metode penemuan hukum bayanita'liliistislahi

26
METODE PENEMUAN HUKUM (Bayani, Ta’lili dan Istislahi) Oleh : AL FITRI, S.Ag.,S.H 1 A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Konsep penemuan hukum merupakan teori hukum terbuka yang pada pokoknya bahwa suatu aturan yang telah dimuat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Al Quran dan Hadis serta hukum postif (baca ; undang-undang, qanun dan fiqh) dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna direlevasikan dengan fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan hukum, baik karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas. Persoalan hukum yang tidak jelas bunyi teks suatu undang-undang, maka dalam metode penemuan hukum dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode bayani, ta‟lii dan istislahi. Memperhatikan jenis-jenis metode penemuan hukum ataupun metode penerapan hukum dalam ilmu hukum Islam (istinbath al-hukm) dan penerapan hukum (tathbiq al- hukm), dalam hukum Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan metode penemuan hukum dan penerapan hukum yang digunakan oleh praktisi hukum umum. Demikian pula dengan metode yang diberlakukan dalam suatu negara menurut hukum Islam yang telah dikemukan oleh para Juris Islam (fuqaha‟) dan sangat mendasar metode yang mereka temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan metode seperti dengan metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang disebut Ushul 1 Panitera Pengganti dan Kaur Keuangan pada Pengadilan Agama Kotabumi dan saat sekarang Mahasiswa PPs IAIN Raden Intan bandarlampung, Prodi Ilmu Syariah, Konsentrasi Perdata Syariah, Angkatan 2007

Upload: amelia-askin

Post on 13-Jan-2016

49 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

METODE PENEMUAN HUKUM

(Bayani, Ta’lili dan Istislahi)

Oleh :

AL FITRI, S.Ag.,S.H 1

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Konsep penemuan hukum merupakan teori hukum terbuka yang pada pokoknya

bahwa suatu aturan yang telah dimuat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam

Al Quran dan Hadis serta hukum postif (baca ; undang-undang, qanun dan fiqh) dapat saja

dirubah maknanya, meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna direlevasikan dengan

fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan hukum, baik

karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas. Persoalan hukum

yang tidak jelas bunyi teks suatu undang-undang, maka dalam metode penemuan hukum

dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode bayani, ta‟lii dan istislahi.

Memperhatikan jenis-jenis metode penemuan hukum ataupun metode penerapan

hukum dalam ilmu hukum Islam (istinbath al-hukm) dan penerapan hukum (tathbiq al-

hukm), dalam hukum Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan metode penemuan

hukum dan penerapan hukum yang digunakan oleh praktisi hukum umum. Demikian pula

dengan metode yang diberlakukan dalam suatu negara menurut hukum Islam yang telah

dikemukan oleh para Juris Islam (fuqaha‟) dan sangat mendasar metode yang mereka

temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan metode

seperti dengan metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang disebut Ushul

1 Panitera Pengganti dan Kaur Keuangan pada Pengadilan Agama Kotabumi dan saat sekarang

Mahasiswa PPs IAIN Raden Intan bandarlampung, Prodi Ilmu Syariah, Konsentrasi Perdata Syariah,

Angkatan 2007

Page 2: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

1

Fiqh. Di dalam ilmu Ushul Fiqh dirumuskan metode memahami hukum Islam dan

memahami dalil-dalil hukum yang mana dengan dalil-dalil tersebut dibangun hukum Islam

yang ketentuan hukumnya sesuai dengan akal sehat (a reasionable assumption). Imam

Syafi‟i contohnya mempunyai jasa dan andil yang besar sebagai pendiri atau guru arsitek

Ushul Fiqh dalam kitabnya “Ar Risalah” yang tidak hanya karya pertamanya membahasa

Ushul Fiqh, tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli hukum dan para teorisasi yang muncul

kemudian.

Metode pengembangan hukum Islam yang telah diletakan oleh Imam Mujtahid

(Abu Hanifah 699-767 M, Malik bin Anas 714-795 M, Muhamad Idris Asy-Syafi‟i 767-

819 M, dan Ahmad bin Hanbal 780-855 M) dan dijadikan dasar pijakkan untuk

menemukan hukum dan penerapan hukum, maupun memberlakukan hukum dalam suatu

negara. Metode yang dijelaskan secara rinci dalam Ushul Fiqh menurut Tahir Muhmood

merupakan asas hukum di berbagai negara Islam dan di dalam pembaharuan hukumnya,

yaitu motode musawati mazhabib al-fiqh (equality of the schools of Islamic law) istihsan

(juristic equality), mashalih al-mursalah / istislahi (public interest), siyasah syari‟ah

(legislative equality) istidlal (juristic reasioning), taudi‟ (legislation), tadwin (codivication)

dan lain sebaginya.2

Dikaitkan dengan penemuan hukum dan penerapan hukum oleh Juris Islam

(fuqaha‟) setidak-tidaknya mendasarkan kepada beberapa motode, dintaranya motode

penemuan hukum bayani, ta‟lili dan istislahi, yang bermuara pada tolak ukur kemaslahatan

agar keadilan dan kebenaran dapat dikembangkan dari tiga motode tersebut yang tentunya

2 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History Teks and Comparative Analysis),

New Delhi For the Academi of law and Religion, 1987, hlm.13.

Page 3: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

2

tidak lepas dan kontradiksi denga garis hukum yang telah dietapkan dalam Al Quran dan

Hadis. Oleh karena itu di dalam upaya menemukan hukum dan penerapan hukum oleh para

pengali hukum Islam seyogianya bertitik tolak dari prinsip kemaslahatan dengan metode

yang telah disebutkan di atas.

Kajian hukum pada akhirnya membicarakan tujuan ditetapkannya hukum dalam

Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang Ushul Fiqh dan Filsafat Hukum Islm.

Dalam perkembangan berikutnya merupakan kajian utama dalam metode penemuan hukum

Islam. Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka

mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-

persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al Quran

dan Hadis. Oleh karenanya dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan

akan dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang

muncul, makalah ini akan mencoba menguraikan metode penemuan hukum bayani, ta‟lili

dan isislahi.

2. Permasalahan

Dari uraian yang telah penulis kemukakan di atas, untuk mendapatkan suatu

gambaran dan batasan, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini

adalah : Bagaimana bentuk penemuan hukum dengan metode bayani, ta‟lili dan istislahi ?

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Motode Penemuan Hukum Islam

Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motedo penemuan hukum dipakai dengan istilah

“istinbath”. Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini

Page 4: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

3

memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.3 Imam

Al-Ghazali dalam kitabnya “Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III dengan judul

“Thuruqul Istitsmar”. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul Fiqh maka passwar yang

paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat mengetahui dan

mempraktekkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari dalilnya.

Dengan demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu

cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik

dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan

kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.4 Ahli Ushul Fiqh menetapkan ketentuan bahwa untuk

mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar‟iyyah dan

kaidah lughawiyah.

a. Kaidah syar‟iyyah.

Yang dimaksud dengan kaidah syar‟iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara‟

dalam menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek hukum

(mukallaf).5 Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang

dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan hukum dan

sebaginya.

b. Kaidah lughawiyah.

Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya maupun

uslub-nya dapat diketahui, selanjutya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan

3 Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 2004,

hlm. 1 4 A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi

Revisi, Prebada Media, Jakarta, 2005, hlm.17. 5 Ibid.

Page 5: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

4

hukum.6 Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang

dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz

dan susunannya.

Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum

Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Usha memperoleh

ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-

dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil

Al Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa

hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang

menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.7

Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus

memahami bahasa dalil Al Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab. Tanpa memiliki

pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa tidak dapat dilakukan.

Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab merupakan hal yang

mutlak wajib dipelajari oleh seiap orang yang ingin berijtihad.8 Penemuan hukum

(rechtsvinding) pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang sangat luas

cakupannya. Ia dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu), ilmuwan / peneliti

hukum, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan pengacara / advokat), direktur

perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun.9

6 Ibid, hlm. 5.

7 Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Pres Yogyakarta, 1984,

hlm.32. 8 Ibid.

9 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks,

UII Pres, Yogyakata, 2004, hlm. 51

Page 6: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

5

Dalam makalah ini, penulis membatasi diri pada upaya penemuan hukum secara

penelitian hukum dari sudut kajian akademisi, yang kemamfaatannya dapat dirasakan oleh

semua kalangan khsusnya praktisi hukum Islam. Hal demikian dimaksudkan tidak semata-

mata menyangkut penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi

juga penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya sekaligus.10

2. Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili dan Istislahi

Metode Bayani.

Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode

penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni proses

mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (al-

fahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-talaqqi) dan

penyampaian makna (al-tablig).11

Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-

tidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang

bermakna „mengartikan‟, „menafsirkan‟ atau „menerjemah‟ dan juga bertindak sebagai

penafsir.12

Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi

ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang

maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu

proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih

10

Penemuan hukum itu selalu berkonotasi hukumnya sudah ada sehingga tinggal bagaimana cara

menerapkan dalam peristiwa konkrit. Sedangkan pembentukan hukum berkonotasi bahwa hukumnya belum

ada sehingga harus membentuk hukum yang dibutuhkan masyarakat itu sehingga jangan terjadi kekosongan

hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Sementara penciptaan hukum

berkonotasi hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap. 11

Jazim Hamidi, Op.,Cit, hlm. 23. 12

Ibid, hlm. 20

Page 7: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

6

jelas / konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari

pekerjaan seorang penafsir / muffasir.

Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama

dikenal dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah “ilmu tafsir” (ilm ta‟wil

dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir mengalami

kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan

istilah „ilmu tafisr‟ ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi “hermeneutika Al Quran”

sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam

kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adaah “tafsir”. Kata tafsir berasal dari

bahasa Arab ; fassara atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian

eksegesisi (penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang. 13

Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta‟wil (al-ta‟wil) sering kali

disinonimkan pengertiannya ke dalam „penafsiran‟ atau „penjelasan‟. Al-Tafisr berkaitan

dengan interprestasi eksternal (exoteric exegese), sedangkan al-ta‟wil lebih merupakan

isnterprestasi dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan

penafsiran metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu upaya untuk

menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui mediator, sedangkan

ta‟wil kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika kembali kepada sumber

menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, maka makna sampai ke tujuan

adalah gerak dinamis.

13

Ibid, hlm. 22.

Page 8: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

7

Hermeneutika14

yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni

menginprestasikan (the art pf interprestation) „teks‟ atau memahami sesuatu dalam

pengertian memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan.dan kapasitasnya

menjadi objek yang ditafsirkan. Kata sesuatu / teks di sini bisa berupa : teks hukum,

peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat

ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin).15

Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan

antara teks, konteks dan kontekstualisasi.

Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan

hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang

memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini

dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme

para yuris positif yang elitis16

tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau

behavioralis yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata

berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma

positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya

menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan / atau para

pencari keadilan.

Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus :

Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum

14

Sebagaimana yang pernah diambil oleh Nabi Idris esiensinya adalal sebuah ilmu atau seni

menginterprestasikan (the art of interprestasi) teks. ketika penafsiran wahyu Tuhan / bahasa langit, sehingga

di[ahami oleh makhluk di bumi. (Ibid, hlm 21) 15

Ibid, hlm. 45. 16

Di mana pada lalu telah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang berwenang akademisi dan

professional untuk menginterprestasikan dan membberikan makna kepada hokum.

Page 9: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

8

atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan isi

(kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan

semangat hukum.

Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori

penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral

hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah

dan fakta-fakta.

Di bawah ini dapat kita lihat bagaimana proses penemuan hukum, yang dilakukan

oleh ahli hukum dengan pendekatan metode bayani :

1. Penemuan hukum bayani oleh qadhi (hakim) :

Sebelum mengambil putusan (ex ante) disebut “heuristika” yaitu proses mencari dan

berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini

berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara

yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Dan tahap

sesudah pengambilan putusan (ex post) disebut “legitimasi” yang berkenan dengan

pembenaran dari putusan yang sudah dimbil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi

(pertimbangan) dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu

penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suatu putusan

hukum tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak

memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan,

dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakini forum hukum tersebut

agar putusan dapat diterima.

Page 10: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

9

Disnilah pentingnya penemuan hukum bayani oleh hakim pada saat menemukan

hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya penerapan undang-

undang dan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus

pencipta hukum dan pembentuk hukum

2. Penemuan hukum bayani oleh badan legislasi.

Metode penemuan hukum ini mempunyai peran penting bagi para pembuat undang-

undang dan peraturan kebijakan, sebab pembuatan hukum yang dimulai dari

perencanaan, perancangan pembahasan, putusan, sampai dengan sosialisasi hukum itu

sarat dengan pekerjaan interprestasi atau pemahaman hukum. Interperstasi itulah

meruapakan ruh dari metode bayani.

3. Ilmuwan hukum / Fuqahak.

Ilmuwan / fuqahak berperan dalam memberikan anotasi (pandangan dan penilaian

hukum) atas suatu pristiwa hukum di masyarakat sehingga meningkatkan bobot dan

kualitas hukum.

Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan ke dalam

sebelas macam yaitu :

1. Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa).

Penafsiran kata-kata dalam teks hukum sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata

bahasa. Dengan mencoba menangkap arti sesuatu teks / peraturan menurut bunyi kata-

katanya dari hasil interprestasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya, sebuah kata

dapat mempunyai berbagai arti, dalam bahasa fiqh dikenal dengan kata-kata

„musytarak‟

2. Interprestasi historis.

Page 11: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

10

Setiap ketentuan hukum mempunyai sejarahnya sendiri, oleh karenaya harus

menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran hukum itu dirumuskan. Dalam

konteks ini dapat dilakukan dua bentuk, yaitu pertama, mencari maksud dari aturan

hukum pembuat undang-undang (syari‟) sehinggga kehendak pembuat hukum sangat

menentukan. Kedua, sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya

(rechthistorisch) adalah metode interprestasi yang ingin memahami undang-undang

dalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khusunya yang tekait dengan kelembagaan

hukumnya. Maka dalam konteks sejarah Hukum Islam timbulnya hukum dalam

penafsiran hukum Islam dapat dilihat dari asbabunul ayat atau asbabul wurud hadist.

3. Interprestasi sistematis.

Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari keseluruhan sistem,

artinya aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu difahami dalam kaitannya dengan

jenis peraturan yang lainnya, seperti penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis,

hadis dengan ayat, hadis dengan hadis.

4. Interprestasi sosiologis atau teologis.

Secara sosiologis / teologis apabila makna peraturan / ayat dietapkan berdasarkan

tujuan kemaslahatan. Dalam interprestasi ini dapat menyelesaikan adanya perbedaan

atau kesenjangan antara sifat positif hukum (rechtpositiviteit) dengan kenyataan hukum

(rechtwerkejkheid) sehingga interprestasi sosialogis dan teologis sangat penting.

Sebagai contoh penerapan hukum yang diterapkan oleh Umar bin Khathab tidak potong

tangan bagi pencuri, postif hukum setiap pencuri potong tangan, namun kenyataan

hukum tidak dilaksanakan karena situasi keadaan masyarakat.

5. Interprestasi komparatif.

Page 12: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

11

Dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina)

berbagai sistem hukum baik dalam suat negara Islam ataupun membandingkan

pendapat-pendapat imam mazhab.

6. Interperstasi futuristik.

Disebut juga metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasan

ketentuan hukum dengan berpedoman pada aturan yang belum mempunyai kekuatan

hukum., karena peraturannya masih dalam rancangan.

7. Interperstasi restriktif.

Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata “tetangga” dalam

fiqh mu‟amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari perkarangan

di sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini

berarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi restriktif.

8. Interprestasi ekstensif.

Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil interprestasi

gramatikal, seperti perkataan al-ba‟i dalam fiqh mu‟amalah oleh qadhi boleh di

tafisrkan secara luas yaitu tidak saja jual beli termasuk segala peralihan hak.

9. Interprestasi otentik atau secara resmi.

Dalam jenis interprestasi ini, qadhi tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan

cara lain selaian dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang

itu sendiri.

10. Interperstasi interdisipliner.

Bisa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmu

hukum, di sini dipergunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.

Page 13: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

12

Sebagai contoh, interprestasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi” hakim

dapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum

pidana, administrasi negara dan perdata.

11. Interprestasi multidisipliner.

Seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar

ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari

lain-lain disiplin ilmu.

Metode Ta’lili

Sebelumnya penulis akan menguraikan sekitar masalah „illat. Ulama Ushul Fiqh

membicarakan masalah „illah ketika membahas qiyas (analogy). „Illah merupakan rukun

qiyas dan qiyas tidak dapat dilakukan bila tidak dapat ditentukan „illahnya. Setiap hukum

ada „illah yang melatarbelakanginya. „Illat sebagian ulama mendefenisikan sebagai suatu

sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum. Defenisi lain dikemukakan oleh

sebagaian ulama Ushul Fiqh : „Illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar

dalam penetapan hukum.17

Orang yag mengakui adanya „illat dalam nash, berarti ia

mengakui adanya qiyas.

Para ulama Ushul Fiqh memandang masalah „illat menjadi 3 golongan :18

a. Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum pasti

memiliki „illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah „illat hukum itu sendiri, hingga

ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.

17

Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus, by. Saefullah Ma‟shum, Jakarta,

2000, hlm.364. 18

Ibid.,hlm. 365.

Page 14: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

13

b. Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber‟illat, kecuali

ada dalil yang menentukan adanya „illat.

c. Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap

tidak adanya „illat hukum.

Dengan semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan

meningkatnya tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam. Maka banyak

ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatarbelakanginya, jiwa itu

tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu, ketentuan hukum yang

disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Yang dimaksud dengan jiwa yang

melatarbelakangi sesuatu ketentuan hukuim ialah „illat hukum atau kausa hukum. 19

Selama

„illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika „illat hukum tidak

tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu Hukum Islam, para

fukahak melahirkan kaidah fiqh yang mengatakan :

“Hukum itu berkisar bersama „illatnya, baik ada atau tidak adanya.

20

Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan denga „illat (kausa)

yang melatarbelakanginya ; jika „illat ada, hukum pun ada, jika „illat tidak ada, hukum pun

tidak ada. Menentukan sesuatu sebagi „illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh

karenanya, memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan

untuk dapat menunjuk „illat hukum secara tepat.

19

Ahmad Azhar Basyi, Op..Cit.,hlm.20. 20

Ibid., hlm. 22.

Page 15: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

14

Mengenai adanya kaitan antara „illat dan hukum, para fuqaha mazhab Zahiri tidak

dapat menerimanya sebab yang sesunguhnya mengetahui „illat hukum hanyalah Allah dan

Rasul-Nya. Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada

ketentuan hukum nash menurut apa adanya.21

Menetapkan adanya kaitan hukum dengan

„illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa

yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan „illat hukum

peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam nash. Dengan mengetahui „illat

hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi dapat dilakukan qiyas atau analogi terhadap

peristiwa yang terkadi kemudian.

„Illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum dalam

kasus baru sangat bergantung pada ada atau tidak adanya „illat pada kasus tersebut.

Sehingga „illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara

obyektif (zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan

sesuai dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum.

Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dalam

wujud kemaslahatan bagi manusia. „Illat merupakan “tujuan yang dekat” dan dapat

dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmat merupakan “tujuan yang jauh” dan

tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum.

Sedangkan menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan „illat

adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan dengan

ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau tidak,

21

Ibid.

Page 16: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

15

mundhabith atau tidak. 22

Jadi baginya „illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan

mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan

berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan „illat. Sebenarnya hikmat dengan „illat mempunyai

hubungan yang erat dalam rangka penemuan hukum.23

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa dalam qiyas penemuan „illat

dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari

sinilah dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara metode qiyas dengan maqashid al-

syari‟at Dalam pencarian „illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat

menjadi „illat adalah bahwa shifat tersebut munusabat, yakni sesuai dengan maslahat yang

diduga sebagai tujuan disyariatkan hukum itu. Maslahat dalam „illat menjadi maslahat

daruriyat, hajiyyat, dan takmiliyyat, dan dari sinilah muncul pengembangan prinsip dan

teori maqashid al-syariat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang

menjadi tujuan utama disyariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam

menetapkan hukum melalui jalur qiyas.

„Illat adalah hal yang oleh syari‟ (pembuat aturan) dijadikan tempat bersandar,

tempat bergantung atau petunjuk adanya ketentuan hukum. „Illat pada pokoknya dapat

dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber pengambilannnya, yaitu „illat diperoleh dengan

dalil naqli, nas yang diperoleh dengan ijma‟ dan „illat yang diperoleh dengan jalan istinbath

(pemahaman kepada nash).24

„Illat yang diperoleh dengan dalil naqli dibagi lagi menjadi

tiga macam, yaitu yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam nash yang disebut sharih,

22

Al-Syatibi, Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt, hlm. 185. 23

Contoh, dalam bidang ibadah (shalat qashar), boleh atau tidaknya, maka ditetapkan kebolehannya

itu „illatnya karena safr, sedangkan musyaqatnya merupakan hikmat 24

Ibid., hlm. 24.

Page 17: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

16

yang diperoleh hanya dengan isyarat, yang disebut ima, dan yang diperoleh dari adanya

petunjuk sebab.25

„Illat yang diperoleh dengan jalan istinbath merupakan hal yang amat pelik. Untuk

menentukan „illat dengan jalan istinbath diperlukan ketajaman pemikiran. Sifat pemikiran

kefilsafatan dalam menentukan „illat dengan jalan istinbath ini amat nyata. Untuk

menentukan „illat dengan jalan istinbath ditempuh dua macam cara, yaitu :

1. Jika di dalam sesuatu ketentuan hukum terdapat beberapa hal yang dirasakan sesuai

benar sebagai „illat hukum, untuk menentukan mana di antara hal itu yang benar-benar

sebagi „illat dilakukan taqsim dan sabr. Taqsim ialah membatasi hal yang dirasakan

sesuai sebagai „illat hukum, dan sabr adalah meneliti hal yang telah dibatasi dan

dirasakan sesuai sebagi „illat hukum itu sehingga dapat diketahui mana yang harus

disisihkan sebagai „illat dan mana yan harus diamblil atau ditetapkan. Cara ini

merupakan peluang amat luas untuk berijtihad dan amat memungkinkan terjadi

perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid.

2. Menetapkan kesesuaian „illat bagi sesuatu ketentuan hukum dengan mengkaji „illat

yang sesuai dengan hukum, kemudian menetapkan berlakunya „illat itu terhadap hukum

bersangkutan. „Illat yang sesuai dengan ketentuan hukum itu disebut al-„illah al-

munasibah.26

Al-„illah al-munasibah ada empat macam, yaitu : „illat muatstsirah

(membekas), „illat mula-imah (sejalan), „illat gharibah (asing) dan „illat mursalah

(lepas, bebas).27

, di bawah ini akan dibahas tentang empat „illat itu :

a. al-„illah al-munasab.

25

Muhammad Makruf ad-Dawaalibi, Al Madkhal Ilaa „Im Ushuul al-Faqh, 1959, hlm. 417. 26

Ali Hasbullah, Ushul at-Tasyrii‟ al-Islami, 1964, hlm. 131. 27

Ahmad Azhar Basyi, Op..Cit., hlm. 28-31.

Page 18: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

17

„Illat yang secara jelas dapat diperoleh dari nash atau „ijma‟ dan diketahui membekas

pengaruhnya terhadap ketentuan hukum. Misalnya perwalian yang ditetapkan atas

anak di bawah umur, yang dipandang „illatnya adalah keadaan di bawah umur.

b. „illat mula-imah.

„Illat yang diperoleh dari nash, tetapi agak jelas membekas pengarunya terhadap hukum

karena nash yang mengandung hukum memang tidak memberikan kejelasan mengenai

„illatnya. Namun „illat itu dapat dipeoleh dari sejumlah nash lain mengenai masalah

yang sejenis yang dapat dipandang ada kesejalananya untuk dijadikan „illat hukum yang

bersangkutan.

c. „illat gharibah

„Illat yang diperoleh dari nash, tetapi tidak jelas bahwa „illat itu membekas

pengaruhnya terhadap hukum dan tidak ketahui dengan jelas kesejalanannya dengan

hukum bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang bersangkutan dari nash lain

mengenai masalah yang sejenis. Namun „illat yang diperoleh dari nash itu sendiri

dipandang sesuai dengan hukum yang diakandungnya.

d.„illat mursalah

„Illat yang tidak terdapat pendukungnya dari nash, tetapi dapat diketahui dari jiwa

ajaran Islam pada umumnya. „Illat macam inilah yang merupakan hal yang amat pelik.

Untuk menetapkannya diperlukan ketajaman pandangan dan keluasan cakrawala

pemikiran tentang tujuan dan rahasia hukum Islam khususnya dan ajaran Islam

umumnya.

Oleh karenanya „illah adalah sifat yang jelas dan ada tolak ukurnya, yang di

dalamnya terbukti adanya hikmah pada kebanyakan keadaan. Maka „illah ditetapkan sebagi

Page 19: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

18

bertanda (madzinnah) yang dapat ditegaskan dengan jelas bagi adanya hikmah.28

Hikmah

itu bersifat implisit di dalam „illah dan tidak terpisah dengannya, karena hikmah tidak ada

jika „illah tidak ada. Di samping itu, „illah adalah dasar perbuatan. Jika „illah ada tanpa

adanya hikmah, maka „illah tidak dapat dianggap berasal dari hukum.

Jika „illah itu jelas, tidak ada kesulitan, namun apabila „illah itu tidak jelas, para ahli

Ushul Fiqh berbeda pendapat. Ada yang mengambil jalan takwil dan mencoba menggali

„illah berkenaan dengan kata-kata nash yang implisit. Sedangkan yang lainnya mengambil

metode interprestasi nash sesuai dengan akal berkenaaan dengan kepentingan masyarakat

(social utility). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa „illah merupakan “sebab” atau

“tujuan” ditetapkan hukum. Adakalanya langsung disebut dalam nash (manshushah) dan

adakalanya tidak (muntanbathah).29

Metode Istislahi

Sebagaimana halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat al-mursalah juga

merupakan metode penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam Al

Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara

langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam

maslahat, yakni maslahat mu‟tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat. Maslahat

yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran

maupun dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan

ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua

maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak

28

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997, hlm.4. 29

Ibid.

Page 20: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

19

ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.30

Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah

adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan

hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat al-

mursalat.31

Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat.

Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat.

Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut :32

a. Maslahat tersebut bersifat reasonable (ma‟qul) dan relevan (munasib) dengan kasus

hukum yang ditetapkan.

b. Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan

kesulitan (raf‟u al-haraj), dengan cara menghilangkan masyaqqat dan madharrat.

c. Maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyari‟atkan hukum (maqashid al-

syari‟at) dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟ yang qahti‟.

Sementara itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat

dijadikan sebagai penemuan hukum.33

1. Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyat. Artinya bahwa untuk

menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan

sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas

tersebut.

30

Dalamm kajian ilmu Ushul Fiqh “al-maslahat al-mursalah” adalah suatu kemaslahatan yang tidak

ditetapkan oleh al-Syari‟ sebagai dasar penetapan hukum, tidak pula ada dalil syar‟i yang menyatakan

keberadaannya atau keharusan meninggalkannya. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al-

A‟la al-Indonesi li al-Da‟wat al-Islamiyyyat, Jakarta, 1972, hlm. 84. 31

Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi‟ah, Adillat al-Tasyri‟ al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj

Biha, Mu‟assasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979. M, hlm. 221. 32

Dalam karangan al-Syathibi, al-I‟Tisham, yang suting oleh Fathurrahman Djamil, Op.Cit, hlm. 142 33

Al-Ghazali, al-Mustahasfa min „Ilmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid al-Husein, Kairo, tt, hlm. 364-367.

Page 21: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

20

2. Kemaslahatan itu bersifat qath‟i, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut bena-

benar telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhan) semata-

mata.

3. Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum

dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka

syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid al-

syari‟at.

Berdasarkan ungkapan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara metode

penemuan hukum istislahi sangat erat kaitaannya dengan maslahat. Sebagaimana yang

diungkpkan oleh Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan

disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan segala bentuk kesulitan.

Bentuk penemuan hukum berdasarkan istislahi suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai

dasar, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada

ketentuan syari‟at dan tidak ada „illat yang keluar dari syara‟ yang menentukan kejelasan

hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara‟,

yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan

suatu mamfaat, maka kejadian tersebut dinamakan istislahi.

Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahat yang ditunjukan oleh

khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu

bagian tujuan syara‟. Proses seperti itu disebut istislah (menggali dan menetapkan suatu

masalah).34

Walaupun para ulama berbeda dalam memandang metode ini, hakikatnya

34

Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, Cet. 1, Pustaka Setia, Bandung, 1999.hlm. 117.

Page 22: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

21

adalah satu, yaitu setiap mamfaat yang di dalamnya terdapat tujuan secara umum, namun

tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.

Sedangkan menurut Al Ghazali istislahi menurut pandangannya adalah suatu

metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara‟ yang tidak merupakan dalil tambahan

terhadap nash syara‟, tetapi ia tidak keluar dari nash syara‟. Menurut pandangannya, ia

merupakan hujjah qathi‟iyyat selama mengandung arti pemeliharaan maskud syara‟,

walaupun dalam penetapannya zhani. 35

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi

itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran

maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu

i‟tibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma‟ atau qiyas yang

berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti

pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah

ketiga. Hal iu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat

yang sejalan dengan kehendak syara‟ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan

umat tentang Al Quran.36

Dari uraian di atas jelaslah bahwa istislahi merupakan cara penemuan hukum yang

berdiri sendiri, yang beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, „urf dan kaidah raf al-

harj wa al-masyaqqat.

-+

35 Al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 310.

36 Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi‟ah, Op. Cit., hlm. 222.

Page 23: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

22

C. ANALISA

Konsep penemuan hukum oleh Juris Islam terutama dipelopori aliran system hokum

terbuka, yang pada pokoknya bahwa suatu peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya,

meskipun tidak diubah kata-katanya guna direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang

ada. Keterbukaan sistem hukum Islam karena dalam rangka mencapai kemaslahatan. Jika

dalam suatu aturan hukum belum ada dan atau hukum masih bersifat normatif yang belum

jelas maknanya, maka metode penemuan hukum dilakukan dengan metode bayani

(penafsiran), metode ini ternyata menentukan arti kata-kata terhadap sebuah teks dengan

tetap berpegang pada bunyi teks.

Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum Islam karena

memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam menjawab berbagai problema yang

timbul dalam masyarakat. Tidak heran teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari

fuqahak karena ilmu pengetahuan hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu

lainnya. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru

persoalan fiqh merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fiqh ibadah

dan mu‟amalahnya.

Penerapan sebuah hukum harus didahului dengan aktifitas penemuan hokum yang

lazim diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh para penegak hukum dan fuqahak

dalam proses menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Penemuan hukum

merupakan upaya bahwa seakan-akan hukumnya sudah ada, dan suatu peristiwa yang tidak

ada ketentuan hukumnya harus pula dilakukan melalui ijtihad sehingga hukumnya

ditemukan. Dengan demikian terbentuklah hukum atas peristiwa tersebut.

Page 24: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

23

Penemuan hukum dapat saja dilakukan oleh hakim sebab hasil temuan hukum oleh

hakim adalah hukum. Ilmuwan hukum yang mengadakan penmuan hukum, baik melalui

penelitian, maupun hasil pemikirannya dapat dikatakan sebagai ilmu dan doktrin, jika

diambil oleh hakim maka akan menjadi hukum.

Aturan hukum yang bersifat normatif kadang-kadang kurang jelas, rinci dan

lengkap, sedangkan fakta dan peristiwa selalu muncul di luar ketentuan yang ada dan ini

diperlukan penyelesaian menurut hukum. Begitu juga halnya dengan teks ayat dan hadis

yang kadang-kadang hanya memuat aturan normatif sehingga perlu penemuan hukum atau

aturan undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang tidak mungkin menduga

peristiwa yang akan terjadi ke depan walaupun teks undang-undang jelas tentu masih

membutuhkan penemuan hukum untuk mencocokan dengan kebutuhan zaman tentu dengan

tetap mengacu pada aturan yang sudah digariskan dalam teks. Hukum itu ada, akan tetapi

harus ditemukan, hakim tidak semata-mata menerapkan hukum, akan tetapi menemukan

hukum.

Kegiatan penemuan hokum dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada intinya

adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai pemahaman sesuatu. Hal

demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan hukum dalam menjawab permsalahan

yang mungkin timbul dengan pemahaman aspek teks hukum itu sendiri baik yang berwujud

tulisan, lukisn, perilaku, peristiwa. Pemahaman itu tidak saja terbatas hanya pada tindakan

intensitas, melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi

mencakup tujuan manifest dan tujuan laten.

Penemuan hokum dengan metode ta‟lili yang merupakan sifat yang menjadi dasar

hukum asal dan menjadi dasar untuk mempersamakan cabang dengan asal pada hukumnya.

Page 25: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

24

Mendasarkan hukum kepada „illat diharapkan melahirkan kemaslahatan, karena memang

Al Quran dan As Sunnah memberikan petunjuk bahwa „illat hukum adalah sifat tertentu,

maka sifat itu merupakan „illat berdasarkan nash, sehingga pada dasarnya dapat diketahui

bahwa ketentuan hokum itu dapat dipecahkan berdasarkan „illat hukum.

Sedangkan penemuan hukum istislahi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan

syariat dan merealisasikannya sehingga mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang

sedang dihadapi. Dalam keadaan demikian penemuan hukum dengan istislahi merupakan

suatu jalan keluar dari kekakuan hukum.

D. PENUTUP

Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka terakhir dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

1. Metode penemuan hukum adalah cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam

mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa

(lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.

2. Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode

penemuan hukum al-bayan, ta‟lili dan istislahi.

3. Metode penemuan hukum bayani adalah suatu metode berdasarkan kepada pemahaman

terhadap teks.

4. Metode penemuan hukum ta‟lili adalah suatu metode penemuan hukum dengan „illat-

„illat dalam suatu masalah.

5. Metode penemuan hukum istislahi adalah metode penemuan hukum yang stresingnya

lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.

Page 26: Metode Penemuan Hukum Bayanita'Liliistislahi

25

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus, by. Saefullah Ma‟shum,

Jakarta, 2000.

Al-Ghazali, al-Mustahasfa min „Ilmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid al-Husein, Kairo, tt.

Al-Syatibi, Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt.

Al-Rabi‟ah, Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali, Adillat al-Tasyri‟ al-Mukhatalaf Fi al-

Ihtijaj Biha, Mu‟assasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979. M.

Ad-Dawaalibi, Muhammad Makruf, Al Madkhal Ilaa „Im Ushuul al-Faqh, 1959.

Basyir, Ahmad Azhar, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Pres

Yogyakarta, 1984.

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997, hlm.4.

Djazuli, A, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5,

Edisi Revisi, Prebada Media, Jakarta, 2005.

Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries (History Teks and Comparative

Analysis), New Delhi For the Academi of law and Religion, 1987.

Rahman, Asjmuni A., Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, PT. Bulan Bintang,

Jakarta, 2004.

Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi

Teks, UII Pres, Yogyakata, 2004.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al-A‟la al-Indonesi li al-Da‟wat al-

Islamiyyyat, Jakarta, 1972.

.