politik islam _ al-mawardi. oleh m. syafi'i ws al-lamunjani _makalah 2009

23
1 PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI Makalah: Yang telah dipresentasikan pada tanggal 8 desember 2009 Pada Mata Kuliah Pemikiran Politik Islam Sebagai Prasyarat Perkuliahan Oleh: Muhammad Syafi’ie WS Nim: 070303100 Prof. DR. Hatamar Rasyid, MA Dosen Pengampu KONSENTRASI TAFSIR HADITS PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM PASCASARJANA IAIN RADEN FATAH PALEMBANG 2009

Upload: riapermata19

Post on 24-Jun-2015

1.229 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

1

PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI

Makalah:

Yang telah dipresentasikan pada tanggal 8 desember 2009 Pada Mata Kuliah Pemikiran Politik Islam

Sebagai Prasyarat Perkuliahan

Oleh: Muhammad Syafi’ie WS

Nim: 070303100

Prof. DR. Hatamar Rasyid, MA Dosen Pengampu

KONSENTRASI TAFSIR HADITS PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

PASCASARJANA IAIN RADEN FATAH PALEMBANG 2009

Page 2: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

2

PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI

Oleh: Moh. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2009)

A. PENDAHULUAN

Secara umum, politik itu terbagi menjadi dua macam: politik syar’i (politik Islam)

dan politik non-syar’i (politik non-Islam). Politik syar’i berarti upaya membawa

semua manusia kepada pandangan syar’i dan khilafah (sistem pemerintahan Islam)

yang berfungsi untuk menjaga agama (Islam) dan urusan dunia. Adapun politik non-

syar’i atau politik versi manusia adalah politik yang membawa orang kepada

pandangan manusia yang diterjemahkan ke undang-undang ciptaan manusia dan

hukum lainnya.

Apabila berbicara tentang politik berarti juga berbicara tentang negara,

maka orang akan berasumsi kepada kekuasaan atau segala yang berhubungan dengan

kebijaksanaan dalam pemerintahan suatu Negara. Politik itu biasanya mengacu

kepada kekuasaan dan kebebasan yang memiliki manusia agar tidak terjadi suasana

“homo homoni lupus” manusia menjadi serigala bagi manusia lain, dan tidak terjadi

situasi hukum rimba. Maka perlu diorganisir dengan hukum-hukum yang harus

dipedomi oleh masyarakat khususnya oleh penguasa yang memegang kendali

kekuasaan.1

Sebagaimana diketahui bahwa dunia Islam di masa lalu banyak

menghasilkan tokoh dan pemikir-pemikir besar yang nama dan karyanya sampai

sekarang masih dipakai dan dijadikan rujukan dalam menghadapi berbagai situasi dan

persoalan yang terjadi dalam konteks kehidupan umat Islam.

1 Soelestyali, 1987, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hlm. 17.

Page 3: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

3

Salah satu tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan

politik Islam, penyangga kemajuan Abbasiyah itu adalah al-Mawardi. Dia pernah

menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah, menjadi penyelamat berbagai

kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Orientalis barat menyebutnya “Al

Khatib of Baghdad,” Dengan demikian, khazanah intelektual Islam era kekhalifahan

Abbasiyah pernah mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

pemikiran keagamaan.

Di samping itu al-Mawardi juga seorang ahli fiqih khususnya berkaitan

dengan fiqh siyasi. Dalam kitabnya yang terkenal al-Ahkam al-Sulthaniyah ia

membahas tentang peribadatan dan banyak memberikan teori-teori politik yang

sampai saat ini masih relevan dan dipakai oleh sebagian umat Islam dalam mengatur

berbagai masalah yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan.

Al-Ahkam al-Sulthaniyah demikian terkenalnya dan seringkali dianggap

sebagai penjabaran paling benar dari teori politik Islam khususnya dari kalangan

Sunni. Dalam sejarah Islam kitab ini merupakan risalah pertama yang ditulis dalam

bidang ilmu politik dan administrasi negara secara terperinci.

Melalui makalah ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan al-

Mawardi, baik tentang riwayat hidupnya, pemikiran politik al-Mawardi dan karya-

karya al-Mawardi.

B. RIWAYAT HIDUP AL-MAWARDI DAN KONDISI POLITIK PADA

MASANYA

Al-Mawardi hidup pada masa kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah yang sedang

mengalami berbagai gejolak dan disintegrasi. Khalifah-khalifah Abbasiyah benar-

benar dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Kedudukan khalifah melemah dan dia

harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan

Turki dan Persia. Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang

Page 4: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

4

demikian luas wilayahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal. Pada

waktu itu khalifah di Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan

kekuasaan formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan

pelaksana pemerintahan adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima

berkebangsaan Turki atau Persia, serta penguasa-penguasa wilayah.

Al-Mawardi adalah seorang ahli fiqih Madzhab Syafi’i, ahli Hadits, pemikir

politik Islam, hakim agung (Qadhi al-Qudhat) Dinasti Abasiyah, penulis yang

produktif; terutama di bidang hukum dan politik. Ia tergolong faqih terbesar pada

zamannya.2

Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin Habib al-Mawardi. Lahir di kota

pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 364-450 H atau 9975-1059 M.3

Al-Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Kota Basrah

merupakan salah satu pusat pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan penting dunia

waktu itu.

Ia belajar ilmu hukum dari Abu Qasim Abdul Wahid as-Saimari, seorang

ahli hukum mazhab Syafi’i yang terkenal. Kemudian pindah ke Baghdad melanjutkan

pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusastraan dari Abdullah al-Bafi dan Syaikh

Abdul Hamid al-Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-

ilmu agama, seperti hadits dan fiqh, filsafat, etika, sastra dan politik.

Al-Mawardi telah menjabat sebagai hakim di berbagai tempat, kemudian

diangkat sebagai Qadhi di Ustuwa, sebuah distrik di Nishapur. Pada 429 H, ia

2 TIM UIN Syarif Hidayatullah, 2005, Ensiklopedi Islam, (Jakrata: Ichtiar Baru Van

Hoeve), Jilid V, hal. 2 3 http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/ilmu-politik/pemikiran-politik-

islam-klasik, 05-06-2008. lihat juga: Muhahammad Diya’ al-Din, 1960, al-Nadhriyat al-Siyasiyah al-Islamiyah, (Kairo: al-Maktabah almisriyah), hal. 93

Page 5: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

5

dinaikkan ke jabatan kehakiman yang paling tinggi “Qadhi Agung” di Baghdad,

jabatan yang dipegangnya dengan hormat sampai pada wafatnya.4

Al-Mawardi juga dikenal sebagai tokoh dari kalangan ahli sunnah yang

sangat gigih mempertahankan sistem politik Islam ditengah-tengah supremasi dan

kewibawaan politik yang disegani selama berabad-abad. Ia menjadi hakim yang

terkenal pada masa pemerintahan Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah al-Qadir.

Karir al-Mawardi meningkat pesat setelah ia menetap kembali di Baghdad, yaitu

ketika ia menjadi Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) penasehat raja atau khalifah

dalam bidang hukum agama dan pemerintahan.

Meskipun beraliran suni yang bermadzhab Syafi’i, al-Mawardi tetap

disenangi, baik penguasa Bani Abbas yang suni maupun oleh penguasa Dinasti

Buwaihi yang syi’ah. Bani Buwaihi senang padanya, karena Mawardi juga sering kali

menyelesaikan pertikaian antara mereka.5

C. PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI

Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa melalui dengan membaca karyanya, al-

Ahkaam al-Sulthaniyah (Hukum-hukum Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya.

Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku al-Ahkaam al-

Sulthaniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.

Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsip-prinsip politik kontemporer

dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran maju, bahkan

sampai kini sekalipun. Misalnya, dalam buku itu dibahas masalah pengangkatan

imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima

perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana. Selain

4 Jamil Ahmad, 2003, Seratus Muslim terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus), hlm. 201 5 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 2

Page 6: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

6

itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, dan ghanimah (harta peninggalan dan

rampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda

status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah,

masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.6

Pemikiran politiknya dilandasi dengan kerangka teori politik yang

berdasarkan prinsip Islam (fiqh), sesuai dengan disiplin ilmu yang didalaminya.

Artinya, pemikiran politiknya berdasar pada kerangka teori politik yang sesuai

dengan prinsip hukum Islam. Al-Mawardi berjasa besar karena mampu menghimpun

dasar ajaran Islam serta pendapat para fuqaha pendahulunya, lalu menyusunnya ke

dalam rumusan logis dan sistematis, sehingga menjadi teori dan pegangan yang

memiliki kekuatan hukum dalam pandangan masyarakat Islam di zaman berikutnya.7

Sebagai seorang mujtahid, ia tidak hanya mengumpulkan pendapat para

fuqaha pendahulunya, namun dengan kejeniusannya ia juga berijtihad dalam berbagai

masalah. Terkadang ia mengeluarkan pendapat baru yang orisinel, yang terkadang

bertentangan dengan pendapat-pendapat sebelumnya.

1. Negara dan Pemerintahan

Sampai saat ini tidak ada satupun definisi negara yang diakui semua pihak.

Para ahli ilmu kenegaraan saling berbeda pendapat tentang pengertian negara. Secara

sederhana, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan negara adalah organisasi

yang menaungi semua pihak dalam suatu wilayah tertentu. Yang dimaksud menaungi

pada kalimat diatas, bisa diartikan menguasai, mengayomi, mengurus, atau ketiga-

tiganya. Sedang yang dimaksud dengan semua pihak berarti semua orang (individu)

atau badan (lembaga, organisasi) yang mendiami suatu wilayah.

6 http://blogspot.com/2008/02/politik-muslim-dan-islamisasi.htm, 05-06-2008 7 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3

Page 7: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

7

Dalam Islam negara sangat dibutuhkan manusia, dan pembentukannya

merupakan suatu kewajiaban yang bersifat syar’i (kewajiban keagamaan), bukan aqli

(kewajiban karena rasio). Dalilnya adalah ijma’ atau konsensus kaum muslimin pada

masa sahabat setelah ditinggal Rasulullah SAW, di samping itu juga kutipan beberapa

ayat dan Hadits yang menguatkannya.

Mayoritas proses pembentukan negara yang dikemukakan ulama muslim

dipengaruhi oleh pemikiran filsafat politik ilmuan Yunani seperti Plato dan

Aristoteles, yang lebih menonjolkan aspek logika dari aspek religius (agama).

Mengenai asal mula tumbuhnya sebuah negara, al-Mawardi berbeda dibandingkan

dengan Plato, Aristoteles dan Ibn Rabi yang tidak memasukkan unsur agama dalam

teori politiknya. Al-Mawardi berpendapat bahwa dalam membentuk sebuah negara

manusia harus melakukan kerjasama antara yang satu dengan yang lainnya, sebab

manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami

untuk bermasyarakat, dan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sendiri tanpa

bantuan orang lain. Lebih jauh lagi al-Mawardi berpendapat, bahwa perbedaan bakat,

pembawaan dan kehampaan antara manusia dan bekerjasama.8

Menurut Mawardi, manusia tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi

kebutuhannya sendiri-sendiri; manusia itu berbeda-beda menurut bakat,

kecenderungan dan kemampuan. Oleh karena itu manusia harus saling membantu dan

bersatu dalam satu organisasi yang disebut negara. Dengan demikian

keanekaragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, kecenderungan alami serta

kemampuan manusia, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling

membantu dan akhirnya sepakat membentuk negara.

Karena perbedaan watak, sifat dan keberagaman manusia, maka ia

membutuhkan manusia lainnya, khususnya mereka yang memiliki kelebihan. Al-

Mawardi memperkuat teori kerjasama sosial itu dengan mengutip surat al-Nahl ayat

8 Hatamar, 2000, Laporan Penelitian: Pemikiran Polotik Al-Mawardi dan Relevansinya dengan Pemikiran Politik Modern (Palembang: IAIN Raden Fatah), hal. 25.

Page 8: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

8

71, yang artinya : “Allah melebihkan sebagian kamu rizki dari yang lain”. Atas dasar

inilah kemudian pemenuhan kebutuhan yang satu dipenuhi oleh yang lain. Memenuhi

semua kebutuhan itulah kemudian manusia membuat kesepakatan atas dasar

kepentingan bersama dan dipedomani oleh aturan-aturan yang membuat mereka,

yaitu syari’at agama, dalam sebuah institusi atau lembaga yang disebut negara (al-

Daulah, al-Shultanah, al-Khalifah, dsb). 9

Sebuah negara Islam dinilai baik, menurutnya memenuhi beberapa

persayaratan sebagai berikut: 10

A. Agama.

Keyakinan agama berfungsi sebagai kekuatan moral yang mampu

mengendalikan keinginan dan hawa nafsu manusia. syarat ini merupakan

sendi utama sebagai pilar utama sekaligus sebagai pengontrol dan

pengendali keinginan-keinginan manusia yang bermacam-macam.

B. Penguasa Karismatik.

Seorang penguasa diharuskan mempunyai karismatik, berwibawa dan dapat

diteladani. Syarat ini merupakan penopang pilar negara dimana ia menjadi

alat pemersatu dari aspirasi-aspirasi yang berbeda. Penguasa karismatik

dapat membina dan menata negara untuk mencapai sasaran-sasaran yang

luhur yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, menjaga

agar agama dihayati dan dijalankan, melindungi jiwa, kekayaan dan

kehormatan warga negara, serta menjamin eksistensi negara dari ancaman-

ancaman yang timbul, baik dari internal maupun eksternal.

C. Keadilan Merata.

9 Ibid, hlm. 54-55. 10 Al-Mawardi, 1971, Adab al-Qadhi, (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad), hal. 5-6

Page 9: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

9

Keadilan merupakan syarat yang sangat penting, sebab dengan keadilan

yang merata akan tercipta keakraban sesama warga negara, menimbulkan

rasa hormat dan ketaatan kepada pemimpin, menyemarakkan kehidupan

rakyat dan menumbuhkan karya dan prestasi masyarakat.

D. Keamanan yang Kuat dan Menjamin.

Dengan adanya keamanan yang kuat dan menjamin maka rakyat akat

merasa tenang dan tidak ada rasa takut. Keamanan merupakan syarat utama

berlangsungnya penyelenggaraan sebuah negara. Apabila rasa aman dan

tenang tercipta, maka rakyat pun akan semakin taat pada pimpinan.

E. Kesuburan Tanah.

Kesuburan tanah dapat menjamin kebutuhan pangan warga negara. Adanya

kepastian berusaha dan mencari kebutuhan hidup bagi rakyat, negara harus

menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi pengembangan usaha

negara dan rakyat, sehingga rakyat dapat hidup layak dan sejahtera. Syarat

ini merupakan tujuan dan implementasi dari syarat-syarat sebelumnya.

F. Harapan Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup generasi dengan generasi selanjutnya sangat

bergantung dengan sistem penataan negara oleh pengelola dan

penyelenggara negara dengan kualifikasi sebagaimana terdapat secara

berurutan pada sendi-sendi sebelumnya. Generasi sekarang merupakan

pewaris dari generasi sebelumnya, dan generasi yang menciptakan sejarah

bagi masa setelahnya.

Keberadaan generasi mendatang bergantung dengan sistem penataan negara

oleh pengelola dan penyelenggara negara dengan kualifikasi sebagaimana terhadap

secara berurutan pada enam syarat yang harus ada untuk tercapainya sebuah negara.

Page 10: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

10

2. Imamah (Kepemimpinan)

Pemilihan kepemimpinan kepala negara merupakan masalah yang sangat urgen dan

vital bagi eksistensi negara. Namun Islam tidak mengatur secara jelas bagaimana

suksesi kepemimpinan, sehingga mengakibatkan terjadinya perpecahan di kalangan

Islam sendiri. Oleh karena itu, al-Mawardi sebagai seorang pemikir Islam

merumuskan gagasannya tentang pemilihan dan pengangkatan kepala negara.

Al-Mawardi menyatakan, Imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi

kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.11 Dengan demikian seorang

imam adalah pemimpin agama disatu pihak dan di lain pihak pemimpin politik.

Dasar pembentukan imamah kata Mawardi adalah wajib secara ijma’. Akan

tetapi, dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau hukum

agama (syari’ah). Menurutnya ada dua golongan: pertama, wajib karena

pertimbangan akal (rasio). Alasannya manusia itu adalah makhluk sosial, dan dalam

pergaulan antara mereka mungkin terjadi permusuhan, perselisihan, dan

penganiayaan. Karenanya diperlukan pemimpin yang dapat mencegah terjadinya

kemungkinan-kemungkinan itu. Jadi secara logika manusia membutuhkan

pemerintahan; kedua, wajib berdasarkan hukum agama (syari’ah) bukan karena

pertimbangan akal.12 Sebagaimana firman Allah :

)59: النساء... (یاأیھا الذین ءامنوا أطیعوا اللھ وأطیعوا الرسول وأولي الأمر منكم

Bagi al-Mawardi, imam atau khalifah (yang dalam pemikirannya adalah

seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya,

keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu,

jelasnya tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat,

begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.

11 Suyuti Pulungan, 1999, Fiqih Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada), hal. 231 12 Ibid.

Page 11: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

11

Al-Mawardi memakaikan baju agama kepada jabatan kepala negara di

samping baju politik. Menurutnya, Allah mengamanahkan agama disertai mandat

politik. Dengan demikian, seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama dan di

lain pihak adalah pemimpin politik.13

Dalam rangka terwujudnya negara yang ideal, al-Mawardi menyusun

sebuah karya yang monumental, yang mengambil bentuk “konstitusi umum” bagi

sebuah negara. Al-Mawardi menyatakan hal-hal pokok sebagai berikut: 14

A. Imamah adalah suatu kepemimpinan yang dibentuk sebagai pengganti

Rasulullah, dengan tugas memelihara agama dan mengendalikan kehidupan

dunia.

B. Imamah dapat dibentuk melalui pemilihan oleh ahl al-hal wa al-aqd (majlis

yang mampu memecahkan persoalan dan menetapkan kebijakan), atau al-

ikhtiyar (dewan pemilih) yang terdiri atas yang memenuhi persyaratan

tertentu.

C. Apabila seorang imam telah menjalankan tugas dan kewajibannya, maka

rakyat wajib menyatakan setia dan taat kepadanya, mematuhi dan

mendukung kebijakan politiknya, dan membelanya dari pihak yang ingin

menyingkirkan atau menjauhkannya.15 Namun seorang Imam dapat

dilengserkan dari kedudukannya apabila telah menyimpang dari keadilan.

D. Kepala negara harus berbangsa Arab dari suku Quraisy,16 termasuk wazir

tafwidh (pembantu kepala negara) dalam urusan penyusunan kebijaksanaan

13 Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES), hal. 87 14 Muhammad Azhar, 1996, Filsafat Politik: Perbandingan antar Islam dan Barat,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 84. 15 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3 16 Rasulullah bersabda, ریش ن ق ة م .Pemimpin dari Quraisy." (HR. Ahmad, no.19792 : الأئم

Al-Arnauth mengatakan Shahih lighairih, Ibnu Hajar mengatakan Hasan dan al-Bani mengatakan Shahih dalam Mukhtshar Irwa' al-Ghalil, no.520)

Page 12: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

12

harus beretnis Arab, dan pengisian jabatan kepala negara dan pembantunya

yang strategis perlu ditegakkan persyaratan-persyaratan tertentu. Hak

prerogatif, bagi suku Quraisy menurutnya didukung oleh sabda Raulullah :

)، وصححھ األلبانىالبیھقيو الشافعي رواه (موا قریشا وال تقدموھاقد

“Dahulukanlah orang Quraisy dan janganlah kalian mendahuluinya”.

Dapat dikatakan bahwa al-Mawardi mempertahankan etnis Quraisy, bukan

pada hak kepemimpinan etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuan dan

kewibawaannya. Pada masa nabi Muhammad yang memenuhi syarat sebagai

pemimpin dan dipatuhi masyarakat adalah dari kalangan Quraisy. Apabila pada suatu

masa ada orang bukan Arab etnis memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk

memimpin, maka layak ditetapkan sebagai pemimpin.

Pengangkatan orang-orang tertentu untuk mengisi kekuasaan politik dalam

Islam tidak bebas dari perselisihan pendapat. Dalam pandangan ulama Sunni seperti

Imam al-Mawardi, rekrutmen politik atau penentuan seorang kepala pemerintahan

dapat terjadi dengan salah satu dari dua cara: pertama, dengan ditunjuk langsung oleh

pemimpin sebelumnya kepada seseorang; kedua, dengan pembai'atan yang dilakukan

oleh dewan pemilih (ahl al-ikhtiyar) atau ahl al-hal wa al-'aqd. Menurut al-Mawardi

penunjukkan oleh khalifah sebelumnya sah menurut ijma' dan para ulama sepakat

untuk membenarkannya berdasarkan sandaran argumentatif pada dua pemimpin

pergantian khulafa al-rasyidin dalam sejarah Islam.17

Menurut al-Mawardi, apabila pemilihan kepala negara melalui lembaga

legislative (ahl-Ikhtiar), maka dengan persyaratan seabagai berikut: 18

Pertama, memiliki keadilan.

17 Rizwan Haji Ali, 2001, Pemberontakan terhadap Negara Islam dalam Perspektif Hukum

Islam, (Lhokseumawe: STAI Malikussaleh), hal. 51 18 Munawir Sazali, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,

(Jakarta: UI Press), hlm. 65.

Page 13: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

13

Kedua, memiliki pengetahuan dan mampu mengetahuai siapa yang berhak

menjadi kepala negara.

Ketiga, memiliki wawasan yang luas yang memungkinkan mereka memilih

siapa yang paling tepat menjadi kepala negara.

Dalam hal ini al-Mawardi tidak mempersyaratkan seorang imam harus

orang kaya dan juga mengharuskan dari penduduk ibu kota.

Dalam pemilihan oleh Ahlu al-Aqdi wa al-Hall minimal 5 orang. Hal ini

mengacu pada dua hal, yaitu: pengangkatan Abu Bakar yang dibaiat oleh 5 orang

(Umar ibn Khattab, Abu Ubaidah ibn Al-Jarrah, Usaid ibn Hudhair, Bisyr ibn Sa’ad,

dan Salim) dan Umar ibn Khattab membentuk lembaga syura yang beranggota 6

orang, kemudian salah seorang diangkat sebagai imam.19

Sedangkan tugas yang harus diemban oleh kepala negara ada 10 hal: a.

Menjaga dasar-dasar agama yang telah disepakati ulama salaf. b. Menegakkan

keadilan, supaya yang kuat tidak menganiaya yang lemah, dan yang lemah tidak

merasa teraniaya. c. Menegakkan hukum, supaya agama Allah dan hak-hak umat

terjaga. d. Menjaga keamanan dan menjaga daerah kekuasaannya dari gangguan

musuh dan penjahat sehingga umat (rakyat) bebas dan aman baik jiwa maupun

hartanya. e. Membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh. f. Jihad pada orang-

orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui

eksistensi Islam. g. Memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan syara’,

nash dan ijtihad. h. Mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif. i.

Mengangkat pejabat-pejabat yang terpercaya dan mengangkat orang-orang yang

kompeten untuk membantunya dalam menunaikan amanah dan wewenang ia pegang.

j. Melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya

19 http://.poetraboemi.worpress.com/2009/04/20/al-Mawardi-biografi-dan-politiknya, 06-

12-2009

Page 14: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

14

proyek sehingga ia dapat melakukan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan

menjaga negara.20

Adapun dalam masalah pemecatan seorang imam, al-Mawardi

menyebutkan dua hal yang mengubah kondisi dirinya, dan karenanya ia harus

mundur dari jabatannya itu. Hal-hal tersebut adalah: 21

Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau

akibat syubhat.

Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk

cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam,

seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga

cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan ada cacat yang tidak

menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang

menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti

membedakan rasa makanan.

Bagi imam, perjanjian itu merupakan komitmen untuk menjalankan

kewajibannya dengan tulus dan ikhlas dan bagi umat perjanjian itu mengandung arti

bahwa mereka akan mematuhi dan mendukung khalifah atau imam. Tetapi kepatuhan

umat padanya akan hilang, yang membuat kekhalifahannya juga hilang, kalau terjadi

hal-hal yang telah disebutkan di atas.

Adapun mengenai wazir, al-Mawardi membaginya menjadi dua bentuk:22

20 Abdul Hayyie al-Khattami, Kamaluddin Nurdin, 2000, Hukum Tata Negara dan

Kepemimpinan Dalam Takaran Islam (Jakarta: Gema Insani Press), hal. 37

21 http://blogspot.com/2008/02/politik-muslim-dan-islamisasi.htm, 05-06-2008

22 Munawir Sazali, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 66

Page 15: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

15

A. Wazir Tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan

berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-

kepala departeman. Wazir ini dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri.

Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang menduduki

jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah.

B. Wazir Tanfidz, yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana

kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang

menentukan kebijaksanaan sendiri.

Al-Mawardi menyebutkan beberapa perbedaan antara wazir tafwidh dan

wazir tanfidz, yakni: 1. Wazir tafwidh bisa menentukan hukum sendiri dan boleh

menangani kasus-kasus mazalim; 2. Wazir tafwidh bisa menunjuk wali-wali

(pimpinan daerah); 3. Wazir tafwidh bisa memimpin tentara dan mengurus perang; 4.

Wazir tafwidh basa mendayagunakan kekayaan negara yang ada di bait al-mal.

Kempat wewenang ini tidak dimiliki oleh wazir tanfidz.

Karena perbedaan diatas, maka ada pula perbedaan syarat yang harus

dipenuhi Wazir tafwidh, yakni: 1. Wazir tafwidh haruslah seorang yang merdeka; 2.

Wazir tafwidh harus memiliki pengetahuan tentang syari’at; 3. Wazir tafwidh harus

mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan peperangan dan perpajakan.

B. Teori Kontrak Sosial

Penyerahan kekuasaan politik kepada lembaga yang bertugas melakukan pemilihan

kepala pemerintahan merupakan formula kontraktual yang sesuai dengan sistem

perwakilan politik. Oleh karena itu, sistem kontraktual ini pernah berlangsung dan

dipraktikkan pada masa awal Islam, maka sesuai dengan perkembangan pengetahuan

manusia, sistem kontraktual ini bisa diperluas menjadi sistem pemilihan umum. Hal

ini bersandar pada ayat al-Qur'an:

Page 16: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

16

"Urusan mereka (kaum muslimin) diputuskan dengan musyawarah diantara

mereka." (Q.S. al-Syura: 38)

"Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini." (Q.S. Ali Imran:

159)

Dengan adanya proses pemilihan dan bai’at (semacam kontrak sosial), al-

Mawardi berbeda dengan sebagian pemikir Islam lainnya, seperti al-Ghazali (teolog,

sufi, filosof; 1058-1111) dan Ibnu Taimiyah (tokoh pembaharu; 1263-1328), yang

menyatakan bahwa kedaulatan berasal dari Tuhan. Sedangkan al-Mawardi

berpendapat bahwa sumber kedaulatan adalah masyarakat atau rakyat.23

Sisi keunikan dari al-Mawardi yaitu teori tentang kontrak sosial (al-Bai’ah)

membahas tentang relasi keseimbangan hak dan kewajiban antara lembaga ahl al-Hal

wa al-Aqd atau Ahl al-Ikhtiyar (perwakilan rakyat) dengan Ahl al-Imamah (kepala

negara), khusus mengenai penyelenggaraan negara dan pengelolaan masyarakat.

Istilah bai’ah berasal dari definisi ba’a yang secara etimologis berarti “menjual”.

Bai’at secara terminologis mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling

berjanji dalam pelaksanaan selalu melibatkan dua pihak secara sukarela. Bai’at dapat

dipahami sebagai ungkapan perjanjian antar dua pihak yang seakan-akan salah satu

pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya dengan kesetiaan

kepada pihak kedua dengan ikhlas dalam urusannya. Dengan demikian dalam ba’iat

terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama secara

sukarela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga punya hak dan kewajiban atas pihak

pertama yang diterimanya. Jadi, pelaksanaan hak-hak dan kewajiban antara dua pihak

berlangsung secara timbal balik.24

23 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3

24 Hatamar, Laporan Penelitian: Pemikiran Polotik Al-Mawardi dan Relevansinya dengan

Pemikiran Politik Modern, hlm. 45.

Page 17: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

17

Dengan demikian negara diharapkan benar-benar mengupayakan segala

cara untuk menjaga persatuan umat dan saling menolong sesama mereka,

memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap warga sehingga seluruh

rakyat dapat menjadi laksana bangunan yang kokoh. Pada waktu yang sama memikul

kewajiban dan memperoleh hak tanpa adanya perbedaan antara penguasa dan rakyat,

antara yang kuat dan yang lemah dan antara kawan dengan lawan.

Sebuah negara merupakan keinginan manusia untuk mencukupi kebutuhan

bersama dan keahlian mereka yang mengajari bagaimana saling membantu dan

tentang bagaimana mengadakan ikatan satu sama lain. Dengan demikian, adanya

negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Hubungan

antara ahl al-hall wa al-aqd dengan kepala negara (eksekutif) merupakan hubungan

antara dua belah pihak peserta kontrak sosial yang melahirkan kewajiban dan hak

bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik.

Oleh karena itu, kepala negara selain berhak ditaati oleh rakyatnya dan

menuntut adanya partisipasi dan loyalitas penuh mereka, sebaliknya kepala negara

mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya seperti memberikan

perlindungan, mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh tanggung

jawab.25

Apabila salah satu dari peserta kontrak melakukan pelanggaran, perbuatan

hukum yang dimaksud disini adalah semua sikap, perkataan dan perbuatan kepala

negara, serta ketetapannya dilakukan untuk kepentingan peserta kontrak (kedua belah

pihak) dan syari’at merupakan hukum yang dijadikan landasan yang tertinggi. Isi

perjanjian didalam kontrak sosial al-Mawardi sebagaimana di atas adalah terumuskan

secara tegas dan jelas didalam tugas-tugas yang dilakukan oleh kepala negara, dan

semua hak-hak yang dimiliki oleh kepala negara, yaitu berupa kepatuhan dan

25 Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antar Islam dan Barat, hlm. 82.

Page 18: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

18

ketaatan warga negara kepada selama ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan syari’at

Allah.

Persoalan-persoalan kemanusiaan yang berkaitan dengan pola

hubungannya yang kemudian melahirkan teori tentang negara, dan penataan

masyarakat secara lebih formal dan bersifat kolektif. Keharusan tersebut sifatnya

alamiah dan emergence (hayati), sebab tidak mungkin manusia dapat menyelesaikan

berbagai paradok dari berbagai kepentingan baik pada tingkat individu maupun

kolektif tanpa adanya institusi dan lembaga legitimasinya juga bersifat kolektif.

sedangkan institusi yang dimaksud adalah negara.

Kecenderungan sosial itu adalah sesuatu yang diciptakan Allah bagi

manusia, bahkan sejak proses penciptaan pertama, yaitu ketika tumbuh dan

berkembangnya janin di dalam rahim. Artinya bahwa didalam tubuh manusia jaringan

sistem metabolisme saling mendukung dan bekerjasama untuk menciptakan sebuah

siklus hidup dan kehidupan manusia. Atas dasar ini bahwa saling bekerjasama bagi

manusia adalah sesuat yang fitrah, yang azali dalam penciptaan manusia, apalagi

untuk menata hidup dan kehidupan masyarakat dalam wujud lembaga dan institusi

yang disebut negara, bekerjasama adalah suatu keniscayaan.26

Dalam pandangan al-Mawardi, untuk menutupi kelemahan itulah manusia

menbutuhkan suatu kerjasama. Oleh sebab itulah selanjutnya Tuhan memberikan sifat

dan watak yang berbeda antar manusia, dan memberikan kelebihan antara yang satu

dengan lain. Dalam konteks ini al-Mawardi mengutip sebuah ayat yang artinya

sebagai berikut :

26 Hatamar, Laporan Penelitian: Pemikiran Polotik Al-Mawardi dan Relevansinya dengan

Pemikiran Politik Modern. hlm. 53.

Page 19: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

19

"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang

satu, tetapi (dalam kenyataan) manusia sering berselisih pendapat mengenai

(mengenai berbagai hal dan kepentingan), kecuali orang yang mendapat kasih

sayang Tuhan, dan oleh sebab itulah mereka diciptakan." (Q.S. Hud: 118)

D. KARYA-KARYA AL-MAWARDI

Di antara karya-karya al-Mawardi yang populer yaitu:

A. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Buku ini membahas dasar-dasar ilmu politik

yang menitikberatkan pada fungsi dan tugas khalifah, kepada menteri dan

menteri-menteri lain, hubungan antar berbagai unsur masyarakat dan

pemerintah serta persiapan kekuatan pemerintah

B. Siyasah al-Muluk (Politik Raja)

C. Adab al-Wazir (Etika Menteri)

D. Tahzil al-Nasr wat-Ta’jil al-Dhafar (Cara Mudah penaklukan dan cepat

Mendapatkat Kemenangan.27

E. Al-Hawi (Penghimpun)

F. Al-Iqna’ (Keikhlasan)

G. Adab al-Dunya wa al-Din (Tata Krama Kehidupan Politik dan Agama)28

27 Jamil Ahmad, Seratus Muslim terkemuka, hlm. 202. 28 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3

Page 20: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

20

E. KESIMPULAN

Al-Mawardi hidup pada masa kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah yang sedang

lemah dan tidak berdaya. Kedudukan khalifah melemah dan ia harus membagi

kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia.

Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang

penting di antara sarjana-sarjana Muslim lainnya. Ia diakui secara universal sebagai

salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Ia adalah seorang mujtahid yang

bermadzhab Syafi’i.

Al-Mawardi berpendapat bahwa manusia itu merupakan mahluk sosial,

yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, namun ia memasukkan

agama dalam teorinya. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan

negara. Dengan demikian, adanya negara adalah melalui kontrak sosial atau

perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu Mawardi berpendapat, bahwa kepala negara

merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan

mengatur dunia dan mengesahkannya.

Dalam pemerintahan Mawardi tetap mempertahankan Kepala Negara harus

berbangasa Arab dari suku Quraisy. Dan perlu diingat bahwa Mawardi menekankan

etnis arab adalah dilatarbelakangi oleh situasi politik saat itu. Upaya Mawardi

mempertahankan etnis Quraisy, secara kontekstual interpretative dapat dikatakan,

bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuan

dan kewibawaannya. Maka mengutamakan etnis Quraisy memang bukan ajaran dasar

agama islam yang dibawa Rasulullah, karena itu Hadist-hadist yang mengutamakan

etnis Quraisy harus dipahami sebagai ajaran yang bersifat temporal.

Menurut Mawardi, penentuan kepala pemerintahan dapat terjadi dengan

ditunjuk langsung oleh pemimpin sebelumnya kepada seseorang atau dengan

pembai'atan oleh ahl al-ikhtiyar atau ahl al-hal wa al-'aqd. Adapun kontrak sosial

merupakan perjanjian atas dasar sukarela. Hubungan antara ahl al-Hall wa al-Aqd

Page 21: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

21

dengan kepala negara (eksekutif) merupakan hubungan antara dua belah pihak

peserta kontrak sosial yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak

atas dasar timbal balik.

Dengan demikian, harus diakui bahwa pemikiran dan gagasan al-Mawardi

memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di

negeri-negeri Islam. Pengaruhnya ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk

Tusi, yakni Siyasat, dan Prolegomena karya Ibn Khaldun.

Page 22: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

22

REFERENSI

Al-Din, Muhahammad Diya’, 1960, al-Nadhriyat al-Siyasiyah al-Islamiyah, (Kairo:

al-Maktabah almisriyah)

Al-Khattami, Abdul Hayyie, Nurdin, Kamaluddin, 2000, Hukum Tata Negara dan

Kepemimpinan Dalam Takaran Islam (Jakarta: Gema Insani Press)

Al-Mawardi, 1971, Adab al-Qadhi, (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad)

Ali, Rizwan Haji, 2001. Pemberontakan terhadap Negara Islam dalam Perspektif

Hukum Islam, (Lhokseumawe: STAI Malikussaleh)

Ahmad, Jamil, 2003, Seratus Muslim terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus)

Azhar, Muhammad, 1996, Filsafat Politik: Perbandingan antar Islam dan Barat,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada)

Hatamar, 2000, Laporan Penelitian: Pemikiran Polotik Al-Mawardi dan

Relevansinya dengan Pemikiran Politik Modern, (Palembang: IAIN Raden Fatah)

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/ilmu-politik/pemikiran-

politik-islam-klasik, 05-06-2008.

http://blogspot.com/2008/02/politik-muslim-dan-islamisasi.htm, 05-06-2008

http://.poetraboemi.worpress.com/2009/04/20/al-Mawardi-biografi-dan-politiknya,

06-12-2009

Ma’arif, Ahmad Syafi’i, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES

Pulungan, Suyuti, 1999, Fiqih Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada)

Sazali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,

(Jakarta: UI Press)

Page 23: Politik Islam _ Al-Mawardi. Oleh M. Syafi'i WS al-lamunjani _makalah 2009

23

Soelestyali, 1987, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia)

TIM UIN Syarif Hidayatullah, 2005, Ensiklopedi Islam, (Jakrata: Ichtiar Baru Van

Hoeve), Jilid V