mcniniksrirejekiuibab2
DESCRIPTION
kTRANSCRIPT
25
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
II.1. Konstruktivisme sebagai Paradigma Penelitian
Dalam Guba dan Lincoln (1994:107) dikemukakan bahwa paradigma adalah basic
belief system atau sistem keyakinan dasar. Sistem keyakinan, dalam “Encyclopedia of
Cultural Anthropology” (Levinson dan Ember, 1996:125) merupakan segala sesuatu yang
tertanam secara dalam, meliputi kepercayaan, gagasan, pemahaman, dan harapan yang
mendasari dan memotivasi beroperasinya suatu budaya. Sistem keyakinan ini memiliki
kekuatan yang luar biasa dalam mengarahkan perilaku.
Sebagai sistem keyakinan dasar, paradigma memiliki implikasi metodologis atas
penelitian. Selain itu paradigma berperan sebagai representasi world view atau pandangan
dunia peneliti. Asumsi yang tumbuh dalam sebuah paradigma mengandung kualitas yang
menentukan dan mampu beroperasi dengan kekuatan moral. Adapun asumsi-asumsi yang
ada dalam paradigma meliputi asumsi-asumsi ontologis, epistemologis, dan metodologis
(Guba dan Lincoln, 1994:105).
Mencermati hal ini, maka paradigma penelitian bermafaat bagi peneliti dalam tiga
aspek, pertama, sebagai perangkat keyakinan dasar dalam melakukan kegiatan penelitian.
Kedua, untuk merepresentasikan pandangan dunia peneliti. Ketiga, untuk menjelaskan
posisi metodologis peneliti.
Studi tentang ini berlandas pada paradigma konstruktivisme. Denzin dan Lincoln
(1994:109), mengemukakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu dari paradigma-
paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Paradigma-paradigma lainnya adalah positivisme,
26
postpositivisme, dan kritis. Masing-masing paradigma berbeda dalam asumsi ontologis
(asumsi tentang realitas), asumsi epistemologis (asumsi tentang relasi antara peneliti dan
yang diteliti), dan asumsi metodologis (asumsi tentang cara/proses peneliti memperoleh
pengetahuan).
Adapun asumsi-asumsi paradigma konstruktivisme yang akan digunakan dalam
penelitian adalah sebagaimana tampak dalam Tabel II.1.
Tabel II.1. Asumsi-asumsi Ontologis, Epistemologis, dan Metodologis
dari Paradigma Konstruktivisme
ASUMSI KARAKTERISTIK
Ontologis Mengenal relativisme, yakni realitas yang
dikonstruksi secara spesifik dan bersifat
lokal
Epistemologis Penelitian bersifat transaksional, peneliti
berperan sebagai subjektivis yang
menciptakan temuan-temuan
Metodologis Hermeneutik/dialektik
Sumber: Guba dan Lincoln (1994:109)
Paradigma ini memiliki tujuan inkuiri untuk melakukan rekonstruksi pemahaman.
Pengetahuan yang diperoleh berupa rekonstruksi pemikiran individual yang menyatu
dengan lingkungan sosialnya. Nilai-nilai diperlakukan menyatu dalam proses penelitian,
yakni dibentuk bersama dalam interaksi antara peneliti dan yang diteliti. Sementara itu
kriteria kualitas penelitian bersifat terpercaya dan asli (trustworthiness dan authenticity)
(Guba dan Lincoln, 1994:112).
Pemikiran konstruktivis sendiri mengacu pada konstruktivisme, yakni filsafat
pengetahuan yang meyakini bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil konstruksi
27
dari manusia itu sendiri (von Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994,
seperti dikutip oleh Suparno, 1997:18). Selain itu, konstruktivisme merupakan filosofi
pembelajaran dengan premis manusia mengkonstruksi pemahamannya sendiri atas dunia
tempat ia hidup dan tinggal (Anonim, 2004).
Realitas bagi konstruktivis tidak pernah terpisah dari pengamat. Kebenaran dalam
pemikiran ini dipandang dalam kerangka kemampuan beroperasinya suatu konsep atau
pengetahuan. Artinya sebuah pengetahuan dipandang benar apabila pengetahuan itu dapat
digunakan untuk menghadapi berbagai fenomena atau persoalan yang terkait dengan
pengetahuan tersebut (Suparno, 1997:21).
Sebagai sebuah pemikiran, konstruktivisme sudah dimulai sejak Giambatista Vico,
seorang epistemolog Italia pada tahun 1710. Vico mengungkapkan bahwa “mengetahui”
berarti mengetahui bagaimana mengkonstruksi sesuatu. Bagi Vico, pengetahuan akan
mengacu pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan juga tak dapat dipisahkan dari
subjek yang memiliki pengetahuan itu (Suparno, 1997:24).
Ada dua tradisi utama konstruktivisme, yaitu psikologis dan sosiologis (Matthews
seperti dikutip oleh Suparno, 1997:43). Konstruktivisme psikologis memiliki pandangan
bahwa pengetahuan dibangun dalam kerangka perkembangan psikologis, sedangkan
konstruktivisme sosiologis memandang bahwa pengetahuan dibangun oleh masyarakat.
Terdapat dua cabang konstruktivisme psikologis, yaitu konstruktivisme psikologis
personal yang dikembangkan Piaget dan konstruktivisme sosiokultural dari Vigotsky.
Sementara konstruktivisme sosiologi berdiri sendiri. Berdasar pembedaan tersebut dapat
28
dikelompokkan konstruktivisme psikologis personal, konstruktivisme sosiokultural, dan
konstruktivisme sosiologis.
Konstruktivisme psikologis personal menekankan aktivitas individual dalam
pembentukan pengetahuan. Konstruktivisme sosiokultural berfokus pada hubungan
dialektik individu dengan masyarakat dalam membentuk pengetahuan. Sementara itu,
konstruktivisme sosiologis merupakan konstruktivisme yang tergolong personal sekaligus
sosial. Dalam pandangan ini, realitas dikonstruksi dan ditentukan secara sosial (Suparno,
1997:43-47).
Realitas atau situasi sosial dikonstruksi oleh para partisipan kehidupan sosial secara
intersubjektif. Dalam kerangka ini, kehidupan sehari-hari menampilkan dirinya sendiri
sebagai sebuah realitas. Realitas ini diinterpretasikan oleh manusia yang secara subjektif
memiliki makna baginya dan menjadi dasar pengetahuan dalam kehidupan keseharian
(Berger dan Luckmann, 1990).
Dalam Littlejohn (2005:118) dikemukakan konstruktivisme kognitif personal yang
dikembangkan oleh Jesse Delia, dkk. Tidak jelas apakah pemikiran ini dipengaruhi oleh
Piaget, namun dapat dicermati bahwa pemikiran Delia dkk. sejalan dengan pemikiran
Piaget, yaitu bahwa individu dipandang aktif menginterpretasikan realitas sesuai dengan
kategori konseptual pemikirannya. Realitas tersebut tidak hadir dalam bentuk kasar,
tetapi perlu disaring secara kognitif.
Littlejohn (2005:118) mengemukakan pula pemikiran konstruktivisme personal
dari George Kelly. Dalam pemikiran tersebut dikemukakan, individu memahami realitas
dengan mengelompokkan peristiwa-peristiwa menurut kesamaan dan perbedaan yang
29
terdapat dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Kesamaan dan perbedaan dipandang sesuai
dengan seperangkat hal-hal yang berlawanan yang ada di dalam sistem kognitif individu.
Ketika memberikan makna pada realitas, individu akan mengelompokkan ke skema-
skema interpretif.
Applegate (1988:44) mengemukakan bahwa konstruktivisme merupakan suatu
pendekatan dalam studi komunikasi. Konstruktivisme ini memberi tekanan pada dampak
perbedaan individu yang tetap dalam proses-proses persepsi sosial atas pengembangan
perilaku komunikasi. Selain itu juga menggunakan perilaku komunikasi yang berpusat
pada manusia. Adapun studi tentang persepsi sosial ini didasarkan pada teori konstruk
personal dari George Kelly. Tokoh konstruktivis lain yang berbasis pada aspek kognitif
adalah Bruner.
Menurut Bruner, belajar merupakan suatu proses yang aktif yang memungkinkan
warga belajar mengkonstruksi gagasan-gagasan baru atau konsep-konsep berbasis pada
pengetahuan sebelumnya atau saat ini. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa teori
konstruktivis Bruner merupakan kerangka kerja untuk tujuan instruksional berdasar pada
studi kognisi. Penelitian ini berlandas pada konstruktivisme sosiologis, sehingga asumsi
epistemologisnya adalah bahwa realitas sosial merupakan produk intersubjektif
(Bruner,2004).
Dalam Denzin dan Lincoln (1994:13) dikemukakan bahwa konstruktivis termasuk
interpretif. Adapun teori-teori interpretif adalah interaksionisme simbolik, fenomenologi,
etnometodologi, hermeneutik, psikoanalisis, etnologi, etnografi, dan sosiolinguistik
(Sarantakos, 1993:31).
30
Interpretivisme memiliki fokus studi pada makna simbolik, yakni jalinan makna
yang menunjukkan eksistensi manusia. Dalam pandangan interpretif, makna sangatlah
interpretif. Oleh karena itu dalam pandangan ini dikenal realitas ganda atau makna ganda.
Realitas sosial itu sendiri diciptakan dan dilestarikan melalui pengalaman subjektif dan
intersubjektif dari para aktor sosial.
II.2. Perspektif Fenomenologi untuk Memahami Pengalaman Komunikasi
Sebagai suatu studi yang berupaya untuk mengkonstruksi pengalaman komunikasi
antar budaya, studi ini menggunakan perspektif fenomenologi. Seperti yang dikemukakan
Littlejohn (2005), fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman
manusia.
Apabila dirunut dari aspek historis kemunculannya, fenomenologi terkait dengan
tradisi filsafat di Jerman pada abad XVIII dalam konteks filsafat hermeneutik. Filsafat ini
memiliki fokus pada konsep verstehen dalam melakukan kajiannya tentang manusia.
Menurut Kockelmans, istilah fenomenologi digunakan pertamakali pada tahun
1765 dalam ilmu filsafat. Selain itu istilah ini kadangkala termuat pula dalam tulisan-
tulisan Immanuel Kant. Dalam perspektif Kant, istilah fenomenologi bertolak dari kata
phenomenon yang berkaitan dengan sesuatu yang tampak dalam kesadaran manusia dan
noumenon, yakni sesuatu yang ada dalam dirinya. Namun menurut Moustakas, istilah ini
baru didefinisikan secara khusus oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa fenomenologi
mengacu pada pengetahuan yang muncul dari kesadaran, yakni pengetahuan yang
menggambarkan sesuatu yang dialami oleh manusia (Moustakas, 1994:26).
31
Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan
pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena
itu interpretasi atau verstehen merupakan proses yang aktif untuk memberikan makna
atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan
kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan (Littlejohn, 2005:38).
Satu hal yang penting ditekankan dalam fenomenologi adalah bahwa objek dan
peristiwa tersebut akan dilihat dalam perspektif manusia itu sendiri. dikemukakan bahwa
fenomenologi melakukan analisis atas kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang
yang hidup dalam kehidupannya sendiri (Griffin, 2003:32).
Menurut Littlejohn (2005:39), ada tiga aliran dalam fenomenologi. Aliran-aliran
itu adalah fenomenologi klasik, fenomenologi persepsi, dan fenomenologi hermeneutik.
Fenomenologi klasik terkait dengan Edmund Husserl yang merupakan seorang tokoh
fenomenologi modern. Pemikiran Husserl dipengaruhi oleh Descartes. Penjelasan Husserl
tentang pertalian antara pengetahuan subjektif dan objektif menunjukkan adanya
pengaruh Descartes dalam pemikiran Husserl. Descartes berbicara tentang pembentukan
realitas objektif. Obyek dikatakan memiliki realitas obyektif sepanjang realitas itu eksis
melalui representasi di dalam pemikiran. Jadi realitas obyektif berada dalam kebenaran
suatu realitas subyektif (Moustakas, 1994:27).
Dalam pandangan dua tokoh tersebut, hanya ada satu kepastian dalam membangun
suatu pengetahuan ilmiah yang obyekif, yakni melalui konstruksi atas segala sesuatu
yang dialami atau dipikirkan dan dirasakan oleh manusia. Sesuatu yang dialami dalam
32
kesadaran merupakan fenomenon. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “phaenesthai”.
Fenomenon kemudian memiliki arti sebagai sesuatu yang membawa pada kecerahan.
Menurut Moustakas (1994:25), Husserl mengembangkan suatu sistem filosofis
yang memiliki akarnya pada keterbukaan yang sifatnya subjektif. Husserl menyatakan
bahwa fenomenologi dapat digunakan untuk mengungkap pengetahuan, sekaligus untuk
menciptakan teori dan untuk menerapkan ilmu-ilmu humaniora. Dalam kaitannya dengan
fenomena, maka fenomena merupakan blok-blok bangunan dari ilmu humaniora yang
menjadi dasar semua pengetahuan yang kemudian berkembang menjadi fenomenologi.
Pengetahuan berfokus pada pengalaman dan kekuatan-kekuatan reflektif yang ada
pada diri manusia. Oleh karena itu Moustakas kemudian menyebut fenomenologi Husserl
sebagai fenomenologi transendental. Fenomenologi transendental berkaitan erat dengan
konsep intensionalitas. Dari konsep ini tersirat adanya orientasi pemikiran pada obyek,
yakni obyek yang berada di dalam pemikiran manusia (Moustakas, 1994:28).
Dalam pada itu fenomenologi persepsi dapat dikaitkan dengan Maurice Merleau-
Ponty. Sebagai seorang tokoh dalam fenomenologi, Merleau-Ponty memiliki pandangan
yang berbeda dengan Edmund Husserl. Meskipun besar pengaruh Husserl atas pemikiran
Merleau-Ponty, ia merupakan tokoh yang menolak pandangan Husserl. Dalam pandangan
fenomenologi Merleau-Ponty, semua pengetahuan manusia tentang dunia yang berasal
dari sudut pandangnya sendiri (Littlejohn, 2005:38).
Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang mampu menciptakan makna bagi
dunianya. Kemampuan ini dimiliki manusia karena adanya kesatuan fisik dan mental di
dalam dirinya. Dengan kemampuannya itu manusia menempati posisi sebagai subjek atau
33
orang yang mengetahui dunianya. Dalam posisinya tersebut, manusia memiliki hubungan
dengan benda-benda yang terdapat di dunia. Manusia mendefinisikan dan memberikan
makna pada dunia. Pada gilirannya pengalaman hidup manusia itupun akan dipengaruhi
oleh dunianya itu. Dengan demikian pengalaman adalah subjektif. Pandangan ini berbeda
dengan Edmund Husserl yang secara tajam memisahkan subjek dengan objek. Manusia
terpisah dari objek. Untuk mengetahui objek, manusia perlu mengeliminasi bias-bias
yang menyertai pengamatan yang dilakukannya (Littlejohn, 2002:185).
Dalam tradisi fenomenologipun kemudian tetap dikenal bahwa pengalaman
adalah subjektif. Dalam kerangka ini terdapat penekanan yang besar terhadap persepsi
dan interpretasi orang atas pengalaman subjektifnya sendiri. Alfred Schutz adalah tokoh
yang menerapkan idealisme Merleau-Ponty dalam kehidupan sosial.
Pemikiran fenomenologis Schutz adalah kritik atas fenomenologi Husserl. Schutz
menolak pemikiran Husserl yang menekankan pada fenomena kehidupan manusia tanpa
mempersoalkan kausalitas dari realitas obyektif. Pemaknaan manusia terhadap realitas
obyektif tidak akan terlepas dari latar belakangnya. Oleh karena itu tampak bahwa Schutz
mempertimbangkan aspek kausalitas dalam proses pemberian makna oleh manusia.
Adalah fenomenologi hermeneutik yang konsisten dengan tradisi fenomenologi
persepsi. Fenomenologi hermeneutik dikaitkan dengan Martin Heideggers. Ia memiliki
kerangka kerja dalam hermeneutik filosofis. Filsafat ini disebut juga sebagai hermeneutik
dasein yang berarti “interpretation of being”. Dalam kerangka ini realitas tentang sesuatu
merupakan pengalaman dari penggunaan bahasa yang berada dalam konteksnya.
34
Dalam pada itu Deetz (Liitlejohn, 2005:38) mengemukakan tiga prinsip dasar
fenomenologi, yaitu pertama, pengetahuan adalah sadar. Pengetahuan tidak disimpulkan
dari pengalaman, namun diperoleh secara langsung di dalam pengalaman yang sadar.
Kedua, makna sebuah benda mengandung potensi benda itu dalam kehidupan seseorang.
Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengaitkan makna tersebut dengan sebuah objek
akan menentukan makna tersebut bagi orang itu. Ketiga, bahasa merupakan wahana bagi
makna. Hal ini menunjukkan bahwa dunia dialami oleh manusia melalui bahasa yang
digunakan untuk mengungkapkan dan untuk mendefinisikan dunia itu.
Bertolak dari idealisme tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk membangun
sebuah pengetahuan atau untuk memahami suatu realitas, pengalaman hidup nyata yang
secara sadar dialami manusia dapat diperlakukan sebagai data dasar. Pengalaman hidup
tersebut mencakup pengalaman berkomunikasi, termasuk komunikasi antar pihak-pihak
yang memiliki perbedaan dalam latar belakang budaya. Pengalaman komunikasi tersebut
kemudian dikaji hingga terbangunnya sebuah pengetahuan atau dapat dipahaminya suatu
realitas tentang komunikasi antar budaya.
II.3. Adaptasi dalam Kawasan Studi Komunikasi Antar Budaya
Ada berbagai topik kajian dalam kawasan studi komunikasi antar budaya. Topik-
topik itu menyangkut aspek identitas kultural, adaptasi dalam proses komunikasi antar
budaya, konflik antar budaya, dan sebagainya. Sebagai salah satu topik kajian dalam
komunikasi antar budaya, adaptasi adalah suatu problema yang perlu dipecahkan ketika
seseorang atau kelompok orang berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda budaya.
35
Adaptasi dalam kawasan studi komunikasi antar budaya pada umumnya dikaitkan
dengan sebuah perubahan dari suatu masyarakat atau bagian dari masyarakat. Perubahan
ini terjadi karena adanya kesenjangan budaya sebagai akibat perpindahan strangers dari
satu budaya ke budaya lain atau karena adanya perubahan dalam lingkungan sosialnya.
Komunikasi antar budaya sendiri, apabila mengacu dari pengertian Kim, Samovar
dkk., dan Ting-Toomey, adalah komunikasi yang mengacu pada fenomena perbedaan
dalam latar belakang budaya di antara para partisipannya. Tekanan tersebut dapat disimak
dari pengertian komunikasi antar budaya yang dikemukakan oleh Kim (1984:16), yaitu
komunikasi yang mengacu pada fenomena latar belakang budaya yang berbeda dari para
partisipannya. Tekanan yang sama terdapat pula dalam pengertian yang dikemukakan
oleh Samovar dkk. (1981:27), komunikasi antar budaya adalah komunikasi dengan
karakteristik sumber dan penerima pesan berasal dari budaya yang berbeda. Sementara
itu, Ting-Toomey (1999:16) memandang komunikasi antar budaya sebagai istilah yang
mengacu pada proses komunikasi di antara para anggota komunitas budaya yang berbeda.
Ada dua aspek utama yang membedakan komunikasi antar budaya dengan kajian
komunikasi lainnya serta bidang-bidang ilmu, seperti antropologi dan psikologi silang
budaya. Aspek-aspek itu adalah pertama, komunikasi antar budaya ditandai oleh adanya
tingkat perbedaan yang relatif tinggi dalam latar belakang pengalaman para partisipannya
yang disebabkan oleh perbedaan budaya di antara mereka. Kedua, dalam komunikasi
antar budaya, terdapat dua unsur, yakni interaksi dan komunikasi. Adanya interaksi dan
komunikasi ini yang membedakan kajian komunikasi antar budaya dari kajian-kajian
antropologi atau psikologi silang budaya (Kim, 1984:16).
36
Sebagai sebuah kawasan kajian dalam ilmu komunikasi, komunikasi antar budaya
memiliki dua konsep pokok, yakni budaya dan komunikasi. Dalam Koentjaraningrat
(1985:9) dikemukakan bahwa pengertian kebudayaan mencakup keseluruhan gagasan
dan karya manusia. Oleh karena itu secara luas budaya memiliki pengertian sebagai
keseluruhan pikiran, karya, dan hasil karya manusia. Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu
(1) ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; (2) aktivitas
perilaku manusia berpola; (3) benda-benda hasil karya manusia.
Dari sisi kemunculannya, budaya dapat dipandang sebagai produk konvensi dan
produk konsensus masyarakat. Sebagai produk konsensus, budaya adalah sesuatu yang
berasal dari konvensi sosial masyarakat. Menurut Durkheim (Barnett dan Lee, 2002:276),
kognisi yang dimiliki dan digunakan bersama dalam menghasilkan budaya merupakan
representasi kolektif yang tidak bersifat individual, namun merupakan asosiasi pemikiran.
Dalam berasosiasi, setiap individu memiliki kontribusinya. Oleh karena itu dapat terjadi,
dalam asosiasi itu masuk perasaan (sentimen-sentimen) pribadi, sehingga memberikan
kombinasi dalam asosiasi, tetapi hasilnya tetap tidak bersifat individual. Oleh karena itu
dalam memahami budaya, tetaplah akan dipandang sebagai agregat.
Sebagaimana pemikiran yang memandang budaya sebagai properti kelompok,
maka budaya itu merupakan sistem makna kolektif yang dimiliki dan digunakan bersama
oleh para anggota kelompok budaya. Di dalam sistem makna terdapat nilai-nilai, sikap-
sikap, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, dan pemikiran-pemikiran kolektif.
Dalam kerangka ini, budaya adalah properti yang muncul dari interaksi sosial para
anggota. Budaya ini menjadi penentu cara-cara para anggota budaya berkomunikasi. Pada
37
akhirnya makna yang diatribusikan ke dalam simbol-simbol verbal dan perilaku-perilaku
nonverbal ditentukan oleh masyarakat sebagai suatu agregat (Barnett dan Lee, 2002:277).
Sebagai produk konsensus, budaya terkait dengan makna simbol. Budaya dengan
demikian merupakan konsensus atas makna simbol, baik verbal maupun nonverbal yang
dibangun oleh para anggota kelompok budaya sendiri. Konsensus ini diperlukan untuk
komunikasi yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial dalam sebuah kelompok
budaya (Barnett dan Lee, 2002:277).
Beberapa kawasan studi komunikasi antar budaya adalah ekonomi, demografi dan
perdamaian. Di bidang ekonomi, ada dua alasan diperlukannya studi tentang komunikasi
antar budaya, yaitu lingkungan kerja dan ekonomi global. Di dalam lingkungan kerja,
bisnis perlu memberi perhatian pada aspek-aspek keragaman atau diversitas, di antaranya
adalah keragaman tenaga kerja. Kemampuan komunikasi antar budaya dalam konteks ini
diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antar budaya di antara para pekerja.
Dalam ekonomi global, komunikasi antar budaya diperlukan untuk meningkatkan
kemampuan tenaga kerja agar dapat berkomunikasi secara efektif guna dapat menunjang
keberhasilan usaha atau bisnis dalam melakukan ekspansi ke pasar global. Oleh karena
itu diperlukan kemampuan berkomunikasi yang baik. Dalam bidang demografi dapat
dikemukakan bahwa perubahan pola demografik memerlukan kompetensi komunikasi
antar budaya yang memadai pula. Pemusatan industri di kota-kota besar akan menarik
tenaga kerja dari berbagai etnis dan ras. Keragaman ini membawa implikasi dalam aspek
komunikasi antarbudaya.
38
Dalam kerangka memelihara perdamaian, komunikasi antar budaya diperlukan
untuk menjaga agar individu-individu yang berbeda dalam jenis kelamin, usia, etnisitas,
ras, bahasa, dan budaya dapat hidup berdampingan secara damai. Hal ini karena kontak
antar kelompok budaya yang berbeda dapat membawa situasi tidak harmonis dalam
berbagai tataran, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Untuk memahami komunikasi antar budaya, Kim (1984:17) mengemukakan tiga
dimensi pemahaman, yaitu (1) tataran keanggotaan komunikator dalam sebuah kelompok
budaya, (2) konteks sosial terjadinya komunikasi, dan (3) saluran komunikasi. Tataran
keanggotaan, konteks sosial, dan saluran komunikasi tersebut berpengaruh terhadap
keseluruhan proses dan keluaran komunikasi antar budaya.
Dimensi tingkat keanggotaan kelompok mengacu pada tingkatan yang berbeda
dalam cakupan dan kompleksitas sebuah organisasi sosial. Tingkatan ini meliputi world
regions (misalnya budaya Timur dan Budaya budaya Barat), world subregions (misalnya
budaya Amerika Utara dan budaya Asia Tenggara), bangsa/nasional (misalnya budaya
Perancis dan budaya Jepang), kelompok etnik/rasial (misalnya budaya orang Amerika
berkulit hitam dan budaya orang Amerika berkulit putih), dan berbagai kelompok
sosiologis (subkelompok-subkelompok yang dikategorikan menurut jenis kelamin, kelas
sosial, wilayah geografis, dan kelompok countercultural), seperti budaya Hippi, budaya
penjara, dan budaya jalanan. Selain itu mencakup pula komunikasi di antara individu
yang berbeda budaya.
Dalam Kim (1984:17) dikemukakan bahwa perhatian utama dari para ilmuwan
dan peneliti komunikasi antar budaya adalah pada komunikasi di antara para individu
39
yang berasal dari budaya bangsa yang berbeda, seperti komunikasi antara pebisnis dari
Jepang dan pebisnis dari Amerika Utara. Selain itu para pakar dan peneliti juga berfokus
pada komunikasi antar budaya yang terjadi antara individu dari ras atau etnik yang
berbeda, seperti komunikasi antara seorang mahasiswa asli Amerika dan dosen yang dari
Amerika Utara. Istilah-istilah komunikasi internasional atau komunikasi antar ras atau
antar etnik digunakan untuk merujuk semua fenomena komunikasi antar budaya dengan
para komunikatornya yang berbeda budaya. Tataran keanggotaan kelompok budaya dari
komunikator adalah seperti tampak pada Gambar II.1.
Gambar II.1. Tingkatan Keanggotaan Komunikator dalam Kelompok Budaya
Sumber: Kim (1984:18).
world
regions
nations
Ethnic/racial groups
Sosiological groups
individuals
40
Kedua, dimensi konteks sosial. Dimensi ini mengacu pada konteks sosial spesifik
tempat terjadinya komunikasi. Dalam sebuah konteks sosial, terjadi share kebersamaan
berlandaskan elemen-elemen dan proses-proses komunikasi antar manusia, seperti
pengiriman, penerimaan, dan pemrosesan pesan. Beberapa konteks sosial adalah seperti
konteks pendidikan, konteks pembangunan, konteks konseling/teraputik, konteks
organisasional/bisnis, konteks politik, konteks akulturasi imigran, konteks sojourner
adjustment, dan sebagainya. Hal ini seperti tampak dalam Gambar II.2. Konteks sosial
tersebut dapat memberi pemahaman tentang hal-hal yang spesifik dalam hubungan antar
peranan, harapan-harapan, serta norma-norma dan aturan-aturan berperilaku.
Gambar II.2. Beberapa Konteks Sosial Komunikasi Antar Budaya
Sumber: Kim (1984:19).
KAB
konteks pendidikan
konteks
adjusment
sojourner
konteks
pembangu
nan
konteks
konseling/ teraputik
konteks
bisnis/orga- nisasional
konteks politik
konteks
akulturasi imigran
41
Ketiga, dimensi saluran komunikasi. Dimensi ini mengacu pada saluran terjadinya
komunikasi. Komunikasi antar budaya dapat terjadi dalam berbagai saluran komunikasi.
Berbagai saluran tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua saluran, yaitu saluran
interpersonal dan saluran media massa. (radio, TV, suratkabar, bioskop, majalah, dan
sebagainya). Dua saluran tersebut memiliki dampak yang berbeda bagi komunikatornya.
Kim (1984:20) mengemukakan, pengalaman komunikasi interpersonal bagi komunikator
dipandang lebih mendalam daripada komunikasi yang dialami komunikator melalui
media massa.
Kim (1984:20) mengemukakan bahwa komunikasi antar budaya dapat dipelajari
dalam tingkatan kelompok maupun tingkatan individu. Di tingkatan kelompok, penelitian
dilakukan dalam studi-studi antropologi dan sosiologi. Studi-studi tersebut mempelajari
komunitas budaya sebagai kesatuan kolektif yang pemahamannya adalah secara holistik.
Sementara di tingkatan individu, penelitian dilakukan pada studi-studi yang menjelaskan
perbedaan individual dalam pertemuan antar budaya. Sebagai contoh, penelitian tentang
penyesuaian diri kaum pendatang di masyarakat pribumi. Variabel-variabel komunikasi
yang terkait adalah seperti pola-pola hubungan antar pribadi, kompetensi bahasa host,
sikap, persepsi, dan sebagainya. Studi ini pada umumnya dilakukan di kawasan psikologi.
Penelitian ini dilakukan terhadap para partisipan komunikasi yang berasal dari dua
kelompok budaya. Dalam pengertian Kim sebagai studi dalam dimensi tataran kelompok
sosiologis. Menurut Goodman (1992:45), kelompok adalah sekumpulan dua atau lebih
individu yang memiliki perasaan identitas yang digunakan bersama dan yang berinteraksi
42
dalam cara-cara yang terstruktur berdasar seperangkat harapan bersama tentang perilaku
orang lain. Kelompok-kelompok itu adalah perusahaan inti dan petani plasma. Konteks
sosial studi adalah penyuluhan pembangunan, yaitu pembangunan yang melibatkan
perusahaan inti dan petani plasma. Kelompok-kelompok ini adalah dua kelompok yang
berbeda budaya. Sementara itu dari dimensi saluran komunikasi, studi dilakukan dalam
saluran interpersonal.
II.4. Teori Adaptasi Antar Budaya
Adaptasi antar budaya merupakan suatu proses panjang untuk menyesuaikan diri
untuk memperoleh kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru. Ada beberapa
teori yang menjelaskan tentang proses tersebut. Dalam “Intercultural Communication
Theories”, Gudykunst (2002:183) memaparkan bahwa teori adaptasi budaya termasuk ke
dalam kelompok teori akomodasi dan adaptasi. Di dalam paparan itu, ia mengemukakan
teori adaptasi antar budaya dari Ellingsworth dan teori ko-kultural Orbe.
Teori ko-kultural dikembangkan dari perspektif fenomenologi dan didasarkan
pada muted group theory dan standpoint theory. Dua teori ini mengasumsikan adanya
kelompok underrepresented. Dalam muted group theory, kelompok ini merupakan muted
group, sementara dalam standpoint theory, kelompok underrepresented adalah kelompok
yang termarjinalkan. Sebagai teori yang berdasar pada muted group theory dan standpoint
theory, teori ko-kultural mengacu pada komunikasi di antara kelompok underrepresented
dan kelompok dominan. Ada dua premis teori, yaitu pertama, para anggota kelompok ko-
kultural termarjinalkan di dalam struktur masyarakat dominan. Kedua, para anggota
43
kelompok ko-kultural memakai gaya komunikasi tertentu untuk mencapai keberhasilan
ketika dihadapkan pada struktur masyarakat dominan yang opresif.
Dengan mencermati asumsi dan premis teori, dapat dikemukakan meskipun teori
ini dikembangkan dalam perspektif fenomenologis, namun teori ko-kultural tidak sesuai
untuk mendekati fenomena komunikasi antar budaya yang diangkat dalam tulisan ini.
Baik perusahaan inti maupun petani plasma tidak ada yang berperan sebagai kelompok
underrepresented (ko-kultural) atau kelompok dominan. Masing-masing kelompok setara
sebagai mitra usaha berdasar paradigma komunikasi negosiasi.
Dalam paradigma tersebut, adaptasi yang terjadi berupa saling menyesuaikan diri
di antara keduanya guna melangsungkan kemitraan. Ada tujuan fungsional ketika mereka
beradaptasi antar budaya. Sesuai dengan proposisi- proposisi teori adaptasi antar budaya,
maka komunikasi yang beradaptasi secara fungsional dan setara dalam adaptasi dapat
memberi fasilitas pada penyelesaian tugas. Sementara, komunikasi yang tidak adaptif
fungsional membawa pada invokasi perbedaan kultural dan memperlambat penyelesaian
tugas. Ketika para komunikator harus bekerjasama, ada kesetaraan dalam mengadaptasi
komunikasi. Penggunaan strategi persuasif dapat membawa pada adaptasi komunikasi.
Ketika situasi mendukung salah satu komunikator atau satu komunikator lebih berkuasa,
makakomunikator lainnya akan memiliki beban untuk beradaptasi. Sementara itu, ketika
lebih banyak perilaku adaptif para komunikator, maka lebih banyak keyakinan kultural
(Gudykunst, 2002:190).
Penjelasan tersebut bertolak dari asumsi Ellingsworth. Dalam asumsinya, setiap
komunikasi meliputi derajat perbedaan kultural, sehingga dalam menjelaskan komunikasi
44
antar budaya diperlukan keterlibatan faktor-faktor kultural. Adapun teorinya sendiri
dirancang untuk menjelaskan cara para komunikator beradaptasi untuk mencapai suatu
tujuan dalam komunikasi yang bersifat diadik (pasangan).
Dalam tulisannya tentang “A Theory of Adaptation in Intercultural Dyads”,
Ellingsworth (1988: 271) mengemukakan, perilaku adaptasi dalam interkultural diadik
terkait dengan unsur-unsur status atau kekuasaan, perilaku teritorial, adaptasi dalam gaya
komunikasi, invokasi budaya berdasar keyakinan, tujuan diadik, tujan individual, tujuan
yang berhubungan dengan keluaran, dan partisipan yang berhubungan dengan keluaran.
Unsur-unsur tersebut dipertautkan menjadi tujuh hukum. Hukum-hukum itu
menyatakan bahwa:
(1) Adaptasi dalam gaya komunikasi dikaitkan dengan pencapaian tujuan, misalnya
dalam tawar-menawar atau negosiasi.
(2) Adaptasi gaya komunikasi dikaitkan dengan invokasi budaya berdasar keyakinan.
(3) Kesesuaian tujuan terkait dengan pertukaran tanggungjawab adaptif.
(4) Ketika salah satu partisipan diadik menghendaki sesuatu yang dilihat pasangan lain
tidak menguntungkan, maka beban adaptif terletak pada partisipan yang memiliki
inisiatif komunikasi.
(5) Ketika salah satu partisipan memegang manfaat teritorial, maka pihak lain akan
memiliki beban adaptasi.
(6) Ketika salah satu dari pasangan merupakan pihak yang superior dalam status atau
kekuasaan, maka beban adaptasi akan terletak pada pihak yang inferior.
45
(7) Adaptasi gaya komunikasi terkait dengan perubahan kognisi, citra diri, persepsi
lebih lanjut dari partisipan.
Proposisi-proposisi yang muncul dari unsur-unsur dan hukum-hukum itu adalah:
(1) Peningkatan perilaku adaptif dilakukan dengan cara mempercepat kemajuan ke arah
penyelesaian tugas.
(2) Ketika perilaku adaptif terjadi dan terbukti tidak fungsional, maka pihak lain akan
menanggapinya dengan menginvokasi budaya berbasis perbedaan dalam keyakinan.
(3) Munculnya pernyataan keyakinan dari satu pihak akan diikuti dengan percepatan
perilaku adaptif pihak lain.
(4) Pergeseran dari ketidaksetaraan ke arah kesetaraan di dalam perilaku adaptif akan
mempercepat kemajuan menuju penyelesaian tugas.
(5) Ketika para partisipan komunikasi mempertukarkan suatu tujuan, mereka bergerak
menuju kesetaraan dalam adaptasi.
(6) Ketika dari interaksi terbukti bahwa hanya satu pihak yang akan mengambil manfaat
dari penyelesaian tugas, maka orang itu akan mempercepat perilaku adaptif.
(7) Ketika salah satu pihak memiliki keuntungan teritorial, maka pihak lain akan
menunjukkan peningkatan dalam adaptasi.
(8) Ketika pihak yang mengambil inisiatif komunikasi memiliki status atau kekuasaan
yang lebih daripada pihak lainnya, maka ia akan memulai memanfaatkannya sebagai
pengganti bagi perilaku adaptif di dalam interaksinya.
46
( 9) Lebih banyak adaptasi yang ditunjukkan oleh seorang partisipan, maka lebih banyak
perubahan yang akan terjadi dalam sikap dan persepsi yang berpusat pada budaya
yang ditampilkan pihak lain.
(10) Lebih banyak adaptasi yang ditunjukkan oleh seorang partisipan, maka lebih banyak
perubahan terjadi dalam persepsi diri seseorang dan budaya yang ditampilkannya.
Dari hukum-hukum itu tampak bahwa pusat perhatian teori adalah adaptasi dalam
gaya komunikasi. Gaya adalah tingkah-laku atau merupakan suatu perilaku komunikasi.
Menurut Gudykunst dan Kim (1997:337), adaptasi dapat terjadi dalam dimensi kognitif.
Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian bahasa verbal dan nonverbal. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa adaptasi dapat terjadi dalam dimensi-dimensi perseptual,
kognitif, dan perilaku.
Teori yang berfokus pada akomodasi dan adaptasi lainnya dikemukakan Gile.
Teorinya disebut teori akomodasi komunikasi atau communication accomodation theory
(CAT). Teori ini bertolak dari teori akomodasi percakapan. Menurut teori ini, pembicara
menggunakan strategi linguistik untuk mencapai persetujuan atau untuk menunjukkan
perbedaan dalam interaksinya dengan orang lain. Strategi komunikator yang utama
adalah dengan divergensi dan konvergensi. Strategi ini digunakan untuk meningkatkan
dan untuk mengurangi jarak komunikasi (Gudykunst dalam Gudykunst dan Bella Mody
2002:1987). Sementara itu menurut Abrams dkk (Gudykunst dan Blla Mody, 2002:225),
divergensi dan konvergensi meliputi bahasa verbal dan nonverbal.
47
Penyuluhan adalah suatu pendidikan, yaitu pendidikan nonformal untuk merubah
perilaku masyarakat. Shaules (2007:74) dalam “Assesing Intercultural Learning
Strategies with Personal Intercultural Change Orientation Profiles” mengemukakan
bahwa adaptasi adalah salah satu orientasi pembelajaran interkultural. Orientasi adaptif
terdiri dari mencari dan memberi perhatian pada lingkungan. Seseorang yang memilih
strategi adaptif cenderung memiliki kesadaran yang tinggi terhadap harapan dan tuntutan
dari lingkungannya, sehingga siap untuk merubah perilaku. Orientasi ini menyebabkan
seseorang untul fleksibel dan diplomatis.
II.5. Dimensi-dimensi Keragaman Kultural untuk Mengkaji Perbedaan Budaya
Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani
plasma dapat dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua prinsip
yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari pertentangan
antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis. Kapitalisme barat yang
modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar berhadapan dengan tradisi pra-
kapitalis yang tua yang berada di pedesaan (Boeke, 1983:11)
. Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua karakteristik yang
berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan golongan masyarakat yang
memiliki ikatan-ikatan sosial asli dan organis, sistem kesukuan tradisional kebutuhan-
kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang
sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing
usaha yang terorganisasikan, profesional, bertumpu pada kapitalisasi dan industri
48
mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan
motif sosial, etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya.
Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme diasosikan dengan farmer yang berciri
kota. Sementara itu prakapitalisme diasosiasikan dengan peasant yang ciri desa. Kalau
mengacu pada Redfield; Kroeber; dan Steward, Marzali (1998:85) mengemukakan bahwa
dari sisi perkembangan tingkat sosiokultural, petani peasant dipandang sebagai suatu
masyarakat yang berada di antara, atau transisi antara, bentuk masyarakat primitif dan
bentuk masyarakat modern. Posisi tersebut dalam bentuk diagram dapat dilihat pada
Gambar II.3.
Masyarakat Primitif Masyarakat antara Masyarakat Modern
Berburu
meramu
Petani
primitif
Petani peasant Petani farmer Industri
Nomaden Menetap di pedesaan Urban
Gambar II.3. Posisi Masyarakat Peasant dalam Evolusi Masyarakat Manusia Sumber: Marzali, 1998:85.
II.5.1. Karakter Peasant-Farmer
Dalam kerangka ini peasant merupakan masyarakat yang (1) hidup dari mengolah
tanah, (2) hidup menetap dalam komunitas pedesaan, (3) menggunakan teknologi
pertanian, seperti pacul, bajak, dan garu untuk melakukan produksi pertanian, (4)
memiliki hubungan dengan kota, (5) mengolah tanah dengan bantuan keluarga sendiri
untuk menghasilkan bahan makanan guna keperluan hidup sehari-hari keluarga petani,
yakni sebagai petani dengan cara hidup subsisten.
49
Kroeber dalam Foster (1967:2) mengemukakan bahwa peasant merupakan bagian
masyarakat dari suatu bagian budaya yang hidup dalam kaitannya dengan pasar dan
pusat-pusat kota. Golongan masyarakat ini tidak lagi terisolasi, namun masih memegang
nilai-nilai tradisional. Selain itu merupakan golongan orang yang menempati jenjang
yang lebih tinggi daripada suku (tribe) dan juga lebih tinggi daripada petani pimitif. Suku
yang paling primitif hanya melakukan aktivitas berburu dan meramu, sementara petani
primitif hanya melakukan perladangan berpindah dan tidak memiliki hubungan dengan
pusat kota (pasar). Dalam kerangka ini dapat dikemukakan bahwa peasant merupakan
suatu tipe masyarakat yang terletak antara masyarakat tribal dan urban.
Sementara itu dari sisi pandang sistem ekonomi peasant, Firth (Marzali, 1998:85),
sistem ekonomi peasant adalah sistem ekonomi yang menggunakan ketrampilan dan
sistem pembagian kerja yang sederhana. Selain itu juga memiliki keterbatasan akses ke
pasar. Alat produksi dikuasai dan diorganisasikan secara nonkapitalistik. Skala produsen
tergolong kecil dengan hubungan produksi bersifat lebih personal, sementara perhatian
terhadap aspek sosial dan keagamaan lebih diutamakan darpada aspek materi.
Berbeda dengan Firth yang mengacu pada sistem ekonomi yang khas, maka Wolf
mengacu pada jenis mata pencaharian yang khas. Menurut Wolf (1983:2), peasant
merupakan orang desa yang bercocok tanam dan berternak di daerah pedesaan. Usahatani
tersebut tidak dilakukannya sebagai petani farmer atau pengusaha pertanian (agricultural
enterpreneur) karena tidak dilakukan sebagai kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan
ekonomis, namun dilakukan dalam kerangka pengelolaan rumahtangga.
50
Dalam melakukan produksi pertanian, peasant harus mengarahkan kegiatannya
untuk melayani keluarga dan masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Diaz
(1967:50), yaitu bahwa peasant sebagai man economic harus mengarahkan aktivitasnya
dalam dua ruang, yakni ruang keluarga dan ruang masyarakat. Keluarga petani dapat
terdiri dari keluarga inti, yakni suami, isteri, dan anak, dapat pula terdiri dari keluarga
luas yang mencakup orang-orang dari generasi yang sama atau berbeda, misalnya
orangtua atau sepupu petani (Wolf, 1983:103). Perhatian peasant terhadap keluarga dan
masyarakatnya dikemukakan pula oleh Popkins (1979:28), yaitu bahwa pihak-pihak yang
menjadi perhatian utama peasant adalah diri sendiri, keluarga, tetangga, dan komunitas
desanya.
Di dalam ruang keluarga maupun ruang masyarakat, peasant memberi dukungan
dengan produksi usahatani. Dukungan peasant dengan usahataninya tersebut cenderung
dilakukan dalam kondisi kesederhanaannya sebagai produsen pertanian berskala kecil
yang menerapkan teknologi non industri dan bertumpu pada rumahtangga (household
based), serta produksi pertanian berorientasi subsistensi (Elson, 1997:xix). Menurut Scott
(1981:7), usaha subsistensi adalah usahatani yang mengutamakan keamanan (safety first).
Dalam kehidupan tertib sosial masyarakat, peasant perlu selalu menjaga relasi
antar rumahtangga. Selain itu juga harus senantiasa memelihara keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan keluarga dan masyarakat yang dapat mengikat peasant dengan
masyarakat yang lebih luas. Menurut Wolf (1983:170), dalam kerangka ini upacara atau
ritual memiliki suatu fungsi melegetimasi unit-unit sosial dan relasi di antara sesama
51
warga desa. Selain itu dari sudut komunikasi sosial, hal ini dapat mengukuhkan eksistensi
peasant dalam komunitasnya.
Sebagai produsen pertanian berskala kecil, tindakan-tindakan dan pilihan-pilihan
petani selalu dikaitkan dengan sumberdaya alam, seperti tanah, air, iklim, dan matahari.
Hal ini seperti dikemukakan oleh Weizt (1971:19), yaitu bahwa kehidupan peasant erat
berdekatan dengan tanah. Dengan demikian peasant memiliki hubungan yang kuat
dengan sistem ekologis. Dongeng, kebiasaan kalender, tanda-tanda iklim, peribahasa, dan
ritual-ritual yang terdapat di dalam masyarakat ini menunjukkan kesadarannya atas
sebuah ekologi yang bertalian dengannya.
Sesuai dengan kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis, Wolf (1983:32)
mengemukakan beberapa ekotipe petani yang berkaitan dengan cara-cara petani
memperoleh makanan dan surplus-surplus dari tanah. Ada dua ekotipe petani, yaitu tipe
paleoteknik yang mengandalkan organisme-organisme manusia dan hewan serta tipe
neoteknik yang bergantung pada energi yang berasal dari bahan bakar dan ketrampilan-
ketrampilan yang berasal dari pengetahuan. Tipe paleoteknik terdiri dari (1) sistem yang
memperlakukan tanah yang sudah tandus dibiarkan untuk tidak ditanami dalam jangka
waktu lama, (2) sistem tanam sebagian, (3) sistem tanam bergilir dengan siklus singkat,
(4) sistem tanam permanen, dan (5) penanaman permanen lahan-lahan pilihan. Sementara
tipe neoteknik terdiri dari (1) penanaman hortikultura yang dispesialisasikan, dengan ciri
produksi hasil kebun yang dipelihara secara permanen, (2) perusahaan susu yang
merupakan cabang sistem pertanian dengan bajak dan siklus rotasi lahan yang tergolong
pendek, (3) pertanian campuran yang dilakukan petani dengan memelihara ternak dan
52
bercocoktanam, dan (4) perkebunan yang menghasilkan sebagian hasil kebun daerah
tropis, seperti kopi, tebu, atau coklat.
Kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis menciptakan pula posedur
dalam melakukan usahatani. Keadaan ini menyebabkan petani akan sangat berhati-hati
dalam menerima introduksi teknologi baru. Sulitnya menembus pertahanan peasant
ketika mengintroduksi teknologi baru menunjukkan ketakutan peasant atas perubahan
prosedur yang dapat meningkatkan risiko berusahatani. Hal ini seperti dikemukakan oleh
Scott (1981:4), yaitu bahwa nilai-nilai dalam praktek pertanian yang sudah teruji telah
membuat para petani itu bersikap keras terhadap para ahli agronomi dan pekerja sosial
yang hendak mengadakan perbaikan-perbaikan. Dalam pandangan peasant, perubahan-
perubahan teknologis sekecil apapun akan membawa pada konsekuensi-konsekuensi
yang tidak terantisipasi yang dapat mengancam sistem produksi pertanian. Oleh karena
itu dapat dikemukakan bahwa introduksi teknologi baru tidak hanya akan diadaptasi
secara ekologis, tetapi juga akan diadaptasi dalam nilai-nilai, sikap, dan kemampuan
petani (Weitz, 1971:9).
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendahuluan, bahwa ada perbedaan
antara budaya perkebunan dataran rendah (lowland plantation) dan budaya perkebunan
dataran tinggi (upland plantation). Perkebunan dataran rendah mengusahakan tanaman
semusim, seperti tembakau dan tebu, sementara perkebunan dataran tinggi mengusahakan
tanaman tahunan, seperti teh dan kopi. Penelitian ini dilakukan di kawasan perkebunan
teh yang memiliki budaya upland.
53
Menurut de los Angeles (1986:170), petani upland pada umumnya dihadapkan
pada masalah kekurangan waktu untuk produksi pertanian. Petani mengandalkan tenaga
kerja keluarga dengan kendala musim, modal yang terbatas, dan uang tunai. Sementara
itu dengan teknologi pertanian yang terbatas, petani mengalami masalah menurunnya
produktivitas lahan yang tidak bisa dipecahkan dengan keterbatasan tenaga kerja. Untuk
mengatasi permasalahannya, ada beberapa kombinasi upaya petani upland, yaitu (1)
mengembangkan teknologi pertanian untuk pengamanan lahan, (2) melakukan
diversifikasi sumber-sumber pendapatan, (3) menggeser harapan yang hanya bertumpu
pada produksi upland, dan (4) memantapkan sistem atas hak-hak atas tanah untuk
menjaga harmonisasi hubungan di antara para petani.
Dalam menerima teknologi baru yang berimplikasi adanya prosedur yang berbeda
dengan kebiasaan bertani, petani menggunakan pola pikir safety first demi keamanan
subsistensinya. Analisis Scott (1981:3) dalam studi tentang pergolakan dan subsistensi di
Asia Tenggara menemukan bahwa etika subsistensi di kalangan petani Asia Tenggara,
Perancis, Rusia, dan Italia merupakan akibat dari kehidupan petani yang dekat dengan
garis batas. Garis batas itu merupakan garis antara keamanan dan risiko yang ditanggung
oleh petani beserta keluarganya. Faktor-faktor pembentuknya adalah sangat kecilnya
pemilikan lahan, cara-cara bertani tradisional, ketergantungan pada kondisi alam, dan
pajak yang berupa uang tunai serta hasil tanaman yang dipungut oleh negara. Adapun
risiko yang dimaksud adalah datangnya bencana kelaparan bagi peasant dan keluarganya.
Menurut Popkins (1979:28), moral ekonomi petani memiliki asumsi bahwa hanya
petani kaya yang mampu untuk mengikuti perkembangan inovasi dan keuntungan yang
54
akan diperoleh dengan mengadopsi inovasi itu. Dalam pandangan peasant, inovasi atau
teknologi baru tidak akan menguntungkan bagi petani pemilik lahan sempit atau petani
penyewa. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif moral ekonomi
petani peasant merupakan golongan petani yang selalu menentang risiko.
Dalam pada itu, Soekartawi (2003:173) dikemukakan bahwa agribisnis akan terdiri
dari petani yang selalu melakukan upaya memaksimalkan pendapatan dengan penguasaan
sumberdaya yang terbatas. Petani demikian akan selalu memaksimalkan keuntungan pada
setiap usahataninya. Adapun ciri-cirinya, pertama, cepat mengadopsi inovasi sehingga
digolongkan sebagai pengadopsi awal (early adopters). Kedua, memiliki derajat
kosmolitan yang tinggi. Ketiga, memiliki keberanian menanggung risiko dalam
berusahatani. Keempat, memiliki sikap mau dan kemampuan mencoba teknologi baru
yang ditunjang oleh sumberdaya yang memadai untuk melakukan percobaan tersebut.
Slamet (2003:16) mengemukakan bahwa untuk peningkatan produksi dalam
pembangunan pertanian diperlukan teknologi maju. Oleh karena itu petani sebagai pelaku
pembangunan pertanian perlu mengadopsi teknologi maju. Dalam perspektif penyuluhan
pembangunan, petani maju adalah petani yang memiliki kemampuan untuk memerankan
diri sebagai warga negara yang baik sesuai dengan profesinya, dan sanggup berswadaya
untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya (Slamet, 2003:18).
Dengan mengambil dari indikator perubahan perilaku dalam memajukan petani,
maka petani maju memiliki ciri-ciri sebagai berikut, pertama, memiliki perbendaharaan
yang tinggi tentang informasi pertanian, kedua, memiliki keterampilan, kemampuan, dan
kebiasaan baru yang sesuai dengan bidang yang digelutinya, serta ketiga, memiliki sikap
55
mental dan motivasi yang kuat dalam memajukan usahataninya. Adapun sumber motivasi
itu adalah terpenuhinya kebutuhan akan (1) kepastian atau keamanan (security) dalam
bidang ekonomi, sosial, psikologi, dan spiritual, (2) pengalaman, minat, gagasan, dan
cara-cara baru berusahatani, (3) keakraban, yang terdiri dari persahabatan, kebersamaan,
keramahtamahan, dan perasaan ikut memiliki, serta (4) pengakuan, yang meliputi status,
gengsi, prestasi, dan penghargaan (Slamet, 2003:21).
Pambudy (2003:235) mengemukakan bahwa modal manusia yang diperlukan
dalam membangun agribisnis adalah wirausahawan. Wirausahawan agribisnis merupakan
orang yang pertama, menjadi pusat pertumbuhan pekerjaan dan ekonomi dan kedua,
memberikan mekanisme pembagian yang bergantung pada inovasi, kerja keras, dan
pengambilan risiko. Konkritnya adalah bahwa seorang usahawan agribisnis merupakan
orang yang mampu untuk menyelesaikan proses dari menghasilkan ide-ide kreatif,
inovasi, hingga menghasilkan produk barang atau jasa untuk dapat dipasarkan dengan
keuntungan yang memadai.
Dalam pada itu menurut Soetrisno (1995:160), sebagai petani komersial yang
berbudaya industri, memiliki ciri-ciri pertama, rasional dan kreatif dalam memandang
berbagai fenomena yang ada di alam sekitarnya. Kedua, memiliki komitmen yang tinggi
dalam menyelesaikan masalah dengan tuntas, dan ketiga, memiliki ketaatan yang tinggi
pada hukum (Soetrisno, 1995:160).
Selain sebagai petani komersial berbudaya industri, farmer juga dapat digolongkan
sebagai petani modern. Menurut Suriasumantri (2000:384), masyarakat modern yang
urban memiliki indikator-indikator sebagai berikut, pertama, bersifat analitik. Di samping
56
itu, sebagian besar aspek kehidupannya dilandaskan pada asas efisiensi secara teknis
maupun ekonomis. Indikator ini menempatkan nilai teori dan nilai ekonomi pada posisi
penting. Nilai teori terkait dengan aspek penalaran, ilmu, dan teknologi, sedangkan nilai
ekonomi berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara efektif dan efisien
berlandaskan perhitungan yang bertanggungjawab. Sementara itu pengambilan keputusan
berlandas pada argumentasi kuat. Kekuatan berpikir bersifat dominan yang mengabaikan
penarikan kesimpulan dari intuisi, perasaan, dan tradisi. Kedua, bersifat individual. Nilai
sosial dan kekuasaan dalam kerangka ini harus berorientasi pada kepercayaan diri sendiri
serta keberanian untuk mengambil keputusan sendiri. Hubungan antar manusia bersifat
individual, sementara untuk mempertahankan hidup seseorang harus mampu bersaing
secara produktif.
Petani farmer dapat disebut pula sebagai petani maju yang memiliki mentalitas
pembangunan. Menurut Koentjaraningrat (1985:73), mental pembangunan memiliki ciri
(1) orientasi ke masa depan, (2) sifat hemat, (3) keinginan untuk eksplorasi dan inovasi,
(4) nilai tinggi atas pencapaian atas karya, (5) kepercayaan pada kemampuan diri, (6)
disiplin, dan (7) rasa tanggungjawab. Uraian tersebut dirangkum dalam Tabel II.2.
57
Tabel II.2. Karakteristik Peasant-Farmer
Karakteristik Peasant Farmer
1.Orientasi Usahatani Memandang pentingnya
dukungan usahatani untuk
keluarga dan komunitasnya
dalam etika subsistensi
Memandang pentingnya
pemaksimalan keuntungan dari
bisnis usahatani yang ditunjang
oleh jiwa wiraswasta
2. Penggunaan
teknologi dalam
berusahatani
Menggunakan teknologi
sederhana dan nonindustri,
memiliki pertalian kuat
dengan kondisi ekologis
Menggunakan teknologi maju
untuk kepentingan industri,
kurang bergantung pada kondisi
ekologis
3. Perilaku
kosmopolitan
Berderajat rendah Berderajat tinggi
4. Sikap terhadap
inovasi dan
teknologi baru
pertanian
Kurang mau mencoba dan
menerima inovasi dan
teknologi baru karena
ketidakberanian dalam
menanggung risiko yang
mengancam subsistensinya
Mau dan berani mencoba inovasi
dan teknologi baru
5. Pandangan terhadap
pentingnya informasi
pertanian
Rendah Tinggi
6. Karakteristik
masyarakat secara
umum
Merupakan masyarakat
praindustri dan tradisional
- Merupakan masyarakat
industri yang (1) rasional
dan kreatif dalam
memandang berbagai
fenomena, (2) memiliki
komitmen yang tinggi
untuk memecahkan
masalah secara tuntas, (3)
memiliki ketaatan pada
hukum
- Merupakan masyarakat
modern yang
mengutamakan berpikir
secara analitik, efisien,
dan individual
Sumber: Foster (1967); Marzali (1998); Diaz (1967); Wolf (1983); Popkins (1979); Scott
(1981); Weizt (1971); de los Angeles (1986); Sukartawi (2003); Slamet (2003);
Pambudi (2003), Soetrisno (1995); Suriasumantri (2000); Koentjaraningrat
(1985).
58
Perbedaan budaya lainnya dari peasant dan farmer lainnya dapat dikaitkan dengan
dikotomi budaya yang dapat dijelaskan dengan konsep orientasi nilai dari Kluckhohn dan
Strodtbeck, individualisme-kolektisme, variabilitas budaya Hofstede, Pola-pola Parsons,
dan keketatan Struktral.
II.5.2. Orientasi Nilai dari Kluckhohn-Strodtbeck
Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan dimensi orientasi nilai. Dimensi ini terdiri
dari orientasi sifat manusia, orientasi sifat orang, oientasi waktu, aktivitas, dan orientasi
relasional (Gudykunst dan Kim, 1997:78).
Dimensi pertama adalah orientasi sifat manusia. Orientasi ini terkait dengan sifat
bawaan manusia. Dalam dimensi ini, manusia dipandang baik atau jahat atau campuran
antara baik dan jahat yang merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam kerangka ini
kemudian dimunculkan enam penilaian atas sifat manusia, yaitu (1) manusia jahat namun
tidak selamanya jahat, (2) manusia adalah jahat dan selamanya jahat, (3) manusia netral
namun tetap terkait dengan kebaikan dan kejahatan, (4) manusia merupakan campuran
antara unsur kebaikan dan kejahatan, (5) manusia adalah insan baik, namun tak
selamanya demikian, (6) manusia adalah insan yang baik dan selamanya akan demikian.
Dimensi kedua, orientasi relasi manusia dan alam. Ada tiga jenis relasi, yaitu
takluk, menyelaraskan, dan mengendalikan. Gudykunst dan Kim (1997:76) memberi
contoh bahwa masyarakat industrialis seperti Amerika Serikat memiliki kecenderungan
sifat menguasai, termasuk penguasaan atas sumberdaya alam. Selain kecenderungan sifat
penguasaan, terdapat pula kecenderungan untuk mengendalikan.
59
Dimensi ketiga, orientasi waktu. Dalam dimensi ini, kehidupan manusia dapat
berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa depan. Orientasi yang kuat terhadap masa
lalu cenderung menonjol pada kelompok budaya yang menempatkan tradisi dalam posisi
yang utama, seperti pemujaan pada leluhur atau yang memberi tekanan lebih pada
kohesivitas keluarga. Selain itu orientasi masa lalu menonjol pada budaya aristokrasi.
Dalam pada itu orientasi pada masa kini menonjolkan perhatian keadaan kekinian dan
meminggirkan peristiwa-peristiwa yang telah berlalu, serta sesuatu yang bisa terjadi di
masa depan, sementara orang-orang yang berorientasi pada masa depan akan memandang
masa lalu tidak penting, masa kini dipandang sudah tampak jelas, sedangkan masa depan
dapat terprediksi.
Dimensi keempat, orientasi aktivitas. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi
aktivitas dapat dipandang sebagai doing, being, dan being-in-becoming. Orientasi doing
berfokus pada jenis-jenis aktivitas yang memiliki keluaran eksternal yang dapat diukur.
Oleh karena itu aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini terdapat pula orientasi pada
capaian hasil. Orientasi being merupakan ungkapan tentang sesuatu yang ada di dalam
kepribadian manusia, sedangkan orientasi being-in-becoming menyatakan bahwa fokus
aktivitas manusia adalah pada pencapaian yang terintegrasi dalam pengembangan diri.
Gudykunst dan Kim memberi contoh untuk orientasi ini adalah aktivitas yang dilakukan
oleh kaum biarawan Zen Buddis. Mereka menghabiskan hidupnya untuk kontemplasi dan
meditasi guna pengembangan diri secara penuh (Gudykunts dan Kim, 1997:75-77).
Dimensi kelima, orientasi relasional. Orientasi relasional terkait dengan dimensi
individualisme-kolektivisme. Keterkaitan itu adalah karena cara-cara orang berinteraksi
60
memiliki fokus yang berbeda, yaitu ke arah individualisme atau kolektivisme. Cara-cara
itu adalah individualisme, linealitas, dan kolateralitas. Cara individualisme berciri adanya
otonomi individu. Dalam orientasi ini tujuan dan sasaran individu menjadi prioritas
utama di atas tujuan dan sasaran kelompok. Berbeda dengan cara yang memiliki orientasi
individualisme, linealitas berfokus pada kelompok. Dalam konteks ini, tujuan dan sasaran
kelompok memiliki tempat yang lebih utama daripada tujuan dan sasaran individu.
Menurut Kluckhohn-Strodtbeck, orientasi linealitas berupa kontinuitas kelompok
melalui waktu. Individu-individu adalah penting ketika terkait dalam keanggotaannya
pada suatu kelompok. Orientasi kolateral berfokus pula pada kelompok, perbedaannya
dengan linealitas adalah bahwa individu-individu akan diperhatikan ketika mereka berada
dalam kelompok secara vis-a-vis (Gudykunst dan Kim, 1997:77).
Dengan mengacu pada paparan tersebut, orientasi nilai Kluckhohn-Strodtbeck
dapat dikemukakan dalam Tabel II.3.
Tabel II.3. Orientasi Nilai Kluckhohn-Strodtbeck
Dimensi Orientasi Nilai
Sifat Manusia Jahat Campuran jahat-
baik
Baik
Sifat Orang Menguasai Menyelaraskan Mengendalikan
Waktu Masa lalu Masa kini Masa depan
Aktivitas Doing Being being-in-becoming
Relasional individualisme Linealitas Kolateralitas
Sumber: Gudykunst dan Kim (1997).
61
II.5.3. Individualisme-Kolektivisme
Dalam Gudykunst dan Kim (1997:56) dikemukakan, dimensi utama variabilitas
budaya adalah individualisme-kolektivisme. Dimensi ini digunakan untuk menjelaskan
persamaan dan perbedaan budaya.
Menurut Hui dan Triandis (Triandis, 1995:31), dalam budaya kolektivistik, para
anggota kelompok budaya sangat rentan terhadap pengaruh sosial karena adanya gagasan
interdependensi, memberi perhatian pada penyelamatan muka dan integritas keluarga,
serta menggunakan bersama hasil-hasil yang mereka raih di dalam kelompoknya. Selain
itu juga menekankan ide pentingnya pengembangan kemampuan berhubungan sosial.
Gudykunst dan Lee (2002:27) mengemukakan bahwa di dalam individualisme
terdapat kecenderungan-kecenderungan untuk menempatkan identitas individu di atas
identitas kelompok. Dalam kerangka ini, tujuan-tujuan dan hak-hak individu memiliki
tempat di atas tujuan-tujuan dan hak-hak kelompok. Demikian pula dengan kebutuhan-
kebutuhan individu yang menempati posisi diatas kebutuhan-kebutuhan kelompok.
Hofstede (1994:50) berpendapat bahwa dalam masyarakat kolektivis, kepentingan
kelompok berlaku di atas kepentingan individu. Kelompok (in-group) merupakan sumber
identitas seseorang dan para anggota kelompok akan memandang diri sebagai ‘kami’.
Kelompok menjadi tempat berlindung bagi anggota pada saat menghadapi kesulitan
hidup. Oleh karena itu para anggota akan senantiasa setia pada kelompok. Ketidaksetiaan
dengan demikian adalah suatu perilaku yang dipandang buruk. Di sisi lain, masyarakat
individualis akan menempatkan kepentingan individu di atas kepentingan kelompok.
Anggota kelompok memandang diri sebagai “aku”.
62
Karakteristik lain dari individualisme adalah adanya efisiensi diri, tanggungjawab
individu, dan otonomi personal. Masyarakat individualistik memiliki tekanan pula pada
inisiatif dan capaian prestasi yang muaranya adalah pada realisasi individu. Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh para filsuf individualis, yaitu bahwa yang utama dalam
individualisme adalah realisasi diri, karena setiap orang dipandang memiliki seperangkat
talenta dan potensi diri yang berbeda satu sama lain. Sebaliknya, kolektivisme mengacu
pada kecenderungan-kecenderungan budaya yang memiliki tekanan pada pentingnya
identitas kelompok di atas identitas individu. Oleh karena itu hak-hak kelompok berada
di atas hak-hak individu, sedangkan kebutuhan-kebutuhan in-group akan mendahului
kemauan dan keinginan individu. Sementara hal-hal lain dari kolektivisme adalah
interdependensi relasional, keselarasan in-group, dan semangat kolaboratif in-group.
Pada masyarakat kolektivistik, individu-individu dilahirkan dalam integrasinya
dengan in-group, disertai dengan kohesi sosial yang kuat, antara lain ditunjukkan dengan
adanya saling perlindungan di antara anggota in-group, serta adanya pertukaran kesetiaan
yang bersifat taken for granted. Berbeda dengan individualisme yang memandang bahwa
keunikan masing-masing individu menempati posisi utama, maka dalam kolektivisme,
keunikan tersebut sifatnya sekunder (Gudykunst dan Kim, 1997:56).
Dalam masyarakat kolektivistik, aktivitas-aktivitas kolektif menjadi sesuatu yang
dominan, sedangkan tanggungjawab atas aktivitas-aktivitas tersebut dimiliki dan menjadi
tanggungjawab bersama. Tekanannya adalah kolektivitas, keselarasan, dan kerjasama.
Pentingnya in-group dalam budaya individualistik dan kolektivistik dikemukakan
oleh Triandis. Menurut Triandis, ada perbedaan dalam memandang pentingnya in-group
63
dalam budaya individualistik dan kolektivistik. Ruang pengaruh in-group dalam budaya
individualistik sangat spesifik, sedangkan ruang pengaruh in-group dalam budaya
kolektivistik bersifat umum. Oleh karena itu para anggota budaya individualistik
cenderung untuk bersikap universalistik dan cenderung menggunakan standar nilai yang
sama bagi setiap orang. Sebaliknya, para anggota budaya kolektivistik cenderung untuk
partikularistik serta menggunakan standar nilai yang berbeda untuk para anggota in-
group dan out-group (Gudykunst dan Lee, 2002:27).
Menurut Triandis, terdapat perbedaan antara budaya individualistik dan budaya
kolektivistik. Pada masyarakat individualistik, secara horisontal, individu diharapkan
berperilaku sebagai individu. Selain itu kesetaraan dan kebebasan memiliki nilai yang
tinggi. Sementara secara vertikal, individu diharapkan untuk bertindak sebagai individu
dan mencoba untuk berbeda dengan individu lainnya (Gudykunts dan Lee, 2002:29).
Adapun perbedaan itu dapat dicermati di Tabel II.4.
64
Tabel II.4. Budaya Individualistik dan Budaya Kolektivistik
Budaya Individualistik Budaya Kolektivistik
1. Penekanan identitas “I”
2. Penekanan tujuan-tujuan individu
3. Penekanan diri
4. Hubungan timbal balik yang
bersifat sukarela
5. Manajemen individu:
pengembangan/peningkatan diri,
kepercayaan diri, pembedaan diri
sesuai dengan keunikan masing-
masing individu, otonomi personal,
kompetisi, kompetensi, kesetaraan,
keterbukaan,
kemandirian/independensi, efisiensi
diri, tanggungjawab individu
6. Kepemilikan secara individual
7. Rasionalitas atau kesadaran
individu
8. Kebebasan pribadi
9. Realisasi individu: inisiatif dan
capaian prestasi dengan
mengembangkan seperangkat
talenta dan potensi yang berbeda
antar individu
10. Menggunakan standar nilai yang
sama untuk in-group dan out-group
1. Penekanan identitas “We”
2. Penekanan tujuan-tujuan kelompok
3. Penekanan in-group dan kehidupan
kolektif sebagai unit untuk
mempertahankan hidup
4. Hubungan timbal balik yang
bersifat wajib
5. Manajemen kelompok: bergantung
pada orang lain di dalam
kelompoknya, interdependensi
relasional, mementingkan identitas
kelompok, keselarasan in-group,
semangat kolaboratif in-group,
semangat kerjasama yang kuat
6. Penekanan yang tinggi pada nilai
tanah dengan kegiatan pertanian
7. Penghormatan kepada leluhur
8. Rentan terhadap pengaruh sosial
9. Penekanan pada penyelamatan
muka dan intergritas keluarga
10. Kohesi sosial yang kuat
11. Menggunakan standar nilai yang
berbeda untuk in-group dan out-
group
Sumber: Gudykunst dan Kim (1997); Ting-Toomey (1999); Triandis (1995); Gudykunst
dan Lee (2002); Hofstede (1994).
II.5.4. Variabilitas Budaya Hofstede
Dimensi variabilitas kultural yang lainnya adalah yang dikemukakan oleh Hofstede
(1994). Ada empat dimensi, yaitu (1) individualisme, (2) penghindaran ketidakpastian,
(3) jarak kekuasaan, dan (4) maskulinitas-femininitas.
Dalam studinya, dimensi individualisme dipisahkan Hofstede, yakni diintegrasikan
dengan individualisme-kolektivisme. Dimensi ini menjelaskan hubungan antara individu
65
dan kolektivitas yang ada dalam suatu masyarakat. Hubungan tersebut tidak terbatas pada
persoalan cara hidup bersama, namun terkait juga dengan norma-norma kemasyarakatan.
Oleh karena dalam suatu masyarakat dan masyarakat lainnya terdapat variasi hubungan
individu dengan kolektivitas, maka dimensi ini dapat digunakan untuk melihat perbedaan
antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya.
Penghindaran ketidakpastian adalah dimensi yang memaparkan derajat upaya
anggota kelompok dalam menghindari ketidakpastian. Menurut Hofstede (1994:109),
ketidakpastian dirasakan dan dipelajari oleh seorang anggota budaya dari warisan budaya
yang dipindahkan serta digerakkan melalui institusi dasar, seperti keluarga dan sekolah.
Perasaan itu direfleksikan ke dalam nilai-nilai yang dipegang secara kolektif oleh anggota
masyarakat, serta kemudian menuntun pola-pola perilaku kolektif suatu masyarakat yang
tidak mudah dipahami oleh masyarakat lainnya.
Para anggota budaya yang berderajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian
memiliki toleransi yang rendah pada ketidakpastian dan sesuatu yang sifatnya ambigu.
Para anggota dari kelompok budaya ini juga memiliki kebutuhan yang besar akan adanya
peraturan formal dan kebenaran mutlak. Selain itu juga kurang memberi toleransi pada
ide-ide atau perilaku-perilaku yang menyimpang dari peraturan formal. Sementara itu,
orang-orang dari kelompok budaya yang memiliki derajat rendah dalam menghindari
ketidakpastian akan memiliki karakteristik yang berlawanan dengan orang-orang yang
memiliki derajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian.
Hofstede (1994:27) menjelaskan jarak kekuasaan dengan mengambil dari paparan
yang berasal dari skor power distance index. Dalam paparan itu dikemukakan bahwa
66
negara-negara dengan jarak kekuasaan kecil terdapat sedikit ketergantungan dalam relasi
atasan dan bawahan. Jarak emosional di antara merekapun tergolong kecil. Sementara di
negara-negara dengan jarak kekuasaan besar terdapat ketergantungan yang besar dalam
relasi antara atasan dan bawahan, disertai jarak emosional yang besar pula.
Para anggota budaya dengan jarak kekuasaan yang tinggi menerima kekuasaan
sebagai bagian dari masyarakat. Para anggota kelompok budaya ini akan memandang
kekuasaan sebagai suatu fakta dasar dalam masyarakat. Dalam kerangka ini mereka
cenderung menekankan kekuasaan koersif atau referen. Sementara itu, para anggota
budaya berjarak kekuasaan rendah meyakini bahwa kekuasaan tidak harus digunakan.
Dimensi maskulinitas-feminitas (Hofstede dalam Ting-Toomey, 1999:72) terkait
dengan masyarakat yang dengan jelas membedakan karakteristik peran-peran jender.
Karakteristik seperti laki-laki lebih asertif, keras, dan memiliki fokus pada keberhasilan
material, sementara perempuan yang cenderung rendah hati, lembut, dan berfokus pada
kualitas hidup.
Hofstede (1994:81) dalam konteks organisasi mengemukakan bahwa pada kutub
maskulin, terdapat kesempatan untuk meraih pendapatan yang tinggi, pengakuan layak
yang berkaitan dengan prestasi, kemajuan menuju tataran pekerjaan yang lebih tinggi,
serta memiliki tantangan dalam pekerjaan. Sementara itu pada kutub feminin terdapat
relasi kerja yang baik, kerjasama yang baik, dan keamanan dalam melakukan pekerjaan.
Suatu hal lagi yang menjadi pembeda antara budaya maskulin dan feminin adalah
pada cara-cara atau proses peranan jender didistribusikan dalam suatu kelompok budaya.
Para anggota budaya maskulin akan berorientasi pada ambisi, benda-benda atau materi,
67
kekuasaan, dan ketegasan, sementara para anggota budaya feminin akan memberi nilai
yang tinggi pada kualitas hidup, pelayanan, perhatian pada orang lain di dalam kelompok,
dan pemeliharaan hubungan. Adapun tiga dimensi variabilitas budaya Hofstede tersebut
seperti pada Tabel II.5.
Tabel II.5. Tiga Dimensi Variabilitas Budaya Hofstede
Dimensi Tinggi Rendah
1. Penghindaran ketidak-
pastian
1. memiliki toleransi rendah
terhadap ketidakpastian
dan sesuatu yang ambigu
2. memerlukan peraturan
formal dan kebenaran
mutlak
3. kurang memiliki toleransi
terhadap ide-ide atau
perilaku yang
menyimpang dari
peraturan formal
1. memberi toleransi pada
ketidakpastian dan
sesuatu yang ambigu
2. tidak memandang
pentingnya peraturan
formal dan kebenaran
mutlak
3. memberi toleransi pada
ide-ide dan perilaku yang
menyimpang dari
peraturan formal
2. Jarak kekuasaan 1. menerima kekuasaan
sebagai bagian dari
masyarakat
2. memandang kekuasaan
sebagai fakta dasar
dalam masyarakat
Memandang bahwa
kekuasaan hanya digunakan
ketika kekuasaan itu
legitimate
3. Maskulinitas-femininitas Berorientasi pada ambisi,
materi, kekuasaan, dan
ketegasan
Berorientasi pada kualitas
hidup, pelayanan, perhatian,
dan pemeliharaan hubungan
Sumber: Hofstede (1994).
II.5.5. Pola-pola Parsons
Dimensi pola-pola Parsons berbentuk dikotomi situasi. Satu sisi dapat dipilih oleh
seorang pelaku komunikasi dengan mempertimbangkan konteks situasinya. Pola-pola ini
terdiri dari afektivitas-netralitas afektif, universalisme-partikularisme, ketersebaran-
68
keterkhususan, askripsi-prestasi, orientasi instrumental-ekspresif (Gudykunst dan Kim,
1997:78).
Pertama, afektivitas-netralitas afektif. Orentasi pola ini berkenaan dengan sifat
kepuasan yang dicari oleh manusia. Sisi afektivitas menjadi posisi dari orang-orang yang
mencari kepuasan segera dari situasi yang ada. Afektivitas terkait dengan respon-respon
emosional. Sementara itu, netralitas afektif mengacu pada orang-orang yang memilih
menunda kepuasan dengan mengendalikan diri (netralitas afektif). Sisi ini mencakup
orang-orang yang memberikan respon-respon non-emosional yang berlandas pada
informasi kognitif.
Kedua, universalisme-partikularisme. Orientasi universalistik berfokus pada
ketegorisasi orang-orang atau obyek-obyek dalam konteks referensi universal, sedangkan
orientasi partikularistik berfokus pada kategorisasi orang-orang atau obyek-obyek secara
spesifik. Interaksi universalistik sesuai dengan pola standar universal, sementara interaksi
partikularistik berupa suatu pola yang khas bagi situasi tertentu. Budaya individualistik
berciri orientasi universalistik, sementara budaya kolektivistik berorientasi partikularistik.
Ketiga, ketersebaran-keterkhususan. Orientasi ini berfokus pada cara-cara orang
memberi respon pada orang lain. Dengan orientasi ketersebaran, respon holistik akan
diberikan seseorang kepada orang lain, sedangkan orientasi keterkhususan ditampakkan
seseorang dengan memberi respon terhadap orang lain dalam cara yang khusus. Orientasi
ketersebaran menonjol di dalam budaya kolektivistik, sementara orientasi keterkhususan
menonjol dalam budaya individualistik.
69
Keempat, askripsi-prestasi. Orientasi askripsi dari seseorang akan tampak ketika
orang tersebut memandang orang lain. Dengan orientasi askriptif, pandangan seseorang
akan bertolak pada prediksi sosiokultural, yakni dalam kerangka keanggotaan orang lain
di dalam kelompoknya, seperti jender, umur, ras, etnik, kasta, dan sebagainya. Sementara
orang dengan orientasi prestasi akan mendasarkan prediksi dalam kerangka prestasi yang
dapat diraih orang lain.
Kelima, orientasi instrumental-ekspresif. Orientasi instrumental akan ditampakkan
oleh orang dalam interaksinya dengan orang lain jika interaksi itu merupakan sarana
untuk mencapai tujuan lainnya, sedangkan orientasi ekspresif akan tampak pada orang
yang interaksinya dengan orang lain merupakan tujuannya. Dalam orientasi ekspresif,
interaksi dipandang penting bukan karena interaksi merupakan sarana untuk mencapai
tujuan lain, tapi tujuan justru pada interaksi itu sendiri. Pola-pola Parsons tersebut akan
tampak seperti pada Tabel II.6.
70
Tabel II.6. Pola-pola Parsons
No. Pola-pola
1. Afektivitas
Memilih untuk mencari kepuasan
dengan segera (respons-respon yang
ada bersifat emosional)
Netralitas Afektif
Memilih untuk menunda kepuasan
(respon-respon yang ada bersifat non-
emosional)
2. Universalisme
Berfokus pada kategorisasi universal
Partikularisme
Berfokus pada kategorisasi spesifik
3. Ketersebaran
Memberi respon secara holistik
Keterkhususan
Memberi respon secara khusus
4. Askripsi
Memandang orang lain dengan
prediksi sosiokultural
Prestasi
Memandang orang lain dengan
bertolak dari prestasi yang dapat diraih
5. Orientasi Instrumental
Interaksi merupakan sarana mencapai
tujuan
Ekspresif
Interaksi merupakan tujuan itu sendiri
Sumber: Gudykunst dan Kim (1997).
II.5.6 Keketatan Struktural
Keketatan struktural berfokus pada norma-norma, aturan-aturan, dan batasan-
batasan yang berlaku pada anggota suatu komunitas. Budaya-budaya yang longgar hanya
menerapkan sedikit peraturan dan batasan atas perilaku. Di dalam budaya yang ketat akan
aturan dan batasan perilaku, norma-norma dan aturan-aturan budaya cenderung jelas dan
orang-orang diharapkan untuk mengikutinya. Jika anggota komunitas melanggar norma
71
dan aturan budaya, sanksi akan diberikan kepada yang bersangkutan. Sebaliknya dalam
komunitas budaya longgar, norma dan aturan tidaklah kaku seperti dalam budaya ketat.
Para anggota yang melanggarnya tidak akan dikenai sanksi sekeras yang terjadi pada
budaya ketat (Gudykunst dan Kim, 1997:81).
Dapat dikemukakan bahwa homogenitas budaya cenderung untuk membawa pada
keketatan struktural. Hal ini karena kesamaan di antara para anggota budaya cenderung
membawa pada kesepakatan tentang perilaku yang dianggap benar dalam situasi spesifik.
Sementara itu heterogenitas budaya cenderung mengarah pada kelonggaran budaya.
Kecenderungan ini disebabkan sulitnya membawa orang-orang yang berbeda pandangan
dalam sebuah kesepakatan atas nilai-nilai perilaku dalam suatu situ. Derajat keketatan
struktural juga dipengaruhi oleh derajat kebutuhan kordinasi atas perilaku. Semakin besar
kebutuhan akan perilaku yang terkordinasikan, semakin ketat budayanya. Dalam struktur
sosial yang ketat, perilaku para anggota budaya dapat lebih mudah diprediksi daripada
dalam struktur sosial yang longgar. Dalam bentuk tabel uraian tentang perbedaan budaya
ketat dan budaya longgar tersebut dapat dikemukakan seperti pada Tabel II.7.
Tabel II.7. Budaya Ketat dan Budaya Longgar
Budaya Ketat Budaya Longgar
1. Menerapkan banyak norma dan
aturan yang jelas
2. Menerapkan sanksi yang keras bagi
anggota budaya yang melanggar
norma-norma dan aturan-aturan
3. Memerlukan kordinasi atas perilaku
1. Menerapkan sedikit aturan dan
batasan atas perilaku
2. Tidak menerapkan sanksi bagi
anggota budaya yang melanggar
aturan
3. Tidak memerlukan kordinasi atas
perilaku
Sumber: Gudykunst dan Kim (1997).
72
Dikaitkan dengan beberapa dimensi tersebut, penelitian ini mengasumsikan
bahwa komunitas perusahaan inti memiliki karakteristik budaya farmer, individualistik,
memiliki orientasi menguasai, maskulin, dan berorientasi kepuasan. Sementara petani
plasma memiliki karakteristik kolektivistik, memelihara relasi, feminin, dan menunda
kepuasan. Karakteristik budaya tersebut kemudian tampak pada perilaku komunikasi,
karena komunikasi adalah fungsi dari budaya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Gudykunst dan Kim (1997) bahwa perbedaan budaya dapat menjelaskan komunikasi
silang budaya. Dengan kata lain budaya berimplikasi pada perilaku komunikasi.
Keterkaitan antara budaya dan perilaku komunikasi adalah seperti tampak pada Gambar
II.4.
Komunikasi terdiri dari elemen-elemen sumber, pesan, saluran. Dalam dimensi
sumber pesan, perusahaan inti yang diasumsikan berbudaya farmer, individualistik,
menguasai, maskulin, berorientasi kepuasan, dan ketat dalam struktur akan memiliki
orientasi universal, sehingga dalam melakukan relasi dengan orang lain tidak memandang
aspek sosiokulturalnya. Bertolak dari orientasinya tersebut, dapat dikemukakan bahwa
komunitas perusahaan inti akan menggunakan komunikator yang hanya memenuhi
kriteria organisasi, tanpa mempertimbangkan kedekatan komunikator dengan petaninya.
Sementara itu, petani yang diasumsikan berbudaya peasant, kolektivistik, memelihara
hubungan, feminin, menunda kepuasan, dan longgar dalam struktur akan berorientasi
partikularistik, sehingga cenderung terbuka dengan pesan komunikator yang memiliki
kesamaan dalam konteks sosiokulturalnya. Dengan kata lain adalah sumber yang
memenuhi kriteria setempat (lokal).
73
Dalam dimensi isi pesan, komunitas perusahaan inti diasumsikan menyampaikan
pesan yang orientasinya pada kepentingan organisasi. Sementara itu, petani plasma akan
menyampaikan pesan yang berorientasi pada kepentingan kelompok dan hubungan.
Dalam dimensi gaya, komunitas perusahaan inti menggunakan pesan low contex dan
memakai simbol verbal dan lebih menyukai komunikasi langsung. Sementara itu petani
plasma cenderung high contex, memakai simbol nonverbal, dan menggunakan cara
komunikasi tak langsung.
Menurut Gudykunst dan Kim (1997:65), komunikasi berkonteks tinggi memiliki
ciri sebagian besar informasi ada dalam konteks fisik atau terinternalisasi dalam diri
komunikator. Pesan yang dikodekan dan ditransmisikan secara eksplisit hanya sebagian
kecil. Sebaliknya, muatan informasi dalam komunikasi berkonteks rendah berada dalam
kode eksplisit atau pada pesan yang ditransmisikan.
Dalam pada itu, komunitas individualistik cenderung melakukan komunikasi
dalam konteks rendah dan cenderung berkomunikasi langsung, sedangkan komunitas
kolektivistik cenderung menggunakan komunikasi berkonteks tinggi dan berkomunikasi
secara tidak langsung. Komunikasi dengan konteks tinggi cenderung ambgiu dan tidak
langsung, sedangkan komunikasi dalam konteks rendah cenderung langsung dan tidak
ambigu.
Sebagai komunitas yang modern, perusahaan inti cenderung menggunakan media
formal, terorganisasi melalui komunikasi kelompok yang efisien dari sisi waktu, tenaga
dan biaya. Sementara petani cenderung berkomunikasi secara interpersonal, informal
yang berorientasi pada pengembangan hubungan.
74
Gambar II.4.
KERANGKA KONSEPTUAL
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
ORANG PERUSAHAAN DAN PETANI
BUDAYA
PERILAKU KOMUNIKASI
DUALISME EKONOMI
Kapitalisme Prakapitalisme
Boeke (1948)
Dimensi Komunitas
Perusahaan
Komunitas
Petani Plasma
Peasant-farmer Farmer Peasant
Individualisme-kolektivisme Individualistik Kolektivistik
Kluckhohn and Strodtberg Menguasai Memelihara hubungan
Hofstede Maskulin Feminin
Parsons Afektivitas Netralitas Afektif
Keketatan struktural Ketat Longgar
Elemen Komunitas
Perusahaan
Komunitas
Petani Plasma
Sumber Orientasi Organisasi Orientasi Lokal
Isi Orientasi Organisasi
Orientasi Hubungan-
Kelompok
Pesan
Gaya • Low context
• Verbal
• Langsung
• High context
• Non verbal
• Tidak langsung
Saluran • Formal/kelompok
Strategi
Adaptasi
Konvergensi vs
Divergensi
• Informal/interpersonal
75
Perbedaan budaya tersebut kemudian memunculkan strategi adaptasi yang berupa
strategi konvergensi atau divergensi. Menurut Abrams (Gudykunst dan Bella Mody,
2002: 229), ada beberapa tipe adaptasi dan akomodasi yang paling fundamental, yaitu
konvergen dan divergen. Konvergensi adalah strategi manakala individu mengadaptasi
perilaku komunikasi agar menyerupai perilaku komunikasi pihak lain. Sementara itu,
divergensi mengacu pada perilaku komunikasi yang berbeda dengan orang lain.
Kebutuhan akan adaptasi pada hakekatnya diawali dengan adanya persepsi yang
berbeda atas sebuah realitas yang dihadapi oleh mereka yang terlibat dalam komunikasi.
Perbedaan tersebut pada gilirannya dapat memunculkan perilaku komunikasi yang
berbeda. Dengan kata lain, dapat menimbulkan perilaku yang tidak sesuai dengan
maksud masing-masing pihak yang berkomunikasi.
Perbedaan itu akan semakin tajam manakala pihak-pihak yang berkomunikasi
memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Hal ini karena persepsi terikat oleh
budaya. Ini berarti bahwa persepsi bergantung pada sistem nilai yang dikembangkan oleh
sebuah komunitas budaya. Oleh karena itu, para partisipan komunikasi yang berbeda
budaya perlu mengembangkan kompetensi komunikasi antar budaya yang
memungkinkan komunikasi dapat mencapai tujuannya.
Persepsi merupakan proses internal yang memungkinkan seseorang memilih,
mengorganisasikan, dan menafsirkan stimulus dari lingkungan yang pada gilirannya
dapat memengaruhi perilaku komunikasi. Oleh karena itu pada dasarnya persepsi
merupakan inti dari komunikasi (Mulyana, 2005:196).