makalah rhinitis_kelompok 1 kelas b

50
TUGAS FARMAKOTERAPI GANGGUAN KULIT, TULANG DAN SENDI SERTA MATA, THT MAKALAH RHINITIS ALERGI Nama NPM 1. Ayu April 260110140078 2. Putri Raraswati 260110140079 3. Ummi Habibah 260110140080 4. Ayyu Widyazmara 260110140081 5. Anggia Diani A. 260110140082 6. Siti Nurrohmah 260110140083 7. Ai Siti Rika 260110140084 8. Nisa Maulani N. 260110140085 9. Tiffany S. R. 260110140086 10. Nurmalia Saraswati 260110140087 11. Mila Tri Cahyani 260110140088 12. Siti Rositah 260110140089 13. Adam Renaldi 260110140090 14. Hotma Gurning W. 260110140091 i

Upload: ayu-apriliani

Post on 09-Jul-2016

59 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

TUGAS FARMAKOTERAPI GANGGUAN KULIT, TULANG DAN SENDI SERTA

MATA, THT

MAKALAH RHINITIS ALERGI

Nama NPM

1. Ayu April 260110140078

2. Putri Raraswati 260110140079

3. Ummi Habibah 260110140080

4. Ayyu Widyazmara 260110140081

5. Anggia Diani A. 260110140082

6. Siti Nurrohmah 260110140083

7. Ai Siti Rika 260110140084

8. Nisa Maulani N. 260110140085

9. Tiffany S. R. 260110140086

10. Nurmalia Saraswati 260110140087

11. Mila Tri Cahyani 260110140088

12. Siti Rositah 260110140089

13. Adam Renaldi 260110140090

14. Hotma Gurning W. 260110140091

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2016

i

Page 2: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan baik jasmani dan rohani

sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini kami susun

untuk laporan mata kuliah Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang dan Sendi serta Mata,

THT semester 4 tahun ajaran 2015/2016. Makalah ini dibuat untuk menjelaskan mengenai

penyakit rhinitis alergi serta terapinya.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak kekurangan karena

terbatasnya pengetahuan dan referensi yang kami miliki. Oleh karena itu, kami ucapkan

termakasih kepada Ibu Dr. Eli Halimah, M.S., Apt. selaku dosen pengampu mata kuliah

Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang dan Sendi serta Mata, THT dan juga kepada Ibu

Norisca Aliza Febriana, M.Farm., Apt. selaku dosen tutor saat diskusi sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Kami terbuka dengan lapang dada

menerima kritikan, tanggapan dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dan semoga

makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jatinangor, 18 Mei 2016

Penulis

ii

Page 3: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

DAFTAR ISIKata Pengantar...........................................................................................................ii

Daftar Isi ...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................2

1.3 Tujuan ...............................................................................................................2

1.4 Manfaat .............................................................................................................2

BAB II ISI .................................................................................................................3

2.1 Anatomi Hidung................................................................................................3

2.2 Patofisiologi Rhinitis Alergi .............................................................................6

2.3 Gejala dan Faktor Resiko .................................................................................8

2.3.1 Gejala Rhinitis .........................................................................................9

2.3.2 Klasifikasi Rhinitis ..................................................................................9

2.4 Biokimia Klinik ..............................................................................................12

2.5 Terapi ..............................................................................................................14

2.4.1 Terapi Farmakologi ...............................................................................14

2.4.2 Terapi Non Farmakologi .......................................................................20

2.4.3 Terapi Herbal .........................................................................................21

2.6 Monitoring ......................................................................................................22

BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................26

BAB IV PENUTUP .................................................................................................28

4.1. Simpulan ........................................................................................................28

4.2. Saran ..............................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................29

iii

Page 4: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinitis adalah inflamasi pada lapisan dalam hidung yang dikarakterisasi dengan

adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersin-bersin, hidung

tersumbat, dan/atau hidung gatal. Rinitis alergi adalah wujud yang paling sering ditemui

dari rinitis non-infeksi dan berkaitan dengan respon imun setelah paparan allergen yang

diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE). Rinitis alergi sering pula memicu simptom

ocular (Ikawati, 2011). Rinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa nasal yang

disebabkan oleh paparan material alergenik yang terhirup yang kemudian memicu

serangkaian respon imunologik spesifik diperantarai IgE (Bousquet et al, 2008).

Prevalensi rinitis alergi terus meningkat sepanjang 50 tahun terakhir. Perkiraan

yang tepat tentang prevalensi rinitis alergi agak sulit yaitu berkisar 4-40%. Penyebab

belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya berkaitan dengan meningkatnya polusi udara,

populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dan lain-lain. Lebih dari

500 juta orang di dunia menderita rinitis alergi, dengan 50% penderitanya adalah remaja.

Usia rata-rata terjadinya rinitis alergi adalah antara usia 8-11 tahun, dan 80% rinitis

alergi berkembang pada usia 20 tahun, namun di Amerika Serikat rinitis alergi biasanya

dimulai pada usia di bawah 20 tahun (Pinto and Jeswani, 2010).

Ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi, yaitu dengan

pemeriksaan fisik, skin test, ataupun RAST (Radio Allergo Sorbent Test). Skin test

ataupun skin prick test merupakan tes obyektif untuk mendeteksi reaksi alergi pasien

terhadap allergen tertentu secara spesifik. Sedangkan RAST yaitu test alergi untuk

mengukur kadar IgE dalam darah, namun kurang banyak dipakai karena lebih mahal dan

kurang sensitif, sehingga hanya digunakan pada kasus-kasus tertentu di mana skin test

1

Page 5: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

tidak dapat dilakukan (Bousquet et al, 2008).

Terapi rinitis dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi gejala-gejala yang

mengganggu, meningkatkan performa kerja atau belajar pasien, meningkatkan kualitas

hidup pasien, serta mencegah peningkatan keparahan penyakit. Dampak rinitis alergi

yang paling utama adalah menurunnya kualitas hidup pasien, mulai dari terganggunya

tidur, menurunnya performa saat bekerja, ataupun menurunnya konsentrasi di sekolah

(Bousquet et al, 2008).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu penyakit rhinitis alergi?

2. Bagaimana mekanisme terjadinya penyakit rhinitis alergi?

3. Apa terapi yang sesuai untuk penyakit rhinitis alergi?

4. Bagaimana solusi dari kasus Saudara J?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui penyakit rhinitis alergi.

2. Mengetahui mekanisme terjadinya penyakit rhinitis alergi.

3. Mengetahui terapi yang sesuai untuk penyakit rhinitis alergi.

4. Mengetahui solusi yang tepat bagi kasus Saudara J.

1.4 Manfaat

1. Dapat mengetahui penyakit Rhinitis

2. Dapat mengetahui mekanisme terjadinya rhinitis alergi.

3. Dapat mengetahui pemilihan terapi bagi penyakit rhinitis alergi.

4. Dapat mengetahui dan memahami solusi yang tepat bagi Saudara J.

2

Page 6: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

BAB II

ISI

2.1 Anatomi Hidung

Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :

Pangkal hidung (bridge)

3

Page 7: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Dorsum nasi

Puncak hidung

Ala nasi

Kolumela

Lubang hidung (nares anterior)

(Sloane, 2004).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.

Nasalis pars allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan

menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),

antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada

bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :

Superior : os frontal, os nasal, os maksila

Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan

kartilago alaris minor

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi

fleksibel.

Persarafan :

Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)

Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

Kavum Nasi

Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan

yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini

berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa

kranial media.

Batas – batas kavum nasi :

4

Page 8: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Posterior :berhubungan dengan nasofaring

Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan

sebagian os vomer

Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya

konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan

dengan kavum oris oleh palatum durum.

Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan

sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan

subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini

disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.

Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid,

konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang

etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan

di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang

berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan

meatus nasi suprema terletak di bagian ini.

Perdarahan :

Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah

A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior

yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang

terletak submukosa yang berjalan bersama – sama arteri.

Persarafan :

Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.

Etmoidalis anterior

Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum

masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi

N. Sfenopalatinus.

(Sloane, 2004).

5

Page 9: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

2.2 Patofisiologi Rhinitis

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase

allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam

dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat

berlangsung 24-48 jam.

Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan

selanjutnya (Benjamini et all, 2000).

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,

antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul

HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility

6

Page 10: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel

penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0

untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin

seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di

permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan

memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan

dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)

sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan

sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar

alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya

mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin.

Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin

D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet

Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF

(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang

disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang

reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung

dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet

mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin

merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa

hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam

setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel

inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung

serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony

Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala

hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator

inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic

Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik

7

Page 11: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca

dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan

pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang

interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil

pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat

pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi

serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama

kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan

hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya

antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non

spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah

sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil

dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada

defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat

bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau

reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3

atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed

hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di

bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati dkk, 2008).

2.3 Gejala

8

Page 12: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

2.3.1 Gejala Rhinitis Alergi

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.

Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila

terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme

fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin

dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat

dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soetjipto D dan

Mangunkusomu E, 2001).

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung

tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air

mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,

faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam

melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas

menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang

dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau

cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar

hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran

timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda

faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.

Tanda laryngeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, J. et al.2001).

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah

penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip . Beberapa

orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan

sulit tidur (Harmadji, 1993).

2.3.2 Klasifikasi Rhinitis

Rhinitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Rhinitis alergi : disebabkan oleh adanya allergen yang terhirup oleh hidung.

b. Rhinitis non-alergi : disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu. Rhinitis non-

alergi dibagi lagi menjadi tiga, yaitu Rhinitis vasomotor, rhinitis medicamentosa, dan

Rhinitis struktural.

1) Rhinitis vasomotor

Merupakan tipe Rhinitis di mana terjadi reaksi hiperresponsivitas pada saluran

pernapasan bagian atas terhadap faktor pemicu eksternal non-spesifik, seperti

9

Page 13: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

perubahan suhu dan kelembaban, asap rokok, atau aroma tajam. Simptom yang

sering muncul pada tipe ini adalah inflamasi nasal (sebagian kecil pasien),

hiperreaktivitasparasimpatik dan/atau glandular.

2) Rhinitis medicamentosa

Rhinitis medicamentosa adalah obstruksi nasal yang terjadi pada pasien yang

menggunakan vasokonstriktor intranasal secara kronis. Belum diketahui dengan

jelas penyebabnya, namun vasodilatasi dan edema intravaskular telah menjadi

implikasi utamanya. Penanganan Rhinitis medicamentosa membutuhkan

penghentian penggunaan nasal dekongestan untuk memulihkan kondisi nasal, lalu

diikuti dengan terapi sesuai dengan simptom yang timbul.

3) Rhinitis stuktural

Rhinitis tipe ini disebabkan oleh adanya kelainan anatomi hidung yang

diakibatkan oleh injury (kecelakaan), congenital (kelainan bawaan), maupun

kelainan tumbuh-kembang. Pasien rhinitis tipe ini dapat mengalami simptom

Rhinitis kapan saja dalam setahun dan biasanya keparahannya lebih tinggi pada

salah satu sisi hidung dibanding sisi lainnya (Northern Nevada Allergy Clinic,

2006).

Rhinitis alergi berdasarkan waktunya digolongkan menjadi tiga, yaitu:

a. Seasonal (hay fever)

Terjadi sebagai respon terhadap allergen spesifik seperti pollen, rerumputan, dan

alang-alang) pada waktu yang dapat terprediksi tiap tahunnya (musim semi dan/atau

gugur) dan umumnya memicu symptom-simptomakut lebih banyak.

b. Perrenial (intermittent or persistent)

Dapat terjadi kapanpun sepanjang tahun, sebagai respon terhadap allergen non-

musiman seperti dust mites, bulu hewan, jamur, dan biasanya menimbulkan simptom

yang lebih kronis.

c. Occupational

Rhinitis alergi yang terjadi sebagai akibat dari paparan allergen di tempat kerja,

misalnya paparan terhadap agen dengan bobot molekul tinggi, agen berbobot molekul

rendah, atau zat-zat iritan, melalui mekanisme imunologi atau patogenik non-

imunologi yang tidak begitu diketahui (Ikawati, 2011).

10

Page 14: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Klasifikasi rhinitis alergi menurut guideline ARIA (2001)

Berdasarkan lamanya terjadi gejala

Klasifikasi Gejala dialami selama

Intermiten Kurang dari 4 hari seminggu, atau kurang

dari 4 minggu

setiap saat kambuh

Persisten Lebih dari 4 hari seminggu, atau lebih dari

4 minggu setiap

saat kambuh

Berdasarkan Keparahan dan kualitas hidup

Ringan Tidak mengganggu tidur, aktivitas harian,

olahraga, sekolah, atau pekerjaan

tidak ada gejala yang mengganggu

ringan

Sedang sampai

berat

Terjadi satu atau lebih kejadian di bawah

ini:

1. Gangguan tidur,

2. Gangguan aktivitas harian,

kesenangan atau olahraga,

3. Gangguan pada sekolah atau

pekerjaan, atau

4. Gejala yang mengganggu

(Bousquet, J. et al.2001).

11

Page 15: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

2.4 Biokimia Klinik

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis

alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar

hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang

kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang

keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang

diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola

gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor

predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis

alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi

dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-

bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu

jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono,

Kasakayan, 1990).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu

bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi

hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa

garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung

yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan

rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka

edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau

polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula

ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti

sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan

nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,

12

Page 16: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih

bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme

Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak

dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.

Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi

inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika

ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).

Eosinofil merupakan leukosit yang memfagosit kompleks antigen antibodi yang

bersifat selektif. Eosinofil memiliki gerakan ameuboid namun sifat fasoistosisnya lebih

lambat. Eosinofil normal: 1 – 4% (40- 400/mm3)

Eosinofilia: >400 /mm3 (Roland, 1996).

c. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET).

SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai

konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab

juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman,

2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.

Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge

Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.

Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien

setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,

jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala

menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).

d. Tes PEF

Perlu dilakukan tes PEF untuk melihat kualitas dari saluran pernafasan utamanya

paru-paru) Karena pasien pernah mengalami asma dan hasil pemerikasaan paru-

parunya tidak normal. PEF (Peak Expiratory Flow) adalah kecepatan ekspirasi

maksimal yang bisa dicapai oleh seseorang. Dinyatakan dalam liter per menit (L/m)

atau liter per detik (L/det). Nilai PEF didapatkan dengan pemeriksaan spirometri atau

13

Page 17: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

dengan alat yang lebih sederhana yaitu PEF meter. Pengukuran PEF ditujukan untuk

mengukur secara obyektif arus udara pada saluran napas besar (Blonshine, 2000).

2.5 Terapi

2.4.1 Terapi Farmakologi

Penggolongan Obat Rhinitis Alergi

A. Tujuan Terapi (Dipiro et al, 2006) :

Meminimalisasi atau mencegah gejala dengan tidak ada atau sedikit efek

samping dan biaya pengobatan yang masuk akal

Pasien harus dapat mempertahankan pola hidup normal.

B. Terapi Farmakologi (Dipiro et al, 2006)

Algoritma evaluasi dan pengobatan Rhinitis Alerg

14

Page 18: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

1. Antihistamin

Antagonis reseptor histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi

reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin. Antihistamin lebih efektif dalam

mecegah respons histamin daripada melawannya.

Antihistamin oral dapat dibagi menjadi dua kategori utama : nonselektif (generasi

pertama atau antihistamin sedasi) dan selektif perifer (generasi kedua atau

antihistamin nonsedasi). Akan tetapi, masing masing obar harus dipandang dari efek

sedasi spesifiknya karena ada variasi antar obat dalam kategori yang luas ini. Efek

sedatif sentral mungkin tergantung dari kemampuan melewati sawar darah otak.

Kebanyakan antihistamin lama bersifat larut lemak dan melewati sawar darah otak

ini dengan mudah.obat yang selektif ke perifer memiliki sedikit atau tidak sama

sekali efek ke sistem saraf pusat atau otonom.

Perbedaan gejala sebagian disebabkan oleh sifat antikolinergik, yang bertanggung

jawab pada efek pengeringan yang mengurangi hipersekresi kelenjar hidung, saliva,

dan air mata. Antihistamin mengantagonis permeabilitas kapiler, pembentukan

bengkak, dan rasa panas serta gatal.

Mengantuk adalah efek samping yang paling sering dan dapat mengaanggu

kemampuan mengemudi atau aktivitas kerja.

Walaupun efek antikolinergik berperan dalam efikasi,efek samping sererti mulut

kering, kesulitan menggunakan urin, konstipasi dan efek kardiovaskular potensial

dapat terjadi.

Antihistamin lebih efektif jika dimakan 1-2 jam sebelum diperkirakan terjadinya

paparan pada alergen.

15

Page 19: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Dosis Oral antihistamin dan dekongestan yang umum digunakan

(Dipiro et al, 2006).

2. Dekongestan

Dekongestan topikal dan sistemik merupakan zat simpatomimetik yang bekerja

pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung menyebabkan vasokontriksi,

menciutkan mukosa yang membengak, dan memperbaiki ventilasi. Dekongestan

bekerja dengan baik dalam dengan antihistamin jika kongesti hidung menjadi

salah satu gambaran klinik.

Dekongestan topikal dipakai langsng pada mukosa hidung yang membengkak

melalui penetesan atau semprotan. Sediaan ini hanya sedikit atau sama sekali

tidak terabsorpsi secara sistemik.

Penggunaan lama sediaan topikal (lebih dari 3 sampai 5 hari) dapat

mengakibatkan rinitis medicamentosa, yang merupakan vasodilatasi balikan yang

terkait dengan kongesti. Pasien dengan kondisi ini menggunakan semprotan lebih

sering dengan respon yang lebih kecil.penghentian mendadak merupakan cara

penanganan yang efektif, tapi kongesti balikan dapat berlangsung selama

beberapa hari atau minggu. Steroid nasal telah digunakan dengan hasil yang baik,

tapi perlu beberapa hari untuk dapa bekerja. Penghentian dekongestan pada

pasien dapat dicapai dengan pengurangan frekuensi dosis dalam beberapa

minggu. Kombinasi penghentian dengan steroid nasal dapat menolong.

Efek samping lain nasal dekongestan termasuk rasa terbakar, bersin dan

kekeringan mukosa nasal.

16

Page 20: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Produk dekongestan seharusnya hanya digunakan bila betul betul perlu dan

dengan dosis yang sekecil mungkin. Durasi terapi harus dibatasi 3 sampai 5 hari.

Pseudoefedrin merupakan dekongestan oral yang memiliki onset kerja lebih

lambat dibandingkan dengan obat topikal tapi dapat bekerja lebih lama dan

kurang menyebabkan iritasi lokal. Juga, rinitis medicamentosa tidak terjadi

dengan pemberian dekongestan oral.

Penggunaan kombinasi produk oral yang mengandung suatu dekongestan dan

antihistamin adalah rasional karena mekanisme kerjanya berbeda.

(Dipiro et al, 2006).

3. Kotikosteroid Nasal

Dekongestan intranasal secara efektif meredakan bersin, rinorea, ruam dan

kongesti nasal dengan efek samping minimal. Obat ini mengurangi inflamasi

dengan memblok pelepasan mediator, menekan kemotaksis neutrofil, mengurangi

edema intrasel, menyebabkan vasokonstriksi ringan, dan menghambat reaksi fase

lambat yang diperantarai oleh sel mast.

Zat ini merupakan pilihan yang baik untuk rinitis perennial dan juga dapat

digunakan pada rinitis musiman. Terutama jika diberikan sebelum terjadi gejala.

Pihak berwenang merekomendasikan steroid nasal sebagai terapi awal daripada

antihistamin karena tingkat keefektifan ketika digunakan secara benar disertai

penghindaran alergen.

efek samping termasuk bersin, perih pada mukosa hidung, sakit kepala,

epistaxis, dan infeksi Candida albicans (jarang terjadi).

Beberapa pasien pulih dalam beberapa hari, tetapi respon puncak umumnya

tercapai dalam 2- 3 minggu. Dosis kemudian dapat diturunkan jika sudah tercapai

respon yang diinginkan

Hambatan pada rongga hidung harus dihilangkan dengan dekongestan sebelum

pemberian glukokortikoid untuk memastikan penetrasi obat semprot yang

memadai.

Dosis Kortikosteroid Nasal

17

Page 21: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

(Dipiro et al, 2006).

4. Kromolyn Natrium

Merupakan penstabil sel mast, tersedia sebagai obat bebas dalam bentuk

semprotan hidung untuk pencegahan gejala dan penanganan terhadap rinitis

alergi.

Zat ini mencegah degranulasi sel mast yang dipicu oleh antigen dan pelepasan

mediator termasuk histamin.

Efek samping yang paling umum terjadi adalah iritasi lokal ( bersin dan hidung

perih).

Dosis pakai (umur ≥ 2 tahun) adalah suatu semprotan pada tiap nostril 3-4 kali

sehari dengan inetrval normal. Rongga hidung harus dibersihkan sebelum

18

Page 22: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

pemberian, dan bernafas melalui hidung selama pemberian meningkatkan

distribusi ke seluruh bagian hidung.

Untuk rinitis musiman, penangan dilakukan sebelum musim alergi mulai dan

dilanutkan selama musim berlangsung.

Dalam rinitis perennial, efek dapat tidak terlihat selama 2 hingga 4 minggu, pada

fase inisiasi terapi antihistamin atau dekongestan mungkin diperlukan.

(Dipiro et al, 2006).

5. Ipratropium Bromida

Obat semprot hidung ipratropium merupakan agen antikolinergik berbentuk

semprotan hidung bermanfaat pada rinitis alergi yang persisten atau perenial

Zat ini memiliki sifat antisekretori jika digunakan secara lokal dan bermanfaat

untuk mengurangi hidung berair yang terjadi pada rinitis alergi dan bentuk lain

rinitis kronis.

Tersedia dalam bentuk larutan dengan kadar 0,03%, diberikan dalam 2 semprotan

(42 mg) 2-3 kali sehari.

Efek sampingnya ringan, meliputi sakit kepala, epistaxis, dan hidung terasa

kering.

(Dipiro et al, 2006).

6. Montelukast

Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien untuk penanganan rinitis alergi

musiman.

Efektif ketika diberikan tunggal atau dalam kombinasi dengan antihistamin.

Dosis : dewasa dan remaja berumur lebih dari 15 tahun : 10 mg/tablet per hari.

Anak anak (6-14 tahun) : satu tablet kunyah 5 mg perhari. Anak anak berusia 2-5

tahun dapat diberikan satu tablet kunyak 4 mg atau satu bungkus serbuk per hari.

Waktu pemberian tergantung pada individu.

Obat ini harus diberikan pada sore hari jika pasien menderita kombinasi asma dan

rinitis alergik musiman.

Alternative terapi baru, namun tidak lebih efektif dibandingkan antihistamin

selektif perifer dan lebih kurang efektif daripada kortikosteroid intranasal.

(Dipiro et al, 2006)

2.4.2 Terapi Non Farmakologi

19

Page 23: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Satu-satunya terapi tanpa obat untuk alergi adalah menghindari pencetus

alergi. Penderita dan keluarganya diberikan pendidikan untuk mampu mengenali

pemicu alergi karena sifatnya sangat individual dan alergi sangat sulit disembuhkan,

hanya mampu dijaga agar tidak muncul. Pengenalan pemicu ini sangat penting

dalam penanganan reaksi anafilaksis khususnya karena dengan menghindari

pemicu, kematian dapat terhindarkan.

Modifikasi gaya hidup dengan cara menghindari pencetus alergi (allergen):

1. Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus (debu, serbuk sari, bulu binatang, dll)

Tungau debu adalah penyebab paling umum diseluruh dunia. Alergi tungau

lebih sering terjadi di kota dan Negara berkembang. Hal ini terjadi karena rumah

modern dan penggunaan teknik insulasi memuningkankan tungau hidup lebih baik

(Ramaniah, 2005).

Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung

dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein

yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut

memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara

sehingga menyebabkan serangan alergi, terutama dari burung dan hewan menyusui

karena bulu akan rontok dan terbang mengikuti udara (Sundaru, 2006).

Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus,

bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion

products (CO1, NO2, SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur.

Sumber polutan VOC berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik,

Hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan

aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber formaldehid

dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur, karpet (Ramaiah, 2006).

2. Rencanakan untuk berolahraga

3. Minumlah teh hijau

Mengatasi penyakit alergi tanpa menggunakan obat atau terapi non

farmakologis dapat Anda lakukan dengan cara mengkonsumsi teh hijau secara rutin.

Menurut penelitian antioksidan yang terdapat pada teh hijau mampu mengurangi

respon terhadap alergen seperti alergi pada bulu, makanan, debu dan masih banyak

lagi. Dengan melakukan terapi non farmakologi penyakit alergi menggunakan teh

hijau secara rutin minimal 2x sehari maka penyakit alergi yang Anda derita akan

hilang (Ramaiah, 2006).

20

Page 24: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

2.4.3 Terapi Herbal

1. Butterbur (Petasites)

Petasites hybridus berbentuk semak perennial (tahunan) dari Eropa. Akar dan

daunnya digunakan sebagai obat yang mengandung sesquiterpen (petasindan dan

isopetasin), minyak atsiri dan alkaloid pyrrolizidine. Mekanisme aksi: senyawa aktif

utama adalah petasin dan isopetasin. Petasin bertanggung jawab atas sifat

antisppasmodik/vasoaktif tanaman dengan mengurangi kejang pada otot polos

pembuluh darah dan dinding, disamping memberikan efek antiinflamasi dengan

menghambat sintesis leukotriene (penghambat enzim lipooksigenase). Dosis harian

maksimum pyrrolizidine adalah 0,1 g (Supriyatna et al, 2013).

2. Niaouli

Daun Melaleuca viridiflora Solander menghasilkan minyak atsiri yang bernama

Niaouli. Tanaman ini merupakan pohon kecil asli kepulauan Maluku, tapi tersebar di

Australia, Asia Selatan, Kaledonia Baru dan Madagaskar. Minyak tersebut

mengandung cineole (eucalyptol) 50-69% sebagai senyawa utama yang paling umum

21

Page 25: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

dan terpenol (15%), senyawa lain yaitu nerolidol dan linalool. Niaouli digunakan

untuk pengobatan infeksi rhinitis alergi dan bronkial. Dosis: Minyak Niaouli 2-3 tetes

tiga kali sehari merupakan campuran yang digunakan hanya untuk inhalasi

(Supriyatna et al, 2013).

2.6 Monitoring

Evaluasi terhadap terapi yang diberikan pada pasien alergi rhinitis antara lain:

a. Memonitor pasien secara tetap perihal penurunan keparahan gejala dan ada atau

tidaknya efek samping

b. Menanyakan pada pasien terkait kepuasan pada manjemen alergi rhinitis. Hasil dari

manajemen harus meminimalkan gangguan pada gaya hidup normal.

c. The Medical Outcomes Study 36-Item Short Form Health Survey and the

Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire mengukur penurunan gejala dan

parameter seperti kualitas tidur, gejala noralergi, emosi, dan partisipasi dalam

berbagai aktivitas.

d. Menilai kepatuhan pasien.

(Dipiro, 2009).

Monitoring hasil terapi dan efek merugikan pada rhinitis alergi

a. Periwayatan gejala pada hidung

Suatu percobaan klinis pada rhinitis alergi melibatkan perekaman gejala nasal setiap

hari melalui buku harian dengan perekaman terpisah antara hidung gatal, bersin,

kotoran hidung, dan osbtruksi nasal. Secara klasik, skala di mulai dari 0 sampai 3

dengan definisi kriteria, 0 = tanpa gejala, 1 = gejala ringan (gejala Nampak nmaun

tidak mneyusahkan), 2 = gejala sedang (gejala menyusahkan tetapi tidak

mengganggu aktivitas sehari-hari), 3 = gejala berat (gejala menyusahkan dengan

gangguan pada aktivitas sehari-hari atau gangguan tidur).

b. Evaluasi Quality of Life (QOL) pada Rhinitis Alergi

Health-related Quality of Life (HRQOL) menurut Schipper dan Powell adalah

suatu efek fungsional penyakit dan konsekuensi terapi pada pasien, sesuai dengan

persepsi pasien.

Pengukuran HRQL pada Rhinitis

Kuisioner Umum

22

Page 26: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Kuisioner umum dirancang untuk dapat diterapkan pada pasien dengan

berbagai kondisi medis. Instrument yang paling banyak digunakan adalah Medical

Outcomes Survey Short Form 36 (SF-36). SF-36 memiliki 3 domain yang dapat

dikombinasikan ke dalam 2 fungsi primer, memntal dan fisik.

Kuisioner Spesifik

Rhinoconjuctivitis Quality of Life Questionnaire (RQLQ) dirancang secara

spesifik untuk mengevaluasi HRQL pada dewasa dengan rhinoconjunctivitis.

Dengan menanyakan pada pasien untuk identifikasi nhal yang paling

menyebabkan masalah. RQLQ 28 item terdiri dari 7 domain: tidur (3 item), non

nasal/eye(7 item), gejala mata (7 item) dan aktivitas yang terhambat karena

hidung dan mata (3 item), dan fungsi emosiona;l (4 item). Rentang nilai berkisar

pada 09 sampai 6 (di mana 0 = tidak terganggu dan 6 = terganggu secara ektrim),.

c. Penilaian Fungsi Olfaktori

Meskipun pada buku harian direkam gejla yang terjadi pada hidung, penurunan

fungsi penciuman jarang dievaluasi. Mengapa harus dievaluasi? Pengujian fungsi

penciuman penting untuk:

- Menentukan validitas complain pasien

- Mencirikan masalah

- Fungsi perubahan pada monitoring yang dapat dipercaya

- Deteksi pura-pura sakit

Pemeriksaan fungsi penciuman dapat dilakukan dengan miminta pasien untuk

mengidentifikasi beberapa odoran kuat (spt. Kopi, tembakau) ditempatkan di

bawah hidung.

d. Monitoring Efek Merugikan pada Terapi Spesifik Rhinitis

Monitoring ini dilakukan dengan melakukan perekaman laporan pasien selama

periode trial.

(Dipiro, 2009).

- Antihistamin H1

Efek samping Antihistamin

Efek merugikan antihistamin generasi pertama

23

Page 27: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Meskipun dalam dosis yang kecil , anthistamin generasi pertama memiliki efek

sedasi. Obat ini diketahui dapat menempati 70% sampai 100% reseptor histamine

pada frontal, temporal, dan anterior cingulated cortices, diukur dengan nuklida

radioisotope H-1 Anihistaminm PET, dan MRI.

Pengukuran efek antihistamin H1 pada SSP

Mekasnisme : mempengaruhi neurotransmitter histamine di SSP

Subjektif : gejala somolens, sedasi, atau sakit atau letih. Dinilai menggunakan

skor , skala visual analog, atau kuisioner standar.

Tujuan pengujian: penampilan psikomotor, elektroensefalogram.

Parameter : bergantung pada pengujian, biasanya 25% > placebo

Hubungan dosis/waktu uji : post-dose paling kuat 2 – 4 jam dari konsentrasi

puncak antihistamin plasma.

Efek antihistamin ke jantung

Mekanisme : memblokade kanal ion, khususnya kanal IKr di mikokardium

ventricular.

Subjektif : gejala pingsan, hilangnya kesadaran, palpitasi

Tes obyektif : lektrokardiogram (perubahan signifikan dalam interval QTc adalah

nilai> 440 ms (laki-laki) dan> 460 ms (perempuan); interval QTc dari> 500 ms

menunjukkan kemungkinan kuat dari efek obat, peningkatan QTc dari 635 ms saat

menerima antihistamin H1 kemungkinan untuk mewakili efek obat (95% CI).

(Juniper, 2005).

Efek Inhalasi Kortikosteroid

INSs and the hypothalamic-pituitary-adrenal axis

24

Page 28: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Kehadiran setiap glukokortikoid eksogen dalam aliran darah akan mengurangi

kebutuhan untuk produksi kortisol endogen. Akibatnya, pengukuran basal

hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) aktivitas, seperti area di bawah konsentrasi

kurva kortisol dan urin ekskresi kortisol bebas, memberikan indikasi yang paling

sensitif dari bioavailabilitas sistemik INS, dan langkah-langkah laboratorium ini

fungsi aksis HPA sering digunakan untuk membandingkan efek sistemik dari INS.

(Juniper, 2005).

INSs and childhood growth

Kortikosteroid berpotensi menghambat pertumbuhan linear, mengerahkan efek

penekanan pada hampir setiap tingkat menumpulkan pertumbuhan axis.185 anak

pertumbuhan berdenyut pelepasan hormon, downregulation ekspresi reseptor

hormon pertumbuhan, penghambatan insulin like growth factor 1 bioaktivitas, dan

penindasan kolagen sintesis dan produksi androgen adrenal semua mekanisme

yang dikenal dengan mana kortikosteroid dapat menghambat pertumbuhan

(Juniper, 2005).

INSs and effect on bone metabolism and risk for osteoporosis

kelebihan kortikosteroid mempengaruhi metabolisme tulang normal dalam

beberapa cara: homeostasis kalsium terganggu oleh perubahan langsung dari

osteoblastik dan aktivitas osteoklastik yang mengarah ke peningkatan pembubaran

tulang (Juniper, 2005).

25

Page 29: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

BAB III

PEMBAHASAN

Seorang mahasiswa bernama sdr. J, berusia 20 tahun datang ke apotek untuk membeli

obat karena hidungnya berair/meler-meler. Delapan minggu terakhir dia merasa kepalanya

berat dan dia mengobatinya dengan semprot hidung Vicks Sinex dan tablet Sudafed. Dia

merasa hidungnya meler dan bersin terus serta matanya berair, dia merasa khawatir karena

sebentar lagi menghadapi ujian. Riwayat medis sebelumnya yaitu porphyria dan asma semasa

kecil. Riwayat penggunaan obat masa lalunya yaitu salbutamol inhaler dan beclometason

inhaler untuk mengatasi asma semasa kecilnya. Empat minggu kemudian sdr. J kembali ke

apotek bahwa matanya masih berair dan sekarang terasa gatal serta ia sekarang tidak bisa

memakai lensa kontak. Meskipun bersinnya telah membaik ia masih merasa tenggorokan

gatal dan sesekali batuk.

Berdasarkan kasus di atas Sodara J termasuk pada golongan rhinitis persisten, karena

lebih dari 4 minggu. Farmakoterapi yang kita laksanakan meliputi obat yang tidak lagi

diberikan kepada pasien:

1. Vicks Sinex

Vicks Sinex tidak diberikan lagi karena mempunyai efek samping rinitis medika.

Rinitis medika adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons normal

vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal

(obat tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,

sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Sehingga bila Vick sinex

masih diberikan akan memperburuk keadaan pasien yaitu pasien akan kesulitan

bernafas karena terganggunya fungsi hidung.

2. Sudafed

Sudafed sebagai antihistamin tidak lagi dipertahankan, karena zat aktif dari tablet

Sudafed adalah pseudoefedrin Hcl, karena Pseudoefedrin HCl merupakan golongan

obat adrenergic yang dapat memberikan efek samping berupa bronkokontriksi

(penyempitan paru-paru) dan terjadi penyempitan pupil mata, sehingga bila dilihat

dari gejala pasien tablet Sudafed ini harus dihentikan pemakaiannya, karena pasien

ini memiliki riwayat asma dan gangguan pada matanya.

26

Page 30: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Obat yang diberikan kepada pasien :

1. Antihistamin

Antihistamin yang digunakan adalah cetirizine. Cetirizine adalah obat antialergi

generasi terbaru dengan bahan aktif Cetirizine Dihidroklorida terbukti lebih

nyaman dan menguntungkan dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama

seperti CTM karena tak menimbulkan efek mengantuk sehingga tidak

mengganggu aktivitas pasien. Cetirizine merupakan antihistamin potensial

yang menjadi pilihan pertama untuk pengobatan alergi khususnya alergi

rinitis. Cetirizine di HCL mampu menurunkan gejala mayor rinitis alergi seperti

hidung berair, bersin, hidung gatal, dan mata berair.

2. Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal merupakan golongan obat yang ampuh sebagai agen

anti-inflamasi terbukti menurunkan gejala rhinitis alergi pada lebih dari 90% dari

pasien. Kortikosteroid intranasal yang digunakan adalah Beklometason.

Beklometason dapat menurunkan jumlah dan aktivitas sel-sel inflamasi, yang

mengakibatkan peradangan hidung menurun. Mekanisme kerja dari beclometason

inhaler adalah dengan cara inhibisi pembentukan sitokin seperti IL1, TNFα, GM-

CSF, IL-3, IL- 4, IL-5, IL-6, dan IL-8. Disisi lain steroid juga meningkatkan

pembentukan reseptor β2 sehingga mampu mencegah reaksi takifilaksis akibat

pemakaian obat β2 agonis jangka panjang. Steroid juga mempercepat regenerasi

sel epitel, dan jangka panjang juga mengurangi jumlah sel mas. Dosis inhalasi

yang digunakan pada pasien J adalah 150-500ug/ hari diberikan 2 – 4 kali/ hari.

27

Page 31: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Penyakit Rhinitis adalah Rinitis adalah inflamasi pada lapisan dalam hidung yang

dikarakterisasi dengan adanya gejala-gejala tertentu. Dari kasus, telah dijelaskan

oleh bahwa bahwa seorang pasien mahasiswa yaitu saudara J. yang berusia 20 tahun

didiagnosis menderita rhinitis alergi. Sehingga dari hasil diagnosis diatas dapat

diajukan terapi obat untuk untuk saudara J. berupa cetirizine. Cetirizine adalah obat

antialergi generasi terbaru dengan bahan aktif Cetirizine Dihidroklorida terbukti

lebih nyaman dan menguntungkan dibandingkan dengan antihistamin generasi

pertama, Selain itu obat lain yang digunakan adalah Kortikosteroid intranasal yaitu

Beklometason. Beklometason dapat menurunkan jumlah dan aktivitas sel-sel

inflamasi, yang mengakibatkan peradangan hidung menurun. Pharmaceutical Care

yang diberikan kepada pasien adalah mengenai proses penyakit, gejala-gejala,

pemilihan terapi, serta informasi lengkap mengenai terapi yang dipakai. Informasi

mengenai obat yang dipakai mencakup dosis, indikasi, kontraindikasi, efek samping,

mekanisme obat, serta cara pemakaian dan penyimpanan obat tersebut.

4.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis

akan lebih mendalam dan lebih mencari tinjauan pustaka yang lebih bervariasi untuk

menjelaskan dan memecahkan kasus yang diberikan, serta dapat memilihkan terapi

yang lebih tepat pada kasus selanjutnya.

28

Page 32: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

DAFTAR PUSTAKA

Benjamini E., Coico R., Sunshine G. 2000. Immunology: A Short Course. 4th ed. John Wiley

& sons. Available from: http:// www.wiley.com. [Accessed 01 March 2010].

Blonshine, 2000. Spirometry : Asthma and COPD Guidelines Creating Opportunies for RT’s.

AARC Times : 43 – 7.

Bousquet, J. et al., 2008. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008 Update

(In collaboration with the WHO). In : Journal allergy 63. (Suppl 86 ) : 8 – 160

Bousquet, J. et al.2001. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2001 Update (In

collaboration with the WHO). In : Journal allergy : Vol 108 No.5. Nov 2001.

Dipiro, J. T.. 2014. 9th Edition Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. New York :

Mc Graw-Hill.

Dipiro, Joseph T.et al. 2006. Pharmacotheraphy A Phatophysiologic Approach Sixth Edition.

New York : Mc Graw Hill Companies, Inc.

Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam: Kumpulan Makalah

Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT. Bukit Tinggi.

Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta: Bursa Ilmu.

Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan

Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical Immunology”, Divisi

Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta:55-65.

Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,.

Irawati N., Kasakayan., Rusmono. 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi,

Dalam : Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy and Clinical

Immunology”. Jakarta : Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, 55-65.

Juniper, Elizabeth. F. (2005). “Clinical Outcomes and Adverse Effect Monitoring in Allergic

Rhinitis”. Journal Allergy Clinical Immunology. 115 (3).

Northern Nevada Allergy Clinic. 2006. Rhinitis. Tersedia online di

http://www.nevallergy.com/pdf/RHINITIS.pdf [Diakses tanggal 13 Mei 2016].

Pinto, J. M. and Jeswani, S. 2010. Rhinitis in the Geriatric Population, AACI, 6:10-21.

Ramaiah, Savitri. 2003. Kecemasan, Bagaimana Mengatasi Penyebabnya. Jakarta : Yayasan

Obor Indonesia.

Roland Lesson. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta: Penerbit EGC.

29

Page 33: Makalah Rhinitis_Kelompok 1 Kelas B

Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: EGC.

Soetjipto D dan Mangunkusomu E, 2001. Penanggulan Sumbatan Laring. Dalam: Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi kelima. Jakarta :

Balai Penerbit FK UI.

Sumarman, Iwin. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis Alergi,

Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17.

Sundaru, Heru, Sukamto. 2006. Asma Bronkial dalam Sudoyo, Aru W, B. Setiyohadi, I.

Alwi, M. Simadhibrata, S. Setiati, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta:

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Supriyatna et al. 2013. Fitoterapi Sistem Organ Pandangan Dunia Barat Terhadap Obat

Herbal Global. Bandung: Unpad Press.

30