pendidikan matematika realistik indonesia.docx

85
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) Pendidikan matematika realistic sangat dipengaruhi oleh ide Hans Frudenthal yakni matematika sebagai suatu bentuk aktivitas manusia, bukan sekedar obyek yang harus ditransfer dari guru ke siswa (Majalah PMRI, 2009:23). Berdasarkan pemikiran tersebut, matematika merupakan suatu proses pembelajaran yang harus melibatkan siswa sebagai subyek sehingga siswa sendiri yang bergerak melakukan aktivitas matematis. Oleh karena itu, dalam pembelajaran PMRI ini perlu adanya stimulus untuk dapat menghubungkan pengetahuan informal sebagai pengetahuan awal siswa yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dengan pengetahuan formal matematika yang diperoleh di sekolah. Untuk itu, perlu adanya peran guru dalam hal menimbulkan stimulus yang berupa permasalahan realistic yang ada di kehidupan sehari-hari siswa dan mengaitkannya dengan pengetahuan formal matematika yang dipelajari di sekolah sehingga pembelajaran akan lebih bermakna untuk siswa. Adapun karekteristik dari PMRI (Majalah PMRI, 2009:24) yaitu: a. Penggunaan konteks dalam eksplorasi fenomenologis;

Upload: lilis-puri-sukadasih

Post on 25-Dec-2015

59 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Pendidikan matematika realistic sangat dipengaruhi oleh ide Hans

Frudenthal yakni matematika sebagai suatu bentuk aktivitas manusia, bukan

sekedar obyek yang harus ditransfer dari guru ke siswa (Majalah PMRI, 2009:23).

Berdasarkan pemikiran tersebut, matematika merupakan suatu proses

pembelajaran yang harus melibatkan siswa sebagai subyek sehingga siswa sendiri

yang bergerak melakukan aktivitas matematis. Oleh karena itu, dalam

pembelajaran PMRI ini perlu adanya stimulus untuk dapat menghubungkan

pengetahuan informal sebagai pengetahuan awal siswa yang diperoleh dalam

kehidupan sehari-hari dengan pengetahuan formal matematika yang diperoleh di

sekolah. Untuk itu, perlu adanya peran guru dalam hal menimbulkan stimulus

yang berupa permasalahan realistic yang ada di kehidupan sehari-hari siswa dan

mengaitkannya dengan pengetahuan formal matematika yang dipelajari di sekolah

sehingga pembelajaran akan lebih bermakna untuk siswa.

Adapun karekteristik dari PMRI (Majalah PMRI, 2009:24) yaitu:

a.                  Penggunaan konteks dalam eksplorasi fenomenologis;

b.                  Penggunaan model untuk mengkontruksi konsep (matematisasi vertical

dan horizontal);

c.                  Penggunaan kreasi dan kontribusi siswa;

d.                 Sifat aktif dan interaktif dalam proses pembelajaran;

e.                  Kesalingterkaitan antara aspek-aspek atau unit-unit matematika

(intertwinement);

f.                   Ciri-ciri khas alam dan budaya Indonesia. 

 

Page 2: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Adapun bentuk standar pembelajaran PMRI (Majalah PMRI, 2009: 28)

yakni sebagai berikut:

a.                 Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar kompetensi

dalam kurikulum;

b.                 Pembelajaran diawali dengan maslaah realistic sehingga siswa termotivasi

dan terbantu dalam belajar matematika;

c.                 Pembelajaran member kesempatan pada siswa untuk mengeksplorasi

masalah yang diberikan guru dan berdiskusi sehingga siswa dapat saling

belajar dalam rangka pengkontruksian pengetahuan;

d.                Pembelajaran mnegaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat

pembelajaran lebih bermakna dan membentuk pengetahuan yang utuh;

e.                 Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk menyarikan

fakta, konsep, dan prinsip matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan

dengan latihan untuk memperkuat pemahaman.

 

Kemudian, bahan ajar PMRI memiliki standar (Majalah PMRI, 2009:29)

sebagai berikut:

a. Bahan ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku;

b.                 Bahan ajar menggunakan permasalahan realistic untuk memotivasi siswa

dan membantu siswa belajar matematika;

c.                 Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait

sehingga siswa memperoleh pengetahuan matematika yang bermakna dan

utuh;

Page 3: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

d.                Bahan ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan

cara dan kemampuan berpikir siswa;

e.                 Bahan ajar dirumuskan/disajikan sedemikian sehingga

mendorong/memotivasi siswa berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, serta

berinteraksi dalam belajar.

Menurut Bakker (Majalah PMRI, 2009:24) yang menyatakan bahwa untuk

mendesain dan mengembangkan PMRI sebaiknya menggunakan guided

reinvention (penemuan terbimbing), dimana dalam pembelajaran siswa harus

diarahkan untuk menemukan strategi penyelesaian masalah dan didactical

phenomenology yaitu guru perlu menggunakan masalah kontekstual untuk

memperkenalkan konsep matematika.

Page 4: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Realistic Mathematic Education (RME) atau Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Pembelajaran matematika realistik adalah padanan Realistic Mathematics

Education (RME), sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang

dikembangkan Freudenthal di Belanda.Gravemeijer (1994:82) mengungkapkan

Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of

mathematics as an activity.

Ungkapan Gravemeijer di atas menunjukkan bahwa pembelajaran

matematika realistik dikembangkan berdasar pandangan Freudenthal yang

menyatakan matematika sebagai suatu aktivitas. Lebih lanjut Gravemeijer (1994:

82) menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut

meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi

pokok persoalan. Menurut Freudenthal aktivitas-aktivitas itu disebut

matematisasi.

Terkait dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas

Gravemeijer (1994: 91) menyatakan Mathematics is viewed as an activity, a way

of working. Learning mathematics means doing mathematics, of which solving

everyday life problem is an essential part. Gravemeijer menjelaskan bahwa

dengan memandang matematika sebagai suatu aktivitas maka belajar matematika

berarti bekerja dengan matematika dan pemecahan masalah hidup sehari-hari

merupakan bagian penting dalam pembelajaran.

Konsep lain dari pembelajaran matematika realistik dikemukakan Treffers

(dalam Fauzan, 2002: 33 – 34) dalam pernyataan berikut ini The key idea of RME

is that children should be given the opportunity to reinvent mathematics under the

guidance of an adult (teacher). In addition, the formal mathematical knowledge

can be developed from children’s informal knowledge. Dalam ungkapan di atas

Treffers menjelaskan ide kunci dari pembelajaran matematika realistik yang

menekankan perlunya kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali

Page 5: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

matematika dengan bantuan orang dewasa (guru). Selain itu disebutkan pula

bahwa pengetahuan matematika formal dapat dikembangkan (ditemukan kembali)

berdasar pengetahuan informal yang dimiliki siswa.

Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan di atas menjelaskan suatu cara

pandang terhadap pembelajaran matamatika yang ditempatkan sebagai suatu

proses bagi siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika berdasar

pengetahuan informal yang dimilikinya. Dalam pandangan ini matematika

disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat dipindahkan oleh guru ke dalam

pikiran siswa.

Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika,

Freudenthal (dalam Panhuizen, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi

yaitu matematisasi horisontal dan vertikal dengan penjelasan seperti berikut ini

“Horizontal mathematization involves going from the world of life into the world

of symbol, while vertical mathematization means moving within the world of

symbol.” Pernyataan ini menjelaskan bahwa matematisasi horisontal menyangkut

proses transformasi masalah nyata / sehari-hari ke dalam bentuk simbol.

Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup

simbol matematika itu sendiri. Contoh matematisasi horisontal adalah

pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara

yang berbeda oleh siswa. Sedangkan contoh matematisasi vertikal adalah

presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan

model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model

matematika dan penggeneralisasian.

Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas de Lange

(1987:101) mengidentifikasi empat pendekatan yang dipakai dalam mengajarkan

matematika, yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik dan realistik.

Pengkategorian keempat pendekatan tersebut didasarkan pada penekanan atau

keberadaan dua aspek matematisasi (horisontal atau vertikal) dalam masing-

masing pendekatan tersebut.

Page 6: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Tabel 2. 1 Matematisasi horisontal dan vertikal

dalam pendekatan-pendekatan matematika

Jenis Pendekatan Matematika Horizontal Matematika Vertikal

Mekanistik - -

Empristik + -

Strukturalistik - +

Realistik + +

Tanda “+” berarti perhatian besar yang diberikan oleh suatu jenis

pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu, sedangkan tanda “ “ berarti kecil

atau tidak ada sama sekali tekanan suatu jenis pendekatan terhadap jenis

matematisasi tertentu. Berdasar hal ini tampak bahwa pembelajaran matematika

dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup besar, baik pada

kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal jika dibandingkan dengan tiga

pendekatan yang lain.

Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip kunci

yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemeijer (1994:

90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu:

1. Guided reinvention and progressive mathematizing. Berdasar prinsip

reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses

yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat

dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu

prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian

informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi

prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan

masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian

serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar

matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive

mathematizing).

Page 7: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

2. Didactical phenomenology.Berdasar prinsip ini penyajian topik-topik

matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas

dua pertimbangan yaitu:

(i) memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam

proses pembelajaran dan

(ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses

progressive mathematizing.

3. Self-developed models, Berdasarkan prinsip ini saat mengerjakan

masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model

mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan

informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model

yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya

model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki

siswa.

Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya

dijabarkan menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika sebagai berikut

ini. Karena hal ini maka beberapa di antara karakteristik berikut ini akan muncul

dalam pembelajaran matematika. Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran

matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:

1. Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik

lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan

sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.

2. Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat

dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model

yang mengarah ke tingkat abstrak.

Page 8: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau penemuan

konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.

4. Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa

dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.

5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat

memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.

Dengan mengkaji secara mendalam prinsip dan karakteristik

pembelajaran matematika realistik tampak bahwa pendekatan ini dikembangkan

berlandaskan pada filsafat kontruktivisme. Paham ini berpandangan bahwa

pengetahuan dibangun sendiri oleh orang yang belajar secara aktif. Penanaman

suatu konsep tidak dapat dilakukan dengan mentransferkan konsep itu dari satu

orang ke orang lain. Tetapi seseorang yang sedang belajar semestinya diberi

keleluasaan dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam

mengkonstruk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. Aktivitas ini dapat terjadi

dengan cara memberikan permasalahan kepada siswa. Permasalahan tersebut

adalah permasalahan yang telah diakrabi siswa dalam kehidupannya. Sebagai

akibat dari peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika realistik

adalah berkurangnya dominasi guru. Dalam pendekatan ini guru lebih berfungsi

sebagai fasilitator.

A. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Meninjau karakteristik interaktif dalam pembelajaran matematika

realistik di atas tampak perlu sebuah rancangan pembelajaran yang mampu

membangun interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa

dengan lingkungannya. Dalam hal ini, Asikin (2001: 3) berpandangan perlunya

guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-

idenya melalui presentasi individu, kerja kelompok, diskusi kelompok, maupun

diskusi kelas. Negosiasi dan evaluasi sesama siswa dan juga dengan guru adalah

Page 9: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

faktor belajar yang penting dalam pembelajaran konstruktif ini.

Implikasi dari adanya aspek sosial yang cukup tinggi dalam aktivitas belajar siswa

tersebut maka guru perlu menentukan metode mengajar yang tepat dan sesuai

dengan kebutuhan tersebut. Salah satu metode mengajar yang dapat memenuhi

tujuan tersebut adalah memasukkan kegiatan diskusi dalam pembelajaran siswa.

Aktivitas diskusi dipandang mampu mendorong dan melancarkan interaksi antara

anggota kelas. Menurut Kemp (1994: 169) diskusi adalah bentuk pengajaran tatap

muka yang paling umum digunakan untuk saling tukar informasi, pikiran dan

pendapat. Lebih dari itu dalam sebuah diskusi proses belajar yang berlangsung

tidak hanya kegiatan yang bersifat mengingat informasi belaka, namun juga

memungkinkan proses berfikir secara analisis, sintesis dan evaluasi. Selanjutnya

perlu pula ditentukan bentuk diskusi yang hendak dilaksanakan dengan

mempertimbangkan kondisi kelas yang ada. Karena pembelajaran dalam rangka

penelitian ini dilaksanakan dalam sebuah kelas yang pada umumnya

beranggotakan 40 sampai 44 siswa dengan penempatan siswa yang sulit untuk

membentuk kelompok diskusi besar, maka interaksi antar siswa dimunculkan

melalui diskusi kelompok kecil secara berpasangan selain diskusi kelas.

Mendasarkan pada kondisi kelas seperti uraian di atas serta beberapa karakteristik

dan prinsip pembelajaran matematika realistik, maka langkah-langkah

pembelajaran yang dilaksanakan dalam penelitian ini terdiri atas:

Langkah – 1. Memahami masalah kontekstual.

Pada langkah ini guru menyajikan masalah kontekstual kepada siswa.

Selanjutnya guru meminta siswa untuk memahami masalah itu terlebih dahulu.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini

adalah menggunakan konteks. Penggunaan konteks terlihat pada penyajian

masalah kontekstual sebagai titik tolak aktivitas pembelajaran siswa.

Langkah – 2. Menjelaskan masalah kontekstual.

Page 10: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami kesulitan memahami

masalah kontekstual. Pada langkah ini guru memberikan bantuan dengan memberi

petunjuk atau pertanyaan seperlunya yang dapat mengarahkan siswa untuk

memahami masalah.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini

adalah interaktif, yaitu terjadinya interaksi antara guru dengan siswa maupun

antara siswa dengan siswa. Sedangkan prinsip guided reinvention setidaknya telah

muncul ketika guru mencoba memberi arah kepada siswa dalam memahami

masalah.

Langkah – 3. Menyelesaikan masalah kontekstual.

Pada tahap ini siswa didorong menyelesaikan masalah kontekstual secara

individual berdasar kemampuannya dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk

yang telah disediakan. Siswa mempunyai kebebasan menggunakan caranya

sendiri. Dalam proses memecahkan masalah, sesungguhnya siswa dipancing atau

diarahkan untuk berfikir menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan untuk

dirinya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan

seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.

Pada tahap ini , dua prinsip pembelajaran matematika realistik yang dapat

dimunculkan adalah guided reinvention and progressive mathematizing dan self-

developed models. Sedangkan karakteristik yang dapat dimunculkan adalah

penggunaan model. Dalam menyelesaikan masalah siswa mempunyai kebebasan

membangun model atas masalah tersebut.

Langkah – 4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban.

Pada tahap ini guru mula-mula meminta siswa untuk membandingkan

dan mendiskusikan jawaban dengan pasangannya. Diskusi ini adalah wahana bagi

sepasang siswa mendiskusikan jawaban masing-masing. Dari diskusi ini

diharapkan muncul jawaban yang dapat disepakati oleh kedua siswa. Selanjutnya

Page 11: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

guru meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban yang

dimilikinya dalam diskusi kelas. Pada tahap ini guru menunjuk atau memberikan

kesempatan kepada pasangan siswa untuk mengemukakan jawaban yang

dimilikinya ke muka kelas dan mendorong siswa yang lain untuk mencermati dan

menanggapi jawaban yang muncul di muka kelas.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada tahap ini

adalah interaktif dan menggunakan kontribusi siswa. Interaksi dapat terjadi antara

siswa dengan siswa juga antara guru dengan siswa. Dalam diskusi ini kontribusi

siswa berguna dalam pemecahan masalah.

Langkah – 5. Menyimpulkan.

Dari hasil diskusi kelas guru mengarahkan siswa untuk menarik

kesimpulan mengenai pemecahan masalah, konsep, prosedur atau prinsip yang

telah dibangun bersama.

Pada tahap ini karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul

adalah interaktif serta menggunakan kontribusi siswa.

B. Teori Belajar yang Relevan dengan Pembelajaran Matematika Realistik

Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembelajaran

matematika realistik dikembangkan dengan mengacu dan dijiwai oleh filsafat

konstruktivis. Sedangkan menurut Soedjadi (1999: 156) kontruktivisme di bidang

belajar dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan yang dikembangkan

sejalan dengan teori psikologi kognitif. Inti dari konstruktivisme dalam bidang

belajar adalah peranan besar yang dimiliki siswa dalam mengkonstruksi

pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Sedangkan guru memposisikan diri

lebih sebagai fasilitator belajar. Beberapa teori belajar kognitif yang dipandang

relevan dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik adalah teori Piaget,

teori Vygotsky, teori Ausubel dan teori Bruner.

1. Teori Piaget

Page 12: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Piaget (dalam Ibrahim, 1999:16) berpandangan bahwa, anak-anak

memiliki potensi untuk mengembangkan intelektualnya. Pengembangan

intelektual mereka bertolak dari rasa ingin tahu dan memahami dunia di

sekitarnya. Pemahaman dan penghayatan tentang dunia sekitarnya akan

mendorong pikiran mereka untuk membangun tampilan tentang dunia tersebut

dalam otaknya. Tampilan yang merupakan struktur mental itu disebut skema atau

skemata (jamak). Suparno (1997: 30) menggambarkan skema sebagai suatu

jaringan konsep atau kategori. Dengan menggunakan skemanya, seseorang dapat

memproses dan mengidentifikasi suatu rangsangan yang diterimanya sehingga ia

dapat menempatkannya pada kategori / konsep yang sesuai. Piaget menyatakan

bahwa prinsip dasar dari pengembangan pengetahuan seseorang adalah

berlangsungnya adaptasi pikiran seseorang ke dalam realitas di sekitarnya. Proses

adaptasi ini tidak terlepas dari keberadaan skema yang dimiliki orang tersebut

serta melibatkan asimilasi, akomodasi dan equiliberation dalam pikirannya

(Suparno,1997: 31). Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang

dapat mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema

yang dimilikinya. Melalui asimilasi, skema seseorang berkembang namun tidak

berubah. Dengan demikian perkembangan skema seseorang berarti terjadinya

pengayaan persepsi dan pengetahuan seseorang atas dunia sekitarnya. Karena itu

asimilasi dapat dipandang sebagai proses yang dilakukan individu untuk

mengadaptasikan dan mengorganisasi diri ke dalam lingkungannya sehingga

pengertianya berubah. Proses kognitif asimilasi tidak selalu dapat dilakukan

seseorang. Hal ini terjadi jika rangsangan baru yang diterimanya tidak sesuai

dengan skema yang dimilikinya. Jika hal ini terjadi, maka akan dilakukan proses

akomodasi. Melalui proses akomodasi, pikiran seseorang akan membentuk skema

baru yang cocok dengan rangsangan tersebut atau memodifikasi skema yang telah

ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut (Suparno, 1997: 32). Dalam

mengembangkan pengetahuannya, proses asimilasi dan akomodasi terus

berlangsung dalam diri seseorang. Keduanya terjadi tidak berdiri sendiri. Kedua

proses ini berlangsung dalam keseimbangan yang diatur secara mekanis. Proses

pengaturan keseimbangan ini disebut equilibrium (Suparno, 1997: 32). Namun

Page 13: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

dalam menerima suatu pengalaman baru dapat terjadi suatu keadaan sedemikian

hingga terjadi ketidakseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Keadaan ini

disebut sebagai dissequilibrium. Ketidakseimbangan ini muncul pada saat terjadi

ketidaksesuaian antara pengalaman saat ini dengan pengalaman baru yang

mengakibatkan akomodasi. Jika terjadi ketidakseimbangan maka seseorang

dipacu untuk mencari keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Menurut

Dahar (1991: 182) seseorang yang mampu memperoleh kembali

keseimbangannya akan berada pada tingkat intelektual yang tinggi dari

sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Teori Piaget

memandang kenyataan atau pengetahuan bukan sebagai objek yang memang

sudah jadi dan ada untuk dimiliki manusia, namun ia harus diperoleh melalui

kegiatan konstruksi oleh manusia sendiri melalui proses pengadaptasian

pikirannya ke dalam realitas di sekitarnya. Lebih lanjut Piaget (dalam Atkinson,

1999: 96) menjelaskan bahwa dalam tahap-tahap perkembangan intelektualnya

seorang anak sudah terlibat dalam proses berpikir dan mempertimbangkan

kehidupannya secara logis. Proses berpikir tersebut berlangsung sesuai dengan

tingkat perkembangan anak. Agar perkembangan intelektual anak berlangsung

optimal maka mereka perlu dimotivasi dan difasilitasi untuk membangun teori-

teori yang menjelaskan tentang dunia sekitarnya (Ibrahim, 1999: 19). Berkaitan

dengan upaya ini Piaget (dalam Ibrahim, 1999:18) berpendapat bahwa pendidikan

yang baik adalah pendidikan yang melibatkan anak bereksperimen secara mandiri,

dalam arti:

a. Mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi.

b. Memanipulasi tanda dan simbol

c. Mengajukan pertanyaan

d. Menemukan jawaban sendiri

e. Mencococokan apa yang telah ia temukan pada suatu saat dengan apa

yang ia temukan pada saat yang lain

Page 14: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

f. Membandingkan temuannya dengan temuan orang lain.

Pembelajaran matematika realistik merupakan salah satu pendekatan

pembelajaran yang sejalan dengan pandangan Piaget di atas. Pembelajaran

matematika realistik yang dikembangkan dengan berlandaskan pada filsafat

konstruktivis, memandang pengetahuan dalam matematika bukanlah sebagai

sesuatu yang sudah jadi dan siap diberikan kepada siswa, namun sebagai hasil

konstruksi siswa yang sedang belajar. Karena itu, dalam pembelajaran matematika

realistik siswa merupakan pusat dari proses pembelajaran itu sendiri, sedangkan

guru berperan lebih sebagai fasilitator. Implikasi dari pandangan ini adalah

keharusan bagi guru untuk memfasilitasi dan mendorong siswa untuk terlibat aktif

dalam proses pembelajaran. Siswa harus didorong untuk mengkonstruksi

pengetahuan bagi dirinya. Untuk keperluan tersebut maka siswa perlu mendapat

keleluasaan dalam mengekspresikan jalan pikirannya dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang dihadapinya. Untuk mewujudkan situasi dan kondisi

belajar yang demikian maka dalam mengelola pembelajaran guru perlu

memperhatikan beberapa pandangan Piaget. Diantaranya adalah guru perlu

mendorong siswa untuk berani mencoba berbagai kemungkinan cara untuk

memahami dan menyelesaikan masalah. Dalam ini aktivitas mengkonstruksi

pengetahuan oleh siswa diwujudkan dengan memberikan masalah kontekstual.

Masalah kontekstual tersebut dirancang sedemikian hingga memungkinkan siswa

untuk membangun pengetahuannya secara mandiri.

2. Teori Vygotsky Matthews dan O’Loughlin (dalam Suparno, 1997: 41)

berpendapat bahwa teori Piaget dikembangkan dengan penekanan yang lebih pada

aspek personal. Teori ini dipandang terlalu subjektif dan kurang sosial, sehingga

faktor masyarakat dan lingkungan kurang diperhatikan dalam proses

pengembangan intelektual seorang anak.

Berbeda dengan Piaget, Vygotsky (dalam Ibrahim, 1999: 18) berpendapat bahwa

proses pembentukan dan pengembangan pengetahuan anak tidak terlepas dari

faktor interaksi sosialnya. Melalui interaksi dengan teman dan lingkungannya,

seorang anak terbantu perkembangan intelektualnya. Pandangan Vygotsky tentang

Page 15: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

arti penting interaksi sosial dalam perkembangan intelektual anak tampak dari

empat ide kunci yang membangun teorinya.

a. Penekanan pada hakikat sosial. Ide kunci pertama ini menjelaskan pandangan

Vygotsky tentang arti penting interaksi sosial dalam proses belajar anak.

Vygotsky (dalam Nur, 1999: 3) mengemukakan bahwa anak belajar melalui

interaksi dengan orang dewasa atau teman sebayanya. Dalam proses belajar yang

demikian, seorang anak yang sedang belajar tidak hanya menyampaikan

pengertiannya atas suatu masalah kepada dirinya sendiri namun ia juga dapat

menyampaikannya pada orang lain di sekitarnya. Pembelajaran kooperatif yang

terjalin oleh intraksi sosial peserta belajar memberi manfaat berupa hasil belajar

yang terbuka untuk seluruh siswa dan proses berpikir siswa lain terbuka untuk

siswa yang lain.

b. Wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development). Vygotsky

menjelaskan adanya dua tingkat perkembangan intelektual, yaitu tingkat

perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Pada tingkat

perkembangan aktual seseorang sudah mampu untuk belajar atau memecahkan

masalah dengan menggunakan kemampuan yang ada pada dirinya pada saat itu.

Sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah tingkat perkembangan

intelektual yang dicapai seseorang dengan bantuan orang lain yang lebih mampu.

Tingkat perkembangan potensial terletak di atas tingkat perkembangan aktual

seseorang. Perubahan dari tingkat perkembangan aktual menuju ke tingkat

perkembangan potensial tidak terjadi secara langsung dan otomatis. Perubahan itu

berlangsung dengan melalui proses belajar yang terjadi pada wilayah

perkembangan terdekat. Wilayah perkembangan terdekat terletak sedikit di atas

perkembangan aktual seseorang. Menurut Slavin (1994: 49) seorang anak yang

bekerja dalam wilayah perkembangan terdekat terlibat dalam tugas-tugas yang

tidak mampu diselesaikannya sendiri. Ia memerlukan kehadiran orang yang lebih

mampu untuk membantunya. Dengan mengerjakan serangkaian tugas belajar di

wilayah perkembangan terdekat seorang anak diharapkan mencapai tingkat

kecakapan tertentu pada waktu selanjutnya. Dengan demikian proses belajar di

Page 16: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

wilayah perkembangan terdekat dapat dipandang sebagai suatu proses transisi atau

peralihan dari tingkat perkembangan aktual ke tingkat perkembangan potensial.

c. Pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship) Ide kunci ini adalah gabungan

dua ide kunci yang pertama, yaitu hakikat sosial dan perkembangan daerah

terdekat . Menurut Vygotsky, dalam proses pemagangan kognitif seorang siswa

secara bertahap mencapai kepakaran dalam interaksinya dengan seorang pakar,

orang dewasa atau teman sebayanya dengan pengetahuan yang lebih (Nur, 1999:

5). Implementasi dari ide ini adalah pembentukan kelompok belajar kooperatif

heterogen sehingga siswa yang lebih pandai dapat membantu siswa yang kurang

pandai dalam menyelesaikan tugasnya.

d. Perancahan (Scaffolding) Scaffolding atau perancahan (anak tangga) adalah

suatu prinsip yang mengacu kepada bantuan yang diberikan oleh orang dewasa

atau teman sebaya yang kompeten. Dalam proses pembelajaran bantuan itu

diberikan kepada siswa dalam bentuk sejumlah besar dukungan pada tahap awal

pembelajaran. Selanjutnya bantuan itu makin berkurang dan pada akhirnya tidak

ada sama sekali sehingga anak mengambil alih tanggung jawab secara penuh

terhadap apa yang dikerjakan setelah ia mampu melakukannya (Slavin, 1997: 48).

Ide kunci ini menjelaskan pandangan Vygotsky tentang perlunya pemberian

tugas-tugas komplek, sulit dan realistik kepada siswa. Melalui pemecahan

masalah dalam tugas yang diterimanya, seorang siswa diharapkan dapat

menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya. Dengan

demikian pembelajaran yang terjadi lebih menekankan pada model pengajaran

top-down (Nur, 1999: 5). Pembelajaran yang demikian berlawanan dengan model

bottom-up tradisional, dimana keterampilan-keterampilan dasar diberikan secara

bertahap untuk mewujudkan keterampilan yang lebih kompleks.

Implikasi yang muncul atas pandangan Vygotsky dalam pendidikan anak adalah

perlu adanya suatu dorongan kepada siswa untuk berinteraksi dengan orang di

sekitarnya yang punya pengetahuan lebih baik yang dapat memberikan bantuan

dalam pengembangan intelektualnya. Lebih luas daripada itu, para konstruktivis

menekankan agar para pendidik memperhatikan keberadaan situasi sekolah,

Page 17: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

masyarakat dan teman di sekitar seseorang yang dapat mempengaruhi

pengembangan intelektual seorang siswa (Cobb dalam Suparno, 1997: 96). Salah

satu karakteristik dalam pembelajaran matematika realistik adalah penemuan

konsep dan pemecahan masalah sebagai hasil sumbang gagasan para siswa.

Kontribusi gagasan tersebut dapat diwujudkan melalui proses pembelajaran yang

di dalamnya terdapat interaksi antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan

guru atau antara siswa dengan lingkungannya. Dengan demikian, selain ada

aktivitas mental yang bersifat personal, dalam pembelajaran matematika realistik

guru perlu mendorong munculnya interaksi sosial antar anggota kelas dalam

proses mengkonstruk pengetahuan. Melalui interaksi sosial tersebut siswa yang

lebih mampu berkesempatan menyampaikan pemahaman yang dimilikinya pada

siswa lain yang lebih lemah. Hal ini memungkinkan bagi siswa yang lebih lemah

tersebut memperoleh peningkatan dari perkembangan aktual ke perkembangan

potensial atas bantuan siswa yang lebih mampu. Sedangkan di sisi lain guru

mempunyai peran dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan dengan

memberi arah, petunjuk, peringatan dan dorongan. Dengan demikian tampak

bahwa proses pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori Vygotsky

yang memberi tekanan pada pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan

intelektual anak. Dalam hal ini, interkasi sosial antar anggota kelas diwujudkan

melalui tahap mendiskusikan dan menegosiasikan penyelesaian masalah di tingkat

kelompok maupun tingkat kelas. Dalam diskusi kelompok maupun kelas tersebut

guru perlu mendorong semangat saling berbagi dan menghargai pandangan pihak

lain. Sedangkan interaksi yang dapat dibangun oleh guru dengan para siswa

adalah dengan memberikan bantuan seperlunya tanpa harus membatasi

keleluasaan siswa mengekspresikan ide-idenya.

3. Teori Ausubel

Ausubel, Noval dan Hanesian menggolongkan belajar atas dua jenis yaitu

belajar menghafal dan belajar bermakna (Suparno, 1997: 53). Menurut Nur (1999:

38) belajar menghafal mengacu pada penghafalan fakta-fakta atau hubungan-

Page 18: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

hubungan, misal tabel perkalian dan lambang-lambang atom kimia. Sedangkan

menurut Ausubel belajar dikatakan bermakna jika informasi yang akan dipelajari

siswa disusun sesuai dengan struktur kognitifnya sehingga siswa tersebut

mengkaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya

(Hudojo, 1988: 61). Menurut Parreren melalui belajar bermakna struktur konsep

yang dimiliki seseorang mengalami perkembangan. Selain itu konsep-konsep

yang terhubung satu dengan yang lain secara bermakna melahirkan kaidah yang

berguna dalam pemecahan masalah (Winkel, 1991: 57). Pandangan ini sejalan

dengan pendapat yang menyebutkan bahwa pengetahuan yang dipelajari secara

bermakna akan memungkinkan untuk diterapkan ke situasi yang lebih luas dalam

kehidupan nyata (Nur, 1999: 34). Berlawanan dengan penjelasan di atas, jika

pengetahuan yang semestinya dapat diajarkan secara bermakna tetapi diajarkan

dengan menghafal akan menghasilkan pengetahuan inert. Pengetahuan inert

adalah pengetahuan yang sesungguhnya dapat diterapkan untuk situasi yang lebih

umum, tetapi pada kenyataannya hanya dapat diterapkan dalam situasi khusus

(Nur, 1999: 38). Siswa yang hanya menghafal suatu konsep tanpa benar-benar

mengerti isinya merupakan bentuk dari korban verbalisme (Winkel, 1991: 58).

Salah satu karakteristik pembelajaran matematika realistik adalah penggunaan

konteks. Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika realistik berarti

bahwa lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat

dijadikan sebagai bagian materi belajar bagi siswa. Apa yang terjadi di sekitar

siswa maupun pengetahuan yang dimiliki siswa merupakan bahan yang berharga

untuk dijadikan sebagai permasalahan kontekstual yang menjadi titik tolak

aktivitas berfikir siswa. Permasalahan yang demikian lebih bermakna bagi siswa

karena masih berada dalam jangkauan pengetahuan yang telah dimiliki siswa

sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memecahkan masalah kontekstual seorang

siswa harus dapat mengkaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan

permasalahan tersebut. Dengan demikian seorang siswa akan berhasil

memecahkan masalah kontekstual jika ia mempunyai cukup pengetahuan yang

terkait dengan masalah tersebut. Selain itu siswa juga harus dapat menerapkan

pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah kontekstual

Page 19: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

tersebut. Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam

pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel.

4. Teori Bruner

Bruner (dalam Hudojo, 1988: 56) berpendapat bahwa belajar matematika

adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur serta mencari

hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Menurut Bruner

pemahaman atas suatu konsep beserta strukturnya menjadikan materi itu lebih

mudah diingat dan dapat dipahami lebih komprehensif. Mirip dengan seperti apa

yang dikemukakan Piaget, Bruner berpendapat adanya tiga tahap perkembangan

mental yang dilalui peserta didik dalam proses belajar. Namun ketiga tahap

berpikir menurut Bruner ini tidak dikaitkan dengan usia peserta didik. Tiga tahap

perkembangan mental menurut Bruner (dalam Hudojo, 1988: 57) tersebut adalah:

a. Enactive. Dalam tahap ini seseorang mempelajari suatu pengetahuan

secara aktif dengan menggunakan/ memanipulasi benda-benda konkrit atau situasi

nyata secara langsung. Contoh masalah yang dirancang untuk materi

pembelajaran PLSV di antaranya ditujukan untuk mengkonstruk prinsip yang

dapat digunakan untuk memperoleh persamaan-persamaan yang ekuivalen. Untuk

hal tersebut misalnya dapat diajukan masalah yang memuat ide tentang

kesetimbangan neraca, seperti berikut ini. Masalah : KELINCI PERCOBAAN.

Dalam kegiatan praktikum Biologi, siswa kelas I A menggunakan kelinci sebagai

objek percobaan. Mereka perlu mengetahui berat hewan ini. Pengukuran berat

kelinci dilakukan dengan cara meletakkan kelinci dan 2 buah anak timbangan 4

ons di satu lengan. Sedangkan lengan neraca yang lain diisi 3 buah anak

timbangan 8 ons. Hal ini menyebabkan neraca dalam keadaan setimbang.

Tentukan berat kelinci tersebut dan jelaskan bagaimana caramu menentukan berat

kelinci itu. Dalam tahap enactive seorang siswa dapat menyelesaikan masalah ini

dengan memanipulasi seperangkat neraca dan anak-anak timbangan buatannya

Page 20: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

untuk memodelkan neraca sesungguhnya. Pada tahap ini mereka memanipulasi

benda-benda konkrit untuk menyelesaikan masalah di atas.

b. Ikonic. Pada tahap ini kegiatan belajar sesorang sudah mulai menyangkut

mental yang merupakan gambaran dari objek-objek. Dalam tahap ini tidak lagi

dilakukan manipulasi terhadap benda konkret secara langsung, namun anak sudah

dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari objek.

c. Simbolic. Tahap terakhir ini adalah tahap memanipulasi simbol-simbol secara

langsung dan tidak lagi terkait dengan objek maupun gambaran objek. Sebagai

contoh dari perkembangan mental siswa pada tahap simbolik ini adalah saat siswa

sudah mengetahui bahwa salah satu prinsip untuk memperoleh persamaan yang

ekuivalen adalah dengan mengurangi kedua ruas persamaan. Dengan mengetahui

prinsip ini apabila mereka menemui persamaan 2x + 4 = 9 + x maka secara terurut

mereka dapat memperoleh persamaan-persamaan yang ekuivalen seperti 2x + 4 –

4 = 9 + x – 9 atau 2x – x + 4 = 9 + x – x . Dalam memanipulasi simbil-simbol

tersebut mereka sudah tidak lagi memerlukan gambaran seperti pada tahap ikonik.

Selain teori tentang tahap perkembangan mental di atas, pendapat Bruner

yang lain yang sesuai dengan penelitian ini adalah teorema konstruksi

(construction theorem) dan teorema notasi (notation theorem). Melalui teorema

konstruksi, Bruner (dalam Pudjohartono, 2003: 23) berpendapat bahwa cara

terbaik bagi siswa untuk mempelajari konsep atau prinsip matematika adalah

dengan mengkonstruksi konsep atau prinsip tersebut. Alasannya adalah jika para

siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari suatu konsep atau prinsip maa

mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep atau prinsip yang

terkandung dalam representasi itu. Selanjutnya mereka lebih mudah mengingat

pengetahuan itu serta lebih mudah menerapkannya dalam konteks yang lain yang

sesuai. Dalam teorema ini, sekali lagi Bruner menekankan perlunya penggunaan

representasi konkret yang memungkinkan siswa untuk aktif.

Page 21: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Sedangkan melalui teorema notasi Bruner (dalam Pudjohartono, 2003: 25)

menjelaskan bahwa representasi dari suatu materi akan lebih mudah dipahami

siswa apabila didalam representasi itu digunakan notasi yang sesuai dengan

tingkat perkembangan kognitif siswa. Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar

yang berada dalam tahap operasi konkret kalimat yang berbunyai “ tentukan

sebuah bilangan bulat yang jika ditambah 6 hasilnya 9” akan lebih mudah

dinyatakan dalam bentuk persamaan “ ….. + 6 = 9”. Namun persamaan x + 6 = 9

merupakan representasi yang lebih sesuai untuk siswa SLTP.

A. Mengenal Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Realistic Mathematics Education (RME) yang di Indonesia lebih dikenal

dengan Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat

dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada

di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama

pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990). Sejak tahun 1971,

Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap

Page 22: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics

Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika,

bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan.

Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive

receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah

jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan

berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan

cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi

(konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep

matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian

yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan

mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal.

Model model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong

terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik

yang lebih tinggi. Dua pandangan penting beliau adalah ‘mathematics must be

connected to reality and mathematics as human activity ’. Pertama, matematika

harus dekat terhadap siswa dan harus relevan dengan situasi kehidupan sehari-

hari. Kedua, ia menekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia,

sehingga siswa harus di beri kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas semua

topik dalam matematika. Menurut Soedjadi(2004), matematika realistik

dikembangkan berdasarkan pandangan Freudenthal yang berpendapat bahwa

matematika merupakan kegiatan manusia yang lebih menekankan aktivitas siswa

untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang

diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa.

Hans Freudenthal berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani

(human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran

tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran

siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent)

matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan

kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari

penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995). RME

Page 23: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang 'real' bagi

siswa, menekankan ketrampilan 'proses of doing mathematics', berdiskusi dan

berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat

menemukan sendiri ('student inventing' sebagai kebalikan dari 'teacher telling')

dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah

baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini peran guru tak lebih

dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berfikir,

mengkomunikasikan 'reasoningnya', melatih nuansa demokrasi dengan

menghargai pendapat orang lain. Yang dimaksud “dunia riil” adalah segala

sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika,

atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari

dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk

mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi

kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses

pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai

peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan

sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai

konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif

dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap

proses belajar mereka. Dari prinsip di atas diperoleh kesimpulan bahwa

Pendekatan Matematika Realistik (PMR) secara garis besar memiliki lima

karakteristik. Menurut Treffers dan Van den Heuvel-Panhuizen dalam Suharta

(2005:2), karakteristik RME adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model-

model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment)

dan dijelaskan sebagai berikut :

1) Menggunakan konteks “dunia nyata”. Dalam RME, pembelajaran

diawali dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi

nyata yang dinyatakan oleh De Lange sebagai matematisasi konseptual. Melalui

abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit.

Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang

Page 24: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk

menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari

perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of

everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.

2) Menggunakan model-model (matematisasi). Istilah model berkaitan

dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa

sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan

jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika

informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam

menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia

nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model-model tersebut akan berubah

menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan

bergeser menjadi model-for masalah sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model

matematika formal.

3) Menggunakan produksi dan konstruksi. Dengan pembuatan “produksi

bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka

anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa

prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam

pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi

pengetahuan matematika formal.

4) Menggunakan interaktif. Interaksi antar siswa dengan guru merupakan

hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang

berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau

refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal

siswa.

5) Menggunakan keterkaitan (intertwinment). Dalam RME

pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran

kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh

pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya

Page 25: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar,

atau geometri tetapi juga bidang lain. Menurut Sutarto Hadi, berdasarkan

karakteristik tersebut RME mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:

1) Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide

matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya

2) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk

pengetahuan itu untuk dirinya sendiri

3) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang

meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan

kembali, dan penolakan

4) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya

sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman

5) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin

mampu memahami dan mengerjakan matematik.

RME juga mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:

1) Guru hanya sebagai fasilitator belajar;

2) Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;

3) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif

menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam

menafsirkan persoalan riil

4) Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum,

melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun

sosial.

Page 26: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Begitu pula RME mempunyai konsepsi tentang pembelajaran, bahwa

pengajaran matematika dengan pendekatan RME meliputi aspek-aspek berikut

(De Lange, 1995 dalam Sutarto Hadi):

1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi

siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa

segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;

2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;

3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara

informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;

4) Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan

memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban

temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan

ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi

terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang

dikemukakan oleh Zamroni, (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa

mempunyai ciri-ciri:

1) di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan

gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa

yang tengah dipelajari;

2) mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;

3) bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan,

mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;

4) memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Page 27: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Menurut M. Asikin (2010), untuk mendesain suatu model pembelajaran

berdasarkan pendekatan realistik, model tersebut harus merepresentasikan

karakteristik RME baik pada tujuan, materi, metode dan evaluasi. Dengan rambu-

rambu sebagai berikut.

1) Tujuan. Tujuan haruslah mencakup ketiga level tujuan dalam RME yakni lower

level, middle level, and higher order level. Dua tujuan terakhir, menekankan pada

kemampuan berargumentasi, berkomunikasi dan pembentukan sikap kritis.

2) Materi. Desain suatu ‘open material’ yang berangkat dari suatu situasi dalam

realitas, berangkat dari konteks yang berarti dalam kehidupan.

3) Aktivitas. Aktivitas siswa diatur sehingga mereka dapat berinteraksi

sesamanya, diskusi, negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi ini siswa mempunyai

kesempatan untuk bekerja, berfikir dan berkomunikasi dengan menggunakan

matematika. Peranan guru hanya sebatas fasilitator atau pembimbing.

4) Evaluasi.Materi evaluasi dibuat dalam bentuk ‘open question’ yang memancing

siswa untuk menjawab secara bebas dan menggunakan beragam strategi atau

beragam jawaban (free productions).

Tahapan pembelajaran yang dilaksanakan di kelas, secara umum (menurut

model dari Connected Mathematics Project) terdiri dari tahap orientasi, tahap

eksplorasi/penelusuran, dan tahap penyimpulan. Pada tahap orientasi selain

disampaikan sasaran pembelajaran, pemberian masalah kontekstual yang masih

bersifat umum, diberikan pula masalah kontekstual yang sudah mengarah ke

sasaran pembelajaran. Sedangkan inti dari tahap eksplorasi adalah aktivitas siswa

yang dapat berupa: pemunculan gagasan atau pembentukan model,

pengkomunikasian gagasan atau model, pertukaran gagasan/pembukaan situasi

konflik, negosiasi. Pada tahap penyimpulan diberikan rangkuman, yang

dilanjutkan dengan pemberian pertanyaan rangkuman (summary questions) dan

pemberian tugas rumah (M. Asikin, 2010). Adapun langkah-langkah

pembelajaran pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) menurut

Suharta (2005:5) adalah sebagai berikut. Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

Page 28: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

1. Guru memberikan siswa masalah kontekstual.

2. Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberi kesempatan

untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif.

3. Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan

selanjutnya mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.

4. Guru mendekati siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.

5. Guru mengenalkan istilah konsep.

6. Guru memberikan tugas di rumah, yaitu mengerjakan soal atau

membuat masalah cerita serta jawabannya sesuai dengan matematika formal.

1) Siswa secara mandiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan

strategi-strategi informal.

2) Siswa memikirkan strategi yang paling efektif.

3) Siswa secara sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah

tersebut.

4) Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis, melalui diskusi kelas,

jawaban siswa dikonfrontasikan.

5) Siswa merumuskan bentuk matematika formal.

6) Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.

B. PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) Suatu Inovasi

Dalam Pendidikan Matematika di Indonesia

Perubahan paradigma pembelajaran dari pandangan mengajar ke

pandangan belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran

yang berpusat pada siswa membawa konsekuensi perubahan yang mendasar

dalam proses pembelajaran di kelas. Perubahan tersebut menuntut agar guru tidak

lagi sebagai sumber informasi, melainkan sebagai teman belajar. Siswa dipandang

Page 29: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

sebagai makhluk yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun

pengetahuannya sendiri. Untuk mendukung proses pembelajaran yang sesuai

dengan perubahan tersebut dan sesuai dengan tujuan pendidikan matematika,

diperlukan suatu pengembangan materi pelajaran matematika yang difokuskan

pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan disesuaikan dengan

tingkat kognitif siswa, serta penggunaan metode evaluasi yang terintegrasi pada

proses pembelajaran tidak hanya berupa tes pada akhir pembelajaran (Subandar,

2001). Ditinjau dari perubahan kurikulum yang saat ini sedang diberlakukan, yaitu

Kurikulum 2006, pendekatan matematika realistik adalah salah satu pendekatan

pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut. Kurikulum 2006

mengamanatkan bahwa, dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika

hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi

(contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik

secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Dalam RME,

pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang sesuai

dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange sebagai matematisasi

konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep

yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep

matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh

karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman

anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari

(mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam

sehari-hari. Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini,

seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and

learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL

mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang

dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep PMR sejalan dengan kebutuhan

untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh

persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan

mengembangkan daya nalar. Matematika Realistik yang pertama kali

dikembangkan di Negeri Belanda dan telah menempatkan negara tersebut pada

Page 30: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

posisi ke-7 dari 38 negara peserta TIMSS tahun 1999 (Mullis et al., 2000).

Matematika realistik juga telah diadopsi oleh banyak negara maju seperti Inggris,

Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brasilia, Amerika Serikat,

Jepang, dan Malaysia (Zulkardi, 2001). Salah satu hasil yang dicapai oleh negara-

negara tersebut adalah prestasi siswa yang meningkat, baik secara nasional

maupun internasional (Romberg, 1998). Hasil studi di Puerto Rico menyebutkan

bahwa prestasi siswa yang mengikuti program pembelajaran matematika dengan

pendekatan matematika realistik berada pada persentil ke-90 ke atas (Turmudi,

2004; Haji, 2005), suatu prestasi yang sangat fantastis untuk mata pelajaran

matematika yang banyak dipandang siswa sebagai mata pelajaran yang sangat

menakutkan dan membosankan. Di Indonesia, beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik

(PMR) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran

tradisional. Beberapa penelitian tersebut antara lain adalah :

1) Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002), menemukan bahwa hasil

pembelajaran geometri siswa kelas IV dan V SD dengan pendekatan matematika

realistik pada tes akhir lebih tinggi daripada pembelajaran secara tradisional.

2) Hasil penelitian Armanto (2002), menemukan bahwa hasil pembelajaran

perkalian dan pembagian bilangan besar siswa kelas IV SD dengan pendekatan

matematika realistik lebih baik daripada pembelajaran secara tradisional.

3) Penelitian yang dilaksanakan oleh Kamiluddin (2007:48), berkesimpulan

bahwa hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri 8 Baruga Kendari pada pokok

bahasan penjumlahan dan pengurangan pecahan dapat ditingkatkan melalui

pendekatan Realistic Mathematic Education (RME).

4) Skripsi Hustiawan Cahyono (2009) menyimpulkan bahwa penerapan

Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dapat

meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi Bangun Ruang di Kelas VIII D

SMP Negeri 5 Malang.

Page 31: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Menurut Turmudi (2004), pembelajaran matematika dengan pendekatan

matematika realistik sekurang-kurangnya telah mengubah minat siswa menjadi

lebih positif dalam belajar matematika. Hal ini berarti bahwa pendekatan

matematika realistik dapat mengakibatkan adanya perubahan pandangan siswa

terhadap matematika dari matematika yang menakutkan dan membosankan ke

matematika yang menyenangkan sehingga keinginan untuk mempelajari

matematika semakin besar. Dengan adanya perubahan pandangan yang selama ini

menganggap matematika sebagai pelajaran yang menakutkan, diharapkan siswa

mulai menyenangi, tertarik dan termotivasi untuk belajar matematika. Sehingga

tujuan pembelajaran matematika yaitu membekali peserta didik dengan

kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta

kemampuan bekerjasama akan lebih tercapai. Sebagai konsekuensinya perlu

diperhatikan pendekatan pembelajaran yang digunakan di kelas. Ruseffendi

(2001) berpendapat bahwa untuk membudayakan berpikir logis serta bersikap

kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan

matematika realistik. Selanjutnya dikatakan, jika kita (guru) rajin memperhatikan

lingkungan dan mengaitkan pembelajaran matematika dengan lingkungan maka

besar kemungkinan berpikir logis siswa itu akan tumbuh.

Tujuan pendidikan matematika yang lain adalah penekanannya pada

pembentukan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran matematika perlu

diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika. Hal ini penting mengingat

sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar

matematika (Ruseffendi, 1988). Untuk menumbuhkan sikap positif terhadap

matematika, perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat

menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa

matematika banyak kegunaannya. Oleh karena itu, materi harus dipilih dan

disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari

(kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara informal

melalui pemodelan sebelum dengan cara formal. Hal ini sesuai dengan

karakteristik pendekatan matematika realistik. Untuk mencapai tujuan pendidikan

Page 32: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

matematika tersebut, dapat dicapai melalui inovasi proses pembelajaran

matematika di kelas. Melakukan pembelajaran bermakna yang diharapkan dapat

mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika.

Perlu perubahan pembelajaran dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau

pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Upayakan proses pembelajaran yang menyenangkan. Tunjukkan bahwa

matematika sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari sehingga matematika

tidak dipandang sebagai sesuatu yang menyeramkan. Penilaian harus dilakukan

terhadap keseluruhan, baik proses maupun hasil dalam rangka untuk memperbaiki

proses pembelajaran, bukan merupakan akhir dari proses pembelajaran.

Perubahan paradigma pembelajaran tersebut sesuai dengan paham

konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat

diajarkan oleh guru, melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa. Paham ini

mendasari pendekatan matematika realistik. Sehingga pendekatan matematika

realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di jenjang pendidikan dasar di

Indonesia untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika.

Pada simpulan salah satu jurnal ilmiahnya, Sahat Saragih menuliskan

berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan maupun hasil penelitian yang

telah dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri menunjukkan bahwa

pendekatan matematika realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di

jenjang pendidikan dasar di Indonesia dalam rangka untuk meningkatkan berpikir

logis dan sikap siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat

meningkatkan hasil belajar siswa dalam matematika.

C. Perkembangan PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) di

Indonesia

RME awalnya dikembangkan di Belanda. Teori RME telah digunakan di

beberapa sekolah di Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari proyek kolaboratif,

Matematika dalam Konteks (MIC), antara Freudenthal Institute (FI), Utrecht

University dan University Wisconsin. Data menunjukkan bahwa kerjasama

Page 33: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

internasional ini telah menjadi perusahaan yang bermanfaat, dalam arti bahwa

'hikmat praktek' dari bertahun-tahun di Belanda telah digunakan sebagai titik awal

bagi pengembangan kurikulum di Amerika Serikat. (de Lange, 1994). Setelah

siswa di beberapa distrik sekolah dari negara yang berbeda menggunakan bahan-

bahan, penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa prestasi siswa dalam ujian

nasional meningkat pesat (de Lange, 1998). Di Belanda, juga ada hasil positif dari

penggunaan materi kurikulum RME. Third International Mathematics and Science

Study (TIMSS) Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa di Belanda mencetak

gol yang sangat dalam matematika (Mullis et al. 2000). Terinspirasi oleh filosofi

RME tersebut, satu kelompok yang kemudian disebut Tim Pendidikan

Matematika Realistik Indonesia (PMRI), mengembangkan suatu pendekatan

untuk meningkatkan pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia. Hal

ini dikenal sebagai PMRI, sebuah adaptasi dari RME dalam Bahasa Indonesia.

Hal ini dikembangkan melalui kajian desain dalam kelas di Indonesia, kemudian

menjadi gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika di Indonesia.

Gerakan tidak hanya menerapkan cara baru pengajaran dan pembelajaran

matematika, tetapi dikaitkan dengan dorongan untuk mencapai transformasi sosial

di Indonesia. Pendekatan untuk mereformasi diadopsi oleh PMRI meliputi:

- Bottom-up pelaksanaan;

- Bahan dan kerangka kerja berdasarkan kelas dan dikembangkan melalui

penelitian;

- Guru secara aktif terlibat dalam merancang penyelidikan dan

mengembangkan bahan-bahan yang terkait;

- Hari-demi-hari pelaksanaan strategi yang memungkinkan siswa untuk

menjadi pemikir yang lebih aktif;

- Konteks perkembangan dan materi yang secara langsung berkaitan

dengan lingkungan sekolah dan kepentingan murid.

Page 34: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Pada dasarnya, PMRI menggunakan strategi bottom-up, dengan

pendekatan dan materi yang sebagian besar dikembangkan di dalam kelas

daripada di belakang meja petugas kurikulum. Reformasi pendidikan matematika

di Indonesia telah dimulai di kelas dan guru telah mengubah pendekatan

pengajaran matematika sebagai hasil dari keterlibatan mereka dengan bahan-

bahan baru, buku pelajaran, penyelidikan, eksperimen, in-service pendidikan dan

pelatihan dalam kelas. Eksperimen kelas ini tidak hanya menyediakan dasar untuk

pengembangan dan penyempurnaan teori PMRI, tetapi juga memberitahu mereka

yang terlibat dalam pengembangan pelatihan bagi para guru dan penulisan buku

pelajaran siswa. Di Indonesia, tidak hanya menyediakan PMRI sebagai

pendekatan baru untuk mengajar matematika, tetapi juga cara baru berpikir

tentang tujuan dan praktek-praktek matematika sekolah. Perlu diakui bahwa hal

itu tidak mudah untuk menerapkan teori dan pendekatan PMRI dalam pengajaran

dan pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia. Hal ini dikarenakan

pendekatan pengajaran PMRI adalah bertentangan dengan kemapanan

pembelajaran yang berpusat pada guru dan asumsi transfer pengetahuan kepada

siswa. Banyak komentator di sekolah-sekolah di Indonesia percaya bahwa

kebanyakan inovasi diperkenalkan ke sekolah-sekolah selama beberapa dekade

tidak memiliki dampak signifikan pada kualitas pendidikan. Oleh karena itu,

diasumsikan oleh banyak pengamat, bahwa pendekatan PMRI tidak akan

menangkap pikiran guru, dan tidak akan sangat mempengaruhi praktik kelas

mereka. Akan tetapi sekarang kenyataan sudah cukup berbeda. Meskipun

beberapa guru belum menguasai filosofi PMRI dan belum mengadopsi

pendekatan pengajaran yang direkomendasikan, sebagian besar guru telah

mengembangkan persepsi positif dari PMRI. Dan PMRI hadir sebagai metode

alternatif yang mungkin akan diperlukan dalam reformasi matematika di sekolah.

Guru-guru kini telah tumbuh menerima filosofi PMRI bahwa guru harus

membimbing siswa di dalam menemukan konsep-konsep matematika. Meskipun

demikian, ada beberapa yang menganggap pendekatan PMRI terlalu radikal dan

karena itu tidak pernah diterima oleh sebagian besar guru di Indonesia.

Tim PMRI menyadari bahwa untuk menjadikan sukses dalam menerapkan PMRI,

Page 35: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

guru dan siswa memerlukan materi kurikulum yang konsisten dengan cita-cita dan

konteks Indonesia. Bahan-bahan yang harus diperlukan tersedia dan mendukung

siswa berpikir, dan dapat membantu guru membimbing siswa dalam menemukan

kembali konsep-konsep matematika. Mereka harus banyak mendukung guru

dalam mengatur kegiatan belajar di kelas di mana terdapat keragaman latar

belakang murid. Jadi kegiatan dan konteks yang dipilih harus mudah dikenal oleh

para siswa, bahasa dan diagram harus sederhana dan jelas, sehingga mereka

memberikan dukungan maksimal bagi pengembangan konsep-konsep matematika

(Hadi 2002). Salah satu pendekatan untuk memenuhi persyaratan ini adalah bagi

para pengembang kurikulum dan penulis buku teks dari universitas untuk bekerja

dengan guru. Secara singkat dapat dikatakan bahwa untuk mengembangkan

pendekatan RME dalam pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia

perlu dilakukan berbagai perubahan seperti kurikulum, sikap/mental guru,

sikap/tingkah laku siswa, sikap/mental pemegang otoritas, pandangan masyarakat

terhadap belajar, khususnya dalam belajar matematika(M. Asikin, 2010). Agar

berbagai dampak tersebut akan dapat dikenali secara lebih dini, sehingga

penerapan RME di Indonesia dapat berhasil, maka menurut Slettenhaar (2000)

dan Marpaung (2001) perlu beberapa upaya, antara lain (i) melaksanakan uji coba

di beberapa sekolah sambil melakukan penelitian pengembangan, (ii) menatar

guru-guru tentang RME, dan (iii) mengembangkan kurikulum matematika

berbasis RME.

Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan RME di Indonesia

memerlukan kerja keras semua pihak. Tidak hanya bertumpu pada para

pengembang atau para peneliti di perguruan tinggi. Peran para guru matematika

justeru sangat strategis. Oleh karena itu para guru harus terlibat secara aktif dalam

proses pengimplementasian RME. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari

terulangnya berbagai kebijakan di bidang pendidikan yang terkesan selalu “top

down”dan hanya karena alasan “proyek” yang didanai dan harus dijalankan(M.

Asikin : 2010).

Page 36: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

EVALUASI PADA PEMBELAJARAN DENGAN

PENDEKATAN PMRI

Soal Pembuka

Gelas A dan gelas B berisi sirup sama banyak. Tetapi gelas A berisi sirup merah,

sedangkan gelas B berisi sirup hijau. Sirup dari gelas A diambil satu sendok untuk

dituangkan ke gelas B. Isi gelas B kemudian diaduk sehingga merata isinya.

Setelah itu, dengan menggunakan sendok tadi diambil isi gelas B satu sendok

Page 37: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

untuk dituangkan ke gelas A. Manakah yang lebih banyak, sirup merah di dalam

gelas B ataukah sirup hijau di dalam gelas A? Jelaskan! Bagaimana kalau gelas A

berisi sirup merah dua kali lebih banyak daripada sirup hijau di

dalam gelas B?

1. Kekhususan Pendidikan Matematika Realistik

Pembelajaran menurut Pendidikan Matematika Realistik mempunyai

beberapa kekhususan sebagai berikut:

a. Pengenalan konsep-konsep matematis baru dilakukan dengan memberikan

kepada murid-murid realistic contextual problem (masalah kontekstual yang

realistik)

b. Dengan bantuan guru atau bantuan temannya, murid-murid dipersilakan

memecahkan masalah kontekstual yang realistik itu. Dengan demikian,

diharapkan murid-murid re-invent (menemukan) konsep atau prinsip-prinsip

matematis atau menemukan model

c. Setelah menemukan penyelesaian, murid-murid diarahkan untuk mendiskusikan

penyelesaian mereka (yang biasanya ada yang berbeda, baik jalannya maupun

hasilnya)

d. Murid-murid dipersilakan untuk merefleksi (memikirkan kembali) apa yang

telah dikerjakan dan apayang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun

hasildiskusi

e. Murid juga dibantu agar mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang

memang ada hubungannya

f. Murid-murid diajak mengembangkan, atau memperluas, atau meningkatkan,

hasil-hasil dari pekerjajannya, agar menemukan konsep atau prinsipmatematis

yang lebih rumit

g. Menekankan matematika sebagai kegiatan bukan sebagai hasil yang siap pakai.

Untuk mempelajari matematika sebagai kegiatan, cara yang cocok adalah learning

by doing (belajar dengan mengerjakan matematika).

Page 38: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

* Karena dalam PMR cara belajarnya “belajar dengan mengerjakan”, maka PMR

termasuk pembelajaran dengan “cara belajar siswa aktif” (CBSA).

* Masalah kontekstual dalam PMRI adalah masalah kontekstual yang realistik,

dalam arti realistik bagi murid, yaitu masalah yang dapat dibayangkan oleh murid

sebagai masalah dalam kehidupan nyata mereka, atau masalah dalam dunia

mereka. Dalam PMR, guru peran utama guru adalah sebagai fasilitator, murid

memecahkan masalah dari dunia murid dan sesuai dengan potensi murid. Oleh

karena itu, PMR termasuk pembelajaran yang berpusat pada murid.

* Karena masalah kontekstual menjadi titik awal pembelajaran matematika, maka

PMR termasuk CTL (contextual teaching and learning) atau pembelajaran

kontekstual.

* Karena pada PMR murid-murid dikondisikan untuk menemukan, atau

menemukan kembali, konsep atau prinsip-prinsip matematis, maka PMR termasuk

pembelajaran dengan penemuan terbimbing.

* Karena pada PMR murid-murid diarahkan agar menemukan pengetahuan

matematikanya dengan memecahkan masalah yang bersifat baru, dan diikuti

dengan berdikusi,maka PMR merupakan pembelajaran yang berdasarkan paham

konstruktivisme.

2. Beberapa Istilah atau Konsep yang Berkaitan dengan Pendidikan

Matematika Realistik Realistic Mathematics Education (Pendidikan

Matematika Realistik, PMR)

Beberapa Istilah atau Konsep yang Berkaitan dengan Pendidikan

Matematika Realistik Realistic Mathematics Education (Pendidikan Matematika

Realistik) adalah pendekatan atau cara pembelajaran matematika yang

berdasarkan gagasan-gagasan yang digali dan dikembangkan oleh Hanz

Freudenthal. Berikut ini istilah-istilah atau konsep-konsep dari Freudenthal yang

Page 39: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

berkaitan dengan pembelajaran matematika dan beberapa tambahan dari pakar

lain.

a. Matematisasi

Menurut Freudenthal, ilmu tidak lagi hanya sekedar kumpulan pengalaman, ilmu

melibatkan kegiatan mengorganisasi (menyusun atau mengatur) pengalaman.

Mengorganisasi pengalaman dengan menggunakan matematika disebut

mathematizing (matematisasai atau mematematikakan). Matematisi cenderung

mengabaikan realitas setelah menemukan bahwa hubungan logis menjanjikan

kemajuan matematika yang lebih cepat. Dengan adanya matematisasi,

terbentuklah sekumpulan pengalaman matematis (hasil mematematikakan

realitas). Pada gilirannya, kumpulan pengalaman matematis itu perlu

diorganisasikan (disusun atau diatur) juga. Terjadilah matematisasi matematika.

Oleh Treffers, matematisasi dibeda-bedakan menjadi dua macam. Matematisasi

pengalaman nonmatematika disebut matematisasi horisontal, sedangkan

matematisasi matematika disebut matematisasi vertikal. Proses menghasilkan

pengetahuan (konsep, prinsip, model) matematis dari masalah kontekstual sehari-

hari termasuk matematisasi horisontal. Matematisasi vertikal adalah proses

menghasilkan konsep, prinsip, model matematis baru dari penegtahuan

matematika, adalah matematisasi vertikal.

b. Matematika sebagai Produk Jadi dan Matematika sebagai Kegiatan

Dari sudut pandang, ada ready-made mathematics (matematika sebagai barang

jadi), dan ada acted-out mathematics (matematika sebagai kegiatan). Menurut

Freudenthal, matematika yang dipandang sebagai kegiatan merupakan matematika

yang dalam keadaan murni. Jadi matematika sebagai kegiatan merupakan

matematika yang belum direkayasa oleh penemunya, atau oleh matematisi.

Contohnya adalah sebagai berikut.

Ready-made Mathematics Acted-out Mathematics

Page 40: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Ada bilangan positif , …Saya mendapatkan bilangan positif , … p berakibat q

Dari p saya dapat menyimpulkan q Karena = 91, maka di bagian manapun boleh

diganti dengan 91.

Saya mengetahui, atau saya temukan, bahwa = 91

Materi pelajaran matematika sebagai barang jadi adalah materi pelajaran

matematika yang berbentuk sistem deduktif, yaitu sistem yang terdiri atas empat

komponen saja, yaitu: (1) undefined terms (istilah-istilah matematis yang

digunakan, tetapi tidak didefinisikan), (2) definisi, (3) aksioma, dan (4) teorema

(beserta buktinya).

Pada pembelajaran matematika sebagai barang jadi, siswa menghafal

keempat hal itu. Karena dari segi pedagogik, siswa harus aktif, maka siswa lalu

diberi soal-soal. Pembelajaran yang berdasarkan paham bahwa matematika harus

diajarkan sebagai barang jadi atau sebagai sistem deduktif, menghasilkan

pandangan bahwa matematika tidak berguna, atau kering, karena pembelajaran

matematika hanya berisi kegiatan menghafalkan aksioma, definisi, teorema, serta

penerapan aksioma dan teorema itu pada soal-soal. Pembelajaran matematika

akan jauh lebih bermanfaat, apabila menekankan matematika sebagai kegiatan,

atau lebih menekankan pelajaran tentang acted-out mathematics.

c. Kegiatan atau Aktivitas

Menurut Freudenthal, kebanyakan orang akan sepakat bahwa materi pelajaran

matematika harus tidak diajarkan sebagai barang jadi. Juga banyak guru yang

menginginkan agar pembelajaran dapat membangkitkan kegiatan siswa. Orang

percaya bahwa pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dengan penemuan

akan lebih dipahami dan lebih awet dalam ingatan daripada pengetahuan atau

kecakapan yang diperoleh dengan cara yang pasif. Untuk perguruan tinggi,buku

Polya (1981) yang berjudul “Mathematical discovery” adalah contoh buku untuk

pembelajaran matematika sebagai kegiatan.

Page 41: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

d. Re-invention atau Penemuan

Pembelajaran yang berdasarkan penafsiran dan analisis matematika sebagai

kegiatan disebut pembelajaran dengan metode re-invention, atau metode

penemuan. Agar tidakmenimbulkan salah tafsir, Freudenthal menyatakan bahwa

yang dimaksud re-invention sama dengan penemuan,yang biasa dipakai

dalamkonteks pembelajaran. Kata Freudenthal (1973: 120): “What I have called

re-invention, is often known as discovery. I have also used these terms a few

times, and it would not really matter which are used, were it not for the fact that

the word ‘discovery’ is often pronounced with undertones of the unexpected, the

sensational, the surprising, or the striking”. (“re-invention dan discovery

[penemuan] itu sama saja”).

e. Kedudukan Matematisasi

Biasanya, dalam pelajaran matematika ada contoh penerapan matematika. Akan

tetapi, materi matematika dibicarakan atau diajarkan lebih dulu, kemudian dikuti

dengan masalah, yang pemecahannya dimaksudkan sebagai contoh terapan

matematika itu. Sering kali, yang disebut masalah untuk contoh terapan itu

sekedar soal substitusi, atau soal rutin,atau soal penerapan rumus.

Pada PMR, masalah diberikan sebagai titik awal pembelajaran. Dengan

mencoba memecahkan masalah itu diharapkan murid menemukan konsep

matematis,atau prinsip matematis,atau model. Kegiatan murid itulah matematisasi

(horisontal), untuk memperoleh pengetahuan dan kecakapan yang lebih luas,atau

lebih tinggi,atau lebih rumit, siswa diarahkan untuk meningkatkan hasil

matematisasi horisontal itu (pengembangan dari pengetahuan atau kacakapan

matematika ke pengetahuan atau kecakapan matematika yang lebih tinggi atau

lebih luas, atau lebih rumit itulah matematisasi vertikal. Jadi, pada pelajaran

biasanya, masalah konkret diberikan pada akhir pelajaran, sedangkan pada PMR

masalah konkret diberikan pada awal pelajaran, dan masalah konkret ini diberikan

untuk mengembangkan kompetensi murid melakukan matematisasi horisontal.

Page 42: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Inilah salah satu ciri yang membedakan Pendidikan Matematika Realistik

dengan pendekatan lain pada pembelajaran matematika,yaitu bahwa pada

Pendidikan Matematika Realistik terdapat matematisasi horisontal (dari masalah

kehidupan sehari-hari ke matematika) dan matematisasi vertikal (dari matematika

ke matematika yang lebih tinggi, lebih luas,atau lebih rumit). Pendekatan

pedmbelajaran lain ada yang hanya mengembangkan kecakapan matematisasi

horosontal, ada yang hanya mengembangkan kecakapan matematisasi vertikal,

dan bahkan ada yang tidakmengembangkan kecakapan matematisasi sama sekali.

3. Evaluasi pada PMR

Evaluasi pembelajaran sangat penting, karena paling sedikit guru perlu

mengetahui pengaruh dari proses pembelajaran, sehingga guru tahu apa yang

harus diperbaikinya. Di samping itu, murid juga mempunyai haluntuk mengetahui

apakah mereka memperoleh sesuatu dari pelajaran matematika. Pihak

lain,misalnya orang tua murid, mungkin juga ingin mengeyahui apa saja yang

telah diperoleh murid-murid itu dari pelajaran matematika yang diikutinya.

a. Focus Evaluasi

(1) matematika dimaknai sebagai kegiatan siswa, sehingga evaluasi

harus menghasilkan pemahaman tentang kegiatan siswa, maka prioritas

utama evaluasi adalah evaluasi dengan observasi

(2) evaluasi harus kontinu dan terintegrasi dengan pembelajaran,

karean hasil evaluasi harus memberikan petunjuk kepada guru, apa yang

harus dilakukan selanjutnya

(3) evaluasi meliputi observasi, pemberian tes, diagnosis, dan

pencarian petunjuk untuk pengajaran remedial

(4) evaluasi harus holistik (menyeluruh), meliputi segala aspek dari

siswa, bukan hanya hasil belajar

(5) evaluasi harus menggunakan juga soal terbuka, agar dapat

menghasilkan informasi yang lengkap tentang siswa (dengan soal terbuka,

siswa memperoleh kesempatan untuk menunjukkan apa yang dia dapat

Page 43: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

kerjakan, apa yang sudah dia kuasai, kompetensi apa yang sudah

berkembang, dsb.,

(6) soal terapan yang digunakan harus yang realistik atau harus

bukan soal

yang artifisial.

(I) Contoh soal terapan artifisial:

a. Badu main kelereng. Mula-mula memiliki 16 butir, kemudian

menang 10 butir. Berapa butir kelereng Badu setelah itu?

b. Ibu mempunyai 16 telur. Bude memberikan 10 telur kepada Ibu.

Berapa telur milik Ibu sekarang?

Soal-soal itu memang soal verbal, tetapi hanya kemasan soal 16 + 10, yang

dapat diganti-ganti kata-katanya, tanpa mengubah kompetensi yang

dituntut dari siswa.

(II) Contoh terapan sungguhan:

Ibu harus menemui nenek di Solo besuk pagi sebelum jam 11. Jika Ibu

mau naik kereta api Pramex, kereta api yang berangkat jam berapa harus

dipilih oleh Ibu? Kalau Ibu akan diantar kak Sani ke setasiun dengan naik

motor, jam berapa Ibu dan kak Sani harus berangkat dari rumah?

b. Cakupan Evaluasi

Jelas bahwa hasil tes pada pembelajaran matematika tidak cukup hanya

berupa frekuensi benar. Evaluasi dengan tes harus memberikan informasi

selengkap mungkin tentang BAGAIMANA SISWA MENGERJAKAN TES ITU.

Contoh: Soal 8 + 7 = ….., dapat dikerjakan dengan beberapa cara: membilang

lebih lanjut; menghafal, menggabungkan dua himpunan (dua kelompok jari, dsb.),

dengan sifat asosiatif, misalnya 8 + 7 = 8 + (2 + 5) = (8 + 2) + 5 = 10 + 5 = 15.

c. Kurang peranan kata

Kalau kemampuan berbahasa kurang penting dalam suatu konteks, maka

perannan kata atau bahasa dalam soal perlu dikurangi. Hal itu dapat dilakukan

dengan memberikan soal dalam gambar,

Page 44: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Teknik Bertanya dan Memberi Motivasi

Salah satu kegiatan penting dalam persiapan pemberlajaran sebuah materi

atau topic dalam matematika adalah menentukan tujuan ( setting objective ) dan

ujung kegiatan intinya adalah mengukur apa yang telah dipelajari oleh siswa

melalui kegiatan penilaian.

Hal yang lain yang tidak kalah pentingnya dalam persiapan atau

perencanaan kegiatan pembelajaran matematika adalah menentukan strategi

pemberian motivasi kepada siswa untuk belajar. Rendahnya motivasi siswa untuk

belajar matematika mungkin diakibatkan olah banyak hal, diantaranya karena

Page 45: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

adanya masalah dalam belajar atau diakibatkan loeh pengalaman yang tidak

nyaman dalam belajar matematika sebelumnya.

Siswa yang mampunyai maslah berkaitan dengan fisik, kemampuan

intelektual atau masalh emosional besar kemungkinan lemah dalam matmatika,

meskipun mereka menonjol dalam bidang studi yang lain. Beberapa diantaranya

mereka barangkali lablih nyaman dan tertarik mempelajari bidang study lain

dibandingkan dengan belajar matematika. Olah karena itu, sangat mungkin terjadi

para siswa yang mempunyai masalah seperti ini tidak mempunyai keinginan untuk

berusaha keras belajar matematika lebih bersungguh-sungguh agar mendapatkan

hasil belajar matematika.yang lebih memuaskan. Hal ini dikarenakan sebelumnya

secara mental mereka telah mencap dirinya tidak maampu belajar matematika,”

berprasangka buruk “, kurang percaya diri bahkan tidak pernah suka belajar

matematika , padahala keadaan tersebut belum tentu benar,bahkan akan

menjerumuskan dia pada situasi yang mungkin tidak menguntungkan.

1. Taksonomi Bloom

Pada tahun 1956 Benyamin Bloom menyamapaikan gagasannya berupa

taksonomi tujuan pendidikan dengan menyajikannya dalam bentuk hierarki.

Tujuan penyajian dalam bentuk system klasifikasi hierarki ini dimaksudkan untuk

mengategorisasai hasil perubahan kognisi pada diri siswa sebagai hasil sebuah

pembelajaran. Taksonomi bloom hanya memasukkan perubaha-perubahan mental

yang dapat terukur dan teramati. Perubahan-perubahan yang dimaksud diatas

adalah yang berkaitan dengan pemecahan masalah, testing, dan pengamatan.

Melalui gagasan ini, bloom menyediakan rujukan yang dapat digunakan olah guru

( matematika ) untuk memformulasikan tujuan –tujuan pembelajaran memilih

metode mengajar dan pendesainan tes serta aktifitas belajar siswa.

Taksonomi bloom yang dimaksud terdiri atas:

1. Pengetahuan ( knowledge ) selanjutnya disebut C1

Page 46: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Menekankan pada proses mental dalam mengingat dan mengungkapkan

kembali informasi-informasi yang telah siswa perolah secara tepat sesuai

dengan apa yang telah mereka perolah sebelumnya. Informasi-informasi

yang dimaksud disini berkaitan dengan symbol-simbol matematika,

terminology dan peristilahan, fakata-fakta, keterampilan , dan prinsip-

prinsip.

2. Pemahaman ( comprehension ) selanjutnya disebut C2

Adalah tingkatan yang paling rendah dalam aspek kognisi yang

berhubungan dengan penguasaan atau pengertian tentang sesuatu. Dalam

tingkatan ini siswa diharapkan mampu memahami idea-idea matematika

bila mereka dapat mengunakan beberapa kaidah yang relevan tanpa perlu

menghubungkannya dengan idea-idea lain dengan segala implikasinya.

3. Penerapan ( application ) selanjutnya disebut C3

Adalah kemampuan kognisi yang mengharapkan siswa mampu

mendemontrasikan pemahaman mereka berkenaan dengan sebuah

abstraksi matematika melalui pengunaanya secara tepat ketika mereka

diminta untuk menunjukkan kemampuan tersebut, seorang siswa harus

dapat memilih apa yang telah mereka miliki secara tepat sesuai dengan

situasi yang ada dihadapanya.

4. Analisis ( analysis ) selanjutnya C4

Adalah kemampuan untuk memilih sebuah struktur informasi kedalam

komponen sedemikian hingga hierarki dan keterkaitan antar idea dalam

informasi tersebut menjadi tampak dan jelas. Bloom mengindefikasikan 3

jenis analisis : 1. analisis elemen atau bagian. 2. analisi hubungan. 3.

analisis prinsip-prinsip pengorganisasian.

5. Sintesis ( synthesis ) selanjunya disebut C5

Adalah kemampuan untuk mengkombinasikan elemen-elemen untuk

membentuk sebuah struktur yang unik atau system. Dalam matematika

sintesis melibatkan pengkombinasian dan pengorganisasian konsep-

konsep dan prinsip-prinsip matematika untuk mengkreasikannya menjadi

struktur matematika yang lain dan berbeda dari yang sebelumnya, salah

Page 47: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

satu contohnya adalh memformulasikan teorema-teorama matematika dan

mengembangkan struktur-struktur matematika.

6. Evaluasi ( evaluation ) selanjutnya disebut C6

Adalah kegiatan membuat penilaian ( judgment ) berkenaan dengan

sebuah idea , kreasi, cara atau metode. Evalusi adalah tipe yang tertinggi

diantara ranah-ranah kognitif yang lain, karena dia melibatkan ranah-ranah

yang lain, mulai dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,

hingga sintesis.evaluasi dapat memadu seseorang untuk mendapatkan

pengetahuan baru, pemahaman yang lebih baik, penerapan baru dan cara

baru yang unik dalam analisis atau sintesis, misalnya bloom membagikan

kegiatan evaluasi dalam 2 tipe yaitu: 1.penilaian pada bukti atau struktur

internal, seperti akurasi logika, dan konsistensi. 2. penilaian pada bukti

atau struktur external seperti teorema-teorema matematika dan sistemnya.

2. Strategi mengajukan Pertanyaan

Ketika seorang guru matematika mempersiapkan pembelajran, sebuah

topic atau unit, dia semestinya menentukan dua jenis tujuan terlebih dahulu.,

pertama tujuan dan materi matematika ( mathematical content ) yang diajarkan

dan kedua adalah tujuan kognisi ( cognitive objective ) yang sesuai dengan sifat

materi dan karakteristik siswa yang akan dihadapi. Baik tujuan materi maupun

tujuan kognisi seyoginya dijelaskan kepada siswa bagaimana mereka

mempersiapkan diri untuk mempelajari topic atau unit tersebut.

Banyak study dan penelitian dalam pendidikan matematika yang

memperllihatkan bahwa para siswa mempunyai kecendrungan belajar matematika

dengan baik bila mana kepada mereka diberikan hal-hal yang mesti mereka kuasai

terlebih dahulu, misalnya, terminology atau peristilahan yang harus mereka

pahami dan kuasai secara tepat. Kemampuan atau keterampilan macam apa yang

harus mereka pelajari, dan dengan cara bagaimana mengukur atau mengevaluasi

apa yang telah mereka pelajari.

Page 48: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Siswa semestinya mengetahui terlebih dahulu mereka diharapkan

mendefinisikan konsep ( ingatan/ pengetahuan), tuntas menguasai keterampilan

tertentu ( pemahaman ), membuktikan teorema (sintesis) atau membandingkan

struktur matematika (evaluasi )..

Satuhal yang tidak kalah pentingnya dalam kegiatan belajar matematika

adalah mengajukan pertanyaan ( asking guestion ) dalam kenyataanya,

mengajukan pertanyaan atau bertanya adalah pusat aktifitas dalam sebagian besar

strategi belajar mengajar matematika dan dalam prosedur evalusi hasil belajar.

Geoege Polya menekankan dalam bahwa pemecahan ( problem solving ) dan

metode penemuan dalam matematika ( mathematical discovery ) sebagai sesuatu

yang bagus dan potensil untuk digunakan sebagai strategi mengajukan pertanyaan

dalam proses belajar mengajar matematika.

Strategi mengajukan pertanyaan dapat bermanfaat dan digunakan dalam

mempertemukan sejumlah tujuan belajar dan bervariasi, baik dalam strategi

pembelajaran berkelompok maupun pembelajaran secara individual. Kegiatan

belajar secara berkelompok diantaranya adalah diskusi, inquiri, dan kegiatan

laboratorium yang didalamnya terjadi interaksi, baik antara siswa dengan siswa

maupun antara dengan guru, melalui aktivitas bertanya dan menjawab ( question

and answer )

Agar sebuah kelompok maupun memecahkan sebuah masalah, anggota

kelompok harus mengingat dan memecahkan hal-hal umum yang berkaitan

dengan prosedur dan strategi. Kemudian memformulasilkan dan menjawab

pertanyaan yang lebih khusus yang berkaitan dengan objek-objek matematika.

Kebanyakan program-program pelajaran yang bersifat individual melalui

penilaiaa awal ( pre assesment ) untuk menentukan level siswa dalam penguasaan

materi- materi matematika prasyarat dan penilaian akhir ( post assesment ) untuk

mengukur kemajuan siswa dalam sejumlah tujuan belajar tertentu. Kedua

penilaian ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan, baik secara lisan maupun

dalam bentuk tertulis.

Page 49: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Pada sebuah proses belajar mengajar matematika, agar siswa dapat belajar

secara efektif, mereka harus berperan aktif dan tidak ditempatkan sebagai objek

pembelajaraan, namun lebih sebagai subjek pembelajaran. Pertanyaan-pertanyaan

seyoginya nerencanakan dan dibuat oleh guru untuk mendorong siswa

berpartisipasi aktif dalam diskusi kelas ataupun aktifitas kelas lainnya. Hal ini

dapat membantu para siswa merasa keberadaan mereka begitu penting dan

berpeluang menjadikan berperan aktif didalam aktifitas kelas.

Satu diantara banyak masalah yang dihadapi oleh guru dalam menyajikan

materi matematika didalam kelas berukuran besar, dengan jumlah siswa yang

banyak adalah perhatian para siswa. Karena situasi kelas yang kurang bahkan

tidak konduksif menjadikan tidak semua siswa dapat memperhatikan apa yang

diterangkan secara seksama. Kelemahan ini dapat ditangulangi diantaranya

melalui kegiatan yang didalamnya terdapat kegiatan bertanya, menjawab dan

berdiskusi. Hal ini setidaknya dapat mengkondisikan situasi agar para siswa

mengikuti apa yang guru sajikan didepan kelas. Strategi mengajukan pertanyaaan

dapat dengan cara atau dengan mengunakan permainan matematika

( mathematical games ). Teka-teki ( mathematical puzzles). Atau kegiatan-

kegiatan yang bernuansa penemuan ( discovery activities ) cara ini berpeluang

meningkatkan motivasi siswa untuk belajar matematika.

Disamping apa yang telah dikemukakan diatas, metode tanya jawab secara

langsung sangat efektif untuk me-review topik-topik atau unit-unit secara cepat

setelah mereka memperoleh sesuatu. Sesi review yang telah diajarkan yang

merupakan materi prasyarat bagi topik-topik atau unit-unit selanjutnya.

Seandainya mampu, guru dapat: (i) mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang

baik, bernas ( berisi ) dan relevan, (ii) melibatkan semua siswa dalam kegiatan

bertanya dan menjawab pertanyaan, dan (iii) mengkondisikan serta mendorong

diskusi kelas, strategi mengajukan pertanyaan dapat menjadi prosedur potensial

untuk kegiatan tinjau-ulang (review) materi-materi matematika yang telah

disampaikan kepada siswa. Teknik-teknik mengajukan pertanyaan semestinya

Page 50: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

digunakan pula oleh para guru mendiagnosis kesulitan belajar siswa dan

mengevaluasi ketuntasan siswa dalam memahami materi-materi

matematika.Melalui pertanyaan-pertanyaan yang relevan guru dalam melacak

berapa jauh siswa dapat memahami apa yang telahl disampaikan hal-hal apa saja

yang masih belum dikuasai dengan mantap. Untuk hal ini, guru dapat

mengunakan kata-kata kunci “ mengapa “,” bagaimana”, atau “ dimana” untuk

melihat paham tidaknya siswa akan sesuatu yang telah diberikan sebelumnya dan

berapa jauh pemahaman akan hal tersebut.

3. Tipe-tipe pertanyaan

Tipe-tipe pertanyaan yang guru dan siswa ajukan dalam kegiatan

pembelajaran matematika seyogianya merujuk pada tujuan kognitif dan afektif

dari pembelajaran yang dilakukan. Dalam perencanaan pembelajaran seorang guru

semestinya mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan kepada

siswa sebagai bagian dari penilaian awal dan akhir pembelajaran. Guru

seyogianya pula mengembangkan alternatif pertanyaan sebagai pelengkap dalam

kerangka perencanan strategi pembelajaranya.

Sebelum guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan tujuan

pembelajaran dan materi matematika kepada siswa, mereka sebaiknya

mencobakan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk dijawab

sendiri. Cukuplah kedalam materinya, sesuai waktu yang diperlukan untuk

berfikir dan menjawab pertanyaan yang diberikan? Hal itu dimaksudkan untuk

memadu para guru dalam memformulasikan tujuan pembelajaran yang tepat dan

proporsional. Disamping itu, hal tersebut akan membantu proses pembelajaran,

khususnya dalam mengantisipasi masalah-masalah yang dihadapi guru dalam

kegiatan pembelajaran. Bahkan, dengan mereka terlebih dahulu mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi matematika kepada diri

sendiri akan menghindarkan kejadian guru tidak mampu menjawab permasalahan

ketika pembelajaran secara berlangsung. Karena sangat tidak mungkin

Page 51: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan oleh sisea ketika pembelajaran

berlangsung dan guru mengalami kesulitan bahkan tidak sanggup menjawabnya.

Hasil dari bertanya kepada diri sendiri oleh guru dapat dijadikan sebagai

pertimbangan apakah sebuah pertanyaan layak diajukan kepada siswa atau tidak,

jika tidak layak bagaimana cara merevisi atau menganti pertanyaan tersebut agar

lebih proporsional. Bahkan, hal tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk

mengukur kemampuan mereka sendiri sebagai guru matematika

Beberapa contoh pertanyaan dibawah ini mengambarkan tipe-tipe pertanyaan

yang dapat digunakan sebagai panduan dalam pembelajaran matematika.

a. pertanyaan yang berkenaan dengan fakta.

contoh : “ dengan cara bagaimana kita menunjukan 6 dibagi 3 adalah 2 ?”

b. pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan tentang konsep

contoh :” apakah definisi sebuah vector “

c. pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan tentang prinsip

contoh: “ bagimana rumus umum sebuah kerucut.

4. Mengembangkan strategi bertanya yang efektif

Dalam sebuah pembelajaran, pertanyaan yang ditujukan kepada siswa

seyoginya memperhatikan tingkat kesukaran pertanyaan tersebut. Tingkat

kesukaran pertanyaan semestinya disesuaikan dengan kemampuan matematika

yang dimiliki oleh siswa yang bersangkutan. Siswa yang mempunyai kemampuan

matematika rendah sebaiknya terlebih dahulu diberi pertanyaan yang berkaitan

dengan pengetahuan tentang fakta dan keterampilan. Selanjutnya, baru mereka

diberi pertanyaan yang mempunyai tingkat kognitif yang lebih tinggi, misalkan

pengetahuan tentang konsep atau prinsip. Sebaliknya, para siswa yang

mempunyai kemampuan matematika diatas rata-rata sebaiknya diberi pertanyaan-

pertanyaan yang tingkat kognitifnya berkategori sedang dan tinggi.

Page 52: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

Ketika pertanyaaan diberikan kepada siswa, guru sebaiknyamemberi

kesempatan kepada semua siswa terlibat mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

Tetapi perlu diingat bahwa siswa yang mempunyai kemampuan matematika

“lebih” perlu dihindari, karena akan mengesampingkan keberadaan siswa yang

berkemampuan matematika rendah. Disamping itu, hal lain yang perlu

diperhatikan adalah pemberian waktu yang cukup bagi siswa untuk memformulasi

jawaban sebelum memberikan respon terhadap jawaban. Pertimbangaan pula

respon guru terhadap jawaban siswa harus proporsional. Karena respon guru

terhadap jawaban siswa yang tidak tepat akan membuat siswa yang bersangkutan

tidak termotivasi dalam kegiatan Tanya jawab.

Dalam penyajian, pertanyaan-pertanyaan yang diberikan seyoginya

bervariasi, baik model, bentuk, maupun tingkat kesukarannya. Sangat tidak

bijaksana jika seorang guru matematika hanya menampilkan pertanyaa-pertanyaan

yang tingkat kesukarannya sulit semua atau mudah semua.

Strategi pemberian pertanyaan dalam pembelajaran matematika akan

meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar selama diberikan secara

efektif dan proposional. Pemberian pertanyaan oleh guru semestinya dipersiapkan

secara matang, tidak bersifat spontan. Selain itupun respon guru terhadap jawaban

siswa harus bijaksana dan proporsional agar siswa nyaman dan mendapat manfaat

respon dari guru tersebut.

5. Mendiagnosis dan memberi motivasi belajar

Secara umum setiap siswa pasti mempunyai masalah- masalah yang

berkaitan dengan emosi, baik disadari maupun tidak. Kadang-kadang hal ini

secara tidak langsung mempengaruhi aktifitas, bahkan berpengaruh kepada

kemampun mereka dalam belajar.

Beberapa hal yang diduga dapat mengakibatkan masalah-masalah yang berkaitan

dengan emosi siswa diantaranya :

Page 53: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

a. lingkungan belajar yang kurang kondusif, baik disekolah maupun dirumah

b. “polusi “ social yang berasal dari lingkungan siswa yang berdampak terhadap

pola sikap dan pola tidak siswa

c. Pengalaman dalam lingkungaan dalam lingkungan keluarga, terutama yang

negative dan kurang menguntungkan.

d. Perubahan system nilai social yang terjadi dilingkungan keseharian siswa.

Semua penyebab tersebut diatas dapat mengakibatkan siswa tertekan

jiwanya, selanjutnya mereka kurang atau bahkan tidak memiliki motivasi dalam

belajar. Mereka seakan-akan tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk

belajar, apalagi berkompetensi dengan teman-teman untuk memperoleh prestasi

terbaik dalam belajar.

Akibat iringan dari keadaaan tersebut diatas, dikaikan dengan kegiatan

belajara mengajar matematika, beberapa diantaranya adalah ( i ) siswa membolos

untuk menghindari untuk pelajaran matematika (ii) siswa gagal dalam melakukan

tugas-tugas matematika, (iii) siswa menolak untuk mengikuti kegiatan-kegiatan

matematika.

Masalah rendahnya motivasi belajar matematika siswa dapat diakibatkan oleh

beberapa hal antaranya adalah :

a. kegagalan yang berulang yang dialami oleh siswa dalam melakukan aktivitas-

aktivitas yang berkaitan dengan matematika

b. pengalaman-pengalaman yang dialami oleh siswa yang berhubungan dsengan

ketidaknyaman dalam belajar matematika.

c. Ketidakserasian dalam berinteraksi antara siswa dengan siswa lain atau antara

siswa dengan guru.

Page 54: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.docx

d. Kekeliruaan siswa dalam memaknai dan memahami nilai-nilai yang terkandung

dalam matematika

Kendatipun banyak siswa yang kurang atau tidak memiliki motivasi dalam belajar

matematika, namun seharusnya kita berupaya menolong mereka dari kesulitan

tesebut. Hal tersebut dapat diwujudkan jika guru (i) memperlihatkan perhatian

kepada siswa secara lebih intensif dan sungguh-sungguh, terutama secara

individual sesuai dengan kebutuhan masing-masing, (ii) bersemangat dan

bersungguh-sungguh dalam menyajikan materi matematika, memilih hal-hal yang

menarik dan relevan dengan kehidupan siswa.

Untuk itu, agar para siswa lebih termotivasi dan bersungguh-sungguh dalam

belajar matematika, guru seyoginya :

a. Memperlihatkan betapa bermanfaatnya matematika bagi kehidupan melalui

contoh-contoh penerapan matematika yang relevan dengan dunia keseharian

siswa.

b. Mengunakan teknik, metode, dan pendekatan pembelajaran yang tepat sesuai

dengan karakteristik topic yang disajikan.

c. Memanfaatkan teknik, metode, dan pendekatan yang bervariasi dalam

pembelajaran matematika agar tidak monoton.