mengatasi dilema industri kelapa sawit dengan sesar (ryan arifin)
DESCRIPTION
artikel ilmiah kelapa sawitTRANSCRIPT
Mengatasi Dilema Industri Kelapa Sawit dengan SESAR
(Stakeholder’s Earth and Social Assurance Responsibility)
Oleh : Ryan Arifin
A. Pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia dan Kalimantan Barat
Indonesia dengan luas tanah lebih dari 180 juta hektar merupakan wilayah
kepulauan tropis terbesar di dunia. Indonesia mempunyai curah hujan yang tinggi
sepanjang tahun, kesesuaian tanah yang baik untuk semua jenis tanaman tropis,
serta 360 hari kondisi iklim yang lebih baik dibandingkan negara-negara empat
musim pada umumnya. Keuntungan geo-lingkungan ini membuat Indonesia
terutama provinsi Kalimantan Barat sangat tepat untuk pengembangan industri
berbasis perkebunan, misalnya kelapa sawit.
Produksi kelapa sawit untuk tahun 2006 terdiri dari produksi perkebunan
rakyat yaitu 350,171 ton dan produksi perkebunan negara, yaitu 134,886 ton, dan
produksi perkebunan swasta yaitu 565,393 ton. Tahun 2007, terdiri dari produksi
perkebunan rakyat yaitu 385,130 ton, untuk tahun 2008 produksi perkebunan
rakyat adalah 392,002 ton, untuk tahun 2009 Terdiri dari produksi perkebunan
rakyat, yaitu 394,014 Ton, produksi perkebunan Negara adalah 128,877 Ton, dan
produksi perkebunan swasta adalah 339,624 Ton. Tahun 2010, produksi kelapa
sawit meningkat dari tahun 2009 terdiri dari produksi perkebunan rakyat yaitu
401,894 Ton, produksi perkebunan negara adalah 132,099 ton, dan produksi
perkebunan swasta yaitu 347,775 ton. Tren ini menunjukkan peningkatan yang
mengindikasikan adanya peningkatan jumlah produksi kelapa sawit.
Tabel 1. Produksi Perkebunan Sawit di Kalimantan Barat 2006 – 2010 (data
statistik perkebunan (2009-2012)
Produksi Sawit Kalimantan Barat 2010
(Ton)
881.768
Produksi Sawit Kalimantan Barat 2009
(Ton)
862.515
Produksi Sawit Kalimantan Barat 2008
(Ton)
392.002
1
Produksi Sawit Kalimantan Barat 2007
(Ton)
385.130
Produksi Sawit Kalimantan Barat 2006
(Ton)
1.050.450
Pada saat yang bersamaan permintaan dunia akan minyak kelapa sawit
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2010, China memerlukan 9.95 juta
ton minyak sawit, India memerlukan 7.2 juta ton dan eropa memerlukan 5.25 juta
ton. Penyebab dari meningkatnya permintaan minyak sawit adalah karena negara-
negara Eropa dan lainnya tengah mendorong penggunaan biomassa sebagai bahan
bakar (biofuel) dalam transportasi dan pembangkit listrik untuk memenuhi
komitmen Protokol Kyoto. Biofuel yang lebih minim emisi karbon jika
dibandingkan dengan bahan bakar fosil kini dipromosikan sebagai solusi untuk
menghadapi fenomena pemanasan global.
Berdasarkan data dari Indonesia Palm Oil Board, Pemerintah Indonesia
telah beberapa kali menerbitkan peraturan yang berkaitan dengan perkembangan
industri perkebunan kelapa sawit, misalnya Peraturan Lingkungan dan Kehutanan
(1997) dan Peraturan Perkebunan (2004). Berdasarkan World Rainforest
Movement, hingga sekarang Pemerintah Indonesia telah menerbitkan lima jenis
peraturan secara berurutan: PIR-Trans (berakhir pada Oktober 1993), deregulasi
(1993 – 1996), privatisasi (1996 – 1998), kooperatif (1998 – 2002) dan
desentralisasi (2002 – 2006) (World Rainforest Movement, 2008). Gambar 1
menunjukkan fase-fase perubahan kebijakan dalam pengembangan industri kelapa
sawit di Indonesia. Setiap perubahan peraturan menunjukkan bahwa penguasa
daerah semakin hari semakin mampu memberikan izin pembukaan lahan baru
maupun perluasan lahan perkebunan sawit yang semakin besar. Kombinasi
keuntungan geo-lingkungan, permintaan dunia dan peraturan yang ‘memanjakan’
ini telah menciptakan pertumbuhan industri kelapa sawit yang luar biasa di
Indonesia. Hingga tahun 2010, berdasarkan interpretasi citra satelit, luas lahan
perkebunan sawit yang telah dewasa, baru tanam, maupun yang baru saja
mengalami pembukaan lahan (land clearing) telah mencapai lebih dari 10 juta
hektar dengan total produksi lebih dari 20 juta ton, baik perkebunan besar maupun
2
perkebunan rakyat. Pembangunan industri kelapa sawit ini telah berkontribusi
besar terhadap pendapatan nasional. Pada tahun 2007, tercatat 9.4 miliar dolar,
atau sekitar 6% dari total ekspor Indonesia, berasal dari industri kelapa sawit.
Gambar 1. Perubahan kebijakan dalam perkembangan industri kelapa sawit di
Indonesia
Pembangunan industri kelapa sawit ini juga telah menciptakan lapangan
pekerjaan bagi komunitas lokal. Perusahaan perkebunan skala besar biasanya
menyediakan fasilitas lengkap bagi para pekerja dan keluarganya, mulai dari
rumah yang dilengkapi fasilitas mendasar, misalnya air bersih dan listrik, asuransi
kesehatan diri dan keluarga, fasilitas pendidikan, serta pembangunan infrastruktur
jalan yang baik. Banyak wilayah di Indonesia, terutama pedesaan yang merupakan
lokasi perkebunan sawit besar, mengandalkan perusahaan-perusahaan besar ini
untuk mengembangkan daerah mereka khususnya dalam pembangunan
infrastruktur jalan. Hal ini terjadi di wilayah-wilayah pedesaan yang terletak di
Kalimantan Barat yaitu kabupaten Sanggau, Sintang, dan Ketapang.
3
B. Dampak Industri Kelapa Sawit Terhadap Lingkungan Wilayah Kalimantan
Barat
Adanya Peningkatan produksi kelapa sawit dan perluasan lahan sawit di
Kalimantan Barat dapat menyebabkan dampak terhadap lingkungan yang
merugikan bagi masyarakat sekitar industri dan perkebunan kelapa sawit
diantaranya sebagai berikut :
1. Bencana Kabut Asap
Sejak tahun 1997 sampai awal tahun 2008, bencana kabut asap akibat
pembakaran hutan dan lahan juga gambut untuk membuka kebun sawit terus
saja terjadi, terutama di Kalimantan Barat. Terdapat ribuan masyarakat yang
mengidap penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) akibat pembakaran
lahan dan hutan. Lebih dari seribu jiwa di kota Pontianak, Kalbar, terkena
ISPA.
2. Bencana Banjir
Pembabatan hutan yang menjadi daerah resapan air. Saat dibuka menjadi
kebun kelapa sawit maka hal tersebut dapat menjadi penyebab utama banjir
terjadi. Diketahu pohon kelapa sawit sangat "rakus" terhadap air, namun tidak
mampu menangkap air dalam jumlah besar. Sehingga kebun sawit, bukan
areal yang bisa dijadikan tangkapan air dan memicu terjadinya banjir.
3. Kesulitan Air Bersih dan Pencemaran Air
Satu batang pohon sawit membutuhkan 10-12 liter air per hari untuk
menopang hidupnya yang berakar serabut. Kebutuhan air dalam jumlah besar
tersebut dipastikan membuat sungai-sungai yang ada disekitar perkebunan
kelapa sawit mengalami penurunan jumlah debit air bahkan sebagian sungai
tersebut mengalami kekeringan. Hal ini menyebabkan akses masyarakat
terhadap air bersih semakin sedikit dan sulit.Selain itu, bukan rahasia lagi bila
pabrik-pabrik pengolahan tandan buah sawit membuang limbah langsung ke
sungai yang letakknya dekat dengan pabrik, tanpa perlu mengelolanya lebih
dulu. Temuan Sawit Watch terhadap pembuangan limbah pabrik tersebut
banyak didapati di sepanjang daerah aliran antara lain DAS sungai Siak (Riau)
4
dan sungai Kapuas (Kalbar). Tidak mengherankan bila penduduk yang
menggantungkan sumber airnya dari air tersebut banyak mengalami gangguan
kesehatan, terutama penyakit kulit.
Bahkan menurujuk data Bank Dunia, sekurang-kurangnya 850 juta orang
yang tinggal di desa-desa di negara berkembang tidak memiliki akses guna
mendapatkan air bersih untuk minum, masak, dan cuci. Sumber-sumber air
telah terkontaminasi dengan bahan kimia beracun, dan metal berat yang sudah
sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik purifikasi biasa (standar).
Dilaporkan juga bahwa penggunaan air yang tercemar tersebut telah
menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari satu milyar orang sakit
setiap tahun (World Bank, 2008).
4. Pemanasan Global dan perubahan Iklim
Dalam 10 tahun terakhir, menurut data WETLAND International, dari
pembakaran hutan Indonesia telah menyumbang 140 juta ton CO2
(kabondioksida). Ditambahkan lembaga itu, emisi karbon dioksida yang
dihasilkan dari pembukaan lahan kelapa sawit dapat jauh lebih besar yakni
625 juta ton.
5. Penurunan Tingkat Kesuburan Tanah
Sekitar lebih dari 2,5 juta ton pupuk dibutuhkan untuk menyuburkan
perkebunan sawit seluas 7,4 juta hektar (data dirjen perkebunan, 2008). Tidak
sampai di situ saja, setiap tahun hampir 1,5 juta liter pestisida disemprotkan ke
tanaman pertanian, terutama untuk menjaga hama dan gulma pada kebun sawit
(yayasan Gita Pertiwi, Solo, 2007) mengakibatkan menurunnya kemampuan
tanah tersebut untuk memproses nutrisi mencari bahan yang berguna bagi
tanaman
6. Penurunan Tingkat keanekaragaman hayati akibat Pengrusakan Hutan
Dari hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) pada tahun 2005/2006 kerusakan hutan tropis yang telah
5
mencapai 59,3 juta hektar dari 127 juta hektar total luas hutan Indonesia telah
menyebabkan punahnya 30% spesies flora dan fauna hutan tropis. Penelitian
tadi masih dilanjutkan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Banga dimana para
peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan persen dari species yang
masih hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun mendatang (Reid,
1992). Semakin menurunnya tingkat keragaman biota tentunya merupakan
ancaman serius bagi keseimbangan dan kelestarian alam (WRI in
collaboration with the UNEP and the UNDP, 1992).
C. Dilema industri kelapa sawit di Indonesia
Di balik keuntungan ekonomi yang disebutkan di bagian dua, industri
kelapa sawit menciptakan ancaman yang tinggi, tidak hanya untuk keberadaan
hutan hujan tropis yang merupakan paru-paru dunia, namun juga ancaman
terhadap sumber penghidupan masyarakat lokal yang masih mengandalkan hasil
hutan selain kelapa sawit. Hilangnya keanekaragaman flora dan fauna,
meningkatnya konflik terkait dengan pembebasan lahan, serta polusi yang
disebabkan penggunaan herbisida dan pembangunan pabrik pengolahan minyak
sawit juga merupakan efek samping yang patut dipikirkan bersama.
Pembangunan industri kelapa sawit Indonesia, singkatnya, telah lama
menjadi dilema tiga aspek: (1) pembangunan sosio-ekonomi masyarakat, (2)
peningkatan pendapatan nasional, dan (3) menurunnya kualitas lingkungan.
Penyebab dilema tiga hal ini adalah kurangnya perhatian pemerintah Indonesia
terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Pemerintah lokal juga kurang berpihak kepada masyarakatnya, terutama ketika
konflik-konflik yang berhubungan dengan pembebasan lahan, biaya kompensasi,
hak milik tanah, janji-janji yang tidak dipenuhi perusahaan besar, terjadi di
wilayahnya. Organisasi-organisasi non-pemerintah juga kurang menyadari
pentingnya keberadaan kelapa sawit bagi pembangunan sosio-ekonomi
masyarakat lokal dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Adapun masalah dalam pengelolaan kebun kelapa sawit plasma
berkelanjutan diantaranya yang dihadapi oleh industri kelapa sawit Kalimantan
Barat adalah : (1) Kompetensi dan keterampilan petani plasma belum memadai
6
untuk membangun perkebunan berkelanjutan, (2) minimnya peran serta instansi
terkait tingkat kabupaten dan provinsi dalam membina dan memberdayakan
masyarakat setempat, (3) sumber daya lahan di lokasi perkebunan merupakan
tanah dengan status kesuburan rendah, bereaksi masam sehingga memerlukan
teknologi pengelolaan spesifik lokasi yang tepat untuk mempertahankan
produktivitas lahan, (4) rendahnya kepedulian petani plasma terhadap kelestarian
lingkungan, (5) rendahnya keterlibatan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
sebagai lembaga pendamping dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan daerah, dan (6) rendahnya kepedulian stakeholders, terutama policy
maker daerah terhadap pencegahan dan upaya konservasi sumber daya sehingga
degradasi lahan perkebunan masih terjadi secara intensif.
D. Stakeholder’s Earth and Social Assurance Responsibility (SESAR)
Untuk memecah kebuntuan dilema ini, serta dalam upaya mencapai
pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan, kami mengusulkan strategi baru dalam pembangunan industri
kelapa sawit. Strategi ini berbasis kepentingan lokal dan nasional, namun tetap
memenuhi kebutuhan permintaan global. Kami menyebutnya Stakeholder’s Earth
and Social Assurance Responsibility (SESAR).
Gips (1986) diacu dalam Reijntjes et al. (1992) menyebutkan bahwa
perkebunan berkelanjutan harus memenuhi beberapa indikator antara lain :
1. Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam
dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari
manusia, tanaman, hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Hal itu akan
terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan dan masyarakat
dipertahankan melalui proses biologi (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal
dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan
energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran.
Tekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui.
2. Berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup
menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri serta
mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan
7
biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis dapat diukur dari produk
usaha tani yang langsung namun juga dalam hal fungsi melestarikan
sumberdaya alam dan meminimalkan resiko.
3. Adil, yang berarti sumberdaya alam dan kekuasaan di distribusikan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua masyarakat terpenuhi dan
hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan
teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan
untuk berperan serta dalam pengembilan keputusan, baik di lapangan maupun
di masyarakat.
4. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan
dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati dan
hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar,
seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang.
Integritas budaya dan spritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara.
5. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesan mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus seperti
pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain.
Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan tekhnologi yang baru dan
sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya.
Untuk mencapai perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan harus
memperhatikan komunitas yang terdapat pada lokasi tersebut. Pendekatan
komunitas berkelanjutan (sustainable community) merupakan alternatif dalam
menyelesaikan persoalan kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan dan kerusakan
tata sosial lokal yang muncul dari pembaungunan yang dilaksanakan (Susan,
2009).
Komunitas berkelanjutan dapat dikatakan sebagai kemandirian dan
prestasi ekonomi dengan menciptakan mekanisme sosial mengenai pencapaian
kesejahteraan secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme
dimana pemerintah bertanggung jawab dalam menciptakan struktur kondusif
berkaitan dengan praktek ekonomi komunitas berkelanjutan. Sedangkan swasta
dan masyarakat sipil bertanggung jawab dalam dimensi peningkatan kapasitas
8
kelembagaan komunitas. Dengan adanya program SESAR diharapkan dapat
mengatasi berbagai dilema dalam industri perkebunan kelapa sawit dan memenuhi
indikator yang dapat menjadi tolak ukur keberhasilan perkembangan industri
perkebunan kelapa sawit khususnya di Provinsi Kalimantan Barat.
E. Bentuk dan fungsi SESAR
SESAR merupakan badan yang bersifat independen dan nirlaba. SESAR
harus berisi ilmuwan yang bebas kepentingan dan berasal dari berbagai bidang,
misalnya lingkungan, geografi, sosiologi, ekonomi, bio-teknologi, kimia,
hidrologi dan geologi. Para ilmuwan yang duduk di dalam SESAR dipilih oleh
pihak universitas sebagai perwakilannya, contohnya Universitas Tanjungpura
Pontianak yang dapat dipilih karena merupakan Universitas yang terbesar di
Kalimantan Barat yang nantinya dapat diangkat resmi oleh pemerintah.
SESAR bertujuan memberikan kesempatan yang besar kepada empat
pihak dalam skema SESAR, yaitu komunitas lokal, ilmuwan, organisasi non-
pemerintah dan pemerintah, untuk berkontribusi aktif dalam pembangunan
daerahnya khususnya Kalimantan Barat, pembangunan yang ramah lingkungan,
berkelanjutan, dan tetap memperhatikan pembangunan perekonomian lokal dan
nasional.
Secara teknis, para ilmuwan yang duduk di dalam SESAR akan menajami
dalam bentuk sertifikat yang akan disahkan oleh pemerintah jika sebuah
perusahaan mampu memenuhi kriteria-kriteria dasar manajemen pengelolaan
industri kelapa sawit. Kriteria-kriteria dasar ini adalah ramah lingkungan,
berkelanjutan, membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal dan
berkomitmen dalam membangun daerah dimana lokasi perkebunan kelapa sawit
nantinya berada. Setiap perusahaan yang akan mengeksploitasi lahan untuk tujuan
komersial harus memiliki sertifikat ini.
F. Kawasan SESAR
9
Guna mencapai tujuan SESAR, kawasan yang merupakan fokus SESAR
adalah areal hutan yang telah mencapai konsesi bersama antara masyarakat lokal,
ilmuwan, organisasi non-pemerintah dan pemerintah. Hutan ini tidak berupa hutan
primer tropis yang tersisa, lahan gambut, bakau, dan areal lain yang potensial
untuk menjaga keseimbangan alam, keanekaragaman hayati, dan kehidupan
masyarakat hutan. Areal yang memiliki kesesuaian lahan yang tinggi tidak harus
selalu dikonversikan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Saat ini
pembangunan perkebunan kelapa sawit selalu diwarnai dengan pembukaan hutan
primer maupun sekunder, hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat
hutan, penggantian lahan-lahan utama pertanian lokal dan konflik antara
masyarakat dengan perusahan yang dapat memakan korban jiwa.
G. Peran Ilmuwan, Pemerintah, Organisasi Non-Pemerintah dan Masyarakat
Lokal Dalam Mencapai Tujuan SESAR
Peran ilmuwan sangat vital dalam menentukan secara ilmiah dan tepat.
Ilmuwan wajib memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat,
misalnya: mana lahan yang patut dikonservasi, dan mana lahan yang bisa dibuka
sebagai perkebunan kelapa sawit. Peran ilmuwan juga dibutuhkan dalam proses
konversi kelapa sawit ini, dan ini memerlukan peneliti-peneliti lintas bidang
keilmuan (ilmu dasar, limu terapan dan ilmu sosial). Kerjasama ilmuwan ini
mendukung pembuatan informasi spasial berbasis keruangan sehingga masyarakat
lokal dapat berkontribusi besar dalam menentukan arah pembangunan daerahnya.
Di dalam skema SESAR, ilmuwan dan perwakilan masyarakat lokal akan
memantau secara aktif perilaku perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit. Peran
organisasi-organisasi non-pemerintah juga penting dalam mendampingi dan
mencerdaskan masyarakat local melalui program pemberdayaan masyarakat
melalui penyuluhan, pelatihan dan lain-lain.
Pemerintah berperan menciptakan kebijakan-kebijakan yang bisa
mendorong masyarakat berpikir kreatif dan inovatif dalam memperbaiki kondisi
sosio-ekonomi dan keberlangsungan lingkungan dalam jangka panjang. Dalam hal
ini, pemerintah berperan penting dalam menciptakan peraturan dan menjatuhkan
hukuman yang tegas bila ditemukan perilaku yang tidak ramah lingkungan dan
10
tidak berkelanjutan. Apabila ditemukan pelanggaran maka pemerintah dapat
menjatuhkan hukuman, misalnya berupa kompensasi finansial yang besarnya dua
kali lipat keuntungan bersih perusahaan pada tahun terakhir produksi. Kompensasi
finansial ini akan diberikan kepada daerah lokal. Pemerintah juga harus mampu
bekerja sama dengan ilmuwannya, dan melibatkan peran organisasi-organisasi
non-pemerintah dalam mencerdaskan masyarakat lokal.
Tantangan terbesar sebenarnya ada di pihak pemerintah. Pemerintah harus
memiliki komitmen yang kuat untuk menciptakan peraturan yang dapat menjaga
keseimbangan alam dan pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal dan nasional
pada saat yang bersamaan. Pemerintah tidak dapat berpihak pada kepentingan
pemilik modal dan memenuhi permintaan pasar dunia saja.
H. Solusi Lain
Mengandalkan perkebunan sawit untuk pertumbuhan sosio-ekonomi
rasanya tidak memungkinkan. Usia optimal pohon sawit kira-kira di bawah 20
tahun. Setelah umur 20 tahun, pohon sawit akan berhenti menghasilkan minyak
sawit. Ketika itu, petani biasanya memotong membabat pohon sawit, dan
membiarkan semak belukar tumbuh. Sementara itu, perusahaan bermodal besar
akan terus berupaya mencari lahan baru guna membuka perkebunan kelapa sawit.
Maka, sebagai solusinya pihak peneliti, pemerintah dan masyarakat harus bekerja
sama dalam proses pengembalian fungsi tanah akibat penanaman tanaman kelapa
sawit. Peneliti yang berasal dari lembaga pendidikan dan penelitian harus
mengembangkan teknologi yang dapat mengembalikan fungsi tanah dan melalui
pemerintah dapat disosialisasikan kepada masyarakat melalui penyuluhan-
penyuluhan serta pemerintah dijadikan kebijakan dalam mengatur pembukaan
lahan perkebunan kelapa sawit untuk perusahaan sawit agar pembukaan lahan
yang dapat merusak lingkungan dapat diminimalisir dan bahkan dihentikan.
I. Kesimpulan
SESAR (Stakeholder’s Earth and Social Assurance Responsibility)
merupakan Badan yang bersifat independen dan nirlaba. SESAR merupakan
badan yang berisi ilmuwan yang bebas kepentingan dan berasal dari berbagai
11
bidang, misalnya lingkungan, geografi, sosiologi, ekonomi, bio-teknologi, kimia,
hidrologi dan geologi. Diharapkan dibentuknya SESAR dapat menjadi badan yang
dapat menjadi garda terdepan dalam meneliti aspek produk-produk peningkat
produksi, pencegahan dan penanggulangan dampak terhadap lingkungan, tindakan
penyuluhan pada petani, pemantauan dan penanganan kesehatan pada masyarakat
sekitar perkebunan kelapa sawit serta penyalur aspirasi dan meneruskannya pada
pemerintah sehingga akan terjadi peningkatan produksi kelapa sawit lokal
Kalimantan Barat tanpa menyebabkan dampak terhadap lingkungan dan masalah
sosio-ekonomi lainnya.
12