modul pengindraan jauh

26
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan praktikum yang bertemakan interpretasi citra pengindraan jauh, dilakukan untuk memenuhi tugas praktikum mata kuliah geologi foto.Selain itu praktikum ini dilakukan supaya kita lebih memahami dan mengerti apaitu interpertasi citra pada pengindraan jauh. Sehingga kita dapat mengenali suatuobyek dengan melakukan interpretasi citra. Dalam interpretasi citra sendiri terdiri antara beberapa unsur yaitu, 1. Rona 2. Tekstur 3. PolaBentuk 4. Bentuk bayangan , dan 5. Asosiasi Sehingga untuk memudahkan kita dalam pengenalan suatu obyek yang berdasarkan interpretasi citra. Maka kita harus mengerti dan mengenali unsure-unsur dalam foto udara tersebut,

Upload: gayuhpramukti

Post on 11-Feb-2016

39 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

modul

TRANSCRIPT

Page 1: Modul Pengindraan Jauh

BAB 1PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan praktikum yang bertemakan interpretasi citra pengindraan jauh, dilakukan untuk memenuhi tugas praktikum mata kuliah

geologi foto.Selain itu praktikum ini dilakukan supaya kita lebih memahami dan mengerti apaitu interpertasi citra pada pengindraan jauh.

Sehingga kita dapat mengenali suatuobyek dengan melakukan interpretasi citra. Dalam interpretasi citra sendiri terdiri antara beberapa unsur

yaitu,

1.   Rona

2.   Tekstur 

3.   PolaBentuk 

4.   Bentuk bayangan , dan

5.   Asosiasi

Sehingga untuk memudahkan kita dalam pengenalan suatu obyek yang  berdasarkan interpretasi citra. Maka kita harus mengerti dan mengenali

unsure-unsur dalam foto udara tersebut,

1.2.Maksud dan Tujuan

Maksud

1.   Mengidentifikasi obyek geologi dengan interpretasi citra

2.   Mengetahui peranan citra dalam pemecahan masalah geologi

3.   Melihat kenampakan geologi berdasarkan interpretasi citra

Page 2: Modul Pengindraan Jauh

4.   Mengetahui cara interpretasi citra pada pengindraan jauh

5.   Mengetahui fungsi dan dapat mengidentifikasi citra

6. Tujuan

7.   Dapat mengidentifikasi obyek geologi dengan interpretasi citra

8.   Dapat mengetahui peranan citra dalam pemecahan masalah geologi

9.   Dapat melihat kenampakan geologi berdasarkan interpretasi citra

10.   Dapat mengetahui cara interpretasi citra pada pengindraan jauh

11.   Dapat mengetahui fungsi dan dapat mengidentifikasi citra

1.3. Alat dan Bahan

1.      Streoskop

2.      Foto udara

3.      Spidol OHP

4.      Penggaris

5.      Kertas mika

Page 3: Modul Pengindraan Jauh

BAB 2GEOLOGI CITRA PENGINDERAAN JAUH

2.1. Dasar Teori

Pengindraan jauh oleh GARDNER & JEFFEFIS (1973) diartikan sebagai suatu cara pengumpulan keterangan mengenai permukaan

bumi dari jarak jauh, atau pengamatan radiasi elektromagnetik dari suatu objek pada lokasi yang sangat jauh.

Citra pengindraan jauh (Remote sensing image) adalah citra suatu benda yang diperoleh dengan alat pencatat atau pengindra tanpa ada

hubungan langsung dengan benda tersebut.

Ilmu pengetahuan yang mempelajari geologi dengan menggunakan citra pengindraan jauh disebut Geologi Citra Pengindraan Jauh. Foto

udara merupakan salah satu macam citra pengindraan jauh yang sudah lama dipergunakan orang untuk mempelajari geologi. Oleh karena itu

ilmu pengetahuan yang sudah berkembang adalah geologi foto. Geologi foto adalah studi geologi dengan bantuan foto udara, sedangkan foto

udara adalah foto permukaan bumi yang diambil dari pesawat udara dengan menggunakan kamera udara (Bates dan Jackson, 1987). Sementara

itu untuk memperoleh informasi objek-objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman, pengukuran dan interprestasi citra fotografik dan

pola-pola tenaga radiasi elektromagnetik yang terekam disebut fotogrametri (Wolf, 1974).

Dalam Geologi citra pengindraan jauh dikenal 2 faktor interprestasi citra yaitu :

1.      Unsur dasar Pengenalan Citra

2.      Unsur dasar interprestasi geologi

Untuk mengenal ke dua unsure dasar yang tersebut diatas sebaiknya memiliki pengetahuan geologi yang cukup, lebih baik lagi kalau

pengalaman-pengalaman geologi lapangan telah dimiliki.

Biasanya dengan melakukan interprstasi citra, kita baru dapat memperoleh batas penyebaran satuan batuan, struktur geologi dan

geomorfologi secara garis besar, kondisi geologi yang detail baru dapat diketahui setelah melakukan pekerjaan lapangan.

1.      Unsur Dasar Pengenalan Citra

Page 4: Modul Pengindraan Jauh

Dalam geologi citra pengindraan jauh dikenal adanya 7 (Tujuh) unsure dasar pengenalan citra yaitu :

  Rona (tone)

  Tekstur (texture)

  Pola (pattern)

  Hubungan dengan keadaan sekitar (relation to the surroundings)

  Bentuk (shape)

  Ukuran (size)

  Bayangan (shadow)

  Rona (tone)

a)      Rona adalah cerah gelapnya citra yang mencerminkan ukuran banyaknya cahaya yang dipantulkan oleh obyek dan dicatat pada citra hitam-

putih.

Rona dipengaruhi oleh :

-          Letak obyek terhadap matahari

-          Warna obyek yang dibuat citranya

-          Kasar halusnya permukaan obyek

-          Musim atau iklim

-          Macam film atau filter yang dipergunakan

-          Proses pencetakan citra

b)      Tekstur (texture) : Tekstur didefinisikan sebagai frekwensi perubahan rona dalam citra dan dihasilkan oleh suatu kelompok satuan

kenampakan yang terlampau kecil untuk dibedakan masing-masing secara jelas pada foto.

Tekstur dibagi menjadi :

-          Tekstur halus à batulempung

Page 5: Modul Pengindraan Jauh

-          Tekstur sedang à batupasir

-          Tekstur kasar à konglomerat, breksi

c)      Pola (pattern) : Pola adalah susunan meruang yang teratur mengenai kenampakan geologi topografi vegelasi.

d)     Hubungan dengan keadaan sekitar (relation to the surroundings)

Seperti kita ketahui dalam ilmu geologi, peristiwa geologi berhubungan erat satu dengan lainnya, sebagai contoh adanya aliran lava mungkin

berdekatan dengan aktivitas gunung api atau adanya lahar. Karena itu dengan mengetahui atau menafsirkan adanya lahar, seharusnya perlu

diperhatikan pula kemungkinan adanya aliran lava.

e)      Bentuk (shape) : Bentuk sebagai suatu unsure pengenalan dalam interprestasi geologi sangat berarti terutama dalam pengertian yang lebih luas

yang meliputi relief atau topografi.

f)       Ukuran (size) : Ukuran dapat pula membantu dalam interprestasi. Ukuran meliputi luas, panjang, lebar, tinggi, dan volume suatu benda.

g)      Bayangan (shadow) : Bayangan sebagai unsure dasar pengenalan berguna untuk mengenal bentuk bendanya. Karena foto udara vertical biasa

dipergunakan untuk interprestasi, maka bayangan dapat dipergunakan untuk mengenal pandangan samping dari suatu obyek.

2.      Unsur Dasar Interprestasi Geologi

Unsur dasar interprestasi geologi adalah gejala alam yang terlihat pada foto udara yang memberikan kemungkinan untuk mengetahui

keadaan geologi.

Unsur dasar interprestasi geologi dapat dibagi menjadi :

1.      Relief

Relief yaitu beda tinggi rendah dari suatu tempat dengan tempat lainnya pada suatu daerah dan juga curam landainya lereng-lereng yang ada.

Termasuk dalam pengertian relief ini adalah bentuk-bentuk bukit, lembah, dataran, gunung dan sebagainya.

2.      Pola Penyaluran (drainage pattern)

Pola penyaluran adalah kenampakan pola sungai pada foto udara, yang membantu dalam interprestasi keadaan geologi.

Page 6: Modul Pengindraan Jauh

3.      Kebudayaan (culture)

Kebudayaan kerapkali dapat dipergunakan untuk interprestasi geologi Sawah biasanya diolah oleh manusia didataran alluvial atau tanah residual

hasil pelaukan batuan, biasanya dikaki gunung api.

4.      Tumbuh-tumbuhan Penutup (vegetation)

Tumbuah-tumbuhan penutup kerapkali dapat memberi keterangan tentang geologi suatu daerah. Hampir seluruh wilayah Indonesia tertutup oleh

tumbuh-tumbuhan, baik hutan tropic lembab, savanna, ataupun tumbuhan hasil kebudayaan manusia.

2.2. Peralatan Yang di Gunakan

1. Streoskop

2. Foto udara

3. Spidol OHP

4. Penggaris

5. Kertas mika

3.3. Lokasi Pelaksanaan Analisis Citra Penginderaan Jauh

Analisis citra penginderaan jauh dilaksanakan di Laboratorium Geomorfologi dan Penginderaan jauh, Jurusan teknik Geologi, Fakultas

Teknologi Mineral, Ist AKPRIND, Jl. I Dewa Nyoman Oka No.32 Kota Baru Yogyakarta.

BAB 3PENGUKURAN ARAH

3.1. Dasar Teori

Page 7: Modul Pengindraan Jauh

Pengukuran arah pada foto udara prinsipnya sama dengan pengukuran pada peta tofografi. Alat yang perluh digunakan adalah busur

derajat atau kompas geologi. Dalam pengukuran hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

  Bagian tepi (sisi) kiri atau kanan foto udara belum tentu merupakan arah utara-selatan, karena demikian dalam foto udara perlu ditarik garis yang

berarah utara- selatan.

  Garis arah utara – selatan ditarik sejajar dengan arah jarum magnet pada kompas geologi pada saat jarum utara menunjukan arah N 0 oE pada saat

foto udara sudah diorientasikan dengan peta tofografi.

  Sebelum mulai pengukuran arah garis pada foto udara tersebut ditambatkan kemeja dengan cellophane – tape agar posisinya tidak berubah.

3.2. Tujuan dan Metode

Tujuan untuk mengetahui arah, seperti penyebaran litologi, arah kemiringan dan arah pengaliran sungai.

Metode pengukurannya adalah :

  Foto udara ditambatkan kemeja dengan cellophane – tape agar posisinya tidak berubah.

  dalam foto udara ditarik garis yang berarah utara- selatan.

  Garis arah utara – selatan ditarik sejajar dengan arah jarum magnet pada kompas geologi pada saat jarum utara menunjukan arah N 0 oE pada saat

foto udara sudah diorientasikan dengan peta tofografi.

3.3. Peralatan Yang Digunakan

1.      Streoskop

2.      Foto udara

3.      Spidol OHP

4.      Penggaris

5.      Kertas mika

6.      Kompas

Page 8: Modul Pengindraan Jauh

BAB 4PENGUKURAN PARALAKS STEREOSKOPIS

4.1. Dasar Teori

Paralaks stereokopik adalah jarak antara dua titik citra pada foto udara karena objek itu difoto dari dua kedudukan pesawat yang berbeda,

dengan tinggi terbang sama pada satu jalur terbang.

4.2. Tujuan Dan Metode

Tujuan dari pengukuran paralaks stereoskopik adalah untuk mengetahui selisih suatu titik pada 2 lembar citra foto.

Metode Pengukuran Paralaks Stereoskopik ada 2 cara yaitu :

A.    Cara monoskopik dapat dibagi menjadi :

1.      Pengukuran lembar per lembar

Alat yang digunakan adalah penggaris biasa atau penggaris mikro (penggaris khusu dengan nonius ketelitian 1/100 mm)

Cara pengukuran :

  Tiap lembar foto udara dicari pusat fotonya dengan menggunkan fiducial mark

  Tentukan pusat konyugasi ( conjugate prineiple point ) masing-masing foto udara

  Hubungkan pusat foto dan foto konyugasi samapai terbnentuk jalur terbang (sumbu x)

  Buat sumbu y tegak lurus sumbu x

  Pada foto udara yang lain dibuat hal seperti diatas

  Kemudian diukur paralaks titik-titik yang dikehendaki (misal ititk A dan titik B)

Page 9: Modul Pengindraan Jauh

2.      Pengukuran dalam susunan orientasi stereoskopik

Kedua foto udara yang berpasangan diorientasikan dengan batuan stereoskop. Kemudian stereoskop dipindahkan, dan selanjutnya pengukuran

jarak d dan D dilakukan dengan mistar

B.     Cara Mengunakan Stereoskop Dan Paralaks Bar

Paralaks meter merupakan batang logam yang dilengkapi dengan sepasang kaca yang diletakan dengan jarak tertentu. Jarak tersebut

dapat diubah dengan memutar mikro meter. Pada masing-masing kaca ada tanda 0 kecil atau + kecil yang disebut tanda apung, prinsip

pengunaan tanda apun = 2 titik komplemeter pada sepasang foto.

Kalau diamati dibawah stereoskop, 2 buah floting marks tersebut tampak sebagai satu titik saja.

Paralaks titik A = PA = D – d

PA = D – (K - rn) = (D – K) + rn = C + rn

PA = C = rn C=> Konstant

Berdasarkan sistim pembacaanya paralaks bar dapat bagi menjadi 2 yaitu :

  Paralaks bar dengan sisitim backward reading, seperti yang terdapat pada stereoskop merk sokkisha. Pada alat ini jika jarak kedua keping kaca

making panjang maka jarak r makin kecil. Untuk pembacaan backward reading

  Paralaks bar dengan sisitim forward reading, seperti yang terdapat pada stereoskop merk topcon. Pada alat ini jika jarak kedua keping kaca

making panjang maka jarak r makin besar. Untuk pembacaan forward reading

4.3. Peralatan Yang Digunakan

1.      Streoskop

2.      Foto udara

3.      Spidol OHP

4.      Penggaris

5.      Kertas mika

Page 10: Modul Pengindraan Jauh

6.      Selotip

BAB 5PENGUKURAN BEDA TINGGI

5.1. Dasar Teori

Untuk mengatakan bahwa suatu daerah itu merupakan timbulan atau lekukan harus diambilbidang dasar yang merupakan ketinggian rata-

rata daerah yang di foto.

5.2. Tujuan Dan Metode

Tujuan dilakukan pengukuran beda timggi adalah untuk mengetahui relief suatu wilayah pada foto udara.

Pengukuran beda tinggi dapat dilakukan dengan menggunkakan rumus paralaks sebagai berikut:

a.

b.

c.

d.

e.

Keterngaan :

: beda tinggi

Hb : tinggi terbang pesawat dari titik B

( tinggi B = titik bagian bawah obyek yang diukur)

PB : paralaks titik B

Page 11: Modul Pengindraan Jauh

PA : paralaks titik A (titik A = bagian puncak obyek)

: PA – PB

H : tinggi terbang pesawat dari bidang sesar (datum plane)

b : jarak dasar foto udara ( photo base )

B : jarak dasar udara ( air base )

F : jarak focus lensa kamera

Hasil pengukuran beda tinggi akan teliti (akurat) apabila foto udara yang digunakan berskala 1 : 10.000 atau lebih besar

5.3. Peralatan Yang Digunakan

1.      Streoskop

2.      Foto udara

3.      Spidol OHP

4.      Penggaris

5.      Kertas mika

6.      selotip

BAB 6PENGUKURAN PROFIL TOPOGRAFI

6.1. Dasar Teori

Jarak pada foto udara tidak mencerminkan jarak sesungguhnya di lapangan, karena ada pergeseran. Untuk menentukan jarak horizontal

yang sesungguhnya digunakan cara grafis, karena kalau dengan mengukur relief displacement satu-persatu akan membutuhkan waktu yang lama.

6.2. Tujuan Dan Metode

Page 12: Modul Pengindraan Jauh

Untuk menentukan jarak horizontal yang sesungguhnya digunakan cara grafis, karena kalau dengan mengukur relief displacement satu-

persatu akan membutuhkan waktu lama.

Pengukuran jarak secara grafis

1.      Tentukan titik pusat masing-masing foto yang berpasangan

2.      Letakkan plastic pada masing-masing foto udara

3.      Titk pusat foto (n1 dan n2) dan titik pusat foto konyugasi (n1’ dan n2’) diplot pada plastic bening

4.      Titik garis dari n1 ke A1 dan ke B1, juga garis n2 A2 dan n2 B2 pada plastic bening ( garis AB adalah yang akan ditentukan jaraknya)

5.      Masing-masing plastik bening diambil dan dipasang berhimpitan hingga n1 berhimpitan dengan n1’ dan n2 berhimpitan dengan n2’ (gambar

11.1)

6.      Titik perpotongan antara n1A1 dan n2A2 serta n1B1 dan n2B2 dihubungkan. Garis penghubung itu adalah jarak AB yang terkoreksi.

Jarak AB dilapangan = dAB

DAB = jarak AB pada foto yang sudah terkoreksi

H = tinggi terbang pesawat dari bidang datar

f = jarak fokus kamera

6.3. Peralatan Yang Digunakan

1.      Streoskop

2.      Foto udara

3.      Spidol OHP

4.      Penggaris

5.      Kertas mika

Page 13: Modul Pengindraan Jauh

6.      selotip

BAB 7PENGUKURAN JARAK HORISONTAL

7.1. Dasar Teori

Jarak pada foto udara tidak mencerminkan jarak sesungguhnya di lapangan, karena ada pergeseran. Untuk menentukan jarak horizontal

yang sesungguhnya digunakan cara grafis, karena kalau dengan mengukur relief displacement satu-persatu akan membutuhkan waktu yang lama.

7.2. Tujuan dan Metode

Untuk menentukan jarak horizontal yang sesungguhnya digunakan cara grafis, karena kalau dengan mengukur relief displacement satu-

persatu akan membutuhkan waktu lama.

Pengukuran jarak secara grafis

1.      Tentukan titik pusat masing-masing foto yang berpasangan

2.      Letakkan plastic pada masing-masing foto udara

3.      Titk pusat foto (A dan B) dan titik pusat foto konyugasi (A’ dan B’) diplot pada plastic bening.

4.      Kemudian ukur jarak antara titik A dan B

5.      Buat skala pada peta kemudian kalikan dengan hasil jarak antara titik A dan B.

7.3. Peralatan Yang Digunakan

1.      Streoskop

2.      Foto udara

3.      Spidol OHP

4.      Penggaris

5.      Kertas mika

Page 14: Modul Pengindraan Jauh

BAB 8PENGUKURAN DIPSLOPE

8.1. Dasar Teori

Dipslope merupakan kemiringan lereng topografi yang juga merupakan kemiringan lapisan batuan sedimen sering tampak pada foto

udara. Dipslope terdapat pada bentuk lahan hogback, cuesta atau sayap antiklin yang sudah tererosi.

8.2. Tujuan Dan Metode

Metode pengukuran dipslope :

1.      Pengukuran dislope dengan dipslope meter

  Aturlah kedudukan sepasang foto udara dibawah steroskop sampai terbentuk stereomodel.

  Aturlah kedudukan slopemeter dibawah steroskop sampai bidang slopemeter berhimpit/sebidang dengan bidang dipslope.

  Ukurlah kemiringan bidang slopemeter dengan busur derajat. Besar sudut itu adalah kemiringan dipslope tereksagenerasi.

  Tentukan angka eksagenerasi (E) pengamat dengan rumus :

s : tinggi steroskop

e : jarak dasar mata pengamat

H : tinggi terbang pesawat

B : jarak dasar udara = b x penyebut skala foto

b : jarak dasar foto udara

  Tentukan dasar kemiringan dipslope dengan mengunakan slopeconversion chart.

2.      Pengukuran dipslope dengan rumus paralaks

Page 15: Modul Pengindraan Jauh

Rumus paralaks yang digunakan adalah :

  Ukurlah paralaks titik A(PA) dan paralaks titik B (PB)

  Hitung ΔP = PΔ - PB

  B = jarak focus lensa kamera udara (biasanya f = 153 mm )

  Tentukan jarak d dengan cara seperti pada Bab 5

  Dipslope = α dapat dihitung dengan rumus tersebut diatas

8.3. Peralatan Yang Digunakan

1.      Streoskop

2.      Foto udara

3.      Spidol OHP

4.      Penggaris

5.      Kertas mika

6.      selotip

BAB 9

PENGUKURAN LUAS

9.1. Dasar Teori

Luas bidang datar/rata dapat dihitung degan fotogrametri dengan beberapa metode (Sutanto, 1986) :

1.      Metode bujur sangkar

2.      Metode jaringan titik

3.      Metode strip

4.      Metode planimeter 4

Page 16: Modul Pengindraan Jauh

9.2. Tujuan Dan Metode

Luas bidang datar/rata dapat dihitung degan fotogrametri dengan beberapa metode (Sutanto, 1986) :

1.      Metode Bujur Sangkar

Mengukur luas dengan metode ini, dipakai bahan atau alat berupa jaringan bujur sangakar (kertas millimeter)

a.       Tutupilah foto udara dengan plastik bening

b.      Delineasilah daerah yang diukur luasnya

c.       Letakkan jaring bujur sangkar pada daerah yang diukur luasnya (gambar)

d.      Apabila kotak tidak dihitung

e.       Apabila kotak dihitung 1

f.       Untuk skala 1 : 50.000, 1 cm = 500 m

Satu kotak = 1 cm2 = ( 500 x 500 ) m2 = 250.000 m2

Jadi luas daerah yang diukur = 17 x 250.000 m2 = 425.10 m2

2.      Metode jaring tarik

kotak = 9 titik = 250.000 m2

Daerah A = 34 titik, B = 13 titik, C = 9 titik

Luas A = 34/9 x 250.000 m = 944444 m2

Luas B = 13/9 x 250.000 m = 361111 m2

Keterangan gambar

1.      Tracer arm (lengan penelusur)

2.      Pole arm (lengan kutub)

3.      Pole weight (pemberat)

Page 17: Modul Pengindraan Jauh

4.      Hand grip (pegangan penelusur)

5.      Tracing magnifier = tracing pin (lensa penelusur)

6.      Clamp screw (sekrup pengencang)

7.      Fine mavement screw (sekrup dengan gerakan halus)

8.      Tracer arm vermier (pengatur jarak lengan penelusur)

9.      Revoiution recording dial (lempeng/piringan pencatat putaran)

10.  Meansuring wheel (roda pengukur)

11.  Meansuring wheel vernier (nonius)

12.  Idler wheel

13.  Carriage (kontak tempat alat pengukur)

14.  Zero setting slider dar (alat pengatur agar pembacaan kembali nol)

3.      Metode Strip

Luas obyek = ( AB + CD + EF + GH ) AA’

AA’, BB’, CC’,.......... HH’ = Give and take lines

Jarak AA’, CC’,......... HH’ = Interval strip

4.      Metode Planimeter

Pengukuran luas dilakukan dengan alat planimeter ada dua macam yaitu mekanik (gambar 20) dan planimeter digital/electronic digitezr

(gambar 21)

a.       Planimeter mekanik

Perhatikan gambar 20

Page 18: Modul Pengindraan Jauh

Batang 1 dapat digerakkan kesegala arah dengan menggunakan roda. Alat ini menghitung luas obyek secara mekanik bila rodanya

digerakkan searah jarum jam sepanjang garis batas obyek yang diukur luasnya. Pada gerak yang berlawanan, alat ini tidak menghitung luas.

Hasil pengukuran x konstante yang disesuaikan dengan skala citra = luas obyek.

Pengukuran luas dengan alat ini dapat dilakukan dengan metode luar atau metode dalam.metode luar dilakukan bila daerah yang diukur

sempit. Planimeter diletakkan diluar garus pembatas bidang yang diukur. Metode dalam dilakukan bila daerah yang diukur luas. Planimeter

diletakkan dialam garis pembatas bidang yang diukur.

Luas daerah yang diukur dengan planimeter dapat diperoleh dangan rumus

A = [Pak Paw] x [m/n]2 x Unit area

A = Luas daerah yang diukur

Pak = Hasil pembacaan akhir

Paw = Hasil pembacaan awal

m = Penyebut skala foto udara

n = Penyebut skala planimeter

Pada beberapa jenis palnimeter, pembacaan awal dapat selalu dibuat 0 (nol)

b.      Planimeter Digital/Electronic Digitezr

Luas obyek dapat diukur dengan cepat dan cermat dengan planimeter digital/electronic digitezr. Pengukuran luas dilakukan dengan

menelusuri batas obyek yang diukur luasnya. Dengan secara terusa-menerus memberikan nilai koordinat x dan y tiap titik kepada sebuah

microprosesor, luas obyek pada citra dihitung dan dapat dibaca secara langsung. Microprosesor juga dapat digunakan untuk

mengkonversikannya ke luas di medan secara langsung dengan unit-unit luas yang dikehendaki ( Sutanto, 1986 ).

9.3. Peralatan Yang Digunakan

1.      Streoskop

2.      Foto udara

Page 19: Modul Pengindraan Jauh

3.      Spidol OHP

4.      Penggaris

5.      Kertas mika

6.      Selotip

BAB 10

PENUTUP

10.1. Kesimpulan

Citra penginderahan jauh merupakan citra suatu benda yang diperoleh dengan alat pencatat tanpa ada hubungan langsung dengan benda

tersebut penginderahan jauh ini, dapat biasanya pada foto udara. Foto udara merupakan foto hasil rekaman dari satelit maupun hasil dari

pesawat.

Dalam geologi citra penginderahan jauh dikenal dua faktor interpretasi yaitu :

a.      Unsur dasar pengenalan citra.

b.     Unsur dasar interpretasi geologi.