membandingkan ph dan reaksi tanah
DESCRIPTION
akademik kimia tanahTRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
1. I Latar Belakang
Tanah merupakan hasil evolusi dan mempunyai susunan teratur yang unik dan
terdiri dari lapisan-lapisan atau horizon-horizon yang berkembang secara genetik.
Pembentukan tanah dari bongkahan bumi mulai dari proses-proses pemecahan atau
penghancuran dimana bahan induk berkeping-keping secara halus.
Tanah adalah kumpulan benda alam dipermukaan bumi. Tanah meliputi
horizon-horizon tanah yang terletak di atas bahan batuan dan berbentuk sebagai hasil
interaksi sepanjang waktu dari iklim, organisme hidup, bahan induk dan relief. Pada
umumnya, ke arah bawah tanah beralih ke batuan yang keras atau ke bumi yang tidak
mengandung akar, tanaman, hewan, atau tanda-tanda kegiatan biologi lain.
Salah satu sifat kimia tanah yang penting adalah reaksi atau pH tanah. Reaksi
atau pH tanah menunjukkan konsentrasi ion H+ di dalam larutan tanah. Nilai pH
didefinisikan sebagai logaritma negative konsentrasi ion H+ dalam larutan. Larutan
mempunyai pH disebut netral, lebih kecil dari 7 masam, dan lebih besar dari 7 basis
atau alkalis. Pada keadaan netral konsentrasi ion H+ sama besar dengan konsentrasi
ion OH- dan pada keadaan alkalis sebaliknya.
Tanah Alfisol di Indonesia secara potensial termasuk tanah yang subur dan
sebagian besar telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Morfologi yang khas dari
Alfisol dicirikan oleh horizon illuviasi dan elluviasi yang jelas. Elluviasi liat dari
horizon A dan illuviasi di horizon B merupakan penyebab utama perbedaan liat
diantara kedua horizon tersebut. Dalam horizon illuviasi produk akumulasi utamanya
adalah liat silikat disamping jenis mineral terlapuk utamanya besi dan aluminium.
Pada umumnya tanah Alfisol berkembang dari batu kapur, olivin, tufa dan
lahar. Bentuk wilayah yang beragam dari bergelombang hingga tertoreh, tekstur
berkisar antara sedang hingga halus, drainasenya baik. Reaksi tanah berkisar antara
agak masam hingga netral, kapasitas tukar kation dan basa-basanya bergam dari
rendah hingga tinggi, bahan organik pada umumnya sedang hingga rendah. Jeluk
tanah dangkal hingga dalam. Memiliki sifat kimia dan fisika yang relatif baik.
Tanah Ultisol tersebar lebih luas pada daerah-daerah beriklim humid hangat
yang mempunyai deficit hujan musim. Umumnya dijumpai pada permukaan lebih
tua. Tanah Ultisol terbentuk dari bahan induk yang bervariasi tetapi hanya sebagian
kecil saja yang mempunyai mineral primer yang mengandung basa dari beberapa
mika, serta sedikit jenis yang mempunyai cadangan basa-basa.
Tanah Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai
tropika, mempunyai horizon argilik atau kandik atau fragifan dengan lapisan liat
tebal. Tanah Ultisol mencakup sebagian tanah laterik serta sebagian besar tanha
podsolik, terutama tanah podsolik merah kuning.
Tanah Vertisol merupakan tanah-tanah berwarna gelap dengan tekstur liat dan
menyebar luas di daerah beriklim tropis dan subtropis dengan curah hujan 1500 mm
pertahun. Tanah Vertisol memiliki sifat khusus yakni mempunyai sifat vertik, hal ini
disebabkan terdapat mineral liat tipe 2:1 yang relatif. Karena itu dapat mengkerut
(Shrinking) jika kering dan mengembang (Swelling) jika jenuh air.
Vertisol di Indonesia terbentuk pada tempat-tempat yang berketinggian tidak
lebih dari 300 meter di atas permukaan laut, temperature tahunan rata-rata 250 C
dengan curah hujan kurang dari 1500 mm/tahun. Vertisol memiliki potensi cukup
baik, akan tetapi yang menjadi kendala adalah dalam hal pengolahan tanahnya yang
relatif cukup sulit, bersifat sangat lekat bila basah dan sangat keras bila dalam
keadaan kering.
Tanah Alluvial meliputi lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas air
sungai/mengalami banjir, sehingga dapat dianggap masih muda dan belum ada
diferensiasi horizon. Endapan Alluvial yang sudah tua dan menampakkan akibat
pengaruh iklim dan vegetasi tidak termasuk Inceptisol.
Alluvial terbentuk akibat banjir di musim hujan, maka sifat bahan-bahannya
juga tergantung pada kekuatan banjir dan asal serta macam bahan yang diangkut,
sehingga menampakkan ciri morfologi berlapis-lapis atau berlembar-lembaran yang
bukan horizon karena bukan hasil perkembangan tanah.
Berdasarkan uraian di atas maka praktikum reaksi tanah perlu dilakukan untuk
mengetahui nilai pH atau tingkat kemasaman tanah pada tanah Alfisol, Ultisol,
Vertisol, Alluvial serta untuk mengetahui pengaruh terhadap pengaruh tanaman.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari percobaan pH tanah adalah untuk mengetahui dan
membandingkan pH atau reaksi tanah dari beberapa jenis tanah yaitu tanah Alluvial,
Alfisol, Vertisol, dan Ultisol serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Kegunaannya adalah sebagai informasi dalam pengolahan lahan khususnya
tanah masam dalam suatu areal lahan pertanian.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah Alfisol
Alfisol dicirikan oleh horizon elluviasi dan illuviasi yang jelas. Pada tanah
Alfisol, pH tanah rendah yaitu < 5,0 dimana pengaruh kemasaman lebih dominant.
Kehadiran karbonat utamanya kalsium dan magnesium, kehadiran karbonat bebas ini
akan mempertahankan pH dalam kisaran 7,5-8,0 yang mana berada di atas kelarutan
sebagian besar mineral-mineral primer (Lopulisa, 2004).
Tanah Alfisol adalah tanah yang berkembang di daerah hutan humid, di mana
perpindahan lempung menghasilkan horizon Bt, yang mengandung 20% atau lebih
daripada horizon A, dan tanahnya cukup mengalami pencucian dalam pelapukan.
Akumulasi liat dalam horizon organic b (Bt) dapat menyebabkan kapasitas tukar
kation horizon B maksimum pada sejumlah tanah. Reaksi tanah bervariasi antara
masam hingga netral (Foth, 1998).
Tanah Alfisol memiliki pH yang berubah dengan meningkatnya kedalaman
den cenderung lebih tinggi pada bagian bawah profil dan pada sejumlah bahan-bahan
glacial sampai ke suatu zona karbonat bebas dengan pH 8,0 atau lebih tinggi. Hal ini
menyebabkan berubahnya mobilitas elektroporetik koloid-koloid hasil pelapukan.
Koloid ini akan bergerak lambat pada pH yang lebih tinggi dibanding di bagian atas
horizon B yang secara umum mempunyai pH sangat rendah (Lopulisa, 2004).
Bahan organik yang terdapat pada permukaan tanah Alfisol dicampur dengan
bahan mineral oleh cacing atau hewan-hewan lain, pada kedalaman 2-10 cm,
sehingga terbentuk lapisan mull (horizon A1). Proses bioscling unsur hara dan basa-
basa dari subsoil ke horizon O dan A1 merupakan proses yang penting untuk tanah
Udalf, hal ini dapat menyebabkan reaksi tanah dipermukaan menjadi hamper netral
(pH 6,5-7,0), sedangkan reaksi tanah di subsoil menjadi lebih masam (Munir, 1996).
2.2 Tanah Ultisol
Tanah Ultisol memiliki kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat kimia,
komponen kimia tanah yang berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah
umumnya pada kesuburan tanah. Nilai pH yang mendekati minimun dapat ditemui
sampai pada kedalaman beberapa cm dari dari batuan yang utuh (belum melapuk).
Tanah-tanah ini kurang lapuk atau pada daerah-daerah yang kaya akan basa-basa dari
air tanah pH meningkat pada dan di bagian lebih bawah solum (Hakim,dkk. 1986).
Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi
sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan dilakukan
pengelolaan yang memperhatikan kendala (constrain) yang ada pada Ultisol ternyata
dapat merupakan lahan potensial apabila iklimnya mendukung. Tanah Ultisol
memiliki tingkat kemasaman sekitar 5,5 (Munir, 1996).
Untuk meningkatkan produktivitas Ultisol, dapat dilakukan melalui
pemberian kapur, pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanah adaptif,
penerapan tekhnik budidaya tanaman lorong (atau tumpang sari), terasering, drainase
dan pengolahan tanah yang seminim mungkin. Pengapuran yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat kimia dan kegiatan jasad renik tanah.
Pengapuran pada Ultisol di daerah beriklim humid basah seperti di Indonesia tidak
perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5 sudah dianggap baik
sebab yang terpenting adalah bagaimana meniadakan pengaruh meracun dari
aluminium dan penyediaan hara kalsium bagi pertumbuhan tanaman (Hakim,dkk,
1986).
2.3 Tanah Vertisol
Tanah Vertisol memiliki kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa yang
tinggi. Reaksi tanah bervariasi dari asam lemah hingga alkaline lemah; nilai pH
antara 6,0 sampai 8,0. pH tinggi (8,0-9,0) terjadi pada Vertisol dengan ESP yang
tinggi (Munir, 1996).
Vertisol menggambarkan penyebaran tanah-tanah dengan tekstur liat dan
mempunyai warna gelap, pH yang relatif tinggi serta kapasitas tukar kation dan
kejenuhan basa yang juga relatif tinggi. Vertisol tersebar luas pada daratan dengan
iklim tropis dan subtropis (Munir, 1996).
Dalam perkembangan klasifikasi ordo Vertisol, pH tanah dan pengaruhnya
tidak cukup mendapat perhatian. Walaupun hampir semua tanah dalam ordo ini
mempunyai pH yang tinggi, pada daerah-daerah tropis dan subtropis umumnya
dijumpai Vertisol dengan pH yang rendah. Dalam menilai potensi Vertisol untuk
pertanian hendaknya diketahui bahwa hubungan pH dengan Al terakstraksi berbeda
disbanding dengan ordo lainnya. pH dapat tukar nampaknya lebih tepat digunakan
dalam menentukan nilai pH Vertisol masam dibanding dengan kelompok masam dari
ordo-ordo lainnya. Perbedaan tersebut akan mempunyai implikasi dalam penggunaan
tanah ini untuk pertumbuhan tanaman. Batas-batas antara antara kelompok masam
dan tidak masam berkisar pada pH 4,5 dan sekitar 5 dalam air (Lopulisa, 2004).
2.4 Tanah Alluvial
Tanah Alluvial pada proses pembentukannya sangat tergantung dari bahan
induk asal tanah dan topografi, punya tingkat kesuburan yang bervariasi dari rendah
sampai tinggi, tekstur dari sedang hingga kasar, serta kandungan bahan organic dari
rendah sampai tinggi dan pH tanah berkisar masam, netral, sampai alkalin, kejenuhan
basa dan kapasitas tukar kation juga bervariasi karena tergantung dari bahan induk
(Hardjowigeno, 1985).
Alluvial atau Inceptisol memiliki pH yang sangat rendah yaitu kurang dari 4,
sehingga sulit untuk dibudidayakan. Alluvial atau Inceptisol yang bermasalah adalah
sulfaquepts yang mengandung horizon sulfuric ( cat clay ) yang sangat masam
(Munir, 1996).
Tanah Alluvial memperlihatkan awal perkembangan biasanya lembab atau
basa selama 90 hari berturut-turut. Umumnya mempunyai lapisan kambik, karena
tanah ini belum berkembang lanjut dan kebanyakan tanah ini cukup subur. Alluvial
atau Inceptisol merupakan tanah-tanah yang memiliki epipedon dan okrik, horizon
albik (Hardjowigeno, 1995).
Akumulasi besi sulfide dan oksidanya penting pada sejumlah besar tanah
Alluvial. Bakteri memerlukan bahan organic dan merupakan obligat anaerob. Bakteri
ini aktif mulai dari 0-700 C, pH hingga 5 sampai 9 dan konsentrasi NaCl 12%
(Lopulisa, 2004).
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum Reaksi Tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan
Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar pada hari Rabu,
18 April 2007 pukul 13.30 WITA sampai selesai.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada Praktikum Reaksi Tanah adalah timbangan, pH
meter, botol roll film, gelas ukur.
Bahan yang digunakan adalah sampel tanah Alfisol, Ultisol, Vertisol,
Alluvial, aquadest, tissue roll, dan kertas label.
3.3 Prosedur Kerja
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan pada praktikum ini yaitu :
1. Menimbang 5 gram sample tanah Alfisol, Alluvial, Vertisol, Ultisol, dan
memasukkan ke dalam botol roll film.
2. Menambahkan aquadest sebanyak 12,5 ml.
3. Mengocok manual selama 1 jam.
4. Mengamati menggunakan pH meter.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan Praktikum Reaksi Tanah maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Uji Reaksi Tanah pada Tanah Alfisol, Ultisol, Vertisol, dan Alluvial
Sumber : Data Primer yang Telah Diolah, 2007
4.2
Pembahasan
Pada tanah Alfisol diperoleh hasil pH tanahnya yaitu 6,3 dengan kriteria agak
masam. Hal ini disebabkan karena mikrorelief permukaan yang mengalami
pembekuan dan pencairan, sehingga keadaan tanah menjadi masam. Kemasaman
tanah bersumber dari asam-asam organik dan nonorganik. Ion Al yang dijerap misel
koloid tanah berada pada keseimbangan dengan ion Al dalam larutan tanah. Faktor-
faktor yang mempengaruhi nilai pH yaitu kejenuhan basa, sifat misel (koloid) dan
macam kation terjerap. Hal ini sesuai pendapat Hardjowigeno (1985) bahwa
kejenuhan basa mencerminkan perbandingan kation basa dengan kation hydrogen dan
Jenis Tanah pH Kriteria
Alfisol
Ultisol
Vertisol
Alluvial
6,3
6,1
6,8
6,4
Agak masam
Agak masam
Netral
Agak masam
Alluminium. Berarti semakin kecil kejenuhan basa semakin masam pula reaksi tanah
tersebut atau pHnya semakin rendah.
Pada tanah Ultisol didapatkan pH tanahnya yaitu 6,1 dengan kriteria agak
masam. Hal ini disebabkan oleh pelapukan dan pembentukannya berjalan cepat pada
daerah iklim humid pada suhu dan curah hujan intensif sehingga mempunyai
kejenuhan basa-basa yang rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Munir (1996)
bahwa tingkat pelapukan dan pembentukan Ultisol berjalan lebih cepat pada suhu
tinggi dan curah hujan yang tinggi, hal ini menyebabkan Ultisol mempunyai
kejenuhan basa-basa rendah dan kadar mineral pelapukannya sangat rendah.
Pada tanah Vertisol didapatkan pH tanahnya yaitu 6,8 dengan kriteria netral.
Hal ini disebabkan karena tanah Vertisol memilki KTK (kapasitas tukar kation) dan
kejenuhan basa yang tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah mineral lainnya, yang
menyebabkan tingginya kandungan liat yang terbungkus mineral montmorillonit
dengan muatan tetap yang tinggi. Hal nin sesuai dengan pendapat Hardjowigeno
(1985) bahwa kejenuhan basa yang tinggi, tekstur yang relatif halus, permeabilitas
yang rendah dan pH yang relatif tinggi serta status hara yang tidak seimbang
merupakan karakteristik tanah Vertisol.
Tanah Alluvial memiliki pH 6,4 dengan kriteria agak masam. Kondisi ini
terjadi karena tanah Alluvial yang terbentuk terdapat stratifikasi dan dapat dikatakan
tanah tertimbun. Tanah tersebut akan mengalami pelapukan, pelapukannya relatif
lebih cepat dibanding dengan bahan induk lain yang utuh, sehingga memiliki
kandungan alofan dan alluminium silikat amorf yang menyebabkan tanah tersebut
bersifat masam. Hal ini sesuai dengan pendapat Lopulisa (2004) bahwa bahan
letusan-letusan abu vulkan gunung api akan tertimbun dipermukaan bumi dan segera
mengalami pelapukan. Pelapukan abu vulkan relatif lebih cepat dibanding dengan
bahan induk lain yang utuh. Salah satu ciri khususnya yaitu memiliki kandungan
alofan dan alluminium silikat amorf.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemasaman tanah yaitu pencucian
basa-basa, mineralisasi atau dekomposisi bahan organik, respirasi akar yang
menghasilkan CO2 dan pemberian pupuk yang bereaksi masam dalam tanah
(Pairunan, dkk. 1985).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum pH tanah yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Tanah Alfisol mempunyai nilai pH 6,3 dengan kriteria agak masam
Tanah Ultisol mempunyai nilai pH 6,1 dengan kriteria agak masam
Tanah Vertisol mempunyai nilai pH 6,8 dengan kriteria netral
Tanah Alluvial mempunyai nilai pH 6,4 dengan kriteria agak masam
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemasaman tanah yaitu pencucian
basa-basa, mineralisasi atau dekomposisi bahan organik, respirasi akar yang
menghasilkan CO2 dan pemberian pupuk yang bereaksi masam dalam tanah
5.2 Saran
Untuk meningkatkan pH tanah sebaiknua dilakukan pengapuran agar dapat
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yang baik dan menghasilkan produksi yang
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Foth, H.D.dan L.N.Turk, 1999, Fundamentals Of Soil Science, Fifth Ed. John Waley & sons, New York.
Hakim, N.M.Y. Nyakta., A.M.Lubis, S.G.Nugroho, M.R.Saul, M.A.Diha, G.B.Hong, H.H.Bayle. 1982. Dasar-dasar Ilmu tanah. Penerbit Universitas lampung, Lampung
Hardjowigeno, Prof. Dr. Ir. H.1995. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta.
Hardjowigeno, S. 1985. Ilmu Tanah. Akademik Pressindo, Jakarta.
Lopulisa,C. 2004. Tanah-Tanah Utama di Dunia Ciri Genesa dan Klasifikasi LEPHAS, Universitas Hasanuddin, Makassar
Munir, M, 1996. Tanah-Tanah Utama di Indonesia (Karakteristik Klasifikasi dan Pemanfaatannya). Pustaka Jaya. Jakarta
Pairunan, A K, J L Nanere, Arifin, Solo S R Samosir, R Tangkaisari, J R Lalopua, B Ibrahim,Hariadji Asmadi, 1985. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur, Makassar.