manajemen lengkap

Upload: ratu-reni-setia-resmiati

Post on 18-Jul-2015

180 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Manajemen Pasien dengan Gangguan Cairan dan Elektrolit

Gangguan cairan dan elektrolit sangat biasa terjadi di periode perioperatif. Cairan intravena dalam jumlah besar sering sekali diperlukan untuk memperbaiki defisit cairan dan mengkompensasi hilangnya darah pada saat operasi. Anasthesiologist harus mempunyai pemahaman yang baik mengenai fisiologi air dan elektrolit. Ganguan berat keseimbangan cairan dan elektrolit dapat mengubah fungsi kardiovaskular, neurologis, dan neuromuscular. Bab ini mempelajari mengenai kopartemen cairan tubuh, keseimbangan air dan eletrolit, terapi, dan implikasi

anastesinya, Gangguan asam dan basa serta terapi cairan intravena didiskusikan pada bab-bab selanjutnya.

A. NOMENKLATUR LARUTAN Sistem Satuan Internasional (SI) belum dapat diterima secara universal oleh praktisi klinis, dan banyak yang masih menggunakan istilah-istilah lama mengenai konsentrasi cairan. Contohnya jumlah terlarut dalam pelarut dapat dikatakan dalam istilah gram, mol, dan ekuivalen. Lebih rumit lagi, konsentrasi larutan dapat dinyatakan baik sebagai jumlah zat terlarut per volume larutan atau jumlah zat terlarut per berat pelarut Molaritas, Molalitas, dan Ekuivalensi Satu mol zat sam dengan 6,02x1023 molekul. Berat kuantitas dalam gram umumnya disebut sebagai berat gram-molekular. Molaritas merupakan standar unit Satuan

Internasional konsentrasi yang menyatakan jumlah mol dari zat terlarut dalam per liter larutan. Molalitas merupakan istilah alternative yang menyatakan mol terlarut dalam per Kilogram pelarut. Ekuivalensi biasa digunakan untuk zat yang mengalami ionisasi; angka ekuivalensi suatu ion dalam larutan adalah jumlah mol yang diklaikan dengan valensi ion tersebut. Misalnya 1 M larutan MgCl2 artinya terdapat dua ekuivale magnesium per liter dan 2 ekuivalen clorida per liter. Osmolaritas, Osmolalitas, dan Tonisitas Osmosis adalah gerakan air melintasi membran semipermeabel sebagai hasil dari perbedaan konsentrasi zat terlarut nondiffusible antara kedua bagian. Tekanan osmotik adalah tekanan yang harus diterapkan ke bagian dimana terdapat lebih banyak zat terlarut untuk mencegah pergerakan cairan melintasi membran untuk melarutkan zat terlarut Tekanan osmotik secara umum hanya tergantung jumlah dari partikel zat terlarut yang tidak dapat berdifusi . Hal ini dikarenakan rerata energi kinetik partikel dalam larutan mirip tanpa memandang massa mereka. Satu osmole sama dengan 1 mol zat yang tak dapat dilarutkan. Untuk zat yang mengionisasi, satu mol sama dengan n OSM, dimana n adalah jumlah ion yang dihasilkan. Jadi, 1 mol zat yang sangat terionisasi seperti NaCl dilarutkan dalam larutan seharusnya menghasilkan 2 OSM; dalam kenyataannya interaksi antara kation dan anion mengurangi aktivitas yang efektif dari masing-masing seperti NaCl sehingga seolah-olah hanya 75% terionisasi. Perbedaan 1 mOsm/l dalam dua larutan menghasilkan tekanan osmotik 19.3 mmHg. Osmolaritas dalam larutan sama dengan jumlah osmol per liter larutan, dimana

osmolalitas setara dengan jumlah osmol per kilogram pelarut. Tonisitas adalah istilah yang sering digunakan bergantian dengan osmolaritas dan osmolalitas. Lebih

tepatnyam tonisitas menunjukkan efek dari larutan terhadap volume suatu sel, dimana larutan hipotonik dan hipertonik masing-masing dapat menurunkan atau

meningkatkan sel volume.

B. KOMPARTEMEN CAIRAN Rerata berat badan pia 60% terdiri dari air dan hanya 50% pada wanita. Air terdistribusi dalam dua kompartemenen besar yang dipisahkan oleh membrane sel; cairan intraselular (ICF) dan cairan ekstraselular (ECF). ECF dapat dibagi lagi menjadi kompartemen intravascular dan interstitial. Cairan did alam kompartmen interstitial adalah cairan diluar sel dan cairan diluar endotel vaskular. Kontribusi relative dari setiap kompartemen terhadap total air tubuh (Total bidy water/TBW) dan berat tubuh dapat dilihat pada Table. 28-1. Tabel 28.1 Kompartemen cairan tubuh (berdasarkan berat badan 70 kg pada laki-laki) Kompartemen Intraselular Ekstraselular Interstitial Intravaskular Total Cairan dalam Persen berat badan 40 15 5 60 Total air tubuh (%) 67 25 8 100 Volume Cairan (L) 28 10.5 3.5 42

Volume cairan (air) dalam kompartemen ditentukan oleh komposisi dan konsentrasi zat terlarut (Tabel 28-2). Perbedaan konsentrasi terlarut sebagian besar dikarenakan karakteristik dari barrier fisik yang memisahkan kompartemen (Lihat dibawah ini).

Tekanan osmotic dibuat dengan cara menjebak zat terlarut dengan mengatur pendistribusian air antar kompartemen dan mengatur setiap cairan kompartemen. Tabel 28.2 Komposisi Kompartemen CairanBerat GramMolekul Intraselular (mEq/L) Ekstraselular Intravaskular Interstitial (mEq/L) (mEq/L)

Natrium Kalium Kalsium Magnesium Klorida Bikarbonat Fosfor Protein (g/dl)

23.0 39.1 40.1 24.3 35.5 61.0 31.0

10 140 6L/hari) tetapi tanpa diikuti dengan hiperglikemia. Pada pemeriksaan perioperatif, diabetes insipidus ditandai dengan poliuria bermakna tanpa adanya glukosuria, dan rendahnya osmolalitas urin dibandingkan dengan osmolalitas plasma. Tidak adanya perasaan haus pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran akhirnya menyebabkan adanya tanda-tanda kehilangan air yang nyata dan akhirnya menyebabkan hipovolemia. Diagnosis diabetes insipidus sentral dikonfirmasi dengan peningkatan osmolalitas urin dengan pemberian ADH eksogen. Pemberian vasopressin aqueous (5U secara subkutan setiap 4 jam) merupakan terapi pilihan utama pada pasien dengan diabetes insipidus sentral akut. Vasopresin dalam minyak (0.3 ml intramuscular setiap hari) mempunyai efek yang lebih lama tetapi lebih sering menyebakan intoksikasi air. Desmopressin (DDAVP), analog sintetis dari ADH mempunyai durasi 12-24, dan tersedia dalam bentuk intranasal (5-10 mg/ hari atau dua kali sehari) dapat diberikan pada pasien rawat jalan dan perawatan sebelum operasi.

2. Diabetes insipidus nefrogenik Diabetes insipidus nefrogenk dapat merupakan penyakit congenital maupun gangguan sekunder. Penyakit yang menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik ialah gagal ginjal kronik, berbagai gangguan elektrolit (hipokalemia dan hiperkalsemia), dan berbagai penyakit lainnya (penyakit sickle sel, hipoproteinemia). Penyakit ini juga bisa merupakan penyakit sekunder akibat timbulnya efek samping beberapa obat (amfoterisin B, lithium, demeklosiklin, ifosfamide, mannitol). Sekresi ADH pada pasien-pasien tersebut ada dalam kadar normal, tetapi ginjal gagal merespon ADH, sehingga akhirnya ginjal tidak mampu mengkonsentrasi urin. Mekanisme terjadinya diabetes insipidus ini bisa disebabkan karena kurangnya respon ADH atau mekanisme perlawanan ginjal akibat penyakit yang diderita. Diagnosi dikonfirmasi dengan gagalnya ginjal untuk memproduksi hipertonik urin meskipun sudah diberikan eksogen ADH. Terapi ditujukan untuk menyembuhkan penyakit penyebabnya dan

memastikan intake cairan yang cukup. Deplesi volume dengan penggunaan diuretic thiazide secara paradox dapat menurunkan output urin dengan menurunkan pergerakan air ke tubulus koledokus. Restriksi natrium dan protein juga dapat menurnkan keluaran urin Hipernatremia dan Peningkatan Kadar Total Natrium Tubuh Kondisi ini paling sering terjadi karna pemberian larutan saline hipertonik dalam jumlah besar (3% NaCl atau 7,5% NaHCO3). Pasien dengan hiperaldosteronisme

primer dan Cushings Syndrome dapat juga ditemukan adanya peningkatan konsentrasi natrium serum meskipun hanya dalam jumlah kecil dan peningkatan retensi natrium. Manifestasi Klinis dari Hipernatremia Manifestasi neurologi adalah keadaan klinis yang banyak terjadi pada pasien dengan hipernatremia dan umumnya diduga akibat dari dehidrasi seluler. Lemas, lethargy dan hiperrefleksia dapat berlanjut menjadi kejang, koma, dan akhirnya kematian. Gejala lebih berkolerasi akibat tingginya kadar air yang keluar dari sel otak dibandingkan dengan kadar absolute dari hipernatremia. Penunurnan volume otak secara cepat dapat menyebabkan rupturnya vena serebri dan akhirnya menyebabkan perdarahan intraserebral ataupun perdarahan subarachnoid. Kejang dan kerusakan neurologis yang serius sering terjadi, terutama pada anak-anak dengan hipernatremia akut data kadar [Na+] plasma melebihi 158 mEq/l. Hipernatremia kronis secara umum lebih ditolerir dibandingkan saat timbulnya akut. Setelah 24-48 jam, osmolalitas intraseluler mulai naik sebagai hasil dari peningkatan konsentrasi inositol intraseluler dan asam amino (glutamine dan taurin). Dengan naiknya konsentrasi zat terlarut, maka kadar air neurin pun secara perlahan kembali ke normal. Penatalaksanaan Hipernatremia Penatalaksanaan yang dilakukan pada hipernatremia bertujuan untuk mengembalikan osmolalitas plasma ke normal sambil mengkoreksi penyebab dasar hipernatremia. Defisit air yang terjadi seharusnya dikoreksi dalam 48 jam dengan larutan hipotonik

seperti 5% dextrose dalam air (lihat bawah). Gangguan pada volume ekstraseluler juga harus diperbaiki. (Gambar 28-3). Gambar 28.3 Algoritma Penatalaksanaan HipernatremiaHipernatremia

Peningkatan Kadar Natrium

Kehilangan air

Peningkatan kadar Natrium

Penggantian Kehilangan isotonik

Penggantian Kehilangan Air

Loop Diuretik

Ganti Defisit Air

Ganti setiap defisit air

Pasien hipernatremia dengan penurunan total natrium tubuh seharusnya diberikan cairan isotonic untuk mengembalikan volume plasma ke normal sebelum diberikannya cairan hipotonik. Pasien hipernatremia denhan peningkatan total natrium tubuh perlu diberikan loop diuretic bersamaan dengan pemberian 5% dextrose dalam cairan melalui intravena. Penatalaksanaan pasien diabetes insipidus didiskusikan di atas, Pengkoreksian hipernatremia secara cepat dapat menyebabkan kejang, edema otak, dan kerusakan neurologis permanen, bahkan kematian. Pemeriksaan osmolalitas Na+ secara serial perlu dilakukan selama terapi diberikan. Umumnya, konsentrasi natrium plasma tidak boleh diturunkan lebih cepat dari 0.5 mEq/L/h

Contoh Laki-laki dengan berat 70 kg ditemukan mempunyai kadar plasma [Na+] 160mEq/L. Dificit cairan apa yang terjadi padanya? Jika seseorang diasumsikan mengenai hipernatremia akibat kekurangan cairan saja, maka osmolalitas tubuh tidak berubah. Sehingga, diasumsikan jika laki-laki tersebut mempunyai kadar natrium plasma normal 140 mEq/L dan kadar total air tubuh 60% dari total berat tubuh. Normal TBWx140 = TBW saat ini x [Na+]plasma (70x0.6) x 140 TBW saat ini Defisit Air = TBW saat ini x 160 = 3.67 L = Normal TBW TBW saat ini (70x0.6)-3.67 = 5.3 L Untuk menggantikan defisit ini dalam 48 jam, sangat penting untuk memeberikan dekxtrose 5% dalam air secara intravena, 5300 mL selama 48 jam atau 110 ml/ jam. Metode ini tidak menghitung adanya defisit cairan isotonic, yang jika memang terjadi maka harus digantikan dengan larutan isotonik. Pertimbangan Anasthesi Hipernatremia meningkatkan konsentrasi minimu alveolar pada anestesi inhalasi pada penelitian dengan binatang percobaan, secara klinis hal tersebut lebih disebakan kaarena berhubungan dengan defisit cairan. Hipovolemia meningkatkan efek vasodilatasi dan depresi kardiak akibat dari agen-agen anastesi yang dipakai dan merupakan predisposisi terjadinya jaringan hipotensi dan hipoperfusi. Kurangnya

volume cairan yang mendistribusikan obat diperlukan penurunan dosis untuk seluruh agen yang diberikan secara intravena, dimana penurunan cardiac output meningkatkan uptake dari agen anasthesi inhalasi. Bedah elektif perlu ditunda jika ditemukan adanya hipernatremia yang signifikan (>150 mEq/l) hingga penyebab dapat dihilangkan dan defisit cairan terkoreksi. Baik defisit air ataupun cairan isotonic harus terkoreski dengan baik sebelum dilakukan tindakan bedah. Hipoosmolalitas dan Hiponatremia Hipoosmolalitas hampir selalu berkaitan dengan hiponatremia ([Na+] < 135 mEq/L. Tabel 28-5 mengemukakan daftar beberapa keadaan langka dimana hiponatremia tidak terrefleksikan sebagai hipoosmolaitas (pseudohiponatremia). Pengukuran rutin osmolalitas plasma dapat mengeluarkan pseudohiponatremia secara cepat. Tabel 28.5 Penyebab pseudohiponatremia Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal Asimptomatik Hiperlipidemia Nyata Hiperproteinemia Nyata Simptomatik Absorbsi Glisin yang terlihat selama pembedahan transurethral Hiponatremia dengan peningkatan osmolalitas plasma Hiperglikemia Pemberian manitol Diadaptasi dari Rose RD : Clinical Physiology of Acid-Base and Electrolyte Disorders, 3rd ed McGraw-Hill, 1989.

Hiponatremia selalu menandakan adanya retensi air ataupun adanya peningkatan TBW absolut atau hilangnya natrium pada saat berlebihannya air. Kapasitas normal

ginjal untuk memproduksi urin yang encer dengan osmolalitas yang serendah 40 mOsm/kg (dengan berat jenis 1.001) dapat membuat ginjal mengekresikan 10 L air bebas dalam satu hari jika memang diperlukan. Karena cadangan yang luar biasa tersebut, maka keadaan hiponatremia hampir selalu merupakan akibat adanya gangguan pada kemampuan kapasitas pengenceran urin (osmolalitas urin > 100,Osm/kg atau berat jens > 1.003). Beberapa keadaan yang jarang terjadi dimana hiponatremia terjadi tanpa gangguan pengenceran urin ( 100 mOsm/Kg dan konsentrasi natrium urine > 49 mEq/L. Manifestasi Klinis Hiponatremia Gejala klinis hiponatremia paling utama ialah gangguan neurologi dan akibat dari pengkatan cairan interseluler. Beratnya gejala klinis yang terjadi biasanya berhubungan dengan kecepatan timbulnya hipoosmolalitas ekstraseluler. Pasien dengan hiponatremia ringan hingga sedang ([Na+] > 125 mEq/L) biasanya berlangsung asimptomatik. Gejala awal dari hiponatremia biasanya tidak spesifik dan bisa berhubungan dengan timbulnya anorexia, mual, dan lemas. Edema cerebral yang berlangsung progresif, kemudian dapat menyebabkan lethargy, kebingungan, kejang, koma, dan akhirnya kematian. Manifestasi serius akibat hiponatremia biasanya berhubungan dengan konsentrasi natrium plasma < 120 mEq/L. Dibandingkan dengan laki-laki, wanita premenopause ternyata mempunyai resiko yang lebih besar terkena kerusakan neurologis dan gangguan akibat hiponatremia. Pasien yang mengalami hiponatremia kronik dengan perkembangan yang lambat biasanya kurang menimbulkan gejala. Adanya proses kompensasi akibat hilangnya zat-zat terlarut dalam intraseluler (terutama Na+, K+, dan asam amino) menyebabkan kembalinya volume sel ke normal. Gejala neurologis pada pasien dengan hiponatremia kronik lebih mungkin dikarenakan adanya perubahan potensial membrane (akibat rendahnya natrium ekstraseluler) daripada akibat perubahan volume sel.

Penatalaksanaan Hiponatremia Sebagaimana pada keadaan hipernatremia, penatalaksanaan hiponatremia (Gambar 28-4) bertujuan untuk mengkoreksi penyebab dan mengkoreksi kadar [Na+] plasma. Saline isotonic merupakan cairan yang digunakan sebagai pilihan terapi pada pasien hyponatremik dengan penurunan kadar total natrium tubuh. Sesaat ketika defisit cairan ekstraseluller terkoreksi, diuresi air secara spontan akan mengembalikan kadar natrium menjadi normal. Sebaliknya, restriksi air merupakan terapi utama pada pasien hiponatremia dengan kadar total natrium normal atau meningkat. Terapi spesifik lainnya seperti misalnya terapi sulih hormone pada pasien dengan hipofungsi thyroid dan adrenal, dimana perhitungan kadar hormone yang diberikan ditujukan untuk meningkatkan cardiac output pada pasien dengan gagal jantung juga merupakan indikasi. Demeclocycline, suatu obat yang merupakan anatagonis

aktivitas ADH pada tubulus renalis, terbukti dapat berguna sebagai terapi tambahan selain restriksi air pada pasien dengan SIADH. Hiponatremia akut yang meninmbulkan gejala memerlukan penatalaksanaan segera. Pada beberapa keadaan, koreksi plasma menjadi > 125 mEq/L biasanya cukup memperbaiki gejala-gejala yang terjadi. Kadar NaCl yang diperlukan untuk meningkatkan natrium plasa pada kadar yang diinginkan, defisit natrium, dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan berikut :Defisit Natrium = TBW X (Kadar Natrium yang diinginkan Kadar Natrium plasma actual)

Pengkoreksian hiponatremia yang terlalu cepat berkaitan dengan lesi demielinisasi pada pons (mielinolisi pontine sentral), yang akhirnya dapat meninggalkan gejala

sekuele neurologis yang permanen. Kecepatan pengkoreksian hiponatremia harus disesuaikan dengan beratnya gejala yang terjadi. Kecepatan pengkoreksian berikut ini telah disarankan : hiponatremia ringan, 0,5 mEq/L/h atau kurang; Gejala sedang, 1 mEq/L/h atau kurang, dan untuk gejala berat, 1.5 mEq/L/h/ atau kurang. Pertimbangan Anasthesi Hiponatremia seringkali merupakan manifestasi dari suatu penyakit serius dan memerlukan evaluasi preoperative yang teliti. Konsentrasi plasma natrium > 130 mEq.L umumnya dipertimbangkan sebagai kadar yang aman pada pasien yang akan menjalankan anasthesi umum. Natrium plasma harus dikoreksi di atas > 130 mEq/L untuk seluruh prosedur elektif, meskipun tidak ditemukan adanya gejala yang berarti. Konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan edemba serebral yang signifijan yang dapat bermanifestasi pada intraoperastive dimana terhadinya penurunan konsentrasi alveolar minimum ataupun bermanifestasi postoperasif dimana terjadi agitas, kebingungan, dan somnolen. Pasien yang menjalankan reseksi transurethral prostat dapat mengabsorbsi jumlah air dalam kadar yang cukup signifikan dari cairan irigasi (hingga 20 mL.min) dan beresiko tinggi cepat berkembangnya intoksikasi air yang berat.

Gambar 28-4. Algoritma Penatalaksanaan HiponatremiaHiponatremia

Penurunan Volume Ekstraseluler

Volume ekstraseluler normal

Peningkatan volume ekstraseluler

Renal

Ekstraren al

Hipofungsi tiroid atau adrenal

Gagal Jantung Sirosis Sindrom Nefrotik

Gagal Ginjal

Hormon tiroid atau Kortisol

UNa > 20 mEq/L

UNa 20 mEq/L

UNa < 20 mEq/L

UNa > 20 mEq/L

Ganti defisit isotonic Ganti defisit Sodium

Restriksi Cairan

Restriksi Cairan dan Loop diuretik

Restriksi Cairan

D. Gangguan Keseimbangan Natrium Volume cairan ekstraseluler secara langsung proporsional dengan kandungan natrium total tubuh. Variasi pada volume ECF terjadi akibat adanya perubahakn kandungan natrium total tubuh. Keseimbangan natrium yang positif akan meningkatkan volume ECF, dimana keseimbangan negative akan menurunkan volume ECF. Perlu untuk ditekankan kembali bahwa konsentrasi natrium ekstraselular (plasma) lebih menunjukkan keseimbangan air daripada mennunjukkan kadar kandungan natrium total tubuh Keseimbangan Natrium Normal Keseimbangan natrium sama dengan total dari intake natrium (rerata pada ornag dewasa ialah 170 mEq/L) dikurangi dengan eksresi natrium oleh ginjal dan kehilangan natrium ekstrarenal. (Satu gram natrium menghasilkan 43 mEq ion natrium, sedangkan 1g daria natrium klorida menghasilkan 17 mEq ion natrium). Kemampuan ginjal untuk mengeluarkan natrium melalui rin bervariasi antara kurang dari 1 mEq/L hinggan lebih dari 100 mEq/L sehingga ginjal memegang peranan penting dalam keseimbanagn natrium (Bab 31). Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Colume Cairan Ekstraseluler. Karena volume ECF dan kadar natrium total tubuh sangat berhubungan, sehingga pengaturan satu dan lainnya saling berkaitan erat. Pengaturan ini dicapai melalui sensor (lihat bawah) yang mendeteksi perubahan dalam komponen yang paling penting dari ECF, yaitu volume intravaskular efektif. Volume intravascular efektif lebih berkorelasi dengan tingkat perfusi pada kapiler ginjal dibandingkan dengan volume terukur cairan intravaskular (plasma). Memang, pada pasien dengan

gangguan-gangguan yang menyebabkan timbulnya edema (gagal jantung, sirosis, dan gagal ginjal), volume intravaskular efektif dapat tidak bergantung dari volume plasma terukur, volume ECF, dan bahkan cardiac output. Volume cairan ekstraselular dan kadar total natrium tubuh pada akhirnya dikontrol oleh pengaturan eksresi natrium di ginjal secara tepat. Jika tidak ditemukan adanya kelainan pada ginjal, penggunaan diuretic, dan iskemia renal selektif, konsentrasi natrium urin menggambarkan volume intravascular efektif. Konsentrasi natrium dalam urin yang rendah (< 10 mEq/L) umumnya mengindikasikan rendahnya volume cairan intravascular efektif dan menyatakan adanya retensi natrium sekunder pada ginjal. Mekanisme Kontrol Berbagai mekanisme yang terlibat dalam pengaturan volume ECF dan keseimbangan natrium biasanya melengkapi satu sama lain tetapi dapat berfungsi sepenuhnya tanpa bergantung satu sama lain. Disamping itu, untuk mengubah ekskresi natrium ginjal, beberapa mekanisme juga menghasilkan respon kompensasi hemodinamik yang lebih saat volume intravaskular efektif berkurang. 1. Sensor Volume Reseptor volume utama dalam tubuh ialah baroreseptor. Tekanan darah merupakan hasil dari cardiac output dan resistensi vaskular sistemik (Bab 19), sehingga perubahan signifikan volume intravascular tidak hanya

mempengaruhi cardiac output dan juga mempengaruhi tekanan darah arteri. Sehinnga, baroreseptor pada sinus carotid dan arteri renal afferent berfungsi

sebaga sensor volume intravascular secara tidak langsung. Perubahan tekanan adarah pada sinus carotid memodulasi aktivitas system saraf simpatetis dan sekresi ADH nonosmotik, dimana perubahan pada arteriol renal afferent akan memodulasi sismten rennin-angiotensin-aldosteron. Reseptor regang pada kedua atria juga dikenal dapat merasakan perubahan volume intravascular, derajat perubahan regangan atrial memodulasi pelepasan hormone natriuretik atrial dan ADH. 2. Efektor Perubahan Volume 1. Renin-angiotensin-aldosteron Sekresi rennin akan menyebabkan meningkatnya pembentukan

angiotensin II. Peningkatan angiotensin II akan meningkatkan sekresi aldosteron dan sedikit mempunyai efek langsung terhadap reabsorbsi natrium pada tubulus renalis proksimal. Angiotensin II juga berefek langsung sebagai vasokonstriktor poten dan memacu aksi norepinephrine. Sekresi aldosterone meningkatkan reabsorpsi natrium pada tubulus renalis distal (BAB 31) dan merupakan pengatur utama eksresi natrium. 2. Atrial Natriuretik Peptide (ANP) Peptida ini normalnya dilepaskan dari sel-sel atrium kanan maupun kiri bergantung regangan atrium. ANP mempunyai dua aksi utama : vasodilatasi arteri dan peningkatan natrium di urin dan eksreksi air pada tubulus koledokus renalis. Dilatasi arterio afferent dan konstriksi arteriol efferent yang dimediasi oleh natrium juga dapat meningkatkan laju filtrasi

glomerulus (gomerulus filtation rate). Penelitian lain melaporkan adanya efek lain yaitu inhibisi sekresi rennin dan aldosteron serta antagonis ADH. 3. Brain Natriuretic Peptide (BNP) ANP, BNP dan C-type natriuretic peptide secara struktur merupakan peptide yang saling berhubungan. BNP dilepaskan oleh ventrikel sebagai respon akan peningkaran volume dan tekanan venrikel. Kadar BNP iasanya 20% dari kadar ANP, tetapi selama episode serangan gagal jantung kongesti, kadar BNP dapat melebihi kadar ANP. Kadar BNP dapat dihitung secara klinis, dan bentuk rekombinan dari BNP, nesiritide (Natrecor) telah digunakan untuk menerapi gagal jantung kongestif akut dekompensata. 4. Natriuresis Tekanan Meski hanya ada sedikit peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan peningkat eksresi natrium di urin dalam jumlah besar. Diuresi akibat tekanan merupakan faktor independen, dimana tidak diketahui apakah terdapat mekanisme humoral ataupun sarafnya. 5. Aktivitas Sistem Saraf Simpatis Peningkatan aktivitas saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal renalis, yang akhirnya menyebabkan retensi natrium dan menyebabkan vasokonstriksi renalis, yang menyebabkan penurunan aliran darah renalis (BAB 31). Sebaliknya, stimulasi dari reseptor peregangan atrium kiri menyebabkan penurunan tonus simpatis renal dan

meningkatkan aliran darah renal (refleks cardiorenal) dan meningkatkan filtrasi glomerulus. 6. Laju Filtrasi Glomerulus dan Konsentrasi Natrium plasma Jumlah natrium yang difiltrasi di ginjal berbanding lurus dengan produksi laju filtrasi glomerulus dan konsentrasi natrium plasma. Karena laju filtrasi glomerulus berkaitan secara proporsional dengan volume intravascular, ekspansi volume intravascular dapat meningkatkan eksresi natrium. Sebaliknya rendahnya volume intravascular akan menurunkan ekskresi natrium

7. Keseimbangan Tubuloglomerular Meskipun jumlah natrium yang difiltrasi di nefron bervariasi setiap saatnya, tetapi jumlah natrium yang direabsorpsi di tubulus renalis proksimal dikontrol dalam batas yang sempit. Faktor yang dianggap bertanggung jawab untuk keseimbangan tubuloglomerular meliputi laju aliran tubular ginjal dan perubahan tekanan osmotik dan hidrostatik kapiler peritubular. PErubahan pada reabsorpsi natrium di tubulus proksimal dapat menimbulkan efek yang nyata pada eksresi natrium renal. 8. Hormon Antidiuretik Meskipun sekresi ADH hanya mempunyai efek yang kecil pada ekskresi natrium, sekresi nonosmotik hormone ini dapat memainkan peranan penting dalam mengatur volume ekstraseluler dengan penurunan volume intravascular efektif sedang ke berat.

Tabel 28.7 Osmoregulitas versus pengaturan volume Osmoregulas Mengontrol Osmolalitas Ekstraselular Eksresi Natrium Renal Intake Air Mekanisme Ekresi air di ginjal Arteriol afferent renal Osmoreseptor Sensor Baroreseptor carotis hipothalamic Reseptor regangan atrial Renin-angiotensinHaus Efektor aldosteron Hormon Antidiuretik Sistem saraf simpatis Keseimbangan tubuloglomerular Natriuresi tekanan renal Atrial Natriuretic Peptide Hormon Antidiuretik Brain Natriuretic Peptide Diadaptasi dari Rose RD : Clinical Physiology of Acid-Base and Electrolyte Disoreders, 3rd ed, McBraw-Hill, 1989 Osmoregulasi ekstrasuler Dibandingkan dengan Pengaturan Volume Tujuan Ekstraseluler Osmoregulasi menjaga rasio zat terlarut dan air dalam kadar normal, dimana pengaturan volume ekstraselular menahan zat terlarut dan kadar air. Perbedaan Regulasi Volume Mengontrol volume ekstraselular

antara kedua mekanisme tersebut diperlihatkan pada tabel 28-7. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, pengaturan volume ekstraseluler umumnya lebih diutamakan di atas osmoregulasi. Implikasi Anastesi

Masalah yang terjadi akibat gangguan keseimbangan natrium merupakan hasil dari manifestasinya sebagaimana dengan gangguan yang mendasarinya. Gangguan akibat ketidakseimbangan natrium sebagai hipovolemia (defisit natrium) atau hipervolemia (kelebihan natrium). Kedua gangguan tersebut perlu dikoreksi sebelum dilakukannya operasi elektif. Fungsi renal, liver, dan cardia harus dievaluasi teliti dan hati-hati. Penurunan dosis diperlukan untuk mengkompensasi berkurangnya volume terdistribusi. Pasien hipovolemia biasanya sangat sensitive terhadap efek blockade simpatetis akibat anasthesi spinal atau epidural. Jika agen anastesi harus diberikan sebelum pengkoreksian hipovolemia, ketamine merupakan agen pilihan sebagai induksi dalam anastesi umum, etomidate juga dapat digunakan sebagai alternatif pilihan. Hipervolemia harus dikoreksi dengan diuretic pada saat sebelum operasi. Gangguan pada jantung, ginjal, dan fungsi hepar harus dikoreksi jika memungkinkan. Bahaya utama akibat adanya peningkatan volume ekstraseluler adalah adanya gangguan pertukaran gas akibat adanya edema interstitial paru-paru, edema alveolar, dan adanya pengumpulan cairan pada rongga pleura dan ascites.

E. Gangguan Keseimbangan Kalium Kalium mempunyai peranan penting dalam elektrofisiologi dari membrane sel begitu pula pada sintesis karbohidrat dan protein. Potensial membrane sel pada saat istirahat normalnya bergantung pada rasio konsentrasi kalium intraselular dan ekstraseluler. Konsentrasi kalium intraseluler diperkirakan 140 mEq/L, dimana konsentrasi kalium ekstraseluler ialah 4 mEq/L. Meskipun regulasi kalium intraselular masih belum

dapat dijelaskan dengan pasti, kalium ekstraselular umumnya merefleksikan kesembangan antara intake dan eksresi kalium. Pada bebrapa keadaan, redistribusi kalium antara kompartemen ECF dan ICF dapat menyebabkan perubahan kalium ekstraseluler yang nyaa tanpa menyebabkan perubahan kadar total kalium tubuh. Keseimbangan Kalium Normal Intake kalium oral dari makanan rerata ialah 80 mEq/d (dengan kisaran 40-140 mEq/d). Sekitar 70 mEq dari jumlah tersebut normalnya dieksresikan di urin, dimana 10 mEq terbuang di saluran pencernaan. Ekskresi kalium renal dapat bervariasi dari sedikitnya 5 mEq/l hingga 100mEq/l. Hampir semua kalium yang difiltrasi di glomerulis akan di reabsorbsi di tubulus proksimal dan loop of Henle. Kalium yang diekskresikan di dalam urin meruoakan hasil dari sekresi tubulus distal. Sekresi kalium pada tubulus distal dibarengi dengan reabsorpsi natrium yang dimediasi oleh aldosteron. Pengaturan Konsentrasi Kalium Ekstraseluler Konsentrasi kalium ekstraseluler diatur ole aktivitas Na+-K+ ATPase pada membrane sel sebagaimana juga kalium plasma. Na+-K+ ATPase mengatur distribusi kalium antara sel dan ECF, sedangkan kalium plpasma merupakan penentu utama ekskresi kalium urin. Perpindahan Kalium Interkompartemen Pergesaran kalium interkompartemen diketahui timbul mengikuti perubahan pH ekstraseluler, kadar insulin yang bersirkulasim aktivitas katekolamin yang bersirkulasi, osmolalitas plasma, dan hipotermi. Insulin dan katekolamin

mempengaruhi Na+-K+ ATPase secara langsung dan menurunkan kalium plasma. Olahraga juga dapat menigkatkan kalium plasma sementara akibat dilepaskannya kalium oleh otot-otot, peningkatan kalium dalam plasma (0.3-2mEq/L) berbanding lurus dengan intensitas dan durasi dari akitivitas otot. Pergesaran kalium interkompartemen juga diperkiran bertanggung jawab karena ada perubahanan kalium plasma pada sindrom periodic paralisis. Perubahan pada konsentrasi ion hidrogen (pH) ekstraseluler secara langsung mempengaruhi kalium ekstraseluler karena karena ICF menyangga hampir 60% dari simpanan asam. Selama terjadi asidosis, ion hydrogen ekstraseluler akan memasuki sel, menggantikan ion kalium intraseluler; PErgerakan ion kalium keluar dari sel untuk mempertahankan keseimbangan eletris tetapi menyebabkan peningkatan kalium plasma dan ekstraseluler. Sebaliknya, pada saat terjadi alkalosis, ion kalium ekstraseluler akan bergerak ke dalam sel, dan hasilnya kalium plasma akan menurun. Meskipun hubungan tersebut dapat bervariasi, tetapi dapat dikatakan bahwa terdapat perubahan konsentrasi kalium plasma sebanyak 0.6 mEq/L setiap perubahan 0.1 U perubahan pH (dengan kisaran 0.2-1.2 mEq/L per 0.1 U). Perubahan pada kadar insulin yang bersirkulasi dapat secara langsung mengubah kalium plasma tanpa berhubungan dengan transportasi glukosa. Insulin meningkatkan aktivitas Na+-K+ ATPase membrane, yang menyebabkan peningkatan uptake kalium sel di hati dan oto rangka. Faktanya, sekresi insulin memainkan peran penting dalam mengontrol kadar basala konsentrasi kalium plasma dan memfasilitasi penanangan dari peningkatan simpanan kalium.

Stimulasi

simpatis

juga

meningkatkan

uptake

kalium

intraseluler

dengan

meningkatnya aktivitas Na+-K+ ATPase. Efek ini dimediasi oleh aktivasi reseptor 2adrenergik. Sebaliknya aktivitas -adrenergik dapat mengganggu pergerakan kalium di intraselular. Kalium plasma akan menurun seiring dengan pemberian agonis 2adrenergik akibat peningkatan uptake kalium di hati dan otot rangka. 2-adrenergic blocker hjuga dapat mengganggu mekanisme simpanan kalium pada beberapa pasien. Peningkatan osmolalitas plasma secara tiba-tiba (hipernatremia, hiperglikemia, pemberian manitol) dilaporkan meningkatkan kadar kalium plasma (sekitar 0.6 mEq/L per 10 mOSm/L). Pada beberapa keadaan, pindahnya air keluar melalui sel (turunnya gradient osmotik) akan bersamaan dengan pergerakan kalium keluar sel. Hal tersebut bisa disebabkan karena tertariknya pelarut atau karena meningkatnya kalium intraselular akibat dehidrasi selular. Hipotermia dilaporkan juga dapat menurnkan kadar kalium plasma sebagai akibat ambilan seluler. Pemanasan atau pengembalian suhu tubuh akan mengembalikan prose ini dan datap menyebabkan hiperkalemia yang berlangsung sementara jika kalium diberikan selama hypothermia. Eksresi Kalium Urin Eksresi kalium urin umumnya berbbanding lurus degan konsentrasi ekstraseluler. Kalium disekresikan oleh sel tubular di tubulus distal. Kalium ekstraseluler merupakan faktor utama dari sekresi aldosteron dari glandula adrenal. Hiperkalemia menstimulasi sekresi aldosterone, dimana hipokalemia akan mendupresi sekresi aldosteron. Aliran tubular ginjal di nefron distalis juga bisa merupakan faktor utama dari sekresi kalium, karena sekresi kalium dapat meningkat akibat tingginya laju

aliran tubulus (pada dieresis osmosis) dengan cara menjada gradient kapiler ke tubulus renalis untuk sekresi kalium tetap tinggi. Sebaliknya jika aliran tubular ginjal rendah maka hal ini akan meningkatkan kalium di cairan tubular dan menurunkan gardien kalium yang akan disekresikan. Hipokalemia Hipokalemia adalah keadaan dimana kalium plasma kurang dari 3.5 mEq/L dan dapat timbul akibat (1) Pergesaran kalium interkompartemen (2) Peningkatan hilangnya kalium , (3) Tidak adekuatnya intake kalium, (Table 28-8). KOmsemtrasi kalium plasma biasanya berkolerasi sedikit dengan dengan defisit kalium total. Penurunan dari kalium plasma dari 4 mEq/l menjadi 3 mEq/L biasanya melambangkan defisit 100-200 mEq, dimana kadar plasma kalium dibawah 3mEq/L berate menandakan adanya defisit kalium sekitar 200-400mEq. Tabel 28-8. Penyebab utama hipokalemia Kehilangan renal berlebih -Mineralokortikoid berlebih 1. Hiperaldosteronisme primer (Conns syndrome) 2. Glukokortikoid yang memperbaiki hiperaldosteronisme -Renin berlebih 1. Hipertensi renovaskular -Bartters syndrome -Liddles syndrome -Diuretik -Alkalosis metabolik kronik -Antibiotik 1. Carbenisilin 2. Gentamisin 3. Amfoterisin B -Asidosis tubular ginjal

1. Distal 2. Proksimal 3. Ureterosigmoidostomy Kehilangan pada saluran pencernaan -Muntah 1. Diare, khususnya diare sekretik ECF ICF shifts -Alkalosis akut -Paralisis periodik hipokalemi -Ingestif barium -Terapi insulin -Terapi vitamin B12 -Tirotoksikosis (jarang) Intake kurang

Hipokalemia Yang Disebabkan Oleh Pergerakan Kalium Intraseluler Hipokalemia yang disebabkan oleh pergerakan kalium intraseluler terjadi bersamaan dengan alkalosis, terapi insulin, agonis 2-adrenergik, dan hipotermi dan selama serangan hipokalemi periodik paralisis. Hipokalemi bisa dilihat pada transfusi sel darah merah beku. Sel-sel ini kehilangan kalium dalam proses preservasi dan pengambilan kalium berikut reinfusi. Pemakaian K+ seluler oleh sel darah merah (dan trombosit) juga berhubungan dengan hipokalemia terlihat pada pasien yang diterapi dengan folat atau vitamin B12 untuk anemia megaloblastik. Hipokalemia Yang Disebabkan Oleh Kehilangan Kalium Yang Meningkat Kehilangan kalium yang meningkat hampir selalu terjadi pada ginjal atau saluran pencernaan. Pembuangan kalium pada ginjal secara umum merupakan hasil dari diuresis atau aktivitas mineralokortikoid yang meningkat. Penyebab yang lain pada

ginjal meliputi hipomagnesemia, asidosis tubular ginjal, ketoasidosis, nefropati pembuangan garam, dan beberapa terapi farmakologi (carbenisilin dan amfoterisin B). Kehilangan kalium yang meningkat pada saluran pencernaan paling umum terjadi disebabkan karena muntah, penyedotan nasogastrik, atau diare. Penyebab lain meliputi kehilangan dari fistul, penggunaan pencahar berlebih, villous adenoma, dan tumor pakreas yang mensekresi vasoaktif peptida intestinal. Keringat berlebihan kronis kadang-kadang menyebabkan hipokalemia, khususnya ketika asupan kalium terbatas. Dialisis dengan kandungan solusio dialisat kalium rendah dapat menyebabkan hipokalemia. Pasien dengan uremia dapat memiliki sedikit kalium total dalam tubuh meskipun konsentrasi plasma normal atau meninggi; kealpaan hipokalemia dalam instansi ini mungkin disebabkan oleh pergeseran interkompartmental dari asidosis. Dialisis pada pasien ini akan dapat menyebabkan defisit kalium total tubuh bahkan hipokalemia. Kadar urin [K+] kurang dari 20 mEq/L biasanya mengindikasikan kehilangan ekstrarenal yang meningkat, sementara konsentrasi lebih dari 20 mEq/L mempengaruhi buangan ion K+. Hipokalemia Yang Disebabkan Asupan Kalium Yang Menurun Akibat kemampuan ginjal untuk menurunkan ekskresi kalium melalui urin rendah sampai 5-20 mEq/L, menandakan reduksi asupan kalium diperlukan untuk menyebabkan hipokalemia. Asupan kalium yang kurang sering memperkuat efek dari kehilangan kalium yang meningkat. Manifestasi Klinis Hipokalemia

Hipokalemia dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas (tabel 28-9) Tabel 28-9. Efek Hipokalemia Pembuluh Darah -Aritmia (perubahan EKG) -Disfungsi miokard Neuromuskular -Kelemahan otot -Tetani -Rhabdomiolisis -Ileus Ginjal -Poliuri (nefrogenik diabetes insipidus) -Peningkatan produksi amonia -Peningkatan reabsorbsi bikarbonat Hormonal -Berkurangnya sekresi insulin -Berkurangnya sekresi aldosteron Metabolik -Gangguan keseimbangan nitrogen -Ensefalopati pasien dengan gangguan hepar

Sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala sampai plasma [K+] turun di bawah 3mEq/L. Pembuluh darah paling berpengaruh dan akan menunjukkan gambaran elektrokardiogram (EKG) abnormal, aritmia, kontraktilitas jantung yang menurun, tekanan darah arterial yang tak stabil disebabkan oleh disfungsi autonomik. Hipokalemia kronis juga telah dilaporkan dapat menyebabkan fibrosis miokard. Manifestasi EKG terlebih utama disebabkan oleh terlambatnya repolarisasi ventrikel dan termasuk gelombang T inversi, meningginya gelombang U yang prominen, depresi segmen ST, meningginya amplitudo gelombang P, dan perpanjangan interval

PR. Automatisasi sel miokard yang meningkat dan terlambatnya repolarisasi memperberat ventrikel dan atrial aritmia. Efek neuromuskular dari hipokalemia termasuk kelemahan otot rangka (khususnya otot quadriceps), ileus, kram otot, tetani, dan paling jarang yaitu rabdomiolisis. Hipokalemia dicetuskan oleh diuretik yang biasanya terjadi bersamaan dengan alkalosis metabolik; ketika ginjal mengabsorbsi natrium untuk mengkompensasi deplesi volume intravaskular, dan dalam keberadaan hipokloremia yang diinduksi oleh diuretik, bikarbonat diabsorbsi. Hasil akhirnya adalah hipokalemia dan alkalosis metabolik hipokloremik. Disfungsi ginjal biasanya terjadi disebabkan oleh kemampuan mengkonsentrat yang tidak adekuat (resistensi ADH yang akan menyebabkan poliuri) dan meningkatnya produksi amonia yang akan berakibat pada rusaknya asidifikasi urinarius. Meningkatnya produksi amonia menggambarkan asidosis intraselular; ion-ion hidrogen bergerak secara intraseluler untuk

mengkompensasi kehilangan kalium. Hasil akhir metabolik alkalosis, bersama dengan meningkatnya produksi amonia dapat menyebabkan ensefalopati pada pasien dengan penyakit hepar yang lanjut. Hipokalemia kronis biasa terjadi bersama dengan fibrosis ginjal (nefropati tubulointerstitial). Penanganan Pada Hipokalemia Penanganan pada hipokalemia tergantung pada adanya atau beratnya disfungsi organ yang multipel. Perubahan gelombang EKG yang signifikan seperti perubahan STsegmen, khususnya selama pergantian ion K+ intravena. Terapi dengan digoksin-juga pada hipokalemia itu sendiri-akan mempengaruhi jantung dalam perubahan

konsentrasi ion kalium. Kekuatan otot harusnya selalu dievaluasi pada pasien dengan kelemahan otot. Pergantian oral dengan dengan kalium klorida solusio merupakan yang paling aman (60-80 mEq/d). Pergantian kalium yang defisit biasanya membutuhkan beberapa hari. Pergantian kalium klorida intravena biasanya harus dilakukan pada pasien dengan manifestasi kardiak yang serius atau dengan kelemahan otot. Tujuan akhir dari terapi intravena ini adalah untuk menghindarkan pasien dari keadaan bahaya dan untuk memperbaiki defisit kalium secara keseluruhan. Pergantian intravena perifer tidak boleh melebihi 8 mEq/jam karena akan mengiritasi vena perifer. Solusio yang mengandung dekstrosa harus dihindari karena akan menyebabkan hiperglikemi dan sekresi insulin sekunder menurunkan plasma [K+] lebih jauh. Pergantian intravena secara cepat (10-20 mEq/jam) akan membutuhkan pemakaian kateter vena sentral dan monitoring EKG. Paling aman pada pemakaian kateter femoral, karena konsentrasi ion [K+] paling tinggi terjadi di jantung dengan menggunakan kateter intravena yang standar. Pergantian secara intravena tidak boleh melebihi 240 mEq/d. Kalium klorida adalah garam kalium terpilih ketika alkalosis metabolik juga terjadi karena garam ini memperbaiki defisit klorida seperti yang telah didiskusikan sebelumnya. Kalium bikarbonat lebih dipilih untuk pasien dengan asidosis metabolik. Kalium fosfat merupakan alternatif yang cocok pada diabetik ketoasidosis. Pertimbangan Anestetik Hipokalemia merupakan temuan kasus yang umum pada tindakan preoperatif. Keputusan untuk melakukan operasi elektif sering didasarkan pada limit yang lebih

rendah berkisar antara 3-3,5 mEq/L. Keputusan akhir bagaimanapun juga harus berdasarkan pada tingkat perkembangan hipokalemia baik ada atau tidak adanya disfungsi organ sekunder. Secara umum, hipokalemia ringan yang kronis (3-3,5 mEq/L) tanpa perubahan EKG tidak meningkatkan resiko anestesi. Tidak dianjurkan pada pasien yang menerima digoksin, yang berkemungkinan meningkatkan resiko dari efek toksik digoksin pada hipokalemia; plasma [K+] bernilai di atas 4 mEq/L kadang ditemukan pada pasien tersebut. Penanganan intraoperatif dengan hipokalemia membutuhkan kewaspadaan memonitor EKG. Kalium intravena harus diberikan apabila ada atrial atau ventrikel aritmia yang meningkat. Solusio bebas-glukosa intravena harus digunakan dan hiperventilasi dihindari untuk mencegah penurunan plasma [K+] lebih jauh. Sensitivitas yang meningkat pada obat neuromuskular blocking agents (NMBAs) kadang terlihat pada beberapa pasien. Dosis obat NMBAs harus dikurangi 25-50%, dan perangsang saraf harus digunakan untuk mengikuti derajat paralisis dan perubahan total yang adekuat.

HIPERKALEMIA Hiperkalemia terjadi ketika plasma [K+] melebihi 5,5 mEq/L. Hiperkalemia jarang terjadi pada individu normal karena kemampuan ginjal yang baik untuk mengekskresi kalium. Ketika asupan kalium meningkat secara perlahan, ginjal dapat mengekskresi sebanyak 500 mEq K+ per harinya. Sistem simpatis dan sekresi insulin juga berperan dalam mencegah peningkatan plasma [K+] secara akut akibat produksi kalium.

Hiperkalemia dapat terjadi akibat (1) perpindahan interkompartmen ion-ion kalium, (2) ekskresi kalium urin yang menurun, (3) asupan kalium yang meningkat (tabel 28-10). Pengukuran konsentrasi kalium plasma dapat bertambah jika sel darah merah lisis dalam spesimen darah (paling sering terjadi karena perpanjangan pemakaian tourniquet ketika mencari sampel vena). Pelepasan kalium in vitro dari sel darah putih pada spesimen darah dapat juga mengindikasi secara salah peningkatan derajat dalam pengukuran plasma [K+] ketika hitung leukosit melebihi 70,000 x 109/L. pelepasan kalium dari trombosit yang mirip dapat pula terjadi ketika hitung trombosit melebihi 1,000,000 x 109/L.

Tabel 28-10. Penyebab hiperkalemia Pseudohiperkalemia -Hemolisis sel darah merah -Trombositosis Perpindahan interkompartemental -Asidosis -Hipertonisitas -Rabdomyolisis -Latihan fisik berlebihan -Suksinilkolin Ekskresi kalium ginjal yang menurun -Gagal ginjal -Aktivitas mineralokortikoid yang menurun dan impair reabsorbsi Na+ 1. AIDS 2. Spironolakton 3. ACE inhibitor 4. Obat anti inflamasi nonsteroid 5. Trimetoprim Reabsorpsi Cl- yang meningkat

-Gordon syndrome -Siklosporin Asupan kalium yang meningkat -Substitusi garam

Hiperkalemia Yang Disebabkan Pergerakan Kalium Ekstraselular Pergerakan ion K+ keluar dari sel dapat dilihat dari pemberian sulsinilkolin, asidosis, lisis sel diikuti dengan kemoterapi, hemolisis, rabdomyolisis, trauma jaringan hebat, hiperosmolalitas, overdosis digitalis, pem erian arginin hidroklorida, dan 2adrenergik blokade, dan selama episode paralisis periode hiperkalemia. Nilai ratarata peningkatan plasma [K+] 0,5 mEq/L diikuti suksinilkolin dapat memperbaiki luka bakar luas atau trauma otot pada pasien dengan denervasi otot. 2-Adrenergik blokade memperjelas peningkatan plasma [K+] yang terjadi selama latihan fisik. Digitalis menginhibisi Na+ - K+ ATPase di membran sel; overdosis digitalis telah dilaporkan menyebabkan hiperkalemia pada beberapa pasien. Arginin hidroklorida, yang digunakan untuk mengobati metabolik alkalosis, dapat menyebabkan hiperkalemia ketika ion kation arginin memasuki sel dan ion kalium keluar untuk memelihara kenetralan elekron. Hiperkalemia Yang Disebabkan Ekskresi Kalium Yang Menurun Pada Ginjal Ekskresi kalium yang menurun pada ginjal dapat disebabkan oleh (1) reduksi pada filtrasi glomerulus, (2) aktivitas aldosteron menurun, (3) defek sekresi kalium pada distal nefron Glomerular filtration rate (GFR) kurang dari 5 mL/menit hampir dipastikan merupakan hiperkalemia. Pasien dengan kerusakan ginjal dapat pula mengalami

hiperkalemia ketika konsumsi kalium meningkat. Uremia bisa memperburuk aktivitas Na+ - K+ ATPase. Hipokalemia akibat menurunnya aktivitas aldosteron dapat disebabkan oleh defek primer dalam sintesis hormon adrenal atau defek dalam sistem renin-aldosteron. Pasien dengan insufisiensi adrenal primer (Addisons disease) dan defisiensi enzim adrenal 21-hidroksilase isolate telah memperlihatkan kerusakan sintesis aldosteron. Pasien dengan sindrom hipoaldosteronisme (juga disebut hiporeninemic

hipoaldosteronisme, atau asidosis tubular ginjal tipe IV) biasanya merupakan diabetik dengan beberapa derajat kerusakan ginjal; terlihat tak memiliki kemampuan meningkatkan sekresi aldosteron dalam merespon hiperkalemia. Walau biasanya asimtomatik, pasien ini mengalami hiperkalemia ketika mereka meningkatkan asupan kalium atau ketika diberikan diuretik kalium-sparing. Mereka juga memiliki beberapa variasi ekskresi Na+ dan hiperkloremik asidosis metabolik. Beberapa temuan yang mirip dilaporkan pada pasien AIDS yang memiliki insufisiensi adrenal relatif (karena infeksi cytomegalovirus). Obat-obat yang terlibat dalam sistem renin-aldosteron memiliki potensi

menyebabkan hiperkalemia, secara khusus dalam beberapa tingkat kerusakan ginjal. Obat anti inflamasi nonsteroid (OAIN) menginhibisi pelepasan prostaglandinmediasi. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor terlibat dalam pelepasan angiotensin II-mediasi aldosteron. Dosis besar heparin dapat terlibat dalam sekresi aldosteron. Spironolakton secara langsung mengantagonis aktivitas aldosteron di ginjal.

Ekskresi kalium di ginjal yang menurun dapat terjadi sebagai hasil intrinsik atau defek yang didapat pada kemampuan distal nefron untuk mensekresi kalium. Defek semacam itu dapat terjadi pada fungsi ginjal yang normal dan memiliki karakteristik tak responsif terhadap terapi mineralokortikoid. Ginjal pasien dengan

pseudohipoaldosteronisme menggambarkan resistensi intrinsik terhadap aldosteron. Defek yang didapat telah bergabung bersama sistemik lupus eritematosus, sickle sel anemia, obstruktif uropati, dan nefropati siklosporin pada transplantasi ginjal. Hiperkalemia Yang Disebabkan Oleh Asupan Kalium Yang Meningkat Peningkatan kalium jarang menyebabkan hiperkalemia pada individu normal kecuali sejumlah besar diberikan secara terus menerus melalui intravena. Hiperkalemia dapat terlihat ketika asupan kalium meningkat pada pasien yang menerima -bloker atau dengan kerusakan ginjal atau pada defisiensi insulin. Sumber kalium yang tidak diketahui termasuk kalium penisilin, pengganti natrium, dan transfusi darah lengkap. Plasma [K+] dalam satu unit darah lengkap dapat meningkatkan sampai 30 mEq/L setelah 21 hari penyimpanan. Resiko hiperkalemia dari beberapa transfusi dikurangi dengan cara meminimalisir volume plasma yang diberikan melalui transfusi sel darah merah. Manifestasi Klinis Hiperkalemia Efek yang paling penting dari hiperkalemia terjadi pada otot rangka dan jantung. Kelemahan pada otot rangka secara umum tak terlihat sampai jumlah plasma [K+] melebihi 8 mEq/L. kelemahan ini disebabkan oleh depolarisasi dan inaktivasi kanal Na+ membran otot (mirip suksinilkolin), pada akhirnya menyebabkan paralisis.

Manifestasi kardiak (Figure 28-6) yang utama disebabkan oleh terlambatnya depolarisasi dan konsistensi ketika plasma [K+] melebihi 7 mEq/L. Perubahan EKG secara karakteristik berkembang dari puncak gelombang T simetris melebar kompleks QRS perpanjangan interval P-R kehilangan gelombang P kehilangan amplitudo gelombang R depresi segmen ST EKG terlihat mirip pada gelombang sine-sebelum berkembang menjadi ventrikular fibrilasi dan asistole. Hipokalemia, hiperkalemia. hiponatremia, dan asidosis memperjelas efek kardiak dari

Penanganan hiperkalemia Dikarenakan berpotensi mematikan, hiperkalemia yang melebihi 6 mEq/L harus selalu ditangani. Penanganan ditujukan untuk menghilangkan manifestasi kardiak, dan kelemahan otot rangka, dan usaha mengembalikan plasma [K+] ke normal. Beberapa penanganan bergantung pada beratnya manifestasi baik yang disebabkan oleh hiperkalemia. Hiperkalemia dengan hipoaldosteronisme dapat ditangani dengan mineralokortikoid. Obat-obat yang menyebabkan hiperkalemia harus dihentikan dan asupan kalium yang berlebih harus dikurangi atau tidak sama sekali. Kalsium (5-10 mL dari 10% kalsium glukonat atau 3-5 mL dari 10% kalsium klorida) sebagian mengantagonis efek kardiak hiperkalemia dan ini berguna pada pasien dengan hiperkalemia. Efeknya cepat namun tak bertahan lama. Pasien dengan

pemberian digoksin harus diperhatikan secara khusus, karena kalsium memacu toksin digoksin. Ketika asidosis metabolik terjadi, natrium bikarbonat (biasanya 45 mEq) akan menyokong uptake kalium dan dapat menurunkan plasma [K+] dalam 15 menit. Agonis menyokong uptake seluler dan dapat berguna pada hiperkalemia akut dengan transfusi masif; dosis rendah epinefrin (0,5-2 mg/menit) sering menurunkan plasma [K+] secara bertahap dan menyediakan penyokong inotropik dalam pengaturan ini. Infus glukosa intravena dan insulin (30-50 g glukosa dalam 10 unit insulin) juga efektif dalam menyokong uptake seluler kalium dan menurunkan plasma [K+] namun sering memakan waktu sampai 1 jam untuk mencapai puncak efeknya. Bagi pasien dengan beberapa fungsi ginjal, furosemide berguna dalam meningkatkan ekskresi kalium urin. Pada ginjal yang telah rusak, eliminasi kalium yang berlebihan dapat terjadi hanya dengan resin cation-exchange nonabsorbable seperti sulfonat polistirene natrium baik oral maupun rektal (Kayexalate). Tiap gram resin mengikat sampai 1 mEq of K+ dan melepaskan 1.5 mEq of Na+ ; dosis oral sebesar 20 g dalam 100 mL sorbitol 20%. Dialisis diindikasikan pada pasien dengan gejala berat atau hiperkalemi refraktori. Hemodialisa lebih cepat dan efektif dari dialisis peritoneal dalam menurunkan plasma [K+]. Pembuangan kalium dengan cara hemodialisa maksimal mencapai 50 mEq/jam, dibandingkan dengan 10-15 mEq/jam dengan menggunakan dialisis peritoneal.

Pertimbangan Anestesi

Tindakan operatif elektif tidak seharusnya dilakukan pada pasien dengan hiperkalemia. Manajemen anestesi pada pasien hiperkalemia bertujuan menurunkan konsentrasi plasma kalium dan mencegah hal-hal yang dapat meningkatkan konsentrasi plasma tersebut. EKG harus diamati dengan cermat. Suksinilkolin merupakan kontraindikasi, seperti penggunaan cairan ringer laktat intravena. Ventilasi harus dikontrol ketika dilakukan anestesi general; hiperventilasi ringan mungkin dapat terjadi. Yang terakhir, fungsi neuromuskular harus dipantau secara cermat, karena hiperkalemia dapat meningkatkan efek NMBAs.

GANGGUAN KESEIMBANGAN KALSIUM Meskipun 98% kalsium tubuh total terdapat dalam tulang, pemeliharaan secara normal konsentrasi kalsium ekstraseluler berdampak pada homeostasis. Ion kalsium terlibat dalam hampir semua fungsi biologis esensial, termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter dan hormon, koagulasi darah, dan metabolisme tulang. Tak mengejutkan bila abnormalitas keseimbangan kalsium dapat menyebabkan disfungsi fisiologis yang parah.

Keseimbangan Kalsium Yang Normal Asupan kalsium rata-rata pada orang dewasa 600-800 mg/d. Absorpsi kalsium di usus terjadi paling banyak di proksimal bowel minor namun cukup bervariasi tiap orang. Kalsium juga disekresi ke saluran pencernaan. Sampai 80% asupan kalsium harian dibuang melalui feses.

Ginjal bertanggung jawab dalam ekskresi kalsium. Nilai rata-rata ekskresi kalsium ginjal 100 mg/d namun dapat bervariasi mulai 50 mg/d sampai lebih dari 300 mg/d. Secara normal 98% kalsium yang telah difiltrasi akan direabsorbsi. Hormon paratiroid yang meningkat akan meningkatkan reabsorpsi dan menurunkan ekskresi kalsium urin. Konsentrasi Kalsium Plasma Konsentrasi kalsium plasma normal berkisar 8,5-10,5 mg/dL (2,1-2,6 mmol/L). Kirakira 50% dalam bentuk ion bebas, 40% terikat protein (terutama pada albumin), dan 10% berbentuk kompleks dengan anion seperti sitrat dan asam amino. Merupakan bentuk ion bebas konsentrasi kalsium ([Ca2+]), yang secara fisiologis sangat penting. Plasma ([Ca2+]) secara normal 4,75-5,3 mg/dL. Perubahan dalam konsentrasi plasma albumin berpengaruh pada nilai total namun tidak pada konsentrasi ion kalsium: pada setiap kenaikan/penurunan 1 g/dL albumin, total konsentrasi kalsium plasma meningkat atau menurun sekitar 0,8-1,0 mg/dL. Perubahan pH plasma secara langsung memengaruhi tingkat ikatan protein sehingga konsentrasi ion kalsium terionisasi. Kalsium terionisasi meningkat sekitar 0,16 mg/dL untuk setiap penurunan pH 0,1 unit di plasma dan berkurang dengan jumlah yang sama untuk masing-masing 0. 1 unit peningkatan pH.

Pengaturan Ekstraseluler Konsentrasi Kalsium Terionisasi Kalsium biasanya memasuki cairan ekstraselular dengan baik penyerapan dari saluran usus atau resorpsi tulang, hanya 0,5-1% kalsium dalam tulang dapat

ditukarkan dengan cairan ekstraseluler. Sebaliknya, kalsium biasanya meninggalkan kompartemen ekstraseluler oleh (1) pengendapan ke dalam tulang, (2) ekskresi urin, (3) sekresi ke dalam saluran usus, dan (4) pembentukan keringat. Ekstraselular ([Ca2+]) diatur oleh tiga hormon: Hormon paratiroid (PTH), vitamin D, dan kalsitonin. Hormon ini bekerja terutama pada tulang, tubulus distal ginjal, dan usus kecil. PTH adalah pengatur yang paling penting dari plasma ([Ca2+]). Penurunan dalam plasma ([Ca2+]) PTH merangsang sekresi, sementara peningkatan dalam plasma ([Ca2+]) menghambat sekresi PTH. Efek kalsemik dari PTH adalah karena (I) mobilisasi kalsium dari tulang, (2) peningkatan kalsium reabsorpsi di tubulus distal ginjal, dan (3) peningkatkan penyerapan kalsium usus tidak langsung melalui akselerasi Vitamin D 1,25 ada dihydroxycholecalciferol dalam beberapa bentuk sintesis dalam di dalam tetapi ginjal. 1,25-

tubuh,

dihydroxycholecalciferol memiliki aktivitas biologis yang paling penting. Ini adalah produk dari metabolisme konversi (terutama endogen) cholecalciferol, pertama oleh hati untuk 25-cholecalciferol dan kemudian oleh ginjal untuk 1

dihydroxycholecalciferol ,25-. Transformasi terakhir ini ditingkatkan dengan sekresi PTH serta hypophosphatemia. Vitamin D menambah absosrbsi kalsium di usus, memfasilitasi aksi PTH pada tulang, dan muncul untuk menambah ginjal reabsorpsi kalsium di tubulus distal. Calcitonin adalah hormon polipeptida yang disekresikan oleh sel parafollicular di kelenjar tiroid. Sekresi dari sel ini dirangsang oleh hypercalcemia dan dihambat oleh

hypocalcemia. Calcitonin menghambat reabsorpsi tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium urin.

HIPERKALSEMIA Hiperkalsemia dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai gangguan (Tabel 2811). Dalam hiperparatiroidisme primer, sekresi PTH ditingkatkan dan bebas dari ([Ca2+]). Hiperparatiroid sekunder (gagal ginjal kronis atau malabsorpsi), kadar PTH meninggi dalam menanggapi hipokalsemi kronis. Hiperparartiroid sekunder berkepanjangan kadang-kadang dapat mengakibatkan sekresi PTH otonomi, sehingga menghasilkan ([Ca2+]) normal atau meningkat. (hiperparatiroidisme tersier). Tabel 28-11. Penyebab hypercalcemia. Hiperparatiroidisme Keganasan Asupan vitamin D berlebih Penyakit Paget tulang Granulomatosa gangguan (sarkoidosis, tuberkulosis) Kronis imobilisasi Sindrom susu-alkali Adrenal insufisiensi Obat-induksi -Thiazide diuretik -Lithium

Pasien dengan kanker dapat dengan hiperkalsemia baik ada atau tidaknya metastase tulang. Kerusakan langsung tulang atau sekresi mediator humoral dari hiperkalsemia (zat mirip PTH, sitokin, atau prostaglandin) mungkin bertanggung jawab pada kebanyakan pasien. Hiperkalsemia karena omset peningkatan kalsium dari tulang juga dapat ditemui pada pasien dengan kondisi jinak seperti penyakit Paget dan

immobilisasi kronis. Peningkatan penyerapan kalsium di saluran cerna dapat mengakibatkan hiperkalsemia pada pasien dengan sindrom susu-alkali (ditandai peningkatan asupan kalsium), hipervitaminosis D, atau penyakit granulomatous (sensitivitas ditingkatkan untuk vitamin D). Mekanisme yang bertanggung jawab atas penyebab lain dari hiperkalsemia kurang dipahami.

Manifestasi Klinis Hiperkalsemia Hiperkalsemia sering menyebabkan anoreksia, mual, muntah, kelemahan, dan poliuria. Ataxia, perasaan mudah marah, lesu, atau kebingungan dengan cepat dapat berkembang menjadi koma. Hipertensi sering muncul pada awalnya sebelum hipovolemia supervena. Tanda EKG termasuk segmen ST dan interval QT memendek. Hiperkalsemia meningkatkan sensitivitas jantung terhadap

digitalis. Pankreatitis, penyakit ulkus peptikum, dan gagal ginjal juga dapat memperberat hiperkalsemia. Pengobatan Hiperkalsemia Hiperkalsemia yang simtomatik membutuhkan perawatan cepat. Perlakuan awal yang paling efektif adalah rehidrasi diikuti dengan diuresis cepat (200-300 mL/jam) dengan pemberian infus salin intravena dan loop diuretik untuk mempercepat ekskresi kalsium. Terapi diuretik sebelum rehidrasi dapat memperburuk

hypercalcemia oleh deplesi volume tambahan. Kehilangan kalium dan magnesium di ginjal biasanya terjadi selama diuresis, dan laboratorium pemantauan dan penggantian intravena harus dilakukan sesuai kebutuhan. Meskipun hidrasi dan diuresis dapat menghapus potensi risiko komplikasi kardiovaskular dan saraf

hypercalcemia, kalsium serum biasanya tetap tinggi di atas normal. Terapi tambahan dengan bifosfonat atau kalsitonin mungkin diperlukan untuk lebih lanjut menurunkan kalsium serum. hypercalcemia parah (> 15 mg / dL) biasanya membutuhkan terapi tambahan setelah hidrasi garam dan kalsiuresis lasix. Bifosfonat (60-90 pamidronate mg intravena) atau kalsitonin (2-8 U / kg subkutan) merupakan obat yang lebih disukai. Pamidronate telah menjadi obat pilihan dalam pengaturan ini karena durasi kerjanya lama (tapi dapat digantikan oleh zoledronate, bifosfonat yang lama durasi aksinya lebih panjang), tetapi mungkin harus dihindari dalam pengaturan insufisiensi ginjal (serum kreatinin> 2,5 mg / dL). Dialisis mungkin diperlukan pada gagal ginjal atau jantung. Perlakuan tambahan tergantung pada penyebab yang mendasari hypercalcemis dan mungkin termasuk glukokortikoid dalam pengaturan vitamin Dinduksi hiperkalsemia seperti status penyakit granulomatosa. Obat lama seperti plicamycin (mithramycin) atau fosfat yang jarang digunakan saat ini karena efek potensi mereka yang merugikan. Hal ini diperlukan untuk mencari etiologi yang mendasari dan pengobatan yang tepat langsung terhadap penyebab hiperkalsemia setelah ancaman awal hiperkalsemia telah dihapus. Sekitar 90% dari hypercalcemis semua dikarenakan baik keganasan atau hiperparatiroidisme. Uji laboratorium terbaik untuk membedakan antara dua kategori utama hypercalcemia adalah tes antibodi PTH ganda. Konsentrasi serum PTH biasanya akan ditekan di negara keganasan dan meningkat pada hiperparatiroidisme.

Pertimbangan Anestesi

Hiperkalsemia adalah keadaan darurat medis dan harus diperbaiki, jika mungkin, sebelum pemberian obat bius apapun. Kadar kalsium terionisasi harus dipantau ketat. Jika operasi harus dilakukan, diuresis saline harus dilanjutkan intraoperatively dengan hati-hati untuk menghindari hipovolemia; pusat vena atau arteri pulmonal pemantauan tekanan dapat dianjurkan untuk pasien dengan penurunan cadangan jantung. Pengukuran serial dari [K+] dan [Mg2+] sangat membantu dalam mendeteksi hypokalemis iatrogenik dan hypomagnesemia. Respon terhadap obat anestesi tidak dapat diprediksi. Ventilasi harus dikontrol dengan anestesi umum. Asidosis harus dihindari agar tidak menaikkan plasma [Ca2+] lebih jauh.

HIPOKALSEMIA Hipokalsemia harus didiagnosis hanya berdasarkan plasma terionisasi konsentrasi kalsium. Ketika pengukuran plasma secara langsung [Ca2+] tidak tersedia, jumlah konsentrasi kalsium harus dikoreksi untuk penurunan konsentrasi plasma albumin (lihat di atas). Penyebab hipokalsemia tercantum dalam Tabel 28 12. Hypocalcemia karena hipoparatiroidisme merupakan penyebab relatif umum gejala hypocalcemia. Mungkin hipoparatiroidisme bedah, idiopatik, atau bagian dari cacat endokrin multipel (paling sering dengan insufisiensi adrenal), atau mungkin berhubungan dengan hypomagnesemia. Kekurangan magnesium dipostulatkan untuk merusak sekresi PTH dan memusuhi pengaruhnya terhadap tulang. Hypocalcemia selama sepsis juga diduga disebabkan oleh penekanan pelepasan PTH.

Hyperphosphatemia (lihat di bawah) juga merupakan penyebab relatif umum hypocalcemia, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Karena kekurangan

vitamin D mungkin merupakan hasil dari asupan nyata berkurang (gizi), malabsorpsi vitamin D, atau vitamin D metabolisme abnormal hypocalcemia

Chelation dari ion kalsium dengan ion sitrat dalam pengawet darah merupakan penyebab penting hypocalcemia perioperarive; penurunan sementara serupa di [Ca2+] adalah secara teoritis juga berkemungkinan merupakan infus yang cepat dari volume besar albumin. Hypoealcemia berikut pankreatitis akut dianggap karena pengendapan kalsium dengan lemak (sabun) setelah pelepasan enzim lipolitik dan nekrosis lemak; hypocalcemia emboli lemak berikut mungkin memiliki dasar yang

sama.Pengendapan kalsium (dalam cedera otot) juga dapat dilihat sebagai berikut rhabdomyolysis. Penyebab umum yang lebih sedikit dari hypocalcemia termasuk karsinoma meduler calcitonm-mensekresi dari penyakit, tiroid metastatik osteoblastik (payudara dan kanker prostat), dan pseudohypoparathyroidism (unresponsiveness keluarga untuk hormon paratiroid). hypocalcemia Transient juga dapat dilihat heparin berikut, protansine, atau administrasi glukagon dan transfusi darah besar (dari sitrat). Tabel 28-12. Penyebab hypocalcemia Hipoparatiroidisme Pseudohypoparathyroidism Kekurangan Vitamin D -Gizi -Malabsorpsi 1.Pascaoperasi (gastrektomi, usus pendek) 2.Radang usus -Diubah metabolisme vitamin D Hyperphosphatemia Pengendapan kalsium -Pankreatitis -Rhabdomyolysis

-Emboli lemak Chelation kalsium -Beberapa transfusi darah merah atau infus yang cepat cepat dalam jumlah besar albumin

Manifestasi Klinis Hipokalsemia Manifestasi termasuk parestesia, kebingungan, stridor laring (laryngospasns), kejang carpopedal (tanda trousseau's), kejang masseter (tanda Chvostek's), dan

kejang.Empedu kolik dan bronkospasme juga telah dijelaskan. iritabilitas jantung dapat menyebabkan aritmia. Penurunan kontraktilitas jantung dapat menyebabkan jantung, hipotensi kegagalan, atau keduanya. Penurunan tanggap terhadap digoxin dan sgonists f3-adrenergik juga telah dilaporkan. tanda-tanda EKG termasuk perpanjangan interval QT. Tingkat keparahan manifestasi EKG tidak selalu berkorelasi dengan tingkat hypocalcemia.

Pengobatan Hipokalsemia Hipokalsemia simtomatik merupakan gawat darurat medis dan harus diobati dengan cepat dengan kalsium klorida intravena (3-5 mL 10% larutan) atau gluconate kalsium (l0-20 mL 10% larutan). (Sepuluh mililiter 10% CACI, berisi 272 mg Ca2+, sedangkan 10 ml kalsium glukonat 10% mengandung hanya 93 mg Ca2+). Untuk menghindari presipitasasi, kalsium intravena tidak boleh diberikan dengan bikarbonat-atau fosfat yang mengandung solusi. Serial pengukuran kalsium

terionisasi wajib dilakukan. Ulangi bolus atau infus kontinu (1-2 mg Ca2+/ kg / jam) mungkin diperlukan. Plasma konsentrasi magnesium harus diperiksa untuk mengecualikan hypomagnesemia. Dalam hypocalcemia kronis, kalsium oral

(CaCO3) dan vitamin D penggantian biasanya diperlukan. Pengobatan untuk hyperphosphatemia dibahas di bawah ini.

Pertimbangan Anestesi Hypocalcemia harus diperbaiki sebelum operasi. Serial kadar kalsium terionisasi harus dipantau secara intraoperative pada pasien dengan riwayat

hypocalcemia. Alkalosis harus dihindari untuk mencegah penurunan lebih lanjut di [Ca2+]. Kalsium intravena mungkin diperlukan setelah transfusi produk darah cepat citrated atau volume besar solusi albumin. Potensiasi efek inotropik negatif dari barbiturat dan anestesi volatil harus diharapkan. Tanggapan untuk NMBAs tidak konsisten dan membutuhkan pemantauan dekat dengan stimulator saraf.

GANGGUAN KESEIMBANGAN FOSFOR Fosfor adalah konstituen intraselular penting. Keberadaannya diperlukan untuk sintesis (I) fosfolipid dan phosphoproteins dalam membran sel dan organdIes intraseluler, (2) phosphonucleotides yang terlibat dalam sintesis protein dan reproduksi, dan (3) ATP digunakan untuk penyimpanan energi. Hanya 0.l% total fosfor tubuh dalam cairan ekstraselular, 85% ada di tulang dan 15% adalah intraselular.

KESEIMBANGAN FOSFOR YANG NORMAL Rata-rata asupan fosfor 800-1500 mg / hari pada orang dewasa Sekitar 80% dari jumlah yang biasanya diserap di usus halus proksimal. Vitamin D meningkatkan penyerapan usus fosfor. Ginjal merupakan rute utama bagi ekskresi fosfor dan bertanggung jawab untuk mengatur kadar fosfor total tubuh. ekskresi urin fosfor tergantung pada asupan dan konsentrasi plasma. Sekresi PTH dapat meningkatkan ekskresi urin oleh reabsorpsi fosfor s menghambat proksimal tabung. Efek yang terakhir mungkin e diimbangi oleh PTH-release diinduksi fosfat dari tulang.

Konsentrasi Plasma Fosfor Plasma fosfor ada baik dalam bentuk organik dan anorganik. Fosfor organik terutama dalam bentuk fosfolipid. Dari fraksi fosfor anorganik, 80% dapat difiltrasi pada ginjal dan 20% adalah protein terikat. Sebagian besar fosfor anorganik adalah dalam bentuk H2P04-dan HP042 dalam rasio 1:4. Dengan konvensi, fosfor plasma diukur sebagai miligram unsur fosfor. Normal konsentrasi fosfor plasma 2,5-4,5 mg / dL (0,8-1,45 mmolIL) pada orang dewasa dan sampai 6 mg / dL pada anak-anak. Plasma konsentrasi fosfor biasanya diukur selama puasa, karena asupan karbohidrat barubaru ini transiently menurunkan kadar fosfor plasma.Hypophosphatemia meningkatkan produksi vitamin D, sedangkan hyperphosphatemia menekan itu. Yang terakhir ini memainkan peran penting dalam asal-usul hiperparatiroidisme sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis (lihat Bab 32).

HIPERPHOSPHATEMIA

Hyperphosphatemia dapat dilihat dengan intake fosfor yang meningkat (penyalahgunaan obat pencahar fosfat atau administrasi kalium fosfat berlebihan), penurunan ekskresi fosfor (insufisiensi renal), atau lisis sel besar (setelah kemoterapi untuk limfoma atau leukemia).

Manifestasi Klinis Hiperphosphatemia Meskipun hyperphosphatemia sendiri tidak tampak secara langsung bertanggung jawab atas gangguan fungsional, efek sekunder pada plasma [Ca2+] dapat menjadi penting. Ditandai hyperphosphatemia diperkirakan plasma yang lebih rendah [Ca2+] oleh curah hujan dan deposisi kalsium fosfat di tulang dan jaringan lunak.

Pengobatan Hyperphosphatemia Hyperphosphatemia umumnya diobati dengan antasid mengikat fosfat seperti aluminium hidroksida atau karbonat aluminium.

Pertimbangan Anestesi Meskipun interaksi tertentu antara hyperphosphatemia dan anestesi umumnya tidak dijelaskan, fungsi ginjal harus dievaluasi secara cermat hypocalcemia sekunder juga harus dikeluarkan.

HIPOPHOSPHATEMIA Hipophosphatemia biasanya merupakan hasil dari keseimbangan fosfor baik negatif atau seluler serapan fosfor ekstraseluler (pergeseran intercompartmental). Pergeseran

intercompartmental fosfor dapat terjadi selama alkalosis dan setelah proses pencernaan karbohidrat atau administrasi insulin. Besar dosis atau aluminiummagnesium-mengandung antasid, luka bakar, suplementasi fosfor yang tidak memadai selama hiperalimentasi, ketoasidosis diabetik, penarikan alkohol, dan alkalosis pernapasan berkepanjangan semua bisa menghasilkan keseimbangan fosfor negatif dan menyebabkan hypophosphatemia parah (