materi prof. asip

30
Desain Pengembangan Sumber Daya Insani: Komitmen Sosial dalam Pengembangan Model Spiritual Well- Being Mujahid Quraisy, SE, MSI. Prof.Dr. Asip F. Hadipranata, Psy.D Malang, 13-14 Februari 2015

Upload: hoangphuc

Post on 17-Jan-2017

252 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Materi Prof. Asip

Desain Pengembangan Sumber Daya Insani: Komitmen Sosial dalam Pengembangan

Model Spiritual Well-Being

Mujahid Quraisy, SE, MSI.Prof.Dr. Asip F. Hadipranata, Psy.D

Malang, 13-14 Februari 2015

Page 2: Materi Prof. Asip

Keterangan :M A – 1: Motivasi

Awal Hayat

M A – 2 : Motivasi Akhir Hayat

M B : Motivasi Belajar

M K : Motivasi Kerja

M P P : Motivasi Persiapan Pensiun

M A-21000 …

M A-1 9 bln

0 10 20 40 60 70 80

Irama Upaya Naik

ONTOGENETIKA : pertumbuhan jasmaniah

Stress demi Sukses?

MPP

P os E nakN i’mat bagiS iapa yang I man U nggulannyaN ambah

MATANG MANTAB ( Hadipranata, 1980 )

MK MB PRESTASI PRESTISE

FILOGENETIKA : perkembangan rokhaniah

KURVE KEHIDUPAN“ Awalilah dengan Memperhatikan Akhir”

“Ingat mati sukses, takut mati stress”

2 4 6 8 25 30 35 45 50 55

PMABA

Page 3: Materi Prof. Asip

PersepsiNegatif Negatif Negatif

THE SUPER EGOMORAL / TAQWA

THE EGO( KESADARAN )

THE I D(BAWAH SADAR)

95 %

INSIGHTwawasan PERSEPSI

INTUITIONintuisi

KATARSIS Bersih Hati dari

Beban Batin

PersepsiPositif Positif Positif

Kreativitas2. Imajinasi1. Imajinari

Susunan Kepribadian(NUANSANYA)

NURANI(AF’IDAH)

n’Aba

PositiveThinking

Negative Thinking

Kata hati/Mata hati /

Al QuranSrt 16;78 &Srt 17;36

https://www.youtube.com/watch?v=n3GKWIt_zT4

Page 4: Materi Prof. Asip

KETERANGAN :

A : ABDI (PENGABDIAN)B : BEBAS (KEMANDIRIAN)D : DUKUNG (PENDUKUNGAN)J : JAGA NAMA (PENJAGA NAMA)K : KELOLA (PENGELOLAAN)T : TENGGANG (PENENGGANG)

NAMA : ……

NAMA : ……

NAMA : ……

NAMA : ……

NAMA : ……

NAMA : ……

Page 5: Materi Prof. Asip

Tulisan ini meninjau literatur tentang teori spiritual well-being kaitannya dengan pengembangan dimensi komitmen sosial sebagai bagian dari pencapaian komponen-komponen wellness di tempat kerja. Kritik yang disampaikan pada model spiritual well-being dan well-being pada umumnya adalah berkaitan dengan visi moral individualistik Barat, asumsi bahwa manusia yang baik adalah manusia yang bahagia. Ada perbedaan pandangan well-being pada budaya kolektif dan khususnya pandangan ajaran agama Islam.

Dua teori utama spiritual well-being dipaparkan dan dilengkapi dengan satu konsep Islam mengenai well-being. Tinjauan tersebut mencakup perbandingan teori Barat dan konsep Islam dan pandangan spiritualitas pekerja Muslim menurut teori empirik etika kerja Islam.

Abstrak

Page 6: Materi Prof. Asip

Hasilnya dimensi spirtual well-being berkaitan dengan transpersonal, interpersonal dan intrapersonal (eksistensial dan religiusitas). Ketiganya menjadi fondasi pengembangan kepribadian dan relationship di tempat kerja. Teori dan konsep yang ada membatasi eksplorasinya pada dimensi psikologi seseorang tanpa mempertimbangkan dimensi sosial keberagamaan (spiritualitas). Fakta empirik menunjukkan bahwa ada komitmen di tempat kerja untuk memperbaiki kesejahteraan sosial yang lebih luas sebagai refleksi atas kesadaran dan kebahagiaan beragama (spiritual).

Dinamikanya daya intuisi, kreativitas, & kekuatan nurani yang dapat dilatih melalui kebutuhan merasa bersalah (n’Aba) serta dalam nuansa budaya kerja “Mandiri Manunggal”.

Page 7: Materi Prof. Asip

A. Latar Belakang Pertumbuhan kesadaran spiritual di dunia kerja

baik di lingkungan korporat maupun di lingkungan organisasi bisnis sekuler lainnya merupakan fenomena yang telah lama diamati oleh para pemerhati di bidang psikologi sosial dan perilaku organisasi. Studi (11) Krishnakumar dan Neck misalnya, merangkum perspektif spiritual di tempat kerja dalam tiga perspektif popular masing-masing terdiri dari pandangan agama, intrinstic-origin, perspektif eksistensialis. Uraian pandangan konsep tersebut dirangkum dalam tabel 1

Page 8: Materi Prof. Asip

Tabel 1Perspektif Spiritual yang Menonjol di Tempat Kerja

Page 9: Materi Prof. Asip

Pentingnya mengejar tujuan kesadaran spiritual pekerja, pertama, karena kesadaran spiritual merupakan ciri-ciri kesejahteraan (well-being). Kedua, kesadaran spiritualitas tidak hanya memelihara kesehatan fisik dan mental (wellness) pekerja tapi juga berimplikasi pada kesuksesan bisnis secara menyeluruh (13). Di sisi lain ada bukti-bukti empiris yang menunjukkan bahwa perusahaan yang dipersepsikan oleh pekerja menjalankan tanggung jawab sosial secara serius berpengaruh signifikan terhadap keterikatan pekerja pada perusahaan (17). Demikian pula

Page 10: Materi Prof. Asip

Demikian pula pekerja yang memiliki extra role (modal sosial) yang tinggi cenderung (8+16) memiliki loyalitas yang tinggi.

Menurut Greenberg (23) dan Pargman keseimbangan fisik dan mental (wellness) adalah tercapainya integrasi sosial, mental, emosional, spiritual dan kesehatan fisik sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 1.

Gambar 1Wellness Wheel-Balanced (sumber: Tortt, 1996, hlm.21)

Page 11: Materi Prof. Asip

Wellness pada level yang tinggi adalah pencapaian integratif komponen-komponen wellness dalam pola kehidupan sehari-hari. Kesempurnaan komponen ini bagaikan roda yang berputar di jalan rata. Mengabaikan satu atau beberapa komponen akan mengakibatkan jalan roda yang bergelombang. Seseorang yang memiliki level wellness yang tinggi adalah mereka yang mampu mengintegrasikan seluruh komponen-komponen wellness dalam pola kehidupannya yang sehat.

Kaitannya dengan spiritual well-being. Menurut P. Floyd dan K. Johnson (9) spiritual well-being adalah memahami diri dalam hubungan dengan konsep keberadaan secara luas. Membantu memahami makna hidup ini dan menolong kita untuk membuat sasaran jangka panjang berdasarkan perspektif waktu dan nilai yang luas. Spiritual well-being memberikan arah dan tujuan pada jasmani, mental dan social well-being serta terlibat pada pengembangan aspek-aspek rohaniah seseorang. Menyatukan ikatan tersebut pada kesehatan menyeluruh (wellness) adalah pertumbuhan spiritual.

Tujuan makalah ini adalah melakukan studi literatur pada teori spiritual well-being kaitannya dengan pengembangan dimensi komitmen sosial sebagai bagian dari pencapaian komponen-komponen wellness. Kritik yang disampaikan pada model spiritual well-being dan well-being pada umumnya ada kaitannya dengan visi moral individualistik barat, asumsi bahwa manusia yang baik adalah manusia yang bahagia (8). Serta adanya perbedaan pandangan well-being pada budaya kolektif dan khususnya pandangan ajaran agama Islam. Dalam tabel satu terlihat bahwa pandangan spiritual Islam di tempat kerja yang menonjol adalah komitmen dan kerjasama. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi spiritual Islam di tempat kerja lebih diarahkan pada kepentingan sosial.

9

Page 12: Materi Prof. Asip

B. Studi PustakaDalam studi ini akan diuraikan definisi dan teori spiritual well-being konvensional serta konsep

spiritual well-being menurut pakar Islam. Studi ini ditutup dengan pengertian Amartya Sen tentang komitmen sebagai antitesis rational self interest. Pada tiap akhir sub bab akan diberikan kesimpulan singkat. 1. Spiritual Well-Being

Spiritual well-being telah diidentifikasi sebagai satu kajian khusus tentang kesehatan spiritual seseorang dalam konteks yang lebih dari sekedar filosofi perawatan holistik. Burkhardt (9) mengungkapkan bahwa spiritual well-being adalah :

“kehidupan yang menegaskan hubungan atau keterkaitan secara harmonis dengan Tuhan, komunitas, lingkungan, dan diri; dan sebuah proses mengada dan menjadi melalui keberadaan; kesehatan dari seluruhan sumber daya batin seseorang;

keutuhan rohani sebagai dimensi pemersatu kesehatan; proses transendensi;. dan persepsi hidup yang memiliki arti".

Paloutzian and Ellison (19) mendefinisikan spritual well-being sebagai suatu perkembangan kepribadian yang ciri-cirinya berkaitan dengan rasa kedamaian batin, kasih sayang pada orang lain, penghormatan terhadap kehidupan, dan apresiasi baik pada kesatuan dan keragaman. SWB memiliki dua perspektif yakni religious well-being (RWB), perspektif berfokus pada bagaimana individu merasakan kesejahteraan rohani mereka yang ditunjukkan oleh hubungan yang baik dengan yang maha tinggi. Existential well- being (EWB) adalah perspektif yang berkaitan dengan hubungan dengan orang lain. Seberapa baik mereka secara mandiri mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungan. EWB melibatkan eksistensial dimensi tujuan hidup, keterkaitan dengan orang lain, dan kepuasan dengan pengalaman hidup baik yang positif maupun yang negatif (23).

Page 13: Materi Prof. Asip

Berdasarkan analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya spiritual well- being meliputi tiga aspek psikologis yaitu intrapersonal, interpersonal dan transpersonal. Pada aspek Intrapersonal, meliputi perkembangan kepribadian yang menunjukkan rasa kedamaian batin (hubungan yang baik dengan diri sendiri), pada aspek interpersonal perkembangan kepribadian yang menunjukkan rasa kasih sayang pada orang lain dan penghormatan pada kehidupan (hubungan yang baik dengan sesama manusia dan lingkungan), pada aspek transpersonal perkembangan kepribadian yang berkaitan dengan kesejahteraan rohani yang ditunjukan oleh hubungan baik dengan Tuhan (Zat yang maha tinggi).a. Dua Model Konvensional Spiritual Well- Being

Ada Dua model spiritual yang telah dikembangkan berkaitan dengan spiritual well-being yakni the web system modelI dan the cruciform model (12). Menurut Trott, The web system model dikembangkan oleh Stoll, Banks, Hungelmamn, dan Burkhardt. Sementara the cruciform model dikembangkan oleh Moberg, Ellison

dan Paloutzian.

Page 14: Materi Prof. Asip

The web system model adalah konseptualisasi spiritual well-being Stoll (13) Banks (5) Hungelmann et al (10). Dalam studi Hungelmann et al. yang menggunakan teori grounded, terungkap ada tiga kunci utama relasi spiritual well-being yakni: (1) kepercayaan dan hubungan dengan Yang Maha tinggi, (2) jaringan dukungan yang luas antara keluarga dan teman-teman serta penghayatan terhadap alam semesta sebagai "pengingat kehadiran Allah", dan (3) hubungan batin dengan rasa kepuasan, penerimaan, sikap positif dan sikap mandiri (penentuan nasib sendiri). Dalam studi tersebut juga terungkap tiga dimensi waktu: (1) pengalaman masa lalu dengan pengaruh orang tua, sistem kepercayaan formal, dan warisan budaya seseorang, (2) Apa yang dirasakan sekarang hadirnya rasa kemenyatuan yang menemukan makna dan tujuan dalam situasi kehidupan, dan memberikan rasa kesesuaian antara nilai-nilai dan perilaku, dan (3) masa depan adalah harapan di akhirat, kemampuan untuk mencapai tujuan, mencapai integrasi penuh, melalui pencarian seseorang akan makna dan tujuan dalam hidup. Secara sederhana dijelaskan pada gambar 2

Page 15: Materi Prof. Asip

Berkaitan dengan model yang kedua, The cruciform model, Moberg et al.,(14) mengkonseptualisasikan spiritual well-being sebagai pemahaman yang efektif tentang makna Allah dan makna kemanusiaan, dimensi religius sebagai vertikal dan dimensi eksistensial sebagai horizontal (15). Selanjutnya model ini dikembangkan dan disederhanakan oleh Paloutzian dan Ellison. Menurut model ini, spiritual well-being adalah Afirmasi hidup mulia dan bertumbuh melalui Tuhan, diri sendiri, masyarakat dan lingkungan. spiritual well-being terdiri atas existential well-being dan religious well-being. Existential well-being pada dasarnya adalah sesuatu dalam kehidupan dijalani diluar kepentingan diri. Sementara religious well-being adalah orientasi teologi ke indikasi kegembiraan dan kepuasan yang dirasakan seseorang atau pengalaman dalam berhubungan dengan Tuhan. Selanjutnya pengertian spiritual well-being merujuk pada

Gambar 2Ilustrasi Web Model Spiritual Well-Being

Page 16: Materi Prof. Asip

fenomena perseptual yang subjektif, fenomena perseptual yang menunjukkan beberapa indikasi kualitas hidup seseorang. Ilustrasi sederhana ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3Ilustrasi Cruciform Model Spiritual Well-Being

Page 17: Materi Prof. Asip

Kesimpulannya bahwa kedua model Spiritual Well-Being yakni Cruciform Model dan Web Model tersebut lebih menekankan pada sikap dan pandangan pekerja terhadap kualitas hubungannya (relationship) untuk kepentingan pengembangan personalitas. (intrapersonal).

b. Konsep Islamic Spiritual Well-Being menurut KasuleModel spiritual well-being kasule lebih berorientasi pada aspek

personalitas. Secara lebih rinci, konsep “spiritual well-being” dengan istilah lain, psychogical well-being diuraikan oleh Kasule (12). Menurutnya, Al-Qur'an menggunakan istilah al inshirah shadr untuk merujuk pada keadaan psychological well-being Sementara kondisi-kondisi ketidak seimbangan psikologis, Al-Qur’an menggunakan istilah al-dhaiq shadr.

Page 18: Materi Prof. Asip

Sepanjang ayat-ayat yang berkaitan dengan psikologis well-being dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan konsep ketaqwaan, dan sebaliknya ketidakseimbangan mental atau psikologis dihubungkan dengan konsep kemaksiatan. Implikasinya adalah bahwa mereka yang hidup menurut bimbingan Allah akan hidup seimbang dengan jalan memperkuat iman, taqwa, dan ibadah serta menghindari maksiat. Mental dan psikologis well-being sebagian besar dipengaruhi dan didasari oleh personality. Personality adalah totalitas perilaku individu dengan sistem kecenderungan tertentu dalam berinteraksi dengan urutan situasi (kecenderungan berarti ada konsistensi). Personality setiap orang berbeda, modal personality bagi komunitas yang dianggap ideal bagi masyarakat dan universal dijelaskan oleh Al-Qur'an dan Sunah Nabi saw.

Page 19: Materi Prof. Asip

Al-Quran menguraikan dalam istilah yang sangat jelas sebuah konsep yang paradoksal dari pertumbuhan individu dan perkembangannya. Seorang manusia terdiri atas tubuh dan jiwa, materi dan roh. Hal ini merupakan keseimbangan yang unik antara dua hal yang kontras yang membuat manusia menjadi ciptaan yang sempurna. Kondisi asli manusia adalah bahwa dari fitranya lahir dalam keadaan alami dengan kesucian (fitrat al Islam). Namun manusia memiliki potensi untuk menjadi baik atau buruk yang tergantung pada lingkungan awal (sejak dini) bagaimana potensi tersebut ditingkatkan.

Inti seseorang adalah nafs dan bukan tubuh fisik. Selanjutnya Kasule (12) melakukan eksplorasi terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan nafs. Al-Qur’an telah menjelaskan beberapa konsep tentang nafs.Nafs-al maraatib, Nafs Ammarah (kecenderungan untuk jahat, nafs lawamah (nurani dan perhatian dengan kejujuran moral), nafs mulhamah (terinspirasi untuk kesalehan dan taqwa), nafs qanu'ah (puas dengan apa yang dialami), nafs mutma'inna (tenang), nafs Radhiyah (apresiatif), nafs kamilah (sempurna). Nafs dapat disucikan dengan tindakan ibadah, menghindari yang dilarang, kesadaran akan pencipta, dan merenungkan ciptaanNya. Seorang individu tidak mungkin berhasil sendirian. Hidup dalam sebuah komunitas yang benar dikelilingi oleh orang orang lain adalah penting untuk memotivasi dan mendorong kesucian hati.

Page 20: Materi Prof. Asip

Masyarakat dan individu yang berusaha untuk meningkatkan atribut positif dari nafs dan qalb menikmati kesehatan mental dan psikologis yang baik. Al-Qur'an telah menjelaskan atribut positif dari nafs: seperti memberikan preferensi kepada orang lain, keyakinan (iman nafs), takut kepada Allah (takwa al nafs), Atribut positif dari qalb adalah: kesehatan (salamat al-qalb), kesucian (taharat al-qalb), kemurahan (rahmat al qalb, keseimbangan dan ekuilibrium (tama'ininat al-qalb), kelembutan (Liin al-qalb), keterbukaan (inshiraah al- qalb). Nafs dapat melakukan tindakan korektif untuk meningkatkan atau memperkuat dirinya: patuh dan berserah diri kepada Allah untuk mendapatkan kesenangan-Nya (al-nafs bai'u lillah), pensucian (nafs al-tazkiyat), perubahan untuk meningkatkan dirinya (taghyiir ma bi al-nafs), dan pertobatan (tawbat al nafs).

Page 21: Materi Prof. Asip

Gambar 4 Ilustrasi Islamic Spiritual Well-Being Kasule

Page 22: Materi Prof. Asip

Kesimpulannya bahwa personalitas yang dibangun Kasule pada konsep well-being adalah lebih mengarah pada perilaku kesalehan individu yakni penguatan perilaku intrapersonal itu sendiri.

C. Komitmen Sosial

Sesungguhnya pengertian komitmen itu sendiri telah mengandung makna sosial jika ditinjau dari aspek normatif (tanggung jawab) dan afektif (keterikatan dan kesamaan nilai- nilai anggota organisasi) dalam teori komitmen organisasi. Namun komitmen sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adanya keterikatan dan tanggung jawab moral pekerja terhadap permasalahan-permasalahan sosial diluar konteks tanggung jawab atas tugas, kelancaran bisnis atau tujuan organisasi. Sebagaimna ditegaskan oleh Sen bahwa komitmen adalah antitesa dari rational self interest (kepentingan diri sendiri yang rasional). Sebagaimana dikatakan :

Page 23: Materi Prof. Asip

“Jika Anda merasa buruk karena mengetahui bahwa ada seorang teman Anda yang menderita, kita berbicara tentang simpati. Jika Anda tidak merasa diri buruk tentang itu, tapi menurut pendapat Anda harus melakukan sesuatu untuk itu maka ini adalah kasus komitmen” (20.

Gambar 5Self Rational Interest,Simpati dan Komitmen

Page 24: Materi Prof. Asip

Berdasarkan argumen Sen, maka dapat dikatakan bahwa komitmen memiliki dimensi sosial dan moral yang tidak hanya berkaitan dengan kepentingan internal organisasi tapi juga lebih luas berkaitan dengan tanggung jawab sosial dan moral diluar organisasi. Sehingga dengan demikian cara pandang dan paradigma berfikir serta tindakan sangat menentukan.

C. Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan studi literatur. Dua teori

utama spiritual well-being dipaparkan dan dilengkapi dengan satu konsep Islam mengenai well-being. Tinjauan tersebut mencakup perbandingan teori barat dan konsep Islam dan pandangan spiritualitas pekerja Muslim menurut teori empirik etika kerja Islam. Data dilengkapi melalui jurnal elektronik dan non elektronik khususnya yang berkaitan dengan data penelitian empirik tentang dimensi komitmen sosial pekerja

Page 25: Materi Prof. Asip

D. PembahasanTeori dan konsep spiritual well-being yang diuraikan

dalam studi pustaka tersebut pada dasarnya berkaitan personality dan relationship. Cruciform Model dan Web Model lebih cenderung berorientasi pada eksplorasi dimensi eksistensial dalam bentuk hubungan-hubungan yang baik secara horisontal (relationship). Sementara konsep Kasule lebih cenderung beorientasi pada eksplorasi dimensi religiusitas yaitu hubungan vertikal yang baik membentuk perilaku yang baik (personality). Langkah selanjutnya adalah mengeksplorasi spiritualitas well-being yang berorientasi pada kepentingan sosial.

Menurut Hammudah, pada prinsipnya keseluruhan ajaran Islam memiliki dimensi transendental (kesadaran Ilahiah), moral (akhlak) dan sosial (amal saleh). Tendensi social well-being dalam Islam didasarkan pada desain dan prinsip utama untuk menjamin kebahagiaan

Page 26: Materi Prof. Asip

individu dan sosial. Desain dan prinsip-prinsip tersebut meliputi kesetaraan sosial, saling menghormati, saling mengasihi, saling menasehati

Dalam penelitian Ali, dalam rangka mengembangkan skala pengukuran etika kerja Islam. Ditemukan bahwa pandangan pekerja Islam tentang nilai-nilai etika (spiritual) yang utama di tempat kerja adalah komitmen dan kerja sama. Komitmen dan kerja sama yang dimaksud adalah tanggung jawab atas pekerjaan dan amal saleh, dimana hasrat untuk memperbaiki kesejahteraan sosial dan kepentingan bersama terpenuhi. Unsur-unsur etika (spiritual) kerja Islam ternyata tidak hanya berkaitan dengan komitmen agama dan komitmen sosial tapi juga merupakan sumber kebahagiaan (well-being) sebagaimana dijelaskannya: (1)

“......bahwa kerja merupakan tanggung jawab dan amal dalam rangka memenuhi kebutuhann hidup dengan jalan menyeimbangkan kehidupan sosial dan individu. Kerja adalah kegiatan manusia yang bebas dan merupakan sumber penghormatan, kepuasan dan pemenuhan. Sukses dan kemajuan pekerjaan tergantung pada kerja keras dan komitmen terhadap kerja tersebut. Komitmen pada kerja juga meliputi keinginan untuk memperbaiki umat dan kesejahteraan sosial. Jika seseorang berkomitmen pada pekerjaannya dan menghindari cara-cara yang tidak etis dalam mengumpulkan harta kekayaan, akan mengurangi persoalan dalam masyarakat. Kerja yang kreatif dan bekerjasama tidak hanya merupakan sumber kebahagiaan tetapi juga merupakan perbuatan mulia”.

Temuan ini selanjutnya diperkuat oleh suatu studi kritis yang dilakukan untuk mengeksplorasi sifat etika (spiritual) kerja Islam dalam konteks evolusi budaya dan politik dengan menawarkan perspektif budaya dan agama. Hasilnya adalah bahwa etika (spiritual) kerja Islam memiliki dimensi ekonomi, moral, dan sosial. Pekerja memandang

Page 27: Materi Prof. Asip

pekerjaan bukanlah tujuan itu sendiri tapi dimaknai sebagai wadah untuk mengembangkan pribadi dan hubungan sosial.

3

E. PenutupDimensi spirtual well-being berkaitan dengan

transpersonal, interpersonal dan intrapersonal (eksistensial dan religiusitas) seseorang. Ketiganya menjadi fondasi pengembangan personalitas dan relationship di tempat kerja. Teori dan konsep yang ada membatasi eksplorasinya pada dimensi psikologi tanpa mempertimbangkan dimensi sosial keberagamaan (spiritualitas). Fakta empirik menunjukkan bahwa ada komitmen pekerja di tempa kerja untuk memperbaiki kesejahteraan sosial yang lebih luas sebagai refleksi atas kesadaran dan kebahagiaan beragama (spiritual). Dimensi personality, relationship dan komitmen sosial dalam model spiritual well-being diilustrasikan dalam gambar 6

Page 28: Materi Prof. Asip

Gambar 6Dimensi Spiritual Well-Being

Personality, Relationship, dan Social Commitment

Page 29: Materi Prof. Asip

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-‘Ati, Hammudah, Islam in Fokus, cet. Ke-4. Kairo: Al-Falah Fondation, 2003. Ali, Abbas J, “Scaling an Islamic Work Ethic”, The Journal of Psychology”, 128 (5), 2001, hlm. 575-583.__________, “Islamic work ethic: a critical review “, dalam Cross Cultural Management: An International Journal, Vol. 15

No. 1, 2008, hlm. 5-19.Burkhardt, M.A., “Spirituality An Analisys of The Concept”, dalam Journal of Holistic Nursing Practice, vol.3, no.3, 1989,

hlm.69-77. Banks, R. “Health and The Spiritual dimension, Relationship and implications for Professional Preparation Programs

dalam Journal of School Health, 1980, hlm. 195-202.Bhattacharya C.B., Sankar Sen dan Daniel Korschun, “Using Corporate Social Responsibility to Win the War for Talent”,

MIT Sloan, Management Review, Winter, vol. 49 no. 2, 2008, hlm. 37- 44.Chen, X. P, C. Hui, dan D. J. Sego, ‘The Role of Organizational Citizenship Behavior in Turnover: Conceptualization and

Preliminary Tests of Key Hypotheses”, Journal of Applied Psychology, no. 83, issu. 6, 1998, hlm. 922-931.Duane Hansen S.., “Corporate Social Responsibility and the Benefits of Employee Trust: A Cross-Disciplinary Perspective”,

Journal of Business Ethics, vol.102, issu 1, 2011, hlm.29- 45Floyd P, dan Johnson K, Wellness: A Lifetime Commitment, Winston Salem North Carolina, Hunter Textbooks, Inc, 1993.Hungelmann, J, E.Kenkel-Rossi, L.Klassen, dan R.Stollenwerk, “Spiritual Well-Being in Order Adults, Harmonious, Interconnectedness, dalam Journal of Religion and Health, vol.24,no.2, 1985, hlm.147-153. Krishnakumar, Sukumarakurup dan Neck, Christopher P. “The “What”, “Why” and “How” of Spirituality in The Workplace, dalam Journal of Managerial Psychology, Vol.17,Issue:3, 2002, hlm.153-164.Kasule, Omar Hasan “Psychological and Mental Health”, dalam Islamic Medical Education Resources, 02-9901, Januari,1999, hlm.1-4. Mknigth R, “Spirituality in The Workplace”, dalam J.D. Adam (ed). Transforming Work: A Collection of Organizational

transformation Reading, Virginia, Miles Rivers Press, 1984.Moberg, D., dan P.Brusek, “ Spiritual Well-Being, A Neglected Subject in Quality of Life Research”, Social Indicator Research, vol.5, 1978, hlm.303-323.

Page 30: Materi Prof. Asip

Moberg, D., “Subjective Measures of Spiritual Well-Being”, Review of Religiious Research, vol.25, no.4, 1984, hlm.351-364.

MacKenzie S., P. Podsakoff, dan M. Ahearne, “Some Possible Antecedents and Consequences of In-Role and Extra-Role Salesperson Performance”, Journal of Marketing, no. 62, 1998, hlm. 87-98.

Peters T dan Waterman R, In Search of Excellence: Lesson from America’s Best Run Companies, New York, Harper and Row, 1982.

Paloutzian R.F, “Spiritual Well-Being A Psychologycal Perspective Aging and Spirituality” dalam Newsletter of ASA’s Forum on Religion Spirituality of Aging, 1997, hlm.3.

Paloutzian, R. R., dan Ellison, C. W., “Spiritual well-being: Conceptualization and measurement”, Journal of Psychology and Theology, no. 11, 1983, hlm. 330−340.

Sen, Amartya " why exactly is commitment important for rationality?”, dalam Cambridge Journals of Economic Philosophy, Vol.21, Issue: 01, 2005, hlm. 5-14.

Stoll, R.,“The Essence of Spirituality” dalam V.B. Carson (Ed), Spiritual Dimensions of Nursing Practice (Philadelfia, WB Saunders.co,1989), hlm. 4-23.Trott III, David Crooker Spiritual Well-Being of Worker: An Exploratory Study of Spirituality in The Workplace,

disertasi, The Faculty of The Graduate School of The University of Texas at Austin, Texas, 1996Vollman,W., Michael, Lynda L. LaMontagne, dan Kenneth A. Wallston, “Existential well-being predicts perceived control in adults with heart failure”, Applied Nursing Research, Vol.22, Issue 3, 2009, hlm. 198-199.