeknya lebih dari 100 orang dan sama (homogen)
maka sampel yang diambil antara 10-15 % atau 20-25 %. Jadi, diambil 10 %
sehingga jumlahnya menjadi 5 Gapoktan. Dimana dari 5 Gapoktan ini terdiri dari 18
kelompok tani. Jadi, dari 1 kelompok tani diambil 1 orang yang dapat mewakili
dalam kelompok tani. Sehingga, jumlah sampel yang diperoleh adalah 18 orang
ditambah dengan 1 orang penyuluh pendamping dari 5 Gapoktan tersebut sehingga
jumlah sampelnya adalah 19 orang .
Tabel 1. Berikut merupakan nama-nama Desa, Gapoktan serta Jenis Usaha yang
Diusahakan oleh Penerima Dana BLM-PUAP di Kota Kendari
Desa Nama Gapoktan Jenis Usaha
Purirano
Mata
Kampung Salo
Mangga Dua
Wundudopi
Lepo-Lepo
Bonggoeya
Talia
Lapulu
Kadia
Wawowanggu
Anaiwoi
Pondambea
Kadia
Wawowanggu
Puday
Poasia
Anggilowi
Alolama
Sodohoa
Sauna
Tipulu
Harapan Jaya
Maju Bersama
Bina Tani
Bunga Indah
Wundudopi Jaya
Mekar jaya
Kalawesi
Talia Bersinar
Mawar
Morini
Wanggu Jaya
Tina Orima
Tunas Jaya
Morini
Wanggu Jaya
Bukit Asam
Alam Makmur
Samaturu
Sejahtera
Cendrawasih
Usaha Maju
Panda
Off Farm
Off farm
Off farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Off Farm
Matabubu
Andounohu
Gunung Jati
Wua-Wua
Anawai
Kambu
Padaleu
Mokoau
Anggalomelai
Benua Nirae
Lalodati
Punggolaka
Bende
Tobuuha
Mangga Dua
Mepokoaso
Teporombu
Pokadulu
AL-Anbiya
Mekar Sari
Melati
Warumbei
Harapan Jaya
Lembah jaya
Lestari
Barakati
Lalomasara
Antero Indah
Sejahtera
Pokadulu
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Hortikultura
Lalolara
Petoaha
Nambo
Bougenvile
Harapan Kita
Haraan Jaya
Perkebunan
Perkebunan
Perkebunan
Abeli
Tondonggeu
Tobimeita
Bungkutoko
Sambuli
Sodohoa
Baruga
Watu-Watu
Mekohia
Mitra Tani
Usaha Bersama
Wijaya Kusuma
Mandiri
Cendrawasih
Tiga Mandiri
Semangat Jaya
Ternak
Ternak
Ternak
Ternak
Ternak
Ternak
Ternak
Ternak
Wawombalata
Puuwatu
Labibia
Rahandouna
Pesuri
Sinar Tani
Samaturu
Tani Ramaya
Pangan
Pangan
Pangan
Pangan
Sumber Data: PMT Kota Kendari
4.4. Jenis dan Tehnik Pengumpulan Data
Adapun jenis data dalam penelitian ini ada 2 (dua) yaitu
a. Data primer yaitu data yang diperoleh dengan cara wawancara dan observasi
langsung kepada responden sesuai pedoman wawancara dengan menggunakan
kuesioner yang telah disiapkan.
b. Data sekunder, adalah data yang diperoleh dari hasil kajian pustaka dan
pencatatan dari berbagai kantor atau instansi terkait yang ada hubungannya
dengan penelitian ini.
Perolehan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu sebagai berikut:
1. Wawancara, yaitu melakukan wawancara langsung dengan obyek penelitian
untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dengan menggunakan
kuisioner yang telah disiapkan sebelumnya.
2. Observasi, yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara
langsung kepada obyek penelitian sehingga akan memberikan gambaran yang
jelas mengenai objek yang akan diteliti.
3. Melalui pencatatan, yaitu mengumpulkan data dengan mencatat data yang sudah
tersedia di kantor-kantor yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
4.5. Obyek Penelitian
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
1. Identitas responden meliputi nama, pendidikan, dan tanggungan keluarga.
2. Tingkat keberdayaan masyarakat meliputi tingkat kemampuan pengetahuan,
tingkat kemampuan sikap serta tingkat kemampuan keterampilan.
3. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pedagang Sayur Keliling terdiri dari : faktor
eksternal (Peluang dan Ancaman) dan faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan).
4.6. Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh ditabulasi sesuai kebutuhan kemudian dihitung secara
persentase sebagai acuan untuk menjelaskan secara deskriptif masing-masing
komponen dari kedua variabel diatas. Untuk menggolongkan tinggi, sedang dan
rendahnya tingkat keberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling digunakan rumus
Rogers ( Burhan 2000) sebagai berikut:
I =𝐽
𝐾
Keterangan:
I = interval kelas
J = jarak sebaran (skor tertinggi-skor terendah + 1)
K = banyaknya kelas
Selanjutnya untuk mengetahui strategi pemberdayaan masyarakat pedagang
sayur keliling akan digunakan analisis SWOT.
Dilakukan analisis dengan menggunakan Matriks SWOT (Salusu, 2000)
sebagai berikut :
Analisis SWOT : Klasifikasi Isu
EKSTERNAL
INTERNAL
OPORTUNITY TREATHS
STRENGTH
Comparative
Advantage Mobilization
WEAKNESS Drivestment/Investment Damage Control
Sebelum membuat matriks SWOT diatas, terlebih dahulu ditentukan Faktor
Strategi Internal (IFAS) dan Faktor Strategi Eksternal (EFAS). Cara penentuannya
adalah :
1. Matriks Faktor Strategi Internal (kekuatan dan kelemahan)
a. Menyusun dalam kolom 1 faktor kekuatan dan kelemahan.
b. Memberi bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat
penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting).
c. Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan
memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor),
berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi usaha budidaya yang
bersangkutan. Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang masuk
kategori Kekuatan) diberi nilai mulai dari + 1 sampai dengan + 4 (sangat
baik). Sedangkan variabel yang bersifat negatif (semua variabel yang masuk
kategori Kelemahan), kebalikannya.
d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh
faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk
masing-masing faktor yang nilainya bervariasi 4,0 (outstanding) sampai
dengan 1,0 (poor).
e. Kolom 5 untuk memberikan komentar atau catatan.
2. Matriks Faktor Strategi Eksternal (peluang dan ancaman)
a. Menyusun dalam kolom 1 faktor peluang dan ancaman.
b. Memberi bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat
penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting).
c. Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan
memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor),
berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi usaha pemberdayaan
yang bersangkutan. Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang masuk
kategori Peluang) diberi nilai mulai dari + 1 sampai dengan + 4 (sangat baik).
Sedangkan variabel yang bersifat negatif (semua variabel yang masuk
kategori Ancaman), kebalikannya.
d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh
faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk
masing-masing faktor yang nilainya bervariasi 4,0 (outstanding) sampai
dengan 1,0 (poor).
e. Kolom 5 untuk memberikan komentar atau catatan.
4.7. Konsep Operasional
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:
1. Pendidikan yaitu lamanya responden dalam menempuh jenjang pendidikan formal
dan dinyatakan dalam satuan tahun.
2. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya jiwa yang menjadi tanggungan
responden yang diukur dalam satuan jiwa.
3. Keberdayaan masyarakat adalah dimilikinya daya, kekuatan atau kemampuan
oleh masyarakat untuk mengidentifikasi potensi dan masalah serta dapat
menentukan alternatif pemecahannya secara mandiri.
4. Pengetahuan yaitu pemahaman atau pengetahuan petani tentang pemberian
bantuan modal usaha yang disalurkan melalui Gapoktan ( Tinggi 12, Sedang 10 -
11, Rendah 8 - 9).
5. Sikap yaitu ide yang berkaitan dengan emosi yang mendorong dilakukannya
tindakan-tindakan tertentu dalam situasi sosial ( Tinggi 11 – 12, Sedang 9 – 10,
Rendah 7 – 8).
6. Keterampilan yaitu pola kegiatan yang memerlukan manipulasi dan koordinasi
informasi yang telah dipelajari ( Tinggi 12, Sedang 10 – 11, Rendah 8 - 9).
7. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaaan (PUAP) merupakan program yang
dikembangkan oleh Departemen Pertanian yang dilaksanakan secara terintegrasi
dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M).
8. Pedagang kaki Lima adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha dagang
perorangan atau kelompok yang dalam menjalankan usahanya
menggunakan tempat-tempat fasilitas umum, seperti trotoar, pinggir-
pinggir jalan umum, dan lain sebagainya.
9. Pedagang yaitu orang yang menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka
waktu tertentu dengan menggunakan sarana atau perlangkapanyang mudah
dipindahkan, dibongkar pasang dan mempergunakan lahan fasilitas umum
sebagai tempat usaha.
Tabel 2. Indikator dan parameter tingkat keberdayaan masyarakat
Tingkat
keberdayaan
masyarakat
pedagang
sayur keliling
Indikator Parameter
a. Pengetahuan
( Kognitif)
- Tinggi (32 – 36)
- Sedang (28 – 31 )
- Rendah (24-27)
b. Sikap (afektif) - Tinggi (32 – 36)
- Sedang (28 – 31 )
- Rendah (24-27)
c. Keterampilan
(physikomotorik)
- Terampil (32 – 36)
- Kurang Terampil (28 – 31 )
- Tidak terampil (24-27)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1. Letak Geografis dan Luas wilayah
Wilayah Kota Kendari dengan ibukotanya Kendari dan sekaligus juga sebagai
ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara secara geografis terletak di bagian Selatan Garis
Katulistiwa berada di antara 3054‟30” -4
0 3‟11” LS dan membentang dari Barat ke
Timur di antara 1220
23‟ -1220
39‟ BT.
Kota Kendari memiliki luas ± 295,89 km² atau 0,70 persen dari luas daratan
Provinsi Sulawesi Tenggara, merupakan dataran yang berbukit dan dilewati oleh
sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Kendari sehingga teluk ini kaya akan hasil
lautnya. Sepintas tentang letak wilayah Kota Kendari sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Konawe, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Kendari, sebelah
Selatan berbatasan dengan Konawe Selatan, Sebelah Barat berbatasan dengan
Konawe Selatan.
5.1.2. Keadaan Tanah dan Iklim
Topografi wilayah Kota Kendari pada dasarnya bervariasi antara datar dan
berbukit. Daerah datar yang terdapat di bagian Barat dan Selatan Teluk Kendari.
Kecamatan Kendari yang terletak di sebelah Utara teluk sebagian besar terdiri dari
perbukitan (Pegunungan Nipa-nipa) dengan ketinggian ± 459 M dari permukaan laut,
sedangkan ke arah Selatan tingkat kemiringan antara 4% -30%, bagian Barat
(Kecamatan Mandonga) dan Selatan (Kecamatan Poasia) terdiri dari daerah
perbukitan bergelombang rendah dengan kemiringan ke arah Teluk Kendari. Kondisi
tanah Kota Kendari terdiri dari tanah liat bercampur pasir halus dan berbatu
diperkirakan berjenis aluvium berwarna cokelat keputihan dan ditutupi Prafesier (batu
lempung atau batu apung). Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, Kota
Kendari dikenal 2 (dua) musim, yakni musim kemarau dan musim penghujan.
Keadaan musim sangat dipengaruhi oleh arus angin yang bertiup di atas wilayah Kota
Kendari.
5.2. Keadaan Penduduk
5.2.1. Keadaan Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Penduduk merupakan elemen pendukung sekaligus sebagai katalis bagi
pembangunan. Dinamika penduduk menjadi unsur fundamental dalam perencanaan
pembangunan suatu wilayah. Keadaan penduduk berdasarkan kelompok umur dan
jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Penduduk dan rasio Jenis Kelamin Menurut Kecamatan di Kota
Kendari, 2015.
Kecamatan Jenis Kelamin (ribu) Rasio Jenis
Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. Mandonga 21 694 21 644 43 338 100,23
2. Baruga 11 655 11 558 23 213 100,84
3. Puuwatu 17 099 16 155 33 254 105,84
4. Kadia 23 410 23 621 47 031 99,11
5. Wua-wua 14 875 14 374 29 249 103,49
6. Poasia 15 258 14 674 29 932 103,98
7. Abeli 13 746 13 144 26 890 104,58
8. Kambu 16 425 16 094 32 519 102,06
9. Kendari 15 394 15 233 30 627 101,06
10. Kendari Barat 25 781 25 662 51 443 100,46
Kendari 175 337 172 159 347 496 101,85
Sumber : Proyeksi Penduduk Indonesia 2010–2035.
Tabel 3 menunjukkan bahwa penduduk kota Kendari berdasarkan proyeksi
tahun 2015 sebanyak 347.469 jiwa yang terdiri atas 175.337 jiwa penduduk laki-laki
dan 172.159 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi jumlah
penduduk tahun 2014, penduduk Kota Kendari mengalami pertumbuhan sebesar 3,46
persen dengan masing-masing persentase pertumbuhan penduduk laki-laki sebesar
3,52 persen dan penduduk perempuan sebesar 3,39 persen. Sementara itu besarnya
rasio jenis kelamin tahun 2015 penduduk laki-laki terhadap perempuan sebesar
101,85. Kepadatan penduduk di Kota Kendari tahun 2015 mencapai 1.174 jiwa/km2.
Kepadatan penduduk di 10 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk
terletak di Kecamatan Kadia dengan kepadatan sebesar 6.189 jiwa/km2 dan terendah
di Kecamatan Baruga sebesar 472 jiwa/km2.
5.2.2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan memiliki arti penting dalam upaya membentuk manusia seutuhnya
dan seluruhnya, sebagaimana diamanatkan dalam GBHN yang mentitikberatkan pada
peningkatan mutu pendidikan dan perluasan kesempatan belajar. Tingkat pendidikan
penduduk Kota Kendari dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Penduduk Kota Kendari menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin,
Tahun 2016
Angka Partisipasi Sekolah ( Persen)
Jenis kelamin dan
kelompok umur
sekolah
Tidak/belum
pernah sekolah
Masih sekolah Tidak sekolah
lagi
Laki-laki
7-12 0,96 99,04 0,00
13-15 0,00 97,91 2,09
16-18 0,00 64,64 35,36
19-24 0,00 54,82 45,18
7-24 0,32 77,06 22,62
Perempuan
7-12 0,00 100,00 0,00
13-15 0,00 95,86 4,14
16-18 0,00 80,16 19,84
19-24 0,00 68,03 31,97
7-24 0,32 82,82 17,18
Laki-
laki+Perempuan
7-12 0,52 99,48 0,00
13-15 0,00 97,07 2,93
16-18 0,00 72,85 27,15
19-24 0,00 61,40 38,60
Tabel. Angka partisipasi Sekolah (APS) tahun 2012-2015
Sumber : Survey Sosial Ekonomi Nasional ,Maret 2015.
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada angka partisipasi sekolah kategori
tidak/belum pernah sekolah didominasi oleh umur 7-12 tahun dengan persentase
sebesar 0,52 persen, sedangkan untuk Angka partisipasi sekolah yang masih sekolah
didominasi oleh umur 7-12 tahun dengan persentase 99,48 persen. Untuk kategori
tidak sekolah lagi didominasi oleh umur 19-24 tahun dengan persentase 38,60
persen..
5.3. Identitas Responden
5.3.1. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan dapat menjadi salah satu ukuran kemampuan seseorang
dalam mengidentifikasi, merumuskan dan menyelesaikan permasalahan yang sedang
dihadapi. Pendidikan yang memadai diharapkan akan mampu membedakan jenis
sumberdaya yang dapat dikelola secara bebas dan dapat mengenal kebutuhan prioritas
dan potensi yang dimiliki sehingga dapat beraktivitas secara efektif dan efisien dalam
rangka pemenuhan kebutuhan keluarganya. Variasi tingkat pendidikan responden
secara rinci disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal.
Tingkat Pendidikan Formal Jumlah Pedagang
(Jiwa)
Persentase (%)
Rendah (Tidak Tamat/Tamat SD ) 5 27,78
Sedang (Tidak Tamat/Tamat
SMP/SMA)
11 61,11
Tinggi (Tidak Tamat-/Tamat PT) 2 11,11
Jumlah 18 100,00
Sumber : Analisis data primer setelah diolah,2016
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar (61,11 %) tingkat pendidikan
responden hanya sampai tamat SMA. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas
sumberdaya manusia di daerah penelitian jika dilihat dari indikator tingkat
pendidikan yang pernah ditempuh, masih dalam kategori sedang. Berkaitan dengan
kondisi ini, maka diperlukan usaha-usaha yang dapat mendorong peningkatan
pengetahuan dan keterampilan dasar masyarakat agar proses pemberdayaan dapat
berjalan sesuai yang diharapkan, seperti kegiatan pendampingan, pembimbingan,
pelatihan, dan kursus-kursus yang berkaitan dengan profesi dan potensi sumberdaya
yang lokal. Masyarakat yang berpendidikan SLTA dan perguruan tinggi dapat
dibina dan dilatih dengan pengetahuan teknis, sehingga mereka menjadi motivator,
mediator, fasilitator dan pelaku utama dalam proses pemberdayaan di daerahnya.
5.3.2. Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga adalah orang yang tinggal serumah maupun
tidak serumah tetapi kebutuhan hidupnya menjadi tanggungan pedagang yang
bersangkutan. Tanggungan keluarga merupakan salah satu sumberdaya manusia
yang dapat dikembangkan untuk membantu kepala keluarga terutama yang telah
berusia produktif. Tanggungan yang berada pada usia produktif sangat membantu
dalam usahataninya. Semakin besar jumlah tanggungan keluarga semakin besar pula
usaha yang dilakukan pedagang guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Soeharjo dan Patong (1984) mengemukakan bahwa yang termasuk anggota
keluarga kecil yaitu berkisar 2-4 orang sedangkan anggota keluarga >4 orang
termasuk keluarga besar. Hasil penelitian diperoleh data mengenai jumlah anggota
keluarga responden seperti pada tabel 6.
Tabel 6. Sebaran responden berdasarkan tanggungan keluarga.
Tanggungan keluarga Jumlah (jiwa) Persentase(%)
Besar ( > 4) 8 44,45
Kecil (2 - 4) 10 55,55
Jumlah 18 100,00
Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2016.
Pengklasifikasian jumlah tanggungan keluarga responden dikelompokkan atas
dua kategori, yaitu keluarga kecil apabila tanggungan keluarga yakni 2 – 4 jiwa
dengan persentase (55,55%), sedangkan keluarga besar berjumlah >4 jiwa, dengan
persentase sebesar (44,45%). Dari hasil wawancara bersama responden menunjukkan
bahwa jumlah tanggungan untuk masing-masing responden lebih dominan pada
kategori keluarga kecil.
5.4. Tingkat Keberdayaan Masyarakat Pedagang Sayur Keliling
a. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah seberapa besar
pemahaman atau pengetahuan pedagang sayur keliling tentang pemberian bantuan
modal usaha yang disalurkan melalui Gapoktan di Kota Kendari. Pengetahuan
pedagang sayur keliling sangat menunjang kemampuannya untuk mengadopsi
teknologi dalam usahataninya. Untuk lebih jelasnya mengenai pengetahuan
pedagang sayur keliling responden dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengetahuan Masyarakat Pedagang Sayur Keliling di Kota Kendari, 2016
No Pengetahuan Jumlah responden (jiwa) Persentase (%)
1.
2.
3.
Tinggi ( 12 )
Sedang ( 10 - 11)
Rendah (8 - 9)
3
11
4
16,67
61,11
22,22
Jumlah 18 100,00
Sumber : Data Primer Setelah Diolah,2016
Tabel 7 menunjukkan bahwa pengetahuan pedagang sayur keliling di Kota
Kendari yaitu kategori tinggi berjumlah 3 jiwa (16,67 %), disebabkan oleh tingginya
tingkat pengetahuan pedagang sayur keliling dalam melaksanakan program bantuan
modal usaha tersebut sangat menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan program,
karena pedagang sayur keliling yang memiliki pengetahuan yang cukup akan
meningkatkan keterampilannya sebab mengambil sikap yang tepat dalam
melaksanakan program tersebut dan lebih cepat dalam mengadopsi teknologi baru
disebabkan oleh adanya motivasi dari pedagang sayur keliling sendiri. Sedangkan
pedagang sayur keliling untuk kategori sedang berjumlah 11 jiwa ( 61,11%).
menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki sudah cukup untuk membantu
dirinya (pedagang sayur keliling) dalam melakukan kegiatan usahanya sehingga dapat
mengetahui apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan dalam usahataninya. Untuk
kategori rendah berjumlah 4 jiwa ( 22,22%), disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
pedagang sayur keliling dalam melaksanakan usahanya sehingga pedagang tersebut
tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk melakukan usahanya.
Sesuai dengan pendapat Sutardja ( 2008) yang mengemukakan bahwa tingkat
pengetahuan petani mempengaruhi petani didalam mengadopsi teknologi baru dan
kelanggengan usahataninya. Pendapat tersebut memberikan pengertian bahwa jika
tingkat pengetahuan tinggi, maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi baru
di bidang pertanian juga tinggi, demikian pula sebaliknya jika tingkat pengetahuan
rendah, maka akan rendah juga kemampuannya dalam mengadopsi teknologi baru.
b. Sikap
Sikap adalah ide yang berkaitan dengan emosi yang mendorong dilakukannya
tindakan-tindakan tertentu dalam suatu situasi sosial. Sikap yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah perasaan mendukung ataupun menolak terhadap evaluasi yang
dilakukan dalam melakukan kegiatan masyarakat pedagang sayur keliling dalam
usahanya guna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri beserta keluarganya.
Untuk lebih jelasnya sikap petani responden dapat dilihat dalam Tabel 8.
Tabel 8. Sikap Masyarakat Pedagang Sayur Keliling di Kota Kendari, 2016
No. Sikap (Skoring) Jumlah responden (jiwa) Persentase(%)
1.
2.
3.
Tinggi (11 – 12)
Sedang ( 9 - 10)
Rendah ( 7 – 8)
6
8
4
33,33
44,45
22,22
Jumlah 18 100,00
Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2016.
Tabel 8 menunjukkan bahwa sikap pedagang sayur keliling yang memiliki
kategori tinggi sejumlah 6 jiwa (33,33%) yang artinya pedagang sayur keliling di
Kota Kendari sudah cukup memahami tindakan apa yang harus dilakukan untuk
mengambil suatu tindakan atau keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan
bantuan modal usaha dari Program PUAP dan sudah mempunyai pengetahuan dan
pemahaman yang baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sebab melalui sikap
seorang pedagang sayur keliling dalam memahami proses kesadaran yang
menentukan tindakan nyata yang mungkin dilakukan individu.
Sikap pedagang sayur keliling dalam kategori sedang berjumlah 8 jiwa
(44,45%), menunjukan bahwa pedagang sayur keliling responden sudah dapat
mengambil sebuah kebijakan ataupun keputusan tetapi masih dalam keadaan tidak
yakin atau ragu-ragu disebabkan karena pengetahuan yang mereka miliki masih
belum memadai dalam menunjang kegiatan mereka dalam melaksanakan bantuan
modal usaha tersebut. Sedangkan kategori rendah berjumlah 4 jiwa (22,22%), hal ini
disebabkan karena adanya sikap dari sebagian masyarakat yang menganggap bahwa
bantuan modal usaha yang disalurkan melalui Gapoktan adalah dana hibah yang tidak
perlu dikembalikan karena itu merupakan milik pemerintah sehingga mereka merasa
tidak perlu untuk dikembalikan kepada pengurus Gapoktan.
c. Keterampilan
Keterampilan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pola kegiatan yang
bertujuan dan memerlukan manipulasi dan koordinasi informasi yang telah dipelajari.
Untuk lebih jelasnya keterampilan pedagang sayur keliling responden dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9. Keterampilan Masyarakat Pedagang Sayur Keliling di Kota Kendari, 2016.
No. Keterampilan (Skoring) Jumlah responden (Jiwa) Persentase (%)
1.
2.
3.
Tinggi (12)
Sedang (10-11)
Rendah (8-9)
1
6
11
5,56
33,33
61,11
Jumlah 18 100,00
Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2016.
Tabel 9 menunjukkan bahwa keterampilan pedagang sayur keliling di Kota
Kendari kategori terampil berjumlah 1 jiwa (5,56%), ini menunjukan pedagang sayur
keliling sudah terampil dalam mengolah usahanya sehingga pedagang sayur keliling
tersebut mampu melakukan pola kegiatan usaha tani yang bernilai ekonomis yang
dengan sendirinya penghasilan yang diperolehnya dapat bertambah pula. Sedangkan
pedagang sayur keliling responden dengan kategori kurang terampil berjumlah 6 jiwa
(33,33%), ini menunjukan bahwa pedagang sayur keliling kurang terampil dalam
melakukan usahataninya yang disebabkan karena pengetahuan yang mereka miliki
tidak memadai sehingga dalam mengambil sebuah sikap menjadi lambat yang
berakibat pada keterampilan pedagang sayur keliling yang menjadi terbatas dalam
melakukan usahanya. Keterampilan pedagang sayur keliling responden kategori
tidak terampil berjumlah 11 orang (61,11%), ini menunjukan bahwa pedagang sayur
keliling responden sama sekali tidak memiliki keterampilan di dalam melaksanakan
kegiatan usahanya disebabkan pengetahuan yang mereka miliki tidak memadai
sehingga dalam mengambil sikap mereka menjadi lambat.
5.5. Tingkat Keberdayaan Masyarakat Pedagang Sayur Keliling
Tingkat keberdayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seberapa besar
kemampuan setiap individu dalam melaksanakan bantuan modal usaha yang
diberikan kepada petani responden yang mencakup aspek pengetahuan, sikap, dan
keterampilan pedagang sayur keliling. Tingkat keberdayaan masyarakat pedagang
sayur keliling dibagi dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Tergolong
tinggi jika skor yang diperoleh 32 – 36 = Tinggi, sedangkan jika skor yang diperoleh
28 – 31 tergolong dalam ketegori sedang dan rendah jika skor yang diperoleh 24 – 27.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan pedagang sayur
keliling responden dalam melaksanakan program Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan skor terendah adalah 24 dan tertinggi 36. Untuk lebih jelasnya mengenai
tingkat keberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling dalam melaksanakan
program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Persentase tingkat keberdayaan masyarakat Pedagang Sayur Keliling di
Kota Kendari Tahun 2016.
No Tingkat
keberdayaan
masyarakat
pedagang
Tingkat keberdayaan Rata-rata
Pengetahuan Sikap Keterampilan
1. Tinggi 16,67
33,33
5,56 18,52
2. Sedang 61,11 44,45
33,33 46,30
3. Rendah 22,22 22,22
61,11 35,18
Jumlah 55,56 138,89
105,55
100,00
Tabel 10 menunjukkan bahwa pedagang sayur keliling responden yang
memiliki persentase kategori tinggi dalam melaksanakan program PUAP yaitu
18,52%, ini menunjukan bahwa tingkat keberdayaan masyarakat pedagang sayur
keliling dalam melaksanakan program PUAP sudah memadai, pedagang sayur
keliling cukup aktif dalam meningkatkan keberdayaan mereka miliki meliputi
pengetahuan, sikap, dan keterampilan pedagang sayur keliling dalam melaksanakan
suatu program karena pengetahuan merupakan suatu keyakinan yang dimiliki seorang
pedagang sayur keliling dalam melaksanakan suatu kegiatan usahatani. Sedangkan
persentase kategori sedang dalam melaksanakan program PUAP yaitu 46,30%, ini
menunjukkan bahwa pedagang sayur keliling yang memiliki tingkat keberdayaan
sedang ini mempengaruhi kemampuan kerja pedagang sayur keliling, karena dengan
kemampuan kerja yang terbatas ini akan mempengaruhi pola kegiatan pedagang
sayur keliling dalam melaksanakan kegiatan usahataninya. Untuk persentase kategori
rendah dalam melaksanakan program PUAP yaitu 35,18%, ini menunjukkan bahwa
petani yang memeiliki tingkat keberdayaan rendah ini dipengaruhi oleh pengetahuan
pedagang sayur keliling yang masih rendah, sehingga pedagang sayur keliling
responden dalam melakukan kegiatan usahataninya mengalami hambatan disebabkan
karena rendahnya pengetahuan mereka tentang apa saja yang harus mereka lakukan
dalam kegiatan usahataninya.
5.6. Analisis SWOT
Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan latar belakang,
potensi dan permasalahan yang ada baik secara internal berupa kekuatan dan
kelemahan maupun secara eksternal berupa peluang dan ancaman. Strategi
pemberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling dalam Program Pengembangan
Usaha Agribisnis Perdesaan(PUAP) dilakukan dengan menganalisis faktor-faktor
strategis usaha responden melalui analisis SWOT yaitu menganalisis kekuatan
(Strenghts), kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunity) dan ancaman (Threats).
Metodologi penentuan bobot dan rating dalam penilaian Faktor Strategi Internal dan
Ekternal dapat dilihat dalam Bab IV. Matrik faktor strategi internal (kekuatan dan
kelemahan) dan faktor strategi eksternal (peluang dan ancaman) Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan(PUAP) di Kota Kendari tersaji pada
Lampiran 5 dan 6.
5.6.1. Identifikasi Faktor Internal Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pedagang Sayur Keliling Tahun 2016
Identifikasi faktor-faktor strategi internal adalah menentukan secara sistematis
faktor-faktor yang mendukung pelaku usaha dalam pengambilan keputusan. Faktor-
faktor tersebut adalah :
Tabel 11. Identifikasi Faktor Internal Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pedagang
Sayur Keliling, Tahun 2016
Uraian Bobot Rating Rating x
Bobot
Kekuatan (Strength)
- Gapoktan merupakan wadah yang dikelola langsung oleh
anggota kelompok tani. 30%
4
1,2
- Soliditas antara sesama pengurus terjaga dengan baik karena
para pengurus masih berada dalam satu wilayah, paling tidak
ada dalam satu kecamatan.
20%
4
0,8
- Gapoktan hadir sebagai penyedia pinjaman yang prosesnya
tidak susah dan hanya menggunakan ketua kelompoknya.
30%
4 1,2
- Bagi hasil dari pinjaman adalah 1 % lebih menarik dari pada
meminjam dari rentenir atau lembaga keuangan mikro
lainnya..
20% 3 0,6
Total
1,0
3,8
Kelemahan (Weakness)
a) Secara umum, petani belum memenuhi syarat perbankan
(non bankable), sehingga bank belum memberikan kredit
kepada petani
30%
3 0,9
b) Akses petani terhadap program-program pemerintah di luar
Kementan dan perbankan masih kurang 20% 2 0,4
c) Pengurus poktan tidak memiliki keterampilan penggunaan
IT/komputer, dan sulit mengakses internet. 20% 2 0,4
d) Kelembagaan di tingkat petani masih lemah 30% 4 1,2
Total 1,0
2,9
Berdasarkan Tabel 11, diketahui bahwa diantara faktor-faktor strategi internal,
faktor kekuatan yang paling besar adalah Gapoktan merupakan wadah yang dikelola
langsung oleh anggota kelompok tani dan Gapoktan hadir sebagai penyedia pinjaman
yang prosesnya tidak susah dan hanya menggunakan ketua kelompoknya.dengan skor
masing-masing 1,2.
Faktor internal dalam analisis SWOT adalah faktor yang menjadi kekuatan dan
kelemahan dari stretegi pemberdayaan masyarakat petani dalam program PUAP :
1. Kekuatan (Strength)
- Gapoktan merupakan wadah yang dikelola langsung oleh anggota kelompok tani,
sehingga lebih mampu menilai apa yang dibutuhkan petani dan melalui Gapoktan
pula diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para anggota Poktan sehingga
taraf hidup para anggota dapat meningkat.
- Soliditas antara sesama pengurus terjaga dengan baik karena para pengurus
masih berada dalam satu wilayah, paling tidak ada dalam satu kecamatan.
Sehingga dengan adanya ikatan tersebut diharapkan hubungan antar pengurus
semakin erat lagi agar apa yang diingankan dapat tercapai guna untuk
kepentingan bersama.
- Gapoktan hadir sebagai penyedia pinjaman yang prosesnya tidak susah dan hanya
menggunakan ketua kelompoknya. Sehingga, dengan adanya bantuan modal
yang disalurkan kepada Gapoktan maka diharapkan para anggota kelompok tani
tidak susah lagi dalam mendapatkan modal usaha.
- Bagi hasil dari pinjaman adalah 1 % lebih menarik dari pada meminjam dari
rentenir atau lembaga keuangan mikro lainnya. Oleh karena itu, dibandingkan
dengan meminjam modal di bank atau rentenir yang memiliki bunga yang tinggi
maka para anggota kelompok tani lebih memilih modal yang diberikan lewat
Gapoktan karena bunganyapun jauh lebih rendah.
2. Kelemahan (Weakness)
- Secara umum, pedagang sayur keliling belum memenuhi syarat perbankan (non
bankable), Sehingga bank belum memberikan kredit kepada pedagang sayur
keliling karena menganggap bahwa pedagang sayur keliling tidak akan mampu
mengembalikan kreditnya.
- Akses petani terhadap program-program pemerintah di luar Kementan dan
perbankan masih kurang. Sehingga menyebabkan pedagang sayur keliling hanya
mengandalkan bantuan dari Kementan saja yang disalurkan melalui Gapoktan.
- Pengurus poktan tidak memiliki keterampilan penggunaan IT/komputer, dan sulit
mengakses internet. Sehingga pengetahuan para pengurus dalam mengakses
informasi terbatas.
- Kelembagaan di tingkat petani masih lemah. Sehingga diperlukan adanya
kelembagaan yang dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan para
pedagang sayur keliling yang merupakan anggota dari kelompok tani.
5.6.2. Identifikasi Faktor Eksternal Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pedagang Sayur Keliling di Kota Kendari
Identifikasi faktor-faktor strategi eksternal adalah menentukan secara sistematis
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku usaha budidaya pelaksana program PUAP
dalam proses pengambilan keputusan yang berasal dari luar lingkungan usaha
budidaya. Faktor-faktor tersebut adalah :
Tabel 12. Penilaian Faktor Eksternal Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pedagang
Sayur Keliling, Tahun 2016
Uraian Bobot Rating
Rating
x
Bobot
Peluang
a. Dukungan pemerintah dalam
menumbuhkembangkan kelembagaan
petani sebagai lembaga ekonomi mandiri
yang dimilki dan dikelola oleh petani.
15%
4
0,60
b. Jumlah peduduk Indonesia yang terus
meningkat menjadi peluang pemasaran
hasil pertanian baik hasil tani segar ataupun
hasil olahan.
20 % 4 0,8
c. Sektor pertanian masih memberikan
kontribusi penting terhadap PDB Indonesia
15%
3
0,45
d. Mayoritas masyarakat petani kecil
membutuhkan permodalan, dimana tidak
mampu mengakses pembiayaan perbankan.
20%
4
0,8
e. Teknologi pengembangan cara bertani baik
untuk on farm ataupun of farm sudah
sangat beragam dan modern.
20 3 0,6
f. Belum adanya lembaga keuangan yang
bergerak khusus untuk pertanian.
10% 4 0,4
Total 1,0 3,65
Ancaman (Threats)
a. Masih minimnya pemupukan modal
Gapoktan yang hanya mengandalkan iuran
anggota saja dan dana PUAP.
20%
4 0,8
b. Pengelolaan keuangan masih bersifat
tradisional dan manual sehingga
menyulitkan dalam proses pembuatan
laporan keuangan.
20%
4
0,8
c. Struktur kepengurusan yang masih minim,
hanya mengandalkan ketua, sekertaris dan
bendahara saja, belum mengembangkan
bidang lain yang harusnya menjadi bagian
dari keberadaan Gapoktan.
30%
4
1,2
d. Lemahnya interaksi antara pengurus
Gapoktan dengan anggota sehingga
kesadaran beroganisasi masih terbatas pada
pengurus, padahal rapat anggota menjadi
ujung tombak kerja – kerja Gapoktan.
30% 3 0,9
Jumlah 1.0
3,7
Berdasarkan Tabel 12, diketahui bahwa diantara faktor-faktor strategi
eksternal, faktor peluang paling besar adalah adanya jumlah penduduk Indonesia
yang terus meningkat menjadi peluang pemasaran hasil pertanian baik hasil tani segar
ataupun hasil olahan serta mayoritas masyarakat petani kecil membutuhkan
permodalan, dimana tidak mampu mengakses pembiayaan perbankan dengan skor
masing-masing 0,8. Faktor ancaman yang paling tinggi adalah struktur kepengurusan
yang masih minim, hanya mengandalkan ketua, sekertaris dan bendahara saja, belum
mengembangkan bidang lain yang harusnya menjadi bagian dari keberadaan
Gapoktan dengan skor 1,2.. Skor total faktor strategi eksternal sebesar 3,65 lebih
besar dari skor total faktor strategi internal sebesar 3,8. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa faktor-faktor strategi internal lebih berpengaruh terhadap pemberdayaan
masyarakat petani dalam usaha budidayanya dibanding dengan faktor-faktor strategi
eksternalnya.
a. Faktor eksternal, dalam faktor eksternal diteliti faktor-faktor yang menjadi
peluang dan ancaman bagi pemberdayaan masyarakat petani :
1. Peluang (Opportunity)
- Dukungan pemerintah dalam menumbuh kembangkan kelembagaan petani
sebagai lembaga ekonomi mandiri yang dimilki dan dikelola oleh petani artinya
Adanya dukungan pemerintah terhadap organisasi-organisasi yang di bentuk oleh
petani untuk memperlancar dalam memasarkan hasil pertanian serta member
peluang petani dalam mengelola hasil-hasil pertanian. Lembaga ini dapat di
pergunakan untuk memberikan aspirasi bagi petani untuk membentuk dan
mendapatkn dukungan dari stakeholder dan pemangku kepentingan.
- Jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat menjadi peluang pemasaran
hasil pertanian baik hasil tani segar ataupun hasil olahan. Artinya, dengan
meningkatnya populasi penduduk memberikan peluang bagi petani untuk
meningkatkan hasil pertanian mereka baik di kemas dengan berbagai olahan
maupun di bentuk dengan keterampilan-keterampilan yang unik sehingga hasil
produksi bias mendapatkan permintaan yang tinggi dari konsumen atau pengguna.
- Sektor pertanian masih memberikan kontribusi penting terhadap PDB Indonesia
Artinya sektor pertanian sangat berperan penting dalam pengembangan dan
kelangsungan produk-produk dalam negeri dan menjamin hasil pertanian yang
bisa di produksi dan menambah penghasilan para petani, hal ini dapat
mengindikasikan tidak adanya ekspor hasil pangan dari luar negeri.
- Mayoritas masyarakat petani kecil membutuhkan permodalan, dimana tidak
mampu mengakses pembiayaan perbankan artinya masyarakat Indonesia identik
dengan petani sehingga memberikan peluang usaha di bidang pertanian
menjanjikan dengan adanya dukungan sumber daya alam dan iklim yang sesuai
sehingga tingkat kesuburan tanaman dapat menunjang hasil produk yang
melimpah.
- Teknologi pengembangan cara bertani baik untuk on farm ataupun of farm sudah
sangat beragam dan modern. Artinya, dengan teknologi pertanian yang sudah
modern maka diharapkan para petani dapat memanfaatkannya dan sedikit demi
sedikit dapat merubah kebiasaan mereka dalam melakukan kegiatan usahataninya
guna untuk meningkatkan produktivitasnya.
- Belum adanya lembaga keuangan yang bergerak khusus untuk pertanian artinya
dengan adanya peluang di bidang pertanian maka memberikan ruang untuk
membentuk lembaga-lembaga keuangan yang bersifat universal tanpa
memberatkan para petani dalam berwirausaha sehingga menghidupkan aliran
dana serta peningkatan usaha yang semakin berkembang.
2. Ancaman (Threats)
- Masih minimnya pemupukan modal Gapoktan yang hanya mengandalkan iuran
anggota saja dan dana PUAP. Sehingga beberapa program kegiatan yang
direncanakan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
- Pengelolaan keuangan masih bersifat tradisional dan manual, sehingga
menyulitkan dalam proses pembuatan laporan keuangan yang mengakibatkan
laporan keuangan yang tidak falid dalam pelaporannya.
- Struktur kepengurusan yang masih minim, hanya mengandalkan ketua, sekertaris
dan bendahara saja, belum mengembangkan bidang lain yang harusnya menjadi
bagian dari keberadaan Gapoktan. Sehingga segala program kegiatan dari
Gapoktan lebih diketahui dan dimengerti oleh ketua sekretaris dan bendahara saja,
yang mengakibatkan banyaknya anggota yang tidak memahami tupoksinya
masing-masing.
- Lemahnya interaksi antara pengurus Gapoktan dengan anggota sehingga
kesadaran beroganisasi masih terbatas pada pengurus, padahal rapat anggota
menjadi ujung tombak kerja – kerja Gapoktan.
5.6.3. Pemilihan Alternatif Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pedagang
Sayur Keliling di Kota Kendari, tahun 2016
Tabel 13. Matriks Faktor Internal dan Faktor Eksternal pemberdayaan masyarakat
Pedagang Sayur Keliling, Tahun 2016
Eksternal
Internal
Peluang
(Opportunty = O)
Ancaman
(Threats = T)
a. Pemerintah dalam
menumbuhkembangkan
kelembagaan petani sebagai
lembaga ekonomi mandiri
yang dimilki dan dikelola
oleh petani.
b. Jumlah penduduk Indonesia
yang terus meningkat
menjadi peluang pemasaran
hasil pertanian baik hasil tani
segar ataupun hasil olahan.
c. Sektor pertanian masih
memberikan kontribusi
penting terhadap PDB
Indonesia disebabkan hampir
40% tenaga kerja Indonesia
terserap pada sektor
pertanian.
d. Mayoritas masyarakat petani
kecil membutuhkan
permodalan, dimana tidak
mampu mengakses
pembiayaan perbankan.
e. Teknologi pengembangan
cara bertani baik untuk on
farm ataupun of farm sudah
sangat beragam dan modern.
f. Belum adanya lembaga
keuangan yang bergerak
khusus untuk pertanian.
a. Masih minimnya
pemupukan modal
Gapoktan yang hanya
mengandalkan iuran
anggota saja dan dana
PUAP.
b. Pengelolaan keuangan
masih bersifat
tradisional dan manual
sehingga menyulitkan
dalam proses
pembuatan laporan
keuangan.
c. Struktur kepengurusan
yang masih minim,
hanya mengandalkan
ketua, sekertaris dan
bendahara saja, belum
mengembangkan
bidang lain yang
harusnya menjadi
bagian dari keberadaan
Gapoktan.
d. Lemahnya interaksi
antara pengurus
Gapoktan dengan
anggota sehingga
kesadaran beroganisasi
masih terbatas pada
pengurus.
Kekuatan
(Strenght = S) Strategi (S-O) Strategi (S-T)
a. Gapoktan
merupakan
wadah yang
dikelola langsung
oleh anggota
kelompok tani.
b. Soliditas antara
sesama pengurus
terjaga dengan
baik karena para
pengurus masih
berada dalam satu
wilayah,paling
tidak ada dalam
satu kecamatan.
c. Gapoktan hadir
sebagai penyedia
pinjaman yang
prosesnya tidak
susah dan hanya
menggunakan
ketua
kelompoknya
untuk agunan
pada kasus
pinjaman di
bawah Rp
1.000.000.
d. Bagi hasil dari
pinjaman adalah
1 % lebih
menarik dari pada
meminjam dari
rentenir atau
lembaga
keuangan mikro
lainnya.
a. Mengembangkan usaha tani
melalui pemaksimalan basis
kelembagaan tani dengan
teknologi terbarukan yang
efisien.
b. Membuka peluang
pemasaran hasil dengan
segmen yang beragam
dengan membentuk unit
usaha gapoktan yang dikelola
oleh petani – petani yang
memiliki usaha sejenis.
c. Menumbuhkan unit lembaga
keuangan mikro berbasis
modal dari petani dengan
meningkatkan peran modal
petani dalam pemupukan
modal Gapoktan.
a. Memaksimalkan dana
PUAP untuk penguatan
usaha anggota melaui
fasilitas pinjaman
dengan sistem bagi hasil
yang kompetitif.
b. Memaksimalkan peran
ketua kelompok tani
untuk memobilisasi
anggotanya yang belum
menjadi anggota
Gapoktan.
c. Mengenalkan Gapoktan
sebagai lembaga
kerjasama antar petani
dalam rangka
meningkatkan
kesejahteraan petani.
d. Memenuhi kebutuhan
petani anggota tentang
informasi eksternal
dalam rangka
peningkatan
kemampuan.
e. Menguatkan posisi
Gapoktan sebagai bagian
dari permodalan petani
anggota.
Kelemahan
(Weakness = W)
Strategi (W-O) Strategi (W-T)
a. Secara umum,
petani belum
memenuhi syarat
perbankan (non
bankable).
b. Akses petani
terhadap
program-
program
pemerintah di
luar Kementan
dan perbankan
masih kurang,
sehingga
menyebabkan
petani hanya
mengandalkan
bantuan dari
Kementan saja.
c. Pengurus poktan
tidak memiliki
keterampilan
penggunaan
IT/komputer, dan
sulit mengakses
internet,
sehingga
pengetahuan para
pengurus
terbatas.
d. Kelembagaan di
tingkat petani
masih lemah.
a. Memahami secara utuh tentang
fungsi Gapoktan bagi petani
b. Menyediakan pinjaman bagi
anggota Gapoktan untuk
peningkatan usaha tani.
c. Penyadaran kembali kepada
anggota kelompok tani yang
belum tergabung dalam
Gapoktan.
d. Memperkuat kompetensi inti
sebagai penyedia keuangan
bagi petani kecil sekaligus
merapikan pelaporan sesuai
dengan standar laporan
keuangan
e. Membangun interaksi dengan
asosiasi petani lain yang sudah
terlebih dahulu eksis.
f. Memanfaatkan teknologi
dalam proses penumbuhan
Gapoktan.
a. Memperbaiki sistem
pengelolaan Gapoktan
dengan mengikuti
pelatihan – pelatihan
kelembagaan baik dari
pihak suku dinas
pertanian ataupun
dengan mengikuti
pelatihan diluar binaan
penyuluh.
b. Memperkuat posisi
Gapoktan sebagai
lembaga petani yang
salah satunya
menyalurkan dana
PUAP dalam bentuk
pinjaman yang harus
dikembalikan beserta
bagi hasilnya.
c. Menghindari
berkurangnya anggota
yang telah tergabung.
d. Memperkuat struktur
kepengurusan dengan
memaksimalkan peran
masing – masing.
Sumber: Data sekunder dan hasil wawancara dengan Gapoktan dan Penyuluh
Pendamping.
Berdasarkan hasil analisis SWOT diketahui bahwa dalam tahap analisis,
sudah diketahui posisi pemberdayaan organisasi yang di peroleht dari hasil analisis
SWOT ini menandakan organisasi kuat dan memiliki peluang besar. Pada matriks
SWOT telah di dapat beberapa alternatif strategi SO (Strength - opportunity).
Adapun alternatif strateginya adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan usahatani melalui pemaksimalan basis kelembagaan tani dengan
teknologi terbarukan yang efisien.
b. Membuka peluang pemasaran hasil dengan segmen yang beragam dengan
membentuk unit usaha Gapoktan yang dikelola oleh pedagang-pedagang yang
memiliki usaha sejenis.
c. Menumbuhkan unit lembaga keuangan mikro berbasis modal dari pedagang
dengan meningkatkan peran modal pedagang dalam pemupukan modal Gapoktan.
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari uraian hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tingkat keberdayaan para pedagang sayur keliling yang telah diberikan modal
dari Program PUAP yang penyalurannya melalui Gapoktan belum berjalan
dengan efektif yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan, sikap dan
keterampilan dari para anggotanya.
2. Strategi yang dilakukan para pedagang sayur keliling agar sayurannya laris
adalah dengan membersihkan dan memisahkan sayuran dari tangkainya (agar
siap dimasak) oleh konsumen atau pelanggannya.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan disimpulkan diatas,
disusunlah beberapa saran atau rekomendasi sebagai berikut :
1. Bagi aparatur pemerintah ( tingkat Kecamatan dan tingkat Desa) diharapkan
mampu menjalankan tugas,tanggungjawab serta fungsinya masing-masing
sehingga Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dapat
berjalan dengan baik, tepat sasaran serta dilakukan pelatihan oleh penyuluh
pertanian sehingga para pedagang sayur keliling dapat meningkatkan
perekonomian mereka.
2. Bagi Pedagang sayur keliling penerima bantuan Program Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP). Diharapkan para pedagang sayur keliling agar
tetap mempertahankan strategi mereka supaya para pelangganya tidak beralih
kepada pedagang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi
Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
Ahmad, Abu dan Widodo Supriyono. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Balai Pustaka.
Aida. 1992. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia. Jakarta. Pustaka Pembangunan.
Anggito, Abimanyu dkk. 1995. Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan
Masyarakat. Yogyakarta : PAU-SE UGM bersama BP. FE.
Amy Trauger, Carolyn Sachs, Mary Barbercheck(2010) „„Our market is our
community’’: women farmers and civic agriculture in Pennsylvania, USA.
Agric Hum Values (2010) 27:43–55. DOI 10.1007/s10460-008-9190-5.
Anu Kasmel, Pernille Tanggaard Andersen (2011) Measurement of Community
Empowerment in Three Community Programs in Rapla (Estonia). Int. J.
Environ. Res. Public Health 2011, 8, 799-817; doi:10.3390/ijerph8030799
Andi Sopandi ( 2010). Strategi Pemberdayaan Masyarakat : Studi Kasus Strategi dan
Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Bekasi. Jurnal Kybernan,
Vol. 1, No. 1 Maret 2010
Arifin, Anwar. 1994. Strategi Komunikasi : Sebuah Pengantar Ringkas. Bandung:
Armico Bandung.
Arbi Sanit. 2001. Otonomi Daerah Versus Pemberdayaan Masyarakat
(Sebuah Kumpulan Gagasan). Klaten : Mitra Parlemen.
BPS Sulawesi Tenggara. 2011. Kota Kendari dalam angka. Kota Kendari.
Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi. 1991. Urbanisasi Pengangguran dan
Sektor Informal di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Cholisin. (2011). Pemberdayaan Masyarakat. Tulisan di sampaikan pada Gladi
Manajemen Pemerintahan Desa bagi Kepala Bagian/Kepala Urusan Hasil
Pengisian Tahun 2011 di Lingkungan Kabupaten Sleman. Tersedia di
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/PEMBERDAYAAN%20MASYA
RAKAT.pdf. Diakses tanggal 3 Mei 2015.
Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Bielefeld: PT Raja Grafindo Persada.
Effendy, Onong Uchjana. 2006. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek : Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya.
IS Hadri Utomo. 2000. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Dalam Implementasi
Proyek Peremajaan Permukiman Kumuh Di Bantaran Sungai Kali Anyar
Mojosongo. ( Jurnal: DIK200005012.)
Jamasy, 0. (2004). Kemitraan Usaha.' Konsepsi dan Strategi'. Jakarta: Sinar
Harapan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2002. Jakarta: Balai Pustaka.
Kadarsan, H.W. 1992. Keuangan Pertanian Pembiayaan Perusahaan Agribisnis.
Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Kartasasmita Ginanjar, 1995. Pembangunan Untuk Rakyat . : Jakarta: Gramedia.
Kurniadi dan Tangkilisan. 2002. Ketertiban Umum dan Pedagang Kaki Lima di DKI
Jakarta. Yogyakarta: YPAPI.
Macaulay Steve dan Sarah Cook. 1996. Customer Service, Kiat Meningkatkan
Pelayanan Bagi Pelanggan. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mardikato, T. 1993. Penyuluhan Pembanguan Pertanian. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
2003, Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta : UNS PRESS.
Moeljarto, T. 1995. Politik Pembangunan, Sebuah Analisis Konsep, Arah dan
Strategi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana:
Parsons, Ruth J., James D. Jorgensen dan Santos H. Hernandez (1994), The
Integration of Social Work Practice, California: Brooks/Cole
Suanggana,A. dalam Yulia Richa 2015. Pengaruh Penguatan Modal terhadap
Pendapatan Usahatani Padi Ponpes Attuhamah Cianjur melalui Program
Pengembangan Usaha Agribisnis LM3 [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan
Manajemen,Institut Pertanian Bogor.
Sudaryanti. 2002. Pengaruh Modal Usaha, Motivasi Kerja, dan Strategi Pemasaran
terhadap Laba Usaha Pedagang Kaki Lima Makanan dan Minuman (Studi
Kasus di Lingkungan Universitas Wangsa Manggala). Skripsi Tidak
Dipublikasikan. FIS UNY.
Sugiono. 2008. Statistik Non Parametric Untuk Penelitian. Alfabet. Bandung.
Sugiharsono,dkk. 2002. Ekonomi. Jakarta: Grafindo Media Pratama.
Sulistyani. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta : Graha
Ilmu
Sumardjo. 1999. ”Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan
Kemandirian Petani: Kasus di Propinsi Jawa Barat”. Disertasi Doktor. Bogor:
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sumodiningrat, G . 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
2000. Visi dan Misi Pembangunan Pertanian Berbasis
Pemberdayaan. Yogyakarta: IDEA.and International Studies (CSIS).
. 2007. Pemberdayaan Sosial. (Kajian Ringkas tentang Pemberdayaan Manusia
Indonesia). Jakarta : Kompas.
Suparjan dan Hempri, S. (2003). Studi Pengembangan Masyarakat . Aditya Medika:
Yogyakarta.
Suprijatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Rineka Cipta:
Jakarta.
Surni dan Murdjani K. (2014). Nilai Tambah dan Penguatan Ekonomi Kelompok
Usaha Bajo Indah Lapulu Kendari Melalui Segmentasi Pasar Desain Kemasan
Terasi Instant. AGRIPLUS,Volume 24 Nomor: 03 September, ISSN 0854-
0128.
Sutoro, Eko. 2002. Pemberdayaan Masyarakat Desa, Materi Diklat Pemberdayaan
Masyarakat Desa, Yang Diselenggarakan Badan Diklat Propinsi Kaltim,
Samarinda, Desember, 2002. Tidak Dipublikasikan.
Suwondo, K. 2002. Perubahan Pola Pemerintahan Dan Kepemimpinan Lokal.
Salatiga: Forsa Pustaka.
Soetomo. 2006. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, JSP Vol 9 No.1 Vol. 10
No2, November 2006. Yogyakarta.
Purbayu Budi Santoso, Darwanto (2015). Strategy for Strengthening Farmer Groups
by Institutional Strengthening. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 16 (1), Juni
2015, 33-45.
Pranaka dan Vidhyandika. 1996. Pemberdayaan (Empowerment). Jakarta: Centre
of Strategic.
Tjokrowinoto, M. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Yulia Richa 2015. Pengaruh Penguatan Modal terhadap Pendapatan Usahatani Padi
Ponpes Attuhamah Cianjur melalui Program Pengembangan Usaha Agribisnis
LM3. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Lampiran 1. Data hasil penelitian terhadap identitas responden di Kota Kendari
Tahun 2016.
Responden Umur
(Tahun)
Pendidikan Tanggungan
Keluarga
(Jiwa)
1 30 SMA 3
2 32 SMA 4
3 34 SMP 6
4 35 SD 3
5 38 SMA 4
6 40 SD 5
7 43 SMP 2
8 40 SMP 4
9 44 SD 5
10 45 SMA 6
11 48 SD 3
12 38 SMA 5
13 40 SMP 6
14 43 S1 4
15 44 S1 5
16 38 SMA 2
17 40 SMP 3
18 44 SD 5
93
Lampiran 2. Data hasil tingkat keberdayaan masyarakat pedagang sayur keliling di
Kota Kendari, Tahun 2016.
A. Pengetahuan
Responden Pengetahuan
1 3 3 3 3 12
2 3 3 3 3 12
3 2 1 3 3 9
4 3 3 2 3 11
5 3 2 3 2 10
6 3 3 2 2 10
7 3 3 3 2 11
8 3 3 3 2 11
9 2 1 3 2 8
10 3 3 3 2 11
11 3 3 2 2 10
12 3 2 2 2 9
13 1 1 3 3 8
14 3 3 3 2 11
15 3 3 2 2 10
16 3 3 2 1 9
17 3 2 2 3 10
18 2 2 3 3 10
I = J/K
I = 12 – 8 +1 8 - 9 = Rendah ( 4 orang )
3 10 - 11 = Sedang ( 11 orang)
= 2 12 = Tinggi ( 3 Orang)
94
b. Sikap
Responden Sikap
1 3 2 3 2 10
2 3 3 3 3 12
3 1 1 2 1 5
4 3 2 3 2 10
5 3 2 3 3 11
6 2 2 2 2 8
7 3 2 2 1 8
8 3 2 2 1 8
9 2 1 2 2 7
10 3 2 3 2 10
11 3 3 2 3 11
12 3 3 3 3 12
13 3 2 1 2 8
14 3 3 3 3 12
15 2 2 2 3 9
16 3 2 2 2 9
17 3 2 2 2 9
18 2 3 2 2 9
I = J/K
I = 12 – 5 +1 5 - 7 = Rendah ( 4 orang )
3 8 - 10 = Sedang ( 8 orang)
= 3 12 = Tinggi ( 6 Orang)
95
c. Keterampilan
Responden Keterampilan
1 3 2 2 2 9
2 3 3 3 3 12
3 2 2 2 3 9
4 3 2 2 3 10
5 2 3 2 2 9
6 2 2 2 3 9
7 2 2 2 3 9
8 2 2 2 3 9
9 3 3 3 1 10
10 3 2 2 2 9
11 3 2 2 3 10
12 3 2 2 2 9
13 2 2 2 2 8
14 2 2 2 3 9
15 2 2 2 2 8
16 1 2 2 3 8
17 3 3 3 2 11
18 3 2 2 3 10
I = J/K
I = 11 – 8 +1 8 - 9 = Rendah (11 orang )
3 9 - 10 = Sedang (6 orang)
= 1 11 = Tinggi (1 Orang)
96
Responden Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
1 3 3 3 3 3 2 3 2 3 2 2 2
2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2
3 2 1 3 3 1 1 2 1 2 2 2 3
4 3 3 2 3 3 2 3 2 3 2 2 3
5 3 2 3 2 3 2 3 3 2 3 2 2
6 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3
7 3 3 3 2 3 2 2 1 2 2 2 3
8 3 3 3 2 3 2 2 1 2 2 2 3
9 2 1 3 2 2 1 2 2 3 3 3 1
10 3 3 3 2 3 2 3 2 3 2 2 2
11 3 3 2 2 3 3 2 3 3 2 2 3
12 3 2 2 2 3 3 3 3 3 2 2 2
13 1 1 3 3 3 2 1 2 2 2 2 2
14 3 3 3 2 3 3 3 3 2 2 2 3
15 3 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2
16 3 3 2 1 3 2 2 2 2 2 2 2
17 3 2 2 3 3 2 2 2 3 3 3 2
18 2 2 3 3 2 3 2 2 3 2 2 3
Jumlah 182 168 168
Rata-Rata 10,11 9,33 9,33
97
Lampiran 4. Data hasil tingkat keberdayaan masyarakat pedagang sayur kelilig di
Kota Kendari Tahun 2016.
Responden Pengetahuan Sikap Keterampilan Skor Kategori
1 12 10 9 31 Sedang
2 12 12 12 36 Tinggi
3 9 7 9 25 Rendah
4 11 10 10 31 Sedang
5 10 11 9 30 Sedang
6 10 8 9 27 Rendah
7 12 12 11 35 Tinggi
8 11 10 9 30 Sedang
9 8 7 10 25 Rendah
10 11 10 9 30 Sedang
11 10 11 10 31 Sedang
12 10 12 9 31 Sedang
13 8 8 8 24 Rendah
14 11 12 9 32 Tinggi
15 10 9 8 27 Rendah
16 9 9 9 27 Rendah
17 10 9 11 30 Sedang
18 10 9 10 29 Sedang
I = J/K
I = 36 – 24 +1 24 – 27 = Rendah ( 6 orang )
3 28 – 31 = Sedang ( 9 orang)
= 4 32 – 36 = Tinggi ( 3 Orang)
98
Lampiran 5. Persentase tingkat keberdayaan masyarakat Pedagang Sayur Keliling di
Kota Kendari Tahun 2016.
No Tingkat
keberdayaan
masyarakat
pedagang
Tingkat keberdayaan Rata-rata
Pengetahuan Sikap Keterampilan
1. Tinggi 16,67
33,33
5,56 18,52
2. Sedang 61,11 44,45
33,33 46,30
3. Rendah 22,22 22,22
61,11 35,18
Jumlah 55,56 138,89
105,55
100,00
99
Lampiran 6. Penilaian Faktor Eksternal Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pedagang
Sayur Keliling di Kota Kendari, Tahun 2016
Uraian Bobot Rating Rating x
Bobot
Peluang
a. Dukungan pemerintah dalam menumbuhkembangkan kelembagaan
petani sebagai lembaga ekonomi mandiri yang dimilki dan dikelola
oleh petani.
15%
4
0,60
b. Jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat menjadi peluang
pemasaran hasil pertanian baik hasil tani segar ataupun hasil olahan.
20 % 4 0,8
c. Sektor pertanian masih memberikan kontribusi penting terhadap
PDB Indonesia
15%
3
0,45
d. Mayoritas masyarakat petani kecil membutuhkan permodalan,
dimana tidak mampu mengakses pembiayaan perbankan.
20%
4
0,8
e. Teknologi pengembangan cara bertani baik untuk on farm ataupun of
farm sudah sangat beragam dan modern.
20%
3
0,6
f. Belum adanya lembaga keuangan yang bergerak khusus untuk
pertanian 10% 4 0,4
Total 1,0 3,65
Ancaman (Threats)
a. Masih minimnya pemupukan modal Gapoktan yang hanya
mengandalkan iuran anggota saja dan dana PUAP.
20%
4 0,8
b. Pengelolaan keuangan masih bersifat tradisional dan manual
sehingga menyulitkan dalam proses pembuatan laporan keuangan
20%
4
0,8
c. Struktur kepengurusan yang masih minim, hanya mengandalkan
ketua, sekertaris dan bendahara saja, belum mengembangkan bidang
lain yang harusnya menjadi bagian dari keberadaan Gapoktan.
30%
4
1,2
d. Lemahnya interaksi antara pengurus Gapoktan dengan anggota
sehingga kesadaran beroganisasi masih terbatas pada pengurus,
padahal rapat anggota menjadi ujung tombak kerja – kerja
Gapoktan.
30% 3 0,9
Jumlah 1.0
3,7
100
Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,0 dengan keterangan sebagai
berikut :
0.05 = di bawah rata-rata
0.10 = rata-rata
0.15 = diatas rata-rata
0.20 = sangat kuat
Lampiran 7. Penilaian Faktor Interrnal Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pedagang
Sayur Keliling di Kota Kendari Tahun 2016
Uraian Bobot Rating Rating x
Bobot
Kekuatan (Strength)
- Gapoktan merupakan wadah yang dikelola langsung oleh anggota
kelompok tani. 30%
4
1,2
- Soliditas antara sesama pengurus terjaga dengan baik karena para
pengurus masih berada dalam satu wilayah, paling tidak ada dalam
satu kecamatan.
20%
4
0,8
- Gapoktan hadir sebagai penyedia pinjaman yang prosesnya tidak
susah dan hanya menggunakan ketua kelompoknya.
30%
4 1,2
- Bagi hasil dari pinjaman adalah 1 % lebih menarik dari pada
meminjam dari rentenir atau lembaga keuangan mikro lainnya.. 20% 3 0,6
Total 1,0
3,8
Kelemahan (Weakness)
- Secara umum, petani belum memenuhi syarat perbankan (non
bankable).
30%
3 0,9
- Akses petani terhadap program-program pemerintah di luar
Kementan dan perbankan masih kurang. 20% 2 0,4
- Pengurus poktan tidak memiliki keterampilan penggunaan
IT/komputer, dan sulit mengakses internet. 20% 2 0,4
- Kelembagaan di tingkat petani masih lemah 30% 4 1,2
Total 1,0
2,9
101
Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,0 dengan keterangan sebagai
berikut :
0.05 = di bawah rata-rata
0.10 = rata-rata
0.15 = diatas rata-rata
0.20 = sangat kuat
102
Wawancara dengan responden
103
Responden ketika sedang Berjualan
104
Foto sayuran yang dijual