mean

9
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG KTT Asean yang digelar di Jakarta 6 Mei 2011 lalu membahas berbagai masalah penting di kawasan ASEAN. Salah satu isu penting yang dibahas tentu saja adalah persiapan pemberlakuan Pasar Tunggal Asean pada 2015 yang menjadikan kawasan ini sebagai basis produksi dan pasar tunggal. Indonesia pasti sudah memersiapkan diri untuk menyongsong era “Masyarakat Ekonomi Asean” (MEA) tersebut serta merancang skema yang dianggap paling menguntungkan bagi perekonomian nasional. Namun, dengan melihat pengalaman ACFTA dan situasi perekonomian terakhir, rasanya Indonesia perlu hati-hati untuk melangkah mengingat konsekuensi dari pemberlakuan Pasar Tunggal Asean ini tidaklah ringan. Secara teoritis, Indonesia mempunyai peluang yang baik dengan adanya kesepakatan ini, tapi dengan melihat persoalan-persoalan ekonomi yang muncul bisa jadi peluang itu menguap begitu saja. Para pengamat banyak ragam pandangan, khususnya mengenai terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pandangan tersebut secara umum terbelah menjadi dua kutub, yakni pihak yang optimis dan pesimis. Pihak yang optimis melihat Indonesia akan mendapatkan benefit yang besar dengan terjadinya basis produksi dan pasar tunggal Asean, utamanya jika melihat potensi sumber ekonomi dan jumlah penduduk. Sebaliknya, pihak yang pesimis yakin Indonesia akan makin tenggelam perekonomiannya karena direndam oleh banjir produk-produk negara tetangga. Hal ini bisa terjadi

Upload: miftahul-fitri

Post on 30-Jan-2016

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mean

TRANSCRIPT

Page 1: Mean

BAB IPENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG

KTT Asean yang digelar di Jakarta 6 Mei 2011 lalu membahas berbagai masalah penting di

kawasan ASEAN. Salah satu isu penting yang dibahas tentu saja adalah persiapan pemberlakuan

Pasar Tunggal Asean pada 2015 yang menjadikan kawasan ini sebagai basis produksi dan pasar

tunggal. Indonesia pasti sudah memersiapkan diri untuk menyongsong era “Masyarakat Ekonomi

Asean” (MEA) tersebut serta merancang skema yang dianggap paling menguntungkan bagi

perekonomian nasional. Namun, dengan melihat pengalaman ACFTA dan situasi perekonomian

terakhir, rasanya Indonesia perlu hati-hati untuk

melangkah mengingat konsekuensi dari pemberlakuan Pasar Tunggal Asean ini tidaklah ringan.

Secara teoritis, Indonesia mempunyai peluang yang baik dengan adanya kesepakatan ini, tapi

dengan melihat persoalan-persoalan ekonomi yang muncul bisa jadi peluang itu menguap begitu

saja.

Para pengamat banyak ragam pandangan, khususnya mengenai terbentuknya Masyarakat

Ekonomi Asean (MEA). Pandangan tersebut secara umum terbelah menjadi dua kutub, yakni

pihak yang optimis dan pesimis. Pihak yang optimis melihat Indonesia akan mendapatkan

benefit yang besar dengan terjadinya basis produksi dan pasar tunggal Asean, utamanya jika

melihat potensi sumber ekonomi dan jumlah penduduk. Sebaliknya, pihak yang pesimis yakin

Indonesia akan makin tenggelam perekonomiannya karena direndam oleh banjir produk-produk

negara tetangga. Hal ini bisa terjadi karena ketidaksiapan ekonomi domestik dalam menghadang

serbuan ekonomi luar negeri, di samping kealpaan membangun ekonomi nasional secara

sungguh-sungguh. Masing-masing pihak itu barangkali punya kontribusi kebenaran dalam

menganalis persoalan ini, sehingga mengenali kedua sudt pandang tersebut menjadi sangat

penting.

B.      Identifikasi Masalah

1.      Menghitung posisi Indonesia di pentas ASEAN

2.      Bagaimana Indonesia menghadapi Masyrakat Ekonomi Asean (MEA) 2015

BAB II

PEMBAHASAN

Page 2: Mean

Jika berbicara soal kompetisi perekonomian yang makin terbuka saat ini, sekurangnya terdapat

dua level masalah yang harus dilihat, yakni situasi ekonomi domestik dan peluang yang bisa

direbut. Dalam beberapa aspek, harus diakui perekonomian nasional telah mencapai hal-hal

positif dalam beberapa tahun terakhir, seperti stabilitas makroekonomi, ekspor yang makin maju,

dan sektor keuangan yang kian mapan. Namun, di balik itu terdapat soal-soal serius yang belum

juga mengalami perbaikan berarti.

Pertama, perekonomian nasional makin menjauh dari sendi-sendi kegiatan produktif yang

menjadi nafas hidup sebagian besar masyarakat. Peranan dan pertumbuhan sektor pertanian dan

industri menuju lereng negatif dalam beberapa tahun terakhir, sehingga pondasi ekonomi

nasional menjadi keropos. Dukungan sektor keuangan (bank) terhadap kedua sektor tersebut juga

makin melorot.  Bayangkan saja, pada 2000 sektor tradeable (pertanian, industri, pertambangan)

masih menyerap 47,96% dari total kredit, tapi pada 2010 menjadi tinggal 24,22% (Indef, 2011).

Kedua, iklim investasi di Indonesia juga stagnan, apalagi bila dibandingkan dengan negara-

negara sekawasan. Dalam beberapa aspek memang terdapat perbaikan iklim investasi di

Indonesia, seperti ditunjukkan biaya perizinan yang makin murah, jumlah prosedur yang terus

berkurang, dan waktu pengurusan yang kian cepat. Namun, percepatan perbaikan itu kalah

langkah ketimbang negara-negara tetangga sehingga tetap saja membuat iklim investasi dan daya

saing tertinggal di bagian bawah. Misalnya saja, biaya memulai bisnis di Indonesia masih

sebesar 26% dari pendapatan per kapita, sedangkan di Singapura dan Malaysia masing-masing

0,7% dan 11,9%. Hal yang sama juga dalam hal lama pengurusan izin usaha, di mana Indonesia

hanya lebih bagus dari Filipina dan Laos pada level Asean (Bank Dunia, 2010). Jika soal-soal ini

tidak segera ditangani secara sigap dan cepat, sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-

negara Asean di masa depan.

Ketiga, masih berkaitan dengan iklim investasi dan daya saing ekonomi adalah ketersediaan

infrastruktur. Serangkaian upaya sudah dilakukan pemerintah untuk memercepat pembangunan

infrastruktur ini (jalan, pelabuhan, listrik, irigasi, jembatan, air minum, rel kereta api, bandara,

dan lain-lain), misalnya mengadakan infrastructure summit, namun hasilnya sangat tidak

memadai. Di luar masalah pendanaan yang kerap disebut sebagai soal utama, sebetulnya aspek

yang jauh lebih jelas adalah ketidaksiapan pemerintah sendiri untuk menindaklanjuti persetujuan

investasi infrastruktur. Hasilnya, ketersediaan infrastruktur di Indonesia jauh tertinggal daripada

negara-negara sekawasan. Pada 2009, sekitar 101,2 juta penduduk di Indonesia hidup tanpa

Page 3: Mean

akses listrik. Sementara itu, jalan aspal di Indonesia baru 58%, lebih rendah dari Brunei dan

Filipina sekalipun (masing-masing 78% dan 81%) [Indef, 2011]. Tentu banyak soal lain yang

mesti diselesaikan, tapi tiga hal ini adalah yang paling pokok.

Meskipun kondisi perekonomian bisa dikatakan compang-camping, tapi sejauh ini Indonesia

masih memetik perdagangan dengan negara-negara Asean. Pada 2010 neraca perdagangan

Indonesia ke Asean surplus US$ 3,6 miliar, dengan rincian ekspor sebesar US$ 25,6 miliar dan

impor US$ 22,0 miliar (BPS, 2011). Kinerja perdagangan ini sendiri terus menunjukkan tren

yang membaik dari tahun ke tahun mengingat pada 2005 dan 2006 Indonesia masih mencatat

perdagangan defisit ke Asean. Pada 2007 dan 2008 perdagangan surplus, tapi masih di bawah

US$ 900 juta. Baru pada 2009 dan 2010 perdagangan meraih hasil meyakinkan (2009 sebesar

US$ 2,9 miliar). Angka-angka ini secara tersirat menunjukkan kompetisi yang relatif bagus dari

Indonesia berhadapan dengan negara kasawan Asean. Namun, tentu ada beberapa syarat lagi

yang perlu dipenuhi oleh Indonesia.

Pertama, sampai saat ini tidak ada keterpaduan antara pengembangan sektor keuangan

(khususnya perbankan) dengan sektor riil. Sektor perbankan memang berkembang cukup bagus,

yang ditunjukkan dengan beberapa indikator kunci, seperti LDR, CAR, NPL. ROA, dan lain

sebagainya. Namun, jika diperhatikan secara saksama terdapat masalah serius yang perlu segera

dibenahi: (i) masih tingginya net interest margin yang diambil oleh perbankan sehingga membuat

ongkos investasi sangat mahal. Di kawasan Asia, barangkali saat ini hanya Indonesia dan India

yang tingkat suku bunga kredit masih di atas 10%; (ii) alokasi kredit sektor perbankan yang

makin tidak berpihak kepada sektor riil (industri dan pertanian). Pemerintah dan Bank Indonesia

perlu turun tangan secara sungguh-sungguh untuk mendesain insentif yang memungkinkan

kedua sektor tersebut disantuni kembali oleh perbankan.

Kedua, terlalu banyak program dan target jangka pendek yang disusun pemerintah sehingga kita

kehilangan perspektif jangka panjang. Pasar tunggal Asean, blok perdagangan AFTA, dan lain

sebagainya tidak bisa disikapi sebagai tantangan ataupun peluang jangka pendek, tapi ia mesti

dilihat sebagai fenomena jangka panjang. Dengan begitu, rumusan-rumusan program dan target

yang dibuat juga mesti memiliki dimensi jangka panjang tersebut. Pada titik ini kita mengalami

masalah yang serius karena nyaris tidak ada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah untuk

merancang format ekonomi di masa depan, misalnya sektor induk perekonomian, bagaimana

pohon industri yang hendak dikembangkan, dan sumber daya (manusia, teknologi, ekonomi)

Page 4: Mean

yang harus dipersiapkan. Hal yang berbeda justru sudah dimiliki oleh negara tetangga, seperti

Malaysia, sehingga dengan langkah pasti mereka siap memasuki pasar tunggal Asean. Aneka

tantangan berat inilah yang harus dijawab pemerintah jika Indonesia ingin berada di podium

utama pentas Asean.

Memerkuat Ekonomi Domestik

Sekurangnya terdapat tiga masalah serius yang menjadi mimpi buruk perekonomian nasional

pada saat ini.

Pertama, lokomotif perekonomian nasional yang semula bertumpu kepada sektor industri

(manufaktur) dalam lima tahun terakhir justru menunjukkan kinerja yang makin menurun, baik

dilihat dari tren pertumbuhan maupun kontribusinya terhadap PDB. Pada 2005 kontribusi sektor

industri terhadap PDB masih di kisaran 28%, namun pada 2010 lalu melorot menjadi 24%.

Subsektor industri, seperti tekstil, alas kaki, kulit, elektronika, kayu olahan, dan lain-lain mulai

menurun pertumbuhannya dan tentu saja penetrasi ekspornya juga melemah. Gejala

deindustrialisasi ini bermasalah tidak hanya dari aspek domestik (penurunan kesempatan kerja),

tapi juga kesempatan untuk bersaing di pasar global. Jika problem ini tidak dapat diatasi dalam

waktu singkat, maka Indonesia akan kehilangan peluru di pasar global.

Kedua, konektivitas dan daya dukung ekonomi domestik masih rawan akibat tidak ada kebijakan

yang terpadu untuk menciptakan daya saing ekonomi. Pasar ekonomi domestik masih terpecah-

pecah (fragmented), yang sebagian disebabkan oleh ketersediaan infrastruktur yang tidak

memadai. Pergerakan barang/jasa antardaerah tidak bisa mulus karena prasarana jalan dan

pelabuhan yang tidak mendukung. Realitas ini tidak hanya mengganggu proses produksi, tetapi

yang lebih penting juga menyebabkan masalah distribusi. Ditambah dengan persoalan

kelangkaan listrik, energi yang kian mahal, pungutan liar, dan aneka masalah lain menyebabkan

ekonomi nasional dijangkiti penyakit ekonomi biaya tinggi. Seluruh kondisi itu pasti akan

memberatkan produk/jasa Indonesia bersaing di pasar internasional, khususnya di Asean, jika

nantinya pasar tunggal itu benar-benar direalisasikan pada 2015.

Ketiga, iklim investasi di Indonesia tidak kunjung membaik karena aspek-aspek penunjang

terpenting dari iklim investasi tersebut, yakni pemerintahan yang bersih dan efisien, kepastian

hukum, infrastruktur yang bagus, perizinan yang sederhana dan murah, pembebasan lahan yang

cepat dan pasti, dan jaminan hak kepemilikan belum mengalami perbaikan yang berarti. Jaminan

hak kepemilikan di Indonesia masih yang terburuk di Asia, perizinan masih mahal dan lama (di

Page 5: Mean

Asean hanya lebih bagus ketimbang Laos dan Filipina), korupsi  terburuk di Asean, dan

pembebasan lahan menjadi ganjalan serius bagi investor untuk menanamkan modalnya. 

Serangkaian masalah iklim investasi itu menyebabkan potensi ekonomi Indonesia yang luar

biasa besar menjadi hilang begitu saja karena tertekan dengan soal-soal tersebut. Pemerintah

memang sudah berjuang untuk mengatasinya, tapi hasilnya masih minim sampai hari ini.

Agenda lebih rinci yang mesti dijabarkan adalah menjadikan kawasan basis produksi dan pasar

tunggal. Indonesia harus betul-betul selektif untuk menempatkan sektor-sektor ekonomi strategis

dan potensial yang selama ini menjadi unggulan domestik sebagai basis produksi. Sampai kini

Indonesia masih menjadi koordinator untuk sektor otomotif dan agrobisnis sebagai pilar basis

produksi. Sektor agrobisnis merupakan harga mati yang harus dipertahankan pemerintah karena

keunggulan Indonesia nyaris mutlak. Hanya pemerintah masih lemah dalam mengaitkan antara

sektor hulu dan hilir terbukti dengan minimnya sektor manufaktur yang mengolah aneka produk

dari sektor pertanian (dalam arti luas). Sampai saat ini sebagian besar komoditas sektor pertanian

masih diekspor dalam bentuk mentah sehingga tidak menimbulkan nilai tambah, seperti kelapa

sawit, produk ikan, buah-buahan, dan lain-lain.

Berikutnya, lima pilar yang akan dijalankan oleh MEA adalah aliran bebas barang, jasa,

investasi, tenaga kerja (TK) terampil, dan modal. Dari kelima pilar tersebut titik kritis yang harus

dicermati adalah aliran bebas jasa, TK terampil, dan modal. Sektor jasa merupakan kartu mati

bagi Indonesia selama ini karena menyumbang defisit yang cukup besar dalam neraca

pembayaran nasional, demikian pula aliran modal yang kerap menjadi masalah. Sementara itu,

TK terampil juga harus dicamkan secara saksama karena struktur TK Indonesia dipenuhi tenaga

kerja yang tidak terampil, di mana sekitar 70% TK memiliki kualifikasi cuma tamat SMP ke

bawah. Jika tidak dikenali secara lebih detail pada aspek-aspek tersebur, bisa jadi hal ini akan

menjadi lubang yang menggerogoti perekonomian nasional. Pemerintah masih punya waktu

(meski pendek) untuk berhitung secara cermat dalam menyikapi MEA ini agar tidak menjadi

sumber malapetaka perekonomian di masa depan. 

BAB III

PENUTUP

A.      KESIMPULAN

Page 6: Mean

Sampai sejauh ini perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota Asean masih

menunjukkan kinerja yang positif (surplus perdagangan). Pada 2010 neraca perdagangan

Indonesia ke Asean surplus US$ 3,6 miliar, dengan rincian ekspor sebesar US$ 25,6 miliar dan

impor US$ 22,0 miliar (BPS, 2011). Kinerja perdagangan ini sendiri terus menunjukkan tren

yang membaik dari tahun ke tahun mengingat pada 2005 dan 2006 Indonesia masih mencatat

perdagangan defisit ke Asean. Pada 2007 dan 2008 perdagangan surplus, tapi masih di bawah

US$ 900 juta. Baru pada 2009 dan 2010 perdagangan meraih hasil meyakinkan (2009 sebesar

US$ 2,9 miliar). Dengan kalkulasi seperti itu, peluang Indonesia untuk mengembangkan ekspor

masih terbuka lebar asalkan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas dapat dipecahkan

secara cepat. Agenda lebih rinci mesti dibuat dan dijalankan secara konsisten.

http://amadmomod.heck.in/contoh-makalah-ekonomi-makro-indonesia-m.xhtml