masalah gizi utama di indonesia.docx
TRANSCRIPT
MASALAH GIZI UTAMA DI INDONESIA
DOSEN : Dr. Musni Mukhtar,MSc
OLEH : KELOMPOK D2
NAMA KELOMPOK
MAIYANI LESTARI 1110070110065
USWATUN NISA 1110070110067
TRINANDA AKASUMA 1110070110069
FITRIA MANDASARI 1110070110071
MENOLA ASTRIGIONA 1110070110073
BULAN PURNAMA SARI 111007011075
SIGIT BANU ROKHMADI 111007011077
MUHAMMAD TAWAKAL 111007011079
WULAN KURNIA ASANI 111007011081
ULYA RAHMI 111007011083
ARI SASDA DEWI 111007011085
WARA RIZKY CAHYANI 111007011087
JORDI GOZA FERNANDO 111007011091
MARDIANI PUTRI 111007011093
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG, 2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Zat yang Maha Agung yaitu Allah
SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah
ini.
Pada kesempatan ini, Penulis juga dengan rendah hati mengucapkan terima kasih dan
rasa hormat kepada dosen pembimbing dan teman-teman semuanya, yang telah membantu
dalam penulisan ini.
Tiada yang patut Penulis berikan kepada sahabat, rekan-rekan dan semua pihak yang
telah memberikan sumbangan pikiran dan dorongan untuk menyelesaikan Makalah ini selain
ucapan terima kasih, semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dan lebih mulia.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan baik
dari segi bahasa maupun ilmiahnya. Oleh sebab itu, Penulis dengan lapang dada mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca semua agar dapat memberikan kesempurnaan dan manfaat
maksimal dalam Makalah ini.
Harapan Penulis semoga dengan selesainya penyusunan makalah ini akan bermanfaat
bagi para pembaca umumnya dan Penulis khususnya.
Padang, 23 januari 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………………………………………………....1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………...2
1.3. Tujuan Penulisan ………………………………………………………………………….2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Kurang Energi Protein ……………………………………………………………………3
2.2. Kurang Vitamin A ………………………………………………………………………...6
2.3. Anemia Gizi …………………………………………………………………….……….12
2.4. Gangguan Akibat kekurangan Yodium .……………………………………………….16
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan …………………………………………………………………………………26
3.2. Saran ……………………………………………………………………………………….27
DAFTAR PUSTAKA
ii.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keadaan gizi merupakan salah satu ukuran penting dari kualitas sumber daya manusia. Di
suatu kelompok masyarakat, anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap
terjadinya kekurangan gizi. Kekurangan gizi dapat terjadi dari tingkat ringan sampai tingkat
berat dan terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu cukup lama.
Anak yang kurang gizi akan menurun daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terkena
penyakit infeksi, sebaliknya anak yang menderita penyakit infeksi akan mengalami gangguan
nafsu makan dan penyerapan zat-zat gizi sehingga menyebabkan kurang gizi dan ini dapat
menyebabkan ganggguan tumbuh kembang yang akan mempengaruhi tingkat kesehatan,
kecerdasan dan produktivitas di masa dewasa.
Ada empat masalah gizi utama di Indonesia diantaranya kurang energy protein, kurang
vitamin A, anemia gizi dan GAKI. Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu
masalah gizi utama di negara berkembang seperti di Indonesia, kejadian ini terutama pada
anak-anak di bawah usia 5 tahun (balita). KEP itu sendiri terdiri dari KEP ringan, sedang dan
berat. KEP berat adalah yang paling sering ditemukan terutama marasmus, kemudian
kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor.
KVA termasuk kedalam empat masalah gizi utama. Penelitian yang dilakukan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992 menunjukkan dari 20 juta balita di Indonesia yang
berumur enam bulan hingga lima tahun, setengahnya menderita kurang vitamin A.
Sedangkan data WHO tahun 1995 menyebutkan Indonesia adalah salah satu negara di Asia
yang tingkat pemenuhan terhadap vitamin A tergolong rendah.
Sementara studi yang dilakukan Nutrition and Health Surveillance System (NSS),
Departemen Kesehatan, tahun 2001 menunjukkan sekitar 50 persen anak Indonesia usia 12-
23 bulan tidak mengonsumsi vitamin A dengan cukup dari makanan sehari-hari. Oleh karena
itu sangat penting untuk mngetahui masalah Kurang vitamin A (KVA).
Sampai saat ini salah satu masalah yang belum nampak menunjukkan titik terang
keberhasilan penanggulangannya adalah masalah kekurangan zat besi atau dikenal dengan
sebutan anemia gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling umum dijumpai
terutama di negara–negara sedang berkembang. anemia gizi pada umumnya dijumpai pada
golongan rawan gizi yaitu ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, anak sekolah, anak pekerja
atau buruh yang berpenghasilan rendah.
Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) khususnya Gondok telah lama
dikenal di Indonesia.Hal ini terlihat dari adanya patung-patung tokoh pewayangan yang
ditampilkan dengan leher yang membesar karena Gondok.Tidak hanya dalam pewayangan
dalam kehidupan nyatapun di beberapa daerah dengan mudah dapat di jumpai penderita
Gondok.
GAKY merupakan salah satu permasalahan gizi yang sangat serius, karena dapat
menyebabkan berbagai penyakit yang mengganggu kesehatan antara lain ; Gondok,
Kretenisme, Reterdasi Mental dll.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana permasalahan tentang KEP?
1.2.2. Bagaimana permasalahan tentang KVA?
1.2.3. Bagaimana permasalahan tentang Anemia gizi?
1.2.4. Bagaimana permasalahan tentang GAKY?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Untuk mengetahui KEP
1.3.2. Untuk mengetahui KVA
1.3.3. Untuk mengetahui anemia gizi
1.3.4. Untuk mengetahui GAKY
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kurang Energi Protein (KEP)
2.1.1. Pengertian KEP
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yangdisebabkan
oleh rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari – hari atau gangguan
penyakit – penyakit tertentu. Anak tersebut kurang energi protein (KEP) apabila berat
badanya kurang dari 80 % indek berat badan/umur baku standar,WHO –NCHS,
(DEPKES RI,1997)
2.1.2. Klasifikasi Kurang Energi Protein (KEP)
Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang dilakukan dengan menimbang
berat badan anak dibanding dengan umur dan menggunakan KMS dan tabel BB/U Baku
Median WHO – NCHS.
1.KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita kuning
2.KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di Bawah Garis
Merah (BGM ).
3.KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U < 60 % baku median WHO-NCHS.
Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/gizi buruk dan KEP sedang, sehingga
untuk menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan taqbel BB/U Baku median WHO-
NCHS.
2.1.3. Gejala klinis Balita KEP berat/Gizi buruk
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak
kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai
marasmus, kwashiorkor atau marasmickwashiokor.Tanpa mengukur/melihat BB bila
disertai oudema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat/gizi buruk tipe
kwashiorkor.
a.Kwashiokor
Oudema,umumnya seluruh tubuh,terutama pada pada punggung kaki
(dorsum pedis )
Wajah membulat dan sembab
Pandangan mata sayu
Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut
tanpa rasa sakit,rontok
Perubahan status mental, apatis dan rewel
Pembesaran hati
Otot mengecil(hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri
atau duduk
Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
Sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut,anemia dan diare.
b.Marasmus
Tampak sangat kurus,tinggal tulang terbungkus kulit
Wajah seperti orang tua
Cengeng rewel
Kulit keriput,jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada
(pakai celana longgar )
Perut cekung
Iga gambang
Sering disertai , penyakit infeksi( umumnya kronis berulang), diare kronis
atau konstipasi/susah buang air.
c. Marasmik- kwashiorkor
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor
dan marasmus, dengan BB/U< 60 % baku median WHO-NCHS disertai oedema yang
tidak mencolok.(DEPKES RI. 1999) Kekurangan zat gizi makro ( energi dan protein )
dalam waktu besar dapat mengakibatkan menurunya status gizi individu dalam waktu
beberapa hari atau minggu saja yang ditandai dengan penurunan berat badan yang cepat.
Keadaan yang diakibatkan oleh kekurangan zat gizi sering disebut dengan istilah gizi
kurang atau gizi buruk.Kejadian kekurusan ( kurang berat terhadap tinggi badan) pada
tingkat sedang dan berat pada anak kecil maupun kekurusan pada individu yang lebih tua
dapat mudah dikenali dengan mata . Demikian pula halnya dengan kasus kekurangan
energi berat (marasmus) dan kekurangan protein berat(kwasiokor) serta kasus kombinasi
marasmik-kwassiokor dapat dikenali tanda- tandanya dengan mudah. (Soekirman, MPS.
1998)
Epidemilogi gangguan pertumbuhan atau kurang gizi pada anak balita selalu
berhubungan erat dengan keterbelakangan dalam pembangunan social ekonomi.
Kekurangan gizi tidak terjadi secara acak dan tidak terdistribusi secara merata ditingkat
masyarakat, tetapi kekurangan gizi sangat erat hubungannya dengan sindroma
kemiskinan. (Gopalan, C. 1987). Tanda – tanda sindroma, antaralain berupa : penghasilan
yang amat rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan
perumahan, kuantitas dan kualitas gizi makanan yang rendah sanitasi lingkungan yang
jelek dan sumber air bersih yang kurang, akses terhadap pelayanan kesehatan yang amat
terbatas, jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, dan tingkat buta aksara tinggi.
(Gopalan, C. 1987).
Status gizi terutama ditentukan ketersediaan dalam jumlah yang cukup dan dalam
kombinasi pada waktu yang tepat ditingkat sel semua zat gizi yang diperlukan tubuh
untuk pertumbuhan, perkembangan, dan berfungsi normal semua anggota badan. Oleh
karena itu prinsipnya status gizi di tentukan oleh dua hal – terpenuhinya dari makanan
semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh, dan peranan faktor-faktor yang menentukan
besarnya kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat gizi tersebut. Terhadap kedua hal
ini, faktor genetik dan faktor sosial ekonomi berperan. (Martorell, R, and Habicht, 1986).
2.2. Kurang Vitamin A
2.2.1 Pengertian Kurang Vitamin A
Kurang Vitamin A (KVA) merupakan penyakit sistemik yang merusak sel dan
organ tubuh dan menghasilkan metaplasi keratinasi pada epitel, saluran nafas, saluran
kencing dan saluran cerna (Arisman 2002). Penyakit Kurang Vitamin A (KVA) tersebar
luas dan merupakan penyebab gangguan gizi yang sangat penting. Prevalensi KVA
terdapat pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Sampai akhir tahun 1960-an KVA
merupakan penyebab utama kebutaan pada anak.
Mahdalia (2003) menyatakan bahwa tanda-tanda khas pada mata karena
kekurangan vitamin A dimulai dari rabun senja (XN) dimana penglihatan penderita akan
menurun pada senja hari bahkan tidak dapat melihat di lingkungan yang kurang cahaya.
Pada tahap ini penglihatan akan membaik dalam waktu 2-4 hari dengan pemberian kapsul
vitamin A yang benar. Bila dibiarkan dapat berkembang menjadi xerosis konjungtiva
(X1A). Selaput lendir atau bagian putih bola mata tampak kering, berkeriput, dan
berubah warna menjadi kecoklatan dengan permukaan terlihat kasar dan kusam. Xerosis
konjungtiva akan membaik dalam 2-3 hari dan kelainan pada mata akan menghilang
dalam waktu 2 minggu dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar. Bila tidak
ditangani akan tampak bercak putih seperti busa sabun atau keju yang disebut bercak
Bitot (X1B) terutama di daerah celah mata sisi luar. Pada keadaan berat akan tampak
kekeringan pada seluruh permukaan konjungtiva atau bagian putih mata, serta
konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut-kerut. Bila tidak segera diberi
vitamin A, dapat terjadi kebutaan dalam waktu yang sangat cepat. Tetapi dengan
pemberian kapsul vitamin A yang benar dan dengan pengobatan yang benar bercak bitot
akan membaik dalam 2-3 hari dan kelainan pada mata akan menghilang dalam 2 minggu.
Tahap selanjutnya bila tidak ditangani akan terjadi xerosis kornea (X2) dimana
kekeringan akan berlanjut sampai kornea atau bagian hitam mata. Kornea tampak suram
dan kering dan permukaannya tampak kasar. Keadaan umum anak biasanya buruk dan
mengalami gizi buruk, menderita penyakit campak, ISPA, diare. Pemberian kapsul
vitamin A dan pengobatan akan menyebabkan keadaan kornea membaik setelah 2-5 hari
dan kelainan mata sembuh setelah 2-3 minggu. Bila tahap ini berlanjut terus dan tidak
segera diobati akan terjadi keratomalasia (X3A) atau kornea melunak seperti bubur dan
ulserasi kornea (X3B) atau perlukaan. Selain itu keadaan umum penderita sangat buruk.
Pada tahap ini kornea dapat pecah. Kebutaan yang terjadi bila sudah mencapai tahap ini
tidak bisa disembuhkan. Selanjutnya akan terjadi jaringan parut pada kornea yang disebut
xeropthalmia scars (XS) sehingga kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata
tampak mengempis. Berikut ini merupakan klasifikasi xeropthalmia berdasarkan
keparahan kelainan mata :
XN : Buta senja (night blindeness)
XIA : Xerosis konjugtiva
XIB : Bercak bitot (bitot spot)
X2 : Xerosis kornea
X3A : Ulkus kornea atau keratomalasia (<1/3>
X3B : Ulkus kornea atau keratomalasia (= atau > 1/3 permukaan kornea)
XS : Bekas luka kornea
XF : Pengerasan dasar bola mata (fundus xeropthalmia)
2.2.2. Penyebab Kurang Vitamin (KVA)
Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya
cadangan vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum
vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik bagi
mata. Vitamin A diperlukan retina mata untuk pembentukan rodopsin dan pemeliharaan
diferensiasi jaringan epitel. Gangguan gizi kurang vitamin A dijumpai pada anak-anak
yang terkait dengan : kemiskinan, pendidikan rendah, kurangnya asupan makanan sumber
vitamin A dan pro vitamin A (karoten), bayi tidak diberi kolostrum dan disapih lebih
awal, pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A. Pada anak yang mengalami
kekurangan energi dan protein, kekurangan vitamin A terjadi selain karena kurangnya
asupan vitamin A itu sendiri juga karena penyimpanan dan transpor vitamin A pada
tubuh yang terganggu.
Kelompok umur yang terutama mudah mengalami kekurangan vitamin A adalah
kelompok bayi usia 6-11 bulan dan kelompok anak balita usia 12-59 bulan (1-5 tahun).
Sedangkan yang lebih berisiko menderita kekurangan vitamin A adalah bayi berat lahir
rendah kurang dari 2,5 kg, anak yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak diberi ASI
sampai usia 2 tahun, anak yang tidak mendapat makanan pendamping ASI yang cukup,
baik mutu maupun jumlahnya, anak kurang gizi atau di bawah garis merah pada KMS,
anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, TBC, pneumonia) dan kecacingan,
anak dari keluarga miskin, anak yang tinggal di dareah dengan sumber vitamin A yang
kurang, anak yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan imunisasi di posyandu
maupun puskesmas, serta anak yang kurang/jarang makan makanan sumber vitamin A.
2.2.3. Pencegahan dan Penanggulangan Kurang Vitamin A (KVA)
Menurut Soekirman (2000), cara pencegahan dan penanggulangan KVA
dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama pendekatan “melalui makanan” atau food
based intervention dan kedua “tidak melalui makanan” atau non food based intervention.
a. Intervensi KVA berbasis makanan
Penanggulangan vitamin A berbasis makanan adalah upaya
peningkatan konsumsi vitamin A dari makanan yang kaya akan vitamin A.
Sebaliknya bila bahan makanan yang aslinya tidak mengandung vitamin A
bisa diperkaya dengan vitamin A melalui teknologi fortifikasi. Jenis pangan
yang mengandung vitamin A antara lain sayuran berwarna hijau, kuning atau
merah, buah berwarna kuning atau merah, serta sumber makanan hewani.
Bahan makanan yang mengandung vitamin A dapat dilihat pada tabel di
bawah ini :
Bahan Makanan Satuan
Internasional
(SI)/100gram
Bahan Makanan Satuan
Internasional
(SI)/100gram
Bahan Makanan Nabati Bahan Makanan Hewani
Jagung muda, kuning, biji 117 Ayam 810
Jagung kuning panen baru,
biji 440 Hati sapi 43900
Jagung kuning panen lama,
biji 510 Ginjal sapi 1150
Ubi rambat, merah 7700 Telur itik 1230
Lamtoro, biji muda 423 Ikan segar 150
Kacang ijo kering 157 Daging sapi kurus 20
Wortel 12000 Buah :
Bayam 6000 Apokat 180
Daun melinjo 10000 Belimbing 170
Daun singkong 11000 Mangga masak pohon 6350
Genjer 3800 Apel 90
Kangkung 63000 Jambu biji 25
Tabel Daftar Bahan Makanan Sumber Vitamin A/Karoten
Ada perbendaan bentuk antara vitamin A yang terkandung dalam bahan
makanan hewani dan nabati. Bahan makanan hewani mengandung vitamin A
dalam bentuk yang mempunyai aktivitas yang disebut preformed vitamin A.
sedangkan dalam bahan makanan nabati mengandung vitamin A dalam bentuk
pro-vitamin A atau prekursor vitamin A yang terdiri dari ikatan karoten. Sumber
vitamin A preformed yang dipekatkan biasa digunakan sebagai obat suplemen
vitamin A.
Halati (2006) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi (AKG) anak balita
sekitar 350 Retinol Ekuivalen (RE). Angka ini dihitung dari kandungan vitamin A
dalam makanan nabati atau hewani yang dikonsumsi.
Sebagai gambaran, angka 350 RE terdapat pada tiga butir telur atau 250 gram
bayam. Jadi seorang anak balita memenuhi kecukupan gizi vitamin A jika ia
mengonsumsi tiga telur atau 250 gram bayam dalam sehari. Tapi, tentu saja,
seorang anak akan bosan jika terus menerus diberi telur dan bayam, apalagi dalam
jumlah besar. Terdapat banyak sayuran dan buah yang mengandung vitamin A.
Sayuran dan buah yang mengandung AKG dalam jumlah besar, lebih dari 150
RE/100 gr, adalah pepaya, bayam, kangkung, wortel, ubi jalar, mangga, dan
sebagainya. Sementara sumber makanan nabati dengan kandungan vitamin A
lebih rendah, sekitar 1-60 RE/100 gr, terdapat pada jagung, semangka, tomat,
pisang, belimbing, dan sejenisnya. Untuk sumber makanan hewani, kandungan
vitamin A dalam jumlah besar terdapat pada telur, daging ayam dan hati.
Sedangkan ikan, susu segar, dan udang memiliki kandungan vitamin A tergolong
kecil. Untuk lebih mudah mengingat jenis makanan apa saja yang mengandung
vitamin A. Jenis lainnya adalah makanan yang sudah difortifikasi atau ditambah
zat gizinya seperti jenis mie instan, biskuit, mentega dan susu instan.
b. Intervensi KVA berbasis bukan makanan
Mencegah dan menanggulangi KVA dengan basis bukan makanan atau
non food based intervention dilakukan dengan program suplementasi yaitu
pemberian tambahan (suplemen) vitamin A kepada anak atau ibu dalam bentuk
pil atau kapsul. Program ini merupakan program utama dan berhasil
menanggulangi KVA di Indonesia dan banyak negara lain. Untuk mencegah
terjadinya kekurangan vitamin A di Posyandu atau Puskesmas pada setiap bulan
Februari dan Agustus seluruh bayi usia 6-11 bulan, harus mendapat 1 kapsul
vitamin A biru dan seluruh anak balita usia 12-59 bulan mendapat kapsul vitamin
A warna merah. Sedangkan untuk ibu nifas sampai 30 hari setelah melahirkan
mendapat 1 kapsul vitamin A warna merah.
Untuk mengobati anak dengan gejala buta senja (XN) hingga xerosis
kornea (X2), dimana penglihatan masih dapat disembuhkan, diberikan kapsul
vitamin A pada hari pertama pengobatan sebanyak ½ (50.000 SI) kapsul biru
untuk bayi berusia kurang atau sama dengan 5 bulan, 1 kapsul biru (100.000 SI)
untuk bayi berusia 6 sampai 11 bulan atau 1 kapsul merah (200.000 SI) untuk
anak 12-59 bulan. Pada hari kedua diberikan 1 kapsul vitamin A sesuai umur dan
dua minggu kemudian diberi lagi 1 kapsul vitamin A juga sesuai umur.
Departemen Kesehatan juga terus melakukan program penanggulangan
kekurangan vitamin A sejak tahun 1970-an. Menurut catatan Depkes, tahun 1992
bahaya kebutaan akibat kekurangan vitamin A mampu diturunkan secara
signifikan. Namun sebanyak 50,2 persen balita masih menderita kekurangan
vitamin A sub-klinis yang juga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
anak. Guna menanggulangi hal ini, Depkes melaksanakan program pemberian
kapsul vitamin A bagi anak usia 6-59 bulan di Indonesia. Vitamin A dosis tinggi
diberikan pada balita dan ibu nifas. Pada balita diberikan dua kali setahun, setiap
bulan Februari dan Agustus dengan dosis 100.000 IU untuk anak 6-12 bulan dan
200.000 IU untuk anak 12-59 bulan dan ibu nifas.
2.3. Anemia Gizi
2.3.1. Pengertian
Anemia gizi adalah kekurangan kadar haemoglobin (Hb) dalam darah yang
disebabkan karena kekurangan zat gizi besi yang diperlukan untuk pembentukan Hb. Di
Indonesia sebagian besar anemia disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) sehingga
disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia gizi besi.
2.3.2. Batas Kadar Hb
Seseorang diketahui menderita anemia apabila dilakukan pemeriksaan kadar Hb,
disamping ada tanda-tanda klinis yang langsung dapat dilihat. Menurut WHO, batas
kadar anemia adalah sebagai berikut:
TABEL 1
BATAS KADAR Hb
Kategori Batas kadar Hb
Anak prasekolah
Anak sekolah
Wanita hamil
Ibu menyusui
Wanita dewasa
Pria dewasa
Kadar Hb <11gr%
Kadar Hb <12gr%
Kadar Hb <11gr%
Kadar Hb <12gr%
Kadar Hb <12gr%
Kadar Hb <13gr%
2.3.3. Tanda – Tanda Anemia
Secara fisik seseorang dapat diketahui menderita anemia apabila timbul gejala
sebagai berikut : 5L (lesu, letih, lemah, lelah, lalai), sering mengeluh pusing dan mata
berkunang-kunang. Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak
tangan menjadi pucat.
2.3.4. Akibat Anemia
Apabila ibu hamil menderita anemia maka akan menimbulkan dampak
negative yang sangat merugikan, antara lain;
a. dapat menimbulkan perdarahan sebelum atau saat persalinan.
b. Meningkatkan resiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah/BBLR.
c. Pada anemia berat, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan atau bayinya.
2.3.5. Penyebab Anemia Gizi Pada Kehamilan
a. faktor penyebab langsung dan tak langsung
Menurut Husaini(1989), faktor-faktor penyebab langsung anemia gizi besi adalah jumlah
zat besi dalam makanan tidak cukup, absorbsi zat besi meningkat, dan kehilangan darah.
Sedangkan secara tidak langsung adalah ketersedian Fe dalam makanan rendah,
pemberian makanan kurang baik, social ekonomi rendah, komposisi makanan kurang
beragam, zat penghambat absorbs, pertumbuhan fisik, kehamilan dan menyusui,
pendarahan parasit, infeksi dan pelayanan kesehatan rendah.
b. kebutuhan zat besi untuk ibu hamil
Menurut WHO dalam Husaini (1989) kebutuhan zat besi yang digunakan untuk
perkembangan janin selama kehamilan 290 mg, placenta 25 mg, pembentukan
haemoglobin 500 mg dan kehilangan basal 220 mg, dengan demikian jumlah zat besi yang
dibutuhkan 1035 mg atau dibulatkan menjadi 1000mg..
Kebutuhan zat besi tidak sama banyak untuk tiap semester kehamilan. Janin membutuhkan
zat besi mulai banyak pada trimester II. Menurut Husaini (19890 kebutuhan zat besi pada
wanita hamil naik dari 0,8mg/hari pada trimester I menjadi 6,3 mg/hari pada akhir
trimester III. Atas dasar hal tersebut diatas, maka kebutuhan zat besi pada trimester II dan
III akan jauh lebih besar dari jumlah zat besi yang didapat dari makanan, walaupun
makanan mengandung zat besi yang tinggi bioavaibilitasnya, kecuali jika wanita itu pada
sebelum hamil telah mempunyai cadangan zat besi yang tingginya yaitu lebih dari 500 mg
jarang ada walau pada masyarakat yang maju sekalipun apalagi pada Negara-negara
berkembang..
Apabila wanita hamil tidak mempunyai cadangan zat besi yang cukup banyak dan tidak
mendapatkan suplemen preparat besi, sedangkan janin bertumbuh terus dengan pesat,
maka janin dalam hal ini berperan sebagai parasit. Ibu akan menderita akibatnya,
sedangkan janin umumnya dipertahankan normal, kecuali pada keadaan yang sangat berat
misalnya kadar haemoglobin ibu sangat rendah maka zat besi yang berkurang pula
terhadap janin.
Untuk memenuhi kecukupan zat besi selama hamil, perlu menerapkan kecukupan
konsumsi zat besi yang dianjurkan. Dalam menerapkan kecukupan zat besi terlebih dahulu
harus menetapkan biovaibilitas zat besi dari menu makanan penduduk khususnya ibu
hamil, apakah tergolong tinggi, sedang atau rendah. Menu makanan yang kurang
beragam , misalnya kurang ada daging , ikan , atau ayam dan sedikit vitamin c, tetapi
banyak serat, pyhtat dan tannin, maka zat besi yang ada dalam makanan itu tergolong
rendah biovaibilitasnya.
2.3.6. Penanggulangan Anemia Gizi Besi
Penanggulangan Anemia Gizi Besi yang telah dilakukan meliputi suplementasi
besi dan fortifikasi besi pada beberapa bahan makanan, serta upaya lain yang dilakukan
adalah peningkatan konsumsi makanan sumber zat besi. Program pemberian suplemen zat
besi telah dilakukan sejak tahun 1974, terhadap wanita hamil. Program ini meliputi
seluruh wanita hamil yang tersebar di beberapa puskesmas dan posyandu. Tablet suplemen
ini sebagian besar berasal dari UNICEF.
Selain pada wanita hamil, suplemen besi juga diberikan pada anak dengan usia
dibawah lima tahun, yaitu berupa sirup besi (Soekirman et al., 2003). Upaya
penanggulangan anemia gizi besi dengan fortifikasi zat besi dilakukan terhadap beberapa
jenis bahan pangan. Fortifikasi besi lebih sulit dilakukan daripada fortifikasi vitamin A
dan zat iodium, karena sifat kimiawi zat besi yang beragam dan memerlukan penyesuaian
dengan pangan yang akan difortifikasi. Bahan pangan yang akan difortifikasi harus
memenuhi beberapa persyaratan diantaranya dihasilkan oleh pabrik tertentu, dikonsumsi
oleh banyak orang termasuk kelompok sasaran, harga setelah difortifikasi terjangkau, rupa
dan rasa tidak berubah, serta sesuai dengan sifat kimiawi zat fortifikan. Beberapa bahan
pangan yang telah difortifikasi adalah tepung terigu dan garam (Soekirman, 2000).
Menurut Muhilal dan Karyadi (1980), pelaksanaan fortifikasi tingkat nasional
harus melibatkan banyak departemen dalam pemerintahan, antara lain Departemen
Kesehatan yang menentukan kadarnya, Departemen Perindustrian yang menangani proses
fortifikasi, serta Departemen Perdagangan yang menangani penyalurannya. Keuntungan
fortifikasi besi adalah bahwa zat besi dapat mencapai sasaran untuk semua golongan
umur.
Menurut Khomsan (2004), terdapat beberapa hal yang dapat mendukung
kebijakan fortifikasi. Dari pihak pemerintah, perlu adanya subsidi pada tahap awal
penerapan teknologi fortifikasi. Departemen Kesehatan yang juga merupakan lembaga
pemerintah harus terus-menerus melakukan pemasaran sosial mengenai bahan-bahan yang
telah mengalami fortifikasi. Disamping lembaga-lembaga yang ada di dalam negeri,
lembaga-lembaga Internasional juga harus melakukan dukungan yaitu dengan melakukan
studi efikasi untuk mengetahui keefektifan dari suatu bahan yang telah difortifikasi.
Selain dengan suplementasi dan fortifikasi, penanggulangan anemia gizi besi
yang terpenting adalah dengan memperhatikan pola makan, yaitu menerapkan pola makan
yang baik dan bergizi seimbang. Dalam memilih makanan sumber zat besi, selain
memperhatikan jumlahnya yang terdapat dalam makanan, juga memperhatikan daya serap
dan nilai biologisnya. Daya serap dan nilai biologis makanan dipengaruhi oleh empat hal,
yaitu jumlah kandungan zat besi, bentuk kimia fisik zat besi, adanya makanan lain yang
memacu atau menghambat absorbsi zat besi serta cara pengolahan makanan (Soekirman,
2000).
2.4. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY)
2.4.1. Pengertian
Gizi adalah zat-zat yang diperoleh dari bahan makanan yang mempunyai nilai
sangat penting untuk dikonsumsi oleh tubuh.
Yodium adalah sejenis mineral yang terdapat di alam, baik di tanah maupun di
air. Yodium merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan makhluk hidup. Yodium diperlukan tubuh dalam pembentukan hormon
tiroksin untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan mulai dari janin sampai
dewasa.
Garam Beryodium adalah suatu garam yang telah diperkaya dengan KIO3
(Kalium Iodat) sebanyak 30-8- ppm.
GAKY merupakan suatu masalah gizi yang disebabkan karena kekurangan
Yodium, akibat kekurangan Yodium ini dapat menimbulkan penyakit, salah satu yang
sering kita kenal dan ditemui dimasyarakat adalah Gondok.
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) adalah sekumpulan gejala atau kelainan
yang ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan iodium secara terus – menerus
dalam waktu yang lama yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan makhluk
hidup (manusia dan hewan) (DepKes RI, 1996). Makin banyak tingkat kekurangan
iodium yang dialami makin banyak komplikasi atau kelainan yang ditimbilkannya,
meliputi pembesaran kelenjar tiroid dan berbagai stadium sampai timbul bisu-tuli dan
gangguan mental akibat kretinisme (Chan et al, 1988).
Kodyat (1996) mengatakan bahwa pada umumnya masalah ini lebih banyak
terjadi di daerah pegunungan dimana makanan yang dikonsumsinya sangat tergantung
dari produksi makanan yang berasal dari tanaman setempat yang tumbuh pada kondisi
tanah dengan kadar iodium rendah.
Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah
yang serius mengingat dampaknya secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup
dan kulitas manusia. Kelompok masyarakat yang sangat rawan terhadap masalah
dampak defisiensi iodium adalah wanita usia subur (WUS) ; ibu hamil ; anak balita dan
anak usia sekolah (Jalal, 1998).
2.4.2. Etiologi dan Patogenesis
Faktor – Faktor yang berhubungan dengan masalah GAKY antara lain :
Faktor Defisiensi Iodium dan Iodium Excess
Defisiensi iodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah GAKI. Hal
ini disebabkan karena kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi fisiologis
terhadap kekurangan unsur iodium dalam makanan dan minuman yang
dikonsumsinya (Djokomoeldjanto, 1994).
Hal ini dibuktikan oleh Marine dan Kimbell (1921) dengan pemberian
iodium pada anak usia sekolah di Akron (Ohio) dapat menurunkan gradasi
pembesaran kelenjar tiroid. Temuan lain oleh Dunn dan Van der Haal (1990) di
Desa Jixian, Propinsi Heilongjian (Cina) dimana pemberian iodium antara tahun
1978 dan 1986 dapat menurunkan prevalensi gondok secara drastic dari 80 %
(1978) menjadi 4,5 % (1986).
Iodium Excess terjadi apabila iodium yang dikonsumsi cukup besar secara
terus menerus, seperti yang dialami oleh masyarakat di Hokaido (Jepang) yang
mengkonsumsi ganggang laut dalam jumlah yang besar. Bila iodium dikonsumsi
dalam dosis tinggi akan terjadi hambatan hormogenesis, khususnya iodinisasi
tirosin dan proses coupling (Djokomoeldjanto, 1994).
Faktor Geografis dan Non Geografis
Menurut Djokomoeldjanto (1994) bahwa GAKI sangat erat hubungannya
dengan letak geografis suatu daerah, karena pada umumnya masalah ini sering
dijumpai di daerah pegunungan seperti pegunungan Himalaya, Alpen, Andres dan
di Indonesia gondok sering dijumpai di pegunungan seperti Bukit Barisan Di
Sumatera dan pegunungan Kapur Selatan.
Daerah yang biasanya mendapat suplai makanannya dari daerah lain
sebagai penghasil pangan, seperti daerah pegunungan yang notabenenya
merupakan daerah yang miskin kadar iodium dalam air dan tanahnya. Dalam
jangka waktu yang lama namun pasti daerah tersebut akan mengalami defisiensi
iodium atau daerah endemik iodium (Soegianto, 1996 dalam Koeswo, 1997).
Faktor Bahan Pangan Goiterogenik
Kekurangan iodium merupakan penyebab utama terjadinya gondok,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut berperan. Salah satunya
adalah bahan pangan yang bersifat goiterogenik (Djokomoeldjanto, 1974).
Williams (1974) dari hasil risetnya mengatakan bahwa zat goiterogenik dalam
bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat iodium dalam
tubuh tidak berguna, karena zat goiterogenik tersebut merintangi absorbsi dan
metabolisme mineral iodium yang telah masuk ke dalam tubuh.
Goiterogenik adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodium
oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar menjadi
rendah. Selain itu, zat goiterogenik dapat menghambat perubahan iodium dari
bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin
terhambat (Linder, 1992).
Menurut Chapman (1982) goitrogen alami ada dalam jenis pangan seperti
kelompok Sianida (daun + umbi singkong , gaplek, gadung, rebung, daun ketela,
kecipir, dan terung) ; kelompok Mimosin (pete cina dan lamtoro) ; kelompok
Isothiosianat (daun pepaya) dan kelompok Asam (jeruk nipis, belimbing wuluh
dan cuka).
Faktor Zat Gizi Lain
Defisiensi protein dapat berpengaruh terhadap berbagai tahap
pembentukan hormon dari kelenjar thyroid terutama tahap transportasi hormon.
Baik T3 maupun T4 terikat oleh protein dalam serum, hanya 0,3 % T4 dan 0,25 %
T3 dalam keadaan bebas. Sehingga defisiensi protein akan menyebabkan
tingginya T3 dan T4 bebas, dengan adanya mekanisme umpan balik pada TSH
maka hormon dari kelenjar thyroid akhirnya menurun.
2.4.3. Gejala
Gejala yang sering tampak sesuai dengan dampak yang ditimbulkan , seperti :
Reterdasi mental
Gangguan pendengaran
Gangguan bicara
Hipertiroid (Pembesaran Kelenjar Tiroid/Gondok)
Kretinisme biasanya pada anak-anak
2.4.4. Klasifikasi
1. Grade 0 : Normal
Dengan inspeksi tidak terlihat, baik datar maupun tengadah maksimal, dan dengan
palpasi tidak teraba.
2. Grade IA
Kelenjar Gondok tidak terlihat, baik datar maupun penderita tengadah maksimal,
dan palpasi teraba lebih besar dari ruas terakhir ibu jari penderita.
3. Grade IB
Kelenjar Gondok dengan inspeksi datar tidak terlihat, tetapi terlihat dengan
tengadah maksimal dan dengan palpasi teraba lebih besar dari Grade IA.
4. Grade II
Kelenjar Gondok dengan inspeksi terlihat dalam posisi datar dan dengan palpasi
teraba lebih besar dari Grade IB.
5. Grade III
Kelenjar Gondok cukup besar, dapat terlihat pada jarak 6 meter atau lebih.
2.4.5. Macam-macam Gangguan Akibat GAKY
1. Pada Fetus
- Abortus
- Steel Birth
- Kelainan Kematian Perinatal
- Kretin Neuroligi
- Kretin Myxedematosa
- Defek Psikomotor
2. Pada Neonatal
- Hipotiroid
- Gondok Neonatal
3. Pada Anak dan Remaja
- Juvenile Hipothyroidesm
- Gondok Gangguan Fungsi Mental
- Gangguan Perkembangan Fisik
- Kretin Myxedematosa dan Neurologi
4. Pada Dewasa
- Gondok dan segala Komplikasinya
- Hipotiroid
- Gangguan Fungsi Mental
2.4.6. Dosis Pemberian Kapsul Yodium
1. Anak SD (daerah endemik berat) : 1 kapsul/tahun
2. Daerah endemik sedang dan berat :
- Wanita Usia Subur Wus : 2 Kapsul/tahun @ 200 mg
- Ibu hamil : 1 Kapsul /tahun
- Ibu Menuyusui : 1 Kapsul selama menyusui
Mengingat dalam garam beryodium terdapat unsure natriun, maka konsumsi garam
beryodium harus dibatasi. Kelebihan mengkonsumsi natrium dapat memicu timbulnya
Stroke yaitu pecahnya pembuluh darah pada otak yang dapat menyebabkan kematian.
2.4.7. Kebutuhan Yodium
Menurut Hetzel (1989) dalam keadaan normal intake harian untuk orang dewasa
berkisar 100 – 150 mg perhari. Iodium diekskresikan melalui urin dan dinyatakan dalam
mg I/g kreatinin. Pada tingkat ekskresi lebih kecil daro 50 mg/g kreatinin sudah menjadi
indikator kekurangan intake. Konsumsi iodium sangat bervariasi antar berbagai wilayah
di dunia, diperkirakan sekitar 500 mg per hari di USA (sekitar 5 kali RDA). Adapun
kecukupan iodium yang dianjurkan untuk orang Indonesia antara lain :
1. Bayi (12 bulan pertama) 50 mikrogram/hari
2. Anak (usia 2-6 tahun) 90 mikrogram/hari
3. Anak usia sekolah (usia 7-12 tahun) 120 mikrogram/hari
4. Dewasa (diatas usia 12 tahun) 150 mikrogram/hari
5. Ibu hamil 175 mikrogram/hari
6. Ibu menyusui 200 mikrogram/hari
Khusus bagi kelompok ibu hamil tambahan tersebut sebagian dapat dipergunakan
untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid dan sebagiannya lagi untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin khususnya perkembangan otak. Bagi ibu hamil yang mengkonsumsi
iodium tidak mencukupi kebutuhan maka bayi atau janin yang dikandung akan
mengalami gangguan perkembangan otak (berat otak berkurang), gangguan
perkembangan fetus dan pasca lahir, kematian perinatal (abortus) meningkat, kemudian
setelah bayi dilahirkan mempunyai berat lahir rendah (BBLR) dan terdapat gangguan
pertumbuhan tengkorak serta perkembangan skelet, sedangkan bagi tubuh ibu hamil akan
mengalami gangguan aktivitas kelenjar tiroid. Pada kondisi ini tubuh akan mengalami
penyesuaian yang pada akhirnya akan mengalami pembesaran kelenjar tiroid yang
dikenal dengan sebutan gondok (Djokomoeldjanto, 1993 dan WHO, 1994).
2.4.8. Dampak GAKY
1. Terhadap Pertumbuhan
- Pertumbuhan yang tidak normal.
- Pada keadaan yang parah terjadi kretinisme
- Keterlambatan perkembangan jiwa dan kecerdasan
- Tingkat kecerdasan yang rendah
- Mulut menganga dan lidah tampak dari luar
2. Kelangsungan Hidup
- Neonatus dan Ibu hamil
Ketika kita bicara mengenai neonatus dan ibu hamil maka terbayang proses
pertumbuhan fetus intrauterin, yang umumnya mengikuti satu pola. Perkembangan otak
dan intelegensi tepat mutlak perlu untuk manifestasi yang ‘sempurna’ di kemudian hari.
Perkembangan fetus ibu hipotiroidisme primer yang hamil berbeda dengan perkembangan
fetus ibu hipotiroidisme yang disebabkan karena defisiensi yodium.
Patofisiologi yang jelas dan tegas belum terbukti hingga sekarang. Sumbangan
pengetahuan di atas tidak hanya penting untuk memahami dan mendalami peristiwa yang
terjadi di daerah dengan defisiensi berat saja (dengan adanya sindrom GAKI, lebih-lebih
mekanisme terjadinya kretin endemik baik miksudematosa maupun kretin tipe nervosa)
tetapi juga penting untuk upaya pencegahan.
- Pada Janin
Kekurangan yodium pada janin akibat Ibunya kekurangan yodium. Keadaan ini
akan menyebabkan besarnya angka kejadian lahir mati, abortus, dan cacat bawaan, yang
semuanya dapat dikurangi dengan pemberian yodium. Akibat lain yang lebih berat pada
janin yang kekurangan yodium adalah kretin endemic.
Kretin endemik ada dua tipe, yang banyak didapatkan adalah tipe nervosa,
ditandai dengan retardasi mental, bisu tuli, dan kelumpuhan spastik pada kedua tungkai.
Sebaliknya yang agak jarang terjadi adalah tipe hipotiroidisme yang ditandai dengan
kekurangan hormon tiroid dan kerdil.
Penelitian terakhir menunjukkan, transfer T4 dari ibu ke janin pada awal
kehamilan sangat penting untuk perkembangan otak janin. Bilamana ibu kekurangan
yodium sejak awal kehamilannya maka transfer T4 ke janin akan berkurang sebelum
kelenjar tiroid janin berfungsi.
Jadi perkembangan otak janin sangat tergantung pada hormon tiroid ibu pada
trimester pertama kehamilan, bilamana ibu kekurangan yodium maka akan berakibat
pada rendahnya kadar hormon tiroid pada ibu dan janin. Dalam trimester kedua dan
ketiga kehamilan, janin sudah dapat membuat hormon tiroid sendiri, namun karena
kekurangan yodium dalam masa ini maka juga akan berakibat pada kurangnya
pembentukan hormon tiroid, sehingga berakibat hipotiroidisme pada janin.
- Pada Saat Bayi Baru Lahir
Yang sangat penting diketahui pada saat ini, adalah fungsi tiroid pada bayi baru
lahir berhubungan erat dengan keadaan otak pada saat bayi tersebut lahir. Pada bayi baru
lahir, otak baru mencapai sepertiga, kemudian terus berkembang dengan cepat sampai
usia dua tahun. Hormon tiroid pembentukannya sangat tergantung pada kecukupan
yodium, dan hormon ini sangat penting untuk perkembangan otak normal.
Di negara sedang berkembang dengan kekurangan yodium berat, penemuan kasus
ini dapat dilakukan dengan mengambil darah dari pembuluh darah balik talipusat segera
setelah bayi lahir untuk pemeriksaan kadar hormon T4 dan TSH. Disebut hipotiroidisme
neonatal, bila didapatkan kadar T4 kurang dari 3 mg/dl dan TSH lebih dari 50 mU/mL.
Pada daerah dengan kekurangan yodium yang sangat berat, lebih dari 50%
penduduk mempunyai kadar yodium urin kurang dari 25 mg pergram kreatinin, kejadian
hipotiroidisme neonatal sekitar 75-115 per 1000 kelahiran. Yang sangat mencolok, pada
daerah yang kekurangan yodium ringan, kejadian gondok sangat rendah dan tidak ada
kretin, angka kejadian hipotiroidisme neonatal turun menjadi 6 per 1000 kelahiran.
Dari pengamatan ini disimpulkan, bila kekurangan yodium tidak dikoreksi maka
hipotiroidisme akan menetap sejak bayi sampai masa anak. Ini berakibat pada retardasi
perkembangan fisik dan mental, serta risiko kelainan mental sangat tinggi. Pada populasi
di daerah kekurangan yodium berat ditandai dengan adanya penderita kretin yang sangat
mencolok.
- Pada Masa Anak
Penelitian pada anak sekolah yang tinggal di daerah kekurangan yodium
menunjukkan prestasi sekolah dan IQ kurang dibandingkan dengan kelompok umur yang
sama yang berasal dari daerah yang berkecukupan yodium. Dari sini dapat disimpulkan
kekurangan yodium mengakibatkan keterampilan kognitif rendah. Semua penelitian yang
dikerjakan di daerah kekurangan yodium memperkuat adanya bukti kekurangan yodium
dapat menyebabkan kelainan otak yang berdimensi luas.
Dalam penelitian tersebut juga ditegaskan, dengan pemberian koreksi yodium
akan memperbaiki prestasi belajar anak sekolah. Faktor penentu kadar T3 otak dan T3
kelenjar hipofisis adalah kadar T4 dalam serum, bukan kadar T3 serum, sebaliknya
terjadi pada hati, ginjal dan otot. Kadar T3 otak yang rendah, yang dapat dibuktikan pada
tikus yang kekurangan yodium, didapatkan kadar T4 serum yang rendah, akan menjadi
normal kembali bila dilakukan koreksi terhadap kekurangan yodiumnya.
Keadaan ini disebut sebagai hipotiroidisme otak, yang akan menyebabkan bodoh
dan lesu, hal ini merupakan tanda hipotiroidisme pada anak dan dewasa. Keadaan lesu ini
dapat kembali normal bila diberikan koreksi yodium, namun lain halnya bila keadaan
yang terjadi di otak. Ini terjadi pada janin dan bayi yang otaknya masih dalam masa
perkembangan, walaupun diberikan koreksi yodium otak tetap tidak dapat kembali
normal.
- Pada Dewasa
Pada orang dewasa, dapat terjadi gondok dengan segala komplikasinya, yang
sering terjadi adalah hipotiroidisme, bodoh, dan hipertiroidisme. Karena adanya
benjolan/modul pada kelenjar tiroid yang berfungsi autonom. Disamping efek tersebut,
peningkatan ambilan kelenjar tiroid yang disebabkan oleh kekurangan yodium
meningkatkan risiko terjadinya kanker kelenjar tiroid bila terkena radiasi.
3. Perkembangan Intelegensia
Setiap penderita Gondok akan mengalami defisit IQ Point sebesar 5 Point dibawah
normal.
Terjadinya defisit IQ Point pada gilirannya akan berdampak pada program wajib
belajar 9 tahun, karena banyak anak usia sekolah yang tidak dapat mengikuti pelajaran
dan mengalami drop out.
Setiap Penderita Kretinisme akan mengalami defisit sebesar 50 Point dibawah
normal.
Iodium diperlukan khususnya untuk biosintesis hormon tiroid yang
beriodium.quot;; Iodium dalam makanan diubah menjadi iodida dan hampir secara
sempurna iodida yang dikonsumsi diserap dari sistem gastrointestinal. Yodium sangat
erat kaitannya dengan tingkat kecerdasan anak. Dampak yang ditimbulkan dari
kekurangan konsumsi yodium yang berada dalamtubuh, akan sangat buruk akibatnya
bagi kecerdasan anak, karena bisa menurunkan 11-13 nilai IQ anak.. Di antara penyakit
akibat kekurangan iodium adalah gondok dan kretinisme. Ada dua tipe terjadinya
kretinisme, yaitu kretinisme neurology seperti kekerdilan yang digolongkan dengan
mental, kelumpuhan dan buta tuli. Ada pula kretinisme hipotiroid Lokasi dan struktur
tiroid (gondok) di mana kelenjar tiroid yang terletak di bawah larynx sebelah kanan dan
kiri depan trakea mengekskresi tiroksin, triiodotironin dan beberapa hormon beriodium
lain yang dihubungkan dengan pertumbuhan yang kerdil dan retardasi mental yang
lambat. Selama masa pertumbuhan dan perkembangan, kebutuhan tubuh akan yodium
memang harus selalu dipenuhi. Karena kalau tidak, hipotiroidisme akan terus
‘mengancam’. Baik bayi, anak, remaja, bahkan dewasa muda tetap mempunyai peluang
terserang penyakit gondok, gangguan fungsi mental dan fisik, maupun kelainan pada
system saraf. Semua penyakit dan berbagai kelainan lainnya yang disebabkan oleh
defisiensi unsur kimia berlambang “I” ini , kini disebut dengan GAKY ( Gangguan
Akibat Kekurangan Yodium ). Selain akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak, yang
kita tahu selama ini, kekurangan yodium akan menyebabkan pembesaran kelenjar
gondok. Padahal, banyak gangguan lain yang juga bisa muncul. Misalnya saja,
kekurangan yodium yang dialami janin akan mengakibatkan keguguran maupun bayi
lahir meninggal, atau meninggal beberapa saat setelah dilahirkan. Bahkan, tidak sedikit
bayi yang terganggu perkembangan sistem sarafnya sehingga mempengaruhi kemampuan
psikomotoriknya.
4. Pertumbuhan Sosial
Dampak social yang ditimbulkan oleh GAKY berupa terjadinya gangguan perkembangan
mental, lamban berpikir, kurang bergairah sehingga orang semacam ini sulit dididik dan di
motivasi.
5. Perkembangan Eokonomi
GAKY akan mengalami gangguan metabolisme sehingga badannya akan merasa dingin
dan lesu sehingga akan berakibatnya rendahnya produktivitas kerja, yang akan
mempengaruhi hasil pendapatan keluarga.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ada empat masalah gizi utama di Indonesia diantaranya kurang energy protein,
kurang vitamin A, anemia gizi dan GAKI. Kurang Energi Protein (KEP) merupakan
salah satu masalah gizi utama di negara berkembang seperti di Indonesia, kejadian ini
terutama pada anak-anak di bawah usia 5 tahun (balita). ). KEP itu sendiri terdiri dari
KEP ringan, sedang dan berat. KEP berat adalah yang paling sering ditemukan terutama
marasmus, kemudian kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor.
Kurang Vitamin A (KVA) merupakan penyakit sistemik yang merusak sel dan
organ tubuh dan menghasilkan metaplasi keratinasi pada epitel, saluran nafas, saluran
kencing dan saluran cerna (Arisman 2002). Penyakit Kurang Vitamin A (KVA) tersebar
luas dan merupakan penyebab gangguan gizi yang sangat penting. Prevalensi KVA
terdapat pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Sampai akhir tahun 1960-an KVA
merupakan penyebab utama kebutaan pada anak.
Anemia gizi adalah kekurangan kadar haemoglobin (Hb) dalam darah yang
disebabkan karena kekurangan zat gizi besi yang diperlukan untuk pembentukan Hb. Di
Indonesia sebagian besar anemia disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) sehingga
disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia gizi besi.
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) adalah sekumpulan gejala atau
kelainan yang ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan iodium secara terus –
menerus dalam waktu yang lama yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan
makhluk hidup (manusia dan hewan) (DepKes RI, 1996). Makin banyak tingkat
kekurangan iodium yang dialami makin banyak komplikasi atau kelainan yang
ditimbilkannya, meliputi pembesaran kelenjar tiroid dan berbagai stadium sampai timbul
bisu-tuli dan gangguan mental akibat kretinisme (Chan et al, 1988).
3.2. Saran
Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak sangatlah diperlukan guna
untuk mengetahui apabila adanya kasus kurang giz. Terutama empat masalah gizi utama
di Indonesia, sehingga dapat ditangani sedini mungkin dan tidak berlanjut dan
berdampak buruk di kemudian harinya.
Pertumbuhan anak pada usia balita sebenarnya dapat dipantau melalui grafik berat
badan yang ada di dalam Kartu Menuju Sehat (KMS). Namun yang terpenting adalah
pengetahuan orang tua terhadap tumbuh kembang anak sehingga orang tua harus
memberikan makanan gizi seimbang untuk mencukupi kebutuhan gizi pada anak,
khususnya balita yang rentan terkena KEP, KVA, anemia gizi, dan GAKY.
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia. 2008 Marasmus. http:/www.wikipedia.com/wiki/Marasmus
Wikipedia. 2008. Kwashiorkor. http://id.wikipedia.org/wiki/Kwashiorkor
Halati. 2006. Vitamin A. www.ilmusehat.com. [23 januari 2013].
Mahdalia. 2003. Kurang Vitamin A, Bola Mata Anak Mengempis.
http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2003/0801/kes1.html [23 januari
2013