mawardi fuh

95
KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Oleh: Mawardi NIM: 1030333127753 44 4 Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010

Upload: ega-fajar-permana

Post on 24-Nov-2015

45 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)

    Oleh:

    Mawardi

    NIM: 1030333127753

    44

    4

    Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA 2010

  • PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi yang berjudul KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS ini telah diujikan dalam sidang munaqasah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis tanggal 16 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata

    Satu (S1) pada Jurusan Aqidah Filsafat Faktultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Jakarta, 16 September 2010

    Sidang Munaqasah

    Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

    Drs. Agus Darmaji, M. Fils Dra. Tien Rohmatin, MA. NIP. 19610827 199303 1 002 NIP. 19680803 199403 2 002

    Penguji I Penguji II

    Drs. Agus Darmaji, M. Fils Dr. Sri Mulyati, MA NIP. 19610827 199303 1 002 NIP.19560417 198603 2 001

    Pembimbing

    Drs. Fakhruddin, MA.

    NIP. 19580714 198703 1 002

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

    persyaratan gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

    dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarihi Hiadayatullah Jakarta

    3. Jika di Kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

    yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Depok, 25 Agustus, 2010

    Mawardi

  • KATA PENGANTAR

    Dalam segala keterbatasan dan ke-dhaif-an penulis, tuntasnya skripsi ini

    merupakan nikmat dan karunia terbesar dari Allah subhanahu wa taala. Tanpa

    kasih dan sayang, dan tanpa inayah dari-Nya, mustahil penulis mampu menulis,

    berpikir, dan menyelesaikan skripsi ini di titik nadir masa studi. Maka, sudah

    seharusnya pertama-tama penulis ucapkan rasa puji dan syukur kehadirat Allah

    subhanahu wa taala beserta Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam.

    Kemudian, tuntasnya skripsi pun merupakan totalitas harmoni kehidupan

    sosial. Tanpa bantuan, dorongan, dan motivasi dari orang-orang di sekitar

    penulis, mustahil skripsi ini dapat eksis dan tuntas. Kekuatan dan semangat untuk

    dapat menuntaskan tugas akhir ini digerakkan oleh berbagai elemen dari hidup

    penulis. Utamanya kedua orang tua, keluarga, teman, para dosen dan civitas

    akademika fakultas dan UIN , sahabat, dan lain-lain. Maka sebagai rasa hormat

    dari lubuk hati terdalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Bapak Drs. Fakruddin, MA., selaku pembimbing skripsi, yang telah

    berkenan dan sabar membimbing, menasehati, dan mengarahkan penulis.

    Dan juga terima kasih setinggi-tingginya atas kesediaannya menjadi

    pembimbing penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini.

    2. Bapak Dr. Zainun Kamal, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

    Filsafat, Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan, dan

    Ibu Dra. Tien Rahmatin, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat.

  • Beserta seluruh staf pengajar di Jurusan Aqidah Filsafat, Fak. Ushuluddin

    dan Filsafat UIN Syarih Hidayatullah Jakarta.

    3. Kepada Bapak Penguji, Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils., dan Ibu Dr.

    Sri Mulyati, yang telah berkenan dan bersedia untuk meluangkan

    waktunya menghadiri sidang ujian skripsi penulis. Utamanya, kepada Ibu

    Sri Mulyati ditengah kondisi suaminya yang kurang sehat bersedia untuk

    menjadi penguji. Dan juga penulis haturkan terima kasih setinggi-

    tingginya atas keikhlasan bapak dan ibu yang telah meluangkan waktunya

    untuk membaca, mengkoreksi, mengkritik, dan memberi komentar yang

    sangat berharga bagi perbaikan skripsi ini.

    4. Kepada Ummi dan Abah, orang tua penulis. Keduanya adalah tiang utama

    dan pokok dari eksistensi skripsi ini. Tanpa keduanya, skripsi ini tidak

    pernah akan ada. Melalui keduanya, skripsi menjadi tidak sekedar

    potensi melainkan bisa mewujud berkat kasih dan sayang dari keduanya

    yang tanpa syarat apa pun. Skripsi ini tidak akan pernah ada tanpa jasa

    Ummi dan Abah. Semoga Allah selalu melindungi dan memberi kebaikan

    kepada keduanya dengan kebaikan yang berlipat dan lebih besar.

    5. Kepada Abang penulis: Irfan Fahmi beserta Ka Ita, dan juga Kakak

    penulis: Hanna Maria beserta Bang Fadli, dan juga kepada adik penulis

    Darul Qutni, yang telah memberi dorongan dan semangatnya dengan

    caranya masing-masing.

  • 6. Kepada teman-teman forum kajian Piramida Circle Bung Alawi, Maman,

    Hafidz, Ali, Ujang, Mbah Liem, Syauqi, Jenal, Rouf, Mukhlisin, Nafi,

    Faiq, Romo, Uci, Bdul, dan lain- lain.

    7. Wabil khusus, kepada Fakruddin Mukhtar yang telah berkenan

    meminjamkan hardisk komputernya untuk penulis pakai. Tanpa

    bantuannya, skripsi ini mungkin masih tetap dalam lembaran-lembaran

    virtual dan tidak akan sampai ke meja munaqasah. Wabil khusus juga,

    kepada Agus Santoso, yang telah mau memberi ruangan tinggalnya untuk

    penulis berkontemplasi, mau berhujan-hujan ria menemani penulis ke

    Karawaci dan Serpong, dan bersibuk ria membeli hidangan untuk pada

    waktu ujian. Dan juga kepada Bung Hafiz yang telah meminjam dua

    bukunya yang amat berharga. Dengan dua buku itu, rimba belukar

    pemikiran Rawls menjadi lebih mudah ditelusuri dan dijejak. Terima kasih

    atas bantuan yang tulus dan ikhlas, semoga Allah memberi kebaikan yang

    berlimpah kepadamu.

    8. Kepada teman-teman Aqidah Filsafat 2003: Fakhrul, Ujang, Syamsudin,

    Kusna, Tatang, Syamsul, Muni, Yanti, Nadia, Tri, Latifah, Ely, Syafei,

    Dedi, Zakaria, Mohalli, Setiawan, dan lain- lain.

    9. Juga kepada semua orang-orang yang telah mendorong dan memberi

    semangat yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

    Depok, 16 September 2010

    Mawardy

  • i

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .... i

    LEMBAR PERNYATAAN .. iv

    DAFTAR ISI .. v

    BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

    A. Latar Belakang Masalah . 1

    B. Tinjauan Pustaka ... 14

    C. Batasan dan Rumusan Masalah .... 17

    D. Tujuan dan Manfaat Penelitian . 17

    E . Metodelogi Penelitian .. 18

    F . Sistematika Penulisan 19

    BAB II BIOGRAFI JOHN RAWLS ... 21

    A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ... 21

    B. Karya-Karya Ilmiah dan Pengaruhnya .. 29

    C. Latar Belakang Tradisi Pemikiran ... 34

    BAB III TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL ..... 39

    A. Pengertian dan Hakikat Keadilan Sosial .............. 39

    B. Tiga Ciri Umum Keadilan ... 43

    C. Pembagian Keadilan ... 46

    D. Sekilas Tiga Teori Keadilan .... 49

  • ii

    BAB IV KONSEPSI KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS

    .54

    A. Lingkup Masalah Keadilan Sosial ... 55

    1. Timbulnya Masalah Keadilan Sosial ... 55

    2. Subjek Utama Keadilan Sosial 58

    B. Dua Prinsip Keadilan Sosial 60

    1. Konsepsi Umum . 60

    2. Konsepsi Khusus . 64

    a. Prinsip Pertama . 64

    b. Prinsip Kedua 67

    c. Hubungan antara Dua Prinsip Keadilan .. 70

    C. Posisi Asali (Original Position) .. 71

    1. Legitimasi Prinsip Moral 72

    2. Tabir Ketidaktahuan (a Veil of Ignorance) 73

    3. Rasionalitas dan Strategi Maximin .. 75

    BAB V PENUTUP 81

    DAFTAR PUSTAKA 82

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Pokok pembahasan utama yang hendak penulis ungkapkan dalam skripsi

    ini adalah tentang keadilan sosial berdasarkan teori keadilan yang dikembangkan

    oleh John Rawls (1921-2002). Pada awalnya, ide awal penulis untuk mengangkat

    pembahasan skripsi mengenai John Rawls bermula ketika pada pertengahan tahun

    2009 penulis melihat video acara Justice with Michael Sandel di internet. Acara

    ini merupakan kuliah umum yang banyak diminati dan diikuti oleh ribuan

    mahasiswa Universitas Harvard setiap tahunnya. Materi-materi yang dibahas ialah

    berkaitan dengan masalah-masalah keadilan dalam perspektif para filsuf dalam

    bidang filsafat politik dan moral, dan kebetulan yang penulis lihat saat itu adalah

    tentang pembahasan mengenai keadilan John Rawls.

    Penulis sangat terkesan dengan kuliah umum tentang filsafat yang

    berlangsung di sebuah auditorium besar Universitas Harvard dengan setting tata

    cahaya dan lampu bak layaknya sebuah acara program talk show di televisi yang

    penuh gemerlap. Penulis terkesan karena jarang sekali ada sebuah acara yang

    membahas tentang filsafat dengan begitu mengasyikkan dan menghibur dan

    menarik minat begitu banyak mahasiswa. Program yang dipandu langsung oleh

    Michael Sandel, seorang profesor filsafat di Harvard, yang terkenal sebagai tokoh

    Neo-Aristotelian Komunitarian, berlangsung interaktif dengan audiens, dialogis,

    seru, dan menghibur. Ia membahas berbagai pemikiran para filsuf tentang

  • 2

    keadilan, di antaranya John Rawls. Dari sinilah kemudian penulis terdorong dan

    tertarik untuk memahami lebih lanjut tentang John Rawls.

    Secara khusus, alasan pokok penulis pembahasan mengenai pemikiran

    Rawls didasarkan pada arti penting pemikirannya bagi perkembangan kajian

    filsafat politik normatif abad ke-20. Rawls, bisa dikatakan, merupakan salah satu

    dari pemikir-pemikir penting dalam bidang filsafat politik yang terkemuka

    sepanjang pertengahan abad ke-20 hingga sekarang.

    Gagasan John Rawls mengenai keadilan tertuang dalam karya utamanya,

    A Theory of Justice, yang diterbitkan kali pertama pada tahun 1971. Buku ini oleh

    banyak kalangan dianggap sebagai karya terpenting dalam bidang filsafat politik

    selama seratus tahun terakhir. Sebelum terbitnya A Theory, kajian filsafat politik

    tengah mengalami masa redup dan kelesuan serta tidak menunjukkan suatu

    progres yang signifikan. Hal demikian dikarenakan tidak adanya lagi karya-karya

    besar berpengaruh yang lahir dan muncul pasca karya John Stuart Mill pada

    pertengahan abad ke-19. Akan tetapi, kondisi itu sontak berubah dengan

    kehadiran A Theory yang mendorong dan membawa gairah serta semangat baru

    dalam perkembangan kajian filsafat politik.

    Pasca A Theory, berbagai diskusi, kajian, artikel-artikel dan mimbar-

    mimbar ilmiah hingga karya-karya besar semisal Anarchy, State and Utopia karya

    Robert Nozick; Liberal Theory of Justice karya Brian Barry, dan sebagainya,

    bermunculan sebagai reaksi terhadap karya Rawls. Karya Rawls juga telah

    melahirkan berbagai perdebatan filosofis di berbagai universitas, buku-buku

    maupun jurnal-jurnal filsafat terkemuka. Di antara debat filosofis antara Rawls

  • 3

    dengan para kritikusnya yang paling terkemuka dan riak-riaknya masih

    bergelombang hingga kini ialah debat yang dikenal dengan Debat Liberal-

    Komunitarian. Debat ini melibatkan para filsuf dalam tradisi liberal yang

    mewarisi filsafat Immanuel Kant (Neo-Kantian) dengan kelompok filsuf yang

    dikenal dengan sebutan Komunitarian yang sangat dipengaruhi oleh filsafatnya

    Aristoteles, karena itu mereka juga disebut Neo Aristotelian, dengan tokoh-

    tokohnya seperti Michael Sandel, Charles Taylor dan lain- lain.

    Pengaruh A Theory begitu luas. Selang sepuluh tahun sejak diterbitkannya,

    karya Rawls ini telah diterjemahkan ke dalam dua puluh tujuh (27) bahasa di

    dunia (termasuk bahasa Indonesia), dan juga ada sekitar 2500 artikel yang

    membahas tentang karya Rawls tersebut. Samuel Freeman, seorang profesor

    filsafat Universitas Pennsylvania, mengatakan bahwa berbagai komentar atas A

    Theory yang berlimpah ini menunjukkan betapa kuat dan luasnya pengaruh ide

    dan gagasan Rawls yang merangsang berbagai kontroversi intelektual dan

    filosofis.1

    Secara umum, signifikansi pemikiran John Rawls dalam konteks filsafat

    dapat disimpulkan ke dalam sebuah catatan sebagaimana diutarakan oleh Will

    Kymlicka berikut ini:

    Rawls memiliki arti penting historis tertentu [pertama] dalam mendobrak kebuntutan intusionisme dan utilitarianisme. Tetapi teorinya penting karena alasan yang lain. [Kedua] Teori Rawls mendominasi filsafat

    politik, bukan dalam arti disepakati secara luas, sebab hanya sedikit orang yang setuju dengan seluruh teorinya, tetapi dalam arti bahwa para ahli

    teori yang muncul belakangan telah mempertegas dirinya berlawanan dengan Rawls. Mereka menjelaskan apa teori mereka dengan

    1 Samuel Freeman (ed), The Cambridge Companion to Rawls, (New York: Cambridge

    University Press, 2003), h. 1

  • 4

    membandingkannya dengan teori Rawls. Kita tidak akan memahami karya

    tentang keadilan yang muncul belakangan ini jika kita tidak memahami Rawls.2

    Dari deskripsi mengenai arti penting teorinya keadilannya dalam kajian

    filsafat politik sebagaiman penjelasan penulis di atas, maka hal tersebut

    mendorong minat dan ketertarikan penulis untuk mengangkat dan membahas teori

    keadilan Rawls. Hal demikian menjadi alasan mengapa penulis mengangkat

    pembahasan keadilan sosial berdasarkan teori keadilan yang dikembangkan oleh

    Rawls. Wacana keadilan sosial yang berkembang dewasa ini tidak dapat

    dilepaskan dari pengaruh teori keadilan Rawls, sebagaimana dijelaskan Kymlicka

    di atas. Maka penelitian mengenai pemikiran Rawls tentang keadilan menjadi

    sebuah usaha dan upaya yang penting dan signifikan dalam rangka memahami

    lebih lanjut karya-karya tentang keadilan dewasa ini.

    Dalam rangka teori keadilan, keadilan sosial sering disebut juga sebagai

    keadilan distributif, di mana keduanya seringkali digunakan secara bergantian.

    Keadilan distributif berkenaan dengan pembagian nikmat dan beban dalam

    kehidupan sosial. Jenis keadilan satu ini memiliki tradisi pemikiran panjang yang

    ditemukan dalam teori keadilan Aristoteles. Keadilan distributif ini berhubungan

    dengan masalah membagi yang adil. Keputusan dalam membagi yang adil

    haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan, baik

    secara intuitif maupun rasional. Artinya, prinsip dalam membagi sesuai dengan

    kesadaran intuitif seseorang tentang apa yang adil (sense of justice), sekaligus

    sejalan dengan pertimbangan akal sehat (rasional).

    2 Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-

    Teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 70. Tanda kurung

    dalam kutipan di atas berasal dari penulis.

  • 5

    Keadilan sosial dipahami sebagai keadilan yang berkaitan dengan

    bagaimana seharusnya hal-hal yang enak untuk didapatkan dan yang menuntut

    pengorbanan, keuntungan (benefits) dan beban (burdens) dalam kehidupan sosial

    dibagi dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Dengan pengertian

    sederhana ini, suatu kondisi sosial atau pun kebijakan sosial tertentu dinilai

    sebagai adil dan tidak adil ketika seseorang, atau golongan/sekelompok orang

    tertentu hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit dari apa yang seharusnya

    mereka peroleh, atau beban yang begitu besar dari apa yang seharusnya mereka

    pikul.3

    Dalam hal ini, pengertian distribusi tidak boleh dipahami secara literal,

    yakni seolah-olah diandaikan adanya agen yang bertugas membagikan atau

    mendistribusikan barang-barang. Melainkan distribusi, pengertiannya lebih

    ditujukan pada cara bagaimana lembaga-lembaga sosial utama menentukan hak

    dan kewajiban, dan mengatur pembagian nikmat dan beban dengan layak.4

    Pertautan makna keadilan sosial dengan keadilan distributif menjadi

    semacam cara praktis untuk membedakan batas lingkup kajian keadilan sosial

    dengan keadilan hukum, atau keadilan retributif. Aristoteles membagi tiga

    macam keadilan: keadilan umum, keadilan distributif, dan keadilan retributif.

    Secara umum, tiga macam keadilan itu bisa disederhanakan menjadi dua saja

    3 David Miller, Principles of Social Justice, (London: Harvard University Press, 1999),

    h. 1 4 David Miller, Principles of Social Justice, h. 2

  • 6

    ditinjau dari segi pokok persoalannya, yaitu: keadilan distributif dan keadilan

    retributif.5

    Keadilan retributif berkenaan dengan hukuman (punishment). Masalah

    pokoknya ialah bagaimana orang yang melakukan kesalahan dihukum dengan

    adil. Keadilan retributif berkenaan dengan kontrol bagi pelaksanaan keadilan

    distributif, lebih berhubungan dengan keadilan legal atau hukum.6 Adapun

    keadilan distributif berkenaan dengan pembagian (distribution). Masalah

    pokoknya berkaitan dengan bagaimana membagi dengan adil. Kendati hakikatnya

    berbeda, terdapat titik temu antara keduanya, yaitu setiap putusan untuk

    menghukum maupun membagi haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang

    dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akal sehat.

    Dari keduanya, keadilan distributif termasuk jenis keadilan paling penting

    karena terbilang banyak menimbulkan kesulitan. Soalnya, bagaimana seharusnya

    membagi dengan adil kepada setiap orang, karena setiap orang ingin bagian yang

    lebih banyak daripada bagian yang sedikit, sementara itu tidak tersedia barang

    yang cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Semakin terbatas dan

    langka suatu barang atau nikmat maka ia semakin bernilai dan berharga. Barang-

    barang sosial yang berharga itu tidak sekedar yang bersifat immaterial semisal

    kekayaan dan pendapatan, tapi juga immaterial seperti kekuasaan, kebebebasan,

    kesempatan dan kehormatan, serta lain sebagainya. Barang-barang sosial itu harus

    dibagi dengan adil kepada semua orang. Dalam arti, pokok persoalan keadilan

    5 John Christman, Social and Political Philosophy: A Contemporary Introduction,

    (London: Routledge, 2002), h. 60 6 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas. Dua

    Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 6

  • 7

    sosial itu mencakup pembagian dalam tiga bidang, yang disebut juga sebagai

    masalah standar dalam keadilan sosial: politik (kuasa), ekonomi (uang), dan sosial

    (status). Tiga bidang ini dalam skripsi ini kelak akan disebut dengan nilai-nilai

    primer sosial.

    Secara garis besar, prinsip keadilan sosial dibagi menjadi dua macam. Dua

    macam prinsip: prinsip formal dan prinsip substantif atau material. Kedua prinsip

    ini juga bisa disebut dengan keadilan formal dan keadilan substantif.7

    Prinsip keadilan formal itu hanya ada satu saja, yakni prinsip persamaan.8

    Prinsip ini memiliki tradisi pemikiran panjang, di mana Aristoles yang

    merumuskannya. Prinsip formal berbunyi: equals ought to be created equally

    and unequals may be treated unequally. Prinsip ini bisa dipahami sebagai

    orang-orang yang sama atau hal-hal yang sama harus diperlakukan secara

    sama, sedang orang atau hal yang tidak sama boleh diperlakukan tidak sama.

    Akan tetapi, prinsip formal ini hanya menyajikan bentuk dan tidak mempunyai

    isi.9 Memang disebutkan bahwa pada orang-orang atau hal-hal yang sama harus

    diperlakukan dengan cara yang sama, tetapi prinsip ini tidak menjelaskan apa

    yang harus dimengerti dengan orang-orang yang sama, dan hal-hal yang sama.

    Prinsip ini tidak menerangkan pada segi apa manusia atau hal-hal dan kasus-kasus

    tertentu harus dianggap sama atau tidak sama.

    7 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), h.

    vii. 8 Dalam etika sering dikatakan, ada tiga hal umum yang selalu berkaitan dengan keadilan.

    (1) Keadilan selalu tertuju kepada orang lain, (2) Keadilan menuntut untuk ditegakkan

    (kewajiban), dan (3) Keadilan menuntut persamaan. 9 9 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat;

  • 8

    Oleh karena itu, prinsip formal sulit dijadikan pegangan untuk membagi

    dengan adil, maka perlu ada prinsip-prinsip substantif yang melengkapi prinsip

    formal. Prinsip-prinsip substantif merujuk pada salah satu aspek yang relevan

    yang bisa dijadikan untuk membagi hal-hal yang dicari oleh pelbagai orang. Jika

    prinsip formal (bentuk) hanya ada satu, prinsip persamaan, maka prinsip

    substantif selalu masih dalam perdebatan dan proses. Kendati begitu, ada

    pandangan yang dominan dan menjadi pandangan umum yang melandasi berbagai

    teori-teori keadilan kontemporer ini ialah egalitarianiasme. Egalitarianisme

    adalah nilai dasar bagi wacana keadilan sosial. Dalam hal ini kita patut

    mencermati apa yang dikatakan oleh Will Kymlicka mengenai teori

    egalitarianisme berikut ini:

    Setiap teori memiliki nilai utama yang sama, yaitu persamaan (equalitiy). Semuanya merupakan teori-teori egalitarian. Pernyataan

    semacam ini jelas tidak benar, jika yang kita maksudkan adalah dengan teori egalitarian adalah teori yang mendukung distribusi pendapatan yang

    merata. Namun ada gagasan lain, yang lebih abstrak dan fundamental, tentang persamaan dalam teori politik, yaitu gagasan mengenai memperlakukan orang secara sama. Ada banyak cara untuk meng-

    ungkapkan gagasan tentang persamaan yang lebih mendasar ini. Sebuah teori adalah egalitarian menurut pengertian ini jika teori tersebut menerima

    bahwa kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat itu penting dan sama-sama penting. Dengan kata lain, teori egalitarian mensyaratkan bahwa pemerintah memperlakukan warga negara dengan pertimbangan yang

    samaJadi, gagasan tentang persamaan yang bersifat abstrak dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, tanpa harus mendukung persamaan

    dalam bidang khusus tertentu, apakah itu pendapatan, kekayaan, kesempatan, atau kebebasan. Mana bentuk khusus persamaannya yang diminta oleh gagasan memperlakukan orang secara sama yang lebih

    abstrak, itu merupakan masalah yang menjadi perdebatan berbagai teori...10

    10

    Will Kymlicka, Pengantar Filsfat Politik Kontemporer, h. 5-6

  • 9

    Dengan demikian, prinsip persamaan adalah nilai dasariah dari keadilan

    sosial.11 Gagasan persamaan tidak dipahami sebagai persamaan dalam distribusi

    atau pembagian, tetapi persamaan dalam memperlakukan manusia dengan sama.

    Manusia itu pada hakikatnya sama, dalam arti martabatnya.

    Pandangan egalitarianisme ini mendapat simpati luas. Semua manusia

    pada hakikatnya memang sama dari segi martabat. Tidak ada martabat manusia

    satu lebih tinggi daripada manusia lainnya. Pemikiran ini merupakan keyakinan

    umum sejak zaman modern, artinya sejak Revolusi Perancis menumbangkan

    monarki absolut dan feodalisme. Dalam artikel pertama dari Deklarasi Hak

    Manusia dan Warga Negara (1789) yang dikeluarkan pada waktu Revolusi

    Perancis dapat dibaca: manusia dilahirkan bebas serta sama haknya, dan mereka

    tetap tinggal begitu.

    Dalam konteks filsafat, pandangan ini umumnya didasarkan pada paham

    deontologis dalam etika Immanuel Kant. Kant beranggapan bahwa manusia itu

    menduduki wilayah ciptaan yang istimewa. Menurut pandangannya, manusia

    mempunyai nilai instrinsik, yakni martabat, yang membuatnya bernilai

    mengatasi segala harga. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, tidak boleh

    diperlakukan sebagai alat.12 Dalam konteks keadilan sosial, pandangan

    deontologis tidak mengijinkan martabat manusia dikorbankannya demi

    kepentingan atau pun manfaat ekonomi, politik dan lainnya. Hal inilah yang

    membuat prinsip utilitarianisme ditolak sebagai landasan bagi konsep keadilan

    11

    Agus Wahyudi, Filsafat Politik Barat dan Masalah Keadilan: Catatan Kritis atas Pemikiran Will Kymlicka dalam Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1

    12 Onora Oneil, Catatan Sederhana Tentang Etika Kant, dalam Etika Terapan I, ed.

    Lary May, dkk, terj. Sinta Carolina, dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 51-54

  • 10

    sosial, karena menempatkan mengorbankan hak dan martabat manusia demi

    kepentingan umum.

    Lebih lanjut, kesepakatan bersama mengenai apa yang tidak adil,

    ketidakadilan sosial, lebih sering tercapai ketimbang sebaliknya. Masyarakat

    umumnya memiliki perasaan keadilan (sense of justice) yang cukup peka untuk

    menilai suatu hubungan-hubungan sosial atau kondisi sosial tertentu sebagai tidak

    adil. Tapi berbeda halnya untuk menentukan kondisi atau hubungan sosial

    sebagai adil. Karena kesadaran keadilan masyarakat bukan sesuatu yang sudah

    jadi melainkan terus berproses dalam kerangka dialogis.

    Dalam arti, keadilan sosial, secara negatif, relatif mudah ditentukan,

    namun penentuan positif mengenai kondisi sosial dan hubungan-hubungan sosial

    mana yang dapat disebut adil seringkali sulit dicapai kesepakatan. Untuk itu,

    kesadaran intuitif masyarakat mengenai apa yang adil dan tidak adil saja tidak

    cukup dalam membangun konsep keadilan sosial, maka kita perlu teori untuk

    memperjelas kesadaran moral atau sentimen moral mengenai apa yang adil

    tersebut dalam bentuk yang lebih jelas. Inilah tugas teori keadilan.

    Sebagaimana penulis jelaskan bahwa putusan moral mengenai pembagian

    yang adil itu haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat

    dipertanggungjawabkan, baik secara intuitif maupun rasional. Inilah peran teori

    keadilan untuk menyelaraskan apa yang secara intuitif disebut adil, kemudian

    mempertanggungjawabkan, membenarkan atau menjustifikasinya di hadapan

    argumen rasional. Dalam teori keadilan Rawls, hal ini disebut dengan reflective

    equilibrium, keseimbangan antara argumen intuitif dengan argumen rasional.

  • 11

    Itulah poin-poin penting yang penulis anggap patut dicermati dalam

    analisis keadilan sosial di dalam skripsi ini.

    Bagi Rawls, kesepakatan bersama mengenai keadilan sosial, atau apa yang

    adil dan tidak adil, dalam kehidupan sosial masyarakat modern yang pluralistik

    adalah sesuatu hal yang menjamin integritas sosial, stabilitas, dan keberlanjutan

    sebuah masyarakat. Prinsip keadilan sosial dibutuhkan untuk mengatur cara

    bagaimana lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban,

    nikmat dan beban hasil kerja sama sosial masyarakat itu dengan adil kepada

    semua anggota masyarakat. Prinsip-prinsip keadilan sosial itu hanya dapat secara

    efektif mengatur masyarakat hanya apabila ia dapat diterima oleh semua orang.

    Akseptabiltias publik atau penerimaan semua orang terhadap prinsip keadilan

    sosial yang akan mengatur mereka apabila prinsip-prinsip itu mampu menjamin

    dan mengakomodasi kepentingan semua orang, khususnya orang-orang yang

    lemah secara ekonomi dan sosial.

    Bagi Rawls, prinsip keadilan sosial bagi Rawls tidak sekedar

    mendistribusikan nilai-nilai sosial primer dengan adil, melainkan juga bagaimana

    prinsip-prinsip distributif itu bisa diterima oleh semua orang. Lebih jauh, prinsip-

    prinsip keadilan sosial Rawls diposisikan landasan dasar bagi sebuah kerja sama

    sosial sebuah masyarakat yang tertata dengan baik (well-ordered society).

    Masyarakat tertata dengan baik dalam studi filsafat politik merupakan sebuah

    konsepsi ideal mengenai bagaimana seharusnya masyarakat diatur dengan baik.

    Sebagaimana diketahui, filsafat politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk

  • 12

    mengatur masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar.

    Dalam hal ini, keadilan adalah prinsip moral dasar.

    Rawls adalah seorang pendukung egalitarianisme. Dalam arti, ia setuju

    bahwa nilai dasariah keadilan sosial adalah prinsip persamaan. Kendati begitu,

    Rawls bukan seorang egalitarian radikal dalam arti ia juga menerima prinsip

    ketidaksamaan. Prinsip persamaan baginya bukan persamaan dalam distribusi

    atau pembagian, melainkan persamaan manusia dari segi martabatnya. Hal ini

    menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosialnya menempatkan manusia sebagai

    tujuan utama, bukan sekedar alat. Hal ini dapat dipahami karena ia merupakan

    seorang Neo-Kantian. Dengan ini, utilitarianisme ditolak olehnya sebagai basis

    bagi keadilan sosial, karena sifatnya yang teleologis yang-manfaat (the good)

    prioritas yang-hak (the right) konsekuensinya utilitarianisme meletakkan

    manusia sebagai alat dan sarana belaka untuk mencapai kesejahteraan dan

    kebahagian. Karena itulah keadilan sosial tidak dapat dijamin oleh utilitarianisme.

    Sementara itu, basis keadilan sosial Rawls sendiri didasarkan pada landasan

    deontologis, yakni yang-hak prioritas atas yang manfaat. Manusia adalah tujuan

    pada dirinya sendiri. Martabat manusia itu harus dihormati, tapi martabat

    manusia itu ditandai dari segi apa? Tegasnya Rawls berusaha mereflesikan inti

    persamaan itu dalam kehidupan sosial. Karena itu, prinsip keadilan sosial adalah

    prinsip substantif, bukan prinsip formal.

    Dengan demikian, Rawls mengakomodasi prinsip persamaan sebagai nilai

    dasariah bagi keadilan sosial, tapi juga sekaligus menerima prinsip

    ketidaksamaan. Tegasnya konsep keadilan sosialnya menyusur pada dua tepi:

  • 13

    kesamaan dan ketidaksamaan. Akan tetapi, apa yang harus dibagi secara sama,

    dan juga apa yang boleh dibagi dengan tidak sama. Yang paling penting ialah

    sebatas mana ketidaksamaan itu diperbolehkan. Lalu, hal-hal apa saja yang harus

    dibagi dengan adil kepada semua orang. Apakah terbatas pada nikmat-nikmat

    sosial, atau juga mencakup nikmat alamiah semisal, kecerdasan, kepintaran dan

    sebagainya. Kemudian, juga penting ialah bagaimana ia menemukan prinsip-

    prinsip keadilan sosial itu? Karena sebagaimana diketahui, prinsip keadilan sosial

    adalah prinsip moral. Dalam arti, prinsip keadilan adalah perkara moral, jadi tidak

    dideduksi dari prinsip yang terbukti benar begitu saja, sebagaimana prinsip

    Cartesian.

    Tegasnya, prinsip moral itu harus sesuai dengan kesadaran moral intuitif

    (subjektif), tapi bagaimana prinsip keadilan sosialnya dapat dipertanggung-

    jawabkan secara rasional (objektif) tanpa harus bertentangan dengan intuisi. Ini

    tak lepas dari tujuannya bahwa integritas sosial dan stabiltas masyarakat hanya

    tercapai apabila prinsip keadilan sosial itu adalah manifestasi kehendak umum,

    hasil kesepakatan bersama. Ini mengungkapkan gagasan utamanya teorinya yang

    disebut dengan justice as fairnees. Maksudnya, prinsip-prinsip keadilan sosial

    merupakan hasil kesepakatan orang-orang yang rasional, bebas, dan setara dalam

    situasi awal persamaan yang fair.

    Alhasil, dengan berbagai latar belakang masalah dan pertimbangan yang

    ada, maka skripsi ini penulis beri judul: Konsep Keadilan Sosial Menurut John

    Rawls. Pijakan sederhananya, keadilan sosial adalah keadilan yang berkaitan

    dengan pembagian nikmat dan beban dalam masyarakat sebagai sebuah bentuk

  • 14

    kerja sama sosial, di mana manifestasi kerja sama sosial itu termanifestasi dalam

    lembaga yang disebut negara. Konsep keadilan sosial berkaitan dengan prinsip-

    prinsip yang mengatur pembagian tersebut. Dengan demikian, teori keadilan

    berusaha merumuskan prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat yang

    adil, di mana nilai-nilai sosial primer bisa terbagi dengan adil kepada semua

    anggota masyarakat. Bagi Rawls, hal demikian sama dengan mempertanyakan apa

    prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat yang adil.

    B. TINJAUAN PUSTAKA

    Pemikiran John Rawls memiliki pengaruh besar dan arti penting dalam

    memengaruhi perkembangan wacana filsafat abad ke-20. Maka tak heran apabila

    ada banyak karya atau buku-buku yang juga mengupas dan menjelaskan

    pemikiran Rawls. Di antara penulis Indonesia yang telah mengupas pemikirannya

    antara lain: (1) Bur Rasuanto dengan bukunya yang berjudul Keadilan Sosial:

    Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas (2004); dan (2) Andre Ata Ujan

    dengan bukunya, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politiik John Rawls

    (2001).

    Buku pertama, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan

    Habermas, merupakan disertasi Bur Rasuanto yang diterbitkan oleh penerbit

    Gramedia. Pokok kajian dalam buku ini kajian komparatif antara teori keadilan

    kontrak John Rawls dan teori diskurus Jurgen Habermas. Rasuanto menggunakan

    istilah keadilan sosial sebagai judul bukunya, namun ia menerangkan bahwa

    istilah keadilan sosial digunakan sebagai istilah umum. Lebih lanjut, buku ini

    berusaha menjelaskan perbandingan kedua teori tersebut dalam upaya

  • 15

    membangun persetujuan konsensus bersama tentang prinsip-prinsip dasar bagi

    masyarakat modern. Titik tekan buku ini ialah mengelaborasi titik persamaan dan

    perbedaan serta posisi antara teori diskursus Habermas dalam hubungannya

    dengan teori keadilan kontrak Rawls. Dalam hasil penelitiannya itu, Rasuanto

    menjelaskan bahwa teori keadilan kontrak Rawls merupakan justifikasi bagi teori

    diskursus Habermas.

    Dalam menerangkan teori keadilan Rawls, Rasuanto berpegang dan

    bertolak dari pertanyaan yang diajukan Rawls dalam bukunya, Political

    Liberalism (1993). Rasuanto menulis rumusan masalah bukunya, bagaimanakah

    suatu masyarakat stabil dan adil yang warganya bebas dan sederajat namun

    secara mendalam terpecah dalam doktrin-doktrin moral, filsafat, dan agama yang

    saling berkonflik bahkan tidak dapat didamaikan itu mungkin.13 Pertanyaan ini

    adalah pertanyaan dasar yang diajukan Rawls dalam Political Liberalism (1993).

    Buku Rawls ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari ide-ide dan gagasan

    yang dikemukakannya dalam A Theory of Justice (1971), di mana ia melihat

    toleransi merupakan salah satu ciri atau nilai yang harus ada dalam masyarakat

    modern. Jadi, Rasuanto membicarakan teori keadilan Rawls berikut pergeseran

    pemikirannya dari dalam A Theory of Justice ke konsepsi keadilan politik dalam

    Political Liberalism.

    Sementara buku kedua, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik

    John Rawls, merupakan karya tesis Andre Ata Ujan yang diterbitkan oleh penerbit

    Kanisus tahun 2001. Di buku ini, Ata Ujan mengelaborasi teori keadilan Rawls

    13

    Bur Rasuanto, Keadilan Sosia, h. 21.

  • 16

    dalam hubungannya dengan masalah demokrasi, dan juga bagaimana implikasi

    teori tersebut dalam penataan politik dan ekonomi. Kajian buku ini berusaha

    mencari dan menemukan elemen-elemen fundamental dari teori keadilan Rawls

    yang dapat diterapkan pada masalah-masalah dalam masyarakat demokrasi.

    Dalam kaitannya dengan skripsi ini, pembahasan skripsi ini tidak

    mengelaborasi masalah-masalah yang diungkapkan Rawls dalam bukunya

    Political Liberalism, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasuanto. Kemudian,

    penulis juga tidak membahas bagaimana implikasi dan penerapan teori Rawls

    dalam penataan ekonomi dan politik dalam masyarakat demokrasi. Penulis dalam

    dalam hal ini, membatasi pembahasan skripsi ini lebih kepada teorinya yang

    dikembangkan oleh Rawls dalam A Theory of Justice (1971), dan juga tidak

    berusaha membahas mengenai pergeseran pemikirannya dalam Political

    Liberalism. Hal ini dikarenakan masalah yang berusaha penulis kaji di sini fokus

    pada bagaimana Rawls merefleksikan substansi keadilan sosial. Penulis juga lebih

    condong menggunakan logika pembahasan yang digunakan Rawls sendiri dalam

    menerangkan teorinya dalam A Theory of Justice, di mana ia membagi teori

    keadilan-nya menjadi dua bagian, isi (content) dan metode (method). Menurut

    Paul Graham, teori keadilan Rawls membagi teorinya menjadi dua bagian. Bagian

    pertama membahas mengenai metode (method) Rawls menemukan prinsip-

    prinsip keadilan sosial. Bagian kedua membahas mengenai isi atau substansi

    dari prinsip-prinsip keadilan sosial. Dua bagian ini bukan dua hal yang terpisah,

  • 17

    melainkan satu kesatuan yang membentuk konsepsinya tentang keadilan sosial

    ideal. 14

    C. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

    Dari uraian dalam latar belakang masalah dan tinjauan pustaka di atas,

    maka agar pembahasan mengenai keadilan sosial di sini tidak terlalu melebar,

    penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsepsi keadilan sosial yang

    ditawarkan John Rawls dengan mengurai teorinya dan perspektif yang

    diajukannya.

    Dengan pembatasan masalah seperti ini, maka permasalahan yang akan

    menjadi objek dan fokus penulisan ini adalah bagaimana konsepsi keadilan sosial

    menurut John Rawls.

    D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

    Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara lebih

    jelas konsepsi ideal yang ditawarkan oleh John Rawls mengenai keadilan sosial.

    Serta melakukan analisis kritis terhadapnya. Sementara kegunaan penelitian ini

    adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:

    1. Mengetahui bagaimana timbulnya masalah keadilan sosial, sumber

    ketidakadilan sosial, dan apa saja yang harus dibagi dengan adil

    kepada semua anggota masyarakat?

    2. Mengetahui prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya sebuah masyarakat

    yang adil

    14

    Paul Graham, Rawls, (Oxford: OneWorld Publication, 2007), h. 15

  • 18

    3. Mengetahui metode dalam membangun sebuah konsensus rasional

    dalam merumuskan prinsip-prinsip keadilan substantif.

    4. Mengetahui konsepsi ideal mengenai keadilan sosial bagi terciptanya

    sebuah masyarakat yang tertata dengan baik, atau mengetahui

    bagaimana seharusnya masyarakat diatur dengan baik dan benar?

    E. METODOLOGI PENELITIAN DAN TEKNIK PENULISAN

    Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan satu metodelogi

    penelitian, yaitu studi kepustakaan. Studi kepustakaan bertujuan untuk

    memperoleh data melalui sumber bacaan meliputi buku-buku dan artikel yang

    ditulis oleh John Rawls, khususnya buku A Theory of Justice15 yang memuat

    secara lengkap teorinya. Selain itu studi kepustakaan ini akan diperkaya dengan

    sejumlah data yang ditulis oleh penulis lain mengenai Rawls atau mengenai

    teorinya, atau juga mengenai keadilan sosial secara umum dan lain sebagainya

    yang berkenaan dengan pembahasan skripsi.

    Sementara teknik penulisan dalam karya tulis ini, analisis data yang

    digunakan bersifat kualitatitf dengan teknik pembahasan deskriptif analitis yang

    bertujuan menggambarkan konsep keadilan sosial ideal menurut John Rawls.

    Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah, dan penulisan dalam

    skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,

    Dan Disertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and Assurance

    (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    15

    Dalam skripsi ini penulis menggunakan A Theory of Justice edisi terjemahan bahasa

    Indonesia, dengan judul Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan

    Kesejahteraan Sosial dalam Negara , terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar, 2001)

  • 19

    F. SISTEMATIKA PENULISAN

    Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok

    masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada bab BAB II penulis

    mencoba memaparkan dengan jelas riwayat hidup, latar belakang pendidikan,

    karya-karya tulis ilmilahnya, dan latar belakanng tradisi pemikirannya.

    Pada BAB III, penulis akan menyajikan tinjauan umum atas teori

    keadilannya. Penjelasan pada ini bertujuan memberikan pemahaman umum

    mengenai teorinya sebelum memasuki konsepsinya mengenai keadilan sosial. Di

    BAB III ini, penulis sudah mulai memasuki bagian teorinya. Kendati demikian,

    poin-poin yang dijelaskan lebih pada pokok-pokok atau gambaran besar dari

    teorinya. Dengan demikian, tidak ada terjadi tumpang tindih dengan bab

    setelahnya, dan justru menjadi batu pijakan awal yang lebih mudah dalam

    memahami pembahasan bab selanjutnya. Pokok-pokok teorinya yang akan

    dibahas adalah tujuan dan latar belakang teorinya, gagasan utama teorinya,

    Justice as Fairness, dan metode yang digunakan dalam teori keadilannya.

    Uraian dalam BAB IV dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama

    penulis menguraikan lebih dahulu mengenai lingkup masalah keadilan sosial.

    Pembahasan ini mencakup timbulnya masalah keadilan sosial, subjek utama

    keadilan sosial, dan nilai-nilai sosial primer, yakni hal-hal yang harus dibagi

    dengan adil kepada semua orang.

    Lalu bagian kedua menguraikan mengenai isi dari prinsip-prinsip keadilan

    sosial yang dikemukan secara intuitif oleh Rawls, yakni dua prinsip keadilan

    sosial. Uraian di sini meliputi prinsip pertama, prinsip kedua, dan hubungan atau

  • 20

    aturan prioritas antara kedua prinsip tersebut. Dan bagian ketiga, uraiannya

    mengenai syarat prinsip keadilan sosial yang harus disepakati oleh semua orang.

    Dalam hal ini penulis menjelaskan posisi asali, yakni metode yang digunakan

    dalam menjustifikasi prinsip keadilan sosialnya.

  • 21

    BAB II

    BIOGRAFI JOHN RAWLS

    A. Riwayat Hidup Dan Pendidikan John Rawls

    John (Jack) Bordley Rawls lahir pada 21 Februari 1921 di Balltimore,

    Maryland, Amerika Serikat. Dia anak kedua dari pasangan William Lee dan

    Anna Abell Stump. William Lee dan Anna Rawls memiliki lima orang putra:

    William Stowe (Bill), John Bordley (Jack), Robert Lee (Bobby), Thomas

    Hamilton (Tommy), dan Richard Howland (Dick). Kedua orang tuanya berasal

    dari keluarga yang mapan. Kakek-nenek Rawls dari garis ibunya adalah keluarga

    kaya yang tinggal di Greenspring Valley, sebuah daerah elit pinggiran kota

    Balltimore. Kekayaan yang begitu banyak itu berasal harta warisan, seperti

    tambang minyak dan batubara di Pennsylvania. Mereka dikaruniai empat orang

    putri: Lucy, Anna (ibu Rawls), May, dan Marnie.1

    Keluarga Rawls berasal dari Utara, dimana nama Rawls masih cukup

    lazim digunakan. Kakek dari garis ayahnya, William Stowe Rawls, adalah

    seorang bankir di sebuah kota kecil dekat Greenville, Carolina Utara. Karena

    menderita penyakit TBC (tuberculosis), William Stowe pindah bersama istri

    beserta ketiga anaknya ke Balltimore pada tahun 1895 agar lebih dekat dengan

    Rumah Sakit Universitas Johns Hopkins. Pasca pindah ke Balltimore, Ayah

    Rawls, William Lee menderita TBC selama beberapa tahun, dan kesehatannya

    yang tidak baik itu terus berlanjut hingga masa mudanya. Karena tidak cukup

    1 Thomas Pogge, John Rawls: His Life and Theory of Justice, transl. Michlle Kosch,

    (New York: Oxford University Press, 2007), h. 4

  • 22

    biaya, William Lee terpaksa putus sekolah. Di usia 14 tahun, ia telah bekerja

    sebagai pembantu di sebuah kantor hukum. Pekerjaannya itu pun membuka jalan

    kesempatan bagi William Lee muda untuk membaca buku-buku hukum yang ada

    di situ pada malam harinya. Ia mendidik dirinya sendiri dengan cukup baik

    sehingga berhasil lulus ujian pengacara tanpa pendidikan formal apa pun. Dan ia

    pun akhirnya menjadi seorang pengacara kondang, memiliki kantor hukum sendiri

    dan terpilih menjadi ketua asosasi pengacara di Balltimore pada tahun 1919.2

    Kedua orang tua Rawls memiliki minat yang kuat terhadap politik.

    Ayahnya merupakan pendukung Liga Nasional, dan kawan akrab sekaligus

    penasehat pribadi Albert Ritchie, seorang Gubernur Maryland dari Partai

    Demokrat (1924-1936). Ia juga pernah menjadi penasehat hukum Franklin D.

    Roosevelt. Adapun ibu Rawls adalah perempuan pendukung0020gerakan

    feminisme. Ia pernah menjabat sebagai presiden dari League of Women Voters di

    daerah kediamannya. Karena latar belakang kedua orang tuanya itu, Rawls

    disebut memiliki darah biru oleh sebagian sahabatnya. Hal itu membuat Rawls

    memiliki sense of noblese oblige.3

    Pengalaman tragis di masa kecil Rawls yang sangat menggoncang keadaan

    jiwanya adalah ketika ia harus kehilangan dua orang adiknya, Bobby dan Tommy

    , akibat tertular penyakit yang diderita oleh Rawls. Bobby usianya lebih muda

    21 bulan- meninggal pada tahun 1928 setelah tertular penyakit diphteria dari

    Rawls yang saat itu justru kondisinya justru semakin berangsur pulih. Sementara

    itu, Tommy meninggal pada tahun berikut, tepatnya di bulan Febuari 1929, juga

    2 Thomas Pogge, John Rawls, h. 4-5

    3 Thomas Pogge, John Rawls..

  • 23

    setelah tertular penyakit pheunomia yang diderita oleh John Rawls. Sebagaimana

    yang terjadi pada Bobby, Tommy juga meninggal ketika Rawls tengah berangsur

    pulih dari penyakitnya. Menurut penuturan ibunya, kejadian tragis itu telah

    mengoyak batin Rawls dan memicu bicara Rawls menjadi tidak lancar (gagap),

    dan hal itu semakin bertambah parah di masa tuanya. 4 Demikian riwayat masa

    kecilnya.

    Di samping itu, ada beberapa pengalaman masa kecil Rawls yang

    memengaruhi kesadarannya akan keadilan. Kepekaan Rawls terhadap masalah

    keadilan dan sesamanya tidak terlepas dari berbagai pengalaman masa kecilnya.

    Pengaruh itu antara lain berasal dari ibunya yang merupakan seorang pejuang hak-

    hak kaum perempuan. Selain itu, semasa kecil ia mengalami secara langsung

    berbagai bentuk diskriminasi ras dan kelas sosial, di kota tempat ia tinggal.

    Hampir 40 persen kota Balltimore itu penduduknya adalah orang-orang berkulit

    hitam.

    Rawls melihat langsung perlakuan yang membeda-bedakan manusia dari

    warna kulitnya. Perlakuan berbeda atas para warga kulit hitam tampak jelas

    baginya. Anak-anak berkulit hitam belajar di sekolah yang berbeda dan terpisah

    dari anak-anak berkulit putih. Bahkan ibunya sendiri pun melarang dirinya

    bergaul dengan anak-anak kulit hitam. Ibunya sempat marah besar kepadanya

    ketika ia bermain ke rumah temannya yang berkuli hitam di daerah perkumuhan.

    Hal itu karena Rawls sering bermain ke rumah anak itu yang berada di daerah

    4 Thomas Pogge, John Rawls., h. 5-6

  • 24

    perumahan kumuh dan sempit yang menjadi ciri khas tempat tinggal orang-orang

    berkulit hitam.5

    Di samping itu, masih ada lagi peristiwa yang membuka kesadarannya

    akan keadilan, yakni ketika ia melihat langsung kehidupan kaum miskin kulit

    putih di desa Brooklin, tidak jauh dari rumah singgahnya selama musim panas.

    Hampir kebanyakan masyarakat desa tersebut berprofesi sebagai nelayan dan

    penjaga dari rumah-rumah musim panas yang banyak di daerah itu.

    Pergaulannya yang luas dengan anak-anak miskin setempat membuka

    kesadarannya bahwa kemiskinan yang dialami sebagian besar mereka telah

    mempersempit peluang mendapat pendidikan dan masa depan yang lebih baik.

    Kondisi yang amat berbeda dengan kota di mana ia tinggal.6 Pengalaman masa

    kecilnya tersebut meninggalkan kesan yang begitu kuat sehingga telah

    menggoreskan dan membangkitkan serta menumbuhkan sense of justice dalam

    dirinya.

    Lebih lanjut, mengenai pendidikan Rawls. Pendidikan dasar Rawls

    dimulai di sekolah umum di kota Balltimore, tempat tinggalnya. Selesai di

    sekolah itu, ia pun melanjutkan sekolah menengahnya di Kent, sebuah lembaga

    pendidikan swasta di Connecticut, yang terkenal dengan mutu dan disiplinnya

    yang tinggi. Di Connecticut ini pula Rawls memasuki suatu fase religius dalam

    pengalaman hidupnya. Meski fase ini tidak berlangsung lama dan juga tidak

    mendorong Rawls untuk menjadi seorang religius dalam arti konvensionalnya.

    Kendati begitu, fase ini telah membawa pengaruh yang besar di dalam hidupnya.

    5 Thomas Pogge, John Rawls, h. 6-7

    6 Thomas Pogge, John Rawls, h. 7

  • 25

    Nilai-nilai religius bahkan cukup kuat tertanam di dalam dirinya. Oleh karena itu,

    Rawls dikenal memiliki kepekaan religius yang relatif lebih tinggi dibanding

    dengan rekan-rekannyanya sesama liberal.7

    Pada tahun 1939, Rawls melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas

    Princeton. Disini ia bertemu dan berkenalan dengan Norman Malcolm salah

    seorang sahabat dan pengikut Wittgenstein. Perkenalannya dengan tokoh inilah

    yang menimbulkan minat Rawls terhadap filsafat. Rawls menyelesaikan studinya

    di Universitas Princeton dalam waktu singkat.

    Selepas itu, ia masuk wajib militer dan ikut terlibat pertempuran pertama

    kali dalam Perang Pasifik. Rawls juga sempat ditempatkan di Papua Nugini,

    Filipina, dan Jepang. Selama masa tugas milter ini Rawls mengalami pengalaman

    paling buruk sepanjang hidupnya. Tujuh belas temannya satu angkatan di

    Universitas Princeton mati terbunuh, dan dua puluh tiga orang lainnya dari

    angkatan di bawahnya juga meninggal karena keganasan perang.

    Inilah mungkin, menurut kesaksian teman-temannya, alasan kenapa Rawls

    tidak pernah mau bercerita mengenai pengalamannya sebagai tentara. Masa

    perang, khususnya peristiwa pengeboman kota Hiroshima pada bulan Agustus

    1945, telah menggoreskan pengalaman yang mengerikan bagi Rawls. Ketika

    pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat menjatuhkan bom untuk mengakhiri

    perlawanan Jepang, Rawls tengah bertugas di Pasifik.8

    Selama kariernya, Rawls hampir tidak pernah menulis tentang

    pengalamannya pada masa perang dunia tersebut. Setelah lima puluh tahun

    7 Andre Ata Ujan,: Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls,

    (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.14

    Andre Ata Ujan,: Keadilan dan Demokrasi., h.15

  • 26

    kemudian, Rawls menulis artikel dalam jurnal politik Amerika, Dissent, terkait

    pengalaman buruknya semasa perang. Dalam artikel tersebut, Rawls mengecam

    keras penguasa Amerika Serikat atas keputusannya mem-bom atom Jepang. Ini

    adalah satu-satunya artikel yang pernah ditulis Rawls sebagai tanggapannya atas

    situasi politik konkret.9

    Menurutnya, keputusan yang pada akhirnya membawa akibat jatuhnya

    banyak korban dari warga sipil itu adalah suatu kesalahan terbesar yang tidak

    pernah bisa diterima. Pada waktu itu, sesungguhnya tidak ada krisis sedemikian

    gawat yang dapat dijadikan dasar. Meski demikian, bom atas kota Nagasaki dan

    Hiroshima sesungguhnya membawa nasib baik juga bagi Rawls. Seandainya

    keputusan membom atom kota tersebut tersebut tidak diambil, Rawls bersama-

    sama temannya besar kemungkinan juga akan segera dikirim untuk berperang di

    Jepang. Dan Rawls sendiri pun mungkin akan menjadi salah satu korban

    keganasan perang.10

    Pengalaman perang bagi Rawls sedemikian buruknya hingga ia lebih

    memilih mundur ketika pangkatnya akan dinaikkan menjadi perwira. Ia bahkan

    menjadi sangat benci pada perang. Pada tahun 1946, Rawls keluar dari dinas

    militer dan memilih menjadi orang sipil. Rawls pun kemudian ikut bergabung

    dengan kelompok Harvard yang menentang perang Vietnam, dan menolak

    pengiriman mahasiswa untuk ikut wajib militer.

    Kemudian, Rawls akhirnya menjalani hidupnya dengan kembali ke dunia

    kampus untuk belajar kembali di almamater sebelumnya. Ia menulis disertasi

    9 Joe Mandle, Rawlss A Theory of Justice an Introduction, (New York: Cambridge

    University Press, 2009) , h. 6-7 10

    Joe Mandle, Rawlss A Theory of Justice.

  • 27

    untuk menjadi doktor dalam bidang filsafat moral. Pada tahun 1945-1950, tahun

    terakhir kuliahnya, Rawls sempat mengambil mata kuliah teori politik.

    Pengetahuannya dalam bidang inilah yang kemudian mendorongnya lebih jauh

    untuk menulis sebuah risalah mengenai keadilan. Oleh karena itu, apabila dihitung

    dari tahun pertama munculnya ide untuk menulis risalah tersebut, maka boleh

    dikatakan bahwa Rawls memerlukan 20 tahun untuk mempersiapkan lahirnya A

    Theory of Justice.11

    Pasca studi doktoralnya, ia mengajukan diri untuk menjadi pengajar.

    Meski Rawls adalah seorang yang brilian, tetapi Princeton rupanya tidak terarik

    untuk meliriknya. Karena itu, Rawls akhirnya menerima tawaran untuk memberi

    kuliah di Oxford. Di universitas inilah Rawls mulai merumuskan konsep the

    original position, meskipun konsep tersebut secara matang baru muncul ketika ia

    memperbaiki gagasannya mengenai "the veil of ignorance. Di Universitas

    Oxford, Rawls setahun memberi perkuliahan. Pada tahun 1953, Rawls menulis

    artikel Justice as Fairness yang merupakan gagasan inti teori keadilannya.

    Ketika itu, Rawls berusia 30-an tahun dan artikel tersebut merupakan

    artikelnya yang ketiga. Pada tahun 1960, draft A Theory of Justice

    diperkenalkannya di dalam sebuah seminar. Draft awal teori keadilan ini terus

    digumulinya secara tekun sampai pada akhirnya siap diterbitkan sebagai bukunya

    pada tahun 1971. Pada awal tahun 1960-an, Rawls mendapat sebuah kedudukan

    penting di Massachussets Institute of Technology (MIT). Akan tetapi, dua tahun

    kemudian ia pindah ke universitas Harvard dan menjadi guru besar di universitas

    11

    Joe Mandle, Rawlss A Theory of Justice, h. 16

  • 28

    tersebut hingga akhir hidupnya. Setelah terbit A Theory of Justice, Rawls masih

    terus rajin menulis berbagai artikel. Dalam arti tertentu, artikel-artikel ini

    menjelaskan lebih lanjut bahkan mengoreksi sebagian gagasannya di dalam A

    Theory of Justice, sebuah master piece yang telah menghantarnya menjadi filsuf

    terkemuka di dalam bidang filsafat moral dan politik. Pelbagai karangan itulah

    yang kemudian di-edit dan diterbitkan dalam bukunya Politcal Liberalism,

    1993.12

    Rawls menikah dengan Margaret Fox, seorang pelukis yang baru lulus dari

    bangku Universitas Brown, pada tahun 1949. Rawls sendiri juga dikenal sebagai

    seorang pengamat dan kritikus seni, khususnya seni Amerika. Pandangannya

    mengenai seni ini juga banyak membantu karya seni istrinya. Sebaliknya, istrinya

    pun sangat mendukung kariernya. Pada saat menghabiskan bulan madunya,

    mereka bersama-sama menyusun indeks sebuah buku mengenai Nietzsche yang

    ditulis oleh Walter Kauffman.

    Hingga menjelang masa pensiunnya, Rawls masih mengajar di Universitas

    Harvard. Aktivitas itu akhirnya berhenti setelah ia terkena serangkaian stroke

    yang membuat diri makin lemah hingga tidak lagi mampu mengajar. Dan pada

    tahun 2002, Rawls meninggal dunia akibat gagal jantung di rumahnya di

    Lexington, Mass. Dia meninggalkan istrinya, Margaret Warfield Fox Rawls,

    empat anak - Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox -

    dan empat cucu.13

    ***

    12

    Joe Mandle, Rawlss A Theory of Justice. 13

    Ken Gewertz, John Rawls, Influental Political Philosopher Dead at 81, artike l diakses pada 1 Maret 2009 dari http://www.news.harvard.edu/gazette/2002/11. 21/99- rawls.html

  • 29

    B. Karya-Karya Ilmiah Dan Pengaruhnya

    Rawls adalah seorang pemikir yang produktif dalam menuangkan

    gagasannya ke dalam tulisan. Gagasan Rawls tersebar dalam bentuk artikel ilmiah

    maupun buku. Artikel-artikel tersebar di berbagai jurnal filsafat terkemuka seperti

    Philosophical Review,dan Journal Philosophy, maupun di dalam buku-buku yang

    membahas tema-tema tertentu. Oleh karena itu, karya-karya Rawls disini dibagi

    dalam dua bagian: buku dan artikel. Karya-karya Rawls yang berupa artikel antara

    lain:

    1. Review of An Examination of The Place of Reason in Ethics, artikel

    dalam jurnal Philosophical Review, 1951

    2. Justice as Fairness, 1954. Artikel Rawls dalam jurnal Philosophical

    Review yang merupakan gambaran dan ide dasar awal tentang gagasan

    utama tentang keadilan yang kemudian secara komprehensif dijelaskan

    dalam bukunya A Theory of Justice.14

    3. Replay to Lyon and Teitleman, artikel dalam Journal of Philosophy,

    1972

    4. Fairness to Goodness. Artikel dalam jurnal Philosophical Review,

    1975.15

    5. Kantian Constructivism in Moral Theory. Artikel Rawls dalam Journal

    of Philosophy, 1980.

    6. Basic Liberties and Their Priority. Artikel Rawls dalam buku Liberty,

    Equality and Law, 1987.

    14

    Bur Rasuanto, Keadilan Sosial,Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: (Jakarta,

    Gramedia, 2004), h. 25 15

    Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, h. 11

  • 30

    7. Themes in Kants Moral Philosophy, artikel Rawls dalam buku Kants

    Trancendental Deductions: The Three Critiques and Opus Postumum,

    1989.16

    8. Roderick Firth, His Life and Work, artikel Rawls dalam buku

    Philosophy and Phenomenological Research, 1991.

    9. Reconciliaton through The Public Use of Reason (Reply to Jurgen

    Habermas), artikel Rawls dalam Journal Philosophy, 1992.17

    Sedangkan karya-karya Rawls yang berbentuk buku antara lain:

    1. A Study in the Ground of Ethical Knowledge, Considered with Reference

    to Judgement on the Moral Worth of Character. Ini merupakan disertasi

    Rawls untuk meraih gelar Phd.

    2. A Theory of Justice, 1971

    3. Political Liberalism, 1993

    4. The Law of Peoples, withThe Idea of Public Reason Revisen, 1999

    5. Collected Papers, buku ini merupakan kumpulan 27 artikel yang ditulis

    oleh Rawls dari tahun 1951 hingga 1998.

    6. Lectures on History of Moral Philosophy, buku ini merupakan kumpulan

    perkuliahan Rawls yang dikumpulkan oleh Barbara Herman, 2001.

    7. Justice as Fairness: A Restatement, 2001.

    16

    Thomas Pogge, John Rawls, h. 199-200 17

    Thomas Pogge, John Rawls.

  • 31

    8. Lectures on Political Philosophy, buku ini juga merupakan kumpulan

    perkuliahan Rawls ketika ia menjadi dosen yang dikumpulkan oleh

    Samuel Freeman.18

    Di antara sekian karya-karya John Rawls tersebut, A Theory of Justice -

    terbit pertama kali pada tahun 1971- adalah master piece yang membuat Rawls

    dikenal sebagai pemikir terkemuka dalam bidang filsafat politik pada abad ke-20.

    Buku ini merupakan salah satu buku paling berpengaruh dalam filsafat moral dan

    filsafat politik sepanjang seratus tahun terakhir. Buku ini tidak hanya dibaca oleh

    para pengkaji dan peminat filsafat, tetapi juga oleh orang-orang yang bekerja di

    berbagai bidang, semisal ilmu politik, hukum, dan kebijakan sosial.19 Tidak

    mengherankan apabila A Theory of Justice yang tebalnya mencapai 600 halaman

    hingga saat ini telah diterjemahkan ke 23 bahasa dari berbagai macam bahasa di

    dunia.

    Buku ini dianggap telah membangkitkan dan mensemarakkan kembali

    gairah kajian filsafat politik yang sebelumnya sempat meredup. Sampai lebih

    separuh pertama abad ke-20, filsafat politik tidak mengalami perkembangan

    istimewa karena tidak ada lagi karya-karya besar yang lahir sejak karya John

    Stuart Mill. Keadaan itu berubah setelah terbit A Theory of Justice, 1971. A

    Theory segera mendapat sambutan luas, dan dibicarakan di berbagai jurnal filsafat

    dan mimbar akademi, khususnya di wilayah berbahasa Inggris. Buku ini telah

    melahirkan sejumlah tanggapan, sambutan dan perdebatan di berbagai jurnal

    18

    Untuk semua sumber informasi pada bagian karya berbentuk buku yang ditulis Rawls,

    penulis merujuk seluruhnya pada buku Thomas Pogge sebagai telah disebut diatas. Thomas

    Pogge, John Rawls, h.200 19

    Paul Graham, Rawls, (Oxford: OneWorld, 2007), h. vii

  • 32

    maupun mimbar akademik. Setelah A Theory terbit, wacana filsafat politik

    mengalami perkembangan dan orientasi baru, bahkan bergerak meluas dari tema

    sentral keadilan sosial ke masalah hak, kebebasan, human subject, komunitas, dan

    teori moral sendiri, memperkaya tema-tema tradisional seperti masalah legitimasi,

    kekuasaan, hakikat hukum dan lainnya.

    Arti penting A Theory of Justice dalam kajian filsafat setidaknya

    mencakup dua hal, sebagaimana diutarakan Will Kymlicka. Kymlicka

    mengatakan A Theory memiliki dua arti penting. Pertama, Rawls memiliki arti

    penting historis tertentu dalam mendobrak intusionisme dan utilitarianisme.

    Sebagaimana diketahui, utilitarianisme adalah pandangan moral yang

    mendominasi seluruh periode filsafat modern, sekaligus menjadi doktrin moralitas

    politik paling dominan. Berbagai kritik ditujukan kepada utiltarianisme karena

    dianggap tidak mampu menjamin keadilan sosial, dan menempatkan manusia

    sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan.

    Sejumlah pandangan dan teori muncul dari berbagai pemikir untuk

    mengatasi pandangan utilitarianisme. Satu di antaranya adalah John Rawls. Teori

    keadilannya salah satu tujuannya adalah mengatasi dan membersihkan

    utilitarianisme dari teori-teori keadilan. Kedua, teori Rawls mendominasi filsafat

    politik, bukan dalam arti disepakati secara luas, tetapi dalam arti bahwa para ahli

    teori yang muncul belakangan harus mempertegas dirinya sebagai dirinya

    berlawanan dengan Rawls atau tidak. Mereka menjelaskan apa teori mereka

    dengan membandingkannya dengan teori Rawls. Kita tidak akan dapat

  • 33

    memahami karya tentang keadilan yang muncul belakang ini jika kita tidak

    memahami Rawls, kata Kymlicka.20

    Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Will Kymlicka, polemik sekitar

    buku Rawls membawa dampak positif dalam merangsang dilakukannya

    penelitian-penelitian luas dan mendalam dalam filsafat praktis, baik dari sisi

    filsafat politik maupun dari sisi filsafat moral. Hal itu juga diikuti suburnya karya-

    karya baru baik berupa artikel di jurnal-jurnal dan rangkaian publikasi besar yang

    langsung maupun tidak langsung membahas tema-tema di atas. Publikasi-

    publikasi filsafat praktis setelah terbitnya A Theory of Justice umumnya bertolak

    dari, mengacu kepada, dirangsang oleh, atau bahkan mengarahkan sasaran

    terhadap tesis Rawls.

    Karya Rawls lainnya yang juga penting adalah Political Liberalism, terbit

    pertama kali pada tahun 1993. Isi buku ini di samping mengoreksi beberapa aspek

    teori yang sudah dikemukakannya, juga memperjelas pikiran-pikiran pokok yang

    mendasari status teorinya justice as fairness sebagai konstruktivisme politik. Di

    buku ini, Rawls mengemukakan bahwa teori keadilannya berada dari latar tradisi

    politik tertentu, yakni tradisi politik liberalisme. Hal ini menegaskan bahwa

    prinsip keadilannya didasarkan pada landasan politik bukan landasan metafisis

    dari nilai atau kepercayaan tertentu dalam kelompok masyarakat.

    Lalu ada Law of Peoples yang terbit pada tahun 1996. Buku ini membahas

    mengenai pandangan Rawls tentang masalah keadilan dalam konteks hubungan

    internasional. Di sini Rawls membahas mengenai prinsip-prinsip keadilan dalam

    20

    Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus Teori -Teori

    Keadilan, terj. Agus Wahyudi, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 70

  • 34

    kontek hubungan internasional. Hal ini merupakan perluasan dan kelanjutan dari

    gagasannya sebelumnya mengenai prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar

    masyarakat.

    C. Latar Belakang Tradisi Pemikiran

    Lingkup pemikiran ataupun teori seorang filsuf tidak lahir begitu saja dari

    ruang hampa. Seringkali teori ataupun pemikiran lahir sebagai kritik,

    pengembangan, perluasan dan sebagainya, atas teori ataupun tradisi pemikiran

    yang telah ada sebelumnya. Begitu juga halnya dengan pemikiran John Rawls. Di

    sini, penulis hanya menulis secara singkat tradisi-tradisi pemikiran yang berkaitan

    dengan teori keadilannya. Antara lain, tradisi politik liberalisme egalitarian, tradisi

    kontrak sosial semisal John Locke, JJ. Rousseau, dan pandangan utilitarianisme.

    Pertama, tradisi politik liberalisme. Liberalisme adalah doktrin moralitas

    politik normatif, atau filsafat politik normatif, yakni seperangkat argumen moral

    mengenai justifikasi tindakan politik dan institusi-institusi. Rawls sendiri

    memahami liberalisme sebagai produk zaman Reformasi abad ke-16 di Eropa

    yang melahirkan pluralitas agama, berkembangnya negara modern dengan

    administrasi pusat yang menggeser kekuasaan raja, dan berkembangnya sains

    modern pada abad ke-17.21

    Liberalisme menuntut masyarakat ditata secara netral dan adil, tanpa acuan

    pada nilai dan kepercayaan masing-masing kelompok. Masyarakat yang tertata

    dengan baik ialah masyarakat yang diatur dengan adil. Dalam arti, masyarakat

    tertata baik atau gambaran mengenai masyarakat ideal ialah apabila ia didasarkan

    21

    John Rawls, Political Liberalism, (New York: Columbia University Press, 1993), h.

    xxii-xxiii

  • 35

    pada prinsip moral dasar. Dan keadilan adalah prinsip moral dasar. Para filsuf

    yang berada dalam tradisi ini antara lain Jurgen Habermas, John Rawls, Karl Otto

    Apel, dan sebagainya. Dalam tradisi Immanuel Kant, mereka mencari prinsip-

    prinsip moral dasar kehidupan masyarakat. Dan karena prinsip moral dasar adalah

    keadilan, maka mereka mencari pendasaran suatu prinsip universal. 22 Karena itu,

    filsuf ini juga sering disebut filsuf Neo-Kantian.

    Dengan demikian, teori keadilan Rawls yang dikembannyak berasal dalam

    tradisi liberalisme. Konsekuensinya, teorinya hanya cocok diterapkan dalam

    masyarakat yang tradisi politiknya adalah demokrasi liberal, atau demokrasi

    konstitusional. Tetapi perlu dilihat bahwa liberalisme Rawls berbeda dengan

    liberalisme klasik yang justru dikritik olehnya. Bahkan bisa dikatakan liberalisme

    Rawls melampaui titik perjuangan liberalisme itu sendiri dan juga sosialisme.

    Karena teorinya berhasil menyatukan dua nilai dasar, kebebasan dan

    kesamaan, yang selama ini sulit disatukan, bahkan seolah mustahil. Dalam prinsip

    keadilannya, Rawls menempatkan persamaan dalam kerangka persamaan hak-hak

    dan kebebasan fundamental. Oleh karena itu, liberalisme Rawls harus dililhat

    liberalisme egalitarian, bukan dalam kerangka liberalisme klasik. Karena

    masyarakat yang diatur menurut prinsip kebebasan saja, justru yang terjadi adalah

    ketidakbebasan, sementara jika didasarkan pada prinsip kesamaan saja, yang

    terjadi justru ketidaksamaan.

    Kedua, tradisi kontrak sosial. Tujuan Rawls menggunakan teori kontrak

    sosial karena, menurutnya, masyarakat tertata dengan baik (well-ordered society)

    22

    Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan,

    dari Adam Muller ke Postmodernisme, (Yogyakarta, Kanisius, 2005) h.198

  • 36

    apabila ada kesepakatan bersama dari semua orang mengenai apa yang adil dan

    tidak adil dalam masyarakat. Secara tradisional, teori kontrak sosial dilihat

    sebagai alat konseptual untuk menjelaskan munculnya masyarakat, atau untuk

    melegitimasi kekuasaan negara. Tapi bagi Rawls, kontrak sosial digunakan Rawls

    untuk melegitimasi prinsip-prinsip keadilan sosial yang akan mengatur struktur

    dasar masyarakat. Agar pengaturan bisa efektif maka prinsip-prinsip itu harus

    diterima semua orang.

    Oleh karena itu, ia menggunakan pendekatan kontrak sosial untuk

    menjustifikasi prinsip-prinsip keadilannya. Prinsip-prinsip keadilan Rawls

    didasarkan pada dua argumen dasar, intuitif dan teoritik atau rasional. Nah, teori

    kontrak sosial itu digunakan sebagai argumen rasional Rawls dalam membenarkan

    argumen intutif. Kontrak sosial yang telah dimodifikasi oleh Rawls dalam

    teorinya dikenal dengan nama original position, atau kira-kira sama state of

    nature pada kontrak tradisional.

    Tetapi ada perbedaan antara kontrak sosial Rawls dengan kontrak

    tradisional. Rawls bersifat hipotetis, lainnya bersifat historis; kontraktor Rawls

    adalah setara, bebas, dan rasional, lainnya justru kontraktornya tidak dalam

    keadaan sama, semisal pada Hobbes yang kesepakatan agar tidak terjadi perang

    semua lawan semua. Orang-orang dalam kontrak Rawls adalah mahluk moral,

    yakni tahu mana yang baik bagi dirinya, dan tahu apa yang adil sehingga

    kesepakatan mengenai apa yang adil sebagai dasar kerja sama sosial masyarakat

    mereka menjadi mungkin.

  • 37

    Ketiga, Utilitarianisme dan Intusionisme. Secara khusus, Rawls melihat

    teorinya sebagai suatu kritik terhadap teori-teori keadilan sebelumnya yang

    menurutnya gagal memberikan suatu konsep keadilan sosial yang tepat bagi kita.

    Kegagalan teori-teori terdahulu itu, disebabkan oleh substansinya yang sangat

    dipengaruhi oleh utiltarianisme atau oleh intusionisme. Utilitarianisme sebagai

    dicatat pada kata pengantar A Theory of Justice,23 telah menjadi pandangan moral

    yang sangat dominan pada seluruh periode filsafat moral modern.

    Secara umum, utilitarianisme mengajarkan bahwa benar salahnya

    peraturan atau tindakan manusia tergantung pada konsekuensi langsung dari

    peraturan atau tindakan tertentu yang dilakukan. Dengan demikian, baik buruknya

    tindakan manusia secara moral sangat tergantung pada baik buruknya konsekuensi

    tindakan tersebut bagi manusia. Tegasnya, apabila akibatnya baik, maka sebuah

    peraturan atau tindakan dengan sendirinya akan menjadi baik. Demikian pula

    sebaliknya. Utilitarianisme ditolak karena dianggap gagal untuk menjamin

    keadilan sosial. Karena kegagalan ini, maka utiltiarianisme tidak tepat bila

    dijadikan basis untuk membangun konsep keadilan sosial.24

    Rawls juga mengkritik intusionisme karena tidak memberi tempat

    memadai pada asas rasionalitas. Intusionisme dalam proses pengambilan

    keputusan (moral) lebih mengandalkan kemampuan intuisi manusia. Oleh karena

    itu, pandangan ini juga tidak memadai apabila dijadikan pegangan dalam

    mengambil keputusan, terutama ketika terjadi konflik di antara norma-norma

    moral. Di sini, prioritas nilai akan menjadi problem yang sulit ditemukan

    23

    John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan

    Kesejahteraan dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. v 24

    Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, h. 21

  • 38

    pemecahannya apabila setiap orang cenderung menggunakan intuisi daripada akal

    sehat dalam melakukan pertimbangan dan mengambil keputusan. Dalam

    perspektif itu juga, pelbagai generalisasi etis dapat disebut benar meskipun tidak

    didukung oleh argumen yang sungguh-sunguh dapat dipertanggungjawabkan.

    Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan dan keputusan moral akan

    menjadi subjektif atau kehilangan objektivitas.25

    Dari latar belakang tradisi pemikiran singkat sebagaimana penulis jelaskan

    di atas, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut. Belajar dari teori-teori

    keadilan sebelumnya, maka Rawls berusaha membangun teori keadilan yang

    mampu menegakkan dan menjamin keadilan sosial (kritik atas utilitarianisme) dan

    sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara objektif (kritik atas intusionisme).

    Tegasnya, Rawls hendak membangun sebuah konsep keadilan sosial dalam

    perspektif demoraksi (tradisi politik liberalisme). Oleh karena itu, teori keadilan

    yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak (tradisi kontrak sosial),

    di mana prinsip-prinsip keadilan sosial yang dipilih sebagai pegangan bersama

    sungguh-sungguh merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang

    bebas, sederajat, dan rasional

    Demikian ini pembahasan dalam bab kedua yang membahas mengenai

    riwayat hidup dan pendidikan, karya-karya dan pengaruhnya serta latar tradisi

    pemikiranya yang memengaruhi pemikirannya, khususnya teori keadilannya.

    Sebagaiman hal itu akan kita lihat pada bab ketiga yang hendak memberikan

    gambaran umum atas teorinya.

    25

    Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi;

  • 39

    BAB III

    TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL

    A. Pengertian dan Hakikat Keadilan

    Banyak definisi tentang keadilan yang telah dikemukakan oleh para

    pemikir dalam kajian filsafat moral. Bahkan diskursu mutakhir filsafat politik

    bermuara pada masalah ini sesuai dengan kecenderungan dasar pemikir

    bersangkutan. Namun setiap definisi tentang keadilan selalu terjebak pada

    persoalan yang sama, yaitu pembatasan atau penyempitan keadilan itu sendiri.

    Sementara keadilan merupakan wilayah yang sangat luas bahkan tersembunyi

    karena berkenaan dengan nilaisehingga nyaris tak dapat didefinisikan. Pada

    posisi ini, menentukan atau menunjukkan ketidakadilan relatif lebih mudah

    daripada mendefinisikan keadilan. Oleh sebab itu, kebanyakan para pemikir lebih

    berkonsentrasi pada prinsip-prinsip yang menentukan terwujudnya keadilan

    ketimbang mendefinisikannya.

    Dalam al-Quran, misalnya, tidak ada definisi yang komprehensif

    mengenai keadilan kecuali hanya disebutkan kata adil (adl) saja. Hal ini menuntut

    penelusuran lebih jauh untuk mengetahui keadilan dan penerapannya dalam

    konteks kehidupan bermasyarakat. Menurut Muhammad Baqir al-Shadr, intuisi

    dan pikiran dapat mengetahui nilai-nilai umum yang akan memerintah setiap

    tindakan seseorang. Melalui itu, perilaku benar dan salah, baik dan buruk dapat

    ditemukan, demikan pula keadilan. Ia menyatakan:

    Ini (nilai-nilai umum yang diperoleh dari intuisi dan pikiran) adalah nilai-nilai yang menegaskan adalah kebenaran dan kebaikan, dan perbuatan

  • 40

    salah (ketidakadilan) adalah batil dan jahat. Kami juga percaya bahwa

    barang siapa yang berurusan secara adil dengan orang lain layak dihormati dan dipuji dan barang siapa yang berbuat kesalahan dan pengkhianatan layak mendapat sebalik.1

    Lebih lanjut, dalam literatur filsafat politik, keadilan sosial secara umum

    seringkali didefinisikan sebagai keadilan yang berkaitan dengan pembagian

    nikmat dan beban dari kerja sama sosial, khususnya yang termanifestasi dalam

    lembaga yang disebut negara. Keadilan sosial adalah pokok persoalan filsafat

    politik, yakni bagian dari filsafat praktis yang mengkaji dimensi moral yang

    mengendalikan tindakan-tindakan politik. Konsep keadilan sosial berkenaan

    dengan prinsip-prinsip yang mengatur pembagian nikmat dan beban. Dan teori

    keadilan merupakan teori yang berusaha merumuskan prinsip-prinsip keadilan

    sosial atau lebih khusus lagi, prinsip-prinsip bagi pembagian yang adil, dalam

    konteks keadilan distributif.2

    Adapun hakikat keadilan itu sendiri memilliki memiliki tradisi yang

    panjang. Keadilan adalah salah satu keutamaan yang menjadi tujuan manusia.

    Keadilan, bisa dikatakan, merupakan keutamaan terpenting yang mendasari

    seluruh dimensi kehidupan sosial dan politik. Keadilan adalah salah satu topik

    yang sejak lama hampir selalu mengiringi sejarah peradaban manusia. Salah satu

    peradaban tua yang menjunjung tinggi keadilan adalah Imperium Romawi Kuno.

    Di mana Justicia, Sang Dewi Keadilan yang kita kenal dewasa ini sebagai

    lambang keadilan merupakan warisan dari peradaban kuno tersebut.

    1 Muhammad Baqir al-Shadr, The Revieveler, the Messanger, the Message, terj.

    Mahmoed M Ayoub. (Tehran: Word Organization for Islamic Service, 1986), h. 75 2 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas.Dua

    Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 8

  • 41

    Suatu definisi keadilan sederhana sudah diberikan sejak di zaman Romawi

    Kuno dan malah mempunyai akar-akar lebih tua lagi. Definisi keadilan

    digambarkan dengan singkat sekali sebagai tribuere cuique suum. Atau kalimat

    Latin itu juga dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai : to give everybody his

    own, atau dalam bahasa Indonesia: memberikan kepada setiap orang yang

    menjadi miliknya.3

    Definisi keadilan kuno itu bisa diterjemahkan juga sebagai memberikan

    kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Sebagai terjemahan, kalimat

    terakhir ini sebenarnya tertalu bebas dan mengandung semacam anakronisme,

    karena hak merupakan suatu pengertian modern yang belum dikenal dalam teks-

    teks kuno. Istilah hak mengalami suatu perkembangan yang berbelit-belit dan

    baru diterima dalam arti seperti kita kenal sekarang pada akhir abad ke-18. tetapi

    apa yang belum bisa dikatakan oleh ahli hukum Roma itu karena belum

    mempunyai pengertiannya, sebetulnya sudah dmaksudkan olehnya. Dalam hal ini,

    titik tolak refleksi tentang keadilan memang sebaiknya menjadi demikian:

    keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. 4

    Lebih lanjut, perdebatan mengenai hakikat keadilan secara rasional telah

    menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah manusia, khususnya sejak

    sekitar abad ke-5 SM. Hakikat keadilan diperdebatkan oleh para filsuf pada zaman

    Yunani. Karena itu, sering disebut bahwa keadilan sebagai kajian filsafat boleh

    dikatakan sudah sejak awal sejarah filsafat itu sendiri. Karya terkenal Plato

    Republic bahkan biasa diberi anak judul Tentang Keadilan. Di sana Plato,

    3 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2001),

    h. 6 4 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedi, 1987), h.54

  • 42

    misalnya menampilkan perdebatan mengenai hakikat keadilan antara Socrates

    dengan para tokoh antara lain seperti Thrasymachos dan Glaucon.5

    Thrasymachos, tokoh Sofis radikal, mengatakan keadilan adalah apa yang

    menguntungkan yang lebih kuat. Lihatlah undang-undang dan peraturan, semua

    dibuat sesuai dengan keperluan dan kepentingan yang lebih kuat. Socrates dengan

    gayanya yang khas bereaksi kalau seorang atilit memerlukan banyak makan

    daging agar tetap kuat, apakah itu artinya keadilan? Glaucon, adik Plato, tampil

    dengan pendapat keadilan adalah kompromi. Dalam masyarakat ada yang mampu

    berbuat tak adil lolos tanpa hukuman, dan ada pula mereka yang menderita

    perlakuan tak adil tanpa dapat membela diri; keadilan letaknya di tengah antara

    kedua eksterm itu. Pendapat hampir sejalan dikemukan oleh Chepalus, seorang

    hartawan terkemuka Athena, bahwa adil tak lain dari apabila orang bersikap fair

    dan jujur dalam membuat kesepakatan. Hasil kompromi ditaati bukan sebagai

    yang secara moral bernilai baik atau buruk, melainkan sebagai keharusan menaati

    kesepakatan namun menguntungkan, karena alternatifnya adalah, perang semua

    melawan semua, sebagai kata Thomas Hobbes.6 Pemikiran ini merupakan benih

    teori kontrak sejak Thomas Hobbes.

    Plato menolak konsep keadilan amoral atau non moral itu. Bagi Plato,

    keadilan bukanlah konvensi melainkan konsep yang dapat diperoleh dan

    dirumuskan oleh rasio yang tercerahkan. Plato berkeyakinan bahwa negara ideal

    apabila didasarkan atas keadilan, dan keadilan baginya adalah keseimbangan atau

    harmoni. Harmoni di sini artinya bahwa warga hidup sejalan dan serasi dengan

    5 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral.

    6 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 7-8

  • 43

    tujuan negara (polis), di mana masing-masing warga menjalani hidup secara baik

    sesuai kodrat dan posisi sosialnya. Raja memerintah dengan bijaksana, tentara

    hanya memusatkan perhatian selalu siap untuk perang, budak mengabdi sebaik-

    baiknya sebagai buda. Negara akan jadi kacau kalau misalnya tentara ingin,

    apalagi sudah, merangkap jadi pedagang, atau budak berusaha jadi tuan. Wawasan

    mengenai perubahan sosial tidak dikenal di sini. Paham keadilan Yunani klasik

    masih dalam kerangka etika keutamaan atau kebijaksanaan.7

    B. Tiga Ciri Umum Keadilan

    Secara umum, ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan : keadilan

    tertuju pada orang lain, keadilan harus ditegakkan, dan keadilan menuntut

    persamaan. Tiga unsur hakiki yang terkandung dalam pengertian keadilan ini

    perlu dijelaskan lebih lanjut.

    Pertama, keadilan selalu tertuju pada orang lain atau keadilan selalu

    ditandai other directness. Corak sosial ini sudah ditunjukkan Aristoteles.

    Aristoteles menyebut keadilan sebagai kebajikan utama. Lebih dari itu ia

    berpendapat bahwa keadilan begitu utamanya sehingga di dalam keadilan termua

    semua kebajikan. Dengan demikian, keadilan merupakan kebajikan yang lengkap

    dalam arti seutuhnya karena keadilan bukanlah nilai yang harus dimiliki dan

    berhenti pada taraf memiliknya bagi diri sendiri. Melainkan keadilan keadilan

    juga harus merupakan pelaksanaan aktif, dalam arti harus diwujudkan dalam

    relasi dengan orang lain.8

    7 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik

    dari Zaman Kuno hingga Sekarang, cet. ke-2, terj., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 ), h. 241 8 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawl ,s

    (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 23

  • 44

    Kedua, keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan. Tuntutan ini

    bermakna bahwa keadilan menuntut ketidakadilan dihapuskan, sekaligus juga

    menuntut keadilan untuk ditegakkan. Dua dimensi makna ini: positif dan negatif

    bukan dua hal terpisah, melainkan satu kesatuan. Umumnya, kesepakatan bersama

    mengenai ketidakadilan atau apa yang tidak adil lebih mudah tercapai, ketimbang

    menentukan sebaliknya. Tuntutan keadilan adalah kewajiban merupakan

    pengertian modern tentang keadilan.

    Paham keadilan dalam konteks Yunani Klasik masih dalam kerangka etika

    keutamaan atau kebijaksanaan. Pertanyaan etika Yunani Klasik: apa yang harus

    saya lalukan agar bernilai baik? Keadilan baru mendapat pendasaran normatifnya

    pada etika deontologis Kant: hanya tindakan yang didasarkan atas kewajiban yang

    bernilai moral. Bagi pemikiran Yunani, keadilan adalah kebaikan, tapi bagi

    perspektif modern keadilan adalah kewajiban. Paham kewajiban atau tanggung

    jawab dalam arti modern masih belum dikenal dalam etika Yunani klasik.9

    Jadi keadilan tidak diharapkan saja atau dianjurkan saja. Keadilan

    mengikat individu sehingga individu mempunyai kewajiban. Ciri kedua ini

    disebabkan karena keadilan berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi. Kalau ciri

    pertama tadi mengatakan bahwa dalam konteks keadilan kita selalu berurusan

    dengan orang lain, maka ciri kedua ini menekankan bahwa dalam konteks

    keadilan selalu berkaitan dengan hak orang lain. Kita bisa memberikan sesuatu

    pada orang lain karena rupa-ruap alasan. Kalau kita memberikan sesuatu karena

    9 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 9

  • 45

    alasan keadilan, kita selalu harus atau wajib memberikannya. Sedangkan kalau

    kita memberikan sesuatu karena alasan lain, kita tidak wajib memberikannya.

    Misalnya, kita memberi minuman kepada tamu untuk menghormatinya.

    Kita tidak wajib memberikannya. Atau kita memberi derma kepada pengemis

    karena kemurahan hati. Satu kali kita berikan, lain tidak kita berikan. Kita tidak

    mempunyai kewajiban untuk memberikan derma kepada pengemis tertentu.

    Tetapi kalau memberikan karena alasan keadilan, kita wajib memberikannya.

    Majikan harus memberikan gaji yang adil kepada karyawan. Apa yang dipinjam

    harus dikembalikan kepada pemiliknya.

    Karena itu dalam konteks keadilan bisa dipakai bahasa hak atau bahasa

    kewajiban, tanpa mengubah artinya. Bila dikatakan orang A berhak mendapat

    benda X dari orang B, kalimat yang dirumuskan dalam bahasa hak ini bisa

    diterjemahkan ke dalam bahasa kewajiban sebagai orang B wajib memberi benda

    X kepada orang A. Dari segi tata bahasa, dua kalimat ini tidak sama, tapi dari

    segi etika artinya persis sama, karena korelasi antara hak dan kewajiban

    Ketiga, keadilan menuntut persamaan (equality).10 Atas dasar keadilan,