morfologi cerita rakyat suku tepera

108
MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA SRIYONO, S.S. UMMU FATIMAH RIA LESTARI, S.S. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI PAPUA 2016 MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA Penanggung Jawab

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

MORFOLOGI CERITA RAKYAT

SUKU TEPERA

SRIYONO, S.S. UMMU FATIMAH RIA LESTARI, S.S.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA

BALAI BAHASA PROVINSI PAPUA

2016

MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

Penanggung Jawab

Page 2: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

ii

Kepala Balai Bahasa Papua Penyunting Penyelia

Supriyanto Widodo, S.S., M.Hum. Penyunting Pelaksana

Sitti Mariati S., S.S. Eli Marawuri, S.S.

Siti Masitha Iribaram, S.Pd.

Cetakan I Tahun 2015 Cetakan II Tahun 2016

Penerbit Balai Bahasa Papua

Jalan Yoka, Waena, Distrik Heram, Jayapura 99358 Telepon (0967) 574154 – 574171

Hak cipta dilindungi undang-undang

dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Kata Pengantar

KepalaBalaiBahasa Papua dan Papua Barat

KATALOG DALAM TERBITAN 398.2 SRI s Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera/

Sriyono dan Ummu Fatimah Ria Lestari. Jayapura: Balai Bahasa Papua, 2016 x, 97 hlm, 15x21 cm. ISBN: 978-602-17604-8-2 1. Cerita Rakyat di Papua

Page 3: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

iii

BukuberjudulMorfologiCerita Rakyat SukuTeperayang

berada

ditanganpembacainimerupakanbagiandariupayaBalaiBah

asa Papua dalammengembangkansastra, khususnya di

Papua.Mengingatbahwaperkembangansastra di Provinsi

Papuasaatinibelumterlalumenggembirakan. Hal

iniditandaiolehbeberapakenyataan,

yaitusedikitnyaperanpenerbitdanpersdalampemuatankaryas

astradanpenyebarluasannya,

kurangnyakesadarandantanggungjawabpengayomsastrabaik

daripemerintahmaupunnonpemerintahterhadappelestarianda

nperkembangansastra,

dankurangnyakepedulianpengayomsastrakepadapemerhati,

pelestari, danpenggiatsastra. Olehkarenaitu, BalaiBahasa

Papuasebagaisalahsatupengayomsastra di

provinsiiniberusahauntukmembinadanmengembangkansa

stra,

salahsatunyaadalahdenganmenerbitkanhasilpenelitiansast

ra. Hal

itudilakukandenganharapankedepanperkembangansastra

di Papua akansemakinbaikdantentumenggembirakan.

Penerbitaninibertujuanuntukmemenuhikebutuhan

masyarakatterhadapbacaan yang

Page 4: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

iv

bernutudanjugauntukmemberikanpemahamankepadamas

yarakattentangmaknasastra.HasilpenelitianMorfologiCeri

ta Rakyat SukuTepera yang

diterbitkaninisedikitataubanyaktentuakanberdampakposit

ifbagimasyarakat Indonesia di masamendatang. Tentu,

karenasastra yangsudahtertanamdantumbuh di

lingkungankita,

akanmenjadielemenpentingdalampembangunanbangsa,

khususnyapembangunanbudayabangsa.

Dalamkesempatanini, KepalaBalaiBahasa Papua

mengucapkanterimakasihdanpenghargaan yang

tuluskepadatimpeneliti, yakniSdr. Sri Yono, S.S.

danUmmu Fatimah Lestari, S.S. sertatimpenerbitan yang

telahbekerjakerashinggabukuinidapatterwujuddansampai

ketanganpembaca.

Semogabukuinimenjadiinspirasidantemuanbaru yang

bergunabagiperkembanganilmusastra di masadepan.

Selamatmembacadanmenikmatisajianbukuini.

KATA PENGANTAR

KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI PAPUA

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga buku

Page 5: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

v

Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera ini dapat hadir di hadapan sidang pembaca. Tidak henti-hentinya kami, Balai Bahasa Provinsi Papua, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus berupaya melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kebahasaan dan kesastraan. Kegiatan-kegiatan tersebut, antara lain adalah penelitian kebahasaan dan kesastraan. Banyak hasil penelitian kebahasaan dan kesastraan yang telah dilakukan oleh Balai Bahasa Provinsi Papua. Namun, belum semua hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas karena masih dalam bentuk laporan penelitian. Laporan penelitian hanya dapat diakses oleh masyarakat luas yang berkunjung ke perpusatakaan yang dikelola Balai Bahasa Provinsi Papua. Padahal, banyak pula hasil penelitian yang mempunyai nilai kemanfaatan tinggi. Oleh karena itu, hasil penelitian kebahasaan dan kesastraan yang mempunyai nilai kemanfaatan tinggi tentunya perlu dipublikasi sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Salah satu publikasi hasil penelitian tersebut adalah diterbitkan dalam bentuk buku. Buku adalah salah satu bentuk alat komunikasi keilmuan antara penyusun/penulis buku dan masyarakat luas. Kami akan selalu mengomunikasikan kepada masyarakat luas tentang apa yang selama ini kami kerjakan. Tentu saja yang ingin kami sampaikan kepada masyarakat adalah hasil kerja kami yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Ini merupakan tanggung jawab moral kami terhadap tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada kami dalam hal

Page 6: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

vi

menangani kebahasaan dan kesastraan di Tanah Papua ini. Terbitnya buku Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera ini merupakan cara kami mengomukasikan hasil kerja dan tanggung jawab moral kami kepada masyarakat luas. Buku Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera yang hadir di hadapan sidang pembaca ini tentu belum sempurna. Untuk itu kami sangat menghargai apabila ada sumbang saran maupun kritik yang membangun dari masyarakat luas demi perbaikan ke depan. Akhirnya, kami ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada para pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Tidak lupa kami menyampaikan penghargaan dan terima kami kepada Tim Peneliti buku ini, yakni Sdr. Sri Yono, S. S., dan Ummu Fatimah Ria Lestari, S. S. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi masyarakat luas. Jayapura, November 2015 Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua, Ttd. Supriyanto Widodo, S.S., M. Hum.

Page 7: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

vii

Page 8: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

viii

KATA PENGANTAR

Deburan ombak Pantai Tablanusu memecah keheningan

surga tersembunyi di Distrik Depapre, Kabupaten

Jayapura tempat kami melakukan penelitian ini. Kami

serasa bermimpi karena berkesempatan menginjakkan

kaki-kaki telanjang ini di atas kerikil-kerikil halus yang

menghampar di sepanjang pantai bak permadani hitam.

Rob, nikmat mana lagi yang mesti kami dustakan setelah

nikmat yang maha dahsyat ini. Segala puji bagi Engkau

maka ampunilah dosa-dosa kami dan ajari kami

membaca isyarat-Mu.

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah

memberikan karunia-Nya, sehingga kami dapat

menyelesaikan sebuah usaha kecil untuk menyibak

keagungan Tuhan berupa penggalian nilai-nilai budaya

yang terhampar di Kampung Tablanusu ini. Mudah-

mudahan usaha ini menjadi manifestasi sujud kami pada-

Nya.

Kegiatan ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan

dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan

hati dan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada

pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan

ini. Terima kasih kami sampaikan kepada:

Page 9: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

ix

1. Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat yang telah mengadakan kegiatan ini.

2. Kepala Kampung Tablanusu..

3. Masyarakat Tablanusu yang turut membantu

lancarnya kegiatan ini.

4. Informan yang telah membagi ilmu dan

waktunya, yaitu Bapak Petrus B. Soumilena

5. Anggota tim kami yang selalu kompak.

Tidak ada gading yang tidak retak, demikian

ungkapan mengatakan. Laporan ini masih jauh dari

sempurna. Untuk itu kami menunggu saran, masukan,

dan kritikan yang bersifat membangun demi

penyempurnaan. Semoga bermanfaat dan berkah.

Tim Peneliti

Page 10: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

x

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua.iii

Kata Pengantar Penyusun……………………………..vii

Daftar Isi………………………………………………...xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1

1.2

1.3

1.4

1.5

1.6

Latar Belakang………………………………….1

Rumusan Masalah………………………………8

Tujuan Penelitian……………………………….9

Manfaat Penelitian……………………………...9

Landasan Teori…………………………………11

Metodologi Penelitian………………………….19

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2.1

2.1.1

2.1.2

2.2

2.2.1

2.2.2

2.2.3

Keadaan Geografis……………………………..27

Letak…………………………………………... 27

Topografi/Lingkungan Alam………………….. 31

Kondisi Sosial Budaya…………………………32

Demografi/Kependudukan……………………..32

Agama………………………………………….35

Mata Pencaharian………………………………36

BAB III CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

3.1

3.2

3.3

3.4

Terjadinya Kampung Tablanusu 1……………..41

Terjadinya Kampung Tablanusu 2……………..51

Asal Mula Pohon Kelapa………………………62

Sekerumai……………………………………...67

Page 11: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

xi

BAB IV MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

4.1

4.2

4.3

4.4

Fungsi Pelaku, Skema, dan Pola Cerita…………....71

Struktur Cerita………………………………………..86

Distribusi Fungsi di Kalangan Pelaku………………..88

Cara-Cara Pengenalan Pelaku………………………..89

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan……………………………………………...93

5.2 Saran………………………………………………….95

Daftar Pustaka……...…………………………………………..97

Page 12: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Teori sastra modern membagi jenis sastra menjadi

tiga, yaitu prosa, lirik dan drama. Karya sastra yang

termasuk ke dalam prosa, antara lain novel, cerita

pendek, dongeng, cerita hewan, dan anekdot. Danandjaja

(1994:50) mengemukakan bahwa cerita rakyat lisan

terdiri dari mite, legenda, dan dongeng. Masyarakat

Indonesia sudah mengenal dongeng sejak zaman dulu.

Biasanya, cerita-cerita yang dituturkan bersifat religius

atau magis. Pada perkembangan selanjutnya, kegiatan

mendongeng kemudian diambil alih oleh para pengasuh

anak, orang tua, serta nenek dan kakek, terutama sejak

ditemukannya mesin cetak pada abad kelima belas atau

tepatnya pada tahun 1450 sehingga penuturan cerita yang

biasanya dilakukan oleh para penutur cerita tradisional

Page 13: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

2

semakin menyurut karena orang-orang mulai membaca

buku cerita sendiri. Cerita-cerita tersebut kemudian

menjadi bagian dari budaya masyarakat dan kegiatan

mendongeng menjadi sebuah tradisi yang diturunkan

secara turun-temurun. Cerita atau dongeng yang

disampaikan biasanya berisi pesan moral dan ajaran-

ajaran budi pekerti bagi pendengarnya dan biasanya

disampaikan dengan bahasa kiasan atau dengan kalimat

yang diperindah.

Penelitian sastra lisan di Indonesia sudah banyak

dilakukan, tetapi khusus di wilayah Papua hingga

sekarang hanya sebatas kajian tentang struktur, nilai, dan

amanah yang terkandung di dalamnya. Kajian sastra lisan

Papua dengan menggunakan pendekatan (teori)

kesastraan tertentu belum banyak dilakukan. Padahal,

sebagai bagian dari sastra lisan, cerita rakyat (folktale)

adalah genre yang paling banyak jumlah dan jenisnya

Page 14: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

3

dalam masyarakat Papua. Penelitian tentang cerita rakyat

di Papua sudah banyak dilakukan, tetapi metodologinya

masih belum mumpuni. Padahal, Papua mencakup

wilayah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,

merupakan ”rumah” bagi cerita rakyat karena pulau

tersebut didiami oleh ratusan suku bangsa dan marga.

Sepengetahuan tim peneliti, penelitian sastra lisan yang

fokus pada genre ini sudah banyak dilakukan karena

memang objek ini selalu menarik untuk diteliti. Hanya

saja, faktor teknis maupun kualitas sumber daya

penelitinya menjadikan proses penelitian ini belum

maksimal.

Cerita rakyat, seperti halnya genre sastra lisan

yang lain, memiliki struktur, makna, serta mengandung

nilai-nilai budaya. Perkembangan teknologi global yang

demikian pesat, belum sepenuhnya membuka arus

transportasi dan informasi dalam masyarakat Papua.

Page 15: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

4

Konteks kewilayahan penutur bahasa daerah yang masih

terisolasi, memungkinkan akses dalam proses

penelusuran cerita rakyat itu terhambat. Ditambah lagi,

minimnya referensi tertulis tentang objek penelitian itu

sendiri. Hal-hal tersebut lambat laun dapat

menghilangkan nilai-nilai budaya dalam masyarakat

Papua secara tak langsung. Pasalnya, nilai-nilai itu tidak

dapat ditransformasikan lagi kepada generasi selanjutnya.

Berdasarkan pengamatan tim peneliti dalam beberapa

tahun terakhir, eksistensi cerita rakyat dapat dikatakan

sudah mulai menghilang dalam lingkungan masyarakat

Papua. Hilangnya objek kajian ini berarti pula nilai-nilai

budaya yang ada di dalamnya juga hilang. Keprihatinan

tim peneliti terhadap eksistensi nilai dalam sastra lisan

Papua, terkhusus pada genre cerita rakyat dalam

masyarakat Tepera di Kabupaten Jayapura, Papua,

memunculkan ide untuk berbuat sesuatu. Hal tersebut

Page 16: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

5

yang melatarbelakangi tim peneliti untuk meneliti

tentang morfologi cerita rakyat Tepera ini.

Cerita rakyat oleh sebagian ahli antropologi dan

sastra disebut juga sebagai dongeng. Bagi ahli sastra,

dongeng merupakan cerita pendek kolektif kesusastraan

lisan. James Danandjaja, bapak Folklor Indonesia,

mengemukakan (1994:84), dongeng menceritakan

tentang keajaiban-keajaiban yang berisi pesan moral dan

tidak dapat dicerna menggunakan logika, karena biasanya

memiliki kalimat pembuka dan penutup yang bersifat

klise. Hal ini sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis

lebih jauh. Selain dapat memetik pelajaran dan nilai

moral dari dongeng, pembaca juga dapat membedahnya

dari sisi lain yang berbeda. Saat ini penelitian terhadap

dongeng belum begitu banyak, tetapi untuk menganalisis

isinya terdapat teori morfologi cerita rakyat yang

dikembangkan oleh Vladimir Propp. Teori ini sudah

Page 17: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

6

banyak digunakan untuk menganalisis dongeng di

Indonesia, tetapi belum pernah diterapkan pada cerita

rakyat suku Tepera.

Pendekatan Propp dapat dimengerti jika kita

membandingkan “subjek” sebuah kalimat dengan tokoh-

tokoh yang tipikal (pahlawan, penjahat, dan sebagainya)

dan “predikat” dengan tindakan yang tipikal dalam

cerita-cerita semacam itu. Sementara itu, ada berlimpah-

limpah renik yang sangat besar, seluruh korpus cerita itu

dibangun atas perangkat dasar yang sama yaitu tiga puluh

satu “fungsi”. Sebuah “fungsi” adalah satuan dasar

“bahasa” naratif dan menerangkan kepada tindakan yang

bermakna yang membentuk narasi. Tindakan ini

mengikuti sebuah perturutan yang masuk akal. Meskipun

tidak ada dongeng yang meliputi semuanya, dalam tiap

dongeng fungsi-fungsi itu selalu dalam urutan yang tetap

(Pradopo, 1996:59).

Page 18: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

7

Hal terpenting dalam penelitian ini adalah

predikat (aksi atau tindakan) yang disebut dengan fungsi,

tidak peduli siapa subjek dan objeknya. Unsur yang tetap

adalah perbuatan dan unsur yang berubah adalah pelaku

dan penderita. Jadi, jika tindakan itu diganti dengan

tindakan lain, maka fungsinya akan berubah, tetapi jika

yang diganti adalah pelaku dan penderitanya, maka tidak

akan mempengaruhi perubahan fungsi. Alasan peneliti

menggunakan teori fungsi Vladimir Propp karena analisis

ini tergolong sederhana dibanding dengan analisis yang

lain, misalnya analisis imanensi, pertinensi, komutasi,

kompatibilitas, integrasi dan sinkroni. Teori Vladimir

Propp juga dapat menimbulkan efek superfisial, yaitu

efek yang mudah dimengerti melalui penambahan variasi

gaya dan pesona dalam cerita.

Teori fungsi Vladimir Propp ini dapat diterapkan

untuk dongeng yang dikumpulkan pada cerita rakyat

Page 19: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

8

Tepera karena dongeng bersifat universal dan memiliki

banyak fungsi. Penulis memilih morfologi cerita rakyat

Tepera karena sampai saat ini belum ada penelitian

sejenis. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti

menggunakan analisis fungsi Vladimir Propp, karena

teori ini dapat diaplikasikan dalam menganalisis cerita

rakyat Tepera.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut.

a. Ada berapa fungsi pelaku dan fungsi-fungsi

pelaku apa sajakah yang terdapat dalam cerita

rakyat Tepera?

b. Bagaimanakah skema struktur cerita rakyat

Tepera?

Page 20: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

9

c. Ada berapa lingkungan tindakan yang dimiliki

oleh cerita rakyat Tepera, siapa saja dan

bagaimana cara pelaku diperkenalkan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini, antara lain

a. Mendeskripsikan fungsi dan jenis-jenis fungsi

pelaku dalam cerita rakyat Tepera.

b. Mendeskripsikan skema struktur cerita rakyat

Tepera.

c. Mendeskripsikan lingkungan tindakan yang

dimiliki oleh cerita rakyat Tepera dan cara pelaku

diperkenalkan.

1.4 Manfaat Penelitian

Kesastraan suatu masyarakat tidak lain adalah rekaman

pikiran, renungan dan nilai-nilai masyarakat pada masa

tertentu. Gagasan atau nilai-nilai tersebut menjadi

landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih

Page 21: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

10

dapat diamati dan dipahami. Oleh sebab itu, penelitian

mengenai morfologi cerita rakyat Tepera ini merupakan

upaya penggalian dan pelestarian kebudayaan daerah

yang sangat penting. Penggalian dan pelestarian

kebudayaan ini guna menunjang dan mengembangkan

pengajaran bahasa dan sastra daerah tersebut yang saat

ini disebut sebagai muatan lokal dalam kurikulum

pendidikan. Selain itu, sangat penting bagi Pemerintah

Kabupaten Jayapura dan Provinsi Papua sebagai bahan

pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.

Bagi masyarakat Tepera, hasil penelitian ini dapat

menjadi pemicu bagi generasi penerus untuk lebih

mencintai hasil sastra lisan mereka sendiri. Selain itu,

dapat dijadikan sebagai identitas dan kebanggaan dalam

menyonsong pembangunan, khususnya di Papua.

Penelitian ini dapat menjadi media informasi dan refleksi

nilai-nilai kehidupan masyarakat Tepera. Dalam lingkup

Page 22: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

11

yang lebih luas penelitian ini diharapkan dapat

mengembangkan dan memperkaya khazanah kajian

sastra.

1.5 Landasan Teori

Landasan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah teori naratif struktural Vladimir Propp. Teori

fungsi Vladimir Propp ini dapat diterapkan untuk

dongeng yang dikumpulkan pada cerita rakyat Tepera

karena dongeng bersifat universal dan memiliki banyak

fungsi. Hal yang terpenting dalam penelitian ini adalah

predikat (aksi atau tindakan) yang disebut dengan fungsi,

tidak peduli siapa subjek dan objeknya. Unsur yang tetap

adalah perbuatan sedangkan unsur yang berubah adalah

pelaku dan penderita. Jika tindakan itu diganti dengan

tindakan lain, maka fungsinya akan berubah, tetapi jika

yang diganti adalah pelaku dan penderitanya, maka tidak

akan mempengaruhi perubahan fungsi.

Page 23: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

12

Alasan peneliti menggunakan teori fungsi

Vladimir Propp karena analisis ini tergolong sederhana

dibanding dengan analisis yang lain, misalnya analisis

imanensi, pertinensi, komutasi, kompatibilitas, integrasi,

dan sinkroni. Teori Vladimir Propp juga dapat

menimbulkan efek superfisial, yaitu efek yang mudah

dimengerti melalui penambahan variasi gaya dan pesona

dalam cerita. Selain itu, dari segi struktur penceritaan,

sebagian besar cerita rakyat di Papua berupa cerita naratif

pendek.

Susanto (2011:111) menjelaskan, Propp

mengembangkan teori yang berasal dari konsep

formalisme Rusia yang berhubungan dengan dengan alur

dari peristiwa atau aksi. Propp menggunakan pendekatan

yang bergerak dari etik menuju pendekatan emik

terhadap struktur naratif. Propp lebih menekankan

perhatiannya pada motif naratif terpenting, yakni

Page 24: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

13

tindakan atau perbuatan (action). Tindakan tersebut

dinamakan fungsi. Propp juga mengemukakan bahwa

yang terpenting adalah pelaku, bukan tokoh. Lebih

tegasnya, yang terpenting menurut Propp adalah tindakan

pelaku yang terdapat dalam fungsi. Fungsi adalah

tindakan seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya

untuk jalannya suatu cerita. Propp juga menjelaskan

bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki konstruksi.

Konstruksi yang terdiri atas motif-motif memiliki tiga

unsur, yakni pelaku, perbuatan, dan penderita. Ketiga

unsur itu dapat dibagi menjadi dua, yakni unsur yang

tetap dan unsur yang tidak tetap. Unsur tetap adalah

perbuatan dan unsur tidak tetapnya adalah pelaku dan

penderita. Menurutnya, unsur yang terpenting adalah

unsur yang tetap.

Propp adalah tokoh strukturalis pertama yang

melakukan kajian serius terhadap struktur naratif,

Page 25: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

14

sekaligus yang memberikan makna baru terhadap

dikotomi fabula dan sjuzhet. Propp memandang sjuzhet

sebagai tema, bukan alur, seperti yang dipahami oleh

kaum formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur

yang penting sebab motiflah yang membentuk tema.

Sjuzhet atau cerita dengan demikian hanyalah produk dari

serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam,

yaitu: pelaku, perbuatan, dan penderita. Ketiga motif ini

dikelompokkan menjadi dua, yaitu perbuatan sebagai

unsur yang stabil, yang tidak tergantung dari siapa yang

melakukan dan unsur yang tidak stabil dan bisa berubah-

ubah, yaitu pelaku dan penderita. Menurut Propp, yang

terpenting adalah unsur yang tetap (perbuatan), yaitu

fungsi itu sendiri (Taum, 2011:122-123).

Vladimir Propp (1975: 21-24) membuat satu

kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan

terhadap seratus dongeng cerita rakyat Rusia yang ia

Page 26: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

15

sebut dengan fairytale. Adapun kesimpulan tersebut

adalah:

1) Unsur yang tetap dan tidak berubah dalam sebuah

dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan

fungsi (terlepas dari sikap pelaku yang

menduduki fungsi);

2) Jumlah fungsi dalam dongeng terbatas;

3) Urutan fungsi dalam dongeng selalu sama; dan

4) Jika dilihat dari segi struktur, maka semua

dongeng hanya mewakili satu tipe.

Yobee (2006:13-14) mendukung Propp dengan

mengelompokkan fungsi dalam sebuah dongeng menjadi

tiga puluh satu fungsi. Untuk mempermudah pembuatan

skema, seperti halnya Propp, ia memberi tanda atau

lambang khusus pada setiap fungsi. Adapun fungsi dan

lambangnya adalah sebagai berikut.

Page 27: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

16

No. Fungsi Lambang

1. Ketiadaan= absentation

2. Larangan= interdiction y

3. Pelanggaran= violation

4. Pengintaian= reconnaissance

5. Penyampaian (informasi)

= delivery

6. Penipuan (tipu daya)= fraud

7. Keterlibatan= complicity

8. Kejahatan= villainy A

8a. Kekurangan (kebutuhan)

= lack

A

9. Perantaraan, peristiwa

penghubung= mediation, the

connective incident

B

10. Penetralan (tindakan) dimulai

= beginning counteraction

C

11. Keberangkatan (kepergian)

= departure

12. Fungsi pertama donor

(pemberi)= the first function of

the donor

D

13. Reaksi pahlawan= the hero’s

reaction

E

14. Penerimaan unsur magis (alat

sakti)= provition or receipt of

a magical agent

F

Page 28: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

17

15. Perpindahan (tempat)= spatial

translocation

G

16. Berjuang, bertarung = struggle H

17. Penandaan= marking J

18. Kemenangan= victory I

19. Kekurangan (kebutuhan)

terpenuhi= the initial

misfortune or lack is liquidated

K

20. Kepulangan (kembali)= return

21. Pengejaran, penyelidikan=

pursuit, chase

Pr

22. Penyelamatan= rescue Rs

23. Kedatangan tak terkenali

= unrecognized arrival

O

24. Tuntutan yang tak mendasar

= unfounded claims

L

25. Tugas sulit (berat)= the

difficult task

M

26. Penyelesaian (tugas)= solution N

27. (Pahlawan) dikenali

= recognition

Q

28. penyingkapan (tabir)

= exposure

Ex

29. Penjelmaan= transfiguration T

30. Hukuman (bagi penjahat)

= punishment

U

31. Perkawinan (dan naik tahta) W

Page 29: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

18

= wedding

Jumlah 31 fungsi itu dapat didistribusikan ke

dalam lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of

action) tertentu. Ada tujuh lingkungan tindakan yang

dapat dimasuki oleh fungsi-fungsi yang tergabung secara

logis, yaitu (1) lingkungan aksi penjahat (villain); (2)

lingkungan aksi donor, pembekal (donor, provide); (3)

lingkungan aksi pembantu (helper); (4) lingkungan aksi

fungsi dan ayahnya (the princess and her father); (5)

lingkungan aksi perantara atau pemberangkat (dispatcer);

(6) lingkungan aksi pahlawan (hero); dan (7) lingkungan

aksi pahlawan palsu (false hero). Melalui tujuh

lingkungan tindakan (aksi) itulah frekuensi kemunculan

pelaku dapat dideteksi dan cara bagaimana watak pelaku

diperkenalkan dapat diketahui.

Propp disitir Suwondo (2011:56) juga

mengemukakan bahwa setiap dongeng atau cerita tidak

Page 30: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

19

selalu mengandung semua fungsi itu karena banyak

dongeng yang ternyata hanya mengandung beberapa

fungsi. Fungsi-fungsi itulah, berapa pun jumlahnya,

membentuk kerangka pokok cerita.

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

metode deskriptif kualitatif. Hal ini sesuai dengan sifat

dan wujud data serta tujuan yang akan dicapai. Data yang

diperoleh dalam penelitian ini yang berupa cerita rakyat

diperikan, disusun, diklasifikasikan, kemudian

ditafsirkan. Cerita rakyat dikategorikan ke dalam tiga

jenis, yaitu: mitos, legenda, dan dongeng.

Analisis data akan menggunakan pendekatan

struktural Vladimir Propp yang akan diaplikasikan pada

jenis cerita dongeng. Pendekatan Propp dapat dimengerti

jika kita membandingkan “subjek” sebuah kalimat

Page 31: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

20

dengan tokoh-tokoh yang tipikal (pahlawan, penjahat,

dan sebagainya) dan “predikat” dengan tindakan yang

tipikal dalam cerita-cerita semacam itu. Sementara itu,

ada berlimpah-limpah renik, seluruh korpus cerita itu

dibangun atas perangkat dasar yang sama, yaitu tiga

puluh satu “fungsi”. Sebuah “fungsi” adalah satuan dasar

“bahasa” naratif dan menerangkan kepada tindakan yang

bermakna yang membentuk narasi. Tindakan ini

mengikuti sebuah perturutan yang masuk akal, dan tidak

ada dongeng yang meliputi semuanya. Dalam tiap

dongeng, fungsi-fungsi itu selalu dalam urutan yang tetap

(Pradopo, 1996:59).

Melalui analisis tersebut akan diketahui jumlah

fungsi pelaku dan fungsi-fungsi pelaku dalam cerita

rakyat Tepera, skema struktur cerita rakyat Tepera,

jumlah lingkungan tindakan yang dimiliki oleh cerita

rakyat Tepera, dan cara pelaku diperkenalkan.

Page 32: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

21

1.6.2 Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa sastra

lisan yang berbentuk cerita rakyat dan lebih khusus lagi

berupa dongeng. Sumber data utama diperoleh melalui

wawancara dan pengamatan berperan serta. Pemerolehan

data dapat dipilah menjadi dua jenis, yakni: (1) data

primer sebagai data utama berupa data lisan diperoleh

dari hasil wawancara dengan informan sebagai penutur

asli atau pemilik sastra lisan. Data tertulis diperoleh dari

buku-buku, jurnal, penelitian, dan tulisan-tulisan lain

yang relevan dengan masalah dalam penelitian ini; (2)

data sekunder sebagai data penunjang diperoleh dari

dokumentasi yang berupa hasil-hasil penelitian yang

telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dan data

penunjang lainnya yang berkaitan dengan deskripsi

lokasi penelitian yang diperoleh dari aparat pemerintah.

1.6.3 Pengumpulan Data

Page 33: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

22

Untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan

penelitian Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera ini

dilakukan dengan cara mengamati (observasi),

wawancara, mencatat, dan merekam.

1.6.3.1 Teknik Pengamatan (Observasi)

Teknik pengamatan (observasi) dilakukan untuk melihat

secara langsung objek yang akan diteliti. Hal ini terkait

dengan penentuan titik-titik pengamatan wilayah yang

akan diteliti. Dengan teknik ini, peneliti mengamati

secara langsung daerah yang akan menjadi lokasi

penelitian. Data yang diperoleh berupa catatan etnografi

tentang suku Tepera.

1.6.3.2 Teknik Wawancara

Arikunto (1993:126) mengemukakan, “Wawancara

adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

(interviewer) untuk memperoleh informasi dari

responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-

Page 34: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

23

hal lain yang ia ketahui.” Keraf (1979:161) menyatakan,

“Wawancara atau interview adalah suatu cara untuk

mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan

langsung kepada informan atau seorang autoritas

(seorang ahli atau yang berwenang dalam suatu

masalah).” Wawancara dalam hal ini ditujukan kepada

para informan yang dijadikan sumber data yang

dipandang mengetahui seluk-beluk cerita rakyat Tepera.

1.6.3.3 Teknik Pencatatan

Teknik pencatatan digunakan untuk mencatat setiap

cerita yang dituturkan oleh informan. Pertanyaan yang

ditujukan kepada informan dalam wawancara itu

disesuaikan dengan urutan daftar pertanyaan. Setiap

jawaban yang diperoleh langsung dicatat pada tempat

kosong yang tersedia dalam daftar pertanyaan.

1.6.3.4 Teknik Perekaman

Page 35: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

24

Perekaman dilakukan dengan cara meminta informan

untuk menuturkan ceritanya dalam dua versi bahasa,

yaitu bahasa daerah (Tepera) dan bahasa Indonesia.

1.6.4 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik

analisis morfologi yang dikemukakan oleh Vladimir

Propp. Konsep dasar analisis morfologi (analisis struktur

naratif) Vladimir Propp adalah fungsi dan peranan pelaku

dalam cerita. Cara analisis dimulai dengan memeriksa

kembali data-data dan memilah-milahnya berdasarkan

jenis dan tipenya. Selanjutnya, data yang sudah terpilih

dan dikelompokkan dijadikan bahan analisis. Cara dan

teknik analisis data disesuaikan dengan penerapan teori

Fungsi Vladimir Propp. Teknik tersebut antara lain 1)

mengindentifikasi fungsi dalam sebuah dongeng,

kemudian fungsi tersebut dimasukkan ke dalam tanda

atau lambang khusus yang telah dibuat oleh Propp; 2)

Page 36: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

25

mendistribusikan fungsi-fungsi tersebut ke dalam

lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of action)

tertentu.

Untuk mengetahui amanat yang terkandung

dalam cerita rakyat Tepera yaitu nilai budaya masyarakat

Tepera akan digunakan teknik analisis struktural yang

dikemukakan oleh Mclan.

Page 37: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

26

Page 38: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

27

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KAMPUNG TABLANUSU

2.1 KEADAAN GEOGRAFIS.

2.1.1 Letak

Kabupaten Jayapura yang terdiri dari 19 distrik

terletak di antara 139º -140º Bujur Timur dan 2º Lintang

Utara dan 3º Lintang Selatan. Distrik Kaureh dengan luas

4.537,9 Km² merupakan distrik terluas di Kabupaten

Jayapura atau sekitar 24,88 persen dari luas keseluruhan

Kabupaten Jayapura dan Distrik Sentani Barat

merupakan distrik yang luasnya terkecil, yaitu sekitar

129,2 Km² atau sekitar 0,74 persen dari luas Kabupaten

Jayapura. Letak geografis Jayapura bagian Barat 139º15’

Bujur Barat, bagian Timur 140º 45’ Bujur Timur, bagian

Page 39: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

28

Utara 2º 15’ Lintang Utara, bagian Selatan 3º 45’ Lintang

Selatan.

Batas wilayah Kabupaten Jayapura yang di

dalamnya terdapat Kampung Tablanusu mempunyai

batas sebagai berikut.

Sebelah Utara berbatasan dengan Samudra Pasifik

dan Kabupaten Sarmi;

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten

Pegunungan Bintang dan Kabupaten Tolikara;

Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten

Sarmi; dan

Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Jayapura

dan Kabupaten Keerom (BPS Kabupaten

Jayapura, 2009: 4)

Kampung Tablanusu memiliki batas wilayah adat yang

dilihat secara administratif berbeda dari batas wilayah

Page 40: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

29

kabupaten karena batas wilayahnya yang mencakup

batas-batas tanah adat yang dapat dilihat sebagai berikut.

Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Pasifik;

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung

Maribu;

Sebelah Barat berbatasan dengan Kampung

Kendate dan Demoikisi; dan

Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung

Wauna Depapre.

Kampung Tablanusu adalah sebuah kampung di Distrik

Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kampung

ini dapat dicapai melalui jalur darat dan laut. Jika cuaca

cerah, sepanjang perjalanan kita dapat menyaksikan di

kejauhan Gunung Cycloop menjulang tinggi ke langit.

Dengan tanda-tanda di langit, yaitu berupa awan di atas

gunung tersebut, maka dapat diprediksi mengenai angin,

sehingga dapat diputuskan apakah perahu dapat

Page 41: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

30

diluncurkan dari dan ke Tablanusu atau tidak (Poli:

2008). Kalau ada awan bertumpuk di atas Gunung

Cycloop berarti angin sedang tenang. Akan tetapi, jika

puncak gunung tidak berawan berarti angin sedang

kencang dan mengakibatkan laut berombak.

Setibanya di Pantai Tablanusu, sebuah lukisan

alam yang dibentangkan oleh Tuhan terhampar dengan

begitu indahnya. Bibir pantai dipenuhi batu-batu kerikil

yang licin karena beradu satu dengan yang lainnya akibat

sapuan ombak. Fenomena ini telah terjadi dalam kurun

waktu yang sangat lama. Begitu kaki-kaki menginjak

batu kerikil tersebut, maka akan terdengar bunyi gesekan

tersebut. Bunyi gesekan tersebut membuat orang

setempat menamai kampung mereka dengan nama

”Kampung Batu Menangis”.

Dengan sedikit imajinasi, maka dapat dilacak asal

batu-batu kerikil tersebut. Dari pantai ke arah laut tampak

Page 42: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

31

beberapa tonjolan batu yang keluar dari permukaan laut

dan berdiri tegak seolah-olah menjadi penjaga pantai

yang kokoh. Sekokoh apa pun batu penjaga pantai ini

lambat laun terkikis juga oleh hantaman ombak yang

datang setiap saat dan menghasilkan pecahan-pecahan

batu dan bermuara di bibir pantai.

Letak Kampung Tablanusu adalah di pesisir pantai

dengan kondisi alamnya berbukit hutan belukar, padang

rumput, tanah kecoklatan berbatu, dan pantainya berbatu

kerikil hitam (data Kantor Kampung Tablanusu, 2010).

2.1.2. Topografi/Lingkungan Alam

Keadaan topografi Kampung Tablanusu yang berupa

lereng umumnya relatif terjal dengan kemiringan 5-30

derajat serta mempunyai ketinggian aktual 0,5–1.500 m

di atas permukaan laut. Daerah pesisir pantai utara

umumnya berupa dataran rendah yang bergelombang

dengan kemiringan 0-10 derajat yang ditutupi dengan

Page 43: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

32

endapan aluvial. Secara fisik, selain berupa daratan juga

berupa rawa ( + 13,700 Ha). Sebagian besar wilayah

Kabupaten Jayapura (72,09 %) berada pada kemiringan

di atas 41 derajat, sedangkan kemiringan 0-15 derajat

berkisar 23,74% (data BPS Kabupaten Jayapura, 2009).

Kampung Tablanusu menghadap ke laut Pasifik

dengan pantai yang landai dan air yang sangat jernih. Di

belakang kampung terdapat tebing yang sangat curam,

yang di baliknya terdapat hutan belantara tempat

masyarakat berkebun dan berburu.

2.2 KONDISI SOSIAL DAN BUDAYA

2.2.1 Demografi

Penduduk merupakan modal besar pendukung

pembangunan. Pembangunan di segala bidang senantiasa

ditujukan bagi kepentingan masyarakat umum. Oleh

karena itu, data penduduk merupakan kunci dasar yang

Page 44: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

33

memegang peran penting dalam membuat kebijakan

pembangunan. Dengan demikian, data penduduk yang

akurat dan tepat waktu menempati urutan yang cukup

penting. Registrasi penduduk adalah suatu sistem

pencatatan penduduk dan mutasinya yang disebabkan

oleh kelahiran, kematian, dan migrasi. Pelaksanaan

registrasi penduduk dimulai dari tingkat

kampung/kelurahan hingga tingkat pusat.

Data penduduk pada Kabupaten Jayapura pada

tahun 2009 berjumlah 121.693 orang yang terdiri atas

64.982 penduduk laki-laki dan 56.711 penduduk

perempuan. Dengan wilayah seluas 17.516,6 km2, berarti

tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Jayapura

adalah 6,95 jiwa/km² (data BPS Kabupaten Jayapura,

2009). Hasil registrasi pada penduduk Kampung

Tablanusu, yaitu sebanyak 96 KK (Kepala Keluarga)

atau 466 jiwa yang terdiri atas 259 penduduk laki-laki

Page 45: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

34

dan 207 penduduk perempuan. Keadaan penduduk di

Kampung Tablanusu ini bersifat homogen karena 99%

adalah penduduk asli setempat, sedangkan 1% adalah

pendatang. Penduduk Kampung Tablanusu tinggal dan

menetap berdasarkan sejarah kampung dan keret/marga

(data Kantor Kampung Tablanusu 2010).

Jumlah pencari kerja di Kabupaten Jayapura

sebanyak 2.355 orang, terdiri dari 1.128 laki-laki dan

1.227 perempuan. Tingkat pengangguran terbuka di

Kabupaten Jayapura sebesar 7,19 % pada tahun 2009

(data BPS Kabupaten Jayapura 2009). Jumlah pekerja

penduduk Kampung Tablanusu terdiri dari nelayan yang

berjumlah 40 orang, petani 55 orang, PNS 18 orang,

swasta 3 orang, tukang 5 orang, pensiunan PNS 4 orang,

dan pelayanan jasa 33 orang (data Kantor Kampung

Tablanusu, 2010).

Page 46: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

35

Jumlah prasarana sekolah SD di Kabupaten

Jayapura sebanyak 113 unit, SLTP 27 unit, SMU/SMK

sebanyak 20 unit. Tenaga guru di daerah ini sangat

terbatas jumlahnya, terutama untuk tingkat pendidikan

menengah dan atas. Jumlah guru SD di Kabupeten

Jayapura sebanyak 1.072 orang, SLTP 513 orang, dan

SMU/SMK sebanyak 414 orang (data BPS Kabupaten

Jayapura, 2009). Jumlah lulusan SD 122 orang, SLTP 85

orang, SLTA 68 orang, DIII 16 orang, Sarjana 11 orang

dan yang mengikuti Pendidikan Khusus, yakni

Pendidikan Keagamaan sebanyak 4 orang, serta yang

mengikuti kursus sebanyak 43 orang (data Kantor

Kampung Tablanusu, 2009).

2.2.2 Agama

Masyarakat Kampung Tablanusu mayoritas menganut

agama Kristen Protestan, sedangkan masyarakat

Page 47: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

36

penganut agama Katolik merupakan masyarakat

pendatang yang tinggal di kampung tersebut.

2.2.3 Mata Pencaharian

Pada dasarnya mata pencaharian masyarakat kampung

Tablanusu bervariasi, tetapi yang paling utama adalah

nelayan. Selain nelayan, terdapat mata pencaharian

seperti meramu sagu dan berkebun. Ada juga yang PNS,

swasta, tukang, dan pelayanan jasa angkutan (ojek).

Berkebun atau bercocok tanam merupakan satu

cara yang lazim dilakukan oleh nenek moyang sejak

dulu. Aktivitas berkebun ini dilakukan dengan proses

yang dimulai pada musim panas dengan cara

membersihkan semak belukar, membiarkannya kering,

lalu membakarnya. Pohon besar ditebang, dibersihkan,

dibiarkan hingga kering, lalu dibakar. Pembuatan pagar

dilakukan sambil menanam, tetapi masyarakat tidak

terlalu serius untuk berkebun. Meramu sagu merupakan

Page 48: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

37

aktivitas penting karena sagu merupakan bahan makanan

pokok. Alat-alat yang digunakan untuk meramu sagu

menjadi tepung adalah tapisan tepung sagu, tempat

penampung sagu, alat penokok sagu, kapak, dan parang.

Hasil ramuan sagu merupakan bahan pokok membuat

ramuan sagu papeda sebagai makanan sehari-hari.

Menangkap ikan merupakan pekerjaan yang

dilakukan pada malam hari dan lebih banyak dilakukan

oleh kaum laki-laki. Alat-alat yang digunakan adalah alat

pancing yang sederhana, seperti perahu dayung, penikam,

nilon, kail, timah, dan lampu petromaks. Penggunaan alat

tangkap yang sederhana ini hanya dapat menghasilkan

tangkapan ikan yang secukupnya. Alat transportasi

perahu dayung ini masih sangat sederhana, dibutuhkan

tenaga/fisik yang kuat untuk mendayung perahu,

mencari, dan menangkap ikan di laut. Perahu dayung

merupakan alat yang dominan digunakan oleh

Page 49: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

38

masyarakat. Perahu-perahu yang dimiliki oleh

masyarakat mempunyai simbol-simbol khusus sesuai

dengan marganya. Selain itu, masyarakat menggunakan

perahu motor dengan tenaga mesin. Biasanya, perahu

motor adalah milik pribadi. Sebelum mengenal perahu

motor, jangkauan pencaharian ikan hanya di daerah

pesisir. Setelah menggunakan perahu motor, jangkauan

pencaharian ikan sampai di laut bebas dan hasilnya lebih

meningkat. Penangkapan ikan dilakukan secara individu.

Penangkapan ikan di wilayah ini tidak melanggar aturan

adat dan siapa pun berhak untuk mencari ikan. Salah satu

cara untuk menangkap ikan yang sudah dikenal sejak

dulu adalah rumpon berlabuh yang diletakkan di wilayah

laut dekat dengan reef. Rumpon berlabuh ini berfungsi

sebagai tempat menangkap ikan. Fungsi lain adalah

untuk melindungi diri dari hujan dan terpaan angin. Hasil

tangkapan ikan masyarakat Tablanusu ditukar dengan

Page 50: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

39

hasil kebun dari orang Moi, Yokari, dan Yewenu karena

orang-orang inilah yang mempunyai hasil kebun untuk

dibarter. Sebagian hasil tangkapannya juga dijual untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagian

dikonsumsi oleh keluarga (Wiklif Yarisetou, 2009:110-

113)

Page 51: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

40

Page 52: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

41

BAB III

CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

Masyarakat Tablanusu memiliki kekayaan budaya dan

sastra lisan berupa cerita rakyat. Hanya saja, cerita rakyat

tersebut tidak sembarangan dituturkan oleh siapa saja dan

kepada siapa saja. Biasanya, orang yang berhak bercerita

adalah orang yang telah dipercaya dan disepakati dalam

masyarakat. Berikut beberapa cerita rakyat Tepera di

Kampung Tablanusu.

3.1 Terjadinya Kampung Tablanusu 1

Nenek moyang masyarakat Kampung Tablanusu yang

hidup berdiam di pesisir pantai utara seperti yang ada

sekarang. Menurut cerita orang tua-tua atau para leluhur,

perkembangan manusia mulai tersebar dari sebelah

matahari terbit/timur yaitu sekelompok manusia

mengadakan perjalanan dari matahari terbit berjalan

melalui Nafri, Sentani berkumpul di lembah Buper,

Page 53: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

42

kemudian dari lembah Buper, sebagian orang yang terus

ke lembah Deponsero/ Deponpau. Dari Deponpau

mereka terbagi lagi, ada yang ke Barat dan ada yang ke

Timur wilayah Deponsero utara.

Dari pembagian itu seorang yang bernama

Siriwari Wai turun dan tinggal di pantai. Ia hidup seorang

diri dan tinggal di tebing-tebing gunung batu karena tidak

mendapat tempat tinggal yang layak untuk dihuni. Ia

melihat keadaan tempat tinggalnya seperti itu, maka ia

mulai berpikir, dan merencanakan untuk membentuk satu

kampung yang layak untuknya tinggal dan berlindung. Ia

tidak mempunyai alat yang canggih. Akan tetapi, ia

hanya dengan bekal ilmu serta sepotong kayu besi

(yaumau po), ongkoi, dan yepi. Ongkoi adalah sebuah

wadah yang dibuat dari pohon palem untuk menimbah

air, alat yang ketiga adalah yepi yaitu melalui lagu-lagu

atau syair adat.

Page 54: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

43

Dengan ketiga alat di atas ia mulai melakukan

kegiatannya setiap hari. Ia ambil tanah dengan wadah

ongkoi, dibuang pada tempatnya dan ditumbuk dengan

sepotong kayu yaumau po (kayu besi) serta diiringi

dengan lagu yepi, kegiatan ini ia lakukan setiap hari

sampai sebagian laut dapat tertimbun dengan tanah dan

berbentuk L. Pada suatu hari ia sibuk dengan

pekerjaannya, tiba-tiba binatang pelong atau biawak

(soa-soa hijau) jatuh dari atas dan hinggap di atas

bahunya. Siriwari Wai kaget dan dengan keras ia

melemparkan binatang itu ke tanah dan tempat tersebut

berubah menjadi rawa.

Pekerjaannya tetap dilaksanakan setiap hari. Pada

suatu petang setelah selesai bekerja, Siriwari Wai duduk

beristirahat serta memperhatikan segala jenis binatang

yang lewat. Hampir setiap hari ia memperhatikan

binatang-binatang tersebut. Timbullah pikirannya dan ia

Page 55: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

44

berkata dalam hati, ”Mengapa binatang yang dilihatnya

setiap hari hidup berpasang-pasangan, sedangkan saya

adalah manusia seorang diri. Apakah saya dengan

binatang ini berbeda?” Pada waktu itu belum ada seorang

perempuan, bila ada pasti ia memilikinya. Karena ia

mempunyai ilmu, yaitu ilmu yang membuatnya pada

siang hari berubah menjadi manusia, sedangkan pada

malam hari ia berubah menjadi buaya, biawak, atau ular.

Akan tetapi, di dalam benaknya ia berpikir bagaimana ia

bisa mendapatkan seorang perempuan sebagai

pendamping hidupnya.

Selang lewat beberapa hari pekerjaan pun selesai.

Bentuk kampungnya seperti huruf L tetapi kampung

tersebut belum diberi nama. Sore hari ia duduk

beristirahat sambil mengamati binatang-binatang

tersebut. Tiba-tiba datanglah seorang perempuan dan

duduk di sampingnya. Siriwari Wai tidak tahu kehadiran

Page 56: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

45

perempuan itu dan darimana asal perempuan itu. Dalam

hati ia bertanya darimana asal perempuan itu? Ketika

perempuan itu datang, ia sedang asyik mengamati hewan

yang lalu lalang di depannya. Tiba-tiba Siriwari Wai

diberi tanda oleh seekor nyamuk yang menggigit bagian

belakangnya. Ia melemparkan tangannya ke belakang

hendak memukul nyamuk tersebut, tetapi tangannya kena

badan perempuan itu. Siriwari Wai terkejut dan

membalikkan muka. Ia langsung bertatapan dengan

perempuan itu.

Dengan tersenyum Siriwari Wai bertanya kepada

perempuan itu, ”Siapa namamu?” Dengan suara yang

lembut perempuan itu menjawab, ”Namaku

Mandepamen. Saya datang dan hadir di sini sesuai

dengan keluhan dan keinginanmu.” Mendengar kalimat

itu, Siriwari Wai tersenyum dan menerima Mandepamen

sebagai istri dan pendamping hidupnya. Keduanya hidup

Page 57: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

46

berdampingan dan saling mengasihi satu sama lain, tetapi

mereka tidak mempunyai anak.

Suatu hari suami istri ini duduk pada sore hari

sambil mengamati segala jenis hewan yang lalu lalang.

Maka timbullah suatu pertanyaan dari perempuan ini

kepada suaminya, ia mengatakan, ”Sepanjang hidup kami

berdua ini hanya mendengar suara burung dan binatang

melata lainnya, tidak pernah mendengar suara manusia

seperti kami berdua.” Mendengar ucapan istrinya ini

Siriwari Wai tersenyum dan bertanya kepada Istrinya,

”Engkau ingin mendengar suara orang? Kalau engkau

ingin mendengar suara orang, nanti tunggu pada

waktunya!”

Pada malam hari keadaan sangat sunyi yang

terdengar hanya suara jangkrik di tengah malam.

Menjelang pagi terdengar suara sekelompok orang yang

sedang berdayung dengan sebuah perahu yang bernama

Page 58: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

47

Siangtuwai dari arah sebelah barat. Mereka mendayung

dengan tempik sorak dan menyanyi lagu yepi sambil

menuju ke kampung yang baru dibentuk itu. Setelah

rombongan tadi tiba di pantai yang bernama Dinding

Dendang Berou, mereka dijemput oleh suami istri ini dan

dibawa ke rumah mereka. Di dalam rumah tempat tinggal

suami istri itu tersimpan berbagai macam alat budaya,

yaitu ukiran kayu, batu, dan lain sebagainya yang sangat

menarik hati. Setelah rombongan tadi tiba di rumah

suami istri tersebut, mereka sangat tertarik dengan benda-

benda budaya itu. Hati mereka sangat terpikat dengan

benda tersebut. Mereka menanyakan kepada kedua suami

istri tersebut, ”Apakah benda-benda ini kami dapat

memilikinya?” Suami istri itu mengatakan silakan pilih

sendiri.

Dari rombongan yang datang tadi mereka semua

mendapatkan benda-benda budaya yang diberikan oleh

Page 59: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

48

suami istri, tetapi hanya seorang anak yang tidak

mendapatkan benda budaya itu. Anak itu bernama

Alceng. Karena Alceng tidak memperoleh sesuatu, maka

ia bersedih dan menangis sepanjang hari di hadapan

kedua orang tuanya. Mendengar tangisan tersebut,

tergeraklah hati Mandepamen dan mengatakan kepada

suaminya, ”Berikanlah buku kulit tembaga itu

kepadanya!” Siriwari Wai mendengar hal itu dan berkata

kepada istrinya, ”Biarkan dia menangis, nanti dia yang

akan mendapat barang yang sangat berharga bagi

kehidupan masa depannya.” Akan tetapi, Alceng tetap

menangis sampai kedua orang tua itu dapat menyerahkan

sebuah buku berkulit tembaga kepada Alceng. Mereka

yang mengambil benda-benda budaya itu mengejek

Alceng. Akhirnya, Alceng tinggal bersama kedua orang

tua tersebut. Kemudian Siriwari Wai dan istrinya

menjadikan Alceng sebagai anak angkat. Dalam beberapa

Page 60: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

49

waktu mereka dapat hidup bersama-sama dengan

rombongan yang datang bersama Alceng itu atau saudara

bersaudara.

Suatu hari menjelang tengah malam, Siriwari Wai

datang ke suatu tempat berpisah dari keluarganya dan ia

mendemonstrasikan ilmunya, maka terangkatlah sebuah

batu sebagai pintu dan dia turun melalui tangga ke bawah

bumi. Setelah ia mencobanya dan kembali naik lagi ke

permukaan dan pintu batu itu tertutup kembali seperti

biasa. Setelah kembali, ia dapat menyampaikan hal

tersebut kepada istri dan anak angkatnya untuk bersiap-

siap. Pada saatnya mereka akan berangkat dan

meninggalkan tempat ini dengan orang-orang yang ada.

Setelah hidup bersama beberapa waktu, tibalah waktunya

untuk mereka berpisah. Datanglah Siriwari Wai dengan

Mandepamen, dan Alceng, anak angkatnya. Mereka

bertiga berdiri di depan batu tersebut. Lalu Siriwari Wai

Page 61: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

50

mulai mengadakan demonstrasi ilmunya, tiba-tiba

terangkatlah batu dari tanah dan keluarlah suatu terang

dari dalam tanah sampai ke langit, maka teranglah

seluruh daerah itu. Mereka melihat terang itu dan datang

mendekatinya. Ternyata, mereka melihat kedua orang tua

bersama Alceng sudah ada di depan pintu, hendak

bersiap-siap untuk turun ke bawah bumi.

Sementara orang-orang yang datang mendekati

pintu batu itu, mereka melihat bahwa ketiga orang

tersebut mulai masuk satu per satu ke dalam pintu itu,

yaitu Siriwari Wai yang turun pertama, kemudian

Mandepamen, istrinya, dan Alceng, anak angkatnya yang

turun terakhir. Sebelum turun, ia menengok kepada

saudara-saudaranya sambil menunjukkan buku kulit

tembaga itu dan ia mengucapkan beberapa kalimat,

”Saudara-saudara yang saya kasihi, selamat tinggal,

selama kamu hidup di dunia ini kamu harus bekerja keras

Page 62: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

51

sampai keringat serta menggosok arang dan menjadi

budak kepada orang lain sampai kamu kenal saya dan

kenal buku tulis tembaga ini, barulah saya akan balik

mukaku untuk mengenal dan mengangkat kamu dari

kesengsaraanmu.” Setelah mengucapkan kalimat itu

Alceng melambaikan tangannya dan mengucapkan salam

terakhir selamat tinggal, lalu ia dengan sedih tunduk dan

turun melalui tangga ke dalam tanah dan pintu batu

kembali tertutup seperti semula. Saudara-saudaranya

menangis di sekitar batu itu, serta mengenang adik

Alceng sudah tidak bersama mereka.

3.2 Terjadinya Kampung Tablanusu 2

Setelah berpulangnya orang pertama yang membuat

Kampung berbentuk L, yaitu Siriwari Wai, Mandepamen,

istrinya, dan Alceng, anak angkatnya ke bawah bumi,

Page 63: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

52

mereka yang tetap tinggal di kampung tersebut bernama

Kewasiriwai, Mang Damiwai, dan Mang Syawai.

Dari ketiga bersaudara ini yang dituakan adalah

Kewasiriwai sehingga kampung yang berbentuk L buatan

Siriwari Wai dapat diberi nama Kewatuyo/Kewayo.

Ketiga saudara tersebut mempunyai tugas masing-masing

yaitu Kewasiriwai bertugas menjaga keamanan dan

ketertiban kampung. Damiwai mempunyai tugas menjaga

dan memimpin seluruh masyarakat dalam hal kehidupan

berbakti kepada dewa dan selalu mencari kehidupan yang

berhubungan dengan keselamatan jiwa dan tubuh.

Mangsyawai mempunyai tugas untuk menyejahterahkan

masyarakatnya melalui sumber daya alam laut untuk

dinikmatinya dan ketiga-tiganya bertanggung jawab

kepada dewa pencipta.

Dari ketiga bersaudara tersebut berkembanglah

manusia penghuni kampung, dari keturunan Kewasiriwai

Page 64: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

53

berkembang marga Soumilena. Mang Damiwai

menurunkan marga Danya, sedangkan Mangsyawai

menurunkan marga Suwae. Kewasiriwai kawin dengan

perempuan dari matahari namanya Susirimeng.

Mangsyawai kawin dengan perempuan yang datang dari

laut bernama Sewaimeng. Dari ketiga marga ini saling

kawin-mengawini dan berkembang banyak sehingga

marga Soumilena dijuluki Neko orode sai orode, marga

Danya dijuluki breuda mendada, dan marga Suwae

dijuluki bai-bai mera. Julukan ini diberikan oleh karena

banyaknya manusia di marga masing-masing. Marga

Soumilena, Danya, dan Suwae hidup bertahun-tahun di

Kawayo dalam satu kepemimpinan umum. Marga

Soumilena menjadi ondoafi umum atau kepala adat,

dengan kata lain disebut Yo Warepo.

Manusia mulai berkembang, terbentuklah

kampung-kampung, sehingga dari kampung satu

Page 65: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

54

menikah dengan kampung yang lain. Begitulah proses

perkembangan manusia. Pada zaman itu seorang

perempuan dari marga Soumilena menikah dengan

Keyewena dari marga Diawaitouw. Mereka

merencanakan untuk mengadakan Metau/pesta adat.

Setelah sepakat, mereka masing-masing mengadakan

persiapan. Marga Diawaitou mempersiapkan segala

sesuatu dan marga Soumilena mempersiapkan makanan,

seperti babi, sagu, Bia Kung, dan alat tari dengan

aksesorisnya. Segala persiapan Metau/pesta telah

dipersiapkan dan para utusan Ondoafi mengadakan

pertemuan untuk menentukan waktu pelaksanaan.

Setelah sepakat masing-masing utusan menyampaikan

hal tersebut kepada marganya di kampung.

Setelah tiba saatnya acara tersebut segera

dilaksanakan. Orang Tepera onusu dari ketiga marga

mulai bersiap-siap untuk berangkat ke kampung Yewena

Page 66: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

55

Dormena dengan membawa persiapan mereka. Mereka

meninggalkan para orang tua dan anak-anak. Setelah tiba

mereka menyerahkan semua hasil bawaannya kepada

marga Diawaitouw kemudian mereka beristirahat makan

dan minum. Setelah itu, mereka mempersiapkan alat

tarian dan mengenakan di tubuhnya lalu mereka keluar

berdansa di halaman marga Diawaitouw selama tiga hari.

Pada hari yang ketiga, sambil menari, mereka melihat

ombak besar berguling-guling masuk ke teluk. Ternyata,

ombak tersebut dapat menenggelamkan seluruh kampung

pertama, Kewayo, dengan manusia dan hewan, sehingga

tertinggal hanya beberapa pulau. Pulau itu disebut

Kwakepou.

Seluruh kegiatan pesta itu selesai. Mereka pulang

berjalan kaki sampai di ayadame/bukit alang-alang di

Kampung Teperasuwa. Dari atas tempat tersebut, mereka

melihat Kampung Kewayo sudah tidak ada lagi yang ada

Page 67: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

56

adalah pulau-pulau yang terapung. Mereka semua dari

ketiga marga Soumilena, Danya, dan Suwae duduk di

atas bukit Ayadame. Mereka menangis tersedu-sedu

karena mengenang orang tua dan anak-anaknya yang

sudah tidak ada lagi. Semuanya telah ditelan oleh ombak

ganas itu. Bila mereka pulang tidak akan berjumpa

dengan orang-orang yang dikasihinya. Sangat lama

mereka duduk dan mengenang semua peristiwa itu.

Akhirnya, mereka terpaksa memilih jalannya sendiri-

sendiri, yaitu mereka berpisah satu sama lain. Marga

Suwae memanggil kayu hanyut dan mereka berangkat ke

barat sampai di Demta. Marga Danya terus ke Bukabo

bermukim di Yarokai. Marga Sumilena ke Bitia meko.

Mereka masing-masing bermukim di tempatnya. Sudah

sekian lama mereka berpisah satu sama lain. Marga

Suwae hidup di antara Ambora dan Yaugpsa, marga

Page 68: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

57

Danya hidup di Bukabo, serta marga Sumilena hidup di

Bitiameko dan sekitarnya.

Keluarga marga Suwae dari Demta datang dan

tinggal di Sensau kemudian bertemu dengan marga

Soumilena dan diajak kembali ke Bitiayo. Demikian juga

marga Danya kembali ke Bitiayo dan mereka kembali

menjadi satu kampung. Ketiga marga tersebut hidup

bersama-sama di bawah satu kepemimpinan adat yaitu

marga Soumilena yang menjadi Ondoafi besar/Yo

warepo. Mereka kawin-mengawini antara satu sama lain,

hidup rukun dan damai di bawah satu kepemimpinan adat

(Soumilena).

Perkembangan manusia di kampung kedua

Bitiayo. Bitia adalah nama seorang dari marga

Soumilena, yaitu Bitia Damiwai sebagai pemimpin kedua

setelah Kewasiriwai sehingga nama kampung kedua itu

disebut Bitiayo. Penduduk pertama yang menduduki

Page 69: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

58

Kampung Bitiayo adalah Soumilena, Danya, dan Suwae.

Kemudian datanglah seorang dari Kampung Yangsu, ia

datang dan bertempat di Budamiwaiye. Ia membawa dua

buah harta, yaitu satu Opa (manik-manik nomor satu)

yang bernama Opa Domesi dan satu Temaku (batu), Se

Domesa. Setelah marga Soumilena menemukannya ia

membawanya ke Kampung Bitiayo untuk tinggal dan

hidup bersama dengan orang Soumilena. Dia adalah

orang pertama dari marga Wambena, kemudian

datanglah orang kedua dari marga Somisu yang

sementara bertempat di Seinadiya, maka orang

Soumilena menemukannya dan mengajak untuk hidup

bersama di Kampung Bitiayo, karena Seinadiya adalah

dusun sagu tempat makan orang Soumilena. Orang ketiga

adalah marga Apaserai. Ia adalah orang Waibron dibawa

oleh orang Soumilena menjadi anak angkat di rumah

keluarga Soumilena.

Page 70: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

59

Dari marga Danya, seorang perempuan dari

marga tersebut kawin dengan marga Serontou

(Tablasupa). Suaminya meninggal sehingga anak-

anaknya dibawa dan dipelihara oleh keluarga Danya, kini

disebut marga Serontou. Kemudian marga Serontou

mempunyai anak perempuan yang kawini oleh marga

Tekaiwaitou dari Kampung Demoikisi. Suaminya pun

meninggal, anak-anaknya dibawa dan dipelihara oleh

marga Serontou. Anak-anak tersebut sekarang menjadi

marga Yakarimilena. Kemudian seorang perempuan dari

marga Serontou dikawini oleh orang Ternate marga Selli.

Namun, kini tetap menjadi marga Selli. Marga Yufuwai

adalah saudara dari marga Yakarimilena. Selama berada

di Kampung kedua, Bitiayo, perkembangan penduduk

menjadi 10 marga. Kesepuluh marga tersebut adalah

1. Soumilena

2. Danya

Page 71: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

60

3. Suwae

4. Wambena

5. Somisu

6. Apaserai

7. Serontou

8. Yakarimilena

9. Yufuwai

10. Selli

Mereka semua hidup dalam satu kepemimpinan

adat yang dipimpin oleh suku Soumilena. Begitulah

kehidupan mereka dari suku ditambah kedua suku yaitu

Wambena dan Somisu menjadi lima suku. Mereka

bersatu, berkembang, dan hidup bersama-sama saling

mengasihi terhadap satu sama lain penuh dengan sopan

santun.

Dengan adanya kampung pertama yang ditelan

stunami dan pada akhirnya mereka kembali berkumpul di

Page 72: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

61

kampung kedua Bitiayo. Di situ masyarakat sudah

mengenal besi dan pada tahun 1911 injil mulai masuk

sehingga mengalami perubahan dan masa transisi dimana

masyarakat mulai percaya kepada Injil dan Yesus sang

Maha Kuasa. Pada tahun 1944 dimana terjadinya Perang

Dunia II, masyarakat mengalami kekerasan dari Jepang,

karena mau menyelamatkan diri dari perang, maka

mereka mulai mengungsi ke kampung yang sekarang ini

atau kampung Tablanusu. Alasannya karena kampung

tersebut merupakan dusun bagi masyarakat berkebun dan

mencari untuk mempertahankan hidup sehari-hari.

Selesai perang tahun 1946, Jepang akhirnya menyerah

kepada sekutu, masyarakatnya masih hidup terpencar,

akhirnya sudah merasa aman maka orang-orang tua mau

kembali ke kampung Bitiayo, tetapi ada pertimbangan-

pertimbangan bahwa pada pagi hari masyarakat pergi ke

kebun di dusun, mereka harus melawan arus angin darat

Page 73: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

62

dan musim ombak yang begitu kencang serta

mengakibatkan arus yang begitu kuat. Dengan adanya

pertimbangan itu, maka Korano pada masa itu berdiskusi

dengan masyarakat dan memutuskan bahwa mereka

harus membuka perkampungan baru di dusun mereka

sendiri untuk menghindari beratnya medan dan cuaca di

laut. Sehingga masyarakat mendiami dusun mereka

sampai sekarang ini atau biasa disebut Kampung

Tablanusu.

(Diceritakan dan ditulis kembali oleh Petrus B.

Soumilena)

3.3 Asal Mula Pohon Kelapa

Pada zaman batu ada beberapa kampung saja

permukiman di pesisir pantai. Mereka hidup saling akrab

antara kampung satu dengan kampung yang lain. Pada

waktu meninggalnya seorang Ondoafi di Kampung Kayu

Page 74: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

63

Pulau, sebelum orang Kayu Pulau pindah dan tinggal di

Pulau Kampung pertama di Pasekai (sekarang disebut

Paneskan, kemudian disebut dengan Bayangkara).

Mereka menguburkan Ondoafi Kayu Pulau dari

marga Sibi di Kampung Pasekai ini. Dari kubur itulah

tumbuh kelapa bercabang dua. Cabang yang satu

buahnya hijau dan cabang yang lain buahnya kuning mas.

Kelapa ini dijaga dan dipelihara sampai menghasilkan

buahnya. Orang Kayu Pulau melihat pohon bercabang

dua dan buahnya berbeda warnanya. Mereka sangat

heran, maka berita itu tersebarlah ke kampung lain di

pesisir pantai depon sero utara, termasuk Kampung

Kewayo, Tepranusu. Masyarakat dari kampung-kampung

datang mengamatinya. Mereka juga heran, lalu mereka

berkata kepada orang Kayu Pulau, ”Bila sudah tua

buahnya kami ingin mendapatkannya.”

Page 75: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

64

Keinginan untuk memperoleh buah kelapa tersebut

sangat diperhatikan oleh orang Kayu Pulau. Mereka

sepakat untuk menjaga dan menyimpan kelapa itu sampai

tunas. Kemudian mereka akan membuat pesta adat, lalu

membagi-bagikan kelapa-kelapa tersebut. Orang Kayu

Pulau menjaga dan mengumpulkan buah kelapa,

jumlahnya sudah banyak, lalu mengundang orang

kampung-kampung lain datang untuk mengambil kelapa-

kelapa tersebut.

Ketika sudah tiba waktunya, mereka mengadakan

pesta adat. Mereka membunyikan tifa selama tiga hari.

Datanglah para undangan dari kampung-kampung.

Keluarga Soumilena datang dari kampung Kewayo

sebagai utusan dalam acara pesta tersebut. Pesta adat

tersebut selesai pada hari yang ketiga. Setelah pesta usai

pada pagi hari ketiga, orang Kayu Pulau mulai membagi

kelapa tersebut. Dari kampung Kewayo, keluarga

Page 76: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

65

Soumilena memperoleh empat buah kelapa yang sudah

tunas, dua warna hijau, dan dua warna kuning emas.

Setelah itu mereka kembali ke kampung masing-masing.

Marga Soumilena pulang dan menanam empat pohon

itu. Setelah ditanam mereka menjaga sampai berbuah.

Orang Kewayo membuat acara adat untuk makan

bersama buah kelapa tersebut. Buah pertama mereka

kuliti, tetapi mereka takut melihatnya karena

tempurungnya menyerupai tengkorak manusia. Mereka

kemudian membelahnya dan merasakan airnya, dan

ternyata terasa manis. Kemudian isinya mereka makan,

rasanya enak sekali. Di antara orang-orang tersebut,

banyak yang takut memakannya, sehingga hanya

sebagian orang yang memakannya. Lama-kelamaan,

seluruh penduduk merasa memiliki kelapa ini sebagai

satu tumbuhan yang memberikan manfaat bagi

kehidupan keluarga. Bagian pohon kelapa tersebut, baik

Page 77: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

66

daun, buah, kulit, maupun tempurung dapat dipergunakan

untuk bahan kerajinan. Selain itu, bagian lain, misalnya

airnya dapat dipergunakan sebagai obat bagi manusia.

Oleh karena itu, marga keturunan Soumilena

mendapat pesan dari nenek moyangnya untuk

menjaga dan memelihara pohon kelapa mulai

ditanam sampai berbuah,

buah kelapa jangan dibelah-belah, tetapi dipotong

atau dikuliti dengan baik dan rapi,

setelah buahnya dimakan kulitnya dikumpulkan

dengan rapi di bawah pohonnya dan tidak

dihambur-hamburkan, dan

keluarga besar Soumilena dijuluki berenda sebagai

buah kelapa banyaknya orang mendada.

(Diceritakan dan ditulis kembali oleh Petrus B.

Soumilena)

Page 78: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

67

3.4 Serekumai

Setelah kampung pertama, Kewayo, dihancurkan oleh

gelombang besar, masyarakat membuka kampung kedua,

Bitiayo. Di kampung kedua ini, ada satu keluarga yang

bermukim di atas puncak Gunung Bitiameko. Keluarga

ini mempunyai tiga orang anak, yaitu dua laki-laki dan

seorang perempuan. Bapak dari ketiga anak ini

pekerjaannya petani. Ia selalu berkebun dan memperoleh

hasil cukup banyak, lalu ia bagi-bagikan kepada

tetangganya.

Dari ketiga anak ini, di antaranya ada satu yang

sangat nakal. Bila hasil kebun dibawa sampai di rumah,

sebahagiannya hilang. Melihat keadaannya seperti itu,

maka sang ibu berusaha menyembunyikan makanan

berupa pisang dan tebu di dalam tempayan. Pada suatu

hari bapak, ibu, dan kedua anak laki-laki dan perempuan

ikut ke kebun. Anak laki-laki nakal ini tinggal di rumah.

Page 79: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

68

Pada siang hari, laki-laki nakal ini mulai mencari-cari di

manakah ibu menyembunyikan makanan pisang itu. Ia

mencari terus dan ketemu di dalam tempayan, lalu

mengambil dan memakannya. Lalu ia datang lagi kedua

kalinya. Ia melihat mulut tempayan tertutup rapat, si laki-

laki nakal ini berkata kepada tempayan, ”Yah, tadi saya

ambil pisang masak dalam tempayan ini, sekarang

tempayan ini dia tutup mulutnya. Ah, benarkah ’kan

tempayan? Kalau kau tempayan, bukalah mulutmu

supaya aku mengambil pisang masak lagi. Kalau bukan

tempayan, jangan buka mulutmu!”

Mendengar kalimat si nakal, maka tempayan

mulai buka mulutnya. Si nakal ini merapat dan berkata,

”Benar, kau adalah tempayan. Kau izinkan aku

mengambil pisang masak.” Sambil berbicara, ia

memasukkan tangannya ke dalam tempayan. Tangannya

mulai mengambil pisang. Tiba-tiba tempayan ini

Page 80: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

69

menutup mulutnya dan tangan si nakal ini dijepit.

Kemudian tempayan ini bergerak dan terjatuh ke kolong

rumah, dari gunung terus berguling sampai di laut.

Sementara tempayan bersama si nakal ini berguling, si

nakal berteriak minta tolong kepada orang banyak.

Keluarlah orang dengan kayu panah sambil menyerang

tempayan. Akan tetapi, tempayan tersebut tetap berguling

terus sampai ke laut dan tenggelam bersama si laki-laki

nakal di depan Kampung Bitiayo.

Sampai sekarang si nakal dan tempayan tersebut

menjadi karang hidup. Itulah yang menjadi bukti cerita

ini. Bila seorang saudara atau peranakan Soumilena

meninggal, maka karang tersebut timbul terapung di

permukaan laut. Karang tersebut sekarang disebut dengan

nama Serekumai, yang berarti tempayan (sere) dan

Kumai adalah nama dari anak laki-laki itu. Demikian

cerita dari keluarga besar marga Soumilena. Dengan

Page 81: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

70

demikian, bagi mereka dilarang menyimpan makanan

dalam tempayan. Hal itu sudah menjadi tradisi secara

turun-temurun.

(Diceritakan dan ditulis kembali oleh: Petrus B.

Soumilena)

Page 82: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

71

BAB IV

MORFOLOGI CERITA RAKYAT TEPERA

4.1 Fungsi Pelaku, Skema, dan Pola Cerita

Dalam analisis ini, khusus mengenai fungsi-fungsi

pelaku, yang disajikan adalah definisi pokoknya saja

yang disertai lambang dan ringkasan isi cerita. Sajian

ringkasan isi cerita dimaksudkan sebagai penjelas fungsi.

Adapun hasil analisis fungsi dalam cerita Terjadinya

Kampung Tablanusu dan Serekumai tampak sebagai

berikut.

TERJADINYA KAMPUNG TABLANUSU 1

(0) Situasi Awal (lambang: µ )

Nenek moyang masyarakat Kampung Tablanusu

yang hidup dan berdiam di pesisir pantai utara seperti

yang ada sekarang memiliki cerita yang panjang.

Menurut cerita orang tua-tua atau para leluhur,

perkembangan manusia dimulai dari asal matahari

Page 83: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

72

terbit/timur. Dari rentetan peristiwa selama perjalanan ini

maka menyebabkan adanya beberapa peristiwa yang

lainnya.

(1) Perpindahan Tempat (lambang G)

Syahdan Siriwari Wai bersama sekelompok

manusia mengadakan perjalanan dari arah matahari

terbit. Mereka berjalan melalui Nafri ke Sentani dan

berkumpul di lembah yang sekarang dinamai Buper. Dari

lembah Buper, sebagian orang ada yang terus ke Lembah

Deponsero/Deponpau. Dari Deponpau mereka terbagi

lagi, ada yang ke barat dan ada yang ke timur menuju

wilayah Deponsero Utara.

(2) Kekurangan, Kebutuhan (lambang: )

Dari pembagian itu seorang yang bernama

Siriwari Wai turun dan tinggal di pantai. Ia hidup seorang

diri dan tinggal di tebing-tebing gunung batu karena tidak

mendapat tempat tinggal yang layak untuk dihuni.

Page 84: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

73

Melihat keadaan tempat tinggalnya seperti itu, ia mulai

berpikir, dan merencanakan untuk membentuk satu

kampung yang layak untuknya tinggal dan berlindung.

(3) Penerimaan Alat Sakti (lambang: F)

Ia tidak mempunyai alat yang canggih. Akan

tetapi, dengan bekal ilmu serta sepotong kayu besi

(yaumau po), ongkoi (wadah yang dibuat dari pohon

palem untuk menimbah air), dan yepi (lagu-lagu atau

syair adat). Dengan ketiga alat yang tersebut ia mulai

melakukan kegiatannya setiap hari.

(4) Penetralan (tindakan) dimulai (lambang: C)

Ia ambil tanah dengan wadah ongkoi, dibuang

pada tempatnya, ditumbuk dengan sepotong kayu

yaumau po (kayu besi), dan diiringi dengan lagu yepi.

Kegiatan ini ia lakukan setiap hari sampai sebagian laut

dapat tertimbun dengan tanah dan berbentuk L.

(5) Perantara Peristiwa Penghubung (lambang B)

Page 85: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

74

Pada suatu hari ia sibuk dengan pekerjaannya,

maka tiba-tiba binatang pelong atau biawak (soa-soa

hijau) jatuh dari atas dan hinggap diatas bahunya. Sirwari

Wai kaget dan dengan keras ia melemparkan binatang itu

ketanah dan tempat tersebut berubah menjadi rawa. Rawa

tersebut masih ada sampai sekarang.

(6) Penjelmaan (lambang T)

Pekerjaannya tetap dilaksanakan setiap hari. Pada

suatu petang setelah selesai bekerja, Siriwari Wai duduk

beristirahat sambil memperhatikan segala jenis binatang

yang lewat. Hampir setiap hari ia memperhatikan

binatang-binatang tersebut, maka timbullah pikirannya

dan ia berkata dalam hati, ”Mengapa binatang yang

dilihatnya setiap hari hidup berpasang-pasangan, dan

saya adalah manusia seorang diri apakah saya dengan

binatang ini berbeda?” Pada waktu itu belum ada seorang

perempuan bila ada pasti ia memilikinya. Ia mempunyai

Page 86: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

75

ilmu, yaitu siang hari ia berubah menjadi manusia,

sedangkan pada malam hari ia berubah menjadi buaya,

biawak, dan ular. Di dalam benaknya, ia berpikir

bagaimana ia bisa mendapatkan seorang perempuan

sebagai pendamping hidupnya.

(7) Datang Tak Dikenali (lambang: O)

Selang beberapa hari pekerjaan pun selesai. Suatu

sore ia duduk beristirahat sambil mengamati binatang-

binatang tersebut, tiba-tiba datanglah seorang perempuan

dan ia duduk di sampingnya. Siriwari Wai sendiri tidak

tahu akan kehadiran perempuan itu. Dalam hati ia

bertanya dari mana asal perempuan itu. Ketika

perempuan itu datang, ia sedang asyik mengamati hewan

yang lalu lalang di depannya. Tiba-tiba Siriwari Wai

diberi tanda oleh seekor nyamuk yang menggigit bagian

belakangnya, maka ia mengibaskan tangannya ke

belakang hendak memukul nyamuk tersebut, tetapi

Page 87: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

76

tangannya mengenai badan perempuan itu. Siriwari Wai

terkejut dan membalikkan muka. Ia langsung bertatapan

dengan perempuan itu.

(8) Perkawinan (lambang: W)

Sambil tersenyum Siriwari Wai bertanya kepada

perempuan itu, ”Siapa namamu?” Dengan suara yang

lembut perempuan itu menjawab, ”Namaku

Mandepamen. Saya datang dan hadir di sini sesuai

dengan keluhan dan keinginanmu”. Mendengar kalimat

itu, Siriwari Wai tersenyum dan menerima Mandepamen

sebagai istri dan pendamping hidupnya. Keduanya hidup

berdampingan dan saling mengasih satu sama lain.

Namun, keduanya tidak mempunyai anak. Akan tetapi,

pekerjaannya tetap dilaksanakan sampai selesai. Bentuk

kampungnya seperti huruf L, tetapi kampung tersebut

belum diberi nama.

Page 88: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

77

Suatu sore suami istri ini duduk sambil

mengamati segala jenis hewan yang lalu lalang. Tiba-tiba

timbul suatu pemikiran dari perempuan ini yang hendak

ia utarakan kepada suaminya. Ia berkata, ”Sepanjang

hidup kita berdua ini hanya mendengar suara burung dan

binatang melata lainnya, tidak pernah mendengar suara

manusia seperti kita berdua.” Mendengar ucapan istrinya

ini Siriwari Wai tersenyum dan bertanya kepada istrinya,

”Engkau ingin mendengar suara orang? Kalau engkau

ingin mendengar suara orang, nanti tunggu pada

waktunya”.

Pada malam hari keadaan sangat sunyi, yang

terdengar hanya suara jangkrik memecah kebisuan

malam. Menjelang pagi terdengar suara sekelompok

orang yang sedang berdayung dengan sebuah perahu

yang bernama Siangtuwai dari arah barat. Mereka

mendayung dengan tempik sorak dan menyanyi lagu yepi

Page 89: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

78

sambil menuju ke kampung yang baru dibentuk itu.

Setelah rombongan tadi tiba di pantai yang bernama

Dinding Dendang Berou, mereka dijemput oleh suami

istri ini dan dibawa ke rumah mereka. Di dalam rumah

tempat tinggal suami istri itu tersimpan berbagai macam

alat budaya, yaitu ukiran kayu, batu, dan lain sebagainya

yang sangat menarik hati. Setelah rombongan tadi tiba di

rumah suami istri tersebut, mereka sangat tertarik dengan

benda-benda budaya itu. Hati mereka sangat terpikat

dengan benda tersebut. Mereka menanyakan kepada

suami istri tersebut, ”Apakah benda-benda ini kami dapat

memilikinya?” Suami istri itu mengatakan silakan pilih

sendiri.

(9) Kejahatan (lambang A)

Dari rombongan tadi yang datang mereka semua

mendapatkan benda-benda budaya yang diberikan oleh

suami istri. Akan tetapi, hanya seorang anak saja yang

Page 90: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

79

tidak dapat benda budaya itu, yakni yang bernama

Alceng. Karena Alceng tidak memperoleh sesuatu ia

bersedih dan menangis sepanjang hari di hadapan kedua

orang tuanya. Mendengar tangisan anak tersebut,

tergeraklah hati Mandepamen dan mengatakan kepada

suaminya, ”Berikanlah buku kulit tembaga itu

kepadanya!” Siriwari wai mendengar hal itu dan berkata

kepada istrinya, ”Biarkan dia menangis, nanti dia yang

akan mendapat barang yang sangat berharga bagi

kehidupan masa depannya.” Akan tetapi, Alceng tetap

menangis sampai kedua orang tua itu mau menyerahkan

sebuah buku berkulit tembaga kepada Alceng. Mereka

yang mengambil benda-benda budaya itu mengejek

Alceng. Akhirnya Alceng tinggal bersama kedua orang

tua tersebut. Siriwari Wai dan istrinya menjadikan

Alceng sebagai anak angkat. Dalam beberapa waktu

Page 91: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

80

mereka dapat hidup bersama-sama dengan rombongan

yang datang bersama Alceng itu atau saudara bersaudara.

(10) Reaksi Pahlawan (lambang E)

Suatu hari menjelang tengah malam, Siriwari Wai

datang ke suatu tempat berpisah dari keluarganya dan ia

mendemonstrasikan ilmunya, maka terangkatlah sebuah

batu sebagai pintu dan dia turun melalui tangga ke bawah

bumi. Setelah ia mencobanya dan kembali naik lagi ke

permukaan dan pintu batu itu tertutup kembali seperti

biasa. Setelah kembali, ia dapat menyampaikan hal

tersebut kepada istri dan anak angkatnya untuk bersiap-

siap. Pada saatnya mereka akan berangkat dan

meninggalkan tempat ini dengan orang-orang yang ada.

(11) Kepulangan (kembali)

Setelah hidup bersama beberapa waktu, tibalah

waktunya untuk mereka berpisah, datanglah Siriwari

Wai dengan Mandepamen, istrinya, dan Alceng, anak

Page 92: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

81

angkatnya. Mereka bertiga berdiri di depan batu tersebut.

Siriwari wai mulai mengadakan demonstrasi ilmunya,

tiba-tiba terangkatlah batu dari tanah dan keluarlah suatu

terang dari dalam tanah sampai ke langit, maka teranglah

seluruh daerah itu. Mereka melihat terang itu dan datang

mendekatinya. Ternyata, mereka melihat kedua orang tua

bersama Alceng sudah ada di depan pintu, hendak

bersiap-siap untuk turun ke bumi.

(12) Penyelesaian (lambang: N)

Sementara orang-orang yang datang mendekati

pintu batu itu, mereka melihat bahwa ketiga orang

tersebut mulai masuk satu per satu ke dalam pintu itu,

yaitu Siriwari Wai yang turun pertama, kemudian

Mandepamen, istrinya, dan Alceng anak angkatnya yang

turun terakhir. Sebelum turun, ia menengok kepada

saudara-saudaranya sambil menunjukkan buku kulit

tembaga itu dan ia mengucapkan beberapa kalimat,

Page 93: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

82

”Saudara-saudara yang saya kasihi, selamat tinggal,

selama kamu hidup di dunia ini kamu harus bekerja keras

bersimbah keringat menggosok arang dan menjadi budak

bagi orang lain sampai kamu kenal saya dan kenal buku

tulis tembaga ini. Jika kamu sudah melakukannya

barulah aku akan balik mukaku untuk mengenal dan

mengangkat kamu dari kesengsaraanmu.” Setelah

mengucapkan kalimat itu Alceng melambaikan

tangannya dan mengucapkan salam perpisahan, lalu

dengan sedih dan tertunduk ia turun melalui tangga ke

dalam tanah dan pintu batu kembali tertutup seperti

biasanya. Saudara-saudaranya menangis di sekitar batu

itu karena sang adik sudah tidak bersama mereka. (batu

bersejarah tersebut sampai sekarang masih ada). Ini

merupakan cerita fase pertama dari cerita Kampung

Tablanusu.

Page 94: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

83

SEREKUMAI

(0) Situasi awal (lambang: µ )

Situasi awal cerita Serekumai adalah pemaparan tentang

kehancuran kampung pertama (Kewayo) yang diterjang

oleh bencana tsunami, sehingga masyarakat membuka

kampung kedua (Bitiayo). Di atas puncak Gunung

Bitiameko, hiduplah sebuah keluarga dengan tiga orang

anak. Kepala keluarga ini bermata pencaharian sebagai

petani. Hasil kebunnya terbilang cukup banyak, bahkan

selalu dibagikan kepada tetangganya. Kelakuan anak-

anak dalam keluarga inilah yang menjadi pemicu

timbulnya pergerakan cerita sehingga menimbulkan

fungsi-fungsi berikut.

(1) Penipuan (lambang: )

Dikemukakan bahwa dari ketiga anak dalam keluarga

tersebut, ada seorang yang sangat nakal. Bila hasil kebun

Page 95: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

84

dibawa sampai ke rumah, pasti hilang sebagian.

Menyikapi kondisi tersebut, maka sang ibu berusaha

menyembunyikan makanan berupa pisang dan tebu

dalam tempayan. Sikap sang ibu tersebut termasuk dalam

fungsi penipuan.

(2) Kejahatan (lambang: A)

Ketika orang tua dan saudara-saudaranya berangkat ke

kebun, muncullah niat jahat si anak nakal. Ia mulai

mencari makanan yang disembunyikan oleh ibunya.

Setelah ia menemukan makanan yang ia inginkan, ia

mencuri dan memakan makanan tersebut. Sikap mencuri

si anak nakal ini termasuk dalam fungsi kejahatan.

Kemudian fungsi ini berkembang menjadi fungsi

kekurangan (lambang: a) karena si anak terus berupaya

mencari makanan tersebut. Ia mendatangi tempayan

untuk yang kedua kalinya. Ia melihat mulut tempayan

tertutup rapat. Si anak nakal ini meminta tempayan

Page 96: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

85

supaya ia membuka mulutnya karena ia ingin mengambil

makanan.

(3) Hukuman bagi penjahat (lambang: U)

Perilaku jahat dan nakal dari si anak membuatnya

menerima hukuman. Ketika ia memasukkan tangannya

ke dalam tempayan untuk mengambil pisang, tiba-tiba

tempayan menutup mulutnya dan tangan si anak terjepit.

Kemudian tempayan ini bergerak, jatuh ke kolong rumah,

berguling dari puncak gunung sampai ke laut. Ketika si

anak berguling bersama tempayan, ia berusaha meminta

pertolongan kepada orang-orang. Akan tetapi, tempayan

dan si anak terus berguling masuk ke dalam laut dan

tenggelam. Akhirnya, si anak dan tempayan tersebut

menjadi karang hidup. Karang hidup tersebut dinamai

Serekumai. Konon, kalau ada marga Soumilena yang

meninggal dunia maka ia timbul terapung di atas

permukaan air.

Page 97: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

86

4.2 Struktur Cerita

Jika cerita tentang Terjadinya Kampung Tablanusu

disusun dalam bentuk skema, kerangka cerita yang

membentuk strukturnya akan tampak seperti berikut.

µG a F C B T O W A E ¯

Setelah unsur-unsur penting serta unsur-unsur

penjelasnya ditunjukkan (lihat fungsi-fungsi pelaku di

atas), dapatlah ditemukan pola-pola tertentu dalam cerita

Terjadinya Kampung Tablanusu. Menurut Propp

(1975:92), satu cerita (komponen) tertentu dapat ditandai

oleh satu perkembangan atau pergerakan yang dimulai

dari kejahatan atau kekurangan (kebutuhan) dan diakhiri

dengan penyelesaian atau terpenuhinya kekurangan

(kebutuhan) setelah melalui fungsi-fungsi perantaraan.

Oleh karena itu, dengan mencermati fungsi-fungsi pelaku

seperti telah disebutkan di atas, secara keseluruhan (tale

Page 98: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

87

as a whole) cerita Terjadinya Kampung Tablanusu dan

Serekumai dapat dipolakan seperti berikut.

I G…………………

Keterangan:

I.G…………………

Adalah dimulainya perjalanan dari negeri matahari terbit

melalui Nafri, Sentani berkumpul di lembah yang

sekarang dinamai Buper, kemudian dari Lembah Buper,

sebagian orang yang terus ke Lembah Deponsero/

Deponpau. Dari Deponpau mereka terbagi lagi, ada yang

ke barat dan ada yang ke timur wilayah Deponsero Utara.

Dari pejalanan ini mereka menghadapi berbagai macam

kendala, baik secara fisik maupun mental. Kendala fisik

adalah penyesuaian dengan daerah baru, sedangkan

kendala mental perasaan sepi karena ketiadaan teman.

II.O..........................A

Page 99: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

88

Adalah masa perkawinan Siriwari Wai dengan

Mandepamen. Mereka tidak mendapatkan keturunan dan

mengangkat Alceng sebagai anak. Permasalahan terjadi

ketika Alceng tidak mendapatkan hadiah dari Siriwari

Wai dengan Mandepamen,

III. E.........................N

Adalah masa ketika Siriwari Wai, Mandepamen, dan

Alceng memasuki dunia baru, yaitu dunia yang hanya

diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah terbebas dari

urusan keduniaan.

4.3 Distribusi Fungsi di Kalangan Pelaku

Menurut Propp (1975:79--80), tiga puluh satu fungsi

yang menjadi kerangka pokok cerita atau dongeng rakyat

itu dapat didistribusikan ke dalam tujuh lingkaran

tindakan (speres of action). Jadi, setiap lingkaran

(lingkungan) tindakan dapat mencakupi satu atau

beberapa fungsi. Adapun enam lingkaran tindakan dalam

Page 100: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

89

cerita Terjadinya Kampung Tablanusu adalah sebagai

berikut.

(1) A adalah lingkungan aksi penjahat.

(2) F adalah lingkungan aksi donor (pembekal).

(3) E adalah lingkungan aksi pembantu.

(4) W adalah lingkungan aksi seorang putri

(5) B adalah lingkungan aksi perantara.

(6) C, E adalah lingkungan aksi pahlawan.

4.4 Cara-Cara Pengenalan Pelaku

Berdasarkan pengamatan secara cermat terhadap cerita

Terjadinya Kampung Tablanusu diperoleh beberapa

model atau cara pengenalan pelaku seperti di bawah ini.

Pelaku yang dimaksudkan adalah penjahat, pembantu,

perantara, pahlawan, dan sang putri. Dalam cerita

Terjadinya Kampung Tablanusu, penjahat tidak

dijelaskan secara eksplisit mengenai namanya, karena

merupakan kelompok orang. Hanya saja akibat dari

Page 101: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

90

tindakan jahat ini Alceng merasa bersedih dan kecewa

sehingga ia menangis tanpa henti.

Dalam cerita ini pembantu dimunculkan sebagai

penghubung tokoh pahlawan. Alceng yang merupakan

anak angkat Siri Wai dan Mandepamen mampu mengisi

kekosongan mereka karena ketiadaan anak.

Dalam cerita Terjadinya Kampung Tablanusu

perantara diperkenalkan sebagai penghubung fungsi-

fungsi pelaku yang utama. Perantara yang berupa biawak

dimunculkan sebagai penyebab timbulnya rawa dan

merupakan cikal bakal nenek moyang karena biawak ini

pada akhirnya akan berubah menjadi seorang putri yang

bernama Mandepamen yang kemudian menikah dengan

Siri Wai.

Sesungguhnya, pahlawan yang bernama Siri Wai

telah diperkenalkan di bagian-bagian awal cerita.

Pengenalan itu bersifat fungsional. Dimulai dari

Page 102: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

91

perjalanan dari negeri matahari terbit, mendirikan

kampung, menikah, dan memasuki dunia pencerahan

merupakan rangkaian cerita yang bersifat fungsional.

Page 103: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

92

Page 104: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

93

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian dengan mengaplikasikan teori

Vladimir Propp maka terdapat dua belas fungsi pelaku

pada cerita rakyat Terjadinya Kampung Tablanusu.

Adapun fungsi-fungsi tersebut adalah: Perpindahan

Tempat (lambang G), Kekurangan, Kebutuhan (lambang:

a), Penerimaan Alat Sakti (lambang: F), Penetralan

(tindakan) dimulai (lambang: C), Perantara Peristiwa

Penghubung (lambang B), Penjelmaan (lambang T),

Datang Tak Dikenali (lambang: O), Perkawinan

(lambang: W), Kejahatan (lambang A), Reaksi Pahlawan

(lambang E), Kepulangan/kembali (lambang ¯ ),

Penyelesaian (lambang: N).

Jika cerita tentang Terjadinya Kampung

Tablanusu disusun dalam bentuk skema, kerangka cerita

Page 105: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

94

yang membentuk strukturnya akan tampak seperti

berikut.

µG a F C B T O W A E ¯

Adapun enam lingkaran tindakan dalam cerita

Terjadinya Kampung Tablanusu adalah sebagai berikut.

(1) A adalah lingkungan aksi penjahat.

(2) F adalah lingkungan aksi donor (pembekal).

(3) E adalah lingkungan aksi pembantu.

(4) W adalah lingkungan aksi seorang putri

(5) B adalah lingkungan aksi perantara.

(6) C , E adalah lingkungan aksi pahlawan

Berdasarkan pengamatan secara cermat terhadap

cerita Terjadinya Kampung Tablanusu diperoleh

beberapa model atau cara pengenalan pelaku seperti di

bawah ini. Pelaku yang dimaksudkan adalah penjahat,

pembantu, perantara, pahlawan, dan sang putri.

Page 106: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

95

Untuk cerita rakyat Serekumai hanya ditemukan

tiga fungsi, yaitu penipuan (lambang: , kejahatan

(lambing: A), dan hukuman bagi penjahat (lambing: U).

5.2 Saran

Dengan memahami struktur dan nilai budaya yang

terdapat dalam cerita rakyat milik Suku Tepera maka

perlu diadakan pendokumentasian, pemublikasian,

perekaman, dan penerjemahan terhadap cerita rakyat

yang masih ada pada suku Tepera. Semoga penelitian ini

menjadi awal untuk melakukan penelitian-penelitian

selanjutnya.

Page 107: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

96

Page 108: MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

97

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaya, James. 2002. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip,

Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.

Propp, Vladimir. 1987. Morfologi Cerita Rakyat.

Noriahtaslim (penerjemah). Kuala Lumpur:

Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian

Pendidikan Malaysia.

Suwondo, Tirto. 2011. Studi Sastra: Konsep Dasar,

Teori, dan Penerapannya pada Karya Sastra.

Yogyakarta: Gama Media.

Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah,

Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh

Penerapannya. Yogyakarta: Lamera.

Yarisetou, Wiklif. 2009. Tiaitiki Konsep dan Praktek.

Jayapura; Penerbit Arika.

Yobee, Andreas. 2006. Struktur Cerita Rakyat dalam

Kehidupan Masyarakat Suku Mee Papua:

Penerapan Teori Vladimir Propp. Lombok: Arga

Fuji Press.