pendidikan matematika realistik indonesia.docx
TRANSCRIPT
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Pendidikan matematika realistic sangat dipengaruhi oleh ide Hans
Frudenthal yakni matematika sebagai suatu bentuk aktivitas manusia, bukan
sekedar obyek yang harus ditransfer dari guru ke siswa (Majalah PMRI, 2009:23).
Berdasarkan pemikiran tersebut, matematika merupakan suatu proses
pembelajaran yang harus melibatkan siswa sebagai subyek sehingga siswa sendiri
yang bergerak melakukan aktivitas matematis. Oleh karena itu, dalam
pembelajaran PMRI ini perlu adanya stimulus untuk dapat menghubungkan
pengetahuan informal sebagai pengetahuan awal siswa yang diperoleh dalam
kehidupan sehari-hari dengan pengetahuan formal matematika yang diperoleh di
sekolah. Untuk itu, perlu adanya peran guru dalam hal menimbulkan stimulus
yang berupa permasalahan realistic yang ada di kehidupan sehari-hari siswa dan
mengaitkannya dengan pengetahuan formal matematika yang dipelajari di sekolah
sehingga pembelajaran akan lebih bermakna untuk siswa.
Adapun karekteristik dari PMRI (Majalah PMRI, 2009:24) yaitu:
a. Penggunaan konteks dalam eksplorasi fenomenologis;
b. Penggunaan model untuk mengkontruksi konsep (matematisasi vertical
dan horizontal);
c. Penggunaan kreasi dan kontribusi siswa;
d. Sifat aktif dan interaktif dalam proses pembelajaran;
e. Kesalingterkaitan antara aspek-aspek atau unit-unit matematika
(intertwinement);
f. Ciri-ciri khas alam dan budaya Indonesia.
Adapun bentuk standar pembelajaran PMRI (Majalah PMRI, 2009: 28)
yakni sebagai berikut:
a. Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar kompetensi
dalam kurikulum;
b. Pembelajaran diawali dengan maslaah realistic sehingga siswa termotivasi
dan terbantu dalam belajar matematika;
c. Pembelajaran member kesempatan pada siswa untuk mengeksplorasi
masalah yang diberikan guru dan berdiskusi sehingga siswa dapat saling
belajar dalam rangka pengkontruksian pengetahuan;
d. Pembelajaran mnegaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat
pembelajaran lebih bermakna dan membentuk pengetahuan yang utuh;
e. Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk menyarikan
fakta, konsep, dan prinsip matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan
dengan latihan untuk memperkuat pemahaman.
Kemudian, bahan ajar PMRI memiliki standar (Majalah PMRI, 2009:29)
sebagai berikut:
a. Bahan ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku;
b. Bahan ajar menggunakan permasalahan realistic untuk memotivasi siswa
dan membantu siswa belajar matematika;
c. Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait
sehingga siswa memperoleh pengetahuan matematika yang bermakna dan
utuh;
d. Bahan ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan
cara dan kemampuan berpikir siswa;
e. Bahan ajar dirumuskan/disajikan sedemikian sehingga
mendorong/memotivasi siswa berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, serta
berinteraksi dalam belajar.
Menurut Bakker (Majalah PMRI, 2009:24) yang menyatakan bahwa untuk
mendesain dan mengembangkan PMRI sebaiknya menggunakan guided
reinvention (penemuan terbimbing), dimana dalam pembelajaran siswa harus
diarahkan untuk menemukan strategi penyelesaian masalah dan didactical
phenomenology yaitu guru perlu menggunakan masalah kontekstual untuk
memperkenalkan konsep matematika.
Realistic Mathematic Education (RME) atau Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Pembelajaran matematika realistik adalah padanan Realistic Mathematics
Education (RME), sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang
dikembangkan Freudenthal di Belanda.Gravemeijer (1994:82) mengungkapkan
Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of
mathematics as an activity.
Ungkapan Gravemeijer di atas menunjukkan bahwa pembelajaran
matematika realistik dikembangkan berdasar pandangan Freudenthal yang
menyatakan matematika sebagai suatu aktivitas. Lebih lanjut Gravemeijer (1994:
82) menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut
meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi
pokok persoalan. Menurut Freudenthal aktivitas-aktivitas itu disebut
matematisasi.
Terkait dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas
Gravemeijer (1994: 91) menyatakan Mathematics is viewed as an activity, a way
of working. Learning mathematics means doing mathematics, of which solving
everyday life problem is an essential part. Gravemeijer menjelaskan bahwa
dengan memandang matematika sebagai suatu aktivitas maka belajar matematika
berarti bekerja dengan matematika dan pemecahan masalah hidup sehari-hari
merupakan bagian penting dalam pembelajaran.
Konsep lain dari pembelajaran matematika realistik dikemukakan Treffers
(dalam Fauzan, 2002: 33 – 34) dalam pernyataan berikut ini The key idea of RME
is that children should be given the opportunity to reinvent mathematics under the
guidance of an adult (teacher). In addition, the formal mathematical knowledge
can be developed from children’s informal knowledge. Dalam ungkapan di atas
Treffers menjelaskan ide kunci dari pembelajaran matematika realistik yang
menekankan perlunya kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali
matematika dengan bantuan orang dewasa (guru). Selain itu disebutkan pula
bahwa pengetahuan matematika formal dapat dikembangkan (ditemukan kembali)
berdasar pengetahuan informal yang dimiliki siswa.
Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan di atas menjelaskan suatu cara
pandang terhadap pembelajaran matamatika yang ditempatkan sebagai suatu
proses bagi siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika berdasar
pengetahuan informal yang dimilikinya. Dalam pandangan ini matematika
disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat dipindahkan oleh guru ke dalam
pikiran siswa.
Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika,
Freudenthal (dalam Panhuizen, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi
yaitu matematisasi horisontal dan vertikal dengan penjelasan seperti berikut ini
“Horizontal mathematization involves going from the world of life into the world
of symbol, while vertical mathematization means moving within the world of
symbol.” Pernyataan ini menjelaskan bahwa matematisasi horisontal menyangkut
proses transformasi masalah nyata / sehari-hari ke dalam bentuk simbol.
Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup
simbol matematika itu sendiri. Contoh matematisasi horisontal adalah
pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara
yang berbeda oleh siswa. Sedangkan contoh matematisasi vertikal adalah
presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan
model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model
matematika dan penggeneralisasian.
Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas de Lange
(1987:101) mengidentifikasi empat pendekatan yang dipakai dalam mengajarkan
matematika, yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik dan realistik.
Pengkategorian keempat pendekatan tersebut didasarkan pada penekanan atau
keberadaan dua aspek matematisasi (horisontal atau vertikal) dalam masing-
masing pendekatan tersebut.
Tabel 2. 1 Matematisasi horisontal dan vertikal
dalam pendekatan-pendekatan matematika
Jenis Pendekatan Matematika Horizontal Matematika Vertikal
Mekanistik - -
Empristik + -
Strukturalistik - +
Realistik + +
Tanda “+” berarti perhatian besar yang diberikan oleh suatu jenis
pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu, sedangkan tanda “ “ berarti kecil
atau tidak ada sama sekali tekanan suatu jenis pendekatan terhadap jenis
matematisasi tertentu. Berdasar hal ini tampak bahwa pembelajaran matematika
dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup besar, baik pada
kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal jika dibandingkan dengan tiga
pendekatan yang lain.
Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip kunci
yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemeijer (1994:
90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu:
1. Guided reinvention and progressive mathematizing. Berdasar prinsip
reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses
yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat
dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu
prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian
informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi
prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan
masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian
serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar
matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive
mathematizing).
2. Didactical phenomenology.Berdasar prinsip ini penyajian topik-topik
matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas
dua pertimbangan yaitu:
(i) memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam
proses pembelajaran dan
(ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses
progressive mathematizing.
3. Self-developed models, Berdasarkan prinsip ini saat mengerjakan
masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model
mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan
informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model
yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya
model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki
siswa.
Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya
dijabarkan menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika sebagai berikut
ini. Karena hal ini maka beberapa di antara karakteristik berikut ini akan muncul
dalam pembelajaran matematika. Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran
matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik
lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan
sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
2. Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat
dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model
yang mengarah ke tingkat abstrak.
3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau penemuan
konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4. Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat
memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
Dengan mengkaji secara mendalam prinsip dan karakteristik
pembelajaran matematika realistik tampak bahwa pendekatan ini dikembangkan
berlandaskan pada filsafat kontruktivisme. Paham ini berpandangan bahwa
pengetahuan dibangun sendiri oleh orang yang belajar secara aktif. Penanaman
suatu konsep tidak dapat dilakukan dengan mentransferkan konsep itu dari satu
orang ke orang lain. Tetapi seseorang yang sedang belajar semestinya diberi
keleluasaan dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam
mengkonstruk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. Aktivitas ini dapat terjadi
dengan cara memberikan permasalahan kepada siswa. Permasalahan tersebut
adalah permasalahan yang telah diakrabi siswa dalam kehidupannya. Sebagai
akibat dari peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika realistik
adalah berkurangnya dominasi guru. Dalam pendekatan ini guru lebih berfungsi
sebagai fasilitator.
A. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Meninjau karakteristik interaktif dalam pembelajaran matematika
realistik di atas tampak perlu sebuah rancangan pembelajaran yang mampu
membangun interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa
dengan lingkungannya. Dalam hal ini, Asikin (2001: 3) berpandangan perlunya
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-
idenya melalui presentasi individu, kerja kelompok, diskusi kelompok, maupun
diskusi kelas. Negosiasi dan evaluasi sesama siswa dan juga dengan guru adalah
faktor belajar yang penting dalam pembelajaran konstruktif ini.
Implikasi dari adanya aspek sosial yang cukup tinggi dalam aktivitas belajar siswa
tersebut maka guru perlu menentukan metode mengajar yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan tersebut. Salah satu metode mengajar yang dapat memenuhi
tujuan tersebut adalah memasukkan kegiatan diskusi dalam pembelajaran siswa.
Aktivitas diskusi dipandang mampu mendorong dan melancarkan interaksi antara
anggota kelas. Menurut Kemp (1994: 169) diskusi adalah bentuk pengajaran tatap
muka yang paling umum digunakan untuk saling tukar informasi, pikiran dan
pendapat. Lebih dari itu dalam sebuah diskusi proses belajar yang berlangsung
tidak hanya kegiatan yang bersifat mengingat informasi belaka, namun juga
memungkinkan proses berfikir secara analisis, sintesis dan evaluasi. Selanjutnya
perlu pula ditentukan bentuk diskusi yang hendak dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kondisi kelas yang ada. Karena pembelajaran dalam rangka
penelitian ini dilaksanakan dalam sebuah kelas yang pada umumnya
beranggotakan 40 sampai 44 siswa dengan penempatan siswa yang sulit untuk
membentuk kelompok diskusi besar, maka interaksi antar siswa dimunculkan
melalui diskusi kelompok kecil secara berpasangan selain diskusi kelas.
Mendasarkan pada kondisi kelas seperti uraian di atas serta beberapa karakteristik
dan prinsip pembelajaran matematika realistik, maka langkah-langkah
pembelajaran yang dilaksanakan dalam penelitian ini terdiri atas:
Langkah – 1. Memahami masalah kontekstual.
Pada langkah ini guru menyajikan masalah kontekstual kepada siswa.
Selanjutnya guru meminta siswa untuk memahami masalah itu terlebih dahulu.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini
adalah menggunakan konteks. Penggunaan konteks terlihat pada penyajian
masalah kontekstual sebagai titik tolak aktivitas pembelajaran siswa.
Langkah – 2. Menjelaskan masalah kontekstual.
Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami kesulitan memahami
masalah kontekstual. Pada langkah ini guru memberikan bantuan dengan memberi
petunjuk atau pertanyaan seperlunya yang dapat mengarahkan siswa untuk
memahami masalah.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini
adalah interaktif, yaitu terjadinya interaksi antara guru dengan siswa maupun
antara siswa dengan siswa. Sedangkan prinsip guided reinvention setidaknya telah
muncul ketika guru mencoba memberi arah kepada siswa dalam memahami
masalah.
Langkah – 3. Menyelesaikan masalah kontekstual.
Pada tahap ini siswa didorong menyelesaikan masalah kontekstual secara
individual berdasar kemampuannya dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk
yang telah disediakan. Siswa mempunyai kebebasan menggunakan caranya
sendiri. Dalam proses memecahkan masalah, sesungguhnya siswa dipancing atau
diarahkan untuk berfikir menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan untuk
dirinya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan
seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.
Pada tahap ini , dua prinsip pembelajaran matematika realistik yang dapat
dimunculkan adalah guided reinvention and progressive mathematizing dan self-
developed models. Sedangkan karakteristik yang dapat dimunculkan adalah
penggunaan model. Dalam menyelesaikan masalah siswa mempunyai kebebasan
membangun model atas masalah tersebut.
Langkah – 4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban.
Pada tahap ini guru mula-mula meminta siswa untuk membandingkan
dan mendiskusikan jawaban dengan pasangannya. Diskusi ini adalah wahana bagi
sepasang siswa mendiskusikan jawaban masing-masing. Dari diskusi ini
diharapkan muncul jawaban yang dapat disepakati oleh kedua siswa. Selanjutnya
guru meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban yang
dimilikinya dalam diskusi kelas. Pada tahap ini guru menunjuk atau memberikan
kesempatan kepada pasangan siswa untuk mengemukakan jawaban yang
dimilikinya ke muka kelas dan mendorong siswa yang lain untuk mencermati dan
menanggapi jawaban yang muncul di muka kelas.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada tahap ini
adalah interaktif dan menggunakan kontribusi siswa. Interaksi dapat terjadi antara
siswa dengan siswa juga antara guru dengan siswa. Dalam diskusi ini kontribusi
siswa berguna dalam pemecahan masalah.
Langkah – 5. Menyimpulkan.
Dari hasil diskusi kelas guru mengarahkan siswa untuk menarik
kesimpulan mengenai pemecahan masalah, konsep, prosedur atau prinsip yang
telah dibangun bersama.
Pada tahap ini karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul
adalah interaktif serta menggunakan kontribusi siswa.
B. Teori Belajar yang Relevan dengan Pembelajaran Matematika Realistik
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembelajaran
matematika realistik dikembangkan dengan mengacu dan dijiwai oleh filsafat
konstruktivis. Sedangkan menurut Soedjadi (1999: 156) kontruktivisme di bidang
belajar dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan yang dikembangkan
sejalan dengan teori psikologi kognitif. Inti dari konstruktivisme dalam bidang
belajar adalah peranan besar yang dimiliki siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Sedangkan guru memposisikan diri
lebih sebagai fasilitator belajar. Beberapa teori belajar kognitif yang dipandang
relevan dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik adalah teori Piaget,
teori Vygotsky, teori Ausubel dan teori Bruner.
1. Teori Piaget
Piaget (dalam Ibrahim, 1999:16) berpandangan bahwa, anak-anak
memiliki potensi untuk mengembangkan intelektualnya. Pengembangan
intelektual mereka bertolak dari rasa ingin tahu dan memahami dunia di
sekitarnya. Pemahaman dan penghayatan tentang dunia sekitarnya akan
mendorong pikiran mereka untuk membangun tampilan tentang dunia tersebut
dalam otaknya. Tampilan yang merupakan struktur mental itu disebut skema atau
skemata (jamak). Suparno (1997: 30) menggambarkan skema sebagai suatu
jaringan konsep atau kategori. Dengan menggunakan skemanya, seseorang dapat
memproses dan mengidentifikasi suatu rangsangan yang diterimanya sehingga ia
dapat menempatkannya pada kategori / konsep yang sesuai. Piaget menyatakan
bahwa prinsip dasar dari pengembangan pengetahuan seseorang adalah
berlangsungnya adaptasi pikiran seseorang ke dalam realitas di sekitarnya. Proses
adaptasi ini tidak terlepas dari keberadaan skema yang dimiliki orang tersebut
serta melibatkan asimilasi, akomodasi dan equiliberation dalam pikirannya
(Suparno,1997: 31). Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang
dapat mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema
yang dimilikinya. Melalui asimilasi, skema seseorang berkembang namun tidak
berubah. Dengan demikian perkembangan skema seseorang berarti terjadinya
pengayaan persepsi dan pengetahuan seseorang atas dunia sekitarnya. Karena itu
asimilasi dapat dipandang sebagai proses yang dilakukan individu untuk
mengadaptasikan dan mengorganisasi diri ke dalam lingkungannya sehingga
pengertianya berubah. Proses kognitif asimilasi tidak selalu dapat dilakukan
seseorang. Hal ini terjadi jika rangsangan baru yang diterimanya tidak sesuai
dengan skema yang dimilikinya. Jika hal ini terjadi, maka akan dilakukan proses
akomodasi. Melalui proses akomodasi, pikiran seseorang akan membentuk skema
baru yang cocok dengan rangsangan tersebut atau memodifikasi skema yang telah
ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut (Suparno, 1997: 32). Dalam
mengembangkan pengetahuannya, proses asimilasi dan akomodasi terus
berlangsung dalam diri seseorang. Keduanya terjadi tidak berdiri sendiri. Kedua
proses ini berlangsung dalam keseimbangan yang diatur secara mekanis. Proses
pengaturan keseimbangan ini disebut equilibrium (Suparno, 1997: 32). Namun
dalam menerima suatu pengalaman baru dapat terjadi suatu keadaan sedemikian
hingga terjadi ketidakseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Keadaan ini
disebut sebagai dissequilibrium. Ketidakseimbangan ini muncul pada saat terjadi
ketidaksesuaian antara pengalaman saat ini dengan pengalaman baru yang
mengakibatkan akomodasi. Jika terjadi ketidakseimbangan maka seseorang
dipacu untuk mencari keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Menurut
Dahar (1991: 182) seseorang yang mampu memperoleh kembali
keseimbangannya akan berada pada tingkat intelektual yang tinggi dari
sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Teori Piaget
memandang kenyataan atau pengetahuan bukan sebagai objek yang memang
sudah jadi dan ada untuk dimiliki manusia, namun ia harus diperoleh melalui
kegiatan konstruksi oleh manusia sendiri melalui proses pengadaptasian
pikirannya ke dalam realitas di sekitarnya. Lebih lanjut Piaget (dalam Atkinson,
1999: 96) menjelaskan bahwa dalam tahap-tahap perkembangan intelektualnya
seorang anak sudah terlibat dalam proses berpikir dan mempertimbangkan
kehidupannya secara logis. Proses berpikir tersebut berlangsung sesuai dengan
tingkat perkembangan anak. Agar perkembangan intelektual anak berlangsung
optimal maka mereka perlu dimotivasi dan difasilitasi untuk membangun teori-
teori yang menjelaskan tentang dunia sekitarnya (Ibrahim, 1999: 19). Berkaitan
dengan upaya ini Piaget (dalam Ibrahim, 1999:18) berpendapat bahwa pendidikan
yang baik adalah pendidikan yang melibatkan anak bereksperimen secara mandiri,
dalam arti:
a. Mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi.
b. Memanipulasi tanda dan simbol
c. Mengajukan pertanyaan
d. Menemukan jawaban sendiri
e. Mencococokan apa yang telah ia temukan pada suatu saat dengan apa
yang ia temukan pada saat yang lain
f. Membandingkan temuannya dengan temuan orang lain.
Pembelajaran matematika realistik merupakan salah satu pendekatan
pembelajaran yang sejalan dengan pandangan Piaget di atas. Pembelajaran
matematika realistik yang dikembangkan dengan berlandaskan pada filsafat
konstruktivis, memandang pengetahuan dalam matematika bukanlah sebagai
sesuatu yang sudah jadi dan siap diberikan kepada siswa, namun sebagai hasil
konstruksi siswa yang sedang belajar. Karena itu, dalam pembelajaran matematika
realistik siswa merupakan pusat dari proses pembelajaran itu sendiri, sedangkan
guru berperan lebih sebagai fasilitator. Implikasi dari pandangan ini adalah
keharusan bagi guru untuk memfasilitasi dan mendorong siswa untuk terlibat aktif
dalam proses pembelajaran. Siswa harus didorong untuk mengkonstruksi
pengetahuan bagi dirinya. Untuk keperluan tersebut maka siswa perlu mendapat
keleluasaan dalam mengekspresikan jalan pikirannya dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapinya. Untuk mewujudkan situasi dan kondisi
belajar yang demikian maka dalam mengelola pembelajaran guru perlu
memperhatikan beberapa pandangan Piaget. Diantaranya adalah guru perlu
mendorong siswa untuk berani mencoba berbagai kemungkinan cara untuk
memahami dan menyelesaikan masalah. Dalam ini aktivitas mengkonstruksi
pengetahuan oleh siswa diwujudkan dengan memberikan masalah kontekstual.
Masalah kontekstual tersebut dirancang sedemikian hingga memungkinkan siswa
untuk membangun pengetahuannya secara mandiri.
2. Teori Vygotsky Matthews dan O’Loughlin (dalam Suparno, 1997: 41)
berpendapat bahwa teori Piaget dikembangkan dengan penekanan yang lebih pada
aspek personal. Teori ini dipandang terlalu subjektif dan kurang sosial, sehingga
faktor masyarakat dan lingkungan kurang diperhatikan dalam proses
pengembangan intelektual seorang anak.
Berbeda dengan Piaget, Vygotsky (dalam Ibrahim, 1999: 18) berpendapat bahwa
proses pembentukan dan pengembangan pengetahuan anak tidak terlepas dari
faktor interaksi sosialnya. Melalui interaksi dengan teman dan lingkungannya,
seorang anak terbantu perkembangan intelektualnya. Pandangan Vygotsky tentang
arti penting interaksi sosial dalam perkembangan intelektual anak tampak dari
empat ide kunci yang membangun teorinya.
a. Penekanan pada hakikat sosial. Ide kunci pertama ini menjelaskan pandangan
Vygotsky tentang arti penting interaksi sosial dalam proses belajar anak.
Vygotsky (dalam Nur, 1999: 3) mengemukakan bahwa anak belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa atau teman sebayanya. Dalam proses belajar yang
demikian, seorang anak yang sedang belajar tidak hanya menyampaikan
pengertiannya atas suatu masalah kepada dirinya sendiri namun ia juga dapat
menyampaikannya pada orang lain di sekitarnya. Pembelajaran kooperatif yang
terjalin oleh intraksi sosial peserta belajar memberi manfaat berupa hasil belajar
yang terbuka untuk seluruh siswa dan proses berpikir siswa lain terbuka untuk
siswa yang lain.
b. Wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development). Vygotsky
menjelaskan adanya dua tingkat perkembangan intelektual, yaitu tingkat
perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Pada tingkat
perkembangan aktual seseorang sudah mampu untuk belajar atau memecahkan
masalah dengan menggunakan kemampuan yang ada pada dirinya pada saat itu.
Sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah tingkat perkembangan
intelektual yang dicapai seseorang dengan bantuan orang lain yang lebih mampu.
Tingkat perkembangan potensial terletak di atas tingkat perkembangan aktual
seseorang. Perubahan dari tingkat perkembangan aktual menuju ke tingkat
perkembangan potensial tidak terjadi secara langsung dan otomatis. Perubahan itu
berlangsung dengan melalui proses belajar yang terjadi pada wilayah
perkembangan terdekat. Wilayah perkembangan terdekat terletak sedikit di atas
perkembangan aktual seseorang. Menurut Slavin (1994: 49) seorang anak yang
bekerja dalam wilayah perkembangan terdekat terlibat dalam tugas-tugas yang
tidak mampu diselesaikannya sendiri. Ia memerlukan kehadiran orang yang lebih
mampu untuk membantunya. Dengan mengerjakan serangkaian tugas belajar di
wilayah perkembangan terdekat seorang anak diharapkan mencapai tingkat
kecakapan tertentu pada waktu selanjutnya. Dengan demikian proses belajar di
wilayah perkembangan terdekat dapat dipandang sebagai suatu proses transisi atau
peralihan dari tingkat perkembangan aktual ke tingkat perkembangan potensial.
c. Pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship) Ide kunci ini adalah gabungan
dua ide kunci yang pertama, yaitu hakikat sosial dan perkembangan daerah
terdekat . Menurut Vygotsky, dalam proses pemagangan kognitif seorang siswa
secara bertahap mencapai kepakaran dalam interaksinya dengan seorang pakar,
orang dewasa atau teman sebayanya dengan pengetahuan yang lebih (Nur, 1999:
5). Implementasi dari ide ini adalah pembentukan kelompok belajar kooperatif
heterogen sehingga siswa yang lebih pandai dapat membantu siswa yang kurang
pandai dalam menyelesaikan tugasnya.
d. Perancahan (Scaffolding) Scaffolding atau perancahan (anak tangga) adalah
suatu prinsip yang mengacu kepada bantuan yang diberikan oleh orang dewasa
atau teman sebaya yang kompeten. Dalam proses pembelajaran bantuan itu
diberikan kepada siswa dalam bentuk sejumlah besar dukungan pada tahap awal
pembelajaran. Selanjutnya bantuan itu makin berkurang dan pada akhirnya tidak
ada sama sekali sehingga anak mengambil alih tanggung jawab secara penuh
terhadap apa yang dikerjakan setelah ia mampu melakukannya (Slavin, 1997: 48).
Ide kunci ini menjelaskan pandangan Vygotsky tentang perlunya pemberian
tugas-tugas komplek, sulit dan realistik kepada siswa. Melalui pemecahan
masalah dalam tugas yang diterimanya, seorang siswa diharapkan dapat
menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya. Dengan
demikian pembelajaran yang terjadi lebih menekankan pada model pengajaran
top-down (Nur, 1999: 5). Pembelajaran yang demikian berlawanan dengan model
bottom-up tradisional, dimana keterampilan-keterampilan dasar diberikan secara
bertahap untuk mewujudkan keterampilan yang lebih kompleks.
Implikasi yang muncul atas pandangan Vygotsky dalam pendidikan anak adalah
perlu adanya suatu dorongan kepada siswa untuk berinteraksi dengan orang di
sekitarnya yang punya pengetahuan lebih baik yang dapat memberikan bantuan
dalam pengembangan intelektualnya. Lebih luas daripada itu, para konstruktivis
menekankan agar para pendidik memperhatikan keberadaan situasi sekolah,
masyarakat dan teman di sekitar seseorang yang dapat mempengaruhi
pengembangan intelektual seorang siswa (Cobb dalam Suparno, 1997: 96). Salah
satu karakteristik dalam pembelajaran matematika realistik adalah penemuan
konsep dan pemecahan masalah sebagai hasil sumbang gagasan para siswa.
Kontribusi gagasan tersebut dapat diwujudkan melalui proses pembelajaran yang
di dalamnya terdapat interaksi antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan
guru atau antara siswa dengan lingkungannya. Dengan demikian, selain ada
aktivitas mental yang bersifat personal, dalam pembelajaran matematika realistik
guru perlu mendorong munculnya interaksi sosial antar anggota kelas dalam
proses mengkonstruk pengetahuan. Melalui interaksi sosial tersebut siswa yang
lebih mampu berkesempatan menyampaikan pemahaman yang dimilikinya pada
siswa lain yang lebih lemah. Hal ini memungkinkan bagi siswa yang lebih lemah
tersebut memperoleh peningkatan dari perkembangan aktual ke perkembangan
potensial atas bantuan siswa yang lebih mampu. Sedangkan di sisi lain guru
mempunyai peran dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan dengan
memberi arah, petunjuk, peringatan dan dorongan. Dengan demikian tampak
bahwa proses pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori Vygotsky
yang memberi tekanan pada pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan
intelektual anak. Dalam hal ini, interkasi sosial antar anggota kelas diwujudkan
melalui tahap mendiskusikan dan menegosiasikan penyelesaian masalah di tingkat
kelompok maupun tingkat kelas. Dalam diskusi kelompok maupun kelas tersebut
guru perlu mendorong semangat saling berbagi dan menghargai pandangan pihak
lain. Sedangkan interaksi yang dapat dibangun oleh guru dengan para siswa
adalah dengan memberikan bantuan seperlunya tanpa harus membatasi
keleluasaan siswa mengekspresikan ide-idenya.
3. Teori Ausubel
Ausubel, Noval dan Hanesian menggolongkan belajar atas dua jenis yaitu
belajar menghafal dan belajar bermakna (Suparno, 1997: 53). Menurut Nur (1999:
38) belajar menghafal mengacu pada penghafalan fakta-fakta atau hubungan-
hubungan, misal tabel perkalian dan lambang-lambang atom kimia. Sedangkan
menurut Ausubel belajar dikatakan bermakna jika informasi yang akan dipelajari
siswa disusun sesuai dengan struktur kognitifnya sehingga siswa tersebut
mengkaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya
(Hudojo, 1988: 61). Menurut Parreren melalui belajar bermakna struktur konsep
yang dimiliki seseorang mengalami perkembangan. Selain itu konsep-konsep
yang terhubung satu dengan yang lain secara bermakna melahirkan kaidah yang
berguna dalam pemecahan masalah (Winkel, 1991: 57). Pandangan ini sejalan
dengan pendapat yang menyebutkan bahwa pengetahuan yang dipelajari secara
bermakna akan memungkinkan untuk diterapkan ke situasi yang lebih luas dalam
kehidupan nyata (Nur, 1999: 34). Berlawanan dengan penjelasan di atas, jika
pengetahuan yang semestinya dapat diajarkan secara bermakna tetapi diajarkan
dengan menghafal akan menghasilkan pengetahuan inert. Pengetahuan inert
adalah pengetahuan yang sesungguhnya dapat diterapkan untuk situasi yang lebih
umum, tetapi pada kenyataannya hanya dapat diterapkan dalam situasi khusus
(Nur, 1999: 38). Siswa yang hanya menghafal suatu konsep tanpa benar-benar
mengerti isinya merupakan bentuk dari korban verbalisme (Winkel, 1991: 58).
Salah satu karakteristik pembelajaran matematika realistik adalah penggunaan
konteks. Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika realistik berarti
bahwa lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat
dijadikan sebagai bagian materi belajar bagi siswa. Apa yang terjadi di sekitar
siswa maupun pengetahuan yang dimiliki siswa merupakan bahan yang berharga
untuk dijadikan sebagai permasalahan kontekstual yang menjadi titik tolak
aktivitas berfikir siswa. Permasalahan yang demikian lebih bermakna bagi siswa
karena masih berada dalam jangkauan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memecahkan masalah kontekstual seorang
siswa harus dapat mengkaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan
permasalahan tersebut. Dengan demikian seorang siswa akan berhasil
memecahkan masalah kontekstual jika ia mempunyai cukup pengetahuan yang
terkait dengan masalah tersebut. Selain itu siswa juga harus dapat menerapkan
pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah kontekstual
tersebut. Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam
pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel.
4. Teori Bruner
Bruner (dalam Hudojo, 1988: 56) berpendapat bahwa belajar matematika
adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur serta mencari
hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Menurut Bruner
pemahaman atas suatu konsep beserta strukturnya menjadikan materi itu lebih
mudah diingat dan dapat dipahami lebih komprehensif. Mirip dengan seperti apa
yang dikemukakan Piaget, Bruner berpendapat adanya tiga tahap perkembangan
mental yang dilalui peserta didik dalam proses belajar. Namun ketiga tahap
berpikir menurut Bruner ini tidak dikaitkan dengan usia peserta didik. Tiga tahap
perkembangan mental menurut Bruner (dalam Hudojo, 1988: 57) tersebut adalah:
a. Enactive. Dalam tahap ini seseorang mempelajari suatu pengetahuan
secara aktif dengan menggunakan/ memanipulasi benda-benda konkrit atau situasi
nyata secara langsung. Contoh masalah yang dirancang untuk materi
pembelajaran PLSV di antaranya ditujukan untuk mengkonstruk prinsip yang
dapat digunakan untuk memperoleh persamaan-persamaan yang ekuivalen. Untuk
hal tersebut misalnya dapat diajukan masalah yang memuat ide tentang
kesetimbangan neraca, seperti berikut ini. Masalah : KELINCI PERCOBAAN.
Dalam kegiatan praktikum Biologi, siswa kelas I A menggunakan kelinci sebagai
objek percobaan. Mereka perlu mengetahui berat hewan ini. Pengukuran berat
kelinci dilakukan dengan cara meletakkan kelinci dan 2 buah anak timbangan 4
ons di satu lengan. Sedangkan lengan neraca yang lain diisi 3 buah anak
timbangan 8 ons. Hal ini menyebabkan neraca dalam keadaan setimbang.
Tentukan berat kelinci tersebut dan jelaskan bagaimana caramu menentukan berat
kelinci itu. Dalam tahap enactive seorang siswa dapat menyelesaikan masalah ini
dengan memanipulasi seperangkat neraca dan anak-anak timbangan buatannya
untuk memodelkan neraca sesungguhnya. Pada tahap ini mereka memanipulasi
benda-benda konkrit untuk menyelesaikan masalah di atas.
b. Ikonic. Pada tahap ini kegiatan belajar sesorang sudah mulai menyangkut
mental yang merupakan gambaran dari objek-objek. Dalam tahap ini tidak lagi
dilakukan manipulasi terhadap benda konkret secara langsung, namun anak sudah
dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari objek.
c. Simbolic. Tahap terakhir ini adalah tahap memanipulasi simbol-simbol secara
langsung dan tidak lagi terkait dengan objek maupun gambaran objek. Sebagai
contoh dari perkembangan mental siswa pada tahap simbolik ini adalah saat siswa
sudah mengetahui bahwa salah satu prinsip untuk memperoleh persamaan yang
ekuivalen adalah dengan mengurangi kedua ruas persamaan. Dengan mengetahui
prinsip ini apabila mereka menemui persamaan 2x + 4 = 9 + x maka secara terurut
mereka dapat memperoleh persamaan-persamaan yang ekuivalen seperti 2x + 4 –
4 = 9 + x – 9 atau 2x – x + 4 = 9 + x – x . Dalam memanipulasi simbil-simbol
tersebut mereka sudah tidak lagi memerlukan gambaran seperti pada tahap ikonik.
Selain teori tentang tahap perkembangan mental di atas, pendapat Bruner
yang lain yang sesuai dengan penelitian ini adalah teorema konstruksi
(construction theorem) dan teorema notasi (notation theorem). Melalui teorema
konstruksi, Bruner (dalam Pudjohartono, 2003: 23) berpendapat bahwa cara
terbaik bagi siswa untuk mempelajari konsep atau prinsip matematika adalah
dengan mengkonstruksi konsep atau prinsip tersebut. Alasannya adalah jika para
siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari suatu konsep atau prinsip maa
mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep atau prinsip yang
terkandung dalam representasi itu. Selanjutnya mereka lebih mudah mengingat
pengetahuan itu serta lebih mudah menerapkannya dalam konteks yang lain yang
sesuai. Dalam teorema ini, sekali lagi Bruner menekankan perlunya penggunaan
representasi konkret yang memungkinkan siswa untuk aktif.
Sedangkan melalui teorema notasi Bruner (dalam Pudjohartono, 2003: 25)
menjelaskan bahwa representasi dari suatu materi akan lebih mudah dipahami
siswa apabila didalam representasi itu digunakan notasi yang sesuai dengan
tingkat perkembangan kognitif siswa. Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar
yang berada dalam tahap operasi konkret kalimat yang berbunyai “ tentukan
sebuah bilangan bulat yang jika ditambah 6 hasilnya 9” akan lebih mudah
dinyatakan dalam bentuk persamaan “ ….. + 6 = 9”. Namun persamaan x + 6 = 9
merupakan representasi yang lebih sesuai untuk siswa SLTP.
A. Mengenal Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Realistic Mathematics Education (RME) yang di Indonesia lebih dikenal
dengan Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat
dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada
di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama
pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990). Sejak tahun 1971,
Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap
pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics
Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika,
bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan.
Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive
receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah
jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan
berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan
cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi
(konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep
matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian
yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan
mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal.
Model model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong
terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik
yang lebih tinggi. Dua pandangan penting beliau adalah ‘mathematics must be
connected to reality and mathematics as human activity ’. Pertama, matematika
harus dekat terhadap siswa dan harus relevan dengan situasi kehidupan sehari-
hari. Kedua, ia menekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia,
sehingga siswa harus di beri kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas semua
topik dalam matematika. Menurut Soedjadi(2004), matematika realistik
dikembangkan berdasarkan pandangan Freudenthal yang berpendapat bahwa
matematika merupakan kegiatan manusia yang lebih menekankan aktivitas siswa
untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang
diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa.
Hans Freudenthal berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani
(human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran
tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran
siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent)
matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan
kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995). RME
adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang 'real' bagi
siswa, menekankan ketrampilan 'proses of doing mathematics', berdiskusi dan
berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat
menemukan sendiri ('student inventing' sebagai kebalikan dari 'teacher telling')
dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah
baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini peran guru tak lebih
dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berfikir,
mengkomunikasikan 'reasoningnya', melatih nuansa demokrasi dengan
menghargai pendapat orang lain. Yang dimaksud “dunia riil” adalah segala
sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika,
atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari
dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk
mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi
kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses
pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai
peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan
sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai
konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif
dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap
proses belajar mereka. Dari prinsip di atas diperoleh kesimpulan bahwa
Pendekatan Matematika Realistik (PMR) secara garis besar memiliki lima
karakteristik. Menurut Treffers dan Van den Heuvel-Panhuizen dalam Suharta
(2005:2), karakteristik RME adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model-
model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment)
dan dijelaskan sebagai berikut :
1) Menggunakan konteks “dunia nyata”. Dalam RME, pembelajaran
diawali dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi
nyata yang dinyatakan oleh De Lange sebagai matematisasi konseptual. Melalui
abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit.
Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang
baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk
menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari
perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of
everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.
2) Menggunakan model-model (matematisasi). Istilah model berkaitan
dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa
sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan
jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika
informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam
menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia
nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model-model tersebut akan berubah
menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan
bergeser menjadi model-for masalah sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model
matematika formal.
3) Menggunakan produksi dan konstruksi. Dengan pembuatan “produksi
bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka
anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa
prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam
pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi
pengetahuan matematika formal.
4) Menggunakan interaktif. Interaksi antar siswa dengan guru merupakan
hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang
berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau
refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal
siswa.
5) Menggunakan keterkaitan (intertwinment). Dalam RME
pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran
kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh
pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya
diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar,
atau geometri tetapi juga bidang lain. Menurut Sutarto Hadi, berdasarkan
karakteristik tersebut RME mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:
1) Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide
matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya
2) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk
pengetahuan itu untuk dirinya sendiri
3) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang
meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan
kembali, dan penolakan
4) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya
sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman
5) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin
mampu memahami dan mengerjakan matematik.
RME juga mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
1) Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
2) Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
3) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif
menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam
menafsirkan persoalan riil
4) Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum,
melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun
sosial.
Begitu pula RME mempunyai konsepsi tentang pembelajaran, bahwa
pengajaran matematika dengan pendekatan RME meliputi aspek-aspek berikut
(De Lange, 1995 dalam Sutarto Hadi):
1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi
siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa
segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara
informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
4) Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan
memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban
temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan
ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi
terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Zamroni, (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa
mempunyai ciri-ciri:
1) di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan
gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa
yang tengah dipelajari;
2) mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;
3) bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan,
mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;
4) memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Menurut M. Asikin (2010), untuk mendesain suatu model pembelajaran
berdasarkan pendekatan realistik, model tersebut harus merepresentasikan
karakteristik RME baik pada tujuan, materi, metode dan evaluasi. Dengan rambu-
rambu sebagai berikut.
1) Tujuan. Tujuan haruslah mencakup ketiga level tujuan dalam RME yakni lower
level, middle level, and higher order level. Dua tujuan terakhir, menekankan pada
kemampuan berargumentasi, berkomunikasi dan pembentukan sikap kritis.
2) Materi. Desain suatu ‘open material’ yang berangkat dari suatu situasi dalam
realitas, berangkat dari konteks yang berarti dalam kehidupan.
3) Aktivitas. Aktivitas siswa diatur sehingga mereka dapat berinteraksi
sesamanya, diskusi, negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi ini siswa mempunyai
kesempatan untuk bekerja, berfikir dan berkomunikasi dengan menggunakan
matematika. Peranan guru hanya sebatas fasilitator atau pembimbing.
4) Evaluasi.Materi evaluasi dibuat dalam bentuk ‘open question’ yang memancing
siswa untuk menjawab secara bebas dan menggunakan beragam strategi atau
beragam jawaban (free productions).
Tahapan pembelajaran yang dilaksanakan di kelas, secara umum (menurut
model dari Connected Mathematics Project) terdiri dari tahap orientasi, tahap
eksplorasi/penelusuran, dan tahap penyimpulan. Pada tahap orientasi selain
disampaikan sasaran pembelajaran, pemberian masalah kontekstual yang masih
bersifat umum, diberikan pula masalah kontekstual yang sudah mengarah ke
sasaran pembelajaran. Sedangkan inti dari tahap eksplorasi adalah aktivitas siswa
yang dapat berupa: pemunculan gagasan atau pembentukan model,
pengkomunikasian gagasan atau model, pertukaran gagasan/pembukaan situasi
konflik, negosiasi. Pada tahap penyimpulan diberikan rangkuman, yang
dilanjutkan dengan pemberian pertanyaan rangkuman (summary questions) dan
pemberian tugas rumah (M. Asikin, 2010). Adapun langkah-langkah
pembelajaran pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) menurut
Suharta (2005:5) adalah sebagai berikut. Aktivitas Guru Aktivitas Siswa
1. Guru memberikan siswa masalah kontekstual.
2. Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberi kesempatan
untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif.
3. Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan
selanjutnya mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.
4. Guru mendekati siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.
5. Guru mengenalkan istilah konsep.
6. Guru memberikan tugas di rumah, yaitu mengerjakan soal atau
membuat masalah cerita serta jawabannya sesuai dengan matematika formal.
1) Siswa secara mandiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan
strategi-strategi informal.
2) Siswa memikirkan strategi yang paling efektif.
3) Siswa secara sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah
tersebut.
4) Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis, melalui diskusi kelas,
jawaban siswa dikonfrontasikan.
5) Siswa merumuskan bentuk matematika formal.
6) Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.
B. PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) Suatu Inovasi
Dalam Pendidikan Matematika di Indonesia
Perubahan paradigma pembelajaran dari pandangan mengajar ke
pandangan belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran
yang berpusat pada siswa membawa konsekuensi perubahan yang mendasar
dalam proses pembelajaran di kelas. Perubahan tersebut menuntut agar guru tidak
lagi sebagai sumber informasi, melainkan sebagai teman belajar. Siswa dipandang
sebagai makhluk yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun
pengetahuannya sendiri. Untuk mendukung proses pembelajaran yang sesuai
dengan perubahan tersebut dan sesuai dengan tujuan pendidikan matematika,
diperlukan suatu pengembangan materi pelajaran matematika yang difokuskan
pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan disesuaikan dengan
tingkat kognitif siswa, serta penggunaan metode evaluasi yang terintegrasi pada
proses pembelajaran tidak hanya berupa tes pada akhir pembelajaran (Subandar,
2001). Ditinjau dari perubahan kurikulum yang saat ini sedang diberlakukan, yaitu
Kurikulum 2006, pendekatan matematika realistik adalah salah satu pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut. Kurikulum 2006
mengamanatkan bahwa, dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika
hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi
(contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik
secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Dalam RME,
pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang sesuai
dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange sebagai matematisasi
konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep
yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep
matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh
karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman
anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari
(mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam
sehari-hari. Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini,
seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and
learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL
mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang
dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep PMR sejalan dengan kebutuhan
untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh
persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan
mengembangkan daya nalar. Matematika Realistik yang pertama kali
dikembangkan di Negeri Belanda dan telah menempatkan negara tersebut pada
posisi ke-7 dari 38 negara peserta TIMSS tahun 1999 (Mullis et al., 2000).
Matematika realistik juga telah diadopsi oleh banyak negara maju seperti Inggris,
Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brasilia, Amerika Serikat,
Jepang, dan Malaysia (Zulkardi, 2001). Salah satu hasil yang dicapai oleh negara-
negara tersebut adalah prestasi siswa yang meningkat, baik secara nasional
maupun internasional (Romberg, 1998). Hasil studi di Puerto Rico menyebutkan
bahwa prestasi siswa yang mengikuti program pembelajaran matematika dengan
pendekatan matematika realistik berada pada persentil ke-90 ke atas (Turmudi,
2004; Haji, 2005), suatu prestasi yang sangat fantastis untuk mata pelajaran
matematika yang banyak dipandang siswa sebagai mata pelajaran yang sangat
menakutkan dan membosankan. Di Indonesia, beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik
(PMR) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran
tradisional. Beberapa penelitian tersebut antara lain adalah :
1) Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002), menemukan bahwa hasil
pembelajaran geometri siswa kelas IV dan V SD dengan pendekatan matematika
realistik pada tes akhir lebih tinggi daripada pembelajaran secara tradisional.
2) Hasil penelitian Armanto (2002), menemukan bahwa hasil pembelajaran
perkalian dan pembagian bilangan besar siswa kelas IV SD dengan pendekatan
matematika realistik lebih baik daripada pembelajaran secara tradisional.
3) Penelitian yang dilaksanakan oleh Kamiluddin (2007:48), berkesimpulan
bahwa hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri 8 Baruga Kendari pada pokok
bahasan penjumlahan dan pengurangan pecahan dapat ditingkatkan melalui
pendekatan Realistic Mathematic Education (RME).
4) Skripsi Hustiawan Cahyono (2009) menyimpulkan bahwa penerapan
Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi Bangun Ruang di Kelas VIII D
SMP Negeri 5 Malang.
Menurut Turmudi (2004), pembelajaran matematika dengan pendekatan
matematika realistik sekurang-kurangnya telah mengubah minat siswa menjadi
lebih positif dalam belajar matematika. Hal ini berarti bahwa pendekatan
matematika realistik dapat mengakibatkan adanya perubahan pandangan siswa
terhadap matematika dari matematika yang menakutkan dan membosankan ke
matematika yang menyenangkan sehingga keinginan untuk mempelajari
matematika semakin besar. Dengan adanya perubahan pandangan yang selama ini
menganggap matematika sebagai pelajaran yang menakutkan, diharapkan siswa
mulai menyenangi, tertarik dan termotivasi untuk belajar matematika. Sehingga
tujuan pembelajaran matematika yaitu membekali peserta didik dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta
kemampuan bekerjasama akan lebih tercapai. Sebagai konsekuensinya perlu
diperhatikan pendekatan pembelajaran yang digunakan di kelas. Ruseffendi
(2001) berpendapat bahwa untuk membudayakan berpikir logis serta bersikap
kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan
matematika realistik. Selanjutnya dikatakan, jika kita (guru) rajin memperhatikan
lingkungan dan mengaitkan pembelajaran matematika dengan lingkungan maka
besar kemungkinan berpikir logis siswa itu akan tumbuh.
Tujuan pendidikan matematika yang lain adalah penekanannya pada
pembentukan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran matematika perlu
diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika. Hal ini penting mengingat
sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar
matematika (Ruseffendi, 1988). Untuk menumbuhkan sikap positif terhadap
matematika, perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat
menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa
matematika banyak kegunaannya. Oleh karena itu, materi harus dipilih dan
disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
(kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara informal
melalui pemodelan sebelum dengan cara formal. Hal ini sesuai dengan
karakteristik pendekatan matematika realistik. Untuk mencapai tujuan pendidikan
matematika tersebut, dapat dicapai melalui inovasi proses pembelajaran
matematika di kelas. Melakukan pembelajaran bermakna yang diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika.
Perlu perubahan pembelajaran dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau
pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Upayakan proses pembelajaran yang menyenangkan. Tunjukkan bahwa
matematika sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari sehingga matematika
tidak dipandang sebagai sesuatu yang menyeramkan. Penilaian harus dilakukan
terhadap keseluruhan, baik proses maupun hasil dalam rangka untuk memperbaiki
proses pembelajaran, bukan merupakan akhir dari proses pembelajaran.
Perubahan paradigma pembelajaran tersebut sesuai dengan paham
konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat
diajarkan oleh guru, melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa. Paham ini
mendasari pendekatan matematika realistik. Sehingga pendekatan matematika
realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di jenjang pendidikan dasar di
Indonesia untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika.
Pada simpulan salah satu jurnal ilmiahnya, Sahat Saragih menuliskan
berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan maupun hasil penelitian yang
telah dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri menunjukkan bahwa
pendekatan matematika realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di
jenjang pendidikan dasar di Indonesia dalam rangka untuk meningkatkan berpikir
logis dan sikap siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dalam matematika.
C. Perkembangan PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) di
Indonesia
RME awalnya dikembangkan di Belanda. Teori RME telah digunakan di
beberapa sekolah di Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari proyek kolaboratif,
Matematika dalam Konteks (MIC), antara Freudenthal Institute (FI), Utrecht
University dan University Wisconsin. Data menunjukkan bahwa kerjasama
internasional ini telah menjadi perusahaan yang bermanfaat, dalam arti bahwa
'hikmat praktek' dari bertahun-tahun di Belanda telah digunakan sebagai titik awal
bagi pengembangan kurikulum di Amerika Serikat. (de Lange, 1994). Setelah
siswa di beberapa distrik sekolah dari negara yang berbeda menggunakan bahan-
bahan, penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa prestasi siswa dalam ujian
nasional meningkat pesat (de Lange, 1998). Di Belanda, juga ada hasil positif dari
penggunaan materi kurikulum RME. Third International Mathematics and Science
Study (TIMSS) Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa di Belanda mencetak
gol yang sangat dalam matematika (Mullis et al. 2000). Terinspirasi oleh filosofi
RME tersebut, satu kelompok yang kemudian disebut Tim Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI), mengembangkan suatu pendekatan
untuk meningkatkan pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia. Hal
ini dikenal sebagai PMRI, sebuah adaptasi dari RME dalam Bahasa Indonesia.
Hal ini dikembangkan melalui kajian desain dalam kelas di Indonesia, kemudian
menjadi gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika di Indonesia.
Gerakan tidak hanya menerapkan cara baru pengajaran dan pembelajaran
matematika, tetapi dikaitkan dengan dorongan untuk mencapai transformasi sosial
di Indonesia. Pendekatan untuk mereformasi diadopsi oleh PMRI meliputi:
- Bottom-up pelaksanaan;
- Bahan dan kerangka kerja berdasarkan kelas dan dikembangkan melalui
penelitian;
- Guru secara aktif terlibat dalam merancang penyelidikan dan
mengembangkan bahan-bahan yang terkait;
- Hari-demi-hari pelaksanaan strategi yang memungkinkan siswa untuk
menjadi pemikir yang lebih aktif;
- Konteks perkembangan dan materi yang secara langsung berkaitan
dengan lingkungan sekolah dan kepentingan murid.
Pada dasarnya, PMRI menggunakan strategi bottom-up, dengan
pendekatan dan materi yang sebagian besar dikembangkan di dalam kelas
daripada di belakang meja petugas kurikulum. Reformasi pendidikan matematika
di Indonesia telah dimulai di kelas dan guru telah mengubah pendekatan
pengajaran matematika sebagai hasil dari keterlibatan mereka dengan bahan-
bahan baru, buku pelajaran, penyelidikan, eksperimen, in-service pendidikan dan
pelatihan dalam kelas. Eksperimen kelas ini tidak hanya menyediakan dasar untuk
pengembangan dan penyempurnaan teori PMRI, tetapi juga memberitahu mereka
yang terlibat dalam pengembangan pelatihan bagi para guru dan penulisan buku
pelajaran siswa. Di Indonesia, tidak hanya menyediakan PMRI sebagai
pendekatan baru untuk mengajar matematika, tetapi juga cara baru berpikir
tentang tujuan dan praktek-praktek matematika sekolah. Perlu diakui bahwa hal
itu tidak mudah untuk menerapkan teori dan pendekatan PMRI dalam pengajaran
dan pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia. Hal ini dikarenakan
pendekatan pengajaran PMRI adalah bertentangan dengan kemapanan
pembelajaran yang berpusat pada guru dan asumsi transfer pengetahuan kepada
siswa. Banyak komentator di sekolah-sekolah di Indonesia percaya bahwa
kebanyakan inovasi diperkenalkan ke sekolah-sekolah selama beberapa dekade
tidak memiliki dampak signifikan pada kualitas pendidikan. Oleh karena itu,
diasumsikan oleh banyak pengamat, bahwa pendekatan PMRI tidak akan
menangkap pikiran guru, dan tidak akan sangat mempengaruhi praktik kelas
mereka. Akan tetapi sekarang kenyataan sudah cukup berbeda. Meskipun
beberapa guru belum menguasai filosofi PMRI dan belum mengadopsi
pendekatan pengajaran yang direkomendasikan, sebagian besar guru telah
mengembangkan persepsi positif dari PMRI. Dan PMRI hadir sebagai metode
alternatif yang mungkin akan diperlukan dalam reformasi matematika di sekolah.
Guru-guru kini telah tumbuh menerima filosofi PMRI bahwa guru harus
membimbing siswa di dalam menemukan konsep-konsep matematika. Meskipun
demikian, ada beberapa yang menganggap pendekatan PMRI terlalu radikal dan
karena itu tidak pernah diterima oleh sebagian besar guru di Indonesia.
Tim PMRI menyadari bahwa untuk menjadikan sukses dalam menerapkan PMRI,
guru dan siswa memerlukan materi kurikulum yang konsisten dengan cita-cita dan
konteks Indonesia. Bahan-bahan yang harus diperlukan tersedia dan mendukung
siswa berpikir, dan dapat membantu guru membimbing siswa dalam menemukan
kembali konsep-konsep matematika. Mereka harus banyak mendukung guru
dalam mengatur kegiatan belajar di kelas di mana terdapat keragaman latar
belakang murid. Jadi kegiatan dan konteks yang dipilih harus mudah dikenal oleh
para siswa, bahasa dan diagram harus sederhana dan jelas, sehingga mereka
memberikan dukungan maksimal bagi pengembangan konsep-konsep matematika
(Hadi 2002). Salah satu pendekatan untuk memenuhi persyaratan ini adalah bagi
para pengembang kurikulum dan penulis buku teks dari universitas untuk bekerja
dengan guru. Secara singkat dapat dikatakan bahwa untuk mengembangkan
pendekatan RME dalam pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia
perlu dilakukan berbagai perubahan seperti kurikulum, sikap/mental guru,
sikap/tingkah laku siswa, sikap/mental pemegang otoritas, pandangan masyarakat
terhadap belajar, khususnya dalam belajar matematika(M. Asikin, 2010). Agar
berbagai dampak tersebut akan dapat dikenali secara lebih dini, sehingga
penerapan RME di Indonesia dapat berhasil, maka menurut Slettenhaar (2000)
dan Marpaung (2001) perlu beberapa upaya, antara lain (i) melaksanakan uji coba
di beberapa sekolah sambil melakukan penelitian pengembangan, (ii) menatar
guru-guru tentang RME, dan (iii) mengembangkan kurikulum matematika
berbasis RME.
Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan RME di Indonesia
memerlukan kerja keras semua pihak. Tidak hanya bertumpu pada para
pengembang atau para peneliti di perguruan tinggi. Peran para guru matematika
justeru sangat strategis. Oleh karena itu para guru harus terlibat secara aktif dalam
proses pengimplementasian RME. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
terulangnya berbagai kebijakan di bidang pendidikan yang terkesan selalu “top
down”dan hanya karena alasan “proyek” yang didanai dan harus dijalankan(M.
Asikin : 2010).
EVALUASI PADA PEMBELAJARAN DENGAN
PENDEKATAN PMRI
Soal Pembuka
Gelas A dan gelas B berisi sirup sama banyak. Tetapi gelas A berisi sirup merah,
sedangkan gelas B berisi sirup hijau. Sirup dari gelas A diambil satu sendok untuk
dituangkan ke gelas B. Isi gelas B kemudian diaduk sehingga merata isinya.
Setelah itu, dengan menggunakan sendok tadi diambil isi gelas B satu sendok
untuk dituangkan ke gelas A. Manakah yang lebih banyak, sirup merah di dalam
gelas B ataukah sirup hijau di dalam gelas A? Jelaskan! Bagaimana kalau gelas A
berisi sirup merah dua kali lebih banyak daripada sirup hijau di
dalam gelas B?
1. Kekhususan Pendidikan Matematika Realistik
Pembelajaran menurut Pendidikan Matematika Realistik mempunyai
beberapa kekhususan sebagai berikut:
a. Pengenalan konsep-konsep matematis baru dilakukan dengan memberikan
kepada murid-murid realistic contextual problem (masalah kontekstual yang
realistik)
b. Dengan bantuan guru atau bantuan temannya, murid-murid dipersilakan
memecahkan masalah kontekstual yang realistik itu. Dengan demikian,
diharapkan murid-murid re-invent (menemukan) konsep atau prinsip-prinsip
matematis atau menemukan model
c. Setelah menemukan penyelesaian, murid-murid diarahkan untuk mendiskusikan
penyelesaian mereka (yang biasanya ada yang berbeda, baik jalannya maupun
hasilnya)
d. Murid-murid dipersilakan untuk merefleksi (memikirkan kembali) apa yang
telah dikerjakan dan apayang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun
hasildiskusi
e. Murid juga dibantu agar mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang
memang ada hubungannya
f. Murid-murid diajak mengembangkan, atau memperluas, atau meningkatkan,
hasil-hasil dari pekerjajannya, agar menemukan konsep atau prinsipmatematis
yang lebih rumit
g. Menekankan matematika sebagai kegiatan bukan sebagai hasil yang siap pakai.
Untuk mempelajari matematika sebagai kegiatan, cara yang cocok adalah learning
by doing (belajar dengan mengerjakan matematika).
* Karena dalam PMR cara belajarnya “belajar dengan mengerjakan”, maka PMR
termasuk pembelajaran dengan “cara belajar siswa aktif” (CBSA).
* Masalah kontekstual dalam PMRI adalah masalah kontekstual yang realistik,
dalam arti realistik bagi murid, yaitu masalah yang dapat dibayangkan oleh murid
sebagai masalah dalam kehidupan nyata mereka, atau masalah dalam dunia
mereka. Dalam PMR, guru peran utama guru adalah sebagai fasilitator, murid
memecahkan masalah dari dunia murid dan sesuai dengan potensi murid. Oleh
karena itu, PMR termasuk pembelajaran yang berpusat pada murid.
* Karena masalah kontekstual menjadi titik awal pembelajaran matematika, maka
PMR termasuk CTL (contextual teaching and learning) atau pembelajaran
kontekstual.
* Karena pada PMR murid-murid dikondisikan untuk menemukan, atau
menemukan kembali, konsep atau prinsip-prinsip matematis, maka PMR termasuk
pembelajaran dengan penemuan terbimbing.
* Karena pada PMR murid-murid diarahkan agar menemukan pengetahuan
matematikanya dengan memecahkan masalah yang bersifat baru, dan diikuti
dengan berdikusi,maka PMR merupakan pembelajaran yang berdasarkan paham
konstruktivisme.
2. Beberapa Istilah atau Konsep yang Berkaitan dengan Pendidikan
Matematika Realistik Realistic Mathematics Education (Pendidikan
Matematika Realistik, PMR)
Beberapa Istilah atau Konsep yang Berkaitan dengan Pendidikan
Matematika Realistik Realistic Mathematics Education (Pendidikan Matematika
Realistik) adalah pendekatan atau cara pembelajaran matematika yang
berdasarkan gagasan-gagasan yang digali dan dikembangkan oleh Hanz
Freudenthal. Berikut ini istilah-istilah atau konsep-konsep dari Freudenthal yang
berkaitan dengan pembelajaran matematika dan beberapa tambahan dari pakar
lain.
a. Matematisasi
Menurut Freudenthal, ilmu tidak lagi hanya sekedar kumpulan pengalaman, ilmu
melibatkan kegiatan mengorganisasi (menyusun atau mengatur) pengalaman.
Mengorganisasi pengalaman dengan menggunakan matematika disebut
mathematizing (matematisasai atau mematematikakan). Matematisi cenderung
mengabaikan realitas setelah menemukan bahwa hubungan logis menjanjikan
kemajuan matematika yang lebih cepat. Dengan adanya matematisasi,
terbentuklah sekumpulan pengalaman matematis (hasil mematematikakan
realitas). Pada gilirannya, kumpulan pengalaman matematis itu perlu
diorganisasikan (disusun atau diatur) juga. Terjadilah matematisasi matematika.
Oleh Treffers, matematisasi dibeda-bedakan menjadi dua macam. Matematisasi
pengalaman nonmatematika disebut matematisasi horisontal, sedangkan
matematisasi matematika disebut matematisasi vertikal. Proses menghasilkan
pengetahuan (konsep, prinsip, model) matematis dari masalah kontekstual sehari-
hari termasuk matematisasi horisontal. Matematisasi vertikal adalah proses
menghasilkan konsep, prinsip, model matematis baru dari penegtahuan
matematika, adalah matematisasi vertikal.
b. Matematika sebagai Produk Jadi dan Matematika sebagai Kegiatan
Dari sudut pandang, ada ready-made mathematics (matematika sebagai barang
jadi), dan ada acted-out mathematics (matematika sebagai kegiatan). Menurut
Freudenthal, matematika yang dipandang sebagai kegiatan merupakan matematika
yang dalam keadaan murni. Jadi matematika sebagai kegiatan merupakan
matematika yang belum direkayasa oleh penemunya, atau oleh matematisi.
Contohnya adalah sebagai berikut.
Ready-made Mathematics Acted-out Mathematics
Ada bilangan positif , …Saya mendapatkan bilangan positif , … p berakibat q
Dari p saya dapat menyimpulkan q Karena = 91, maka di bagian manapun boleh
diganti dengan 91.
Saya mengetahui, atau saya temukan, bahwa = 91
Materi pelajaran matematika sebagai barang jadi adalah materi pelajaran
matematika yang berbentuk sistem deduktif, yaitu sistem yang terdiri atas empat
komponen saja, yaitu: (1) undefined terms (istilah-istilah matematis yang
digunakan, tetapi tidak didefinisikan), (2) definisi, (3) aksioma, dan (4) teorema
(beserta buktinya).
Pada pembelajaran matematika sebagai barang jadi, siswa menghafal
keempat hal itu. Karena dari segi pedagogik, siswa harus aktif, maka siswa lalu
diberi soal-soal. Pembelajaran yang berdasarkan paham bahwa matematika harus
diajarkan sebagai barang jadi atau sebagai sistem deduktif, menghasilkan
pandangan bahwa matematika tidak berguna, atau kering, karena pembelajaran
matematika hanya berisi kegiatan menghafalkan aksioma, definisi, teorema, serta
penerapan aksioma dan teorema itu pada soal-soal. Pembelajaran matematika
akan jauh lebih bermanfaat, apabila menekankan matematika sebagai kegiatan,
atau lebih menekankan pelajaran tentang acted-out mathematics.
c. Kegiatan atau Aktivitas
Menurut Freudenthal, kebanyakan orang akan sepakat bahwa materi pelajaran
matematika harus tidak diajarkan sebagai barang jadi. Juga banyak guru yang
menginginkan agar pembelajaran dapat membangkitkan kegiatan siswa. Orang
percaya bahwa pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dengan penemuan
akan lebih dipahami dan lebih awet dalam ingatan daripada pengetahuan atau
kecakapan yang diperoleh dengan cara yang pasif. Untuk perguruan tinggi,buku
Polya (1981) yang berjudul “Mathematical discovery” adalah contoh buku untuk
pembelajaran matematika sebagai kegiatan.
d. Re-invention atau Penemuan
Pembelajaran yang berdasarkan penafsiran dan analisis matematika sebagai
kegiatan disebut pembelajaran dengan metode re-invention, atau metode
penemuan. Agar tidakmenimbulkan salah tafsir, Freudenthal menyatakan bahwa
yang dimaksud re-invention sama dengan penemuan,yang biasa dipakai
dalamkonteks pembelajaran. Kata Freudenthal (1973: 120): “What I have called
re-invention, is often known as discovery. I have also used these terms a few
times, and it would not really matter which are used, were it not for the fact that
the word ‘discovery’ is often pronounced with undertones of the unexpected, the
sensational, the surprising, or the striking”. (“re-invention dan discovery
[penemuan] itu sama saja”).
e. Kedudukan Matematisasi
Biasanya, dalam pelajaran matematika ada contoh penerapan matematika. Akan
tetapi, materi matematika dibicarakan atau diajarkan lebih dulu, kemudian dikuti
dengan masalah, yang pemecahannya dimaksudkan sebagai contoh terapan
matematika itu. Sering kali, yang disebut masalah untuk contoh terapan itu
sekedar soal substitusi, atau soal rutin,atau soal penerapan rumus.
Pada PMR, masalah diberikan sebagai titik awal pembelajaran. Dengan
mencoba memecahkan masalah itu diharapkan murid menemukan konsep
matematis,atau prinsip matematis,atau model. Kegiatan murid itulah matematisasi
(horisontal), untuk memperoleh pengetahuan dan kecakapan yang lebih luas,atau
lebih tinggi,atau lebih rumit, siswa diarahkan untuk meningkatkan hasil
matematisasi horisontal itu (pengembangan dari pengetahuan atau kacakapan
matematika ke pengetahuan atau kecakapan matematika yang lebih tinggi atau
lebih luas, atau lebih rumit itulah matematisasi vertikal. Jadi, pada pelajaran
biasanya, masalah konkret diberikan pada akhir pelajaran, sedangkan pada PMR
masalah konkret diberikan pada awal pelajaran, dan masalah konkret ini diberikan
untuk mengembangkan kompetensi murid melakukan matematisasi horisontal.
Inilah salah satu ciri yang membedakan Pendidikan Matematika Realistik
dengan pendekatan lain pada pembelajaran matematika,yaitu bahwa pada
Pendidikan Matematika Realistik terdapat matematisasi horisontal (dari masalah
kehidupan sehari-hari ke matematika) dan matematisasi vertikal (dari matematika
ke matematika yang lebih tinggi, lebih luas,atau lebih rumit). Pendekatan
pedmbelajaran lain ada yang hanya mengembangkan kecakapan matematisasi
horosontal, ada yang hanya mengembangkan kecakapan matematisasi vertikal,
dan bahkan ada yang tidakmengembangkan kecakapan matematisasi sama sekali.
3. Evaluasi pada PMR
Evaluasi pembelajaran sangat penting, karena paling sedikit guru perlu
mengetahui pengaruh dari proses pembelajaran, sehingga guru tahu apa yang
harus diperbaikinya. Di samping itu, murid juga mempunyai haluntuk mengetahui
apakah mereka memperoleh sesuatu dari pelajaran matematika. Pihak
lain,misalnya orang tua murid, mungkin juga ingin mengeyahui apa saja yang
telah diperoleh murid-murid itu dari pelajaran matematika yang diikutinya.
a. Focus Evaluasi
(1) matematika dimaknai sebagai kegiatan siswa, sehingga evaluasi
harus menghasilkan pemahaman tentang kegiatan siswa, maka prioritas
utama evaluasi adalah evaluasi dengan observasi
(2) evaluasi harus kontinu dan terintegrasi dengan pembelajaran,
karean hasil evaluasi harus memberikan petunjuk kepada guru, apa yang
harus dilakukan selanjutnya
(3) evaluasi meliputi observasi, pemberian tes, diagnosis, dan
pencarian petunjuk untuk pengajaran remedial
(4) evaluasi harus holistik (menyeluruh), meliputi segala aspek dari
siswa, bukan hanya hasil belajar
(5) evaluasi harus menggunakan juga soal terbuka, agar dapat
menghasilkan informasi yang lengkap tentang siswa (dengan soal terbuka,
siswa memperoleh kesempatan untuk menunjukkan apa yang dia dapat
kerjakan, apa yang sudah dia kuasai, kompetensi apa yang sudah
berkembang, dsb.,
(6) soal terapan yang digunakan harus yang realistik atau harus
bukan soal
yang artifisial.
(I) Contoh soal terapan artifisial:
a. Badu main kelereng. Mula-mula memiliki 16 butir, kemudian
menang 10 butir. Berapa butir kelereng Badu setelah itu?
b. Ibu mempunyai 16 telur. Bude memberikan 10 telur kepada Ibu.
Berapa telur milik Ibu sekarang?
Soal-soal itu memang soal verbal, tetapi hanya kemasan soal 16 + 10, yang
dapat diganti-ganti kata-katanya, tanpa mengubah kompetensi yang
dituntut dari siswa.
(II) Contoh terapan sungguhan:
Ibu harus menemui nenek di Solo besuk pagi sebelum jam 11. Jika Ibu
mau naik kereta api Pramex, kereta api yang berangkat jam berapa harus
dipilih oleh Ibu? Kalau Ibu akan diantar kak Sani ke setasiun dengan naik
motor, jam berapa Ibu dan kak Sani harus berangkat dari rumah?
b. Cakupan Evaluasi
Jelas bahwa hasil tes pada pembelajaran matematika tidak cukup hanya
berupa frekuensi benar. Evaluasi dengan tes harus memberikan informasi
selengkap mungkin tentang BAGAIMANA SISWA MENGERJAKAN TES ITU.
Contoh: Soal 8 + 7 = ….., dapat dikerjakan dengan beberapa cara: membilang
lebih lanjut; menghafal, menggabungkan dua himpunan (dua kelompok jari, dsb.),
dengan sifat asosiatif, misalnya 8 + 7 = 8 + (2 + 5) = (8 + 2) + 5 = 10 + 5 = 15.
c. Kurang peranan kata
Kalau kemampuan berbahasa kurang penting dalam suatu konteks, maka
perannan kata atau bahasa dalam soal perlu dikurangi. Hal itu dapat dilakukan
dengan memberikan soal dalam gambar,
Teknik Bertanya dan Memberi Motivasi
Salah satu kegiatan penting dalam persiapan pemberlajaran sebuah materi
atau topic dalam matematika adalah menentukan tujuan ( setting objective ) dan
ujung kegiatan intinya adalah mengukur apa yang telah dipelajari oleh siswa
melalui kegiatan penilaian.
Hal yang lain yang tidak kalah pentingnya dalam persiapan atau
perencanaan kegiatan pembelajaran matematika adalah menentukan strategi
pemberian motivasi kepada siswa untuk belajar. Rendahnya motivasi siswa untuk
belajar matematika mungkin diakibatkan olah banyak hal, diantaranya karena
adanya masalah dalam belajar atau diakibatkan loeh pengalaman yang tidak
nyaman dalam belajar matematika sebelumnya.
Siswa yang mampunyai maslah berkaitan dengan fisik, kemampuan
intelektual atau masalh emosional besar kemungkinan lemah dalam matmatika,
meskipun mereka menonjol dalam bidang studi yang lain. Beberapa diantaranya
mereka barangkali lablih nyaman dan tertarik mempelajari bidang study lain
dibandingkan dengan belajar matematika. Olah karena itu, sangat mungkin terjadi
para siswa yang mempunyai masalah seperti ini tidak mempunyai keinginan untuk
berusaha keras belajar matematika lebih bersungguh-sungguh agar mendapatkan
hasil belajar matematika.yang lebih memuaskan. Hal ini dikarenakan sebelumnya
secara mental mereka telah mencap dirinya tidak maampu belajar matematika,”
berprasangka buruk “, kurang percaya diri bahkan tidak pernah suka belajar
matematika , padahala keadaan tersebut belum tentu benar,bahkan akan
menjerumuskan dia pada situasi yang mungkin tidak menguntungkan.
1. Taksonomi Bloom
Pada tahun 1956 Benyamin Bloom menyamapaikan gagasannya berupa
taksonomi tujuan pendidikan dengan menyajikannya dalam bentuk hierarki.
Tujuan penyajian dalam bentuk system klasifikasi hierarki ini dimaksudkan untuk
mengategorisasai hasil perubahan kognisi pada diri siswa sebagai hasil sebuah
pembelajaran. Taksonomi bloom hanya memasukkan perubaha-perubahan mental
yang dapat terukur dan teramati. Perubahan-perubahan yang dimaksud diatas
adalah yang berkaitan dengan pemecahan masalah, testing, dan pengamatan.
Melalui gagasan ini, bloom menyediakan rujukan yang dapat digunakan olah guru
( matematika ) untuk memformulasikan tujuan –tujuan pembelajaran memilih
metode mengajar dan pendesainan tes serta aktifitas belajar siswa.
Taksonomi bloom yang dimaksud terdiri atas:
1. Pengetahuan ( knowledge ) selanjutnya disebut C1
Menekankan pada proses mental dalam mengingat dan mengungkapkan
kembali informasi-informasi yang telah siswa perolah secara tepat sesuai
dengan apa yang telah mereka perolah sebelumnya. Informasi-informasi
yang dimaksud disini berkaitan dengan symbol-simbol matematika,
terminology dan peristilahan, fakata-fakta, keterampilan , dan prinsip-
prinsip.
2. Pemahaman ( comprehension ) selanjutnya disebut C2
Adalah tingkatan yang paling rendah dalam aspek kognisi yang
berhubungan dengan penguasaan atau pengertian tentang sesuatu. Dalam
tingkatan ini siswa diharapkan mampu memahami idea-idea matematika
bila mereka dapat mengunakan beberapa kaidah yang relevan tanpa perlu
menghubungkannya dengan idea-idea lain dengan segala implikasinya.
3. Penerapan ( application ) selanjutnya disebut C3
Adalah kemampuan kognisi yang mengharapkan siswa mampu
mendemontrasikan pemahaman mereka berkenaan dengan sebuah
abstraksi matematika melalui pengunaanya secara tepat ketika mereka
diminta untuk menunjukkan kemampuan tersebut, seorang siswa harus
dapat memilih apa yang telah mereka miliki secara tepat sesuai dengan
situasi yang ada dihadapanya.
4. Analisis ( analysis ) selanjutnya C4
Adalah kemampuan untuk memilih sebuah struktur informasi kedalam
komponen sedemikian hingga hierarki dan keterkaitan antar idea dalam
informasi tersebut menjadi tampak dan jelas. Bloom mengindefikasikan 3
jenis analisis : 1. analisis elemen atau bagian. 2. analisi hubungan. 3.
analisis prinsip-prinsip pengorganisasian.
5. Sintesis ( synthesis ) selanjunya disebut C5
Adalah kemampuan untuk mengkombinasikan elemen-elemen untuk
membentuk sebuah struktur yang unik atau system. Dalam matematika
sintesis melibatkan pengkombinasian dan pengorganisasian konsep-
konsep dan prinsip-prinsip matematika untuk mengkreasikannya menjadi
struktur matematika yang lain dan berbeda dari yang sebelumnya, salah
satu contohnya adalh memformulasikan teorema-teorama matematika dan
mengembangkan struktur-struktur matematika.
6. Evaluasi ( evaluation ) selanjutnya disebut C6
Adalah kegiatan membuat penilaian ( judgment ) berkenaan dengan
sebuah idea , kreasi, cara atau metode. Evalusi adalah tipe yang tertinggi
diantara ranah-ranah kognitif yang lain, karena dia melibatkan ranah-ranah
yang lain, mulai dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,
hingga sintesis.evaluasi dapat memadu seseorang untuk mendapatkan
pengetahuan baru, pemahaman yang lebih baik, penerapan baru dan cara
baru yang unik dalam analisis atau sintesis, misalnya bloom membagikan
kegiatan evaluasi dalam 2 tipe yaitu: 1.penilaian pada bukti atau struktur
internal, seperti akurasi logika, dan konsistensi. 2. penilaian pada bukti
atau struktur external seperti teorema-teorema matematika dan sistemnya.
2. Strategi mengajukan Pertanyaan
Ketika seorang guru matematika mempersiapkan pembelajran, sebuah
topic atau unit, dia semestinya menentukan dua jenis tujuan terlebih dahulu.,
pertama tujuan dan materi matematika ( mathematical content ) yang diajarkan
dan kedua adalah tujuan kognisi ( cognitive objective ) yang sesuai dengan sifat
materi dan karakteristik siswa yang akan dihadapi. Baik tujuan materi maupun
tujuan kognisi seyoginya dijelaskan kepada siswa bagaimana mereka
mempersiapkan diri untuk mempelajari topic atau unit tersebut.
Banyak study dan penelitian dalam pendidikan matematika yang
memperllihatkan bahwa para siswa mempunyai kecendrungan belajar matematika
dengan baik bila mana kepada mereka diberikan hal-hal yang mesti mereka kuasai
terlebih dahulu, misalnya, terminology atau peristilahan yang harus mereka
pahami dan kuasai secara tepat. Kemampuan atau keterampilan macam apa yang
harus mereka pelajari, dan dengan cara bagaimana mengukur atau mengevaluasi
apa yang telah mereka pelajari.
Siswa semestinya mengetahui terlebih dahulu mereka diharapkan
mendefinisikan konsep ( ingatan/ pengetahuan), tuntas menguasai keterampilan
tertentu ( pemahaman ), membuktikan teorema (sintesis) atau membandingkan
struktur matematika (evaluasi )..
Satuhal yang tidak kalah pentingnya dalam kegiatan belajar matematika
adalah mengajukan pertanyaan ( asking guestion ) dalam kenyataanya,
mengajukan pertanyaan atau bertanya adalah pusat aktifitas dalam sebagian besar
strategi belajar mengajar matematika dan dalam prosedur evalusi hasil belajar.
Geoege Polya menekankan dalam bahwa pemecahan ( problem solving ) dan
metode penemuan dalam matematika ( mathematical discovery ) sebagai sesuatu
yang bagus dan potensil untuk digunakan sebagai strategi mengajukan pertanyaan
dalam proses belajar mengajar matematika.
Strategi mengajukan pertanyaan dapat bermanfaat dan digunakan dalam
mempertemukan sejumlah tujuan belajar dan bervariasi, baik dalam strategi
pembelajaran berkelompok maupun pembelajaran secara individual. Kegiatan
belajar secara berkelompok diantaranya adalah diskusi, inquiri, dan kegiatan
laboratorium yang didalamnya terjadi interaksi, baik antara siswa dengan siswa
maupun antara dengan guru, melalui aktivitas bertanya dan menjawab ( question
and answer )
Agar sebuah kelompok maupun memecahkan sebuah masalah, anggota
kelompok harus mengingat dan memecahkan hal-hal umum yang berkaitan
dengan prosedur dan strategi. Kemudian memformulasilkan dan menjawab
pertanyaan yang lebih khusus yang berkaitan dengan objek-objek matematika.
Kebanyakan program-program pelajaran yang bersifat individual melalui
penilaiaa awal ( pre assesment ) untuk menentukan level siswa dalam penguasaan
materi- materi matematika prasyarat dan penilaian akhir ( post assesment ) untuk
mengukur kemajuan siswa dalam sejumlah tujuan belajar tertentu. Kedua
penilaian ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan, baik secara lisan maupun
dalam bentuk tertulis.
Pada sebuah proses belajar mengajar matematika, agar siswa dapat belajar
secara efektif, mereka harus berperan aktif dan tidak ditempatkan sebagai objek
pembelajaraan, namun lebih sebagai subjek pembelajaran. Pertanyaan-pertanyaan
seyoginya nerencanakan dan dibuat oleh guru untuk mendorong siswa
berpartisipasi aktif dalam diskusi kelas ataupun aktifitas kelas lainnya. Hal ini
dapat membantu para siswa merasa keberadaan mereka begitu penting dan
berpeluang menjadikan berperan aktif didalam aktifitas kelas.
Satu diantara banyak masalah yang dihadapi oleh guru dalam menyajikan
materi matematika didalam kelas berukuran besar, dengan jumlah siswa yang
banyak adalah perhatian para siswa. Karena situasi kelas yang kurang bahkan
tidak konduksif menjadikan tidak semua siswa dapat memperhatikan apa yang
diterangkan secara seksama. Kelemahan ini dapat ditangulangi diantaranya
melalui kegiatan yang didalamnya terdapat kegiatan bertanya, menjawab dan
berdiskusi. Hal ini setidaknya dapat mengkondisikan situasi agar para siswa
mengikuti apa yang guru sajikan didepan kelas. Strategi mengajukan pertanyaaan
dapat dengan cara atau dengan mengunakan permainan matematika
( mathematical games ). Teka-teki ( mathematical puzzles). Atau kegiatan-
kegiatan yang bernuansa penemuan ( discovery activities ) cara ini berpeluang
meningkatkan motivasi siswa untuk belajar matematika.
Disamping apa yang telah dikemukakan diatas, metode tanya jawab secara
langsung sangat efektif untuk me-review topik-topik atau unit-unit secara cepat
setelah mereka memperoleh sesuatu. Sesi review yang telah diajarkan yang
merupakan materi prasyarat bagi topik-topik atau unit-unit selanjutnya.
Seandainya mampu, guru dapat: (i) mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang
baik, bernas ( berisi ) dan relevan, (ii) melibatkan semua siswa dalam kegiatan
bertanya dan menjawab pertanyaan, dan (iii) mengkondisikan serta mendorong
diskusi kelas, strategi mengajukan pertanyaan dapat menjadi prosedur potensial
untuk kegiatan tinjau-ulang (review) materi-materi matematika yang telah
disampaikan kepada siswa. Teknik-teknik mengajukan pertanyaan semestinya
digunakan pula oleh para guru mendiagnosis kesulitan belajar siswa dan
mengevaluasi ketuntasan siswa dalam memahami materi-materi
matematika.Melalui pertanyaan-pertanyaan yang relevan guru dalam melacak
berapa jauh siswa dapat memahami apa yang telahl disampaikan hal-hal apa saja
yang masih belum dikuasai dengan mantap. Untuk hal ini, guru dapat
mengunakan kata-kata kunci “ mengapa “,” bagaimana”, atau “ dimana” untuk
melihat paham tidaknya siswa akan sesuatu yang telah diberikan sebelumnya dan
berapa jauh pemahaman akan hal tersebut.
3. Tipe-tipe pertanyaan
Tipe-tipe pertanyaan yang guru dan siswa ajukan dalam kegiatan
pembelajaran matematika seyogianya merujuk pada tujuan kognitif dan afektif
dari pembelajaran yang dilakukan. Dalam perencanaan pembelajaran seorang guru
semestinya mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan kepada
siswa sebagai bagian dari penilaian awal dan akhir pembelajaran. Guru
seyogianya pula mengembangkan alternatif pertanyaan sebagai pelengkap dalam
kerangka perencanan strategi pembelajaranya.
Sebelum guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan tujuan
pembelajaran dan materi matematika kepada siswa, mereka sebaiknya
mencobakan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk dijawab
sendiri. Cukuplah kedalam materinya, sesuai waktu yang diperlukan untuk
berfikir dan menjawab pertanyaan yang diberikan? Hal itu dimaksudkan untuk
memadu para guru dalam memformulasikan tujuan pembelajaran yang tepat dan
proporsional. Disamping itu, hal tersebut akan membantu proses pembelajaran,
khususnya dalam mengantisipasi masalah-masalah yang dihadapi guru dalam
kegiatan pembelajaran. Bahkan, dengan mereka terlebih dahulu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi matematika kepada diri
sendiri akan menghindarkan kejadian guru tidak mampu menjawab permasalahan
ketika pembelajaran secara berlangsung. Karena sangat tidak mungkin
pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan oleh sisea ketika pembelajaran
berlangsung dan guru mengalami kesulitan bahkan tidak sanggup menjawabnya.
Hasil dari bertanya kepada diri sendiri oleh guru dapat dijadikan sebagai
pertimbangan apakah sebuah pertanyaan layak diajukan kepada siswa atau tidak,
jika tidak layak bagaimana cara merevisi atau menganti pertanyaan tersebut agar
lebih proporsional. Bahkan, hal tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk
mengukur kemampuan mereka sendiri sebagai guru matematika
Beberapa contoh pertanyaan dibawah ini mengambarkan tipe-tipe pertanyaan
yang dapat digunakan sebagai panduan dalam pembelajaran matematika.
a. pertanyaan yang berkenaan dengan fakta.
contoh : “ dengan cara bagaimana kita menunjukan 6 dibagi 3 adalah 2 ?”
b. pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan tentang konsep
contoh :” apakah definisi sebuah vector “
c. pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan tentang prinsip
contoh: “ bagimana rumus umum sebuah kerucut.
4. Mengembangkan strategi bertanya yang efektif
Dalam sebuah pembelajaran, pertanyaan yang ditujukan kepada siswa
seyoginya memperhatikan tingkat kesukaran pertanyaan tersebut. Tingkat
kesukaran pertanyaan semestinya disesuaikan dengan kemampuan matematika
yang dimiliki oleh siswa yang bersangkutan. Siswa yang mempunyai kemampuan
matematika rendah sebaiknya terlebih dahulu diberi pertanyaan yang berkaitan
dengan pengetahuan tentang fakta dan keterampilan. Selanjutnya, baru mereka
diberi pertanyaan yang mempunyai tingkat kognitif yang lebih tinggi, misalkan
pengetahuan tentang konsep atau prinsip. Sebaliknya, para siswa yang
mempunyai kemampuan matematika diatas rata-rata sebaiknya diberi pertanyaan-
pertanyaan yang tingkat kognitifnya berkategori sedang dan tinggi.
Ketika pertanyaaan diberikan kepada siswa, guru sebaiknyamemberi
kesempatan kepada semua siswa terlibat mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
Tetapi perlu diingat bahwa siswa yang mempunyai kemampuan matematika
“lebih” perlu dihindari, karena akan mengesampingkan keberadaan siswa yang
berkemampuan matematika rendah. Disamping itu, hal lain yang perlu
diperhatikan adalah pemberian waktu yang cukup bagi siswa untuk memformulasi
jawaban sebelum memberikan respon terhadap jawaban. Pertimbangaan pula
respon guru terhadap jawaban siswa harus proporsional. Karena respon guru
terhadap jawaban siswa yang tidak tepat akan membuat siswa yang bersangkutan
tidak termotivasi dalam kegiatan Tanya jawab.
Dalam penyajian, pertanyaan-pertanyaan yang diberikan seyoginya
bervariasi, baik model, bentuk, maupun tingkat kesukarannya. Sangat tidak
bijaksana jika seorang guru matematika hanya menampilkan pertanyaa-pertanyaan
yang tingkat kesukarannya sulit semua atau mudah semua.
Strategi pemberian pertanyaan dalam pembelajaran matematika akan
meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar selama diberikan secara
efektif dan proposional. Pemberian pertanyaan oleh guru semestinya dipersiapkan
secara matang, tidak bersifat spontan. Selain itupun respon guru terhadap jawaban
siswa harus bijaksana dan proporsional agar siswa nyaman dan mendapat manfaat
respon dari guru tersebut.
5. Mendiagnosis dan memberi motivasi belajar
Secara umum setiap siswa pasti mempunyai masalah- masalah yang
berkaitan dengan emosi, baik disadari maupun tidak. Kadang-kadang hal ini
secara tidak langsung mempengaruhi aktifitas, bahkan berpengaruh kepada
kemampun mereka dalam belajar.
Beberapa hal yang diduga dapat mengakibatkan masalah-masalah yang berkaitan
dengan emosi siswa diantaranya :
a. lingkungan belajar yang kurang kondusif, baik disekolah maupun dirumah
b. “polusi “ social yang berasal dari lingkungan siswa yang berdampak terhadap
pola sikap dan pola tidak siswa
c. Pengalaman dalam lingkungaan dalam lingkungan keluarga, terutama yang
negative dan kurang menguntungkan.
d. Perubahan system nilai social yang terjadi dilingkungan keseharian siswa.
Semua penyebab tersebut diatas dapat mengakibatkan siswa tertekan
jiwanya, selanjutnya mereka kurang atau bahkan tidak memiliki motivasi dalam
belajar. Mereka seakan-akan tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk
belajar, apalagi berkompetensi dengan teman-teman untuk memperoleh prestasi
terbaik dalam belajar.
Akibat iringan dari keadaaan tersebut diatas, dikaikan dengan kegiatan
belajara mengajar matematika, beberapa diantaranya adalah ( i ) siswa membolos
untuk menghindari untuk pelajaran matematika (ii) siswa gagal dalam melakukan
tugas-tugas matematika, (iii) siswa menolak untuk mengikuti kegiatan-kegiatan
matematika.
Masalah rendahnya motivasi belajar matematika siswa dapat diakibatkan oleh
beberapa hal antaranya adalah :
a. kegagalan yang berulang yang dialami oleh siswa dalam melakukan aktivitas-
aktivitas yang berkaitan dengan matematika
b. pengalaman-pengalaman yang dialami oleh siswa yang berhubungan dsengan
ketidaknyaman dalam belajar matematika.
c. Ketidakserasian dalam berinteraksi antara siswa dengan siswa lain atau antara
siswa dengan guru.
d. Kekeliruaan siswa dalam memaknai dan memahami nilai-nilai yang terkandung
dalam matematika
Kendatipun banyak siswa yang kurang atau tidak memiliki motivasi dalam belajar
matematika, namun seharusnya kita berupaya menolong mereka dari kesulitan
tesebut. Hal tersebut dapat diwujudkan jika guru (i) memperlihatkan perhatian
kepada siswa secara lebih intensif dan sungguh-sungguh, terutama secara
individual sesuai dengan kebutuhan masing-masing, (ii) bersemangat dan
bersungguh-sungguh dalam menyajikan materi matematika, memilih hal-hal yang
menarik dan relevan dengan kehidupan siswa.
Untuk itu, agar para siswa lebih termotivasi dan bersungguh-sungguh dalam
belajar matematika, guru seyoginya :
a. Memperlihatkan betapa bermanfaatnya matematika bagi kehidupan melalui
contoh-contoh penerapan matematika yang relevan dengan dunia keseharian
siswa.
b. Mengunakan teknik, metode, dan pendekatan pembelajaran yang tepat sesuai
dengan karakteristik topic yang disajikan.
c. Memanfaatkan teknik, metode, dan pendekatan yang bervariasi dalam
pembelajaran matematika agar tidak monoton.