mean
DESCRIPTION
meanTRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
KTT Asean yang digelar di Jakarta 6 Mei 2011 lalu membahas berbagai masalah penting di
kawasan ASEAN. Salah satu isu penting yang dibahas tentu saja adalah persiapan pemberlakuan
Pasar Tunggal Asean pada 2015 yang menjadikan kawasan ini sebagai basis produksi dan pasar
tunggal. Indonesia pasti sudah memersiapkan diri untuk menyongsong era “Masyarakat Ekonomi
Asean” (MEA) tersebut serta merancang skema yang dianggap paling menguntungkan bagi
perekonomian nasional. Namun, dengan melihat pengalaman ACFTA dan situasi perekonomian
terakhir, rasanya Indonesia perlu hati-hati untuk
melangkah mengingat konsekuensi dari pemberlakuan Pasar Tunggal Asean ini tidaklah ringan.
Secara teoritis, Indonesia mempunyai peluang yang baik dengan adanya kesepakatan ini, tapi
dengan melihat persoalan-persoalan ekonomi yang muncul bisa jadi peluang itu menguap begitu
saja.
Para pengamat banyak ragam pandangan, khususnya mengenai terbentuknya Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA). Pandangan tersebut secara umum terbelah menjadi dua kutub, yakni
pihak yang optimis dan pesimis. Pihak yang optimis melihat Indonesia akan mendapatkan
benefit yang besar dengan terjadinya basis produksi dan pasar tunggal Asean, utamanya jika
melihat potensi sumber ekonomi dan jumlah penduduk. Sebaliknya, pihak yang pesimis yakin
Indonesia akan makin tenggelam perekonomiannya karena direndam oleh banjir produk-produk
negara tetangga. Hal ini bisa terjadi karena ketidaksiapan ekonomi domestik dalam menghadang
serbuan ekonomi luar negeri, di samping kealpaan membangun ekonomi nasional secara
sungguh-sungguh. Masing-masing pihak itu barangkali punya kontribusi kebenaran dalam
menganalis persoalan ini, sehingga mengenali kedua sudt pandang tersebut menjadi sangat
penting.
B. Identifikasi Masalah
1. Menghitung posisi Indonesia di pentas ASEAN
2. Bagaimana Indonesia menghadapi Masyrakat Ekonomi Asean (MEA) 2015
BAB II
PEMBAHASAN
Jika berbicara soal kompetisi perekonomian yang makin terbuka saat ini, sekurangnya terdapat
dua level masalah yang harus dilihat, yakni situasi ekonomi domestik dan peluang yang bisa
direbut. Dalam beberapa aspek, harus diakui perekonomian nasional telah mencapai hal-hal
positif dalam beberapa tahun terakhir, seperti stabilitas makroekonomi, ekspor yang makin maju,
dan sektor keuangan yang kian mapan. Namun, di balik itu terdapat soal-soal serius yang belum
juga mengalami perbaikan berarti.
Pertama, perekonomian nasional makin menjauh dari sendi-sendi kegiatan produktif yang
menjadi nafas hidup sebagian besar masyarakat. Peranan dan pertumbuhan sektor pertanian dan
industri menuju lereng negatif dalam beberapa tahun terakhir, sehingga pondasi ekonomi
nasional menjadi keropos. Dukungan sektor keuangan (bank) terhadap kedua sektor tersebut juga
makin melorot. Bayangkan saja, pada 2000 sektor tradeable (pertanian, industri, pertambangan)
masih menyerap 47,96% dari total kredit, tapi pada 2010 menjadi tinggal 24,22% (Indef, 2011).
Kedua, iklim investasi di Indonesia juga stagnan, apalagi bila dibandingkan dengan negara-
negara sekawasan. Dalam beberapa aspek memang terdapat perbaikan iklim investasi di
Indonesia, seperti ditunjukkan biaya perizinan yang makin murah, jumlah prosedur yang terus
berkurang, dan waktu pengurusan yang kian cepat. Namun, percepatan perbaikan itu kalah
langkah ketimbang negara-negara tetangga sehingga tetap saja membuat iklim investasi dan daya
saing tertinggal di bagian bawah. Misalnya saja, biaya memulai bisnis di Indonesia masih
sebesar 26% dari pendapatan per kapita, sedangkan di Singapura dan Malaysia masing-masing
0,7% dan 11,9%. Hal yang sama juga dalam hal lama pengurusan izin usaha, di mana Indonesia
hanya lebih bagus dari Filipina dan Laos pada level Asean (Bank Dunia, 2010). Jika soal-soal ini
tidak segera ditangani secara sigap dan cepat, sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-
negara Asean di masa depan.
Ketiga, masih berkaitan dengan iklim investasi dan daya saing ekonomi adalah ketersediaan
infrastruktur. Serangkaian upaya sudah dilakukan pemerintah untuk memercepat pembangunan
infrastruktur ini (jalan, pelabuhan, listrik, irigasi, jembatan, air minum, rel kereta api, bandara,
dan lain-lain), misalnya mengadakan infrastructure summit, namun hasilnya sangat tidak
memadai. Di luar masalah pendanaan yang kerap disebut sebagai soal utama, sebetulnya aspek
yang jauh lebih jelas adalah ketidaksiapan pemerintah sendiri untuk menindaklanjuti persetujuan
investasi infrastruktur. Hasilnya, ketersediaan infrastruktur di Indonesia jauh tertinggal daripada
negara-negara sekawasan. Pada 2009, sekitar 101,2 juta penduduk di Indonesia hidup tanpa
akses listrik. Sementara itu, jalan aspal di Indonesia baru 58%, lebih rendah dari Brunei dan
Filipina sekalipun (masing-masing 78% dan 81%) [Indef, 2011]. Tentu banyak soal lain yang
mesti diselesaikan, tapi tiga hal ini adalah yang paling pokok.
Meskipun kondisi perekonomian bisa dikatakan compang-camping, tapi sejauh ini Indonesia
masih memetik perdagangan dengan negara-negara Asean. Pada 2010 neraca perdagangan
Indonesia ke Asean surplus US$ 3,6 miliar, dengan rincian ekspor sebesar US$ 25,6 miliar dan
impor US$ 22,0 miliar (BPS, 2011). Kinerja perdagangan ini sendiri terus menunjukkan tren
yang membaik dari tahun ke tahun mengingat pada 2005 dan 2006 Indonesia masih mencatat
perdagangan defisit ke Asean. Pada 2007 dan 2008 perdagangan surplus, tapi masih di bawah
US$ 900 juta. Baru pada 2009 dan 2010 perdagangan meraih hasil meyakinkan (2009 sebesar
US$ 2,9 miliar). Angka-angka ini secara tersirat menunjukkan kompetisi yang relatif bagus dari
Indonesia berhadapan dengan negara kasawan Asean. Namun, tentu ada beberapa syarat lagi
yang perlu dipenuhi oleh Indonesia.
Pertama, sampai saat ini tidak ada keterpaduan antara pengembangan sektor keuangan
(khususnya perbankan) dengan sektor riil. Sektor perbankan memang berkembang cukup bagus,
yang ditunjukkan dengan beberapa indikator kunci, seperti LDR, CAR, NPL. ROA, dan lain
sebagainya. Namun, jika diperhatikan secara saksama terdapat masalah serius yang perlu segera
dibenahi: (i) masih tingginya net interest margin yang diambil oleh perbankan sehingga membuat
ongkos investasi sangat mahal. Di kawasan Asia, barangkali saat ini hanya Indonesia dan India
yang tingkat suku bunga kredit masih di atas 10%; (ii) alokasi kredit sektor perbankan yang
makin tidak berpihak kepada sektor riil (industri dan pertanian). Pemerintah dan Bank Indonesia
perlu turun tangan secara sungguh-sungguh untuk mendesain insentif yang memungkinkan
kedua sektor tersebut disantuni kembali oleh perbankan.
Kedua, terlalu banyak program dan target jangka pendek yang disusun pemerintah sehingga kita
kehilangan perspektif jangka panjang. Pasar tunggal Asean, blok perdagangan AFTA, dan lain
sebagainya tidak bisa disikapi sebagai tantangan ataupun peluang jangka pendek, tapi ia mesti
dilihat sebagai fenomena jangka panjang. Dengan begitu, rumusan-rumusan program dan target
yang dibuat juga mesti memiliki dimensi jangka panjang tersebut. Pada titik ini kita mengalami
masalah yang serius karena nyaris tidak ada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah untuk
merancang format ekonomi di masa depan, misalnya sektor induk perekonomian, bagaimana
pohon industri yang hendak dikembangkan, dan sumber daya (manusia, teknologi, ekonomi)
yang harus dipersiapkan. Hal yang berbeda justru sudah dimiliki oleh negara tetangga, seperti
Malaysia, sehingga dengan langkah pasti mereka siap memasuki pasar tunggal Asean. Aneka
tantangan berat inilah yang harus dijawab pemerintah jika Indonesia ingin berada di podium
utama pentas Asean.
Memerkuat Ekonomi Domestik
Sekurangnya terdapat tiga masalah serius yang menjadi mimpi buruk perekonomian nasional
pada saat ini.
Pertama, lokomotif perekonomian nasional yang semula bertumpu kepada sektor industri
(manufaktur) dalam lima tahun terakhir justru menunjukkan kinerja yang makin menurun, baik
dilihat dari tren pertumbuhan maupun kontribusinya terhadap PDB. Pada 2005 kontribusi sektor
industri terhadap PDB masih di kisaran 28%, namun pada 2010 lalu melorot menjadi 24%.
Subsektor industri, seperti tekstil, alas kaki, kulit, elektronika, kayu olahan, dan lain-lain mulai
menurun pertumbuhannya dan tentu saja penetrasi ekspornya juga melemah. Gejala
deindustrialisasi ini bermasalah tidak hanya dari aspek domestik (penurunan kesempatan kerja),
tapi juga kesempatan untuk bersaing di pasar global. Jika problem ini tidak dapat diatasi dalam
waktu singkat, maka Indonesia akan kehilangan peluru di pasar global.
Kedua, konektivitas dan daya dukung ekonomi domestik masih rawan akibat tidak ada kebijakan
yang terpadu untuk menciptakan daya saing ekonomi. Pasar ekonomi domestik masih terpecah-
pecah (fragmented), yang sebagian disebabkan oleh ketersediaan infrastruktur yang tidak
memadai. Pergerakan barang/jasa antardaerah tidak bisa mulus karena prasarana jalan dan
pelabuhan yang tidak mendukung. Realitas ini tidak hanya mengganggu proses produksi, tetapi
yang lebih penting juga menyebabkan masalah distribusi. Ditambah dengan persoalan
kelangkaan listrik, energi yang kian mahal, pungutan liar, dan aneka masalah lain menyebabkan
ekonomi nasional dijangkiti penyakit ekonomi biaya tinggi. Seluruh kondisi itu pasti akan
memberatkan produk/jasa Indonesia bersaing di pasar internasional, khususnya di Asean, jika
nantinya pasar tunggal itu benar-benar direalisasikan pada 2015.
Ketiga, iklim investasi di Indonesia tidak kunjung membaik karena aspek-aspek penunjang
terpenting dari iklim investasi tersebut, yakni pemerintahan yang bersih dan efisien, kepastian
hukum, infrastruktur yang bagus, perizinan yang sederhana dan murah, pembebasan lahan yang
cepat dan pasti, dan jaminan hak kepemilikan belum mengalami perbaikan yang berarti. Jaminan
hak kepemilikan di Indonesia masih yang terburuk di Asia, perizinan masih mahal dan lama (di
Asean hanya lebih bagus ketimbang Laos dan Filipina), korupsi terburuk di Asean, dan
pembebasan lahan menjadi ganjalan serius bagi investor untuk menanamkan modalnya.
Serangkaian masalah iklim investasi itu menyebabkan potensi ekonomi Indonesia yang luar
biasa besar menjadi hilang begitu saja karena tertekan dengan soal-soal tersebut. Pemerintah
memang sudah berjuang untuk mengatasinya, tapi hasilnya masih minim sampai hari ini.
Agenda lebih rinci yang mesti dijabarkan adalah menjadikan kawasan basis produksi dan pasar
tunggal. Indonesia harus betul-betul selektif untuk menempatkan sektor-sektor ekonomi strategis
dan potensial yang selama ini menjadi unggulan domestik sebagai basis produksi. Sampai kini
Indonesia masih menjadi koordinator untuk sektor otomotif dan agrobisnis sebagai pilar basis
produksi. Sektor agrobisnis merupakan harga mati yang harus dipertahankan pemerintah karena
keunggulan Indonesia nyaris mutlak. Hanya pemerintah masih lemah dalam mengaitkan antara
sektor hulu dan hilir terbukti dengan minimnya sektor manufaktur yang mengolah aneka produk
dari sektor pertanian (dalam arti luas). Sampai saat ini sebagian besar komoditas sektor pertanian
masih diekspor dalam bentuk mentah sehingga tidak menimbulkan nilai tambah, seperti kelapa
sawit, produk ikan, buah-buahan, dan lain-lain.
Berikutnya, lima pilar yang akan dijalankan oleh MEA adalah aliran bebas barang, jasa,
investasi, tenaga kerja (TK) terampil, dan modal. Dari kelima pilar tersebut titik kritis yang harus
dicermati adalah aliran bebas jasa, TK terampil, dan modal. Sektor jasa merupakan kartu mati
bagi Indonesia selama ini karena menyumbang defisit yang cukup besar dalam neraca
pembayaran nasional, demikian pula aliran modal yang kerap menjadi masalah. Sementara itu,
TK terampil juga harus dicamkan secara saksama karena struktur TK Indonesia dipenuhi tenaga
kerja yang tidak terampil, di mana sekitar 70% TK memiliki kualifikasi cuma tamat SMP ke
bawah. Jika tidak dikenali secara lebih detail pada aspek-aspek tersebur, bisa jadi hal ini akan
menjadi lubang yang menggerogoti perekonomian nasional. Pemerintah masih punya waktu
(meski pendek) untuk berhitung secara cermat dalam menyikapi MEA ini agar tidak menjadi
sumber malapetaka perekonomian di masa depan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sampai sejauh ini perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota Asean masih
menunjukkan kinerja yang positif (surplus perdagangan). Pada 2010 neraca perdagangan
Indonesia ke Asean surplus US$ 3,6 miliar, dengan rincian ekspor sebesar US$ 25,6 miliar dan
impor US$ 22,0 miliar (BPS, 2011). Kinerja perdagangan ini sendiri terus menunjukkan tren
yang membaik dari tahun ke tahun mengingat pada 2005 dan 2006 Indonesia masih mencatat
perdagangan defisit ke Asean. Pada 2007 dan 2008 perdagangan surplus, tapi masih di bawah
US$ 900 juta. Baru pada 2009 dan 2010 perdagangan meraih hasil meyakinkan (2009 sebesar
US$ 2,9 miliar). Dengan kalkulasi seperti itu, peluang Indonesia untuk mengembangkan ekspor
masih terbuka lebar asalkan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas dapat dipecahkan
secara cepat. Agenda lebih rinci mesti dibuat dan dijalankan secara konsisten.
http://amadmomod.heck.in/contoh-makalah-ekonomi-makro-indonesia-m.xhtml