mcniniksrirejekiuibab2

51
25 BAB II KERANGKA KONSEPTUAL II.1. Konstruktivisme sebagai Paradigma Penelitian Dalam Guba dan Lincoln (1994:107) dikemukakan bahwa paradigma adalah basic belief system atau sistem keyakinan dasar. Sistem keyakinan, dalam “Encyclopedia of Cultural Anthropology” (Levinson dan Ember, 1996:125) merupakan segala sesuatu yang tertanam secara dalam, meliputi kepercayaan, gagasan, pemahaman, dan harapan yang mendasari dan memotivasi beroperasinya suatu budaya. Sistem keyakinan ini memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mengarahkan perilaku. Sebagai sistem keyakinan dasar, paradigma memiliki implikasi metodologis atas penelitian. Selain itu paradigma berperan sebagai representasi world view atau pandangan dunia peneliti. Asumsi yang tumbuh dalam sebuah paradigma mengandung kualitas yang menentukan dan mampu beroperasi dengan kekuatan moral. Adapun asumsi-asumsi yang ada dalam paradigma meliputi asumsi-asumsi ontologis, epistemologis, dan metodologis (Guba dan Lincoln, 1994:105). Mencermati hal ini, maka paradigma penelitian bermafaat bagi peneliti dalam tiga aspek, pertama , sebagai perangkat keyakinan dasar dalam melakukan kegiatan penelitian. Kedua , untuk merepresentasikan pandangan dunia peneliti. Ketiga , untuk menjelaskan posisi metodologis peneliti. Studi tentang ini berlandas pada paradigma konstruktivisme. Denzin dan Lincoln (1994:109), mengemukakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu dari paradigma- paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Paradigma-paradigma lainnya adalah positivisme,

Upload: conita-aulia-wijayanti

Post on 06-Feb-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

k

TRANSCRIPT

Page 1: mcniniksrirejekiuibab2

25

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

II.1. Konstruktivisme sebagai Paradigma Penelitian

Dalam Guba dan Lincoln (1994:107) dikemukakan bahwa paradigma adalah basic

belief system atau sistem keyakinan dasar. Sistem keyakinan, dalam “Encyclopedia of

Cultural Anthropology” (Levinson dan Ember, 1996:125) merupakan segala sesuatu yang

tertanam secara dalam, meliputi kepercayaan, gagasan, pemahaman, dan harapan yang

mendasari dan memotivasi beroperasinya suatu budaya. Sistem keyakinan ini memiliki

kekuatan yang luar biasa dalam mengarahkan perilaku.

Sebagai sistem keyakinan dasar, paradigma memiliki implikasi metodologis atas

penelitian. Selain itu paradigma berperan sebagai representasi world view atau pandangan

dunia peneliti. Asumsi yang tumbuh dalam sebuah paradigma mengandung kualitas yang

menentukan dan mampu beroperasi dengan kekuatan moral. Adapun asumsi-asumsi yang

ada dalam paradigma meliputi asumsi-asumsi ontologis, epistemologis, dan metodologis

(Guba dan Lincoln, 1994:105).

Mencermati hal ini, maka paradigma penelitian bermafaat bagi peneliti dalam tiga

aspek, pertama, sebagai perangkat keyakinan dasar dalam melakukan kegiatan penelitian.

Kedua, untuk merepresentasikan pandangan dunia peneliti. Ketiga, untuk menjelaskan

posisi metodologis peneliti.

Studi tentang ini berlandas pada paradigma konstruktivisme. Denzin dan Lincoln

(1994:109), mengemukakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu dari paradigma-

paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Paradigma-paradigma lainnya adalah positivisme,

Page 2: mcniniksrirejekiuibab2

26

postpositivisme, dan kritis. Masing-masing paradigma berbeda dalam asumsi ontologis

(asumsi tentang realitas), asumsi epistemologis (asumsi tentang relasi antara peneliti dan

yang diteliti), dan asumsi metodologis (asumsi tentang cara/proses peneliti memperoleh

pengetahuan).

Adapun asumsi-asumsi paradigma konstruktivisme yang akan digunakan dalam

penelitian adalah sebagaimana tampak dalam Tabel II.1.

Tabel II.1. Asumsi-asumsi Ontologis, Epistemologis, dan Metodologis

dari Paradigma Konstruktivisme

ASUMSI KARAKTERISTIK

Ontologis Mengenal relativisme, yakni realitas yang

dikonstruksi secara spesifik dan bersifat

lokal

Epistemologis Penelitian bersifat transaksional, peneliti

berperan sebagai subjektivis yang

menciptakan temuan-temuan

Metodologis Hermeneutik/dialektik

Sumber: Guba dan Lincoln (1994:109)

Paradigma ini memiliki tujuan inkuiri untuk melakukan rekonstruksi pemahaman.

Pengetahuan yang diperoleh berupa rekonstruksi pemikiran individual yang menyatu

dengan lingkungan sosialnya. Nilai-nilai diperlakukan menyatu dalam proses penelitian,

yakni dibentuk bersama dalam interaksi antara peneliti dan yang diteliti. Sementara itu

kriteria kualitas penelitian bersifat terpercaya dan asli (trustworthiness dan authenticity)

(Guba dan Lincoln, 1994:112).

Pemikiran konstruktivis sendiri mengacu pada konstruktivisme, yakni filsafat

pengetahuan yang meyakini bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil konstruksi

Page 3: mcniniksrirejekiuibab2

27

dari manusia itu sendiri (von Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994,

seperti dikutip oleh Suparno, 1997:18). Selain itu, konstruktivisme merupakan filosofi

pembelajaran dengan premis manusia mengkonstruksi pemahamannya sendiri atas dunia

tempat ia hidup dan tinggal (Anonim, 2004).

Realitas bagi konstruktivis tidak pernah terpisah dari pengamat. Kebenaran dalam

pemikiran ini dipandang dalam kerangka kemampuan beroperasinya suatu konsep atau

pengetahuan. Artinya sebuah pengetahuan dipandang benar apabila pengetahuan itu dapat

digunakan untuk menghadapi berbagai fenomena atau persoalan yang terkait dengan

pengetahuan tersebut (Suparno, 1997:21).

Sebagai sebuah pemikiran, konstruktivisme sudah dimulai sejak Giambatista Vico,

seorang epistemolog Italia pada tahun 1710. Vico mengungkapkan bahwa “mengetahui”

berarti mengetahui bagaimana mengkonstruksi sesuatu. Bagi Vico, pengetahuan akan

mengacu pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan juga tak dapat dipisahkan dari

subjek yang memiliki pengetahuan itu (Suparno, 1997:24).

Ada dua tradisi utama konstruktivisme, yaitu psikologis dan sosiologis (Matthews

seperti dikutip oleh Suparno, 1997:43). Konstruktivisme psikologis memiliki pandangan

bahwa pengetahuan dibangun dalam kerangka perkembangan psikologis, sedangkan

konstruktivisme sosiologis memandang bahwa pengetahuan dibangun oleh masyarakat.

Terdapat dua cabang konstruktivisme psikologis, yaitu konstruktivisme psikologis

personal yang dikembangkan Piaget dan konstruktivisme sosiokultural dari Vigotsky.

Sementara konstruktivisme sosiologi berdiri sendiri. Berdasar pembedaan tersebut dapat

Page 4: mcniniksrirejekiuibab2

28

dikelompokkan konstruktivisme psikologis personal, konstruktivisme sosiokultural, dan

konstruktivisme sosiologis.

Konstruktivisme psikologis personal menekankan aktivitas individual dalam

pembentukan pengetahuan. Konstruktivisme sosiokultural berfokus pada hubungan

dialektik individu dengan masyarakat dalam membentuk pengetahuan. Sementara itu,

konstruktivisme sosiologis merupakan konstruktivisme yang tergolong personal sekaligus

sosial. Dalam pandangan ini, realitas dikonstruksi dan ditentukan secara sosial (Suparno,

1997:43-47).

Realitas atau situasi sosial dikonstruksi oleh para partisipan kehidupan sosial secara

intersubjektif. Dalam kerangka ini, kehidupan sehari-hari menampilkan dirinya sendiri

sebagai sebuah realitas. Realitas ini diinterpretasikan oleh manusia yang secara subjektif

memiliki makna baginya dan menjadi dasar pengetahuan dalam kehidupan keseharian

(Berger dan Luckmann, 1990).

Dalam Littlejohn (2005:118) dikemukakan konstruktivisme kognitif personal yang

dikembangkan oleh Jesse Delia, dkk. Tidak jelas apakah pemikiran ini dipengaruhi oleh

Piaget, namun dapat dicermati bahwa pemikiran Delia dkk. sejalan dengan pemikiran

Piaget, yaitu bahwa individu dipandang aktif menginterpretasikan realitas sesuai dengan

kategori konseptual pemikirannya. Realitas tersebut tidak hadir dalam bentuk kasar,

tetapi perlu disaring secara kognitif.

Littlejohn (2005:118) mengemukakan pula pemikiran konstruktivisme personal

dari George Kelly. Dalam pemikiran tersebut dikemukakan, individu memahami realitas

dengan mengelompokkan peristiwa-peristiwa menurut kesamaan dan perbedaan yang

Page 5: mcniniksrirejekiuibab2

29

terdapat dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Kesamaan dan perbedaan dipandang sesuai

dengan seperangkat hal-hal yang berlawanan yang ada di dalam sistem kognitif individu.

Ketika memberikan makna pada realitas, individu akan mengelompokkan ke skema-

skema interpretif.

Applegate (1988:44) mengemukakan bahwa konstruktivisme merupakan suatu

pendekatan dalam studi komunikasi. Konstruktivisme ini memberi tekanan pada dampak

perbedaan individu yang tetap dalam proses-proses persepsi sosial atas pengembangan

perilaku komunikasi. Selain itu juga menggunakan perilaku komunikasi yang berpusat

pada manusia. Adapun studi tentang persepsi sosial ini didasarkan pada teori konstruk

personal dari George Kelly. Tokoh konstruktivis lain yang berbasis pada aspek kognitif

adalah Bruner.

Menurut Bruner, belajar merupakan suatu proses yang aktif yang memungkinkan

warga belajar mengkonstruksi gagasan-gagasan baru atau konsep-konsep berbasis pada

pengetahuan sebelumnya atau saat ini. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa teori

konstruktivis Bruner merupakan kerangka kerja untuk tujuan instruksional berdasar pada

studi kognisi. Penelitian ini berlandas pada konstruktivisme sosiologis, sehingga asumsi

epistemologisnya adalah bahwa realitas sosial merupakan produk intersubjektif

(Bruner,2004).

Dalam Denzin dan Lincoln (1994:13) dikemukakan bahwa konstruktivis termasuk

interpretif. Adapun teori-teori interpretif adalah interaksionisme simbolik, fenomenologi,

etnometodologi, hermeneutik, psikoanalisis, etnologi, etnografi, dan sosiolinguistik

(Sarantakos, 1993:31).

Page 6: mcniniksrirejekiuibab2

30

Interpretivisme memiliki fokus studi pada makna simbolik, yakni jalinan makna

yang menunjukkan eksistensi manusia. Dalam pandangan interpretif, makna sangatlah

interpretif. Oleh karena itu dalam pandangan ini dikenal realitas ganda atau makna ganda.

Realitas sosial itu sendiri diciptakan dan dilestarikan melalui pengalaman subjektif dan

intersubjektif dari para aktor sosial.

II.2. Perspektif Fenomenologi untuk Memahami Pengalaman Komunikasi

Sebagai suatu studi yang berupaya untuk mengkonstruksi pengalaman komunikasi

antar budaya, studi ini menggunakan perspektif fenomenologi. Seperti yang dikemukakan

Littlejohn (2005), fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman

manusia.

Apabila dirunut dari aspek historis kemunculannya, fenomenologi terkait dengan

tradisi filsafat di Jerman pada abad XVIII dalam konteks filsafat hermeneutik. Filsafat ini

memiliki fokus pada konsep verstehen dalam melakukan kajiannya tentang manusia.

Menurut Kockelmans, istilah fenomenologi digunakan pertamakali pada tahun

1765 dalam ilmu filsafat. Selain itu istilah ini kadangkala termuat pula dalam tulisan-

tulisan Immanuel Kant. Dalam perspektif Kant, istilah fenomenologi bertolak dari kata

phenomenon yang berkaitan dengan sesuatu yang tampak dalam kesadaran manusia dan

noumenon, yakni sesuatu yang ada dalam dirinya. Namun menurut Moustakas, istilah ini

baru didefinisikan secara khusus oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa fenomenologi

mengacu pada pengetahuan yang muncul dari kesadaran, yakni pengetahuan yang

menggambarkan sesuatu yang dialami oleh manusia (Moustakas, 1994:26).

Page 7: mcniniksrirejekiuibab2

31

Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan

pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena

itu interpretasi atau verstehen merupakan proses yang aktif untuk memberikan makna

atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan

kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan (Littlejohn, 2005:38).

Satu hal yang penting ditekankan dalam fenomenologi adalah bahwa objek dan

peristiwa tersebut akan dilihat dalam perspektif manusia itu sendiri. dikemukakan bahwa

fenomenologi melakukan analisis atas kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang

yang hidup dalam kehidupannya sendiri (Griffin, 2003:32).

Menurut Littlejohn (2005:39), ada tiga aliran dalam fenomenologi. Aliran-aliran

itu adalah fenomenologi klasik, fenomenologi persepsi, dan fenomenologi hermeneutik.

Fenomenologi klasik terkait dengan Edmund Husserl yang merupakan seorang tokoh

fenomenologi modern. Pemikiran Husserl dipengaruhi oleh Descartes. Penjelasan Husserl

tentang pertalian antara pengetahuan subjektif dan objektif menunjukkan adanya

pengaruh Descartes dalam pemikiran Husserl. Descartes berbicara tentang pembentukan

realitas objektif. Obyek dikatakan memiliki realitas obyektif sepanjang realitas itu eksis

melalui representasi di dalam pemikiran. Jadi realitas obyektif berada dalam kebenaran

suatu realitas subyektif (Moustakas, 1994:27).

Dalam pandangan dua tokoh tersebut, hanya ada satu kepastian dalam membangun

suatu pengetahuan ilmiah yang obyekif, yakni melalui konstruksi atas segala sesuatu

yang dialami atau dipikirkan dan dirasakan oleh manusia. Sesuatu yang dialami dalam

Page 8: mcniniksrirejekiuibab2

32

kesadaran merupakan fenomenon. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “phaenesthai”.

Fenomenon kemudian memiliki arti sebagai sesuatu yang membawa pada kecerahan.

Menurut Moustakas (1994:25), Husserl mengembangkan suatu sistem filosofis

yang memiliki akarnya pada keterbukaan yang sifatnya subjektif. Husserl menyatakan

bahwa fenomenologi dapat digunakan untuk mengungkap pengetahuan, sekaligus untuk

menciptakan teori dan untuk menerapkan ilmu-ilmu humaniora. Dalam kaitannya dengan

fenomena, maka fenomena merupakan blok-blok bangunan dari ilmu humaniora yang

menjadi dasar semua pengetahuan yang kemudian berkembang menjadi fenomenologi.

Pengetahuan berfokus pada pengalaman dan kekuatan-kekuatan reflektif yang ada

pada diri manusia. Oleh karena itu Moustakas kemudian menyebut fenomenologi Husserl

sebagai fenomenologi transendental. Fenomenologi transendental berkaitan erat dengan

konsep intensionalitas. Dari konsep ini tersirat adanya orientasi pemikiran pada obyek,

yakni obyek yang berada di dalam pemikiran manusia (Moustakas, 1994:28).

Dalam pada itu fenomenologi persepsi dapat dikaitkan dengan Maurice Merleau-

Ponty. Sebagai seorang tokoh dalam fenomenologi, Merleau-Ponty memiliki pandangan

yang berbeda dengan Edmund Husserl. Meskipun besar pengaruh Husserl atas pemikiran

Merleau-Ponty, ia merupakan tokoh yang menolak pandangan Husserl. Dalam pandangan

fenomenologi Merleau-Ponty, semua pengetahuan manusia tentang dunia yang berasal

dari sudut pandangnya sendiri (Littlejohn, 2005:38).

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang mampu menciptakan makna bagi

dunianya. Kemampuan ini dimiliki manusia karena adanya kesatuan fisik dan mental di

dalam dirinya. Dengan kemampuannya itu manusia menempati posisi sebagai subjek atau

Page 9: mcniniksrirejekiuibab2

33

orang yang mengetahui dunianya. Dalam posisinya tersebut, manusia memiliki hubungan

dengan benda-benda yang terdapat di dunia. Manusia mendefinisikan dan memberikan

makna pada dunia. Pada gilirannya pengalaman hidup manusia itupun akan dipengaruhi

oleh dunianya itu. Dengan demikian pengalaman adalah subjektif. Pandangan ini berbeda

dengan Edmund Husserl yang secara tajam memisahkan subjek dengan objek. Manusia

terpisah dari objek. Untuk mengetahui objek, manusia perlu mengeliminasi bias-bias

yang menyertai pengamatan yang dilakukannya (Littlejohn, 2002:185).

Dalam tradisi fenomenologipun kemudian tetap dikenal bahwa pengalaman

adalah subjektif. Dalam kerangka ini terdapat penekanan yang besar terhadap persepsi

dan interpretasi orang atas pengalaman subjektifnya sendiri. Alfred Schutz adalah tokoh

yang menerapkan idealisme Merleau-Ponty dalam kehidupan sosial.

Pemikiran fenomenologis Schutz adalah kritik atas fenomenologi Husserl. Schutz

menolak pemikiran Husserl yang menekankan pada fenomena kehidupan manusia tanpa

mempersoalkan kausalitas dari realitas obyektif. Pemaknaan manusia terhadap realitas

obyektif tidak akan terlepas dari latar belakangnya. Oleh karena itu tampak bahwa Schutz

mempertimbangkan aspek kausalitas dalam proses pemberian makna oleh manusia.

Adalah fenomenologi hermeneutik yang konsisten dengan tradisi fenomenologi

persepsi. Fenomenologi hermeneutik dikaitkan dengan Martin Heideggers. Ia memiliki

kerangka kerja dalam hermeneutik filosofis. Filsafat ini disebut juga sebagai hermeneutik

dasein yang berarti “interpretation of being”. Dalam kerangka ini realitas tentang sesuatu

merupakan pengalaman dari penggunaan bahasa yang berada dalam konteksnya.

Page 10: mcniniksrirejekiuibab2

34

Dalam pada itu Deetz (Liitlejohn, 2005:38) mengemukakan tiga prinsip dasar

fenomenologi, yaitu pertama, pengetahuan adalah sadar. Pengetahuan tidak disimpulkan

dari pengalaman, namun diperoleh secara langsung di dalam pengalaman yang sadar.

Kedua, makna sebuah benda mengandung potensi benda itu dalam kehidupan seseorang.

Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengaitkan makna tersebut dengan sebuah objek

akan menentukan makna tersebut bagi orang itu. Ketiga, bahasa merupakan wahana bagi

makna. Hal ini menunjukkan bahwa dunia dialami oleh manusia melalui bahasa yang

digunakan untuk mengungkapkan dan untuk mendefinisikan dunia itu.

Bertolak dari idealisme tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk membangun

sebuah pengetahuan atau untuk memahami suatu realitas, pengalaman hidup nyata yang

secara sadar dialami manusia dapat diperlakukan sebagai data dasar. Pengalaman hidup

tersebut mencakup pengalaman berkomunikasi, termasuk komunikasi antar pihak-pihak

yang memiliki perbedaan dalam latar belakang budaya. Pengalaman komunikasi tersebut

kemudian dikaji hingga terbangunnya sebuah pengetahuan atau dapat dipahaminya suatu

realitas tentang komunikasi antar budaya.

II.3. Adaptasi dalam Kawasan Studi Komunikasi Antar Budaya

Ada berbagai topik kajian dalam kawasan studi komunikasi antar budaya. Topik-

topik itu menyangkut aspek identitas kultural, adaptasi dalam proses komunikasi antar

budaya, konflik antar budaya, dan sebagainya. Sebagai salah satu topik kajian dalam

komunikasi antar budaya, adaptasi adalah suatu problema yang perlu dipecahkan ketika

seseorang atau kelompok orang berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda budaya.

Page 11: mcniniksrirejekiuibab2

35

Adaptasi dalam kawasan studi komunikasi antar budaya pada umumnya dikaitkan

dengan sebuah perubahan dari suatu masyarakat atau bagian dari masyarakat. Perubahan

ini terjadi karena adanya kesenjangan budaya sebagai akibat perpindahan strangers dari

satu budaya ke budaya lain atau karena adanya perubahan dalam lingkungan sosialnya.

Komunikasi antar budaya sendiri, apabila mengacu dari pengertian Kim, Samovar

dkk., dan Ting-Toomey, adalah komunikasi yang mengacu pada fenomena perbedaan

dalam latar belakang budaya di antara para partisipannya. Tekanan tersebut dapat disimak

dari pengertian komunikasi antar budaya yang dikemukakan oleh Kim (1984:16), yaitu

komunikasi yang mengacu pada fenomena latar belakang budaya yang berbeda dari para

partisipannya. Tekanan yang sama terdapat pula dalam pengertian yang dikemukakan

oleh Samovar dkk. (1981:27), komunikasi antar budaya adalah komunikasi dengan

karakteristik sumber dan penerima pesan berasal dari budaya yang berbeda. Sementara

itu, Ting-Toomey (1999:16) memandang komunikasi antar budaya sebagai istilah yang

mengacu pada proses komunikasi di antara para anggota komunitas budaya yang berbeda.

Ada dua aspek utama yang membedakan komunikasi antar budaya dengan kajian

komunikasi lainnya serta bidang-bidang ilmu, seperti antropologi dan psikologi silang

budaya. Aspek-aspek itu adalah pertama, komunikasi antar budaya ditandai oleh adanya

tingkat perbedaan yang relatif tinggi dalam latar belakang pengalaman para partisipannya

yang disebabkan oleh perbedaan budaya di antara mereka. Kedua, dalam komunikasi

antar budaya, terdapat dua unsur, yakni interaksi dan komunikasi. Adanya interaksi dan

komunikasi ini yang membedakan kajian komunikasi antar budaya dari kajian-kajian

antropologi atau psikologi silang budaya (Kim, 1984:16).

Page 12: mcniniksrirejekiuibab2

36

Sebagai sebuah kawasan kajian dalam ilmu komunikasi, komunikasi antar budaya

memiliki dua konsep pokok, yakni budaya dan komunikasi. Dalam Koentjaraningrat

(1985:9) dikemukakan bahwa pengertian kebudayaan mencakup keseluruhan gagasan

dan karya manusia. Oleh karena itu secara luas budaya memiliki pengertian sebagai

keseluruhan pikiran, karya, dan hasil karya manusia. Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu

(1) ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; (2) aktivitas

perilaku manusia berpola; (3) benda-benda hasil karya manusia.

Dari sisi kemunculannya, budaya dapat dipandang sebagai produk konvensi dan

produk konsensus masyarakat. Sebagai produk konsensus, budaya adalah sesuatu yang

berasal dari konvensi sosial masyarakat. Menurut Durkheim (Barnett dan Lee, 2002:276),

kognisi yang dimiliki dan digunakan bersama dalam menghasilkan budaya merupakan

representasi kolektif yang tidak bersifat individual, namun merupakan asosiasi pemikiran.

Dalam berasosiasi, setiap individu memiliki kontribusinya. Oleh karena itu dapat terjadi,

dalam asosiasi itu masuk perasaan (sentimen-sentimen) pribadi, sehingga memberikan

kombinasi dalam asosiasi, tetapi hasilnya tetap tidak bersifat individual. Oleh karena itu

dalam memahami budaya, tetaplah akan dipandang sebagai agregat.

Sebagaimana pemikiran yang memandang budaya sebagai properti kelompok,

maka budaya itu merupakan sistem makna kolektif yang dimiliki dan digunakan bersama

oleh para anggota kelompok budaya. Di dalam sistem makna terdapat nilai-nilai, sikap-

sikap, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, dan pemikiran-pemikiran kolektif.

Dalam kerangka ini, budaya adalah properti yang muncul dari interaksi sosial para

anggota. Budaya ini menjadi penentu cara-cara para anggota budaya berkomunikasi. Pada

Page 13: mcniniksrirejekiuibab2

37

akhirnya makna yang diatribusikan ke dalam simbol-simbol verbal dan perilaku-perilaku

nonverbal ditentukan oleh masyarakat sebagai suatu agregat (Barnett dan Lee, 2002:277).

Sebagai produk konsensus, budaya terkait dengan makna simbol. Budaya dengan

demikian merupakan konsensus atas makna simbol, baik verbal maupun nonverbal yang

dibangun oleh para anggota kelompok budaya sendiri. Konsensus ini diperlukan untuk

komunikasi yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial dalam sebuah kelompok

budaya (Barnett dan Lee, 2002:277).

Beberapa kawasan studi komunikasi antar budaya adalah ekonomi, demografi dan

perdamaian. Di bidang ekonomi, ada dua alasan diperlukannya studi tentang komunikasi

antar budaya, yaitu lingkungan kerja dan ekonomi global. Di dalam lingkungan kerja,

bisnis perlu memberi perhatian pada aspek-aspek keragaman atau diversitas, di antaranya

adalah keragaman tenaga kerja. Kemampuan komunikasi antar budaya dalam konteks ini

diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antar budaya di antara para pekerja.

Dalam ekonomi global, komunikasi antar budaya diperlukan untuk meningkatkan

kemampuan tenaga kerja agar dapat berkomunikasi secara efektif guna dapat menunjang

keberhasilan usaha atau bisnis dalam melakukan ekspansi ke pasar global. Oleh karena

itu diperlukan kemampuan berkomunikasi yang baik. Dalam bidang demografi dapat

dikemukakan bahwa perubahan pola demografik memerlukan kompetensi komunikasi

antar budaya yang memadai pula. Pemusatan industri di kota-kota besar akan menarik

tenaga kerja dari berbagai etnis dan ras. Keragaman ini membawa implikasi dalam aspek

komunikasi antarbudaya.

Page 14: mcniniksrirejekiuibab2

38

Dalam kerangka memelihara perdamaian, komunikasi antar budaya diperlukan

untuk menjaga agar individu-individu yang berbeda dalam jenis kelamin, usia, etnisitas,

ras, bahasa, dan budaya dapat hidup berdampingan secara damai. Hal ini karena kontak

antar kelompok budaya yang berbeda dapat membawa situasi tidak harmonis dalam

berbagai tataran, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Untuk memahami komunikasi antar budaya, Kim (1984:17) mengemukakan tiga

dimensi pemahaman, yaitu (1) tataran keanggotaan komunikator dalam sebuah kelompok

budaya, (2) konteks sosial terjadinya komunikasi, dan (3) saluran komunikasi. Tataran

keanggotaan, konteks sosial, dan saluran komunikasi tersebut berpengaruh terhadap

keseluruhan proses dan keluaran komunikasi antar budaya.

Dimensi tingkat keanggotaan kelompok mengacu pada tingkatan yang berbeda

dalam cakupan dan kompleksitas sebuah organisasi sosial. Tingkatan ini meliputi world

regions (misalnya budaya Timur dan Budaya budaya Barat), world subregions (misalnya

budaya Amerika Utara dan budaya Asia Tenggara), bangsa/nasional (misalnya budaya

Perancis dan budaya Jepang), kelompok etnik/rasial (misalnya budaya orang Amerika

berkulit hitam dan budaya orang Amerika berkulit putih), dan berbagai kelompok

sosiologis (subkelompok-subkelompok yang dikategorikan menurut jenis kelamin, kelas

sosial, wilayah geografis, dan kelompok countercultural), seperti budaya Hippi, budaya

penjara, dan budaya jalanan. Selain itu mencakup pula komunikasi di antara individu

yang berbeda budaya.

Dalam Kim (1984:17) dikemukakan bahwa perhatian utama dari para ilmuwan

dan peneliti komunikasi antar budaya adalah pada komunikasi di antara para individu

Page 15: mcniniksrirejekiuibab2

39

yang berasal dari budaya bangsa yang berbeda, seperti komunikasi antara pebisnis dari

Jepang dan pebisnis dari Amerika Utara. Selain itu para pakar dan peneliti juga berfokus

pada komunikasi antar budaya yang terjadi antara individu dari ras atau etnik yang

berbeda, seperti komunikasi antara seorang mahasiswa asli Amerika dan dosen yang dari

Amerika Utara. Istilah-istilah komunikasi internasional atau komunikasi antar ras atau

antar etnik digunakan untuk merujuk semua fenomena komunikasi antar budaya dengan

para komunikatornya yang berbeda budaya. Tataran keanggotaan kelompok budaya dari

komunikator adalah seperti tampak pada Gambar II.1.

Gambar II.1. Tingkatan Keanggotaan Komunikator dalam Kelompok Budaya

Sumber: Kim (1984:18).

world

regions

nations

Ethnic/racial groups

Sosiological groups

individuals

Page 16: mcniniksrirejekiuibab2

40

Kedua, dimensi konteks sosial. Dimensi ini mengacu pada konteks sosial spesifik

tempat terjadinya komunikasi. Dalam sebuah konteks sosial, terjadi share kebersamaan

berlandaskan elemen-elemen dan proses-proses komunikasi antar manusia, seperti

pengiriman, penerimaan, dan pemrosesan pesan. Beberapa konteks sosial adalah seperti

konteks pendidikan, konteks pembangunan, konteks konseling/teraputik, konteks

organisasional/bisnis, konteks politik, konteks akulturasi imigran, konteks sojourner

adjustment, dan sebagainya. Hal ini seperti tampak dalam Gambar II.2. Konteks sosial

tersebut dapat memberi pemahaman tentang hal-hal yang spesifik dalam hubungan antar

peranan, harapan-harapan, serta norma-norma dan aturan-aturan berperilaku.

Gambar II.2. Beberapa Konteks Sosial Komunikasi Antar Budaya

Sumber: Kim (1984:19).

KAB

konteks pendidikan

konteks

adjusment

sojourner

konteks

pembangu

nan

konteks

konseling/ teraputik

konteks

bisnis/orga- nisasional

konteks politik

konteks

akulturasi imigran

Page 17: mcniniksrirejekiuibab2

41

Ketiga, dimensi saluran komunikasi. Dimensi ini mengacu pada saluran terjadinya

komunikasi. Komunikasi antar budaya dapat terjadi dalam berbagai saluran komunikasi.

Berbagai saluran tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua saluran, yaitu saluran

interpersonal dan saluran media massa. (radio, TV, suratkabar, bioskop, majalah, dan

sebagainya). Dua saluran tersebut memiliki dampak yang berbeda bagi komunikatornya.

Kim (1984:20) mengemukakan, pengalaman komunikasi interpersonal bagi komunikator

dipandang lebih mendalam daripada komunikasi yang dialami komunikator melalui

media massa.

Kim (1984:20) mengemukakan bahwa komunikasi antar budaya dapat dipelajari

dalam tingkatan kelompok maupun tingkatan individu. Di tingkatan kelompok, penelitian

dilakukan dalam studi-studi antropologi dan sosiologi. Studi-studi tersebut mempelajari

komunitas budaya sebagai kesatuan kolektif yang pemahamannya adalah secara holistik.

Sementara di tingkatan individu, penelitian dilakukan pada studi-studi yang menjelaskan

perbedaan individual dalam pertemuan antar budaya. Sebagai contoh, penelitian tentang

penyesuaian diri kaum pendatang di masyarakat pribumi. Variabel-variabel komunikasi

yang terkait adalah seperti pola-pola hubungan antar pribadi, kompetensi bahasa host,

sikap, persepsi, dan sebagainya. Studi ini pada umumnya dilakukan di kawasan psikologi.

Penelitian ini dilakukan terhadap para partisipan komunikasi yang berasal dari dua

kelompok budaya. Dalam pengertian Kim sebagai studi dalam dimensi tataran kelompok

sosiologis. Menurut Goodman (1992:45), kelompok adalah sekumpulan dua atau lebih

individu yang memiliki perasaan identitas yang digunakan bersama dan yang berinteraksi

Page 18: mcniniksrirejekiuibab2

42

dalam cara-cara yang terstruktur berdasar seperangkat harapan bersama tentang perilaku

orang lain. Kelompok-kelompok itu adalah perusahaan inti dan petani plasma. Konteks

sosial studi adalah penyuluhan pembangunan, yaitu pembangunan yang melibatkan

perusahaan inti dan petani plasma. Kelompok-kelompok ini adalah dua kelompok yang

berbeda budaya. Sementara itu dari dimensi saluran komunikasi, studi dilakukan dalam

saluran interpersonal.

II.4. Teori Adaptasi Antar Budaya

Adaptasi antar budaya merupakan suatu proses panjang untuk menyesuaikan diri

untuk memperoleh kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru. Ada beberapa

teori yang menjelaskan tentang proses tersebut. Dalam “Intercultural Communication

Theories”, Gudykunst (2002:183) memaparkan bahwa teori adaptasi budaya termasuk ke

dalam kelompok teori akomodasi dan adaptasi. Di dalam paparan itu, ia mengemukakan

teori adaptasi antar budaya dari Ellingsworth dan teori ko-kultural Orbe.

Teori ko-kultural dikembangkan dari perspektif fenomenologi dan didasarkan

pada muted group theory dan standpoint theory. Dua teori ini mengasumsikan adanya

kelompok underrepresented. Dalam muted group theory, kelompok ini merupakan muted

group, sementara dalam standpoint theory, kelompok underrepresented adalah kelompok

yang termarjinalkan. Sebagai teori yang berdasar pada muted group theory dan standpoint

theory, teori ko-kultural mengacu pada komunikasi di antara kelompok underrepresented

dan kelompok dominan. Ada dua premis teori, yaitu pertama, para anggota kelompok ko-

kultural termarjinalkan di dalam struktur masyarakat dominan. Kedua, para anggota

Page 19: mcniniksrirejekiuibab2

43

kelompok ko-kultural memakai gaya komunikasi tertentu untuk mencapai keberhasilan

ketika dihadapkan pada struktur masyarakat dominan yang opresif.

Dengan mencermati asumsi dan premis teori, dapat dikemukakan meskipun teori

ini dikembangkan dalam perspektif fenomenologis, namun teori ko-kultural tidak sesuai

untuk mendekati fenomena komunikasi antar budaya yang diangkat dalam tulisan ini.

Baik perusahaan inti maupun petani plasma tidak ada yang berperan sebagai kelompok

underrepresented (ko-kultural) atau kelompok dominan. Masing-masing kelompok setara

sebagai mitra usaha berdasar paradigma komunikasi negosiasi.

Dalam paradigma tersebut, adaptasi yang terjadi berupa saling menyesuaikan diri

di antara keduanya guna melangsungkan kemitraan. Ada tujuan fungsional ketika mereka

beradaptasi antar budaya. Sesuai dengan proposisi- proposisi teori adaptasi antar budaya,

maka komunikasi yang beradaptasi secara fungsional dan setara dalam adaptasi dapat

memberi fasilitas pada penyelesaian tugas. Sementara, komunikasi yang tidak adaptif

fungsional membawa pada invokasi perbedaan kultural dan memperlambat penyelesaian

tugas. Ketika para komunikator harus bekerjasama, ada kesetaraan dalam mengadaptasi

komunikasi. Penggunaan strategi persuasif dapat membawa pada adaptasi komunikasi.

Ketika situasi mendukung salah satu komunikator atau satu komunikator lebih berkuasa,

makakomunikator lainnya akan memiliki beban untuk beradaptasi. Sementara itu, ketika

lebih banyak perilaku adaptif para komunikator, maka lebih banyak keyakinan kultural

(Gudykunst, 2002:190).

Penjelasan tersebut bertolak dari asumsi Ellingsworth. Dalam asumsinya, setiap

komunikasi meliputi derajat perbedaan kultural, sehingga dalam menjelaskan komunikasi

Page 20: mcniniksrirejekiuibab2

44

antar budaya diperlukan keterlibatan faktor-faktor kultural. Adapun teorinya sendiri

dirancang untuk menjelaskan cara para komunikator beradaptasi untuk mencapai suatu

tujuan dalam komunikasi yang bersifat diadik (pasangan).

Dalam tulisannya tentang “A Theory of Adaptation in Intercultural Dyads”,

Ellingsworth (1988: 271) mengemukakan, perilaku adaptasi dalam interkultural diadik

terkait dengan unsur-unsur status atau kekuasaan, perilaku teritorial, adaptasi dalam gaya

komunikasi, invokasi budaya berdasar keyakinan, tujuan diadik, tujan individual, tujuan

yang berhubungan dengan keluaran, dan partisipan yang berhubungan dengan keluaran.

Unsur-unsur tersebut dipertautkan menjadi tujuh hukum. Hukum-hukum itu

menyatakan bahwa:

(1) Adaptasi dalam gaya komunikasi dikaitkan dengan pencapaian tujuan, misalnya

dalam tawar-menawar atau negosiasi.

(2) Adaptasi gaya komunikasi dikaitkan dengan invokasi budaya berdasar keyakinan.

(3) Kesesuaian tujuan terkait dengan pertukaran tanggungjawab adaptif.

(4) Ketika salah satu partisipan diadik menghendaki sesuatu yang dilihat pasangan lain

tidak menguntungkan, maka beban adaptif terletak pada partisipan yang memiliki

inisiatif komunikasi.

(5) Ketika salah satu partisipan memegang manfaat teritorial, maka pihak lain akan

memiliki beban adaptasi.

(6) Ketika salah satu dari pasangan merupakan pihak yang superior dalam status atau

kekuasaan, maka beban adaptasi akan terletak pada pihak yang inferior.

Page 21: mcniniksrirejekiuibab2

45

(7) Adaptasi gaya komunikasi terkait dengan perubahan kognisi, citra diri, persepsi

lebih lanjut dari partisipan.

Proposisi-proposisi yang muncul dari unsur-unsur dan hukum-hukum itu adalah:

(1) Peningkatan perilaku adaptif dilakukan dengan cara mempercepat kemajuan ke arah

penyelesaian tugas.

(2) Ketika perilaku adaptif terjadi dan terbukti tidak fungsional, maka pihak lain akan

menanggapinya dengan menginvokasi budaya berbasis perbedaan dalam keyakinan.

(3) Munculnya pernyataan keyakinan dari satu pihak akan diikuti dengan percepatan

perilaku adaptif pihak lain.

(4) Pergeseran dari ketidaksetaraan ke arah kesetaraan di dalam perilaku adaptif akan

mempercepat kemajuan menuju penyelesaian tugas.

(5) Ketika para partisipan komunikasi mempertukarkan suatu tujuan, mereka bergerak

menuju kesetaraan dalam adaptasi.

(6) Ketika dari interaksi terbukti bahwa hanya satu pihak yang akan mengambil manfaat

dari penyelesaian tugas, maka orang itu akan mempercepat perilaku adaptif.

(7) Ketika salah satu pihak memiliki keuntungan teritorial, maka pihak lain akan

menunjukkan peningkatan dalam adaptasi.

(8) Ketika pihak yang mengambil inisiatif komunikasi memiliki status atau kekuasaan

yang lebih daripada pihak lainnya, maka ia akan memulai memanfaatkannya sebagai

pengganti bagi perilaku adaptif di dalam interaksinya.

Page 22: mcniniksrirejekiuibab2

46

( 9) Lebih banyak adaptasi yang ditunjukkan oleh seorang partisipan, maka lebih banyak

perubahan yang akan terjadi dalam sikap dan persepsi yang berpusat pada budaya

yang ditampilkan pihak lain.

(10) Lebih banyak adaptasi yang ditunjukkan oleh seorang partisipan, maka lebih banyak

perubahan terjadi dalam persepsi diri seseorang dan budaya yang ditampilkannya.

Dari hukum-hukum itu tampak bahwa pusat perhatian teori adalah adaptasi dalam

gaya komunikasi. Gaya adalah tingkah-laku atau merupakan suatu perilaku komunikasi.

Menurut Gudykunst dan Kim (1997:337), adaptasi dapat terjadi dalam dimensi kognitif.

Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian bahasa verbal dan nonverbal. Oleh karena

itu dapat dikatakan bahwa adaptasi dapat terjadi dalam dimensi-dimensi perseptual,

kognitif, dan perilaku.

Teori yang berfokus pada akomodasi dan adaptasi lainnya dikemukakan Gile.

Teorinya disebut teori akomodasi komunikasi atau communication accomodation theory

(CAT). Teori ini bertolak dari teori akomodasi percakapan. Menurut teori ini, pembicara

menggunakan strategi linguistik untuk mencapai persetujuan atau untuk menunjukkan

perbedaan dalam interaksinya dengan orang lain. Strategi komunikator yang utama

adalah dengan divergensi dan konvergensi. Strategi ini digunakan untuk meningkatkan

dan untuk mengurangi jarak komunikasi (Gudykunst dalam Gudykunst dan Bella Mody

2002:1987). Sementara itu menurut Abrams dkk (Gudykunst dan Blla Mody, 2002:225),

divergensi dan konvergensi meliputi bahasa verbal dan nonverbal.

Page 23: mcniniksrirejekiuibab2

47

Penyuluhan adalah suatu pendidikan, yaitu pendidikan nonformal untuk merubah

perilaku masyarakat. Shaules (2007:74) dalam “Assesing Intercultural Learning

Strategies with Personal Intercultural Change Orientation Profiles” mengemukakan

bahwa adaptasi adalah salah satu orientasi pembelajaran interkultural. Orientasi adaptif

terdiri dari mencari dan memberi perhatian pada lingkungan. Seseorang yang memilih

strategi adaptif cenderung memiliki kesadaran yang tinggi terhadap harapan dan tuntutan

dari lingkungannya, sehingga siap untuk merubah perilaku. Orientasi ini menyebabkan

seseorang untul fleksibel dan diplomatis.

II.5. Dimensi-dimensi Keragaman Kultural untuk Mengkaji Perbedaan Budaya

Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani

plasma dapat dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua prinsip

yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari pertentangan

antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis. Kapitalisme barat yang

modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar berhadapan dengan tradisi pra-

kapitalis yang tua yang berada di pedesaan (Boeke, 1983:11)

. Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua karakteristik yang

berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan golongan masyarakat yang

memiliki ikatan-ikatan sosial asli dan organis, sistem kesukuan tradisional kebutuhan-

kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang

sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing

usaha yang terorganisasikan, profesional, bertumpu pada kapitalisasi dan industri

Page 24: mcniniksrirejekiuibab2

48

mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan

motif sosial, etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya.

Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme diasosikan dengan farmer yang berciri

kota. Sementara itu prakapitalisme diasosiasikan dengan peasant yang ciri desa. Kalau

mengacu pada Redfield; Kroeber; dan Steward, Marzali (1998:85) mengemukakan bahwa

dari sisi perkembangan tingkat sosiokultural, petani peasant dipandang sebagai suatu

masyarakat yang berada di antara, atau transisi antara, bentuk masyarakat primitif dan

bentuk masyarakat modern. Posisi tersebut dalam bentuk diagram dapat dilihat pada

Gambar II.3.

Masyarakat Primitif Masyarakat antara Masyarakat Modern

Berburu

meramu

Petani

primitif

Petani peasant Petani farmer Industri

Nomaden Menetap di pedesaan Urban

Gambar II.3. Posisi Masyarakat Peasant dalam Evolusi Masyarakat Manusia Sumber: Marzali, 1998:85.

II.5.1. Karakter Peasant-Farmer

Dalam kerangka ini peasant merupakan masyarakat yang (1) hidup dari mengolah

tanah, (2) hidup menetap dalam komunitas pedesaan, (3) menggunakan teknologi

pertanian, seperti pacul, bajak, dan garu untuk melakukan produksi pertanian, (4)

memiliki hubungan dengan kota, (5) mengolah tanah dengan bantuan keluarga sendiri

untuk menghasilkan bahan makanan guna keperluan hidup sehari-hari keluarga petani,

yakni sebagai petani dengan cara hidup subsisten.

Page 25: mcniniksrirejekiuibab2

49

Kroeber dalam Foster (1967:2) mengemukakan bahwa peasant merupakan bagian

masyarakat dari suatu bagian budaya yang hidup dalam kaitannya dengan pasar dan

pusat-pusat kota. Golongan masyarakat ini tidak lagi terisolasi, namun masih memegang

nilai-nilai tradisional. Selain itu merupakan golongan orang yang menempati jenjang

yang lebih tinggi daripada suku (tribe) dan juga lebih tinggi daripada petani pimitif. Suku

yang paling primitif hanya melakukan aktivitas berburu dan meramu, sementara petani

primitif hanya melakukan perladangan berpindah dan tidak memiliki hubungan dengan

pusat kota (pasar). Dalam kerangka ini dapat dikemukakan bahwa peasant merupakan

suatu tipe masyarakat yang terletak antara masyarakat tribal dan urban.

Sementara itu dari sisi pandang sistem ekonomi peasant, Firth (Marzali, 1998:85),

sistem ekonomi peasant adalah sistem ekonomi yang menggunakan ketrampilan dan

sistem pembagian kerja yang sederhana. Selain itu juga memiliki keterbatasan akses ke

pasar. Alat produksi dikuasai dan diorganisasikan secara nonkapitalistik. Skala produsen

tergolong kecil dengan hubungan produksi bersifat lebih personal, sementara perhatian

terhadap aspek sosial dan keagamaan lebih diutamakan darpada aspek materi.

Berbeda dengan Firth yang mengacu pada sistem ekonomi yang khas, maka Wolf

mengacu pada jenis mata pencaharian yang khas. Menurut Wolf (1983:2), peasant

merupakan orang desa yang bercocok tanam dan berternak di daerah pedesaan. Usahatani

tersebut tidak dilakukannya sebagai petani farmer atau pengusaha pertanian (agricultural

enterpreneur) karena tidak dilakukan sebagai kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan

ekonomis, namun dilakukan dalam kerangka pengelolaan rumahtangga.

Page 26: mcniniksrirejekiuibab2

50

Dalam melakukan produksi pertanian, peasant harus mengarahkan kegiatannya

untuk melayani keluarga dan masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Diaz

(1967:50), yaitu bahwa peasant sebagai man economic harus mengarahkan aktivitasnya

dalam dua ruang, yakni ruang keluarga dan ruang masyarakat. Keluarga petani dapat

terdiri dari keluarga inti, yakni suami, isteri, dan anak, dapat pula terdiri dari keluarga

luas yang mencakup orang-orang dari generasi yang sama atau berbeda, misalnya

orangtua atau sepupu petani (Wolf, 1983:103). Perhatian peasant terhadap keluarga dan

masyarakatnya dikemukakan pula oleh Popkins (1979:28), yaitu bahwa pihak-pihak yang

menjadi perhatian utama peasant adalah diri sendiri, keluarga, tetangga, dan komunitas

desanya.

Di dalam ruang keluarga maupun ruang masyarakat, peasant memberi dukungan

dengan produksi usahatani. Dukungan peasant dengan usahataninya tersebut cenderung

dilakukan dalam kondisi kesederhanaannya sebagai produsen pertanian berskala kecil

yang menerapkan teknologi non industri dan bertumpu pada rumahtangga (household

based), serta produksi pertanian berorientasi subsistensi (Elson, 1997:xix). Menurut Scott

(1981:7), usaha subsistensi adalah usahatani yang mengutamakan keamanan (safety first).

Dalam kehidupan tertib sosial masyarakat, peasant perlu selalu menjaga relasi

antar rumahtangga. Selain itu juga harus senantiasa memelihara keseimbangan antara

kepentingan-kepentingan keluarga dan masyarakat yang dapat mengikat peasant dengan

masyarakat yang lebih luas. Menurut Wolf (1983:170), dalam kerangka ini upacara atau

ritual memiliki suatu fungsi melegetimasi unit-unit sosial dan relasi di antara sesama

Page 27: mcniniksrirejekiuibab2

51

warga desa. Selain itu dari sudut komunikasi sosial, hal ini dapat mengukuhkan eksistensi

peasant dalam komunitasnya.

Sebagai produsen pertanian berskala kecil, tindakan-tindakan dan pilihan-pilihan

petani selalu dikaitkan dengan sumberdaya alam, seperti tanah, air, iklim, dan matahari.

Hal ini seperti dikemukakan oleh Weizt (1971:19), yaitu bahwa kehidupan peasant erat

berdekatan dengan tanah. Dengan demikian peasant memiliki hubungan yang kuat

dengan sistem ekologis. Dongeng, kebiasaan kalender, tanda-tanda iklim, peribahasa, dan

ritual-ritual yang terdapat di dalam masyarakat ini menunjukkan kesadarannya atas

sebuah ekologi yang bertalian dengannya.

Sesuai dengan kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis, Wolf (1983:32)

mengemukakan beberapa ekotipe petani yang berkaitan dengan cara-cara petani

memperoleh makanan dan surplus-surplus dari tanah. Ada dua ekotipe petani, yaitu tipe

paleoteknik yang mengandalkan organisme-organisme manusia dan hewan serta tipe

neoteknik yang bergantung pada energi yang berasal dari bahan bakar dan ketrampilan-

ketrampilan yang berasal dari pengetahuan. Tipe paleoteknik terdiri dari (1) sistem yang

memperlakukan tanah yang sudah tandus dibiarkan untuk tidak ditanami dalam jangka

waktu lama, (2) sistem tanam sebagian, (3) sistem tanam bergilir dengan siklus singkat,

(4) sistem tanam permanen, dan (5) penanaman permanen lahan-lahan pilihan. Sementara

tipe neoteknik terdiri dari (1) penanaman hortikultura yang dispesialisasikan, dengan ciri

produksi hasil kebun yang dipelihara secara permanen, (2) perusahaan susu yang

merupakan cabang sistem pertanian dengan bajak dan siklus rotasi lahan yang tergolong

pendek, (3) pertanian campuran yang dilakukan petani dengan memelihara ternak dan

Page 28: mcniniksrirejekiuibab2

52

bercocoktanam, dan (4) perkebunan yang menghasilkan sebagian hasil kebun daerah

tropis, seperti kopi, tebu, atau coklat.

Kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis menciptakan pula posedur

dalam melakukan usahatani. Keadaan ini menyebabkan petani akan sangat berhati-hati

dalam menerima introduksi teknologi baru. Sulitnya menembus pertahanan peasant

ketika mengintroduksi teknologi baru menunjukkan ketakutan peasant atas perubahan

prosedur yang dapat meningkatkan risiko berusahatani. Hal ini seperti dikemukakan oleh

Scott (1981:4), yaitu bahwa nilai-nilai dalam praktek pertanian yang sudah teruji telah

membuat para petani itu bersikap keras terhadap para ahli agronomi dan pekerja sosial

yang hendak mengadakan perbaikan-perbaikan. Dalam pandangan peasant, perubahan-

perubahan teknologis sekecil apapun akan membawa pada konsekuensi-konsekuensi

yang tidak terantisipasi yang dapat mengancam sistem produksi pertanian. Oleh karena

itu dapat dikemukakan bahwa introduksi teknologi baru tidak hanya akan diadaptasi

secara ekologis, tetapi juga akan diadaptasi dalam nilai-nilai, sikap, dan kemampuan

petani (Weitz, 1971:9).

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendahuluan, bahwa ada perbedaan

antara budaya perkebunan dataran rendah (lowland plantation) dan budaya perkebunan

dataran tinggi (upland plantation). Perkebunan dataran rendah mengusahakan tanaman

semusim, seperti tembakau dan tebu, sementara perkebunan dataran tinggi mengusahakan

tanaman tahunan, seperti teh dan kopi. Penelitian ini dilakukan di kawasan perkebunan

teh yang memiliki budaya upland.

Page 29: mcniniksrirejekiuibab2

53

Menurut de los Angeles (1986:170), petani upland pada umumnya dihadapkan

pada masalah kekurangan waktu untuk produksi pertanian. Petani mengandalkan tenaga

kerja keluarga dengan kendala musim, modal yang terbatas, dan uang tunai. Sementara

itu dengan teknologi pertanian yang terbatas, petani mengalami masalah menurunnya

produktivitas lahan yang tidak bisa dipecahkan dengan keterbatasan tenaga kerja. Untuk

mengatasi permasalahannya, ada beberapa kombinasi upaya petani upland, yaitu (1)

mengembangkan teknologi pertanian untuk pengamanan lahan, (2) melakukan

diversifikasi sumber-sumber pendapatan, (3) menggeser harapan yang hanya bertumpu

pada produksi upland, dan (4) memantapkan sistem atas hak-hak atas tanah untuk

menjaga harmonisasi hubungan di antara para petani.

Dalam menerima teknologi baru yang berimplikasi adanya prosedur yang berbeda

dengan kebiasaan bertani, petani menggunakan pola pikir safety first demi keamanan

subsistensinya. Analisis Scott (1981:3) dalam studi tentang pergolakan dan subsistensi di

Asia Tenggara menemukan bahwa etika subsistensi di kalangan petani Asia Tenggara,

Perancis, Rusia, dan Italia merupakan akibat dari kehidupan petani yang dekat dengan

garis batas. Garis batas itu merupakan garis antara keamanan dan risiko yang ditanggung

oleh petani beserta keluarganya. Faktor-faktor pembentuknya adalah sangat kecilnya

pemilikan lahan, cara-cara bertani tradisional, ketergantungan pada kondisi alam, dan

pajak yang berupa uang tunai serta hasil tanaman yang dipungut oleh negara. Adapun

risiko yang dimaksud adalah datangnya bencana kelaparan bagi peasant dan keluarganya.

Menurut Popkins (1979:28), moral ekonomi petani memiliki asumsi bahwa hanya

petani kaya yang mampu untuk mengikuti perkembangan inovasi dan keuntungan yang

Page 30: mcniniksrirejekiuibab2

54

akan diperoleh dengan mengadopsi inovasi itu. Dalam pandangan peasant, inovasi atau

teknologi baru tidak akan menguntungkan bagi petani pemilik lahan sempit atau petani

penyewa. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif moral ekonomi

petani peasant merupakan golongan petani yang selalu menentang risiko.

Dalam pada itu, Soekartawi (2003:173) dikemukakan bahwa agribisnis akan terdiri

dari petani yang selalu melakukan upaya memaksimalkan pendapatan dengan penguasaan

sumberdaya yang terbatas. Petani demikian akan selalu memaksimalkan keuntungan pada

setiap usahataninya. Adapun ciri-cirinya, pertama, cepat mengadopsi inovasi sehingga

digolongkan sebagai pengadopsi awal (early adopters). Kedua, memiliki derajat

kosmolitan yang tinggi. Ketiga, memiliki keberanian menanggung risiko dalam

berusahatani. Keempat, memiliki sikap mau dan kemampuan mencoba teknologi baru

yang ditunjang oleh sumberdaya yang memadai untuk melakukan percobaan tersebut.

Slamet (2003:16) mengemukakan bahwa untuk peningkatan produksi dalam

pembangunan pertanian diperlukan teknologi maju. Oleh karena itu petani sebagai pelaku

pembangunan pertanian perlu mengadopsi teknologi maju. Dalam perspektif penyuluhan

pembangunan, petani maju adalah petani yang memiliki kemampuan untuk memerankan

diri sebagai warga negara yang baik sesuai dengan profesinya, dan sanggup berswadaya

untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya (Slamet, 2003:18).

Dengan mengambil dari indikator perubahan perilaku dalam memajukan petani,

maka petani maju memiliki ciri-ciri sebagai berikut, pertama, memiliki perbendaharaan

yang tinggi tentang informasi pertanian, kedua, memiliki keterampilan, kemampuan, dan

kebiasaan baru yang sesuai dengan bidang yang digelutinya, serta ketiga, memiliki sikap

Page 31: mcniniksrirejekiuibab2

55

mental dan motivasi yang kuat dalam memajukan usahataninya. Adapun sumber motivasi

itu adalah terpenuhinya kebutuhan akan (1) kepastian atau keamanan (security) dalam

bidang ekonomi, sosial, psikologi, dan spiritual, (2) pengalaman, minat, gagasan, dan

cara-cara baru berusahatani, (3) keakraban, yang terdiri dari persahabatan, kebersamaan,

keramahtamahan, dan perasaan ikut memiliki, serta (4) pengakuan, yang meliputi status,

gengsi, prestasi, dan penghargaan (Slamet, 2003:21).

Pambudy (2003:235) mengemukakan bahwa modal manusia yang diperlukan

dalam membangun agribisnis adalah wirausahawan. Wirausahawan agribisnis merupakan

orang yang pertama, menjadi pusat pertumbuhan pekerjaan dan ekonomi dan kedua,

memberikan mekanisme pembagian yang bergantung pada inovasi, kerja keras, dan

pengambilan risiko. Konkritnya adalah bahwa seorang usahawan agribisnis merupakan

orang yang mampu untuk menyelesaikan proses dari menghasilkan ide-ide kreatif,

inovasi, hingga menghasilkan produk barang atau jasa untuk dapat dipasarkan dengan

keuntungan yang memadai.

Dalam pada itu menurut Soetrisno (1995:160), sebagai petani komersial yang

berbudaya industri, memiliki ciri-ciri pertama, rasional dan kreatif dalam memandang

berbagai fenomena yang ada di alam sekitarnya. Kedua, memiliki komitmen yang tinggi

dalam menyelesaikan masalah dengan tuntas, dan ketiga, memiliki ketaatan yang tinggi

pada hukum (Soetrisno, 1995:160).

Selain sebagai petani komersial berbudaya industri, farmer juga dapat digolongkan

sebagai petani modern. Menurut Suriasumantri (2000:384), masyarakat modern yang

urban memiliki indikator-indikator sebagai berikut, pertama, bersifat analitik. Di samping

Page 32: mcniniksrirejekiuibab2

56

itu, sebagian besar aspek kehidupannya dilandaskan pada asas efisiensi secara teknis

maupun ekonomis. Indikator ini menempatkan nilai teori dan nilai ekonomi pada posisi

penting. Nilai teori terkait dengan aspek penalaran, ilmu, dan teknologi, sedangkan nilai

ekonomi berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara efektif dan efisien

berlandaskan perhitungan yang bertanggungjawab. Sementara itu pengambilan keputusan

berlandas pada argumentasi kuat. Kekuatan berpikir bersifat dominan yang mengabaikan

penarikan kesimpulan dari intuisi, perasaan, dan tradisi. Kedua, bersifat individual. Nilai

sosial dan kekuasaan dalam kerangka ini harus berorientasi pada kepercayaan diri sendiri

serta keberanian untuk mengambil keputusan sendiri. Hubungan antar manusia bersifat

individual, sementara untuk mempertahankan hidup seseorang harus mampu bersaing

secara produktif.

Petani farmer dapat disebut pula sebagai petani maju yang memiliki mentalitas

pembangunan. Menurut Koentjaraningrat (1985:73), mental pembangunan memiliki ciri

(1) orientasi ke masa depan, (2) sifat hemat, (3) keinginan untuk eksplorasi dan inovasi,

(4) nilai tinggi atas pencapaian atas karya, (5) kepercayaan pada kemampuan diri, (6)

disiplin, dan (7) rasa tanggungjawab. Uraian tersebut dirangkum dalam Tabel II.2.

Page 33: mcniniksrirejekiuibab2

57

Tabel II.2. Karakteristik Peasant-Farmer

Karakteristik Peasant Farmer

1.Orientasi Usahatani Memandang pentingnya

dukungan usahatani untuk

keluarga dan komunitasnya

dalam etika subsistensi

Memandang pentingnya

pemaksimalan keuntungan dari

bisnis usahatani yang ditunjang

oleh jiwa wiraswasta

2. Penggunaan

teknologi dalam

berusahatani

Menggunakan teknologi

sederhana dan nonindustri,

memiliki pertalian kuat

dengan kondisi ekologis

Menggunakan teknologi maju

untuk kepentingan industri,

kurang bergantung pada kondisi

ekologis

3. Perilaku

kosmopolitan

Berderajat rendah Berderajat tinggi

4. Sikap terhadap

inovasi dan

teknologi baru

pertanian

Kurang mau mencoba dan

menerima inovasi dan

teknologi baru karena

ketidakberanian dalam

menanggung risiko yang

mengancam subsistensinya

Mau dan berani mencoba inovasi

dan teknologi baru

5. Pandangan terhadap

pentingnya informasi

pertanian

Rendah Tinggi

6. Karakteristik

masyarakat secara

umum

Merupakan masyarakat

praindustri dan tradisional

- Merupakan masyarakat

industri yang (1) rasional

dan kreatif dalam

memandang berbagai

fenomena, (2) memiliki

komitmen yang tinggi

untuk memecahkan

masalah secara tuntas, (3)

memiliki ketaatan pada

hukum

- Merupakan masyarakat

modern yang

mengutamakan berpikir

secara analitik, efisien,

dan individual

Sumber: Foster (1967); Marzali (1998); Diaz (1967); Wolf (1983); Popkins (1979); Scott

(1981); Weizt (1971); de los Angeles (1986); Sukartawi (2003); Slamet (2003);

Pambudi (2003), Soetrisno (1995); Suriasumantri (2000); Koentjaraningrat

(1985).

Page 34: mcniniksrirejekiuibab2

58

Perbedaan budaya lainnya dari peasant dan farmer lainnya dapat dikaitkan dengan

dikotomi budaya yang dapat dijelaskan dengan konsep orientasi nilai dari Kluckhohn dan

Strodtbeck, individualisme-kolektisme, variabilitas budaya Hofstede, Pola-pola Parsons,

dan keketatan Struktral.

II.5.2. Orientasi Nilai dari Kluckhohn-Strodtbeck

Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan dimensi orientasi nilai. Dimensi ini terdiri

dari orientasi sifat manusia, orientasi sifat orang, oientasi waktu, aktivitas, dan orientasi

relasional (Gudykunst dan Kim, 1997:78).

Dimensi pertama adalah orientasi sifat manusia. Orientasi ini terkait dengan sifat

bawaan manusia. Dalam dimensi ini, manusia dipandang baik atau jahat atau campuran

antara baik dan jahat yang merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam kerangka ini

kemudian dimunculkan enam penilaian atas sifat manusia, yaitu (1) manusia jahat namun

tidak selamanya jahat, (2) manusia adalah jahat dan selamanya jahat, (3) manusia netral

namun tetap terkait dengan kebaikan dan kejahatan, (4) manusia merupakan campuran

antara unsur kebaikan dan kejahatan, (5) manusia adalah insan baik, namun tak

selamanya demikian, (6) manusia adalah insan yang baik dan selamanya akan demikian.

Dimensi kedua, orientasi relasi manusia dan alam. Ada tiga jenis relasi, yaitu

takluk, menyelaraskan, dan mengendalikan. Gudykunst dan Kim (1997:76) memberi

contoh bahwa masyarakat industrialis seperti Amerika Serikat memiliki kecenderungan

sifat menguasai, termasuk penguasaan atas sumberdaya alam. Selain kecenderungan sifat

penguasaan, terdapat pula kecenderungan untuk mengendalikan.

Page 35: mcniniksrirejekiuibab2

59

Dimensi ketiga, orientasi waktu. Dalam dimensi ini, kehidupan manusia dapat

berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa depan. Orientasi yang kuat terhadap masa

lalu cenderung menonjol pada kelompok budaya yang menempatkan tradisi dalam posisi

yang utama, seperti pemujaan pada leluhur atau yang memberi tekanan lebih pada

kohesivitas keluarga. Selain itu orientasi masa lalu menonjol pada budaya aristokrasi.

Dalam pada itu orientasi pada masa kini menonjolkan perhatian keadaan kekinian dan

meminggirkan peristiwa-peristiwa yang telah berlalu, serta sesuatu yang bisa terjadi di

masa depan, sementara orang-orang yang berorientasi pada masa depan akan memandang

masa lalu tidak penting, masa kini dipandang sudah tampak jelas, sedangkan masa depan

dapat terprediksi.

Dimensi keempat, orientasi aktivitas. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi

aktivitas dapat dipandang sebagai doing, being, dan being-in-becoming. Orientasi doing

berfokus pada jenis-jenis aktivitas yang memiliki keluaran eksternal yang dapat diukur.

Oleh karena itu aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini terdapat pula orientasi pada

capaian hasil. Orientasi being merupakan ungkapan tentang sesuatu yang ada di dalam

kepribadian manusia, sedangkan orientasi being-in-becoming menyatakan bahwa fokus

aktivitas manusia adalah pada pencapaian yang terintegrasi dalam pengembangan diri.

Gudykunst dan Kim memberi contoh untuk orientasi ini adalah aktivitas yang dilakukan

oleh kaum biarawan Zen Buddis. Mereka menghabiskan hidupnya untuk kontemplasi dan

meditasi guna pengembangan diri secara penuh (Gudykunts dan Kim, 1997:75-77).

Dimensi kelima, orientasi relasional. Orientasi relasional terkait dengan dimensi

individualisme-kolektivisme. Keterkaitan itu adalah karena cara-cara orang berinteraksi

Page 36: mcniniksrirejekiuibab2

60

memiliki fokus yang berbeda, yaitu ke arah individualisme atau kolektivisme. Cara-cara

itu adalah individualisme, linealitas, dan kolateralitas. Cara individualisme berciri adanya

otonomi individu. Dalam orientasi ini tujuan dan sasaran individu menjadi prioritas

utama di atas tujuan dan sasaran kelompok. Berbeda dengan cara yang memiliki orientasi

individualisme, linealitas berfokus pada kelompok. Dalam konteks ini, tujuan dan sasaran

kelompok memiliki tempat yang lebih utama daripada tujuan dan sasaran individu.

Menurut Kluckhohn-Strodtbeck, orientasi linealitas berupa kontinuitas kelompok

melalui waktu. Individu-individu adalah penting ketika terkait dalam keanggotaannya

pada suatu kelompok. Orientasi kolateral berfokus pula pada kelompok, perbedaannya

dengan linealitas adalah bahwa individu-individu akan diperhatikan ketika mereka berada

dalam kelompok secara vis-a-vis (Gudykunst dan Kim, 1997:77).

Dengan mengacu pada paparan tersebut, orientasi nilai Kluckhohn-Strodtbeck

dapat dikemukakan dalam Tabel II.3.

Tabel II.3. Orientasi Nilai Kluckhohn-Strodtbeck

Dimensi Orientasi Nilai

Sifat Manusia Jahat Campuran jahat-

baik

Baik

Sifat Orang Menguasai Menyelaraskan Mengendalikan

Waktu Masa lalu Masa kini Masa depan

Aktivitas Doing Being being-in-becoming

Relasional individualisme Linealitas Kolateralitas

Sumber: Gudykunst dan Kim (1997).

Page 37: mcniniksrirejekiuibab2

61

II.5.3. Individualisme-Kolektivisme

Dalam Gudykunst dan Kim (1997:56) dikemukakan, dimensi utama variabilitas

budaya adalah individualisme-kolektivisme. Dimensi ini digunakan untuk menjelaskan

persamaan dan perbedaan budaya.

Menurut Hui dan Triandis (Triandis, 1995:31), dalam budaya kolektivistik, para

anggota kelompok budaya sangat rentan terhadap pengaruh sosial karena adanya gagasan

interdependensi, memberi perhatian pada penyelamatan muka dan integritas keluarga,

serta menggunakan bersama hasil-hasil yang mereka raih di dalam kelompoknya. Selain

itu juga menekankan ide pentingnya pengembangan kemampuan berhubungan sosial.

Gudykunst dan Lee (2002:27) mengemukakan bahwa di dalam individualisme

terdapat kecenderungan-kecenderungan untuk menempatkan identitas individu di atas

identitas kelompok. Dalam kerangka ini, tujuan-tujuan dan hak-hak individu memiliki

tempat di atas tujuan-tujuan dan hak-hak kelompok. Demikian pula dengan kebutuhan-

kebutuhan individu yang menempati posisi diatas kebutuhan-kebutuhan kelompok.

Hofstede (1994:50) berpendapat bahwa dalam masyarakat kolektivis, kepentingan

kelompok berlaku di atas kepentingan individu. Kelompok (in-group) merupakan sumber

identitas seseorang dan para anggota kelompok akan memandang diri sebagai ‘kami’.

Kelompok menjadi tempat berlindung bagi anggota pada saat menghadapi kesulitan

hidup. Oleh karena itu para anggota akan senantiasa setia pada kelompok. Ketidaksetiaan

dengan demikian adalah suatu perilaku yang dipandang buruk. Di sisi lain, masyarakat

individualis akan menempatkan kepentingan individu di atas kepentingan kelompok.

Anggota kelompok memandang diri sebagai “aku”.

Page 38: mcniniksrirejekiuibab2

62

Karakteristik lain dari individualisme adalah adanya efisiensi diri, tanggungjawab

individu, dan otonomi personal. Masyarakat individualistik memiliki tekanan pula pada

inisiatif dan capaian prestasi yang muaranya adalah pada realisasi individu. Hal ini

seperti yang dikemukakan oleh para filsuf individualis, yaitu bahwa yang utama dalam

individualisme adalah realisasi diri, karena setiap orang dipandang memiliki seperangkat

talenta dan potensi diri yang berbeda satu sama lain. Sebaliknya, kolektivisme mengacu

pada kecenderungan-kecenderungan budaya yang memiliki tekanan pada pentingnya

identitas kelompok di atas identitas individu. Oleh karena itu hak-hak kelompok berada

di atas hak-hak individu, sedangkan kebutuhan-kebutuhan in-group akan mendahului

kemauan dan keinginan individu. Sementara hal-hal lain dari kolektivisme adalah

interdependensi relasional, keselarasan in-group, dan semangat kolaboratif in-group.

Pada masyarakat kolektivistik, individu-individu dilahirkan dalam integrasinya

dengan in-group, disertai dengan kohesi sosial yang kuat, antara lain ditunjukkan dengan

adanya saling perlindungan di antara anggota in-group, serta adanya pertukaran kesetiaan

yang bersifat taken for granted. Berbeda dengan individualisme yang memandang bahwa

keunikan masing-masing individu menempati posisi utama, maka dalam kolektivisme,

keunikan tersebut sifatnya sekunder (Gudykunst dan Kim, 1997:56).

Dalam masyarakat kolektivistik, aktivitas-aktivitas kolektif menjadi sesuatu yang

dominan, sedangkan tanggungjawab atas aktivitas-aktivitas tersebut dimiliki dan menjadi

tanggungjawab bersama. Tekanannya adalah kolektivitas, keselarasan, dan kerjasama.

Pentingnya in-group dalam budaya individualistik dan kolektivistik dikemukakan

oleh Triandis. Menurut Triandis, ada perbedaan dalam memandang pentingnya in-group

Page 39: mcniniksrirejekiuibab2

63

dalam budaya individualistik dan kolektivistik. Ruang pengaruh in-group dalam budaya

individualistik sangat spesifik, sedangkan ruang pengaruh in-group dalam budaya

kolektivistik bersifat umum. Oleh karena itu para anggota budaya individualistik

cenderung untuk bersikap universalistik dan cenderung menggunakan standar nilai yang

sama bagi setiap orang. Sebaliknya, para anggota budaya kolektivistik cenderung untuk

partikularistik serta menggunakan standar nilai yang berbeda untuk para anggota in-

group dan out-group (Gudykunst dan Lee, 2002:27).

Menurut Triandis, terdapat perbedaan antara budaya individualistik dan budaya

kolektivistik. Pada masyarakat individualistik, secara horisontal, individu diharapkan

berperilaku sebagai individu. Selain itu kesetaraan dan kebebasan memiliki nilai yang

tinggi. Sementara secara vertikal, individu diharapkan untuk bertindak sebagai individu

dan mencoba untuk berbeda dengan individu lainnya (Gudykunts dan Lee, 2002:29).

Adapun perbedaan itu dapat dicermati di Tabel II.4.

Page 40: mcniniksrirejekiuibab2

64

Tabel II.4. Budaya Individualistik dan Budaya Kolektivistik

Budaya Individualistik Budaya Kolektivistik

1. Penekanan identitas “I”

2. Penekanan tujuan-tujuan individu

3. Penekanan diri

4. Hubungan timbal balik yang

bersifat sukarela

5. Manajemen individu:

pengembangan/peningkatan diri,

kepercayaan diri, pembedaan diri

sesuai dengan keunikan masing-

masing individu, otonomi personal,

kompetisi, kompetensi, kesetaraan,

keterbukaan,

kemandirian/independensi, efisiensi

diri, tanggungjawab individu

6. Kepemilikan secara individual

7. Rasionalitas atau kesadaran

individu

8. Kebebasan pribadi

9. Realisasi individu: inisiatif dan

capaian prestasi dengan

mengembangkan seperangkat

talenta dan potensi yang berbeda

antar individu

10. Menggunakan standar nilai yang

sama untuk in-group dan out-group

1. Penekanan identitas “We”

2. Penekanan tujuan-tujuan kelompok

3. Penekanan in-group dan kehidupan

kolektif sebagai unit untuk

mempertahankan hidup

4. Hubungan timbal balik yang

bersifat wajib

5. Manajemen kelompok: bergantung

pada orang lain di dalam

kelompoknya, interdependensi

relasional, mementingkan identitas

kelompok, keselarasan in-group,

semangat kolaboratif in-group,

semangat kerjasama yang kuat

6. Penekanan yang tinggi pada nilai

tanah dengan kegiatan pertanian

7. Penghormatan kepada leluhur

8. Rentan terhadap pengaruh sosial

9. Penekanan pada penyelamatan

muka dan intergritas keluarga

10. Kohesi sosial yang kuat

11. Menggunakan standar nilai yang

berbeda untuk in-group dan out-

group

Sumber: Gudykunst dan Kim (1997); Ting-Toomey (1999); Triandis (1995); Gudykunst

dan Lee (2002); Hofstede (1994).

II.5.4. Variabilitas Budaya Hofstede

Dimensi variabilitas kultural yang lainnya adalah yang dikemukakan oleh Hofstede

(1994). Ada empat dimensi, yaitu (1) individualisme, (2) penghindaran ketidakpastian,

(3) jarak kekuasaan, dan (4) maskulinitas-femininitas.

Dalam studinya, dimensi individualisme dipisahkan Hofstede, yakni diintegrasikan

dengan individualisme-kolektivisme. Dimensi ini menjelaskan hubungan antara individu

Page 41: mcniniksrirejekiuibab2

65

dan kolektivitas yang ada dalam suatu masyarakat. Hubungan tersebut tidak terbatas pada

persoalan cara hidup bersama, namun terkait juga dengan norma-norma kemasyarakatan.

Oleh karena dalam suatu masyarakat dan masyarakat lainnya terdapat variasi hubungan

individu dengan kolektivitas, maka dimensi ini dapat digunakan untuk melihat perbedaan

antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya.

Penghindaran ketidakpastian adalah dimensi yang memaparkan derajat upaya

anggota kelompok dalam menghindari ketidakpastian. Menurut Hofstede (1994:109),

ketidakpastian dirasakan dan dipelajari oleh seorang anggota budaya dari warisan budaya

yang dipindahkan serta digerakkan melalui institusi dasar, seperti keluarga dan sekolah.

Perasaan itu direfleksikan ke dalam nilai-nilai yang dipegang secara kolektif oleh anggota

masyarakat, serta kemudian menuntun pola-pola perilaku kolektif suatu masyarakat yang

tidak mudah dipahami oleh masyarakat lainnya.

Para anggota budaya yang berderajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian

memiliki toleransi yang rendah pada ketidakpastian dan sesuatu yang sifatnya ambigu.

Para anggota dari kelompok budaya ini juga memiliki kebutuhan yang besar akan adanya

peraturan formal dan kebenaran mutlak. Selain itu juga kurang memberi toleransi pada

ide-ide atau perilaku-perilaku yang menyimpang dari peraturan formal. Sementara itu,

orang-orang dari kelompok budaya yang memiliki derajat rendah dalam menghindari

ketidakpastian akan memiliki karakteristik yang berlawanan dengan orang-orang yang

memiliki derajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian.

Hofstede (1994:27) menjelaskan jarak kekuasaan dengan mengambil dari paparan

yang berasal dari skor power distance index. Dalam paparan itu dikemukakan bahwa

Page 42: mcniniksrirejekiuibab2

66

negara-negara dengan jarak kekuasaan kecil terdapat sedikit ketergantungan dalam relasi

atasan dan bawahan. Jarak emosional di antara merekapun tergolong kecil. Sementara di

negara-negara dengan jarak kekuasaan besar terdapat ketergantungan yang besar dalam

relasi antara atasan dan bawahan, disertai jarak emosional yang besar pula.

Para anggota budaya dengan jarak kekuasaan yang tinggi menerima kekuasaan

sebagai bagian dari masyarakat. Para anggota kelompok budaya ini akan memandang

kekuasaan sebagai suatu fakta dasar dalam masyarakat. Dalam kerangka ini mereka

cenderung menekankan kekuasaan koersif atau referen. Sementara itu, para anggota

budaya berjarak kekuasaan rendah meyakini bahwa kekuasaan tidak harus digunakan.

Dimensi maskulinitas-feminitas (Hofstede dalam Ting-Toomey, 1999:72) terkait

dengan masyarakat yang dengan jelas membedakan karakteristik peran-peran jender.

Karakteristik seperti laki-laki lebih asertif, keras, dan memiliki fokus pada keberhasilan

material, sementara perempuan yang cenderung rendah hati, lembut, dan berfokus pada

kualitas hidup.

Hofstede (1994:81) dalam konteks organisasi mengemukakan bahwa pada kutub

maskulin, terdapat kesempatan untuk meraih pendapatan yang tinggi, pengakuan layak

yang berkaitan dengan prestasi, kemajuan menuju tataran pekerjaan yang lebih tinggi,

serta memiliki tantangan dalam pekerjaan. Sementara itu pada kutub feminin terdapat

relasi kerja yang baik, kerjasama yang baik, dan keamanan dalam melakukan pekerjaan.

Suatu hal lagi yang menjadi pembeda antara budaya maskulin dan feminin adalah

pada cara-cara atau proses peranan jender didistribusikan dalam suatu kelompok budaya.

Para anggota budaya maskulin akan berorientasi pada ambisi, benda-benda atau materi,

Page 43: mcniniksrirejekiuibab2

67

kekuasaan, dan ketegasan, sementara para anggota budaya feminin akan memberi nilai

yang tinggi pada kualitas hidup, pelayanan, perhatian pada orang lain di dalam kelompok,

dan pemeliharaan hubungan. Adapun tiga dimensi variabilitas budaya Hofstede tersebut

seperti pada Tabel II.5.

Tabel II.5. Tiga Dimensi Variabilitas Budaya Hofstede

Dimensi Tinggi Rendah

1. Penghindaran ketidak-

pastian

1. memiliki toleransi rendah

terhadap ketidakpastian

dan sesuatu yang ambigu

2. memerlukan peraturan

formal dan kebenaran

mutlak

3. kurang memiliki toleransi

terhadap ide-ide atau

perilaku yang

menyimpang dari

peraturan formal

1. memberi toleransi pada

ketidakpastian dan

sesuatu yang ambigu

2. tidak memandang

pentingnya peraturan

formal dan kebenaran

mutlak

3. memberi toleransi pada

ide-ide dan perilaku yang

menyimpang dari

peraturan formal

2. Jarak kekuasaan 1. menerima kekuasaan

sebagai bagian dari

masyarakat

2. memandang kekuasaan

sebagai fakta dasar

dalam masyarakat

Memandang bahwa

kekuasaan hanya digunakan

ketika kekuasaan itu

legitimate

3. Maskulinitas-femininitas Berorientasi pada ambisi,

materi, kekuasaan, dan

ketegasan

Berorientasi pada kualitas

hidup, pelayanan, perhatian,

dan pemeliharaan hubungan

Sumber: Hofstede (1994).

II.5.5. Pola-pola Parsons

Dimensi pola-pola Parsons berbentuk dikotomi situasi. Satu sisi dapat dipilih oleh

seorang pelaku komunikasi dengan mempertimbangkan konteks situasinya. Pola-pola ini

terdiri dari afektivitas-netralitas afektif, universalisme-partikularisme, ketersebaran-

Page 44: mcniniksrirejekiuibab2

68

keterkhususan, askripsi-prestasi, orientasi instrumental-ekspresif (Gudykunst dan Kim,

1997:78).

Pertama, afektivitas-netralitas afektif. Orentasi pola ini berkenaan dengan sifat

kepuasan yang dicari oleh manusia. Sisi afektivitas menjadi posisi dari orang-orang yang

mencari kepuasan segera dari situasi yang ada. Afektivitas terkait dengan respon-respon

emosional. Sementara itu, netralitas afektif mengacu pada orang-orang yang memilih

menunda kepuasan dengan mengendalikan diri (netralitas afektif). Sisi ini mencakup

orang-orang yang memberikan respon-respon non-emosional yang berlandas pada

informasi kognitif.

Kedua, universalisme-partikularisme. Orientasi universalistik berfokus pada

ketegorisasi orang-orang atau obyek-obyek dalam konteks referensi universal, sedangkan

orientasi partikularistik berfokus pada kategorisasi orang-orang atau obyek-obyek secara

spesifik. Interaksi universalistik sesuai dengan pola standar universal, sementara interaksi

partikularistik berupa suatu pola yang khas bagi situasi tertentu. Budaya individualistik

berciri orientasi universalistik, sementara budaya kolektivistik berorientasi partikularistik.

Ketiga, ketersebaran-keterkhususan. Orientasi ini berfokus pada cara-cara orang

memberi respon pada orang lain. Dengan orientasi ketersebaran, respon holistik akan

diberikan seseorang kepada orang lain, sedangkan orientasi keterkhususan ditampakkan

seseorang dengan memberi respon terhadap orang lain dalam cara yang khusus. Orientasi

ketersebaran menonjol di dalam budaya kolektivistik, sementara orientasi keterkhususan

menonjol dalam budaya individualistik.

Page 45: mcniniksrirejekiuibab2

69

Keempat, askripsi-prestasi. Orientasi askripsi dari seseorang akan tampak ketika

orang tersebut memandang orang lain. Dengan orientasi askriptif, pandangan seseorang

akan bertolak pada prediksi sosiokultural, yakni dalam kerangka keanggotaan orang lain

di dalam kelompoknya, seperti jender, umur, ras, etnik, kasta, dan sebagainya. Sementara

orang dengan orientasi prestasi akan mendasarkan prediksi dalam kerangka prestasi yang

dapat diraih orang lain.

Kelima, orientasi instrumental-ekspresif. Orientasi instrumental akan ditampakkan

oleh orang dalam interaksinya dengan orang lain jika interaksi itu merupakan sarana

untuk mencapai tujuan lainnya, sedangkan orientasi ekspresif akan tampak pada orang

yang interaksinya dengan orang lain merupakan tujuannya. Dalam orientasi ekspresif,

interaksi dipandang penting bukan karena interaksi merupakan sarana untuk mencapai

tujuan lain, tapi tujuan justru pada interaksi itu sendiri. Pola-pola Parsons tersebut akan

tampak seperti pada Tabel II.6.

Page 46: mcniniksrirejekiuibab2

70

Tabel II.6. Pola-pola Parsons

No. Pola-pola

1. Afektivitas

Memilih untuk mencari kepuasan

dengan segera (respons-respon yang

ada bersifat emosional)

Netralitas Afektif

Memilih untuk menunda kepuasan

(respon-respon yang ada bersifat non-

emosional)

2. Universalisme

Berfokus pada kategorisasi universal

Partikularisme

Berfokus pada kategorisasi spesifik

3. Ketersebaran

Memberi respon secara holistik

Keterkhususan

Memberi respon secara khusus

4. Askripsi

Memandang orang lain dengan

prediksi sosiokultural

Prestasi

Memandang orang lain dengan

bertolak dari prestasi yang dapat diraih

5. Orientasi Instrumental

Interaksi merupakan sarana mencapai

tujuan

Ekspresif

Interaksi merupakan tujuan itu sendiri

Sumber: Gudykunst dan Kim (1997).

II.5.6 Keketatan Struktural

Keketatan struktural berfokus pada norma-norma, aturan-aturan, dan batasan-

batasan yang berlaku pada anggota suatu komunitas. Budaya-budaya yang longgar hanya

menerapkan sedikit peraturan dan batasan atas perilaku. Di dalam budaya yang ketat akan

aturan dan batasan perilaku, norma-norma dan aturan-aturan budaya cenderung jelas dan

orang-orang diharapkan untuk mengikutinya. Jika anggota komunitas melanggar norma

Page 47: mcniniksrirejekiuibab2

71

dan aturan budaya, sanksi akan diberikan kepada yang bersangkutan. Sebaliknya dalam

komunitas budaya longgar, norma dan aturan tidaklah kaku seperti dalam budaya ketat.

Para anggota yang melanggarnya tidak akan dikenai sanksi sekeras yang terjadi pada

budaya ketat (Gudykunst dan Kim, 1997:81).

Dapat dikemukakan bahwa homogenitas budaya cenderung untuk membawa pada

keketatan struktural. Hal ini karena kesamaan di antara para anggota budaya cenderung

membawa pada kesepakatan tentang perilaku yang dianggap benar dalam situasi spesifik.

Sementara itu heterogenitas budaya cenderung mengarah pada kelonggaran budaya.

Kecenderungan ini disebabkan sulitnya membawa orang-orang yang berbeda pandangan

dalam sebuah kesepakatan atas nilai-nilai perilaku dalam suatu situ. Derajat keketatan

struktural juga dipengaruhi oleh derajat kebutuhan kordinasi atas perilaku. Semakin besar

kebutuhan akan perilaku yang terkordinasikan, semakin ketat budayanya. Dalam struktur

sosial yang ketat, perilaku para anggota budaya dapat lebih mudah diprediksi daripada

dalam struktur sosial yang longgar. Dalam bentuk tabel uraian tentang perbedaan budaya

ketat dan budaya longgar tersebut dapat dikemukakan seperti pada Tabel II.7.

Tabel II.7. Budaya Ketat dan Budaya Longgar

Budaya Ketat Budaya Longgar

1. Menerapkan banyak norma dan

aturan yang jelas

2. Menerapkan sanksi yang keras bagi

anggota budaya yang melanggar

norma-norma dan aturan-aturan

3. Memerlukan kordinasi atas perilaku

1. Menerapkan sedikit aturan dan

batasan atas perilaku

2. Tidak menerapkan sanksi bagi

anggota budaya yang melanggar

aturan

3. Tidak memerlukan kordinasi atas

perilaku

Sumber: Gudykunst dan Kim (1997).

Page 48: mcniniksrirejekiuibab2

72

Dikaitkan dengan beberapa dimensi tersebut, penelitian ini mengasumsikan

bahwa komunitas perusahaan inti memiliki karakteristik budaya farmer, individualistik,

memiliki orientasi menguasai, maskulin, dan berorientasi kepuasan. Sementara petani

plasma memiliki karakteristik kolektivistik, memelihara relasi, feminin, dan menunda

kepuasan. Karakteristik budaya tersebut kemudian tampak pada perilaku komunikasi,

karena komunikasi adalah fungsi dari budaya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh

Gudykunst dan Kim (1997) bahwa perbedaan budaya dapat menjelaskan komunikasi

silang budaya. Dengan kata lain budaya berimplikasi pada perilaku komunikasi.

Keterkaitan antara budaya dan perilaku komunikasi adalah seperti tampak pada Gambar

II.4.

Komunikasi terdiri dari elemen-elemen sumber, pesan, saluran. Dalam dimensi

sumber pesan, perusahaan inti yang diasumsikan berbudaya farmer, individualistik,

menguasai, maskulin, berorientasi kepuasan, dan ketat dalam struktur akan memiliki

orientasi universal, sehingga dalam melakukan relasi dengan orang lain tidak memandang

aspek sosiokulturalnya. Bertolak dari orientasinya tersebut, dapat dikemukakan bahwa

komunitas perusahaan inti akan menggunakan komunikator yang hanya memenuhi

kriteria organisasi, tanpa mempertimbangkan kedekatan komunikator dengan petaninya.

Sementara itu, petani yang diasumsikan berbudaya peasant, kolektivistik, memelihara

hubungan, feminin, menunda kepuasan, dan longgar dalam struktur akan berorientasi

partikularistik, sehingga cenderung terbuka dengan pesan komunikator yang memiliki

kesamaan dalam konteks sosiokulturalnya. Dengan kata lain adalah sumber yang

memenuhi kriteria setempat (lokal).

Page 49: mcniniksrirejekiuibab2

73

Dalam dimensi isi pesan, komunitas perusahaan inti diasumsikan menyampaikan

pesan yang orientasinya pada kepentingan organisasi. Sementara itu, petani plasma akan

menyampaikan pesan yang berorientasi pada kepentingan kelompok dan hubungan.

Dalam dimensi gaya, komunitas perusahaan inti menggunakan pesan low contex dan

memakai simbol verbal dan lebih menyukai komunikasi langsung. Sementara itu petani

plasma cenderung high contex, memakai simbol nonverbal, dan menggunakan cara

komunikasi tak langsung.

Menurut Gudykunst dan Kim (1997:65), komunikasi berkonteks tinggi memiliki

ciri sebagian besar informasi ada dalam konteks fisik atau terinternalisasi dalam diri

komunikator. Pesan yang dikodekan dan ditransmisikan secara eksplisit hanya sebagian

kecil. Sebaliknya, muatan informasi dalam komunikasi berkonteks rendah berada dalam

kode eksplisit atau pada pesan yang ditransmisikan.

Dalam pada itu, komunitas individualistik cenderung melakukan komunikasi

dalam konteks rendah dan cenderung berkomunikasi langsung, sedangkan komunitas

kolektivistik cenderung menggunakan komunikasi berkonteks tinggi dan berkomunikasi

secara tidak langsung. Komunikasi dengan konteks tinggi cenderung ambgiu dan tidak

langsung, sedangkan komunikasi dalam konteks rendah cenderung langsung dan tidak

ambigu.

Sebagai komunitas yang modern, perusahaan inti cenderung menggunakan media

formal, terorganisasi melalui komunikasi kelompok yang efisien dari sisi waktu, tenaga

dan biaya. Sementara petani cenderung berkomunikasi secara interpersonal, informal

yang berorientasi pada pengembangan hubungan.

Page 50: mcniniksrirejekiuibab2

74

Gambar II.4.

KERANGKA KONSEPTUAL

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

ORANG PERUSAHAAN DAN PETANI

BUDAYA

PERILAKU KOMUNIKASI

DUALISME EKONOMI

Kapitalisme Prakapitalisme

Boeke (1948)

Dimensi Komunitas

Perusahaan

Komunitas

Petani Plasma

Peasant-farmer Farmer Peasant

Individualisme-kolektivisme Individualistik Kolektivistik

Kluckhohn and Strodtberg Menguasai Memelihara hubungan

Hofstede Maskulin Feminin

Parsons Afektivitas Netralitas Afektif

Keketatan struktural Ketat Longgar

Elemen Komunitas

Perusahaan

Komunitas

Petani Plasma

Sumber Orientasi Organisasi Orientasi Lokal

Isi Orientasi Organisasi

Orientasi Hubungan-

Kelompok

Pesan

Gaya • Low context

• Verbal

• Langsung

• High context

• Non verbal

• Tidak langsung

Saluran • Formal/kelompok

Strategi

Adaptasi

Konvergensi vs

Divergensi

• Informal/interpersonal

Page 51: mcniniksrirejekiuibab2

75

Perbedaan budaya tersebut kemudian memunculkan strategi adaptasi yang berupa

strategi konvergensi atau divergensi. Menurut Abrams (Gudykunst dan Bella Mody,

2002: 229), ada beberapa tipe adaptasi dan akomodasi yang paling fundamental, yaitu

konvergen dan divergen. Konvergensi adalah strategi manakala individu mengadaptasi

perilaku komunikasi agar menyerupai perilaku komunikasi pihak lain. Sementara itu,

divergensi mengacu pada perilaku komunikasi yang berbeda dengan orang lain.

Kebutuhan akan adaptasi pada hakekatnya diawali dengan adanya persepsi yang

berbeda atas sebuah realitas yang dihadapi oleh mereka yang terlibat dalam komunikasi.

Perbedaan tersebut pada gilirannya dapat memunculkan perilaku komunikasi yang

berbeda. Dengan kata lain, dapat menimbulkan perilaku yang tidak sesuai dengan

maksud masing-masing pihak yang berkomunikasi.

Perbedaan itu akan semakin tajam manakala pihak-pihak yang berkomunikasi

memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Hal ini karena persepsi terikat oleh

budaya. Ini berarti bahwa persepsi bergantung pada sistem nilai yang dikembangkan oleh

sebuah komunitas budaya. Oleh karena itu, para partisipan komunikasi yang berbeda

budaya perlu mengembangkan kompetensi komunikasi antar budaya yang

memungkinkan komunikasi dapat mencapai tujuannya.

Persepsi merupakan proses internal yang memungkinkan seseorang memilih,

mengorganisasikan, dan menafsirkan stimulus dari lingkungan yang pada gilirannya

dapat memengaruhi perilaku komunikasi. Oleh karena itu pada dasarnya persepsi

merupakan inti dari komunikasi (Mulyana, 2005:196).