metodelogi dan bahasa perundang-undangan

29
METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN 2016 Bimbingan Teknis Penyusunan Peraturan Daerah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali Tahun Anggaran 2016 (31 Agustus – 2 September 2016) DENPASAR 31 AGUSTUS 2016 Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja

Upload: others

Post on 11-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODELOGI DAN BAHASA

PERUNDANG-UNDANGAN

2016

Bimbingan Teknis Penyusunan Peraturan Daerah

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali

Tahun Anggaran 2016 (31 Agustus – 2 September 2016)

DENPASAR 31 AGUSTUS 2016

Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja

Page 2: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

i

Kata PENGANTAR

Makalah berjudul “Metodelogi dan Bahasa Perundang-undangan” ini

disusun sebagai pelaksanaan Surat Tugas Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana tanggal 23 Agustus 2016, Nomor

2415/UN14.1.11.I/TU.00.00/2016, yang berisi penugasan sebagai Nara

Sumber unuk mengisi materi dalam kegiatan Bimbingan Teknik

Penyusunan Peraturan Daerah Tahun 2016.

Surat Tugas tersebut merupakan tanggapan atas surat dari Kepala

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali tanggal

12 Agustus 2016, No. W20.DL.04.02-5360, perihal: Permintaan Nara

Sumber Bimbingan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah Tahun 2016.

Materi yang diminta berjudul Metodelogi Perundang-undangan dan

Bahasa Perundang-undangan. Materi ini berisi dua hal yang berbeda

namun berkaitan. Makalah ini pertama-tama menemukan keterkaitan itu,

baru kemudian diuraikan Metodelogi Perundang-undangan, dan

berikutnya Bahasa Perundang-undangan.

Denpasar, 31 Agustus 2016

Gede Marhaendra Wija Atmaja

Page 3: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

ii

DAFTAR ISI

1. Latar Belakang ___ 1

2. Fokus Isu ___ 4

3. Metodelogi Perundang-undangan dalam Teori Legislasi ___ 4

4. Metode Pemecahan Masalah dan Teori ROCCIPI _____ 7

5. Metode Analisis Dampak Regulasi ____ 16

6. Bahasa Perundang-undangan ___ 23

7. Penutup ___ 28

Page 4: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

1

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) mengharuskan

Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD

disertai Naskah Akademik (Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011). Sedangkan untuk

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota

disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 56

ayat (2) dan Pasal 63 UU 12/2011).

Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum

dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut

dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,

atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap

permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat (Pasal 1 angka 11 UU 12/2011)

Makna dari ketentuan tersebut adalah penyusunan RUU dan Raperda

memerlukan penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya.

Penelitian tersebut dilakukan terhadap suatu masalah tertentu yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut

dalam suatu RUU atau Raperda sebagai solusi terhadap permasalahan dan

kebutuhan hukum masyarakat. Hasil penelitian ini dituangkan dalam Naskah

Akademik.

Intinya, penelitian dilakukan terhadap suatu masalah tertentu untuk

mendapatkan solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Oleh karena itu langkah awal yang dilakukan adalah mengenali masalahnya dan

kemudian menemukan masalah yang dihadapi berkenaan dengan materi muatan

yang hendak dibuatkan RUU atau Raperda serta bagaimana permasalahan

tersebut dapat diatasi.

LATAR BELAKANG 1

Page 5: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

2

Langkah-langkah itu sejalan dengan Metodelogi Pemecahan Masalah yang

dikemukakan oleh Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyeskere

(2002). Mereka mengemukakan perihal metodelogi perundang-undangan sebagai

acuan penelitian, yang disebutnya Metodelogi Pemecahan Masalah, secara garis

besar sebagai berikut:

1. Suatu laporan penelitian dari seorang pembuat rancangan harus

menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk menunjukkan bahwa

rancangan yang diusulkan bertumpu pada dasar pemikiran berdasarkan

pengalaman. Pemikiran berdasarkan pengalaman adalah pengembangan

cara-cara baru untuk melakukan hal-hal dengan melihat kembali fakta

yang ditampilkan oleh pengalaman.

2. Untuk maksud mengembangkan perundang-undangan supaya dapat

memecahkan masalah sosial, pemecahan masalah terdiri dari empat

langkah, yang masing-masing berdasarkan fakta-fakta yang terkait yang

dihubungkan dengan logika.

Langkah Pertama, mengenali permasalahan sosial atau perilaku

bermasalah.

Langkah Kedua, menemukan penjelasan atau penyebab perilaku

bermasalah..

Langkah Ketiga, menyusun solusi.

Langkah Keempat, Memantau dan Menilai Pelaksanaan.

Langkah Kedua, yakni menemukan penjelasan atau penyebab perilaku

bermasalah, dilakukan dengan menggunakan agenda ROCCIPI atau POKKIPI

yang merupakan akronim dari sejumlah kategori.

Peraturan (Rule)

Oportunitas/Kesempatan (Opportunity)

Kapasitas/Kemampuan (Capacity)

Komunikasi (Communication)

Interes/Kepentingan (Interest)

Proses (Process)

Page 6: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

3

Ideologi (Ideology)

Kategori “Peraturan” antara lain menyangkut susunan kata dari peraturan

tersebut, yang mungkin kurang jelas atau rancu, sehingga menimbulkan multi-

tafsir atau keliru menafsirkan peraturan. Ini menyangkut bahasa perundang-

undanan.

Kategori ”Komunikasi” juga dapat menyumbang pada problem bahasa

perundang-undangan. Komunikasi bermakna ketidaktahuan seorang pelaku peran

tentang undang-undang yang menyebakan dia berperilaku tidak sesuai dengan

peraturan. Ini dapat terjadi karena kegagalan perancang mengkomunikasikan atau

merumuskan tujuan kebijakan ke dalam pasal-pasal dengan rumusan yang tidak

jelas, yakni menggunakan pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang tidak

jelas dan tidak mudah dimengerti sehingga menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya (lihat juga Pasal 5 huruf f UU 12/2011 dan

penjelasannya).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penting mendiskusikan metodologi dan

bahasa perundang-undangan sebagai acuan dalam penelitian dalam rangka

penyusunan naskah akademik berikut konsep awal rancangan peraturan

perundang-undangan, khususnya RUU atau Raperda.

Isu pokok risalah ini tentang metodologi dan bahasa perundang-undangan,

sebagai acuan dalam penelitian dalam rangka penyusunan naskah akademik

berikut konsep awal rancangan peraturan perundang-undangan, yang dirinci

menjadi:

1. Bagaimanakah metodologi perundang-undangan dapat menjadi acuan

penelitian dalam rangka penyusunan naskah akademik berikut konsep

awal rancangan peraturan perundang-undangan?

FOKUS ISU 2

Page 7: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

4

2. Bagaimanakah bahasa perundang-undangan dapat menjadi acuan dalam

menulis konsep awal rancangan peraturan perundang-undangan?

Terdapat beberapa teori legislasi yang dapat diterapkan dalam perancangan

peraturan perundang-undangan, satu diantaranya adalah yang dirangkum oleh

J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, “Using legislative theory to improve law

and development project”.

J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt (2004, 2008) membahas teori

pembentukan agenda, teori ideologi elite, teori politik-biro, dan teori empat lapisan

rasionalitas. Menurutnya, teori-teori tersebut di atas kiranya dapat lebih

bermanfaat bagi konsultan para pembentuk legislasi jika dikonsolidasikan ke

dalam metodologi yang koheren dan komprehensif. Metodologi demikian sejatinya

merangkum dan meliputi kelima tahapan berikut:

Tabel Lima Tahapan Metodelogi Pembentukan Legislasi

TAHAPAN URAIAN

Tahap I Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada sebelum melakukan upaya memperbaiki atau menggantikannya.

Melakukan upaya untuk memahami terlebih dahulu apa dan bagaimana legislasi yang sudah ada bekerja dan menelaah apakah ketentuan-ketentuan di dalamnya konsisten, sejauh mana relevan dengan atau memajukan kepentingan kelompok target (addressat) dan terakhir menilai sejauh mana semua mekanisme legal yang terkait terjangkau oleh masyarakat umum.

Tahap II Pemajuan upaya memahami mengapa hukum efektif (atau justru tidak efektif) beranjak dari teori dampak sosial maupun pluralisme hukum, dsb .

Hendak menganjurkan diadaptasikannya model ini lebih lanjut untuk diselaraskan dengan studi-studi yang secara khusus menyasar lembaga-lembaga pembentuk legislasi dan relasi mereka dengan addressat dari peraturan tersebut.

Ini sejatinya dilakukan baik dalam konteks pembentukan legislasi maupun berkaitan dengan persoalan penaatan (compliance).

Tahap III Analisis dari permasalahan yang hendak ditata melalui perangkat legislasi.

Dalam hal ini dengan menggunakan metodologi penyelesaian masalah yang dikembangkan pasangan Seidman, kita harus

3 METODELOGI PERUNDANG-UDANGAN

DALAM TEORI LEGISLASI

Page 8: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

5

mengidentifikasi perilaku apa yang sebenarnya hendak diubah.

Ikhtiar ini terdiri dari empat langkah: Langkah 1: Identifikasi dari tingkat kesulitan yang dihadapi: karena legislasi hanya mungkin menyasar perilaku manusia, maka para pembentuk legislasi harus mampu mengidentifikasi perilaku apa yang memunculkan masalah sosial yang hendak ditata dan juga peran dari mereka (kelompok sasaran) yang perilakunya menimbulkan masalah. Langkah 2: Menganalisis dan mengajukan uraian menjelaskan mengapa dan bagaimana masalah sosial tertentu muncul; pembentuk legislasi harus secara sistematis memeriksa dan turut mempertimbangkan hipotesis alternatif perihal sebab musabab atau akar masalah dari perilaku sosial yang dianggap bermasalah. Langkah 3: Mengajukan usulan pemecahan masalah (solusi);

dengan dukungan bukti-bukti, pembentuk legislasi seyogianya merumuskan tindakan-tindakan legislatif apa yang sebaiknya dilakukan, termasuk mengajukan usulan rancangan peraturan baru. Dalam hal itu, mereka juga harus memperhitungkan biaya sosial-ekonomi yang potensial muncul dari tiap aturan yang dibuat, yaitu untuk dapat menentukan elemen mana yang harus dimasukkan atau justru dikesampingkan dalam perancangan aturan yang hendak diusulkan. Langkah 4: Pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi; terakhir para pembentuk legislasi seyogianya membangun suatu mekanisme pengawasan dan evaluasi implementasi ke dalam rancangan legislasi yang dibuat.

Tahap IV Analisis dari proses pembentukan legislasi beranjak dari teori-teori normatif perihal ‘pembentukan legislasi yang baik.

Pembentukan legislasi yang lebih partisipatoris seharusnya meningkatkan kadar demokratis dan legitimasi peraturan yang dihasilkan.

Pendekatan dari bawah (bottom-up approach) berkaitan dengan

pembentukan legislasi negara diprakarsai pada tingkat lokal, merupakan fenomena penting dan baru muncul di banyak negara berkembang.

Tahap V Suatu analisis terhadap kelayakan dari ikhtiar pembentukan legislasi dari sudut pandang teori-teori : pembuatan agenda, ideologi (kelompok) elite, politik-biro dan empat lapisan rasionalitas.

Penelahaan kritis terhadap pertanyaan apakah dan seberapa jauh transplantasi hukum justru merupakan solusi terbaik terhadap permasalahan sosial yang muncul.

Mensyaratkan adanya kemampuan dari konsultan asing untuk tidak saja kritis terhadap diri sendiri, juga untuk menyadari bahwa sejumlah teori yang dikembangkan di dunia Barat dilandaskan pada asumsi-asumsi mengenai dinamika masyarakat dan politik di negara-negara maju yang tidak mencerminkan realitas sosial di banyak negara berkembang.

Asumsi-asumsi demikian mencakup: bahwa dapat ditemukan konsensus tentang keniscayaan pembentukan legislasi yang partisipatoris dan demokratis;

Page 9: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

6

bahwa warga masyarakat memiliki kebebasan dan keberanian untuk secara terbuka turut serta dalam debat publik tentang apapun juga. bahwa pihak eksekutif yang memprakarsai dan memimpin proses pembentukan legislasi bertanggungjawab terhadap dewan perwakilan daerah yang pada gilirannya mengartikulasikan kepentingan dari masyarakat banyak; bahwa ada dan terjaga situasi dan kondisi politik yang relatif stabil yang memungkinkan terselenggaranya debat terbuka perihal elemen-elemen terpenting dari ideologi negara maupun kebijakan resmi negara, samping itu juga berfungsinya media yang efektif tetapi sekaligus cukup netral, untuk menyalurkan informasi pada masyarakat luas; dan bahwa tersedia cukup sumberdaya, personel dan anggaran yang memungkinkan proses pembentukan legislasi yang partisipatoris, dipersiapkan dengan baik oleh para pengambil kebijakan maupun pembentuk legislasi.

Sumber: disusun berdasarkan J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, “Using legislative theory to improve law and development project”

Metodelogi pembentukan legislasi dalam kelima tahapan tersebut dapat

dipadatkan sebagai berikut:

1. Tahap I: Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada sebelum

melakukan upaya memperbaiki atau menggantikannya.

2. Tahap II: Pemajuan upaya memahami mengapa hukum efektif (atau justru

tidak efektif).

3. Tahap III: Analisis dari permasalahan yang hendak ditata melalui

perangkat legislasi, dengan menggunakan Metode Pemecahan Masalah-

ROCCIPPI.

4. Tahap IV: Analisis dari proses pembentukan legislasi juga beranjak dari

teori-teori normatif perihal ‘pembentukan legislasi yang baik”.

5. Tahap V: Suatu analisis terhadap kelayakan dari ikhtiar pembentukan

legislasi yang mencerminkan realitas sosial masyarakat setempat.

Metode Pemecahan Masalah beserta Teorfi Legislasi ROCCIPI merupakan

salah satu tahapan dari Metodelogi Pdembentukan Legislasi yang dikemukakan

J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt.

Page 10: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

7

Metode Pemecaahan Masalah dan ROCCIPI, mendapat pembahasan

dalam teori legislasi yang dikemukakan oleh J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J.

Arnscheidt. Berikut dilakukan penguraian kembali teori legislasi dari Seidman

tersebut, terutama menyangkut teori legislasi ROCCIPI.

Inti dari Metodelogi Pemecahan Masalah dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan dengan langkah-langkah tersebut adalah dalam rangka

perubahan masyarakat yang demokratis yang berdasarkan pada asas-asas

kepemerintahan yang baik (good governance). Masing-masing langkah tersebut

adalah sebagai berikut:

Pertama, mengenali permasalahan sosial atau perilaku bermasalah,

melalui kriteria sebagai berikut:

1. Apakah masalah itu terjadi berulang-ulang?

2. Apakah masalah itu mempunyai dampak negatif?

3. Apakah masalah sosial itu dibentuk oleh perilaku majemuk (banyak

orang)?

Jika jawabannya ”ya“, maka masalah itu merupakan masalah sosial. Pihak-

pihak yang perilakunya terkait dengan masalah sosial adalah:

a. Pemeran (Role Occupant), yakni orang, kelompok, atau organisasi yang

perilakunya menimbulkan masalah.

b. Agen pelaksana (Implementing Agent), yang diberi kewenangan oleh

peraturan untuk memastikan pemeran berperilaku sesuai aturan.

Kedua, menemukan penjelasan atau penyebab perilaku bermasalah.

Dilakukan dengan menggunakan agenda ROCCIPI yang merupakan akronim dari

sejumlah kategori. Ini akan diuraikan dalam bagian berikutnya, khusus megenai

Teori ROCCIPI.

4 METODE PEMECAHAN MASALAH

DAN TEORI ROCCIPI

Page 11: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

8

Ketiga, menyusun solusi. Ada dua jenis solusi yakni untuk menghilangkan

perilaku bermasaalah dan memastikan efektivitas pelaksanaan. Untuk lebih

jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Solusi untuk menghilangkan perilaku bermasalah yang berisi tindakan-

tindakan langsung maupun tidak langsung yang bisa menghilangkan

perilaku bermasalah. Misalnya, Jika karena faktor peraturan, khususnya

pada ancaman sanksi maka ancaman sanksi itu yang perlu diperbaiki

atau jika perilaku bermasalah disebabkan kurangnya perilaku berperan

maka tindakannya adalah mengembangkan kemampuan.

2. Solusi memastikan efektivitas pelaksanaan peraturan. Langkah yang

dapat dilakukan adalah pertama, mempertimbangkan jenis-jenis

lembaga pelaksana peraturan seperti perusahaan negara, lembaga

administratif, lembaga penyelesaian sengketa atau lembaga swasta.

Langkah kedua, menyususun mekanisme tindakan untuk menghindari

tindakan seweng-wenang lembaga pelaksana peraturan. Ini dapat

dilakukan melalui dua cara:

a) menyusun proses pengambilan keputusan yang partisipatif dan

transparan dalam peraturan; dan

b) menyusun mekanisme pertanggungjawaban dan penyelesaian

sengketa.

Keempat, Memantau dan Menilai Pelaksanaan. Aktivitas yang dilakukan

pada langkah keempat adalah menyusun mekanisme pengawasan dan evaluasi

dalam rancangan untuk memastikan peraturan yang dirancang benar-benar

mempengaruhi tingkah laku dan menimbulkan dampak yang diinginkan.

Mekanisme itu mencakup (1) Klausula Matahari Terbenam; (2) Mengharuskan

pejabat memberikan laporan kepada atasan dan/atau legislatif; dan (3)

Mengharuskan pejabat pelaksana peraturan membentuk komisi yang akan

mengevaluasi pelaksanaan.

Page 12: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

9

TEORI ROCCIPI. Teori perundang-undangan yang yang dikembangkan Ann

Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere adalah untuk mendapatkan

masukan penjelasan tentang prilaku bermasalah yang membantu dalam

penyusunan undang-undang. Teori ini lebih dikenal dengan ROCCIPPI, yang

terdiri 7 kategori, yakni: Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity

(Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process

(Prosese), dan Ideology (Ideologi). Kategori-kategori ini dapat dipilah menjadi dua

kelompok factor penyebab, yakni factor obyektif (yang meliputi: Rule/Peratura),

Opportunity/Kesempata), Capacity/Kemampua), Communication/Komunikas), dan

Process/Prosese ) dan factor subyektif (yang meliputi: Interest/Kepentingan dan

Ideology/Ideologi). Penjelasan masing-masing factor tersebut adalah sebagai

berikut.

Pertama, factor-faktor subyektif, terdiri dari apa yang ada dalam benak para

pelaku peran: Kepentingan-kepentingan mereka dan “ideologi-ideologi (nilai-nilai

dan sikap)” mereka. Hal-hal ini merupakan apa yang semula diidentifikasikan

kebanyakan orang berdasarkan naluri sebagai “alasan” dari perilaku masyarakat.

Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kepentingan (atau insentif). Kategori ini mengacu pada pandangan

pelaku peran tentang akibat dan manfaat untuk mereka sendiri. Hal ini

termasuk bukan hanya insentif materiil tetapi juga insentif non-materiil,

seperti penghargaan dan acuam kelompok berkuasa. Fokus pada

penjelasan yang berkaitan dengan kepentingan umumnya

menghasilkan tindakan perundang-undangan yang menerapkan

tindakan motivasi ke arah kesesuaian yang bersifat langsung - hukuman

dan penghargaan - yang dirancang untuk mengubah kepentingan-

kepentingan tersebut.

2. Ideologi (nilai dan sikap). Ideologi merupakan kategori subjektif kedua

dari kemungkinan penyebab perilaku. Bila ditafsirkan secara luas,

kategori ini mencakup motivasi-motivasi subjektif dari perilaku yang

tidak dicakup dalam “kepentingan”. Motivasi tersebut termasuk semua

hal mulai dari nilai, sikap dan selera, hingga ke mitos dan asumsi-

Page 13: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

10

asumsi tentang dunia, kepercayaan keagamaan dan ideologi politik,

social dan ekonomi yang kurang lebih cukup jelas. Alvin Gouldner

memasukkan hal-hal tersebur dalam istilah: “asumsi-asumsi domain”.

Faktor-faktor subjektif − Kepentingan dan Ideologi − memang menawarkan

penjelasan secara parsial perilaku bermasalah. Akan tetapi, sesuai dengan

hakekatnya, penjelasan tersebut terfokus pada penyebab perilaku perorangan di

dalam struktur kelembagaan yang ada. Sebagai akibatnya, pemecahan

perundang-undangan dirancang untuk mengubah kepentingan dan ideologi

perorangan. Penyelesaian-penyelesaian perundang-undangan yang ditujukan

hanya pada penyebab-penyebab subjektif dari perilaku bermasalah tidak dapat

mengubah factor-faktor kelembagaan objektif yang dapat menyebabkan

bertahannya perilaku tersebut.

Kedua, factor-faktor obyektif. Berbeda dengan factor subjektif, kategori-

ketegori-kategori objektif ROCCIPI - Peraturan, Kesempatan, Kemampuan,

Komunikasi dan Proses memusatkan perhatian pada penyebab perilaku

kelembagaan yang menghambat pemerintahan yang bersih. Kategori ini harus

merangsang seorang penyusun rancangan undang-undang untuk

memformulasikan hipotesa penjelasan yang agak berbeda dan usulan

pemecahan. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Peraturan. Kebanyakan masalah yang mencapai tahap penyusunan

rancangan undang-undang tidak ada dengan tiba-tiba. Hampir selalu,

batang tubuh undang-undang yang layak mempengaruhi perilaku.

Orang berperilaku sedemikian rupa, bukan di hadapan satu peraturan,

tetapi di depan kesatuan kerangka undang-undang. Keberadaan

peraturan-peraturan tersebut dapat membantu menjelaskan perilaku

bermasalah dengan satu atau beberapa dari lima alasan berikut ini:

Susunan kata dari peraturan tersebut mungkin kurang jelas atau

rancu, sehingga sampai memberikan wewenang tentang apa yang

harus dilakukan;

Beberapa peraturan mungkin mengijinkan atau mengijinkan

perilaku yang bermasalah;

Page 14: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

11

Peraturan tersebut tidak menangani penyebab-penyebab dari

perilaku bermasalah.

Peraturan tersebut mungkin mengijinkan pelaksanaan yang tidak

transparan, tidak bertanggung jawab dan tidak partisipatif.

Peraturan tersebut mungkin memberikan kewenangan yang tidak

perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan

bagaimana mengubah perilaku bermasalah tersebut.

2. Kesempatan. Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju oleh

suatu undang-undang memungkinkan mereka untuk berperilaku

sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang tersebut? Atau,

sebaliknya, apakah lingkungan tersebut membuat perilaku yang sesuai

tidak mungkin terjadi? Misalnya, bila kebijakan pemerintah berpihak

pada peningkatan penanaman tanaman keras di tengah dominasi petani

tanaman pangan, apakah para petani tersebut memiliki akses masuk

menembus pasar tanaman keras? Apanila tidak, mereka akan

kekurangan kesempatan untuk menjual barang-barang mereka di pasar.

3. Kemampuan. Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan

berperilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada?

Berangkat dari situasi ini, maka kategori ini memfokuskan perhatian

pada ciri-ciri pelaku yang menyulitkan atau tidak memungkinkan mereka

berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang ada.

Misalnya, apabila petani tanaman pangan kekurangan kredit atau

keahlian teknis, kemungkinan mereka tidak memiliki kemampuan

menanam tanaman pangan.

4. Komunikasi. Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-

undang mungkin dapat menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak

sesuai. Apakah para pihak yang berwenang telah mengambil langkah-

langkah yang memadai untuk mengkomunikasikan peraturan-peraturan

yang ada kepada para pihak yang dituju? Tidak ada orang yang dengan

secara sadar mematuhi undang-undang bila dia mengetahui perintah.

Page 15: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

12

5. Proses. Menurut criteria dan prosedur apakah - dengan Proses yang

bagaimana - para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-

undang atau tidak? Biasanya, bila sekelompok pelaku peran terdiri dari

perorangan, kategori “Proses” menghasilkan beberapa hipotesa yang

berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang biasanya

memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak. Akan

tetapi, dalam hal organisasi yang kompleks (misalnya, sebuah

perusahaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serikat buruh, dan

khususnya instansi pelaksana pemerintah, Proses dapat saja

merupakan kategori ROCCIPI yang paling penting.

Kategori-kategori ROCCIPI tersebut mengandung pengertian sebagai

berikut:

1. Rule (Peraturan Perundang-undangan). Menganalisis seluruh

peraturan yang mengatur atau terkait dengan perilaku bermasalah, ini

dilakukan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang terkandung

pada peraturan yang sudah ada.

2. Oppurtunity (Peluang/Kesempatan). Menganalisis berbagai

kesempatan bagi timbulnya perilaku bermasalah.

3. Capacity (kemampuan). Mengalisis kemungkinan timbulnya perilaku

bermasalah karena faktor kemampuan.

4. Communication (Komunikasi). Perilaku bermasalah mungkin timbul

karena ketidaktahuan pemeran akan adanya peraturan. Ini juga harus

dianalisis dalam rangka menemukan sebab perilaku bermasalah.

5. Interest (Kepentingan). Kategori ini berguna untuk menjelaskan

pandangan pemeran tentang akibat dan manfaat dari setiap

perilakunya. Pandangan pemeran ini mungkin menjadi penyebab

perilaku bermasalah.

6. Process (Proses). Kategori proses juga merupakan penyebab perilaku

bermasalah. Ada empat proses utama, yakni: proses input, proses

konversi, proses output, dan proses umpan balik. Proses input

menyangkut siapa saja yang dimintai masukan. Proses konversi siapa

Page 16: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

13

saja yang menyaring dan mempertimbangkan masukan yang ada

untuk dijadikan dasar dalam mengambil keputusan. Proses output

menyangkut siapa dan dengan cara apa keputusan akan dikeluarkan.

Proses umpan balik menyangkut siapa saja yang dimintai umpan

balik.

7. Ideology (ideologi). Kategori ini menunjuk pada sekumpulan nilai yang

dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berpikir, dan bertindak.

Ketujuh agenda ROCCIPI bukan suatu urutan prioritas, namun hanya alat

bantu agar mudah mengingat. Tidak seluruh kategori harus terpenuhi. Bisa jadi

penyebab perilakunya hanya kategori ROCC, karena tidak ada penyebab dalam

kategori IPI. Kategori-kategori dalam ROCCIPI bisa jadi belum lengkap, karena itu

terbuka untuk ditambahkan dengan kategori baru (Rival Gulam Ahmad, dkk,

2007).

Berikut ini dikemukakan Skema Sampath yang memberikan pengertian

tentang cara menggunakan agenda ROCCIPI untuk mengindentifikasi penyebab

perilaku bermasalah dari pelaku peran yang secara logis mampu membantu

menyusun rincian tindakan-tindakan di dalam rancangan peraturan perundang-

undangan (Seidman, Ann; Robert B. Seidman; dan Nalin Abeyserkere, 2002).

Page 17: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

14

KOTAK : SKEMA SAMPATH : LANGKAH – LANGKAH MENGANALISA MASALAH SOSIAL UNTUK MENYUSUN RANCANGAN UNDANG – UNDANG YANG DAPAT DILAKSANAKAN SECARA EFEKTIF

Pelaku peran yang perilakunya merupakan masalah sosial

Sebab-sebab perilaku bermasalah

Pemecahan (tindakan-tindakan dalam rancangan uu yang secara logis diarahkan kepada sebab-sebab)

Rincian (tindakan-tindakan dalam rancangan uu)

Pelaku Peran #1

Peraturan……….> Kesempatan…….> Kemampuan……> Komunikasi…….> Kepentingan…....> Proses…………..> Ideologi………...>

<………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..>

} } } } } } }

Pelaku Peran #2

Peraturan……….> Kesempatan…….> Kemampuan……> Komunikasi…….> Kepentingan…....> Proses…………..> Ideologi………...>

<………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..>

RINCIAN TINDAKAN TINDAKAN DALAM RUU, DISUSUN MENJADI GARIS BESAR YANG SESUAI

Pelaku Peran #3

Peraturan……….> Kesempatan…….> Kemampuan……> Komunikasi…….> Kepentingan…....> Proses…………..> Ideologi………...>

<………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..>

} } } } } } }

Page 18: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

15

Untuk memperjelas penggunaan agenda ROCCIPI, dikemukakan contoh

kasus pembuangan limbah, sebagaimana tampak dalam kotak berikut:

KOTAK : MENGGUNAKAN ROCCIPI UNTUK MENYUSUN ANALISA MENGGAMBARKAN PENGGUNAAN BUKTI-BUKTI KUALITATIF UNTUK MEMBENARKAN TINDAKAN-TINDAKAN TERPERINCI SUATU RANCANGAN UNDANG-UNDANG. (Kasus para pengelola yang perusahaannya secara ilegal membuang limbah industri di sungai di dekatnya)

[KATEGORI]

[ROCCIPI]

Meng-

usulkan

[PENJELASAN]

[HIPOTESA]

Yang secara logis mengarah ke

[KEMUNGKINAN]

[PEMECAHAN]

Peraturan : Undang-undang melarang pembuangan limbah industri namun tidak mendirikan badan dengan pedoman yang jelas untuk memantau dan melaksanakannya.

Menyusun ulang undang-undang tentang badan pemantau dan pengumpul bukti lebih lanjut tentang biaya dan manfaat sosial dari undang-untersebut.

Kesempatan : Sebagian besar pengelola memiliki kesempatan untuk mematuhi atau tidak mematuhi sanksi.

Memastikan bahwa badan pelaksana memang memantau dan menghukum tanpa takut para pelanggar. dari undang-untersebut.

Kemampuan : Beberapa pengelola tidak mengetahui teknologi untuk membuang sampah dengan cara lain; dan perusahaan kekurangan dana untuk menggunakan teknologi tersebut apabila memang para pengelola mengetahuinya.

Badan pelaksana bertanggung jawab untuk memberitahukan kepada para pengelola, membantu perusahaan memperoleh kredit untuk teknologi.

Komunikasi : Beberapa pengelola tidak mengetahui

tentang undang-undang yang melarang membuang limbah di sungai.

Badan pelaksana harus memberitahukan kepada semua manajer tentang undang-undang baru.

Kepentingan : Para pengelola berusaha

memaksimalkan keuntungan perusahaan dimana mereka mendapat bagian;tidak memiliki kepentingan dengan air sungai bersih.

Dengan mengenakan denda, badan pelaksana mengurangi keuntungan mengubah kepentingan para pengelola.

Proses : Beberapa pengelola mengambil

keputusan tanpa berkonsultasi dengan siapapun untuk melanggar undang-undang;tidak memasukkan masukan dari masyarakat dan pekerja dalam proses pengambilan keputusan mereka

Undang-undang mengharuskan diadakannya sidang terbuka, dan laporan tertulis kepada masyarakat, pekerja dan pemberi kerja tentang kebijakan pembuangan limbah di masa yang akan datang. dari undang-untersebut.

Ideologi : Beberapa pengelola tidak percaya

bahwa pembuangan limbah akan bahaya mencemarkan sungai Bahaya pencemaran air.

Badan pelaksana menginformasikan kepada para pengelola, masyarakat tentang bahaya pencemaran.

Page 19: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

16

Kepustakaan dan praktik pembentukan legislasi juga mengenal metode

legislasi, diantaranya adalah Analisis Dampak Regulasi. Istilah aslinya adalah

Regulatory Impact Analysis dengan akronim RIA. Terjemahan lainnya adalah

Analisis Dampak Peraturan, Analisis Pengaruh Regulasi, dan Analisis Pengaruh

Peraturan.

Regulatory Impact Assessment (RIA) adalah sebuah metodologi untuk

meningkatkan mutu peraturan yang sudah ada dan peraturan baru. Metodologi

tersebut memberikan peluang bagi pengguna untuk memeriksa apakah peraturan

sudah sesuai dengan kriteria mutu yang dijabarkan dalam checklist yang

dikembangkan dan direkomendasikan oleh OECD. Melalui RIA akan ditinjau

peraturan yang ada dan mengubah prosedur yang birokratif menjadi prosedur

yang smart dengan merumuskan peraturan yang lebih baik sehingga dapat

menjadi daya tarik dalam hal investasi bagi sebuah daerah (KPOD 2013).

Tujuan RIA adalah terciptanya good regulatory governance – tata kelola

pemerintahan yang mengembangkan perumusan peraturan yang efektif,

berorientasi pasar, melindungi lingkungan dan kehidupan sosial. Prinsip-prinsip

RIA adalah:

1. Minimum Efective Regulation. Regulasi bibuat apabila benar-benar

diperlukan.

2. Competitive Neutrality. Netralitas terhadap persaingan dengan

menggunakan mekanisme pasar.

3. Transparancy & Participation. Transparan dengan pelibatan stakeholder

(Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002).

Secara lebih spesifik, metode RIA merupakan alat untuk mencapai standar

internasional untuk kebijakan berkualitas sebagaimana tercantum dalam OECD

checklist sebagai berikut (Emmy Suparmiatun 2011 dan Steve Parker dan

Usmanto Njo 2009):

5 METODE ANALISIS DAMPAK REGULASI

Page 20: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

17

1. Apakah masalah yang dihadapi sudah didefinisikan dengan benar?

2. Sudahkah tindakan pemerintah diupayakan?

3. Apakah PPu itu merupakan bentuk terbaik dari tindakan pemerintah?

4. Apakah ada landasan hukum untuk PPu?

5. Apa jenjang pemerintahan yang tepat untuk melakukan tindakan ini?

6. Apakah manfaatnya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan?

7. Apakah distribusi usaha di masyarakat transparan?

8. Apakah PPu tersebut jelas, dapat dipahami dan mudah diakses oleh

pemakai?

9. Apakah semua pihak yang berkepentingan telah diberi kesempatan untuk

menyampaikan pendapat/pandangan mereka? Bagaimana dapat

mencapai kepatuhan?

10. Bagaimana pelaksanaan regulasi tersebut?

Penerapan RIA sebagai sebuah metode yang bertujuan menilai secara

sistematis pengaruh negatif dan positif peraturan perundang-undangan yang

sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan, mengikuti langka-langkah

berikut (Emmy Suparmiatun 2011 dan Steve Parker dan Usmanto Njo 2009):

langkah uraian

Langkah 1: Perumusan masalah atau issue yang menimbulkan adanya kebutuhan untuk melakukan pengaturan.

Untuk menentukan suatu masalah, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:

Identifikasi wewenang hukum.

Pemahaman tentang susunan peraturan.

Konsultasi dengan stakeholder.

Uji definisi masalah yang dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa yang menyebabkan timbulnya masalah? Peristiwa apa yang memiliki andil sehingga imbul

masalah? Siapa yang harus menyelesaikan masalah? Apa motivasi memiliki pihak-pihak yang memiliki andil

sehingga timbul suatu masalah? Apa karakteristik utama lingkungan yang ikut andil dalam

timbulnya masalah? Bagaimana publik melihat masalah itu? Akankah definisi terhadap masalah bermanfaat bagi

regulator untuk dapat mengusulkan suatu regulasi.

Langkah 2: Penentuan tujuan atau sasaran dari pengaturan.

Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab untuk dapat mendefinisikan tujuan dengan mempengaruhi perilaku adalah:

Apakah orang-orang yang terlibat mengerti dan sepakat bahwa memang ada masalah?

Page 21: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

18

Apakah mereka mengerti dan mengetahui kontribusinya terhadap masalah?

Apakah mereka mengerti dan menerima tujuan pemerintah?

Apakah mereka mengerti dan menerima apa yang anda inginkan dari mereka?

Apakah mereka mampu berperilaku dengan cara tersebut?

Apakah ada faktor-faktor sosial dan psikologis yang terkait?

Langkah 3: Identifikasi berbagai alternatif tindakan (opsi) untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut

Beberapa pertanyaan yang bisa dij adikan landasan untuk mengembangkan alternatif tindakan tersebut, yaitu:

Pilihan-pilihan apa saja yang ada untuk menyelesaikan masalah?

Apakah tindakan Pemerintah benar-benar diperlukan atau ada cara lain untuk menyelesaikan masalah?

Apabila peraturan diperlukan, apa saja model pilihannya? Membuat baru atau merevisi atau do nothing? Peraturan level nasional atau lokal?

Dalam mengidentifikasi alternatif, mempertimbangkan apakah terdapat alternatif tindakan selain peraturan (non-regulatory; alternatif to regulation) yang dapat menyelesaikan masalah yang dituju. Yang dimaksud dengan alternatif non peraturan adalah alternatif tindakan yang tidak memerlukan kerangka peraturan perundang-undangan seperti UU, PP, dan Perda.

Langkah 4: Assessment atas manfaat dan biaya (keuntungan dan kerugian).

Checklist untuk tahapan analisis manfaat dan biaya:

Siapa yang diuntungkan dan dirugikan oleh masing-masing alternatif regulasi? (publik, swasta, pemerintah, produsen, konsumen, dan lain-lain)

Apa bentuk manfaat yang diterima dan biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak yang terkena pengaruh diterapkannya regulasi dan bagaimana masing-masing manfaat dan biaya tersebut dapat diukur?

Seberapa besarnya masing-masing manfaat dan biaya tersebut di atas dibandingkan dengan baseline yang digunakan? (ukuran kuantitatif atau kualitatif).

Dengan memperhitungkan seluruh manfaat dan biaya, baik yang dapat dikuantifi kasi ataupun tidak, apakah manfaat masing-masing alternatif melebihi biayanya atau sama atau sebaliknya?

Untuk semua alternatif yang layak (manfaat melebihi biaya) alternatif mana yang memiliki rasio manfaat biaya yang tertinggi?

Langkah 5: Konsultasi dengan para tenaga ahli, stakeholder dan publik.

Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan adalah:

Konsultasi ditujukan untuk mengumpulkan informasi, membangun kelompok yang memihak untuk menyetujui adanya regulasi, dan menyusun laporan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Konsultasi dapat dilaksanakan dalam bentuk beragam, informal maupun formal (dengar pendapat, komentar, dll).

Page 22: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

19

Harus direncanakan pada awal RIA.

Rencana konsultasi harus sudah mengenali pihak-pihak mana yang akan dilibatkan partisipasinya.

Prosesnya transparan, dialog berkesinambungan, pro aktif.

Langkah 6: Penentuan opsi terbaik (yang dipilih).

Pertimbangan dalam memilih (screening) alternatif.

Pertimbangan yang sering digunakan dalam screening alternatif adalah:

Legalitas: apakah pemerintah berhak secara legal untuk melakukan tindakan tersebut? legalitas ini mencakup legal menurut hukum domestik maupun internasional (misalnya perjanjian WTO).

Biaya (costs): berapa besar biaya yang harus dikeluarkan (terjadi) untuk melakukan tindakan tersebut? biaya ini mencakup biaya & kerugian yang ditanggung oleh pemerintah, konsumen, pelaku bisnis, dan UKM.

Dampak terhadap masyarakat: menyangkut seberapa besar pengaruh dari tindakan tersebut terhadap masyarakat. Pertimbangan dampak antara lain mencakup: (i) fairness & access for the poor: apakah masyarakat melihat tindakan tersebut cukup adil dan tidak menghalangi akses kaum miskin terhadap fasilitas dasar; (ii) instrusiveness: apakah regulasi terlalu mengganggu kegiatan masyarakat? (campur tangan pemerintah terlalu besar); (iii) faktor kesehatan, safety, dan lingkungan hidup: apakah tindakan tersebut terkait kesehatan, keselematan kerja, dan pelestarian lingkungan hidup; dan (iv) lingkup: apakah mempengaruhi sedikit atau banyak orang (penyebaran dampak).

Visibilitas dan kemungkinan mencapai sasaran: mengukur seberapa jauh tindakan tersebut dapat membantu pemerintah mencapai tujuan kebijakan.

Hambatan terhadap persaingan usaha yang sehat: mengukur seberapa besar alternatif tersebut mempengaruhi (menghambat) persaingan usaha.

Langkah 7: Perumusan strategi untuk menerapkan dan merevisi kebijakan (strategi implementasi)

Faktor-faktor yangharus dijadikan fokus perhatian dalam perumusan strategi implementasi adalah:

Mekanisme penerapan yang dapat digunakan untuk alternatif terpilih berdasarkan pada: Analisis kemungkinan alasan-alasan untuk

ketidakpatuhan; Review daftar berbagai kemungkinan mekanisme

penerapan untuk masing-masing alternatif regulasi maupun non-regulasi.

Efektivitas biaya masing-masing alternatif mekanisme penerapan yang didasarkan pada: Tingkat kepatuhan yang dapat diharapkan untuk masing-

masing alternatif mekanisme; Biaya yang harus ditanggung pemerintah untuk masing-

masing alternatif mekanisme; Biaya yang harus ditanggung dunia usaha dan konsumen

Page 23: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

20

untuk masing-masing mekanisme.

Beberapa jenis mekanisme yang dapat digunakan untuk mendorong kepatuhan antara lain: Peringatan secara lisan ataupun tertulis; Sanksi administratif; pengumuman kepada publik pihak-pihak yang tidak patuh; pembekuan atau pencabutan izin, dan sanksi pidana. Selain sanksi di atas, strategi untuk meningkatkan derajat kepatuhan harus juga mempertimbangkan kemungkinan penggunaan imbalan dan insentif untuk kepatuhan secara sukarela, seperti penyederhanaan terhadap perijinan bagi perusahaan yang mempunyai catatan baik dalam memenuhi berbagai ketentuan; dan pemberian penghargaan berdasarkan tingginya tingkat kepatuhan.

Langkah-langkah penerapan RIA tersebut dapat disederhanakan dalam

gambar berikut (Emmy Suparmiatun 2011 dan Steve Parker dan Usmanto Njo

2009):

Gambar: Tahapan Analisis Dampak Regulasi

Keseluruhan uraian mengenai RIA menegaskan, Analisis RIA merupakan

suatu metode evaluasi kebijakan publik dan pembuatan kebijakan publik yang

dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Analisis RIA dapat digunakan

sebagai metode dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan, baik

mulai dari perencanaan maupun persiapan, yang dapat didahului dengan

pembuatan naskah akademik.

PE

RU

MU

SA

N

MA

SA

LA

H

IDE

NT

IFIK

AS

I T

UJU

AN

ALT

ER

NA

TIF

TIN

DA

KA

N

AN

ALIS

IS

BIA

YA

& M

AN

FA

AT

PE

MIL

IHA

N

TIN

DA

KA

N

ST

RA

TE

GI

IMP

LE

ME

NTA

SI

KONSULTASI PUBLIK

Page 24: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

21

Pasal 5 UU 12/2011 menentukan, dalam membentuk Peraturan Perundang-

undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.

Asas kejelasan rumusan merupakan asas yang mendasari ragam bahasa

perundang-undangan. Penjelasan Pasal 5 huruf f UU 12/2011 menjelaskan:

Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

A. CORAK KHAS RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3) sebagaimana

dimuat dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memberikan

sejumlah ketentuan berkenaan dengan corak khas bahasa peraturan peundang-

undangan.

1. Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada

kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan

kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa

Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang

bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan,

BAHASA PERUNDANG-UDANGAN

6

Page 25: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

22

keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik

dalam perumusan maupun cara penulisan (TP3 No 242).

2. Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan antara lain: a. lugas dan

pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan; b. bercorak

hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai; c. objektif dan menekan

rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud);

d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan

secara konsisten; e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara

cermat; penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu

dirumuskan dalam bentuk tunggal (Contoh: buku-buku ditulis buku, dan

murid-murid ditulis murid); dan penulisan huruf awal dari kata, frasa atau

istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama

jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga

pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan

dan rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma

ditulis dengan huruf kapital.

Contoh:

- Pemerintah.

- Wajib Pajak.

- Rancangan Peraturan Pemerintah (TP3 No 243).

3. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan

digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.

Contoh:

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini,

harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Rumusan yang lebih baik:

(1) Permohonan beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Page 26: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

23

(TP3 No 244).

4. Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau

konteksnya dalam kalimat tidak jelas.

Contoh: Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas

dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol.

(TP3 No 245).

5. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan,

gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.

Contoh kalimat yang tidak baku:

Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut.

Contoh kalimat yang baku:

Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya.

(TP3 No 246).

B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH

Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3) sebagaimana

dimuat dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memberikan

sejumlah ketentuan berkenaan dengan pilihan kata atau istilah.

Pertama, penggunaan kata paling. Gunakan kata paling, untuk menyatakan

pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau

batasan waktu. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:

a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk menyatakan

jangka waktu.

b. waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk menyatakan

batas waktu.

c. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak.

d. jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi (TP3 No

255).

Page 27: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

24

Kedua, penggunaan kata kecuali. Untuk menyatakan makna tidak termasuk,

gunakan kata kecuali, dengan rincian:

a. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah

seluruh kalimat (TP3 No 257).

b. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang

akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan (TP3 No 258). Contoh:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Pasal 1 .... 38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut,

kecuali awak alat angkut.

Ketiga, penggunaan kata selain. Untuk menyatakan makna termasuk,

gunakan kata selain (TP3 No 259). Contoh: Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas

Pasal 77 (1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal

76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.

Keempat, penggunaan kata yang bermakna pengandaian atau kemungkinan,

dan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan, dengan rincian:

a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola

karena-maka).

b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang

mengandung waktu.

c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan,

keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi

(pola kemungkinan-maka) (TP3 No 260).

d. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti

akan terjadi di masa depan (TP3 No 261).

Page 28: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

25

Kelima, penggunaan kata yang bermakna kumulatif dan alternatif, dengan

rincian:

a. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan (TP3 No 262).

b. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau (TP3 No 263).

c. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa

dan/atau (TP3 No 264).

Keenam, penggunaan kata sebagai penanda operator norma, dengan rincian

sebagai berikut:

a. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak (TP3 No 265).

b. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau

lembaga gunakan kata berwenang (TP3 No 266).

c. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang

diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat (TP3 No

267).

d. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan,

gunakan kata wajib (TP3 No 268).

e. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,

gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang

bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat

seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut (TP3 No 269).

f. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang (TP3 No 270).

Metodelogi Perundang-undangan mengajarkan perihal langkah-langkah

sistematis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Terdapat

berbagai metodelogi perundang-undangan dalam Teori Legislasi. Tidak ada satu

pun metodelogi yang sempurna dan lengkap. Oleh karena itu perlu ada modifikasi

dan memadukan metodelogi perundang-undangan yang ada, dan menjadikan

rujukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

PENUTUP 7

Page 29: METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|

26

Perihal bahasa perundang-undangan, tercakup pula dalam metodelogi

perundang-undangan tersebut. Metode Pemecahan Masalah, merupakan salah

satu dari Metodelogi Perundang-undangan itu, mengajarkan tentang perlunya

memperhatikan faktor komunikasi. Faktor ini dapat dimaknai bukan saja

komunikasi dalam pengertian mengkomunikasikan peraturan perundang-

undangan yang telah dibentuk itu kepada kelompok masyarakat yang disasar dan

agen pelaksana, tapi juga bermakna perihal cara mengkomunikasikan gagasan

kebijakan ke dalam rumusan aturan hukum atau pasal dan ayat. Hal terakhir ini

memerlukan kemampuan menggnakan bahasa perundang-undangan.

Daftar Pustaka

Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyeskere, 2002, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, Jakarta: Proyek ELIPS Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Emmy Suparmiatun, 2011, Kajian Ringkas Pengembangan Dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) Di Kementerian PPN/BAPPENAS, Jakarta: Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS.

Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Pedoman Kaji Ulang Peraturan Indonesia, Balitbang Deperindag, Dinas Perindag Bali, PEG, USAID.

J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, 2004, “Using legislative theory to improve law and development project”, Jurnal RegelMaat afl. 2004/4.

J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, 2008, “Using legislative theory to improve law and development projects”, dalam J. Arnscheidt, B. Van Rooij, dan J. M. Otto, eds., Lawmaking for Development: Explorations into the Theory and Practice of International Legislative Projects, (Leiden: University Press).

KPPOD, 2013, Panduan Pembuatan Kebijakan (Perda Ramah Investasi), Jakarta: Ford Foundation dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Steve Parker dan Usmanto Njo, 2009, Memajukan Reformasi Perundang-undangan Di Indonesia Peluang dan Tantangan, Program Peningkatan Daya Saing SENADA.