mal praktek

14
CONTOH KASUS MAL PRAKTEK Kasa Tertinggal Berakibat Osteomyelitis Mas Parjo datang ke Rumah Sakit Remen Waras karena fraktur di tulang femur. Dokter Ndang Sun Tiken SpB menangani kasus ini adalah dokter bedah satu-satunya di kota Sarwo Saras. Parjo dijadwalkan operasi, dengan melalui prosedur-prosedur rutin rumah sakit, informed concent telah ditanda tangani oleh Parjo sendiri. Parjo sangat sadar dengan apa yang ia tanda tangani. Sebelum mengoperasi Parjo pada jam 10.00, dr. Ndang Sun Tiken sudah melakukan tiga operasi elektif satu operasi cito. Malam harinya dr. Ndang Sun Tiken mengoperasi dua operasi cito. Operasi reposisi Parjo telah berhasil dengan baik, dari foto rontgen pasca operasi, pen telah menancap pada tempat yang benar, kelurusan tulang telah sesuai dengan yang diharapkan. Parjo setelah recovery dan perawatan di bangsal yang memadai akhirnya bisa dipulangkan. Belum ada seminggu, di tempat luka operasi, setiap saat selalu keluar nanah, hingga membuat pembalut luka selalu diganti. Parjo bermaksud kontrol lagi ke Rumah Sakit Remen Waras, tetapi ia mendapati antrian begitu panjang, dan sudah menunggu mulai dari jam 8.00 hingga 11.00 dokter Ndang Sun Tiken tidak kunjung datang. Berkali-kali ia bertanya kepada perawat poliklinik, selalu saja jawabannya masih melakukan operasi. Karena tidak nyaman dengan apa yang dialaminya, serta tidak enak dengan pandangan-pandangan orang di sekitar yang tampaknya jijik melihat kondisi pahanya. Parjo dan keluarga memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit Arto Wedi yang letaknya ratusan kilometer dari rumah tinggalnya. Masuk rumah sakit arto wedi, dengan biaya yang lebih tinggi, Parjo langsung diperiksa oleh dokter Hangabehi SpBO. FICS. Ahli ortopedi yang sudah terkenal hingga jauh di luar daerah. Oleh dokter Hangabehi, Parjo segera dilakukan prosedur rutin, roentgen ulang dan segera dijadwalkan operasi. Kembali dilakukan prosedur rutin, termasuk informed concent telah ditanda tangani dan Parjo sadar betul dengan apa yang dilakukannya. Secara umum kondisi Parjo menjelang operasi baik. Hanya dari luka operasi sebelumnya saja yang terus menerus mengalir nanah. Akhirnya operasi debridement untuk mengatasi pus yang terus-menerus mengalir dari tulang yang didiagnosis mengalami osteomielitis dilakukan. Selama debridement dilakukan betapa mengejutkan yang dihadapi tim operasi dokter Hangabehi…. Mereka menemukan kassa tertinggal di tulang yang telah direposisi. Masih syukur tulang mau menyatu.

Upload: surianidjamhari

Post on 28-Dec-2015

159 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

diambil dari berbagai sumber di internet

TRANSCRIPT

Page 1: Mal Praktek

CONTOH KASUS MAL PRAKTEK

Kasa Tertinggal Berakibat Osteomyelitis

Mas Parjo datang ke Rumah Sakit Remen Waras karena fraktur di tulang femur. Dokter Ndang Sun Tiken SpB menangani kasus ini adalah dokter bedah satu-satunya di kota Sarwo Saras. Parjo dijadwalkan operasi, dengan melalui prosedur-prosedur rutin rumah sakit, informed concent telah ditanda tangani oleh Parjo sendiri. Parjo sangat sadar dengan apa yang ia tanda tangani. Sebelum mengoperasi Parjo pada jam 10.00, dr. Ndang Sun Tiken sudah melakukan tiga operasi elektif satu operasi cito. Malam harinya dr. Ndang Sun Tiken mengoperasi dua operasi cito. Operasi reposisi Parjo telah berhasil dengan baik, dari foto rontgen pasca operasi, pen telah menancap pada tempat yang benar, kelurusan tulang telah sesuai dengan yang diharapkan. Parjo setelah recovery dan perawatan di bangsal yang memadai akhirnya bisa dipulangkan. Belum ada seminggu, di tempat luka operasi, setiap saat selalu keluar nanah, hingga membuat pembalut luka selalu diganti.

Parjo bermaksud kontrol lagi ke Rumah Sakit Remen Waras, tetapi ia mendapati antrian begitu panjang, dan sudah menunggu mulai dari jam 8.00 hingga 11.00 dokter Ndang Sun Tiken tidak kunjung datang. Berkali-kali ia bertanya kepada perawat poliklinik, selalu saja jawabannya masih melakukan operasi. Karena tidak nyaman dengan apa yang dialaminya, serta tidak enak dengan pandangan-pandangan orang di sekitar yang tampaknya jijik melihat kondisi pahanya. Parjo dan keluarga memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit Arto Wedi yang letaknya ratusan kilometer dari rumah tinggalnya.

Masuk rumah sakit arto wedi, dengan biaya yang lebih tinggi, Parjo langsung diperiksa oleh dokter Hangabehi SpBO. FICS. Ahli ortopedi yang sudah terkenal hingga jauh di luar daerah. Oleh dokter Hangabehi, Parjo segera dilakukan prosedur rutin, roentgen ulang dan segera dijadwalkan operasi. Kembali dilakukan prosedur rutin, termasuk informed concent telah ditanda tangani dan Parjo sadar betul dengan apa yang dilakukannya. Secara umum kondisi Parjo menjelang operasi baik. Hanya dari luka operasi sebelumnya saja yang terus menerus mengalir nanah.

Akhirnya operasi debridement untuk mengatasi pus yang terus-menerus mengalir dari tulang yang didiagnosis mengalami osteomielitis dilakukan. Selama debridement dilakukan betapa mengejutkan yang dihadapi tim operasi dokter Hangabehi…. Mereka menemukan kassa tertinggal di tulang yang telah direposisi. Masih syukur tulang mau menyatu.

Keluarga pasien ingin mengetahui mengapa terjadi “bencana” demikian pada Parjo. Dengan terpaksa dokter Hangabehi SpBO FICS menjelaskan ini semua karena adanya kasa yang tertinggal di ruang antara tulang dan otot. Mendengar penjelasan itu kontan keluarga Parjo marah dan tidak terima dengan kinerja dokter Ndang Sun Tiken beserta timnya. Mereka sepakat untuk melakukan somasi dengan melayangkan surat dugaan malpraktik kepada dokter Ndang Sun Tiken beserta direktur Rumah Sakit Remen Waras lewat kuasa hukum mereka Gawe Ribut SH. Mereka menuntut ganti rugi senilai 1 miliar rupiah atas kerugian materiil dan imateriil yang dialami.

……………………………………………………..Analisa hal yang terjadi

Yang ditimpa masalah adalah Rumah Sakit Remen Waras. Sedangkan rumah sakit Arto Wedi tidak dalam posisi bermasalah. Rumah Sakit Arto Wedi dalam posisi “penemu” kesalahan yang dilakukan oleh Rumah Sakit Remen Waras.

Dalam kasus ini diasumsikan tidak ada masalah administrasi pada dokter-dokter yang berpraktik baik di Rumah Sakit Remen Waras maupun Rumah Sakit Arto Wedi.

Jadi tidak ada kasus perbuatan melanggar hukum. Permasalahannya adalah operasi yang dilakukan

Page 2: Mal Praktek

oleh dokter Ndang Sun Tiken terdapat bukti kelalaian yaitu kasa tertinggal di ruang antara otot dan tulang. Berdasarkan criteria 4 D jelas memenuhi criteria tersebut. Ada wan prestasi (D1 & D2 ; duty dan dereliction of duty) yang dilakukan oleh dokter Ndang Sun Tiken SpB; sudah ada kontrak hubungan terapetik dan ada bukti melalaikan kewajiban yaitu kasa tertinggal.. Juga terdapat “damage” yaitu adanya osteomielitis dan akibat osteomielitis ini berkaitan dengan tertinggalnya kasa yang berada di ruang antara otot dan tulang.

Skenario penyelesaian masalah etikolegalnya

Pembuktian

- Pembuktian yang dilakukan yaitu laporan operasi dokter Hangabehi SpBO yang menyebutkan kasa tertinggal

- Pembuktian laporan operasi dari dokter Ndang Sun Tiken SpBBukti yang meringankan

- Dokter Ndang Sun Tiken SpB, sudah mengajukan penambahan dokter bedah di Kabupaten Sarwo Saras karena dia merasa sudah overload secara tertulis kepada direktur. Dan direktur RS juga menindak lanjutinya dengan pengajuan penambahan dokter bedah ke Departemen Kesehatan pusat dua tahun yang lalu, dan hingga kasus Parjo muncul ke permukaan belum terpenuhi permintaan tersebut.

Malpraktek atau Tidak dr Ayu? Lihat Empat Poin Ini

TEMPO.CO, Jakarta - Mencuatnya kasus vonis penjara terhadap dokter Dewa Ayu Sasiary Prawan, 38 tahun, beserta dua koleganya menyedot perhatian masyarakat. Banyak yang bertanya-tanya argumen siapa yang benar? Apakah argumen keluarga korban yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung atau argumen para dokter, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, yang juga diamini oleh Pengadilan Negeri Manado. 

Kasus dokter Ayu dan kawan-kawan berawal dari meninggalnya pasien yang mereka tangani, Julia Fransiska Maketey, di Rumah Sakit R.D. Kandou Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, pada 10 April 2010. Keluarga Julia menggugat ke pengadilan negeri. Hasilnya, Ayu dan kedua rekannya dinyatakan tidak bersalah. Namun, di tingkat kasasi, ketiga dokter itu divonis 10 bulan penjara. (Baca: Inilah Alasan Hakim MA Menghukum dr Ayu)

Majelis hakim kasasi memvonis Dewa Ayu Sasiary serta dua rekannya, Hendy Siagian dan Hendry Simanjuntak, bersalah saat menangani Julia Fransiska Maketey. Julia akhirnya meninggal saat melahirkan. Berikut ini pertimbangan majelis kasasi seperti yang tercantum dalam putusan yang dirumuskan dalam sidang 18 September 2012.

Berikut ini beberapa poin penting yang menjadi perdebatan soal ada atau tidak malpraktek dalam kasus dokter Ayu:

1. Pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah operasi.Menurut dr. Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, operasi yang dilakukan terhadap Siska, tak memerlukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung. "Operasinya bersifat darurat, cepat, dan segera. Karena jika tidak dilakukan, bayi dan pasien pasti meninggal," ucap dokter kandungan ini.

Page 3: Mal Praktek

2.  Penyebab kematian masuknya udara ke bilik kanan jantung. Ini karena saat pemberian obat atau infus karena komplikasi persalinan.Menurut O.C. Kaligis, pengacara Ayu, putusan Mahkamah Agung tak berdasar. Dalam persidangan di pengadilan negeri, kata Kaligis, sudah dihadirkan saksi ahli kedokteran yang menyatakan Ayu dan dua rekannya tak melakukan kesalahan prosedural. Para saksi itu antara lain Reggy Lefran, dokter kepala bagian jantung Rumah Sakit Profesor Kandou Malalayang; Murhady Saleh, dokter spesialis obygin Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta; dan dokter forensik Johanis.

Dalam sidang itu, misalnya, dokter forensik Johanis menyatakan hasil visum et repertum emboli yang menyebabkan pasien meninggal BUKAN karena hasil operasi. Kasus itu, kata dia, jarang terjadi dan tidak dapat diantisipasi. 

Para ahli itu juga menyebutkan Ayu, Hendry, dan Hendy telah menjalani sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran pada 24 Februari 2011. Hasil sidang menyatakan ketiganya telah melakukan operasi sesuai dengan prosedur. (Baca juga: MKEK Pusat Sebut dr. Ayu Tidak Melanggar Etik)

3. Terdakwa tidak punya kompetensi operasi karena hanya residence atau mahasiswa dokter spesialis  dan tak punya surat izin praktek (SIP)Ketua Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr. Nurdadi, SPOG dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi mengatakan tidak benar mereka tidak memiliki kompetensi. "Mereka memiiki kompetensi. Pendidikan kedokteran adalah pendidikan berjenjang. Bukan orang yang tak bisa operasi dibiarkan melakukan operasi," katanya.

Soal surat izin praktek juga dibantah. Semua mahasiswa kedokteran spesialis yang berpraktek di rumah sakit memiliki izin. Kalau tidak, mana mungkin rumah sakit pendidikan seperti di RS Cipto Mangunkusumo mau mempekerjakan para dokter itu.

4. Terjadi pembiaran pasien selama delapan jam.Menurut Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, saat menerima pasien Siska, Ayu telah memeriksa dan memperkirakan pasien tersebut bisa melahirkan secara normal. Namun, hingga pukul 18.00, ternyata hal itu tak terjadi. "Sehingga diputuskan operasi," ujar Januar.

Sesuai prosedur kedokteran saat air ketuban pecah, biasanya dokter akan menunggu pembukaan leher rahim lengkap sebelum bayi dilahirkan secara normal. Untuk mencapai pembukaan lengkap, pembukaan 10, butuh waktu yang berbeda-beda untuk tiap pasien. Bisa cepat bisa berjam-jam. Menunggu pembukaan lengkap itulah yang dilakukan dokter Ayu.

Page 4: Mal Praktek

CONTOH MALPRAKTEK

Belajar dari Kasus Budi

Alfonsus Budi Susanto susah payah menapaki anak tangga gedung Konsil Kedokteran, Jakarta Selatan. Pria 60 tahun itu harus dibantu dua asistennya serta tongkat penyangga. Bukan karena badannya tambun, melainkan sebagian tubuhnya lumpuh.

Tekadnya kuat. Sebab, hari itu, Rabu pekan lalu, merupakan saat yang menentukan setelah konsultan manajemen terkenal itu menanti selama sekitar dua tahun. Ya, A.B. Susanto ingin mendengar langsung putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) menyangkut kelumpuhan, yang tidak seharusnya dia derita.

Majelis memang akhirnya memutuskan dua dokter yang menangani Budi, yaitu dokter ahli bedah saraf Eka Julianta Wahjoepramono dan dokter Julius July, bersalah. Majelis yang terdiri atas Suyaka Suganda, Merdias Alma-tsier, Budi Sampurna, Ismayati, dan Otto Hasibuan menilai tindakan Eka dan Julius melanggar disiplin kedokteran. Mereka bertindak yang tidak seharusnya, tidak memberikan penjelas-an memadai, seperti soal risiko yang mungkin dihadapi pasien. Peralihan pena-nganan dari Eka kepada Julius juga dinilai salah. Dokter Eka dijatuhi sanksi disi-plin dengan pencabutan izin praktek tiga bulan, sedangkan dokter Julius mendapat skors dua bulan.

Sementara itu, pihak Rumah Sakit Siloam Lippo Karawaci, tempat dokter Eka dan Julius bekerja, menyatakan menghormati rekomendasi Majelis Kehormatan. "Kami akan mengajukan pembelaan, menggunakan hak yang diberikan MKDKI," ujar Division Head or Corporate Marketing Communication Siloam Hospital Amelia Hendra kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Diharapkan, Majelis akan memberikan rekomendasi kepada Konsil Kedokteran Indonesia untuk mengubah putusan sanksi disiplin tersebut.

Tragedi yang menimpa Budi berawal dari rasa pegal di bagian punggung, Oktober 2005. Karena merasa nyeri, Budi berobat ke Rumah Sakit Siloam Ka-rawaci, Tangerang. Ketika itu, dia ditangani dokter Eka dan tubuhnya dipindai dengan magnetic resonance imaging (MRI). "Kelihatan ada infeksi dan diberi obat, lalu terasa sembuh," Budi mengisahkan.

Ternyata Budi tidak benar-benar pulih. Beberapa bulan kemudian nyeri bertambah. Setelah dicek ulang, ternyata dua ruas di tulang belakang, yang disebut Th 7 dan 8, agak keropos. Dokter Eka menyarankan Budi disuntik semen untuk mencegah fraktur (patah tulang) yang dapat mengakibatkan kelumpuhan. Pemimpin Jakarta Consulting Group itu mengaku ngeri dengan saran tersebut. "Karena saya pernah sekolah kedokteran, jadi tahu betapa ngerinya mengobati tulang belakang itu," kata Budi, yang juga dokter ahli diabetes lulusan Universitas Dusseldorf, Jerman.

Toh, peringatan dokter Eka soal bahaya tulang patah dan kelumpuhan menghantui pikirannya. "Kalau sampai jatuh terpeleset, dapat lebih berbahaya," kata-kata itu masih terngiang-ngiang. "Saya teringat karena sering traveling, jika ada hal-hal yang tak terduga, misalnya guncangan pesawat atau kendaraan lainnya, malah berbahaya."

Setelah lebih dari dua tahun sejak peringatan sang dokter, akhirnya Budi mengikuti saran Eka. "Saya pikir-pikir daripada berutang, sekaligus saja membereskan hal ini agar seterusnya lebih enak," katanya. Keputusan itulah awal dari segala bencana pada dirinya.

Page 5: Mal Praktek

Saat itu Sabtu, pas hari raya Nyepi 2008, Budi dibawa ke kamar operasi, dan dibius total-meski dijanjikan hanya dibius lokal. Saat ditanya, menurut Budi, dokter Eka menyatakan lebih tepat anestesi umum. "Dokter Eka sempat menyalami saya di kamar operasi," ujarnya.

Seusai operasi, secara refleks Budi mengecek kemampuan kaki kiri dan kanan. Tapi kaki kiri tak bisa bergerak sama sekali. Bahkan Budi tak bisa ba-ngun untuk duduk, dan selalu kembali jatuh tertelentang. Namun, yang bisa ditanya Budi hanya dokter Julius, bukan Eka. Sejak Budi sadar, dokter ahli bedah saraf batang otak itu tak dapat ditemui.

Pernyataan resmi tim dokter Siloam Karawaci, Budi terkena spinal shock, guncangan pada sumsum tulang belakang. Terapinya, Budi harus diberi cortison dosis tinggi, yaitu 500 miligram, tiga kali sehari, selama lima hari. "Saya juga memang pernah belajar kedokteran, memang benar kalau sudah terjadi seperti itu harus diberi obat anti-shock," ujar Budi.

Agar memperoleh pendapat alternatif, Budi dibawa keluarganya ke -Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Setelah dicek ulang dengan MRI, ditemukan cedera pada sumsum tulang belakang sebelah kiri. Akibatnya, menurut dokter di Singapura, Alvin Hong, dengkul dan telapak kaki tak dapat bergerak. Dalam laporan medis Alvin, diduga jarum sebelah kiri saat operasi merusakkan tulang sebelah kiri. Itulah yang kemudian menyebabkan kelumpuhan.

Budi berusaha mencari penjelasan dari dokter Eka ataupun Rumah Sakit Siloam, tapi tak bersambut. Dia lalu mengadukan nasibnya ke Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia yang diketuai dokter Marius Widjajarta. Aduan itu diteruskan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, April 2008.

Budi juga menggugat Eka dan Siloam secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pertengahan Maret lalu gugatan itu ditolak pengadilan, Budi naik banding melalui pengacara Bambang Widjojanto dan kawan-kawan.

Dua tahun memang bukan waktu yang pendek untuk menunggu keputusan MKDKI. Menurut Ketua Majelis, dokter Merdias Almatsier, lamanya proses bukan karena Majelis mengabaikan laporan, melainkan semata-mata karena anggotanya terbatas, hanya sebelas orang.

Sementara itu, majelis yang baru berdiri sejak empat tahun silam itu harus menangani laporan dari seluruh Indonesia. Pada 2008, ada 19 pengaduan. Setahun berikutnya pengaduan mening-kat menjadi 36 kasus. Sampai pertengahan tahun ini ada 16 pengaduan. "Meningkatnya pengaduan bisa karena masyarakat baru mengetahui -MKDKI atau bisa juga karena dokter banyak membuat kesalahan," kata Merdias.

Keputusan yang diambil Majelis Kehormatan yang paling ringan adalah tidak ada pelanggaran disiplin. Selanjutnya, ada pelanggaran ringan, lalu peringatan dengan dicabut sementara izin praktek maksimum setahun, diminta ikut pendidikan kembali, atau dicabut selamanya. "Kalau selamanya, ya selesai karier dokter itu," ujar Merdias.

Sampai saat ini, menurut Merdias, belum ada izin dokter yang dicabut selamanya. "Paling hanya dicabut sementara dan ada kewajiban mengikuti pendidikan," katanya. Konsil Kedokteran dengan kolegium sang dokter menetapkan lama pendidikan. "Tujuannya meningkatkan mutu dokter itu," ujar bekas Direktur Rumah Sakit Cipto Ma-ngunkusumo, Jakarta, itu.

Sanksi Majelis memang tampak "ringan" bila dibanding akibat yang diderita korban. Tidak mengherankan bila timbul anggapan Majelis cenderung membela rekan seprofesi. "Kalau

Page 6: Mal Praktek

melapor ke MKDKI, sanksinya administratif. Itu menguntungkan para dokter," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Iskandar Sitorus.

Namun Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Zaenal Abidin tidak sepakat. Menurut Zaenal, tak ada dokter yang punya niat jahat mencelakai pasien. Karena itu, dia sepakat kasus-kasus dugaan malpraktek diselesaikan dengan cara mediasi. "Putusan -MKDKI memang untuk kepentingan internal profesi. Kalau proses hukum, baru untuk publik," katanya. "Kalau ada ke-lalaian, ya ganti rugi. Kalau dipaksakan dipidana, tidak banyak ahli hukum, termasuk hakim, yang paham dunia kedokteran."

Malpraktek, kelalaian, atau kece-lakaan medis dalam dunia kedokteran, menurut Zaenal, sulit dibuktikan. Sebab, dalam dunia kedokteran, bukan hasil yang dinilai, melainkan proses atau upaya yang dilakukan dokter. Namun harus diakui-seperti kata mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Kartono Mohamad-posisi pasien ketika berhadapan dengan dokter atau rumah sakit memang lemah, sehingga harus ada orang gigih seperti Budi. "Agar menjadi pelajaran, pasien apa pun tingkat sosialnya harus dila-yani sungguh-sungguh."

Malpraktek, Kelalaian, dan Kecelakaan Medis

Perbedaan malpraktek dengan kelalaian sangat tipis. Beberapa ahli bahkan berpendapat kelalaian adalah malpraktek. Dokter spesialis anestesi lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Anny Isfandyarie, penulis Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, memperjelas perbedaan malpraktek dan kelalaian.

Malpraktek

Perbuatan dokter yang secara sengaja melanggar undang-undang, misalnya pengguguran kandungan, eutanasia (memenuhi permintaan bunuh diri), dan memberikan surat keterangan palsu atau isinya tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dilakukan secara sadar. Pelaku tidak peduli pada akibat walau diketahui tindakannya melanggar undang-undang.

Kelalaian

Perbuatannya tidak sengaja, seperti tertukarnya rekam medis, keliru membedah, dan lupa memberikan informasi kepada pasien. Dari motifnya, dokter tidak menduga timbul akibat tindakannya.

Kecelakaan Medis

Peristiwa tak terduga, tindakan tidak disengaja, dokter sudah sungguh-sungguh bekerja sesuai dengan standar profesi medis dan etika profesi, sudah berhati-hati, dan berkonsultasi dengan dokter ahli lain, jika ditemukan yang bukan keahliannya. Namun terjadi juga akibat seperti lumpuh, cacat, bahkan kematian

Page 7: Mal Praktek

Korban Meninggal Usai Operasi Caesar

indosiar.com, Surabaya - Dugaan kasus malpraktek kembali terjadi, korbannya hampir sama namanya dengan Prita Mulyasari yakni Pramita Wulansari. Wanita ini meninggal dunia tidak lama setelah menjalani operas caesar di Rumah Sakit Surabaya Medical Service. Korban mengalami infeksi pada saluran urin dan kemudian menjalar ke otak. Saat dikonfirmasi, pihak Rumah Sakit Surabaya Medical Service belum memberikan jawaban terkait dugaan malpraktek ini.

Lita, dipanggil pihak Rumah Sakit Medical Service di Jalan Kapuas Surabaya terkait laporannya pada salah satu media tentang anaknya Pramita Wulansari (22), yang meninggal dunia setelah menjalani operasi caesar di Rumah Sakit Medical Service.

Menurut cerita Lita, ibu dari Pramita, sebelumnya Pramita melakukan operasi persalinan disalah satu praktek bidan di Jalan Nginden, Surabaya. Karena kondisinya terus memburuk, Pramita lalu dirujuk ke Rumah Sakit Surabaya Medical Service untuk dilakukan operasi caesar.

Operasi  berjalan mulus yang ditangani oleh dr Antono. Dua minggu kemudian Pramita kembali ke Rumah Sakit Surabaya Medical Service untuk melakukan chek up. Dr Antono menyarankan Pramita dioperasi karena dideteksi saluran kencingnya bocor dan Pramita kembali menjalani operasi.

Pramita juga disarankan meminum jamu asal Cina untuk memulihkan tenaga. Namun kondisinya malah memburuk dan Pramita sempat buang air besar bercampur darah. Melihat kondisi Pramita semakin memburuk, pihak keluarga meminta dirujuk ke Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya. Pramita sempat dua hari dirawat di Rumah Sakit Dr Soetomo namun dinyatakan terlambat, karena infeksi sudah menjalar ke otak dan Pramita akhirnya meninggal dunia.

Anak yang dilahirkan Pramita kini sudah berumur satu bulan dan diberi nama Kevin. Si bayi terpaksa dirawat oleh ayahnya dan kedua mertuanya.

Sementara itu saat dikonfirmasi wartawan, pihak Rumah Sakit Surabaya Medical Service tidak mau memberi komentar mengenai dugaan malpraktek ini. (Didik Wahyudi/Sup)

Page 8: Mal Praktek

5 Kasus Malpraktik dalam Dunia Kedokteran

1. Salah mencangkok jantung dan paru-paru, sehingga meninggalTragis menimpa Jsica Santilln, pasien 17 tahun, imigran Meksiko. Dia meninggal 2 minggu setelah menerima cangkok jantung dan paru-paru dari orang lain dengan golongan darah berbeda. Dokter di Duke University Medical Center gagal memeriksa kompatibilitas sebelum operasi dimulai.

Santilln yang memiliki jenis darah O, telah menerima organ dari tipe donor A. Setelah operasi transplantasi ke dua untuk memperbaiki kesalahan, Jesica malah menderita kerusakan otak dan komplikasi lain hingga meninggal.

Padahal Santilln sudah tiga tahun datang ke Amerika Serikat untuk mencari perawatan jantung dan paru-paru. Transplantasi jantung dan paru-paru oleh Dokter Ahli Bedah Rumah Sakit di Universitas Duke di Durham diharapkan akan memperbaiki kondisi ini, namun bukan kesehatan diraih, tapi kematian.

2. Operasi testis yang salahSeorang Veteran Air Force Benjamin Houghton mengalami gangguan salah satu testisnya. Dia mengeluh sakit dan mengalami penurunan mentalitas dari testis sebelah kiri. Oleh sebab itu dokter memutuskan untuk menjadwalkan operasi, untuk membuang salah satu testisnya karena takut ada kanker.

Namun apa yang terjadi? Ternyata apa yang dibuang oleh dokter keliru. Dia justru membuang testis yang sehat, yakni sebelah kanan. Benjamin Houghton dan Istrinya kemudian mengajukan ganti rugi sebesar U$D 200 ribu karena kesalahan fatal tersebut

3. Pasca operasi logam tertinggal di dalamDonald Church memiliki tumor di perut ketika dia berobat ke dokter ahli bedah di Universitas Washington Medical Center di Seattle pada bulan Juni 2000. Ketika dia kembali, tumor sudah tidak ada namun sebuah logam retractor ketinggalan di dalam perut lelaki 49 tahun itu.

Dokter mengakui kesalahan karena meninggalkan logam retractor sepanjang 13 Inci di dalam perut. Untungnya, dokter mampu mengangkat retractor tersebut. Masalahnya, paska pengangkatan, Donald mengalami kesakitan jangka panjang akibat kesalahan tersebut. Rumah sakit setuju untuk membayar ganti rugi sebesar U$D 97 ribu.

4. Bangun ketika dioperasiSherman Sizemore, pria dari Virginia Barat, Amerika Serikat, ini mengaku terbangun dari pingsan ketika dioperasi di rumah sakit umum Raleigh Beckley. Dia merasakan setiap sayatan dari pisau bedah yang dilakukan tim dokter. Hal itu menyebabkan dia mengalami trauma selama dua minggu kemudian.

5. Bedah jantung yang salahDua bulan setelah dua kali operasi bypass jantung untuk menyelamatkan hidupnya, pelawak dan mantan Pembawa acara Saturday Night Live Cast, Dana Carvey mendapat berita bahwa ahli bedah jantung yang telah mengoperasi salah artery.Butuh waktu lagi untuk mengoperasi, dan memperbaiki kesalahan yang mengancam membunuh pria 45 tahun itu. Dia kemudian menuntut rumah sakit U$D 7,5 juta. Carvey kemudian membawa perkara ke pengadilan.

Dia mengatakan, ahli bedah telah melakukan kesalahan fatal. "Ini seperti mengeluarkan ginjal yang salah. Ada kesalahan yang besar," demikian seperti dikutip People Magazine.