modul 2 sumber ajaran islam
DESCRIPTION
okedehTRANSCRIPT
SUMBER AJARAN ISLAM
A. Alqur’an
1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau
qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu).
Secara harfiyah, Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana
firman Allah dalam Q.S. 75:17-18.
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (17) apabila
Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu
(18) (Al-Qiyamah, 75: 17-18)
Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala
yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada
rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara
mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-
hukum yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi
(Al Quran itu) membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan
menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya,1 tidak ada
keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam
(Yunus, 10:37)
1 Maksudnya Al Quran itu menjelaskan secara terperinci hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al Quran itu
1
Al-Quran tersusun dalam 114 surat dengan 6.236 ayat, 74.437 kalimat, dan
325.345 huruf. Al-Quran diturunkan Allah dalam dua periode:
a. Periode Makkah, yakni selama 12 tahun 13 hari. Ayat-ayatnya disebut Ayat
Makiyah. Ayat pertama turun adalah Q.S. Al-’Alaq:1-5, ketika Nabi Muhammad
berkhalwat di Gua Hira tanggal 17 Ramadhan atau 6 Agustus 610 M yang dikenal
sebagai “Malam Qadar” (Lailatul Qadr).Ayat-ayat yang turun di Makkah disebut
“Ayat-Ayat Makiyah” dengan ciri khas: 1. ayatnya pendek-pendek 2. ditujukan
kepada umat manusia (diawali kalimat “Ya Ayuhan Naas”, Wahai Manusia), dan 3.
berisi hal-hal yang berhubungan dengan tauhid, keimanan, ancaman dan pahala, serta
sejarah bangsa-bangsa terdahulu.
b. Periode Madinah, ayat-ayatnya disebut Ayat Madaniyah. Di Madinah pula ayat
terakhir turun, yakni Q.S. 5:3, ketika Nabi Saw tengah menunaikan ibadah haji Wada
di Arafah (9 Dzulhijjah 10 H/Maret 632 M). Ayat-ayat yang turun di Madinah
disebut “Ayat-Ayat Madaniyah”, dengan ciri khas: 1. umumnya panjang-panjang,
2.ditujukan kepada kaum beriman (diawali dengan “Ya Ayuhal Ladzina Amanu”,
Wahai Orang-Orang Beriman), dan 3. berisi ajaran tentang hukum-hukum,
kemasyarakatan, kenegaraan, perang, hukum internasional, serta hukum antar-agama
dan lain-lain.
Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang
dilakukan para sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada
masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk
panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya, mushaf
Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushhaf Utsmany.
Al-Quran yang merupakan sumber utama ajaran Islam ini benar-benar
merupakan kebenaran sejati sebagai pedoman hidup (way of life) manusia. Melalui
Al-Quranlah Allah SWT menyatakan kehendak-Nya. Mengikuti tuntunan dan
tuntutan Al-Quran berarti mengikuti kehendak-Nya. Itulah sebabnya Allah sendiri
yang menjamin keaslian Al-Quran sejak pertamakali diturunkan. Makanya, hingga
kini apa yang ada dalam Al-Quran, itu pula yang diterima dan dicatat para sahabat
Nabi Saw. Hingga kini isinya masih dalam teks asli, tanpa sedikit pun perubahan,
baik dalam jumlah surat, ayat, bahkan huruf. Tidak tercampur di dalamnya ucapan
Nabi Muhammad Saw atau perkataan para sahabat. Allah berfirman:
2
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya2(Al-Hijr, 15:9)
Salah satu indikasi keaslian al-Quran adalah tidak adanya “Quran tandingan” karena
manusia yang paling cerdas sekaligus paling membenci al-Quran pun tidak akan
sanggup membuatnya. Allah SWT sendiri menantangnya.
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah3 satu surat
(saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar (23) Maka jika
kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat
membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang
kafir (24) (Al-Baqarah, 2: 23-24)
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian
mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (Al-Isra, 17:
88)
2. Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:
a. Tauhid, yaitu kepercayaan ke-esaan Allah SWT dan semua kepercayaan yang
berhubungan dengan-Nya
2 Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
3 Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.
3
b. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan
ajaran tauhid
c. Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau
mengamalkan isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari
d. Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat
Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang
mengingkari kebenaran Alquran agar dapat dijadikan pembelajaran.
3. Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
a. Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia
dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan.
Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut
Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
b. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan
manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta
manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam
Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
c. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal
manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk
sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
4. Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
a. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
b. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama
manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah
sebagai berikut:
Munakahat (hukum pernikahan).
faraidh (hukum waris).
jinayat (pidana).
Al-Ahwal al-Syakhshiyyah (hukum perdata)
hudud (hukuman).
4
Hukum jual-beli
Hukum tata Negara/kepemerintahan
Murafa’at (hukum acara).
dll
B. Al-Sunnah
As-Sunnah disebut juga Al-Hadits. Secara harfiyah (etimologis), Sunnah
berarti adat-istiadat (traditions). Secara maknawi (terminologis), Sunnah adalah
segala perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi Muhammad Saw. Penetapan
(taqrir) adalah persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku
sahabat.
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran
dan sabda Nabi Muhammad Saw.
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya (Al-Nisa, 4: 65)
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya (Al-
Hasyr, 59: 7)
��َة َّن ِه% َو�ُس""! اَب� الَّل""� �%َت"" %ِه%َم�ا ِك !ْم1 ِب 1َت ْك �َم�َّس� 8وا َم�ا َت �ِض%َّل �ْن1 َت 1ْن% ل ْي �َم1َر� !ْم1 َأ 1ُت! ِف%يْك ِك ��َر َت
Aِه% %ي �ِب َن
5
“Kutinggalkan untuk kaliam dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama-
lamanya, selama kalian berpegang kepada keduanya, yakni Kitabullah (Quran) dan
Sunnah Rasul-Nya”.
Sunnah merupakan “juru tafsir” sekaligus “juklak” (petunjuk pelaksanaan)
Al-Quran. Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang kewajiban shalat dan
berbicara tentang ruku’ dan sujud. Sunnah atau Hadits Rasulullah-lah yang
memberikan contoh langsung bagaimana shalat itu dijalankan, mulai takbiratul
ihram (bacaan “Allahu Akbar” sebagai pembuka shalat), doa iftitah, bacaan Al-
Fatihah, gerakan ruku, sujud, hingga bacaan tahiyat dan salam.
Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, ia melarang para sahabatnya
menuliskan apa yang dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar ucapan-ucapannya
tidak bercampur-baur dengan wahyu (Al-Quran). Karenanya, seluruh Hadits waktu
itu hanya berada dalam ingatan atau hapalan para sahabat.
Kodifikasi Hadits Rasulullah dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul
Aziz (100 H/718 M), lalu disempurnakan sistematikanya pada masa Khalifah Al-
Mansur (136 H/174 M). Para ulama waktu itu mulai menyusun kitab Hadits, di
antaranya Imam Malik di Madinah dengan kitabnya Al-Mutwatht, Imam Syafi’i
menulis Ikhtilaful Hadits.
Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan Musnad-nya yang berisi 40.000
Hadits. Ulama Hadits terkenal yang diakui kebenarannya hingga kini adalah Imam
Bukhari (194 H/256 M) dengan kitabnya Shahih al-Bukhari dan Imam Muslim (206
H/261 M) dengan kitabnya Shahih Muslim. Kedua kitab Hadits itu menjadi rujukan
utama umat Islam hingga kini. Imam Bukhari berhasil mengumpulkan sebanyak
600.000 hadits yang kemudian diseleksinya. Imam Muslim mengumpulkan 300.000
hadits yang kemudian diseleksinya.
Ulama Hadits lainnya yang terkenal adalah Imam Nasa’i yang menuangkan
koleksi haditsnya dalam Kitab Nasa’i, Imam Tirmidzi dalam Shahih Tirmidzi, Imam
Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu Majah dalam Kitab Ibnu Majah,
Imam Baihaqi dalam Sunan Baihaqi dan Syu’bul Imam, dan Imam Daruquthni dalam
Sunan Daruquthni.
C. Sumber-Sumber Ajaran Islam Sekunder
6
1. Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat.
Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi
Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu
perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat.
2. Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya.
Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk
membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok
masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat
23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak
diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai
memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3. Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya
yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima
untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum
suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut
aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada
saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah
(kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system
pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4. Mashalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum.
Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi
kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak
terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran.
Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5. Sadd al-Dzari’ah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan
menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi
makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan
meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk
tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai
orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
7
6. Istishhab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum
tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau
belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan
sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah
bila tidak berwudhu.
7. ‘Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli
menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya
tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara
penjual dan pembeli.
8