makalah rhinitis_kelompok 1 kelas b
TRANSCRIPT
TUGAS FARMAKOTERAPI GANGGUAN KULIT, TULANG DAN SENDI SERTA
MATA, THT
MAKALAH RHINITIS ALERGI
Nama NPM
1. Ayu April 260110140078
2. Putri Raraswati 260110140079
3. Ummi Habibah 260110140080
4. Ayyu Widyazmara 260110140081
5. Anggia Diani A. 260110140082
6. Siti Nurrohmah 260110140083
7. Ai Siti Rika 260110140084
8. Nisa Maulani N. 260110140085
9. Tiffany S. R. 260110140086
10. Nurmalia Saraswati 260110140087
11. Mila Tri Cahyani 260110140088
12. Siti Rositah 260110140089
13. Adam Renaldi 260110140090
14. Hotma Gurning W. 260110140091
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan baik jasmani dan rohani
sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini kami susun
untuk laporan mata kuliah Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang dan Sendi serta Mata,
THT semester 4 tahun ajaran 2015/2016. Makalah ini dibuat untuk menjelaskan mengenai
penyakit rhinitis alergi serta terapinya.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak kekurangan karena
terbatasnya pengetahuan dan referensi yang kami miliki. Oleh karena itu, kami ucapkan
termakasih kepada Ibu Dr. Eli Halimah, M.S., Apt. selaku dosen pengampu mata kuliah
Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang dan Sendi serta Mata, THT dan juga kepada Ibu
Norisca Aliza Febriana, M.Farm., Apt. selaku dosen tutor saat diskusi sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Kami terbuka dengan lapang dada
menerima kritikan, tanggapan dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jatinangor, 18 Mei 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISIKata Pengantar...........................................................................................................ii
Daftar Isi ...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................2
1.3 Tujuan ...............................................................................................................2
1.4 Manfaat .............................................................................................................2
BAB II ISI .................................................................................................................3
2.1 Anatomi Hidung................................................................................................3
2.2 Patofisiologi Rhinitis Alergi .............................................................................6
2.3 Gejala dan Faktor Resiko .................................................................................8
2.3.1 Gejala Rhinitis .........................................................................................9
2.3.2 Klasifikasi Rhinitis ..................................................................................9
2.4 Biokimia Klinik ..............................................................................................12
2.5 Terapi ..............................................................................................................14
2.4.1 Terapi Farmakologi ...............................................................................14
2.4.2 Terapi Non Farmakologi .......................................................................20
2.4.3 Terapi Herbal .........................................................................................21
2.6 Monitoring ......................................................................................................22
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................26
BAB IV PENUTUP .................................................................................................28
4.1. Simpulan ........................................................................................................28
4.2. Saran ..............................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rinitis adalah inflamasi pada lapisan dalam hidung yang dikarakterisasi dengan
adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersin-bersin, hidung
tersumbat, dan/atau hidung gatal. Rinitis alergi adalah wujud yang paling sering ditemui
dari rinitis non-infeksi dan berkaitan dengan respon imun setelah paparan allergen yang
diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE). Rinitis alergi sering pula memicu simptom
ocular (Ikawati, 2011). Rinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa nasal yang
disebabkan oleh paparan material alergenik yang terhirup yang kemudian memicu
serangkaian respon imunologik spesifik diperantarai IgE (Bousquet et al, 2008).
Prevalensi rinitis alergi terus meningkat sepanjang 50 tahun terakhir. Perkiraan
yang tepat tentang prevalensi rinitis alergi agak sulit yaitu berkisar 4-40%. Penyebab
belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya berkaitan dengan meningkatnya polusi udara,
populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dan lain-lain. Lebih dari
500 juta orang di dunia menderita rinitis alergi, dengan 50% penderitanya adalah remaja.
Usia rata-rata terjadinya rinitis alergi adalah antara usia 8-11 tahun, dan 80% rinitis
alergi berkembang pada usia 20 tahun, namun di Amerika Serikat rinitis alergi biasanya
dimulai pada usia di bawah 20 tahun (Pinto and Jeswani, 2010).
Ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi, yaitu dengan
pemeriksaan fisik, skin test, ataupun RAST (Radio Allergo Sorbent Test). Skin test
ataupun skin prick test merupakan tes obyektif untuk mendeteksi reaksi alergi pasien
terhadap allergen tertentu secara spesifik. Sedangkan RAST yaitu test alergi untuk
mengukur kadar IgE dalam darah, namun kurang banyak dipakai karena lebih mahal dan
kurang sensitif, sehingga hanya digunakan pada kasus-kasus tertentu di mana skin test
1
tidak dapat dilakukan (Bousquet et al, 2008).
Terapi rinitis dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi gejala-gejala yang
mengganggu, meningkatkan performa kerja atau belajar pasien, meningkatkan kualitas
hidup pasien, serta mencegah peningkatan keparahan penyakit. Dampak rinitis alergi
yang paling utama adalah menurunnya kualitas hidup pasien, mulai dari terganggunya
tidur, menurunnya performa saat bekerja, ataupun menurunnya konsentrasi di sekolah
(Bousquet et al, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu penyakit rhinitis alergi?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya penyakit rhinitis alergi?
3. Apa terapi yang sesuai untuk penyakit rhinitis alergi?
4. Bagaimana solusi dari kasus Saudara J?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui penyakit rhinitis alergi.
2. Mengetahui mekanisme terjadinya penyakit rhinitis alergi.
3. Mengetahui terapi yang sesuai untuk penyakit rhinitis alergi.
4. Mengetahui solusi yang tepat bagi kasus Saudara J.
1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui penyakit Rhinitis
2. Dapat mengetahui mekanisme terjadinya rhinitis alergi.
3. Dapat mengetahui pemilihan terapi bagi penyakit rhinitis alergi.
4. Dapat mengetahui dan memahami solusi yang tepat bagi Saudara J.
2
BAB II
ISI
2.1 Anatomi Hidung
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :
Pangkal hidung (bridge)
3
Dorsum nasi
Puncak hidung
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)
(Sloane, 2004).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada
bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
Superior : os frontal, os nasal, os maksila
Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel.
Persarafan :
Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media.
Batas – batas kavum nasi :
4
Posterior :berhubungan dengan nasofaring
Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan
sebagian os vomer
Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya
konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan
dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan
sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan
subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini
disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid,
konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan
di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan
meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior
yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang
terletak submukosa yang berjalan bersama – sama arteri.
Persarafan :
Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi
N. Sfenopalatinus.
(Sloane, 2004).
5
2.2 Patofisiologi Rhinitis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan
selanjutnya (Benjamini et all, 2000).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
6
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin.
Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang
reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung
dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin
merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa
hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
7
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3
atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati dkk, 2008).
2.3 Gejala
8
2.3.1 Gejala Rhinitis Alergi
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soetjipto D dan
Mangunkusomu E, 2001).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang
dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau
cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran
timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda
faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Tanda laryngeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, J. et al.2001).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah
penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip . Beberapa
orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan
sulit tidur (Harmadji, 1993).
2.3.2 Klasifikasi Rhinitis
Rhinitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Rhinitis alergi : disebabkan oleh adanya allergen yang terhirup oleh hidung.
b. Rhinitis non-alergi : disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu. Rhinitis non-
alergi dibagi lagi menjadi tiga, yaitu Rhinitis vasomotor, rhinitis medicamentosa, dan
Rhinitis struktural.
1) Rhinitis vasomotor
Merupakan tipe Rhinitis di mana terjadi reaksi hiperresponsivitas pada saluran
pernapasan bagian atas terhadap faktor pemicu eksternal non-spesifik, seperti
9
perubahan suhu dan kelembaban, asap rokok, atau aroma tajam. Simptom yang
sering muncul pada tipe ini adalah inflamasi nasal (sebagian kecil pasien),
hiperreaktivitasparasimpatik dan/atau glandular.
2) Rhinitis medicamentosa
Rhinitis medicamentosa adalah obstruksi nasal yang terjadi pada pasien yang
menggunakan vasokonstriktor intranasal secara kronis. Belum diketahui dengan
jelas penyebabnya, namun vasodilatasi dan edema intravaskular telah menjadi
implikasi utamanya. Penanganan Rhinitis medicamentosa membutuhkan
penghentian penggunaan nasal dekongestan untuk memulihkan kondisi nasal, lalu
diikuti dengan terapi sesuai dengan simptom yang timbul.
3) Rhinitis stuktural
Rhinitis tipe ini disebabkan oleh adanya kelainan anatomi hidung yang
diakibatkan oleh injury (kecelakaan), congenital (kelainan bawaan), maupun
kelainan tumbuh-kembang. Pasien rhinitis tipe ini dapat mengalami simptom
Rhinitis kapan saja dalam setahun dan biasanya keparahannya lebih tinggi pada
salah satu sisi hidung dibanding sisi lainnya (Northern Nevada Allergy Clinic,
2006).
Rhinitis alergi berdasarkan waktunya digolongkan menjadi tiga, yaitu:
a. Seasonal (hay fever)
Terjadi sebagai respon terhadap allergen spesifik seperti pollen, rerumputan, dan
alang-alang) pada waktu yang dapat terprediksi tiap tahunnya (musim semi dan/atau
gugur) dan umumnya memicu symptom-simptomakut lebih banyak.
b. Perrenial (intermittent or persistent)
Dapat terjadi kapanpun sepanjang tahun, sebagai respon terhadap allergen non-
musiman seperti dust mites, bulu hewan, jamur, dan biasanya menimbulkan simptom
yang lebih kronis.
c. Occupational
Rhinitis alergi yang terjadi sebagai akibat dari paparan allergen di tempat kerja,
misalnya paparan terhadap agen dengan bobot molekul tinggi, agen berbobot molekul
rendah, atau zat-zat iritan, melalui mekanisme imunologi atau patogenik non-
imunologi yang tidak begitu diketahui (Ikawati, 2011).
10
Klasifikasi rhinitis alergi menurut guideline ARIA (2001)
Berdasarkan lamanya terjadi gejala
Klasifikasi Gejala dialami selama
Intermiten Kurang dari 4 hari seminggu, atau kurang
dari 4 minggu
setiap saat kambuh
Persisten Lebih dari 4 hari seminggu, atau lebih dari
4 minggu setiap
saat kambuh
Berdasarkan Keparahan dan kualitas hidup
Ringan Tidak mengganggu tidur, aktivitas harian,
olahraga, sekolah, atau pekerjaan
tidak ada gejala yang mengganggu
ringan
Sedang sampai
berat
Terjadi satu atau lebih kejadian di bawah
ini:
1. Gangguan tidur,
2. Gangguan aktivitas harian,
kesenangan atau olahraga,
3. Gangguan pada sekolah atau
pekerjaan, atau
4. Gejala yang mengganggu
(Bousquet, J. et al.2001).
11
2.4 Biokimia Klinik
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar
hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola
gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor
predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-
bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu
jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono,
Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa
garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung
yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan
rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka
edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau
polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula
ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti
sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
12
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
Eosinofil merupakan leukosit yang memfagosit kompleks antigen antibodi yang
bersifat selektif. Eosinofil memiliki gerakan ameuboid namun sifat fasoistosisnya lebih
lambat. Eosinofil normal: 1 – 4% (40- 400/mm3)
Eosinofilia: >400 /mm3 (Roland, 1996).
c. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET).
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman,
2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge
Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
d. Tes PEF
Perlu dilakukan tes PEF untuk melihat kualitas dari saluran pernafasan utamanya
paru-paru) Karena pasien pernah mengalami asma dan hasil pemerikasaan paru-
parunya tidak normal. PEF (Peak Expiratory Flow) adalah kecepatan ekspirasi
maksimal yang bisa dicapai oleh seseorang. Dinyatakan dalam liter per menit (L/m)
atau liter per detik (L/det). Nilai PEF didapatkan dengan pemeriksaan spirometri atau
13
dengan alat yang lebih sederhana yaitu PEF meter. Pengukuran PEF ditujukan untuk
mengukur secara obyektif arus udara pada saluran napas besar (Blonshine, 2000).
2.5 Terapi
2.4.1 Terapi Farmakologi
Penggolongan Obat Rhinitis Alergi
A. Tujuan Terapi (Dipiro et al, 2006) :
Meminimalisasi atau mencegah gejala dengan tidak ada atau sedikit efek
samping dan biaya pengobatan yang masuk akal
Pasien harus dapat mempertahankan pola hidup normal.
B. Terapi Farmakologi (Dipiro et al, 2006)
Algoritma evaluasi dan pengobatan Rhinitis Alerg
14
1. Antihistamin
Antagonis reseptor histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi
reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin. Antihistamin lebih efektif dalam
mecegah respons histamin daripada melawannya.
Antihistamin oral dapat dibagi menjadi dua kategori utama : nonselektif (generasi
pertama atau antihistamin sedasi) dan selektif perifer (generasi kedua atau
antihistamin nonsedasi). Akan tetapi, masing masing obar harus dipandang dari efek
sedasi spesifiknya karena ada variasi antar obat dalam kategori yang luas ini. Efek
sedatif sentral mungkin tergantung dari kemampuan melewati sawar darah otak.
Kebanyakan antihistamin lama bersifat larut lemak dan melewati sawar darah otak
ini dengan mudah.obat yang selektif ke perifer memiliki sedikit atau tidak sama
sekali efek ke sistem saraf pusat atau otonom.
Perbedaan gejala sebagian disebabkan oleh sifat antikolinergik, yang bertanggung
jawab pada efek pengeringan yang mengurangi hipersekresi kelenjar hidung, saliva,
dan air mata. Antihistamin mengantagonis permeabilitas kapiler, pembentukan
bengkak, dan rasa panas serta gatal.
Mengantuk adalah efek samping yang paling sering dan dapat mengaanggu
kemampuan mengemudi atau aktivitas kerja.
Walaupun efek antikolinergik berperan dalam efikasi,efek samping sererti mulut
kering, kesulitan menggunakan urin, konstipasi dan efek kardiovaskular potensial
dapat terjadi.
Antihistamin lebih efektif jika dimakan 1-2 jam sebelum diperkirakan terjadinya
paparan pada alergen.
15
Dosis Oral antihistamin dan dekongestan yang umum digunakan
(Dipiro et al, 2006).
2. Dekongestan
Dekongestan topikal dan sistemik merupakan zat simpatomimetik yang bekerja
pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung menyebabkan vasokontriksi,
menciutkan mukosa yang membengak, dan memperbaiki ventilasi. Dekongestan
bekerja dengan baik dalam dengan antihistamin jika kongesti hidung menjadi
salah satu gambaran klinik.
Dekongestan topikal dipakai langsng pada mukosa hidung yang membengkak
melalui penetesan atau semprotan. Sediaan ini hanya sedikit atau sama sekali
tidak terabsorpsi secara sistemik.
Penggunaan lama sediaan topikal (lebih dari 3 sampai 5 hari) dapat
mengakibatkan rinitis medicamentosa, yang merupakan vasodilatasi balikan yang
terkait dengan kongesti. Pasien dengan kondisi ini menggunakan semprotan lebih
sering dengan respon yang lebih kecil.penghentian mendadak merupakan cara
penanganan yang efektif, tapi kongesti balikan dapat berlangsung selama
beberapa hari atau minggu. Steroid nasal telah digunakan dengan hasil yang baik,
tapi perlu beberapa hari untuk dapa bekerja. Penghentian dekongestan pada
pasien dapat dicapai dengan pengurangan frekuensi dosis dalam beberapa
minggu. Kombinasi penghentian dengan steroid nasal dapat menolong.
Efek samping lain nasal dekongestan termasuk rasa terbakar, bersin dan
kekeringan mukosa nasal.
16
Produk dekongestan seharusnya hanya digunakan bila betul betul perlu dan
dengan dosis yang sekecil mungkin. Durasi terapi harus dibatasi 3 sampai 5 hari.
Pseudoefedrin merupakan dekongestan oral yang memiliki onset kerja lebih
lambat dibandingkan dengan obat topikal tapi dapat bekerja lebih lama dan
kurang menyebabkan iritasi lokal. Juga, rinitis medicamentosa tidak terjadi
dengan pemberian dekongestan oral.
Penggunaan kombinasi produk oral yang mengandung suatu dekongestan dan
antihistamin adalah rasional karena mekanisme kerjanya berbeda.
(Dipiro et al, 2006).
3. Kotikosteroid Nasal
Dekongestan intranasal secara efektif meredakan bersin, rinorea, ruam dan
kongesti nasal dengan efek samping minimal. Obat ini mengurangi inflamasi
dengan memblok pelepasan mediator, menekan kemotaksis neutrofil, mengurangi
edema intrasel, menyebabkan vasokonstriksi ringan, dan menghambat reaksi fase
lambat yang diperantarai oleh sel mast.
Zat ini merupakan pilihan yang baik untuk rinitis perennial dan juga dapat
digunakan pada rinitis musiman. Terutama jika diberikan sebelum terjadi gejala.
Pihak berwenang merekomendasikan steroid nasal sebagai terapi awal daripada
antihistamin karena tingkat keefektifan ketika digunakan secara benar disertai
penghindaran alergen.
efek samping termasuk bersin, perih pada mukosa hidung, sakit kepala,
epistaxis, dan infeksi Candida albicans (jarang terjadi).
Beberapa pasien pulih dalam beberapa hari, tetapi respon puncak umumnya
tercapai dalam 2- 3 minggu. Dosis kemudian dapat diturunkan jika sudah tercapai
respon yang diinginkan
Hambatan pada rongga hidung harus dihilangkan dengan dekongestan sebelum
pemberian glukokortikoid untuk memastikan penetrasi obat semprot yang
memadai.
Dosis Kortikosteroid Nasal
17
(Dipiro et al, 2006).
4. Kromolyn Natrium
Merupakan penstabil sel mast, tersedia sebagai obat bebas dalam bentuk
semprotan hidung untuk pencegahan gejala dan penanganan terhadap rinitis
alergi.
Zat ini mencegah degranulasi sel mast yang dipicu oleh antigen dan pelepasan
mediator termasuk histamin.
Efek samping yang paling umum terjadi adalah iritasi lokal ( bersin dan hidung
perih).
Dosis pakai (umur ≥ 2 tahun) adalah suatu semprotan pada tiap nostril 3-4 kali
sehari dengan inetrval normal. Rongga hidung harus dibersihkan sebelum
18
pemberian, dan bernafas melalui hidung selama pemberian meningkatkan
distribusi ke seluruh bagian hidung.
Untuk rinitis musiman, penangan dilakukan sebelum musim alergi mulai dan
dilanutkan selama musim berlangsung.
Dalam rinitis perennial, efek dapat tidak terlihat selama 2 hingga 4 minggu, pada
fase inisiasi terapi antihistamin atau dekongestan mungkin diperlukan.
(Dipiro et al, 2006).
5. Ipratropium Bromida
Obat semprot hidung ipratropium merupakan agen antikolinergik berbentuk
semprotan hidung bermanfaat pada rinitis alergi yang persisten atau perenial
Zat ini memiliki sifat antisekretori jika digunakan secara lokal dan bermanfaat
untuk mengurangi hidung berair yang terjadi pada rinitis alergi dan bentuk lain
rinitis kronis.
Tersedia dalam bentuk larutan dengan kadar 0,03%, diberikan dalam 2 semprotan
(42 mg) 2-3 kali sehari.
Efek sampingnya ringan, meliputi sakit kepala, epistaxis, dan hidung terasa
kering.
(Dipiro et al, 2006).
6. Montelukast
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien untuk penanganan rinitis alergi
musiman.
Efektif ketika diberikan tunggal atau dalam kombinasi dengan antihistamin.
Dosis : dewasa dan remaja berumur lebih dari 15 tahun : 10 mg/tablet per hari.
Anak anak (6-14 tahun) : satu tablet kunyah 5 mg perhari. Anak anak berusia 2-5
tahun dapat diberikan satu tablet kunyak 4 mg atau satu bungkus serbuk per hari.
Waktu pemberian tergantung pada individu.
Obat ini harus diberikan pada sore hari jika pasien menderita kombinasi asma dan
rinitis alergik musiman.
Alternative terapi baru, namun tidak lebih efektif dibandingkan antihistamin
selektif perifer dan lebih kurang efektif daripada kortikosteroid intranasal.
(Dipiro et al, 2006)
2.4.2 Terapi Non Farmakologi
19
Satu-satunya terapi tanpa obat untuk alergi adalah menghindari pencetus
alergi. Penderita dan keluarganya diberikan pendidikan untuk mampu mengenali
pemicu alergi karena sifatnya sangat individual dan alergi sangat sulit disembuhkan,
hanya mampu dijaga agar tidak muncul. Pengenalan pemicu ini sangat penting
dalam penanganan reaksi anafilaksis khususnya karena dengan menghindari
pemicu, kematian dapat terhindarkan.
Modifikasi gaya hidup dengan cara menghindari pencetus alergi (allergen):
1. Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus (debu, serbuk sari, bulu binatang, dll)
Tungau debu adalah penyebab paling umum diseluruh dunia. Alergi tungau
lebih sering terjadi di kota dan Negara berkembang. Hal ini terjadi karena rumah
modern dan penggunaan teknik insulasi memuningkankan tungau hidup lebih baik
(Ramaniah, 2005).
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung
dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein
yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut
memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara
sehingga menyebabkan serangan alergi, terutama dari burung dan hewan menyusui
karena bulu akan rontok dan terbang mengikuti udara (Sundaru, 2006).
Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus,
bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion
products (CO1, NO2, SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur.
Sumber polutan VOC berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik,
Hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan
aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber formaldehid
dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur, karpet (Ramaiah, 2006).
2. Rencanakan untuk berolahraga
3. Minumlah teh hijau
Mengatasi penyakit alergi tanpa menggunakan obat atau terapi non
farmakologis dapat Anda lakukan dengan cara mengkonsumsi teh hijau secara rutin.
Menurut penelitian antioksidan yang terdapat pada teh hijau mampu mengurangi
respon terhadap alergen seperti alergi pada bulu, makanan, debu dan masih banyak
lagi. Dengan melakukan terapi non farmakologi penyakit alergi menggunakan teh
hijau secara rutin minimal 2x sehari maka penyakit alergi yang Anda derita akan
hilang (Ramaiah, 2006).
20
2.4.3 Terapi Herbal
1. Butterbur (Petasites)
Petasites hybridus berbentuk semak perennial (tahunan) dari Eropa. Akar dan
daunnya digunakan sebagai obat yang mengandung sesquiterpen (petasindan dan
isopetasin), minyak atsiri dan alkaloid pyrrolizidine. Mekanisme aksi: senyawa aktif
utama adalah petasin dan isopetasin. Petasin bertanggung jawab atas sifat
antisppasmodik/vasoaktif tanaman dengan mengurangi kejang pada otot polos
pembuluh darah dan dinding, disamping memberikan efek antiinflamasi dengan
menghambat sintesis leukotriene (penghambat enzim lipooksigenase). Dosis harian
maksimum pyrrolizidine adalah 0,1 g (Supriyatna et al, 2013).
2. Niaouli
Daun Melaleuca viridiflora Solander menghasilkan minyak atsiri yang bernama
Niaouli. Tanaman ini merupakan pohon kecil asli kepulauan Maluku, tapi tersebar di
Australia, Asia Selatan, Kaledonia Baru dan Madagaskar. Minyak tersebut
mengandung cineole (eucalyptol) 50-69% sebagai senyawa utama yang paling umum
21
dan terpenol (15%), senyawa lain yaitu nerolidol dan linalool. Niaouli digunakan
untuk pengobatan infeksi rhinitis alergi dan bronkial. Dosis: Minyak Niaouli 2-3 tetes
tiga kali sehari merupakan campuran yang digunakan hanya untuk inhalasi
(Supriyatna et al, 2013).
2.6 Monitoring
Evaluasi terhadap terapi yang diberikan pada pasien alergi rhinitis antara lain:
a. Memonitor pasien secara tetap perihal penurunan keparahan gejala dan ada atau
tidaknya efek samping
b. Menanyakan pada pasien terkait kepuasan pada manjemen alergi rhinitis. Hasil dari
manajemen harus meminimalkan gangguan pada gaya hidup normal.
c. The Medical Outcomes Study 36-Item Short Form Health Survey and the
Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire mengukur penurunan gejala dan
parameter seperti kualitas tidur, gejala noralergi, emosi, dan partisipasi dalam
berbagai aktivitas.
d. Menilai kepatuhan pasien.
(Dipiro, 2009).
Monitoring hasil terapi dan efek merugikan pada rhinitis alergi
a. Periwayatan gejala pada hidung
Suatu percobaan klinis pada rhinitis alergi melibatkan perekaman gejala nasal setiap
hari melalui buku harian dengan perekaman terpisah antara hidung gatal, bersin,
kotoran hidung, dan osbtruksi nasal. Secara klasik, skala di mulai dari 0 sampai 3
dengan definisi kriteria, 0 = tanpa gejala, 1 = gejala ringan (gejala Nampak nmaun
tidak mneyusahkan), 2 = gejala sedang (gejala menyusahkan tetapi tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari), 3 = gejala berat (gejala menyusahkan dengan
gangguan pada aktivitas sehari-hari atau gangguan tidur).
b. Evaluasi Quality of Life (QOL) pada Rhinitis Alergi
Health-related Quality of Life (HRQOL) menurut Schipper dan Powell adalah
suatu efek fungsional penyakit dan konsekuensi terapi pada pasien, sesuai dengan
persepsi pasien.
Pengukuran HRQL pada Rhinitis
Kuisioner Umum
22
Kuisioner umum dirancang untuk dapat diterapkan pada pasien dengan
berbagai kondisi medis. Instrument yang paling banyak digunakan adalah Medical
Outcomes Survey Short Form 36 (SF-36). SF-36 memiliki 3 domain yang dapat
dikombinasikan ke dalam 2 fungsi primer, memntal dan fisik.
Kuisioner Spesifik
Rhinoconjuctivitis Quality of Life Questionnaire (RQLQ) dirancang secara
spesifik untuk mengevaluasi HRQL pada dewasa dengan rhinoconjunctivitis.
Dengan menanyakan pada pasien untuk identifikasi nhal yang paling
menyebabkan masalah. RQLQ 28 item terdiri dari 7 domain: tidur (3 item), non
nasal/eye(7 item), gejala mata (7 item) dan aktivitas yang terhambat karena
hidung dan mata (3 item), dan fungsi emosiona;l (4 item). Rentang nilai berkisar
pada 09 sampai 6 (di mana 0 = tidak terganggu dan 6 = terganggu secara ektrim),.
c. Penilaian Fungsi Olfaktori
Meskipun pada buku harian direkam gejla yang terjadi pada hidung, penurunan
fungsi penciuman jarang dievaluasi. Mengapa harus dievaluasi? Pengujian fungsi
penciuman penting untuk:
- Menentukan validitas complain pasien
- Mencirikan masalah
- Fungsi perubahan pada monitoring yang dapat dipercaya
- Deteksi pura-pura sakit
Pemeriksaan fungsi penciuman dapat dilakukan dengan miminta pasien untuk
mengidentifikasi beberapa odoran kuat (spt. Kopi, tembakau) ditempatkan di
bawah hidung.
d. Monitoring Efek Merugikan pada Terapi Spesifik Rhinitis
Monitoring ini dilakukan dengan melakukan perekaman laporan pasien selama
periode trial.
(Dipiro, 2009).
- Antihistamin H1
Efek samping Antihistamin
Efek merugikan antihistamin generasi pertama
23
Meskipun dalam dosis yang kecil , anthistamin generasi pertama memiliki efek
sedasi. Obat ini diketahui dapat menempati 70% sampai 100% reseptor histamine
pada frontal, temporal, dan anterior cingulated cortices, diukur dengan nuklida
radioisotope H-1 Anihistaminm PET, dan MRI.
Pengukuran efek antihistamin H1 pada SSP
Mekasnisme : mempengaruhi neurotransmitter histamine di SSP
Subjektif : gejala somolens, sedasi, atau sakit atau letih. Dinilai menggunakan
skor , skala visual analog, atau kuisioner standar.
Tujuan pengujian: penampilan psikomotor, elektroensefalogram.
Parameter : bergantung pada pengujian, biasanya 25% > placebo
Hubungan dosis/waktu uji : post-dose paling kuat 2 – 4 jam dari konsentrasi
puncak antihistamin plasma.
Efek antihistamin ke jantung
Mekanisme : memblokade kanal ion, khususnya kanal IKr di mikokardium
ventricular.
Subjektif : gejala pingsan, hilangnya kesadaran, palpitasi
Tes obyektif : lektrokardiogram (perubahan signifikan dalam interval QTc adalah
nilai> 440 ms (laki-laki) dan> 460 ms (perempuan); interval QTc dari> 500 ms
menunjukkan kemungkinan kuat dari efek obat, peningkatan QTc dari 635 ms saat
menerima antihistamin H1 kemungkinan untuk mewakili efek obat (95% CI).
(Juniper, 2005).
Efek Inhalasi Kortikosteroid
INSs and the hypothalamic-pituitary-adrenal axis
24
Kehadiran setiap glukokortikoid eksogen dalam aliran darah akan mengurangi
kebutuhan untuk produksi kortisol endogen. Akibatnya, pengukuran basal
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) aktivitas, seperti area di bawah konsentrasi
kurva kortisol dan urin ekskresi kortisol bebas, memberikan indikasi yang paling
sensitif dari bioavailabilitas sistemik INS, dan langkah-langkah laboratorium ini
fungsi aksis HPA sering digunakan untuk membandingkan efek sistemik dari INS.
(Juniper, 2005).
INSs and childhood growth
Kortikosteroid berpotensi menghambat pertumbuhan linear, mengerahkan efek
penekanan pada hampir setiap tingkat menumpulkan pertumbuhan axis.185 anak
pertumbuhan berdenyut pelepasan hormon, downregulation ekspresi reseptor
hormon pertumbuhan, penghambatan insulin like growth factor 1 bioaktivitas, dan
penindasan kolagen sintesis dan produksi androgen adrenal semua mekanisme
yang dikenal dengan mana kortikosteroid dapat menghambat pertumbuhan
(Juniper, 2005).
INSs and effect on bone metabolism and risk for osteoporosis
kelebihan kortikosteroid mempengaruhi metabolisme tulang normal dalam
beberapa cara: homeostasis kalsium terganggu oleh perubahan langsung dari
osteoblastik dan aktivitas osteoklastik yang mengarah ke peningkatan pembubaran
tulang (Juniper, 2005).
25
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang mahasiswa bernama sdr. J, berusia 20 tahun datang ke apotek untuk membeli
obat karena hidungnya berair/meler-meler. Delapan minggu terakhir dia merasa kepalanya
berat dan dia mengobatinya dengan semprot hidung Vicks Sinex dan tablet Sudafed. Dia
merasa hidungnya meler dan bersin terus serta matanya berair, dia merasa khawatir karena
sebentar lagi menghadapi ujian. Riwayat medis sebelumnya yaitu porphyria dan asma semasa
kecil. Riwayat penggunaan obat masa lalunya yaitu salbutamol inhaler dan beclometason
inhaler untuk mengatasi asma semasa kecilnya. Empat minggu kemudian sdr. J kembali ke
apotek bahwa matanya masih berair dan sekarang terasa gatal serta ia sekarang tidak bisa
memakai lensa kontak. Meskipun bersinnya telah membaik ia masih merasa tenggorokan
gatal dan sesekali batuk.
Berdasarkan kasus di atas Sodara J termasuk pada golongan rhinitis persisten, karena
lebih dari 4 minggu. Farmakoterapi yang kita laksanakan meliputi obat yang tidak lagi
diberikan kepada pasien:
1. Vicks Sinex
Vicks Sinex tidak diberikan lagi karena mempunyai efek samping rinitis medika.
Rinitis medika adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons normal
vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal
(obat tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Sehingga bila Vick sinex
masih diberikan akan memperburuk keadaan pasien yaitu pasien akan kesulitan
bernafas karena terganggunya fungsi hidung.
2. Sudafed
Sudafed sebagai antihistamin tidak lagi dipertahankan, karena zat aktif dari tablet
Sudafed adalah pseudoefedrin Hcl, karena Pseudoefedrin HCl merupakan golongan
obat adrenergic yang dapat memberikan efek samping berupa bronkokontriksi
(penyempitan paru-paru) dan terjadi penyempitan pupil mata, sehingga bila dilihat
dari gejala pasien tablet Sudafed ini harus dihentikan pemakaiannya, karena pasien
ini memiliki riwayat asma dan gangguan pada matanya.
26
Obat yang diberikan kepada pasien :
1. Antihistamin
Antihistamin yang digunakan adalah cetirizine. Cetirizine adalah obat antialergi
generasi terbaru dengan bahan aktif Cetirizine Dihidroklorida terbukti lebih
nyaman dan menguntungkan dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama
seperti CTM karena tak menimbulkan efek mengantuk sehingga tidak
mengganggu aktivitas pasien. Cetirizine merupakan antihistamin potensial
yang menjadi pilihan pertama untuk pengobatan alergi khususnya alergi
rinitis. Cetirizine di HCL mampu menurunkan gejala mayor rinitis alergi seperti
hidung berair, bersin, hidung gatal, dan mata berair.
2. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal merupakan golongan obat yang ampuh sebagai agen
anti-inflamasi terbukti menurunkan gejala rhinitis alergi pada lebih dari 90% dari
pasien. Kortikosteroid intranasal yang digunakan adalah Beklometason.
Beklometason dapat menurunkan jumlah dan aktivitas sel-sel inflamasi, yang
mengakibatkan peradangan hidung menurun. Mekanisme kerja dari beclometason
inhaler adalah dengan cara inhibisi pembentukan sitokin seperti IL1, TNFα, GM-
CSF, IL-3, IL- 4, IL-5, IL-6, dan IL-8. Disisi lain steroid juga meningkatkan
pembentukan reseptor β2 sehingga mampu mencegah reaksi takifilaksis akibat
pemakaian obat β2 agonis jangka panjang. Steroid juga mempercepat regenerasi
sel epitel, dan jangka panjang juga mengurangi jumlah sel mas. Dosis inhalasi
yang digunakan pada pasien J adalah 150-500ug/ hari diberikan 2 – 4 kali/ hari.
27
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Penyakit Rhinitis adalah Rinitis adalah inflamasi pada lapisan dalam hidung yang
dikarakterisasi dengan adanya gejala-gejala tertentu. Dari kasus, telah dijelaskan
oleh bahwa bahwa seorang pasien mahasiswa yaitu saudara J. yang berusia 20 tahun
didiagnosis menderita rhinitis alergi. Sehingga dari hasil diagnosis diatas dapat
diajukan terapi obat untuk untuk saudara J. berupa cetirizine. Cetirizine adalah obat
antialergi generasi terbaru dengan bahan aktif Cetirizine Dihidroklorida terbukti
lebih nyaman dan menguntungkan dibandingkan dengan antihistamin generasi
pertama, Selain itu obat lain yang digunakan adalah Kortikosteroid intranasal yaitu
Beklometason. Beklometason dapat menurunkan jumlah dan aktivitas sel-sel
inflamasi, yang mengakibatkan peradangan hidung menurun. Pharmaceutical Care
yang diberikan kepada pasien adalah mengenai proses penyakit, gejala-gejala,
pemilihan terapi, serta informasi lengkap mengenai terapi yang dipakai. Informasi
mengenai obat yang dipakai mencakup dosis, indikasi, kontraindikasi, efek samping,
mekanisme obat, serta cara pemakaian dan penyimpanan obat tersebut.
4.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih mendalam dan lebih mencari tinjauan pustaka yang lebih bervariasi untuk
menjelaskan dan memecahkan kasus yang diberikan, serta dapat memilihkan terapi
yang lebih tepat pada kasus selanjutnya.
28
DAFTAR PUSTAKA
Benjamini E., Coico R., Sunshine G. 2000. Immunology: A Short Course. 4th ed. John Wiley
& sons. Available from: http:// www.wiley.com. [Accessed 01 March 2010].
Blonshine, 2000. Spirometry : Asthma and COPD Guidelines Creating Opportunies for RT’s.
AARC Times : 43 – 7.
Bousquet, J. et al., 2008. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008 Update
(In collaboration with the WHO). In : Journal allergy 63. (Suppl 86 ) : 8 – 160
Bousquet, J. et al.2001. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2001 Update (In
collaboration with the WHO). In : Journal allergy : Vol 108 No.5. Nov 2001.
Dipiro, J. T.. 2014. 9th Edition Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. New York :
Mc Graw-Hill.
Dipiro, Joseph T.et al. 2006. Pharmacotheraphy A Phatophysiologic Approach Sixth Edition.
New York : Mc Graw Hill Companies, Inc.
Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam: Kumpulan Makalah
Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT. Bukit Tinggi.
Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta: Bursa Ilmu.
Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan
Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical Immunology”, Divisi
Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta:55-65.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,.
Irawati N., Kasakayan., Rusmono. 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi,
Dalam : Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy and Clinical
Immunology”. Jakarta : Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, 55-65.
Juniper, Elizabeth. F. (2005). “Clinical Outcomes and Adverse Effect Monitoring in Allergic
Rhinitis”. Journal Allergy Clinical Immunology. 115 (3).
Northern Nevada Allergy Clinic. 2006. Rhinitis. Tersedia online di
http://www.nevallergy.com/pdf/RHINITIS.pdf [Diakses tanggal 13 Mei 2016].
Pinto, J. M. and Jeswani, S. 2010. Rhinitis in the Geriatric Population, AACI, 6:10-21.
Ramaiah, Savitri. 2003. Kecemasan, Bagaimana Mengatasi Penyebabnya. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia.
Roland Lesson. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta: Penerbit EGC.
29
Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: EGC.
Soetjipto D dan Mangunkusomu E, 2001. Penanggulan Sumbatan Laring. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi kelima. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI.
Sumarman, Iwin. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis Alergi,
Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17.
Sundaru, Heru, Sukamto. 2006. Asma Bronkial dalam Sudoyo, Aru W, B. Setiyohadi, I.
Alwi, M. Simadhibrata, S. Setiati, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Supriyatna et al. 2013. Fitoterapi Sistem Organ Pandangan Dunia Barat Terhadap Obat
Herbal Global. Bandung: Unpad Press.
30